Anda di halaman 1dari 5

Hukum Mengeraskan Zikir/Dzikir Menurut Ulama

Wahabi adalah SUNNAH

Syaikh Bin Baz (ulama Salafi Wahabi nomor Wahid) mengatakan dalam fatwanya bahwa,
mengeraskan suara zikir adalah bagian dari sunnah Nabi s.a.w. dan para sahabatnya. Bahkan
beliau mengatakan,
Dan bagi orang di sekitarnya yang sedang mengerjakan shalat, maka yang lebih afdhal
baginya untuk merendahkan sedikit (bacaan shalatnya) sehingga tidak mengganggu
mereka (yang sedang berzikir), karena mengamalkan dalil-dalil lain terkait hal
itu disyariatkannya mengeraskan zikir ketika orang-orang selesai shalat wajib,dalam
bentuk orang-orang yang ada di pintu-pintu masjid (Nabawi) dan sekitar masjid dapat
mendengarnya, sehingga mereka mengetahui shalat (Nabi dan para sahabatnya) telah selesai
dengan adanya itu (suara zikir keras berjamaah).
Fatwa tersebut juga termaktub dalam buku beliau berjudul Majmu Fatawa asy-Syaikh Ibnu
Baz(kumpulan fatwa-fatwa Syaikh Bin Baz) pada volume 11 halaman 206, sebagai berikut:

.( )


.
: .
.
(206/11 : ) . .
Telah disebutkan dalam kitab shahihain (shahih Bukhari & shahih Muslim), dari jalur riwayat
Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma (ia mengatakan), Sesungguhnya mengeraskan zikir saat
selesai dari shalat wajib, itu telah ada di masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Ibnu
Abbas juga mengatakan, Aku tahu selesainya shalat mereka (Nabi dan para sahabatnya) itu,
saat kudengar (suara zikir keras berjamaah) itu.
Hadis shahih ini, dan hadis-hadis lain yang semakna dengannya, seperti hadis riwayat Ibnuz
Zubair, dan Al-Mughiroh ibnu Syubah radhiyallahu anhuma, semuanya menunjukkan
disyariatkannya mengeraskan zikir ketika orang-orang selesai shalat wajib, dalam bentuk orang-
orang yang ada di pintu-pintu masjid (Nabawi) dan sekitar masjid dapat mendengarnya, sehingga
mereka mengetahui shalat (Nabi dan para sahabatnya) telah selesai dengan adanya itu (suara
zikir keras berjamaah).
Dan bagi orang di sekitarnya yang sedang mengerjakan shalat, maka yang lebih afdhal
baginya untuk merendahkan sedikit (bacaan shalatnya) sehingga tidak mengganggu
mereka (yang sedang berzikir), karena mengamalkan dalil-dalil lain terkait hal itu.
Dalam tuntunan mengeraskan zikir ketika para jamaah selesai shalat wajib ini, ada banyak
manfaat, diantaranya: menampakkan pujian kepada Allah taala yang telah memberikan mereka
kenikmatan bisa menjalankan kewajiban yang agung ini. (Sebagai sarana untuk) mengajari orang
yang jahil dan mengingatkan orang yang lupa. Jika saja tidak ada hal itu, tentunya sunnah ini
akan jadi samar bagi banyak orang. Wallahu waliyyut taufiq. Demikian kata Syaikh Bin Baz
dalam fatwanya.
2. Syaikh Muhammad ibnu Sholih al-Utsaimin (ulama Salafi Wahabi nomor dua setelah
Bin Baz) dalam kitab Majmu Fatawa wa Rasa`il asy-Syaikh Muhammad Shalih al-
Utsaimin (kumpulan fatwa-fatwa dan risalah-risalah Syaikh Ibnu Utsaimin) volume 13 halaman
182-184mengatakan:

:
. .
: : .
. - -
.


. :
! ) :

( . :

!
: . :

: :

.

.

.
Sesungguhnya mengeraskan zikir saat selesai shalat wajib adalah sunnah, hal itu telah
diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari hadisnya Abdullah ibnu
Abbas radhiyallahu anhuma (ia mengatakan), Sesungguhnya mengeraskan zikir saat selesai
dari shalat wajib, itu telah ada di masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Ibnu Abbas
juga mengatakan, Aku tahu selesainya shalat mereka itu, saat kudengar (suara zikir keras
berjamaah) itu. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud. Hadis ini
termasuk diantara hadis-hadis utama (dalam masalah ini).
Dalam kitab shahihain, dari hadisnya al-Mughirah ibnu Syubah radhiyallahu anhu,
ia berkata,Aku pernah mendengar Nabi shallallahu alaihi wasallam jika selesai shalat
(wajib), beliaumembaca zikir l ilha illawlhu wahdah l syarka lah (al-Hadis). Dan dia
tidak akan mendengar bacaan zikir itu kecuali orang yang mengucapkannya mengeraskan
suaranya. (Bahkan) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan sekelompok ulama salaf
telah memilih pendapat (sunnahnya) mengeraskan zikir, dengan dasar dua hadis, yakni
hadisnya Ibnu Abbas dan al-Mughirah radhiyallahu anhum.
Mengeraskan zikir di sini, berlaku umum untuk semua zikir setelah shalat yang disyariatkan,
baik itu berupa tahlil, atau tasbih, atau takbir, atau tahmid. Karena umumnya redaksi hadis Ibnu
Abbas. Dan tidak ada keterangan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam yang membedakan
antara tahlil dan yang lainnya. Bahkan dalam hadisnya Ibnu Abbas dikatakan, bahwa para
sahabat dahulu tahu selesainya shalat Nabi shallallahu alaihi wasallam dengan takbir.
Keterangan ini, membantah orang yang berpendapat tidak bolehnya mengeraskan suara kecuali
pada tasbih, tahmid dan takbir.
Adapun orang yang mengatakan, bahwa mengeraskan (zikir setelah shalat) itu bidah, maka
sungguh ia salah, karena bagaimana mungkin sesuatu yang ada di zaman Nabi shallallahu alaihi
wasallam dikatakan bidah?!
Adapun orang yang mengingkari amalan mengeraskan (zikir setelah shalat ini) dengan firman-
Nya: Sebutlah (wahai Muhammad) nama Tuhanmu di dalam dirimu, dengan rendah hati dan
suara yang lirih serta tidak mengeraskan suara, ketika pagi dan petang. Dan janganlah kamu
menjadi orang yang lalai (QS. al-Araf [7]: 205). Maka bisa dijawab dengan mengatakan:
Sesungguhnya orang yang telah diperintahkan untuk berzikir dalam dirinya dengan rendah hati
dan suara lirih (yaitu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam), beliau
juga orang yang telah mengeraskan zikir setelah shalat wajib. Lalu apakah orang itu (orang yang
mengingkari zikir keras berjamaah) lebih tahu maksud Allah dalam ayat itu melebihi rasul-Nya?!
Ataukah ia beranggapan bahwa Rasululullah shallallahu alaihi wasallam sebenarnya tahu
maksud ayat itu, tapi beliau sengaja menyelisihinya?!
Adapun orang yang mengingkari amalan mengeraskan (zikir setelah shalat ini) dengan sabda
beliau shallallahu alaihi wasallam: Wahai manusia, sayangilah diri kalian, karena kalian
tidaklah berdoa kepada Dzat yang tuli! (sampai akhir hadis). Maka bisa dijawab dengan
mengatakan: Sesungguhnya orang yang menyabdakan hal itu, dia juga orang yang dulunya
mengeraskan zikir setelah shalat wajib ini. Itu berarti, tuntunan ini punya tempatnya masing-
masing, sedangkan yang itu juga ada tempatnya masing-masing. Dan sempurnanya mengikuti
sunnah beliau adalah dengan memakai semua nash yang ada, pada tempatnya masing-masing.
Adapun orang yang mengatakan bahwa amalan itu bisa mengganggu orang lain, maka bisa
dijawab dengan mengatakan padanya: Jika maksudmu akan mengganggu orang yang tidak biasa
dengan hal itu, maka hal itu akan hilang (dengan sendirinya), ketika ia tahu bahwa amalan itu
adalah sunnah.
Jika maksudmu akan mengganggu jamaah yang lain, maka jika tidak ada mamum
yang masbuq, tentu hal itu tidak akan mengganggu mereka, sebagaimana fakta di lapangan.
Karena mereka sama-sama mengeraskan zikirnya.
Adapun jika ada mamum masbuq yang sedang menyelesaikan shalatnya, maka jika ia dekat
denganmu hingga kamu bisa mengganggunya dengan (kerasnya) suara zikirmu, maka janganlah
kamu meninggikan suara dengan tingkatan suara yang bisa mengganggunya, agar kamu tidak
mengganggu shalatnya. Sedang jika ia jauh darimu, maka tentu kerasnya suara (zikir)-mu tidak
akan mengganggunya sama sekali.
Dengan keterangan yang kami sebutkan di atas, menjadi jelas bagi kita, bahwa mengeraskan
zikir setelah shalat wajib adalah sunnah. Hal itu sama sekali tidak bertentangan dengan nash
yang shahih, maupun dengan sisi pendalilan yang jelas.
Aku memohon kepada Allah, semoga Dia memberikan kita semua ilmu yang
bermanfaat dan amal shalih, sesungguhnya Dia itu maha dekat lagi maha mengabulkan
doa. Semoga Allah s.w.t. senantiasa mencurahkan shalawat dan salamnya kepada nabi kita
Muhammad, keluarganya dan sahabatnya semua. Demikian kata Syaikh Ibnu Utsaimin dalam
fatwanya.
3. Fatawa Lajnah Daimah (Fatwa-fatwa Dewan Tetap Salafi Wahabi), Lembaga Semacam
MUI di Indonesia
) :
) : (
.(
Disyariatkan untuk mengeraskan zikir setelah shalat wajib, karena adanya keterangan
yang shahih dari hadis Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, (ia mengatakan), Sesungguhnya
mengeraskan zikir saat selesai dari shalat wajib, itu telah ada di masa Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam. Ibnu Abbas juga mengatakan, Aku tahu selesainya shalat mereka itu, saat ku
dengar (suara zikir keras berjamaah) itu.
(Mengeraskan zikir setelah shalat wajib tetap disunnahkan), meski ada orang-orang yang masih
menyelesaikan shalatnya, baik mereka itu (menyelesaikan shalatnya secara) sendiri-sendiri atau
dengan berjamaah. Dan hal itu (yakni mengeraskan zikir) disyariatkan pada semua shalat wajib
yang lima waktu.
4. Fatwa Ulama Wahabi: Abdullah ibnu Muhammad Al-Ghunaiman dalam bukunya
Syarah Fath al-Majid Syarh Kitab at-Tauhid
: :
.
( : : ).
Pertanyaan: Bolehkah mengeraskan suara bacaan zikir sesudah shalat maghrib, yang dengan itu
dapat mengganggu orang-orang shalat, padahal mengeraskan zikir adalah sunnah?
Jawaban: Boleh, karena sesungguhnya Rasulullah s.a.w. dan para sahabatnyamelakukan itu,
sampai-sampai Ibnu Abbas mengabarkan bahwa, mesjid bergemuruh (oleh suara zikir). Lagi
pula, sunnah tidak boleh ditinggalkan hanya karena ada perintah yang lain. Berarti, sunnah ini
tidak boleh dikesampingkan hanya karena menggangu orang lain.[1]
5. Syaikh Sulaiman ibnu Sahman, ulama Salafi Wahabi:
:

:


(4 : ).
Syaikh Sulaiman bin Sahman menjawab (tentang mengeraskan suara zikir berjamaah),
Aku pernah melihat selembar kertas yang tidak kukenal penulisnya. Namun ketika dirasakan
dalam penukilannyaitu adanya penolakkan terhadap nash-nash mengeraskan zikirsesudah
orang-orang selesai shalat wajib, dan (si penulis) menamakan tradisi sunnah itu sebagai
mengganggu manusia,bahkan menebutnya sebagai bidah dan mengada-ngada, maka kita
katakan kepada si dungu itu: Bukanlah apa yang telah tsabit (jelas dan tetap) keshahihannya
dari Nabi s.a.w. dari sunnahnya tentang mengeraskan zikir setelah shalat wajib dikatakan sebagai
mengganggu manusia, tetapi ucapan seperti inilah yang disebut mengganggu dan menipu
manusia. Bahkan inilah sebatil-batilya kebatilan dan sebesar-besarnya kemunkaran. Karena
semua perkataannya itu (hanyalah) pembelaan untuk mencabik-cabik nash, penolakan dengan
penuh kepalsuan dan kebatilan, ocehan tanpa ilmu dan penjungkir balikkan kebenaran.
Sesungguhnya perkataan seperti itu tidak keluar dari hati orang yang mengagungkan dan
menghormati nash. (kitab ad-Durar as-Sanniyyah fi al-Kutub an-Najdiyyah jilid 4)

Anda mungkin juga menyukai