Anda di halaman 1dari 13

Hukum Mengeraskan Bacaan Dzikir Setelah Shalat Wajib

?
31 Desember 2009 pukul 11:45
Oleh: Ustadz Abu Abdillah Addariny, Lc
Pertanyaan: Assalamualaikum
Ustadz ana tanya bagaimana dng hadist berikut, Dari Ibnu Abbas : Aku mengetahui dan
mendengarnya (berdzikir dan berdoa dengan suara keras) apabila mereka selesai
melaksanakan shalat dan hendak meninggalkan masjid. (HR Bukhari dan Muslim) Ana
bingung tentang makna hadist shahih tsb, mohon penjelasannya (Penanya: Hendrik)
Kiranya sekian jawaban pertanyaan ini, penulis yakin banyak kekurangan di sana sini, tapi
penulis tetap berharap, semoga bisa memberikan kejelasan dan manfaat bagi penanya dan
siapa pun yang membacanya Wa subhanakallohumma wa bihamdika, asyhadu al la ilaha
illa anta, astaghfiruka wa atubu ilaik
Jawaban:
Waalaikum salam warohmatulloh
Bismillaah wash sholaatu wassalaamu alaa rosuulillaah wa alaa aalihia washohbihai
waman waalaah amma badu:
Hadits itu shohih, tapi hanya dalam hal dzikir saja, bukan dalam hal doa. Ana tidak tahu, dari
mana antum menambahkan kata dan berdoa dalam tarjamahan antum itu?
Hadits yang menerangkan masalah mengeraskan dzikir setelah shalat wajib, diriwayatkan
oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim, berikut teks aslinya:
:
.
Dari Ibnu Abbas ra: Sesungguhnya mengeraskan dzikir saat selesai sholat wajib, itu telah
ada di masa Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-. Ibnu Abbas juga mengatakan: Aku
tahu selesainya sholat mereka itu, saat ku dengar dzikir itu (HR. Bukhori: 796, dan Muslim:
919)
Dalam riwayat lain dikatakan:
:
Ibnu Abbas mengatakan: Aku dulu tahu selesainya sholat (jamaah) Nabi -shollallohu
alaihi wasallam- itu dengan (terdengarnya suara) takbir (HR. Bukhori: 797, dan
Muslim:917)

Akhi fillah Dalam memahami hadits, antum tidak usah bingung Di sana sudah ada
banyak kitab syarah hadits dari para ulama, baik dari yang terdahulu maupun yang datang
belakangan Jika ada pertentangan antara ulama terdahulu dengan ulama yang datang
belakangan, maka kita dahulukan tafsiran dari ulama terdahulu, karena mereka jelas lebih
tahu dalam masalah agama dari generasi yang datang setelahnya, karena mereka lebih dekat
dengan zaman Nabi, lebih suci hatinya, dan lebih dalam pemahamannya tentang syariat
Islam.
Syarah hadits di atas sudah diterangkan oleh para ulama terdahulu, diantaranya:
1. Ibnu Huzaimah
Beliau memasukkan hadits di atas dalam kitab shohih-nya, dan memberinya judul:
:
Bab: Mengeraskan takbir dan dzikir saat selesai sholat (wajib).
Ini menunjukkan, bahwa beliau memahami bolehnya mengeraskan takbir dan dzikir saat
selesai sholat wajib.
2. Imam Nawawi:
.


.
,
- - .

,

:
, , .
Hadits ini merupakan dalil pendapatnya sebagian ulama salaf, yang mengatakan
disunnahkannya mengeraskan takbir dan dzikir saat selesai sholat wajib. Diantara
mutaakhkhirin yang juga men-sunnah-kannya adalah Ibnu Hazm azh-Zhohiri.
Tapi Ibnu Baththol dan para ulama lainnya menukil, bahwa para ulama madzhab yang diikuti
dan yang lainnya sepakat dengan pendapat tidak disunnahkannya mengangkat suara ketika
dzikir dan takbir.
(Sedang) Imam Syafii -rohimahulloh-, beliau memaknai hadits ini dengan mengatakan:
bahwa beliau -shollallohu alaihi wasallam- dahulu mengeraskannya hanya untuk sementara
waktu saja, dengan tujuan mengajari para sahabatnya cara berdzikir, bukan berarti mereka
mengeraskannya secara terus menerus. Imam Syafii mengatakan: Saya memilih (pendapat)
untuk imam dan mamum, agar mereka membaca dzikir setelah sholat dengan melirihkan
suara, kecuali untuk imam yang ingin agar para mamumnya bisa belajar darinya, maka boleh
baginya mengeraskan suaranya, hingga jika ia melihat para mamum telah belajar darinya, ia
melirihkan kembali suaranya. Dan beliau memaknai hadits tersebut dengan ini. (Syarah
Shohih Muslim lin Nawawi).

3. al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani, ketika men-syarah hadits di atas beliau mengatakan:


Dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya mengeraskan dzikir setelah sholat (Fathul Bari).
4. Ibnu Daqiq al-Id, juga menyatakan hal yang sama:

Dalam hadits ini, terdapat dalil bolehnya mengeraskan dzikir setelah sholat, dan takbir secara
khusus termasuk dalam kategori dzikir. (Ihkamul Ahkam Syarah Umdatul Ahkam)
Adapun ulama kontemporer, diantara mereka yang membicarakan masalah ini adalah:
1. Syeikh Bin Baz mengatakan dalam fatwanya:

.( )


.

: .
.
.
Telah disebutkan dalam kitab shohihain (shohih bukhori & shohih Muslim), dari riwayatnya
Ibnu Abbas -rodliallohu anhuma- (ia mengatakan): Sesungguhnya mengeraskan dzikir saat
selesai dari sholat wajib, itu telah ada di masa Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-.
Ibnu Abbas juga mengatakan: Aku tahu selesainya sholat mereka itu, saat ku dengar (suara
dzikir) itu.
Hadits yang shohih ini, dan hadits-hadits lain yang semakna dengannya, seperti hadits
riwayat Ibnuz Zubair, dan Al-Mughiroh bin Syubah -rodliallohu anhuma-, semuanya
menunjukkan disyariatkannya mengeraskan dzikir ketika orang-orang selesai sholat wajib,
yang kira-kira sampai terdengar oleh orang-orang yang berada di pintu-pintu dan di sekitar
masjid, sehingga mereka tahu selesainya sholat (jamaah) dengan (kerasnya suara dzikir) itu.
(Tapi) bagi orang yang didekatnya ada orang lain yang sedang menyelesaikan sholatnya,
maka sebaiknya ia memelankan sedikit suaranya, agar tidak mengganggu mereka, karena
adanya dalil-dalil lain yang menerangkan hal itu.
Dalam tuntunan mengeraskan dzikir ketika para jamaah selesai sholat wajib ini, ada banyak
manfaat, diantaranya:
a. Menampakkan pujian kepada Alloh taala yang telah memberikan mereka kenikmatan bisa
menjalankan kewajiban yang agung ini.

b. (Sebagai sarana untuk) mengajari orang yang jahil dan mengingatkan orang yang lupa. Jika
saja tidak ada hal itu, tentunya sunnah ini akan jadi samar bagi banyak orang. Wallohu
waliyyut taufiq.
2. Syeikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin, mengatakan dalam risalahnya:

:
. .
: :
. . - -
.



. :
! ) :
( . :



! : .
:
: :


.
.


Mengeraskan dzikir saat selesai sholat wajib adalah sunnah, hal itu telah diterangkan dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, dari haditsnya Abdulloh bin Abbas
-rodliallohu anhuma- (ia mengatakan): Sesungguhnya mengeraskan dzikir saat selesai dari
sholat wajib, itu telah ada di masa Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-. Ibnu Abbas
juga mengatakan: Aku tahu selesainya sholat mereka itu, saat ku dengar (suara dzikir) itu.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud. Hadits ini termasuk
diantara hadits-hadits utama (dalam masalah ini).
Dalam kitab shohihain, dari haditsnya al-Mughiroh bin Syubah -rodliallohu anhu-, ia
mengatakan: Aku pernah mendengar Nabi -shollallohu alaihi wasallam- jika selesai sholat
(wajib), ia membaca dzikir: la ilaaha illalloohu wahdahuu laa syariika lah (hingga
akhir hadits). Dan dia tidak akan mendengar bacaan dzikir itu, kecuali orang yang
mengucapkannya mengeraskan suaranya. (Bahkan) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
)-rohimahulloh- dan sekelompok ulama salaf telah memilih pendapat (sunnahnya
mengeraskan dzikir, dengan dasar dua hadits, yakni haditsnya Ibnu Abbas dan al-Mughiroh
-rodliallohu anhum-.
Mengeraskan dzikir di sini, berlaku umum untuk semua dzikir setelah sholat yang
disyariatkan, baik itu berupa tahlil, atau tasbih, atau takbir, atau tahmid. Karena umumnya
redaksi hadits Ibnu Abbas. Dan tidak ada keterangan dari Nabi -shollallohu alaihi wasallam-

yang membedakan antara tahlil dan yang lainnya. Bahkan dalam haditsnya Ibnu Abbas
dikatakan, bahwa para sahabat dahulu tahu selesainya sholat Nabi -shollallohu alaihi
wasallam- dengan takbir. Keterangan ini, membantah orang yang berpendapat tidak bolehnya
mengeraskan suara kecuali pada tasbih, tahmid dan takbir.
Adapun orang yang mengatakan, bahwa mengeraskan (dzikir setelah sholat) itu bidah, maka
sungguh ia salah (dalam hal ini), karena bagaimana mungkin sesuatu yang ada di zaman Nabi
-shollallohu alaihi wasallam- dikatakan bidah?!
Adapun orang yang mengingkari amalan mengeraskan (dzikir setelah sholat ini) dengan
firman-Nya:
Sebutlah (wahai Muhammad) nama Tuhanmu di dalam dirimu, dengan rendah hati dan
suara yang lirih serta tidak mengeraskan suara, ketika awal dan akhir hari. Dan janganlah
kamu menjadi orang yang lalai (al-Arof: 205).
Maka bisa dijawab dengan mengatakan: Sesungguhnya yang diperintah untuk berdzikir
dalam diri dengan rendah hati dan suara lirih (yaitu Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam),
beliau juga yang dulunya mengeraskan dzikir setelah sholat wajib. Lalu apakah orang itu
lebih tahu maksud Alloh dalam ayat itu melebihi rosul-Nya?! Ataukah ia beranggapan bahwa
Rosul -shollallohu alaihi wasallam- sebenarnya tahu maksud ayat itu, tapi beliau sengaja
menyelisihinya?!
Adapun orang yang mengingkari amalan mengeraskan (dzikir setelah sholat ini) dengan
sabda beliau -shollallohu alaihi wasallam-:
Wahai manusia, sayangilah diri kalian, karena kalian tidaklah berdoa kepada Dzat yang
tuli! (sampai akhir hadits).
Maka bisa dijawab dengan mengatakan: Sesungguhnya orang yang menyabdakan hal itu, dia
juga yang dulunya mengeraskan dzikir setelah sholat wajib ini. Itu berarti, tuntunan ini punya
tempat sendiri, sedangkan yang itu juga ada tempatnya sendiri. Dan sempurnanya mengikuti
sunnah beliau adalah dengan memakai semua nash yang ada, pada tempatnya masing-masing.
Adapun orang yang mengatakan bahwa amalan itu bisa mengganggu orang lain, maka bisa
dijawab dengan mengatakan padanya:
Jika maksudmu akan mengganggu orang yang tidak biasa dengan hal itu, maka hal itu akan
hilang (dengan sendirinya), ketika ia tahu bahwa amalan itu adalah sunnah.
Jika maksudmu akan mengganggu jamaah yang lain, maka jika tidak ada mamum yang
masbuq, tentu hal itu tidak akan mengganggu mereka, sebagaimana fakta di lapangan. Karena
mereka sama-sama mengeraskan dzikirnya.
Adapun jika ada mamum masbuq yang sedang menyelesaikan sholatnya, maka jika ia dekat
denganmu hingga kamu bisa mengganggunya dengan (kerasnya) suara dzikirmu, maka
janganlah kamu meninggikan suara dengan tingkatan suara yang bisa mengganggunya, agar
kamu tidak mengganggu sholatnya. Sedang jika ia jauh darimu, maka tentu kerasnya suara
(dzikir)-mu tidak akan mengganggunya sama sekali.

Dengan keterangan yang kami sebutkan di atas, menjadi jelas bagi kita, bahwa mengeraskan
dzikir setelah sholat wajib adalah sunnah. Hal itu sama sekali tidak bertentangan dengan nash
yang shohih, maupun dengan sisi pendalilan yang jelas.
Aku memohon kepada Alloh, semoga Dia memberikan kita semua ilmu yang bermanfaat dan
ilmu yang baik, sesungguhnya Dia itu maha dekat lagi maha mengabulkan doa. (Ditulis pada
15/06/1409)
3. Fatawa Lajnah Daimah
) :
) : (
(

.
Disyariatkan untuk mengeraskan dzikir setelah sholat wajib, karena adanya keterangan yang
shohih dari hadits Ibnu Abbas -rodliallohu anhuma-, (ia mengatakan):
Sesungguhnya mengeraskan dzikir saat selesai dari sholat wajib, itu telah ada di masa
Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-. Ibnu Abbas juga mengatakan: Aku tahu
selesainya sholat mereka itu, saat ku dengar (suara dzikir) itu.
(Mengeraskan dzikir setelah sholat wajib tetap disunnahkan), meski ada orang-orang yang
masih menyelesaikan sholatnya, baik mereka itu (menyelesaikan sholatnya secara) sendirisendiri atau dengan berjamaah. Dan hal itu (yakni mengeraskan dzikir) disyariatkan pada
semua sholat wajib yang lima waktu
Adapun mengeraskan doa dan membaca Alquran secara jamai (bersama-sama), maka hal
ini tidak pernah ada tuntunannya dari Rosul -shollallohu alaihi wasallam-, maupun dari para
sahabat beliau. (Oleh karena itu), perbuatan itu termasuk bidah.
Adapun jika ia berdoa untuk dirinya sendiri, atau membaca quran sendiri dengan suara tinggi,
maka hal itu tidak mengapa, asal tidak mengganggu orang lain

Kesimpulan:
1. Hadits diatas adalah hadits shohih, telah diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam
Muslim dalam dua kitab shohihnya.
2. Makna hadits diatas menunjukkan disyariatkannya mengeraskan dzikir yang dituntunkan
untuk dibaca setelah jamaah sholat wajib.
3. Dzikir secara umum sunnahnya dilirihkan, sebagaimana firman-Nya: Ingatlah Tuhanmu
dalam dirimu dengan rendah hati, dan rasa takut, serta tanpa mengeraskan suara (al-Arof:
205), kecuali bila ada dalil yang meng-khususkan dzikir tertentu untuk dikeraskan, seperti

hadits di atas.
4. Tidak ada ulama salaf yang mengatakan bahwa hadits di atas merupakan dalil bolehnya
dzikir jamai ataupun doa jamai.
5. Imam Syafii berpendapat, bahwa mengeraskan dzikir setelah jamaah sholat wajib lima
waktu, tidak sesuai sunnah. Beliau mentakwil hadits di atas dengan mengatakan bahwa hal
itu hanya dilakukan oleh Rosululloh -sholallallohu alaihi wasallam- untuk sementara waktu
saja, karena tujuan mengajari para sahabatnya. Oleh karenanya beliau hanya membolehkan
mengeraskan dzikir yang dibaca setelah jamaah sholat wajib ketika ada tujuan itu, jika tidak
ada tujuan itu, maka sunnahnya dilirihkan. Pendapat ini juga dipilih oleh Imam Nawawi dan
Syeikh Albani -rohimahumulloh-.
6. Bahkan Ibnu Baththol, sebagaimana dinukil oleh Imam nawawi mengatakan, bahwa para
ulama madzhab yang diikuti dan yang lainnya sepakat dengan pendapat tidak
disunnahkannya mengangkat suara ketika dzikir dan takbir setelah sholat wajib.
7. Adapun penulis -yang miskin ilmu ini-, lebih menguatkan pendapat disunnahkannya
mengeraskan dzikir yang dituntunkan untuk dibaca setelah jamaah sholat wajib, karena
beberapa alasan:
a. Dhohir lafal hadits di atas secara tegas mengatakan, bahwa pada zaman Nabi -shollallohu
alaihi wasallam- para sahabat mengeraskan dzikir setelah jamaah sholat wajib, tanpa ada
batasan keadaan tertentu. Padahal sesuai kaidah ushul fikih, makna dhohir itu harus
didahulukan dan diamalkan, kecuali ada dalil kuat yang me-nasakh-nya, atau men-takhshishnya atau men-takwil-nya.
b. Tidak adanya dalil kuat yang menerangkan, bahwa dikeraskannya dzikir setelah sholat
wajib itu hanya untuk sementara waktu saja.
c. Memakai dua dalil tentang melirihkan dan mengeraskan dzikir secara bersamaan, pada
tempatnya masing-masing, lebih utama dari pada hanya memakai dalil tentang sunnahnya
dzikir dengan melirihkan suara saja, lalu men-takhsis dalil tentang mengeraskan dzikir di atas
untuk keadaan tertentu saja Karena bagaimanapun juga mengamalkan dua dalil secara
lebih sempurna itu lebih baik, dari pada hanya mengamalkan satu dalil saja, sedang dalil yang
lain tidak dipakai kecuali dalam keadaan tertentu saja
Wallohu alam.

DZIKIR-DZIKIR SETELAH SHALAT FARDHU (Shifat


Shalat Nabi )
4 November 2010 pukul 19:18

BERDZIKIR SESUDAH SHALAT FARDHU


Secara Umum Jenis dzikir ada dua
1.MUTHLAQ
Atau dzikir-dzikir yang sifatnya muthlaq, yaitu dzikir di setiap keadaan baik berbaring, duduk
dan berjalan sebagaimana diterangkan oleh A`isyah bahwa beliau berdzikir di setiap keadaan
(HR. Muslim). Akan tetapi tidak boleh berdzikir/menyebut nama Allah di tempat-tempat
yang kotor dan najis seperti kamar mandi atau wc.

2. MUQAYYAD
Di dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah diterangkan tentang keutamaan berdzikir kepada Allah,
baik yang sifatnya muqayyad (tertentu dan terikat dengan Ibadah tertentu, misal
SESUDAH Shalat Fardhu), yakni waktu, bilangan dan Tatacaranya terikat sesuai dengan
keterangan dalam Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah ,
Tidak boleh bagi kita untuk menambah atau mengurangi bilangannya, atau menentukan
waktunya tanpa dalil, atau membuat cara-cara berdzikir tersendiri tanpa disertai dalil
baik dari Al-Qur`an ataupun hadits yang shahih/hasan,
Seperti berdzikir secara berjamaah dengan komando salah seorang Imam/Jamaah
apalagi Dengan Suara yg Keras.
Firman Allah,

Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa
takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah
kamu termasuk orang-orang yang lalai. (Al-Araaf:205)

(lebih jelasnya lihat kitab Al-Qaulul Mufiid fii Adillatit Tauhiid, Al-Ibdaa fii Kamaalisy
Syari wa Khatharul Ibtidaa, Bidahnya Dzikir Berjamaah, dan lain-lain).

"DZIKIR-DZIKIR SETELAH SALAM DARI SHALAT WAJIB berdasarkan dalil


Shahih"
Diantara dzikir-dzikir yang sifatnya muqayyad adalah dzikir setelah salam dari shalat wajib.
Ibnu Umar berkata:

Sungguh aku telah melihat Rasulullah menekuk tangan (yaitu jarinya) ketika
mengucapkan dzikir-dzikir tersebut.
Setelah selesai mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri, kita disunnahkan berdzikir, yaitu
sebagai berikut:
1. Membaca:






"Astaghfirullah 3X"
"Allahumma antassalam waminkassalam tabarakta Ya Dzaljalali wal ikram"

Aku meminta ampunan kepada Allah (tiga kali). Ya Allah, Engkaulah As-Salaam (Yang
selamat dari kejelekan-kejelekan, kekurangan-kekurangan dan kerusakan-kerusakan) dan
dari-Mu as-salaam (keselamatan), Maha Berkah Engkau Wahai Dzat Yang Maha Agung dan
Maha Baik. (HR. Muslim 1/414)

2. Membaca:

, ,

"Laa ilaaha Illallahu wahdahu laa syarikalahu, lahul mulku walahul Hamdu wahuwa
'alaa kulli syai-inq qodir, Allahumma laa mani 'aa lima a' thoita wala mughthiya lima
managhta wala yanfa'u dzaljaddi minkal jaddu"
Tiada tuhan yang berhak diibadahi selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya segala
kerajaan, dan pujian, dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, tidak ada yang
dapat menolak terhadap apa yang Engkau beri dan tidak ada yang dapat memberi terhadap
apa yang Engkau tolak dan orang yang memiliki kekayaan tidak dapat menghalangi dari
siksa-Mu. (HR. Al-Bukhariy 1/255 dan Muslim 414)

3. Membaca:



"Laa ilaaha Illallahu wahdahu laa syarikalahu, lahul mulku walahul Hamdu wahuwa
'alaa kulli syai-inq qodir, laa haula wala Quwwata illa billah, laa ilaaha illallahu wala
na'budhu illa iyyahu, lahun ni'matu walahul fadhlu walahus sana'ul hasan, laa ilaaha
illallahu mukhlisina lahuddin walau karihal khafirun"

Tiada tuhan yang berhak diibadahi selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya segala
kerajaan, dan pujian, dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Tiada daya dan upaya
serta kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah dan kami tidak beribadah kecuali kepada
Allah, milik-Nya-lah segala kenikmatan, karunia, dan sanjungan yang baik, tiada tuhan yang
berhak diibadahi selain Allah, kami mengikhlashkan agama untuk-Nya walaupun orangorang kafir benci. (HR. Muslim 1/415)

4. Membaca:

Subhaanallahu 33X"
"Maha Suci Allah. (tiga puluh tiga kali)


Alhamdulillah 33X"
"Segala puji bagi Allah. (tiga puluh tiga kali)



Allahu Akbar 33"
Allah Maha Besar. (tiga puluh tiga kali)

Kemudian dilengkapi menjadi seratus dengan membaca,



,

"Laa ilaaha Illallahu wahdahu laa syarikalahu, lahul mulku walahul Hamdu wahuwa
'alaa kulli syai-inq qodir"

Tiada tuhan yang berhak diibadahi selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya segala
kerajaan, dan pujian, dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu.

Barangsiapa mengucapkan dzikir ini setelah selesai dari setiap shalat wajib, maka
diampuni dosa-dosanya walaupun sebanyak buih di lautan. (HR. Muslim 1/418 dari Abu
Hurairah radhiyallahu anhu)

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhu dari Nabi , beliau bersabda,
Ada dua sifat (amalan) yang tidaklah seorang muslim menjaga keduanya (yaitu senantiasa
mengamalkannya, pent) kecuali dia akan masuk jannah, dua amalan itu (sebenarnya)
mudah, akan tetapi yang mengamalkannya sedikit, (dua amalan tersebut adalah):
mensucikan Allah Taala setelah selesai dari setiap shalat wajib sebanyak sepuluh kali
(maksudnya membaca Subhaanallaah), memujinya (membaca Alhamdulillaah) sepuluh kali,
dan bertakbir (membaca Allaahu Akbar) sepuluh kali, maka itulah jumlahnya 150 kali
(dalam lima kali shalat sehari semalam, pent) diucapkan oleh lisan, akan tetapi menjadi
1500 dalam timbangan (di akhirat).
Dan amalan yang kedua, bertakbir 34 kali ketika hendak tidur, bertahmid 33 kali dan
bertasbih 33 kali (atau boleh tasbih dulu, tahmid baru takbir, pent), maka itulah 100 kali
diucapkan oleh lisan dan 1000 kali dalam timbangan.

Para shahabat bertanya, Ya Rasulullah, bagaimana dikatakan bahwa kedua amalan tersebut
ringan/mudah akan tetapi sedikit yang mengamalkannya?

Rasulullah menjawab, Syaithan mendatangi salah seorang dari kalian


ketika hendak tidur, lalu menjadikannya tertidur sebelum mengucapkan dzikir-dzikir
tersebut, dan syaithan pun mendatanginya di dalam shalatnya (maksudnya setelah shalat),
lalu mengingatkannya tentang keperluannya/kebutuhannya (lalu dia pun pergi) sebelum
mengucapkannya.
(Hadits Shahih Riwayat Abu Dawud no.5065, At-Tirmidziy no.3471, An-Nasa`iy 3/7475, Ibnu Majah no.926 dan Ahmad 2/161,205, lihat Shahiih Kitaab Al-Adzkaar, karya
Asy-Syaikh Salim Al-Hilaliy 1/204)

Kita boleh berdzikir dengan kalimat tasbih, tahmid dan takbir masing-masing 33 kali
dengan ditambah Kalimat tahlil satu kali atau masing-masing 10 kali (ketika waktu
kita sempit, misal ada keperluan), asalkan istiqomah, JANGAN SAMPAI TDK
BERDZIKIR SAMA SEKALI SETELAH SHALAT FARDHU.

Hadits ini selayaknya diperhatikan oleh kita semua, jangan sampai amalan yang
sebenarnya mudah, tidak bisa kita amalkan.

Tentunya amalan/ibadah semudah apapun tidak akan terwujud kecuali dengan pertolongan
Allah. Setiap beramal apapun seharusnya kita meminta pertolongan kepada Allah, dalam
rangka merealisasikan firman Allah,

Hanya kepada Engkaulah kami beribadah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta
pertolongan. (Al-Faatihah:4)

5. Membaca surat Al-Ikhlaash, Al-Falaq dan An-Naas satu kali setelah shalat Zhuhur,
Ashar dan Isya`.
Adapun setelah shalat Maghrib dan Shubuh dibaca tiga kali.
(HR. Abu Dawud 2/86 dan An-Nasa`iy 3/68, lihat Shahiih Sunan At-Tirmidziy 2/8, lihat juga
Fathul Baari 9/62)

6. Membaca ayat kursi yaitu surat Al-Baqarah: 255


Barangsiapa membaca ayat ini setiap selesai shalat tidak ada yang dapat mencegahnya masuk
jannah kecuali maut. (HR. An-Nasa`iy dalam Amalul yaum wal lailah no.100, Ibnus Sunniy
no.121 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albaniy dalam Shahiihul Jaami 5/339 dan Silsilatul
Ahaadiits Ash-Shahiihah 2/697 no.972)

7. Membaca:

"Allahumma a"inni "alaa dzikrika wasyukrika wahusni "ibadatika"
Sebagaimana diterangkan dalam hadits Muadz bin Jabal radhiyallahu anhu bahwasanya
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memegang kedua tangannya dan berkata, Ya
Muadz, Demi Allah, sungguh aku benar-benar mencintaimu. Lalu beliau bersabda, Aku
wasiatkan kepadamu Ya Muadz, janganlah sekali-kali engkau meninggalkan di setiap
selesai shalat, ucapan... (lihat di atas):

Ya Allah, tolonglah aku agar senantiasa mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu dan


beribadah dengan baik kepada-Mu. (HR. Abu Dawud 2/86 dan dishahihkan oleh AsySyaikh Al-Albaniy dalam Shahiih Sunan Abi Dawud 1/284)
Doa ini bisa dibaca setelah tasyahhud dan sebelum salam atau setelah salam. (Aunul
Mabuud 4/269)

8. Membaca:

,
Tiada tuhan yang berhak diibadahi selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya segala
kerajaan, dan pujian, yang menghidupkan dan mematikan dan Dia Maha Berkuasa atas
segala sesuatu.
Dibaca sepuluh kali setelah shalat Maghrib dan Shubuh. (HR. At-Tirmidziy 5/515 dan Ahmad
4/227, lihat takhrijnya dalam Zaadul Maaad 1/300)

9. Membaca:

Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik dan
amal yang diterima. Setelah salam dari shalat shubuh. (HR. Ibnu Majah, lihat Shahiih
Sunan Ibni Maajah 1/152 dan Majmauz Zawaa`id 10/111)
Semoga kita diberikan taufiq oleh Allah sehingga bisa mengamalkan dzikir-dzikir ini, aamiin.
Wallaahu Alam.
Maraaji: Hishnul Muslim, karya Asy-Syaikh Said bin Ali bin Wahf Al-Qahthaniy, Shahiih
Kitaab Al-Adzkaar wa Dhaiifihii, karya Asy-Syaikh Salim Al-Hilaliy dan Al-Kalimuth
Thayyib, karya Ibnu Taimiyyah.

Anda mungkin juga menyukai