Anda di halaman 1dari 4

Mengeraskan Suara pada Dzikir Sesudah Shalat

Nov 22, 2011Muhammad Abduh Tuasikal, MScShalat17

Jika Anda berada di Saudi Arabia, akan terlihat fenomena dzikir yang berbeda setelah shalat lima waktu yang
jarang kita lihat di tanah air. Para jamaah sama sekali tidak melakukan dzikir berjama’ah dengan dikomandoi
imam sebagaimana kita lihat di sekitar kita, di tanah air. Mereka berdzikir sendiri-sendiri, namun dengan
mengeraskan suara. Inilah di antara pendapat fikih Hambali yang dianut di kerajaan Saudi Arabia. Namun
bagaimana tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai dzikir sesudah shalat, apakah benar dengan
mengeraskan suara?
Dalil yang Jadi Rujukan
Dari Ibnu Jarir, ia berkata, ‘Amr telah berkata padaku bahwa Abu Ma’bad –bekas budak Ibnu ‘Abbas-
mengabarkan kepadanya bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
. – ‫ص ِرفُ النَّاسُ ِمنَ ْال َم ْكتُوبَ ِة َكانَ َعلَى َع ْه ِد النَّبِ ِّى – صلى هللا عليه وسلم‬ َ ‫ت بِال ِّذ ْك ِر ِحينَ يَ ْن‬ َّ ‫َأ َّن َر ْف َع ال‬
ِ ْ‫صو‬
َ ‫ت َأ ْعلَ ُم ِإ َذا ا ْن‬
ُ‫ بِ َذلِكَ ِإ َذا َس ِم ْعتُه‬a‫ص َرفُوا‬ ُ ‫س ُك ْن‬
ٍ ‫ال ابْنُ َعبَّا‬َ َ‫َوق‬
“Mengeraskan suara pada dzikir setelah shalat wajib telah ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Ibnu ‘Abbas berkata, “Aku mengetahui bahwa shalat telah selesai dengan mendengar hal itu, yaitu jika aku
mendengarnya.” (HR. Bukhari no. 805 dan Muslim no. 583)
Dalam riwayat lainnya disebutkan,
ِ ِ‫ بِالتَّ ْكب‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ل هَّللا‬aِ ‫صالَ ِة َرسُو‬
‫ير‬ َ ِ‫ْرفُ ا ْنق‬
َ ‫ضا َء‬ ِ ‫ُكنَّا نَع‬
“Kami dahulu mengetahui berakhirnya shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui suara takbir.”
(HR. Bukhari no. 806 dan Muslim no. 583)
Berdasarkan hadits di atas, sebagian ulama berpendapat, “Dianjurkan mengeraskan suara pada dzikir setelah
shalat.” Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Hazm. Beliau berkata,
‫ الصوت بالتكبير إثر كل صالة حسن‬a‫ورفع‬
“Mengeraskan suara dengan bertakbir pada dzikir sesudah shalat adalah suatu amalan yang baik.” (Al
Muhalla, 4: 260)
Demikian juga pendapat Ath Thobari, beliau berkata,
‫فيه اإلبانه عن صحة ما كان يفعله األمراء من التكبير عقب الصالة‬
“Hadits ini sebagai isyarat benarnya perbuatan para imam yang bertakbir setelah shalat.” (Rujuk Fathul Bari,
2: 325)
Pendapat Jumhur
Mayoritas ulama (baca: jumhur) menyelisihi pendapat di atas. Di antara alasannya disinggung oleh Ibnu Hajar
dalam Fathul Bari.
Setelah menyebutkan perkataan Ath Thobari, Ibnu Hajar Al Asqolani menyebutkan perkataan Ibnu Battol yang
mengatakan, “Hal ini tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf selain apa yang diceritakan dari Ibnu Habib
dalamAl Wadhihah, yaitu mereka senang bertakbir saat peperangan setelah shalat Shubuh, ‘Isya’ dengan tiga
kali takbir. Beliau berkata bahwa ini adalah perbuatan yang dilakukan di masa silam. Ibnu Battol dalam Al
‘Utaibah menyebutkan bahwa Imam Malik berkata, “Amalan tersebut muhdats (amalan bid’ah, direka-reka).”
(Fathul Bari, 2: 325-326)
Pendapat jumhur inilah yang lebih tepat.
Pijakan Jumhur
Dalam hadits Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
َ َ‫ فَق‬، a‫ت َأصْ َواتُنَا‬
‫ال‬ ْ ‫ ارْ تَفَ َع‬a‫ فَ ُكنَّا ِإ َذا َأ ْش َر ْفنَا َعلَى َوا ٍد هَلَّ ْلنَا َو َكبَّرْ نَا‬، – ‫ل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم‬aِ ‫ُكنَّا َم َع َرسُو‬
ُ‫ ِإنَّه‬، ‫ص َّم َوالَ غَاِئبًا‬َ ‫ فَِإنَّ ُك ْم الَ تَ ْد ُعونَ َأ‬، ‫ ارْ بَعُوا َعلَى َأ ْنفُ ِس ُك ْم‬، ُ‫النَّبِ ُّى – صلى هللا عليه وسلم – « يَا َأيُّهَا النَّاس‬
» ُ‫ك ا ْس ُمهُ َوتَ َعالَى َج ُّده‬ َ ‫ار‬َ َ‫ تَب‬، ٌ‫ ِإنَّهُ َس ِمي ٌع قَ ِريب‬، ‫َم َع ُك ْم‬
“Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika sampai ke suatu lembah, kami bertahlil
dan bertakbir dengan mengeraskan suara kami. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Wahai
sekalian manusia. Lirihkanlah suara kalian. Kalian tidaklah menyeru sesuatu yang tuli dan
ghoib. Sesungguhnya Allah bersama kalian. Allah Maha Mendengar dan Maha Dekat. Maha berkah nama
dan Maha Tinggi kemuliaan-Nya.” (HR. Bukhari no. 2830 dan Muslim no. 2704). Hal ini menunjukkan bahwa
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallamtidaklah suka dengan suara keras saat dzikir dan do’a.
Ath Thobari rahimahullah berkata,
‫َّحابَة َوالتَّابِ ِعينَ اِ ْنتَهَى‬ َ َ‫ َوبِ ِه ق‬، ‫صوْ ت بِال ُّدعَا ِء َوال ِّذ ْكر‬
َ ‫ال عَا َّمة ال َّسلَف ِم ْن الص‬ َّ ‫فِي ِه َك َرا ِهيَة َر ْفع ال‬
“Hadits ini menunjukkan dimakruhkannya mengeraskan suara pada do’a dan dzikir. Demikianlah yang
dikatakan para salaf yaitu para sahabat dan tabi’in.” (Fathul Bari, 6: 135)[1]
Adapun anjuran mengeraskan suara pada dzikir sesudah shalat, tidaklah tepat. Karena yang dilakukan oleh
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidaklah membiasakan hal itu.  Beliau boleh jadi pernah
melakukannya, namun hanya dalam rangka ta’lim atau pengajaran, bukan kebiasaan yang terus menerus.
Demikianlah pendapat Imam Syafi’i dan pendapat mayoritas ulama lainnya. Imam Syafi’i dalam Al Umm (1:
151) berkata,
‫وأحسبه إنما جهر قليال ليتعلم الناس منه وذلك ألن عامة الروايات التي كتبناها مع هذا وغيرها ليس يذكر فيها‬
‫بعد التسليم‬
“Aku menganggap bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menjaherkan suaranya sedikit untuk mengajari
para sahabat. Karena kebanyakan riwayat yang aku tulis dan riwayat lainnya menyebutkan bahwa beliau tidak
berdzikir dengan tahlil dan takbir setelah salam. Dan terkadang beliau juga berdzikir dengan tata cara yang
pernah disebutkan.”
Imam Syafi’i berpendapat bahwa asal dzikir adalah dengan suara lirih (tidak dengan jaher), berdalil dengan
ayat,
ْ ِ‫ك َواَل تُخَاف‬
‫ت بِهَا‬ َ ِ‫صاَل ت‬
َ ِ‫َواَل تَجْ هَرْ ب‬
“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula terlalu merendahkannya”
(QS. Al Isro’: 110). Imam Syafi’i rahimahullah berkata tentang ayat tersebut, “Janganlah menjaherkan, yaitu
mengeraskan suara. Jangan pula terlalu merendehkan sehingga engkau tidak bisa mendengarnya sendiri.” (Al
Umm, 1: 150)
Imam Asy Syatibi rahimahullah berkata, “Do’a jama’i atau berjama’ah (dengan dikomandai dan satu suara)
yang dilakukan terus menerus tidak pernah dilakukan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana
pula tidak ada perkataan atau persetujuan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan amalan ini. Dalam riwayat
Bukhari dari hadits Ummu Salamah disebutkan, “Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya diam sesaat
setelah salam.” Ibnu Syihab berkata, “Beliau diam sampai para wanita keluar. Demikian anggapan kami.”
Dalam riwayat Muslim disebutkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Beliau tidaklah duduk selain sekadar
membaca, “Allahumma antas salaam wa minkas salaam tabaroka ya dzal jalaali wal ikrom.” (Al I’tishom, 1:
351)
Namun perlu diperhatikan bahwa hadits Ibnu ‘Abbas yang telah kami sebutkan bukanlah dalil dzikir dengan
satu suara (dzikir jama’ah). Dalil tersebut tidak menunjukkan bahwa dzikir sesudah shalat harus dikomandoi
oleh seorang imam sebagaimana kita saksikan sendiri di beberapa masjid di sekitar kita. Yang tepat adalah
dzikir dilakukan secara individu, tanpa dikomandoi dan tidak dengan suara keras.
Faedah dari Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan, “Yang disunnahkan dalam setiap do’a adalah dengan melirihkan
suara kecuali jika ada sebab yang memerintahkan untuk menjaherkan. Allah Ta’ala berfirman,
َ‫ضرُّ عًا َو ُخ ْفيَةً ِإنَّهُ اَل يُ ِحبُّ ْال ُم ْعتَ ِدين‬
َ َ‫ا ْدعُوا َربَّ ُك ْم ت‬
“Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al A’rof: 55)
Allah menceritakan tentang Zakariya,
‫ِإ ْذ نَادَى َربَّهُ نِدَا ًء َخفِيًّا‬
“Yaitu tatkala ia berdoa kepada Rabbnya dengan suara yang lembut.” (QS. Maryam: 3)
Demikian pula yang diperintahkan dalam dzikir. Allah Ta’ala berfirman,
‫ال‬
ِ ‫ص‬َ ‫ضرُّ عًا َو ِخيفَةً َو ُدونَ ْال َجه ِْر ِمنَ ْالقَوْ ِل بِ ْال ُغد ُِّو َواَآْل‬
َ َ‫َو ْاذ ُكرْ َربَّكَ فِي نَ ْف ِسكَ ت‬
“Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak
mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang.” (QS. Al A’raf: 205). Dalam shahihain disebutkan bahwa para
sahabat pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perjalanan. Mereka mengeraskan
suara mereka saat itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُ‫إن الَّ ِذي تَ ْدعُونَه‬ َ ‫َأيُّهَا النَّاسُ َأرْ بِعُوا َعلَى َأ ْنفُ ِس ُك ْم ؛ فَِإنَّ ُك ْم اَل تَ ْد ُعونَ َأ‬
َّ a‫ص َّم َواَل غَاِئبًا َوِإنَّ َما تَ ْد ُعونَ َس ِميعًا قَ ِريبًا‬
‫ق َرا ِحلَتِ ِه‬ ِ ُ‫َأ ْق َربُ إلَى َأ َح ِد ُك ْم ِم ْن ُعن‬
“Wahai sekalian manusia, lirihkanlah suara kalian. Kalian tidaklah berdo’a pada sesuatu yang tuli lagi ghoib
(tidak ada). Yang kalian seru (yaitu Allah), Maha Mendengar lagi Maha Dekat. Sungguh yang kalian seru itu
lebih dekat pada salah seorang di antara kalian lebih dari leher tunggangannya.” Inilah yang disebutkan oleh
para ulama ketika dalam hal shalat dan do’a, di mana mereka sepakat akan hal ini. (Majmu’ Al Fatawa, 22:
468-469)
Faedah Dzikir dengan Lirih
Berikut di antara faedah dzikir dan do’a lebih baik dengan suara lirih:
Pertama: Menunjukkan keimanan yang baik, karena orang yang berdzikir dengan melirihkan suara berarti
mengimani Allah akan selalu mendengar seruan hamba-Nya meskipun lirih.
Kedua: Inilah adab yang mulia di hadapan Al Malik, Sang Raja dari segala raja. Ketika seorang hamba
bersimpu di hadapan Sang Raja, tentu saja ia tidak mengeraskan suara.
Ketiga: Lebih menunjukkan ketundukkan dan kekhusyu’an yang merupakan ruh dan inti do’a. Orang yang
meminta tentu saja akan merendahkan diri, akan menundukkan hatinya pada yang diminta. Hal ini sulit muncul
dari orang yang mengeraskan do’anya.
Keempat: Lebih meraih keikhlasan. [2]
Penutup
Setelah mengetahui hal ini, kita perlu menghargai sebagian orang yang mengeraskan suara pada dzikir sesudah
shalat. Mereka jelas memiliki acuan, tetapi kurang tepat karena tidak merujuk lagi pada riwayat lainnya. Yang
tidak tepat bahkan dinilai bid’ah adalah berdo’a dan berdzikir berjama’ah dengan satu suara. Ini jelas tidak
pernah diajarkan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat sekali lagi perkataan Asy Syatibi di atas.
ْ َ‫ت بِهَا ) ُأ ْن ِزل‬
‫ت فِى ال ُّدعَا ِء‬ ْ ِ‫صالَتِكَ َوالَ تُخَاف‬
َ ِ‫ ع َْن عَاِئ َشةَ ( َوالَ تَجْ هَرْ ب‬.
Dari ‘Aisyah, mengenai firman Allah, “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan
janganlah pula terlalu merendahkannya”. Ayat ini turun berkenaan dengan masalah do’a. (HR. Bukhari no.
6327)
Ingatlah, sebaik-baik petunjuk adalah tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Anda mungkin juga menyukai