Anda di halaman 1dari 12

MUKADIMAH

Untuk memahami Sunah dengan pemahaman yang benar, kita harus memahaminya sesuai dengan
petunjuk Alquran, yaitu dalam kerangka bimbingan ilahi yang pasti benarnya dan tidak diragukan lagi
keadilan-Nya. Karena itu, penjelasan yang bersumber dari Nabi saw. senantiasa berkisar di seputar
Alquran dan tidak mungkin melanggarnya.
Dengan demikian, tidak mungkin ada Sunah yang berlawanan, bertentangan baik dengan Alquran
maupun Sunah lainnya. Dan kalaupun ada sebagian dari kita memperkirakan adanya pertentangan
seperti itu, maka hal itu pasti disebabkan tidak sahihnya hadis yang bersangkutan atau pemahaman kita
yang tidak tepat, ataupun apa yang diperkirakan sebagai pertentangan itu hanyalah bersifat semu
(taarudh), dan bukanlah pertentangan hakiki (tanaqudh). Karena itu, bertindak secara tergesa-gesa,
dengan menolak beberapa dalil dengan alasan semata-mata karena seperti bertentangan adalah
tindakan yang kurang bijaksana, yang tidak akan dilakukan oleh orang-orang yang mendalam ilmunya.
Salah satu contoh yang paling jelas mengenai itu adalah dalil-dalil yang menerangkan tata cara turun ke
sujud. Satu hadis bersifat khabariyyah (informatif) menyatakan bahwa Rasulullah mendahulukan lutut
sebelum tangannya ketika hendak turun ke sujud, sementara hadis lainnya bersifat insyaiyyahi (intruktif)
menerangkan bahwa beliau memerintahkan untuk mendahulukan tangan sebelum lutut.
Karakteristik nash demikian menyebabkan terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam
mensikapi persoalan tersebut. Kasus burukul ba'ir ini kalau diteliti secara ilmiah dalam berbagai kitab
yang telah disusun para ulama mutaqaddimin (terdahulu) bukanlah masalah baru, tetapi persoalannya
sudah berkembang sejak lama. Masalah ini telah dibahas oleh para ulama yang masyhur, seperti alBukhari, Imam Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, al-Mundziri, Ibnu Hajar, Ibnu Qayyim, dan lain-lain.
Dalam hal burukul ba'ir ini Ibnu Hajar berpendapat bahwa hadis Abu Huraerah (mendahulukan
tangan) lebih kuat daripada hadis Wail (mendahulukan lutut) (Lihat, Bulughul Maram, hal. 155).
Sedangkan menurut Ibnu Sayyidinas hadis Abu Huraerah layak dikategorikan sebagai hadis yang
berderajat hasan karena para rawinya selamat dari kecacatan. (Lihat, Taudhih al-Ahkam, II:257)
Sementara di lain pihak, al-Bukhari, ad-Daraquthni, dan lain-lain berpendapat bahwa hadis Abu
Huraerah mengandung ilat. Ibnu Qayyim memberikan penilaian bahwa hadis Wail lebih utama dilihat
dari berbagai aspek. Ibnul Mundzir berkata, Sebagian di antara sahabat kami telah menduga bahwa
menempatkan kedua tangan sebelum kedua lutut itu mansukh (terhapus). Lihat, Zadul Maad, I:215 .
Muhamad Syamsul Haq berkata, Mayoritas ulama berpendapat demikian (mendahulukan lutut), dan
al-Qadhi Abut Thayyib menghikayatkan (pendapat demikian juga) dari mayoritas ahli fiqih. Ibnul
Mundzir menghikayatkannya sebagai pendapat Umar bin Khatab, an-NakhaI, Muslim bin Yasar, Sufyan
ats-Tsauri, Ahmad, Ishaq, dan Ashhabur rayi (madzhab rasional), dan ia berkata, saya pun
berpendapat demikian. Aunul Mabud III:48
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, tidak berlebihan kiranya kalau penulis menarik
kesimpulan bahwa hadis-hadis tentang burukul ba'ir ini berada pada posisi yang belum jelas. Karena itu
sudah dapat dipastikan bahwa kedudukan dan kepastian hukumnya pun demikian adanya.
Penulis berpendapat bahwa masalah ini sangat penting untuk diselidiki secara ilmiah, walaupun
masalah burukul ba'ir ini sudah diamalkan oleh sebagian umat Islam, dan pada umumnya mereka
beranggapan bahwa dalil-dalil tentang keduanya sahih dan tidak dipertentangkan lagi oleh para ulama,
tapi kalau masalah ini terus diteliti dan dianalisa ternyata tidak demikian adanya, mengingat:
a) Dalil-dalil tentang burukul ba'ir ini keshahihannya perlu ditinjau kembali, karena ada beberapa
ulama yang berpendapat bahwa hadis-hadis yang berhubungan dengan itu semuanya dhaif.
b) Hadis-hadis yang menerangkan burukul ba'ir disamping diikhtilafkan shahih dan dhaifnya, juga
hadis-hadis semacam itu hanya terdapat dalam kitab-kitab Sunan, Mustadrak dan Mu'jam saja,
tetapi tidak terdapat dalam kitab Bukhari dan Muslim.
Berdasarkan pemikiran-pemikiran di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hadis-hadis yang berkaitan
dengan burukul ba'ir keabsahannya perlu diteliti lebih lanjut, sehingga dapat dipastikan kedudukannya.

TAKHRIJ HADIS-HADIS
HADIS PERTAMA: MENDAHULUKAN LUTUT


:

:



Dari Wail bin Hujr, ia berkata, Aku melihat Rasulullah saw. bila hendak sujud beliau menyimpan

kedua lututnya sebelum kedua tangannya, dan bila bangkit beliau mengangkat kedua tangnnya sebelum
kedua lututnya.
Hadis ini di riwayatkan oleh At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi II:56; Al-Khatib Al-Bagdadi, Maudhihu
Auhamil jamI Wat Tafriqi II:433; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah I:318; Ad-Daraquthni,
Sunan Ad-Daraquthni I:345; At-Tabrani, Al-Mujamul kabir XII:39-40; Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi
I:303; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah I:477-478; Ibnu Hiban, Al-Ihsan Bi tartibi Shahibni Hibban
III:190; Abu Daud, Sunan Abu Daud I:193; An Nasai, Sunan An-Nasai II:553, II:584; As-Sunanul Kubra
I:229, I:247; Al-Baihaqi, As-Sunanus Sagir I:136; As-Sunanul Kubra II:98. Semuanya melalui seorang rawi
bernama Syarik bin Abdullah an-Nakhai
a. Mutabi:

1. (Abu Daud berkata) telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mamar, Hajaj bin Minhal
telah menghabarkan kepada kami, Hamam telah menghabarkan kepada kami, Muhammad bin
Jahadah telah menghabarkan kepada kami, dari Abdul Jabbar bin Wail, dari ayahnya (Wail);
Sesungguhnya Nabi saw. -Maka Wail menerangkan hadis salat- ia berkata, Maka ketika beliau
hendak sujud kedua lututnya kena pada tanah sebelum kedua telapak tangannya. H.r. Abu Daud,
Aunul Mabud III : 48

2. (Abu Daud berkata) Muhammad bin Mamar telah menceritakan kepada kami, Hajaj bin Minhal
telah menghabarkan kepada kami, Hamam telah menghabarkan kepada kami dan berkata, Syaqiq
telah menghabarkan kepada kami, Ashim bin Kulaib telah menceritakan kepadaku, dari ayahnya
(Kulaib bin Syihab), dari Nabi saw. ... (seperti hadis di atas). (Ibid.,)
b. Syahid


...
:






1. Dari Anas bin malik, ia berkata, Aku melihat Rasulullah saw. bertakbir... Kemudian beliau turun (ke
sujud) sambil bertakbir sehingga kedua lututnya mendahului kedua tangannya. H.r. Al Baihaqi, As
Sunanul Kubra II : 99; Ad Daraqutni, Sunan Ad Daraqutni I : 345; Al Hakim, Al Mustadrak I: 226.
Lafadz hadis di atas adalah lafadz Al Baihaqi.

2. Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw. ia bersabda, Apabila seseorang di anatara kamu sujud, maka

mulailah dengan kedua lututnya sebelum kedua tangannya dan janganlah menderum seperti
menderumnya unta. H.r. Al Baihaqi, As Sunanul Kubra II : 100 dan Ibnu Abu Syaibah, alMushannaf, I :295)

Amaliyah Sahabat

1. Dari Ibrahim, bahwasa Umar menempatkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya. H.r. Ibnu
Abu Syaibah, al-Mushannaf, I : 295 dan Abdur Razak , al-Mushannaf, II : 177


2. Dari Nafi, Sesungguhnya Ibnu Umar bila hendak sujud menempatkan kedua lututnya sebelum kedua
tangannya dan bila bangkit mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya. H.r. Ibnu Abu
Syaibah, al-Mushannaf I : 295

HADIS KEDUA: MENDAHULUKAN TANGAN

Dari Abu Huraerah, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, Apabila seseorang hendak sujud, maka
janganlah menderum seperti menderumnya unta, dan hendaklah ia menempatkan kedua tangannya
sebelum kedua lututnya.
Hadis ini di riwayatkan oleh Al-Baihaqi, As-Sunanul Kubra II:99-100; Abu Daud, Sunan Abu Daud,
I:193; Ahmad, Al-Musnad III:325; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni I:344 & 345; Ad-Darimi, Sunan
Ad-Darimi I:303; An-Nasai, As-Sunanul Kubra I:229, semuanya melalui seorang rawi bernama Abdul
Aziz bin Muhamad Ad-Darawardi.
Mutabi:

Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw. bersabda, Seseorang di antara kamu bersandar kemudian ia
menderum dalam salatnya sebagaimana menderumnya unta. H.r. At Tirmidzi, Tuhfatul Ahwadzi II :
136 dan Abu Daud, Aunul Mabud III : 51
Syahid:

Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Rasulullah saw. bila hendak sujud, beliau menempatkan kedua
tangannya sebelum kedua lututnya. H.r. Ad-Daraquthni, Sunan Ad Daraquthni I : 27
Amaliyah sahabat:

- -

Dari Nafi, dari Ibnu Umar, sesungguhnya ia menempatkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.
H.r. Ibnu Khuzaimah, Ad-Daraquthni, At-Thahawi, Al-Hakim, Al-Baihaqi.

STATUS HADIS MENDAHULUKAN LUTUT


KOMENTAR PARA ULAMA TERHADAP HADIS PERTAMA

A. Pembelaan

At-Tirmidzi berkata, Ini hadis hasan gharib, kami tidak mengetahui seorangpun yang meriwayatkannya
seperti ini dari Syarik, dan hadis ini menjadi landasan pengamalan menurut mayoritas ahli ilmu yang
berpendapat bahwa seseorang hendaklah menempatkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya (ketika
hendak sujud) dan apabila bangkit mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya Sunan AtTirmidzi II:56
Dalam Nailul Authar (II:281) dengan redaksi

Ini hadis hasan gharib, kami tidak mengetahui seorangpun yang meriwayatkannya selain Syarik

:






38 :1

An-Nawawi berkata, Sulit untuk mentarjih salah satu di antara dua madzhab, namun penganut madzhab
ini menyatakan bahwa hadis Wail lebih rajih (kuat) dan mereka berkata, Pada riwayat Abu Huraerah
(mendahulukan tangan) terjadi idtirab karena telah diriwayatkan dari Abu Huraerah dalam dua versi
Subulus Salam I:38

Al-Khathabi dan lainnya berkata, Hadis Wail bin Hujr lebih Shahih daripada hadis Abu Huraerah
Zadul Maad, I:411
Setelah menganalisa berbagai penilaian, Ibnu Qayyim berpendapat: Hadis Wail lebih utama dilihat dari
berbagai aspek;

Pertama: Hadis Wail lebih tsabit (kokoh kepastian adanya) sebagaimana dinyatakan al-Khathabi dan
lainnya.
Kedua: Hadis Abu Huraerah mudhtaribul matan (ketidakpastian redaksi) sebagaimana keterangan
terdahulu, karena di antara para rawi dari Abu Huraerah ada yang menyatakan bahwa sabda Nabi itu:

dan hendaklah ia menempatkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya. Ada pula yang
menyatakan sebaliknya. Dan ada pula yang menyatakan

dan hendaklah ia menempatkan kedua tangannya di atas kedua lututnya.


Ketiga: Keterangan terdahulu, yaitu pernyataan al-Bukhari, ad-Daraquthni, dan lain-lain bahwa hadis
tersebut mengandung ilat
Keempat: Andaikata hadis tersebut tsabit, sungguh sekelompok ahli ilmu mendakwakan bahwa hadis
tersebut mansukh. Ibnul Mundzir berkata, Sebagian di antara sahabat kami telah menduga bahwa
menempatkan kedua tangan sebelum kedua lutut itu mansukh (terhapus)
Kelima: Hadis Wail sesuai dengan larangan Nabi tidak menderum seperti menderumnya unta, hal itu
berbeda dengan hadis Abu Huraerah.
Keenam: Hadis Wail sesuai dengan riwayat amaliah shahabat, seperti Umar, Ibnu Umar, dan Ibnu
Masud, dan tidak ada satupun riwayat amaliah sahabat yang sesuai dengan hadis Abu Huraerah kecuali
Umar, itu pun kontradiktif dengan amaliah Umar versi lainnya.
Ketujuh: Hadis Wail memiliki syahid (penguat) melalui hadis Ibnu Umar dan Anas, sebagaimana
diterangkan terdahulu, sedangkan hadis Abu Huraerah tidak memiliki syahid, maka kalau keduanya
berlawanan tentu saja hadis Wail bin Hujr didahulukan karena syawahidnya dan hadis Wail lebih kuat.
Kedelapan: Sesungguhnya mayoritas orang-orang berpegang pada hadis itu, sedangkan pendapat yang
lain hanya bersumber dari al-AuzaI dan Malik. Adapun perkataan Ibnu Abu Daud: Sesungguhnya itu
(mendahulukan lutut) merupakan pendapat para ahli hadis maksudnya pendapat sebagian di antara
mereka, karena Ahmad, as-SyafiI, dan Ishaq berpendapat sebaliknya.
Kesembilan: Sesungguhnya pada hadis Wail terdapat kisah hikayat yang disusun untuk mengisahkan
perbuatan Nabi, maka itu lebih terjaga kebenarannya, karena suatu hadis yang mengandung kisah
hikayat menunjukkan bahwa hadis itu benar-benar terpelihara.
Kesepuluh: Sesungguhnya berbagai perbuatan yang dihikayatkan pada hadis yang semuanya tsabit lagi
sahih melalui periwayatan lainnya, maka hal itu merupakan perbuatan yang sudah dikenal lagi benar
adanya, dan ini salah satu aspek di antaranya, dan status shahih itu berlaku untuknya, sedangkan
keterangan yang menentangnya tidak dapat melawannya. Dengan demikian sudah pasti hadis itu yang
rajih. Wallahu Alam. Zadul Maad, I:215
Muhamad Syamsul Haq berkata, Mayoritas ulama berpendapat demikian (mendahulukan lutut), dan alQadhi Abut Thayyib menghikayatkan (pendapat demikian juga) dari mayoritas ahli fiqih. Ibnul Mundzir
menghikayatkannya sebagai pendapat Umar bin Khatab, an-NakhaI, Muslim bin Yasar, Sufyan ats-Tsauri,
Ahmad, Ishaq, dan Ashhabur rayi (madzhab rasional), dan ia berkata, saya pun berpendapat demikian.
Aunul Mabud III:48
B. Kritikan
1. Hadis Wail bin Hujr tidak dapat dipakai sebagai hujah karena semua sanadnya melalui seorang rawi
yang bernama Syarik bin Abdullah An Nakhai, ia itu shaduq, banyak salah, hapalannya berubah
ketika menjadi qadhi di Kufah. Tuhfatul Ahwadzi II : 134
2. Sanad yang melalui rawi Hamam bin Yahya dari Muhammad bin Jahadah adalah munqathi, karena
Abdul Jabar tidak mendengar hadis itu dari ayahnya (Wail). (Ibid., ) Sedangkan sanad yang melalui
Syaqiq dari Ashim bin kulaib dari ayahnya (Kulaib) dari Nabi saw. adalah mursal. Karena Kulaib bin
Syihab (ayah Ashim) tidak sejaman dengan Nabi (bukan sahabat). (Nailul Authar II : 281) Di samping
itu Syaqiq adalah rawi yang majhul. (Tuhfatul Ahwadzi II : 135)
3. Syahid dari sahabat Anas hadisnya dhaif juga karena dalam sanadnya terdapat rawi bernama Al Ala
bin Ismail, ia itu seorang majhul. (Nailul Authar II : 282)
4. Syahid dari sahabat Abu Hurairah juga dhaif sebab dalam sanadnya ada rawi bernama Abdullah bin
Said Al Maqburi, ia telah dinyatakan dhaif oleh Yahya Al Qathan dan yang lainnya. Bahkan Al
Hakim mengatakan, Dzahibul hadis (Nailul Authar II : 283)

STATUS HADIS MENDAHULUKAN TANGAN


KOMENTAR PARA ULAMA TERHADAP HADIS KEDUA

A. Pembelaan
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, Hadis ini lebih kuat daripada hadis Wail, Saya melihat Nabi apabila hendak
sujud menempatkan kedua lututnya ditakhrij oleh imam yang empat, karena hadis pertama (Abu

Huraerah) memiliki syahid (penguat), yaitu hadis Ibnu Umar yang dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaemah
dan diterangkan oleh al-Bukhari secara muallaq mauquf Bulughul Maram:78-79
Al-Hafizh Ibnu Sayyidin Nas berkata, Hadis-hadis menempatkan tangan sebelum lutut lebih kuat. Hadis
Abu Huraerah layak masuk dalam kategori hasan menurut kriteria at-Tirmidzi, karena para rawinya
selamat dari jarah Nailul Authar, II:281
As-Syaukani berkata, Hadis Abu Huraerah adalah hadis qauli (ucapan) sedangkan hadis Wail hikayat fiil
(cerita perbuatan), dan qaul lebih kuat Nailul Authar, I:269
Muhamad Syamsul Haq berkata, (Mendahulukan tangan) menjadi pendapat al-AuzaI, Malik, Ibnu Hazm,
dan Ahmad pada salah satu versi riwayat Ibnu Abu Daud berkata, Ini pun merupakan pendapat para
ahli hadis Aunul Mabud III:50
B. Kritikan
Al-Bukhari, dalam at-Tarikhul Kabir, memuat hadis Muhamad bin Abdullah bin al-Hasan, dari Abuz Zinad,
dari al-Araj, dari Abu Huraerah. Selanjutnya al-Bukhari berkata tentang Muhamad bin Abdullah bin alHasan, Tidak ada mutabi baginya, dan saya tidak tahu apakah ia menerima hadis dari Abuz Zinad atau
tidak Nailul Authar, I:269; Taudhihul Ahkam, II:257
Hamzah al-Kanani berkata, Ini hadis munkar Taudhihul Ahkam, II:257
Ibnul Qayyim berkata, Hadis Abu Huraerah maqlub (terbalik) matannya yang bersumber dari sebagaian
rawi, barangkali seharusnya: Hendaklah ia menempatkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya
(berdasarkan) riwayat Ibnu Abu Syaibah, ia berkata, Muhamad bin Fudhail, dari Abdullah bin Said, dari
kakeknya, dari Abu Huraerah, dari Nabi saw, ssungguhnya beliau bersabda, Apabila salah saeorang di
antara kamu hendak sujud, hendaklah ia menempatkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, dan
janglah ia menderum seperti menderumnya unta Hadis ini diriwayatkan pula oleh al-Atsram dalam Sunannya Nailul Authar, I:268

SIKAP KAMI
A. Kedudukan Riwayat Syarik

Sebagaimana dapat dibaca pada keterangan terdahulu bahwa hadis tentang mendahulukan lutut
dinyatakan daif oleh sebagian ulama karena semua sanadnya melalui seorang rawi bernama Syarik.
Ulama al-jarh wat tadil (kritikus rawi) telah memberikan penilaian kepada Syarik sebagai berikut:
1. Abu Zurah

Abdurrahman berkata, Aku bertanya kepada Abu Zurah tentang Syarik, apakah hadis dapat dipakai
hujjah? Beliau menjawab, Dia banyak hadisnya, shahiba wahm (
), kadang-kadang keliru Al-Jarh
wat Tadil, IV:366. Namun dalam Tahdzibul Kamal (XII:471) dengan redaksi
2. Abu Hatim

Abu Hatim berkata, Dia tidak dapat mencapai derajat hujjah, pada hadisnya terdapat sedikit
kekeliruan Al-Mughni fid Dhuafa, I:297. Dalam kitab ad-Dhuafa wal Matrukin karya Ibnul Jauzi
(II:39) dengan redaksi
3. Al-Juzajani

Ibrahim bin Yaqub al-Juzajani berkata, Dia buruk hapalan, mudhtaribul hadits, ma-il Tahdzibul
Kamal, XII:471; Mizanul Itidal, III:373
4. Yaqub bin Syaibah

Yaqub bin Syaibah berkata, Syarik Shaduq, tsiqat, sangat buruk hapalan Tahdzibul Kamal, XII:471
5. Syekh Nashiruddin al-Albani
Dari berbagai penilaian di atas Syekh Nashiruddin Al-Albani mengambil kesimpulan

Dia buruk hapalan menurut jumhur imam, dan sebagian mereka menjelaskan bahwa ia sungguh
mukhtalith (berubah hapalannya). Karena itu ia tidak dapat dipakai hujjah bila meriwayatkan hadis
sendirian. Irwaul Ghalil fi Takhrij Ahadits Manaris Sabil, II:76.
Analisis Kami
[1] Penilaian sayyiul hifzhi, katsiral khata, yaghlathu, dan mudhtharribul hadits terhadap Syarik dari segi
dhabt (hafalan)-nya, bukan adalah-nya (akidah dan akhlak). Pentajrihan (kritkan, celaan) terhadap
seorang rawi yang demikian dapat kita terima selama rawi itu tafarrud (sendirian dalam
meriwayatkan hadis) atau mukhalafah (bertentangan) dengan rawi yang tsiqat (kuat). Namun bila
rawi itu tidak taffarud, artinya ia meriwayatkan hadis seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi lain
yang tsiqat selain dia, maka hadisnya dapat diterima. Dan ini yang menjadi tolok ukur penilaian
Syekh al-Bani terhadap riwayat Syarik.
Dengan demikian, penilaian para ulama di atas terhadap Syarik tidak berarti menolak seluruh hadis
yang diriwayatkannya, namun bergantung atas tafarrud atau tidaknya Syarik dalam meriwayatkan
hadis. Sepanjang penelitian kami, periwayatan Syarik tentang mendahulukan lutut sebelum tangan
ketika hendak sujud tidak tafarrud, karena pada riwayat Al-Haitsami (Lihat, Mawaridhud Dhaman:132 No. 487) hadis tersebut diriwayatkan pula melalui rawi bernama Israil bin Yunus. Ia
termasuk rijal Al-Bukhari dan Muslim. (lihat, Tahdzibul Kamal, II:515-524) Karena itu, yang menjadi
sandaran utama dalam masalah ini adalah riwayat Israil (aslun), sedangkan riwayat Syarik sebagai
pelengkap keterangan (farun)
{2] Syarik bin Abdullah an-Nakhai, lahir pada tahun 95 H/713 M, dan wafat pada tahun 177 H/793.
(Lihat, Tahdzibul Kamal XII:477) di Kufah pada usia 82 tahun (Rijal Muslim I:309-310). Syarik
menerima hadis dari 101 guru dan memiliki murid sebanyak 95 orang (lihat, Tahdzibul kamal
XII:463), dan yang paling banyak menerima hadis darinya adalah Ishaq bin Yusuf al-Azraq, yaitu
sebanyak 9.000 hadis (Lihat, Mizanul ITidal, III:376; Marifatus Tsiqat, I:453). Hal ini menunjukkan
bahwa Syarik termasuk salah seorang hafizh atau kuat hapalan. Karena itu Yahya Bin Main
mengatakan, tsiqatun (Tarikh Bagdad IX:282). Abu Zurah berkata kepada Yahya al-Hammani,
Cukup bagimu ilmu Syarik (Lihat, Tarikh Baghdad, IX:280). Ad-Dzahabi menyatakan, Kana
Syarik min auiyyatil ilmi (Syarik termasuk di antara perbendaharaan ilmu) (Lihat, Mizanul ITidal,
III:376). Abu Ahmad bin Adi mengatakan, Syarik memiliki hadis yang banyak (Lihat, Tahdzibul
Kamal, XII:472).
Pada tahun 155 H/771 M (ketika usia 60 tahun) ia menjadi qadhi di Wasith. Satu tahun kemudian
(tahun 156 H/771 M) menjadi qadi di Kufah (Tahdzibut Tahdzib IV:336). Ketika menjadi qadhi di
Kufah inilah Syarik mukhtalith (hapalannya berubah) (Lihat, Taqribut Tahdzib I:243). Hal itu
sebagaimana dinyatakan oleh Shalih bin Muhammad bahwa Syarik itu Shaduq dan setelah menjadi
qadi di kufah idhthirab (rusak) hapalannya (Lihat, Tarikh Bagdad IX:285). Demikian pula menurut
Ibnu Hiban dan Ibnu Hajar. Ibnu Hiban menyatakan:

Di akhir usianya ia keliru dalam periwayatan, hapalannya berubah (Lihat, al-Kawakibun Nirat,
I:47).
Ibnu Hajar menyatakan

Shaduq, banyak salah, berubah hapalannya sejak diangkat jadi qadi di Kufah (Lihat, Taqribut
Tahdzib, I:243). Keadaan ini menyebabkan Syarik melakukan kekeliruan dalam meriwayatkan
sebagian hadisnya ketika di Kufah. Menurut Ibrahim bin Said al-Jauhari, Syarik keliru pada 400
hadis (Lihat, Mizanul Itidal III:373; Al-Kamil fi Dhuafair Rijal, IV:8).
Dengan demikian, apabila ada jarah (kritikan) dari sebagian ulama terhadap Syarik, maka hal itu dapat
dikategorikan menjadi dua macam:
(1) Berkaitan dengan rusaknya dhabt (hapalan) Syarik setelah menjadi qadhi di kufah atau setelah tahun
155 H (ketika ia berusia 60 tahun) atau 22 tahun sebelum wafatnya.

(2) Berkaitan dengan hadis tertentu di antara yang 400 hadis itu.
Karena itu, jarh para ulama tersebut tidak serta merta menolak seluruh hadis yang diriwayatkan oleh
Syarik, namun ditujukan terhadap sebagian hadis yang tercakup oleh dua kategori di atas. Apabila jarh
tersebut tidak didudukan seperti ini, maka akan timbul pertanyaan yang akan menolak keabsahan jarh
tersebut, sebagai berikut:
1. Abu Zurah (200-264 H) lahir tahun 200 H. Sedangkan Syarik wafat tahun 177 H. Berarti Abu Zurah
lahir 23 tahun setelah Syarik meninggal. Pertanyaan: Dari mana Abu Zurah tahu bahwa Syarik itu
katsirul khatha, shahibu wahmin, yaghlathu ahyanan? Padahal ia tdk sezaman dengan Syarik.
2. Abu Hatim (195-277 H) lahir tahun 195 H. Sedangkan Syarik wafat tahun 177 H. Berarti Abu Hatim
lahir 18 tahun setelah Syarik meninggal. Pertanyaan: Dari mana Abu Hatim tahu bahwa Syarik itu
lahu aghalith? Padahal ia tdk sezaman dengan Syarik.
3. Ibrahim bin Yaqub al-Juzajani (w. 259 H) sezaman dengan Imam Ahmad (164-241 H). Sedangkan
Syarik wafat tahun 177 H. Seandainya Ibrahim lahir pada tahun 170 H, berarti Syarik wafat ketika ia
berusia 7 tahun. Pertanyaan: Dari mana al-Juzajani tahu bahwa Syarik itu sayyiul hifzhi,
mudhtarribul hadits? Padahal ia masih kecil ketika Syarik meninggal.
4. Yaqub bin Syaibah (182- 262 H) lahir tahun 182 H. Sedangkan Syarik wafat tahun 177 H. Berarti
Yaqub lahir 5 tahun setelah Syarik meninggal. Pertanyaan: Dari mana Yaqub tahu bahwa Syarik itu
sayyiul hifzhi? Padahal ia tdk sezaman dengan Syarik. Dan sebenarnya redaksi yang diungkapkan
oleh Yaqub bin Syaibah itu bukan jarh tetapi tadil (pujian) martabat VI, yakni shalihun lil itibar
(tidak mutlak ditolak tetapi layak dicari penguatnya) (lihat, ushulul hadits, 1989:277; Manhajun
Naqd, 1985:110]
Di samping itu, jarh mereka jelas-jelas akan bertentangan dengan tadil (penilaian baik) para ulama yang
sezaman dengan Syarik dan lebih mengetahui keadaannya. Misalnya Ibnu Main (158-233 H)
menyatakan tsiqat (al-Kawakibun Nirat, I:47); Ibnul Mubarak (118-181 H) menyatakan bahwa Syarik
lebih tahu terhadap hadis orang-orang Kufah daripada Sufyan at-Tsauri (Al-Mughni fid Dhuafa, I:297).
Imam Ahmad (164-241 H) menyatakan bahwa syarik itu

Dia orang yang kuat hapalan, jujur, ahli hadis, dan sangat tegas terhadap ahli raib (tdk teguh
pendirian) dan ahli bidah (Mizanul Itidal, III:375)
Bahkan Yahya bin Said al-Qaththan (120-198 H) menyatakan, Tsiqatun tsiqatun (Tahdzibul Kamal,
XII:468)
Namun apabila jarh itu didudukan berdasarkan dua kategori di atas, maka jarh mereka sebenarnya
tidak bertentangan dengan tadil para ulama yang sezaman dengan Syarik, yaitu
1. Tadil ditujukan terhadap Syarik sebelum menjadi qadhi di kufah atau sebelum tahun 155 H.
Sedangkan jarh ditujukan terhadap Syarik setelah berubah hapalannya atau setelah menjadi qadhi
di kufah atau setelah tahun 155 H.
2. Tadil ditujukan terhadap periwayatan 8.600 hadis. Sedangkan jarh ditujukan terhadap periwayatan
400 hadis.
3. Sedangkan khusus untuk jarh al-Juzajani terhadap Syarik kita perlu memperhatikan komentar para
ahli hadis, antara lain al-Kautsari, Ibnu Hajar, ad-Dzahabi, dan as-Sakhawi, tentang jarh al-Juzajani
terhadap orang-orang Kufah. Hal ini perlu disampaikan mengingat Syarik adalah orang Kufah.
Mereka menyatakan bahwa jarh al-Juzajani terhadap orang Kufah tidak perlu diterima, karena
antara dia dan orang-orang kufah terjadi permusuhan disebabkan persoalan akidah (lihat, Tanits alKhatib:116; Tahdzibut Tahdzib I:93; Mizanul Itidal I:76; Syarah al-Alfiyah:44; ar-Rafu wat Takmil
fil Jarhi wat Tadil:308 dan 310) Dalam ilmu hadis, jarh seperti ini disebut jarh aqran, yakni
mendaifkan orang lain karena faktor non ilmiah, antara lain sentimen atau permusuhan.
Dengan demikian, pada asalnya periwayatan Syarik itu sahih, dan untuk mengetahui apakah suatu hadis
yang diriwayatkan oleh Syarik itu
(a)
sebelum menjadi qadhi di Kufah (sebelum tahun 155 H) atau sesudahnya (setelah tahun 155 H)?
(b)
dikelompokkan pada jumlah 8.600 atau 400?
(c) Sebelum mukhtalith atau sesudahnya?
Maka dapat digunakan salah satu di antara tiga kriteria sebagai tolok ukur
1. untuk mengetahui point (a) dapat dilihat dari aspek tarikhur riwayat, yaitu kapan hadis itu diterima
dan diriwayatkan olehnya
2. untuk mengetahui point (b) harus dilihat dari aspek takhrij, yaitu ditelusuri seluruh riwayat Syarik
dalam berbagai kitab-kitab hadis
3. untuk mengetahui point (c) dapat dilihat dari 2 aspek [1] murid yang menerimanya. Ibnu Hiban
menyatakan bahwa rawi-rawi yang menerima hadis darinya di Wasith (sebelum menjadi qadi di
Kufah) maka pada periwayatan mereka tidak terjadi takhlith (sahih karena mereka menerimanya
sebelum Syarik mukhtalith), seperti Yazid bin Harun dan Ishaq al-Azraq, sedangkan rawi-rawi yang

menerima hadis darinya di Kufah (setelah mukhtalit) padanya terdapat keragu-raguan (lihat,
Tahdzibut Tahdzib IV:336; Al-Kawakibun Nirat fi Marifati Man ikhtalatha Minar Ruwatits Tsiqat,
I:47; Al-Igtibath limarifati man rumiya bil ikhtilath : 60).
[2] mutabi, yaitu adanya periwayatan rawi-rawi lain yang tsiqat yang mendukung periwayatannya.
Dan inilah yang dijadikan landasan oleh Imam Muslim ketika beliau meriwayatkan hadis Syarik
dalam kitab Shahihnya, antara lain dalam shahih Muslim, II:510
diterangkan oleh Abu Hurairah

karena menurut penelitian Muslim kehafizan dan kemutqinan Syarik dapat dibuktikan dengan
adanya periwayatan rawi yang lainnya.
Berdasarkan kriteria tersebut, kita kaji hadis Wail yang diriwayatkan oleh Syarik tentang
Mendahulukan Lutut sebelum tangan ketika hendak sujud, dengan sebuah pertanyaan, apakah hadis
Wail ini diriwayatkan oleh Syarik sebelum menjadi qadhi di Kufah atau sesudahnya ? Tegasnya sebelum
taghayyur hifzhihi (berubah hapalannya) atau badahu (sesudahnya) ?
Berdasarkan kriteria ketiga di atas, maka hadis Wail ini diriwayatkan oleh Syarik sebelum
taghayyur hifzhihi, dengan melihat muridnya, yaitu Yazid bin Harun. Dengan demikian hadis ini
diterima oleh Yazid dari Syarik bin Abdillah sebelum Syarik mukhtalit. Di samping itu, periwayatan
Syarik tentang mendahulukan lutut sebelum tangan ketika hendak sujud tidak tafarrud, karena pada
riwayat Al-Haitsami hadis tersebut diriwayatkan pula melalui rawi bernama Israil bin Yunus. Ia termasuk
rijal Al-Bukhari dan Muslim.

(Lihat, Mawaridhud Zham-an:132 No. 487. Dan biografi Israil dapat dilihat pada Tahdzibul Kamal,
II:515-524)
Berdasarkan keterangan di atas, periwayatan Syarik tentang mendahulukan lutut sebelum tangan
ketika hendak sujud adalah maqbul (dapat diterima) karena
1. Syarik meriwayatkan hadis tersebut sebelum terjadinya ikhtilath
2. Syarik memiliki mutabi (tidak tafarrud) yang tsiqat, yaitu Israil bin Yunus
B. Kedudukan Riwayat Abdul Jabbar (mutabi)
Selain melalui rawi Syarik bin Abdullah, hadis mendahulukan lutut diriwayatkan pula melalui Abdul
Jabbar bin Wail sebagai berikut:

(Abu Daud berkata) telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mamar, Hajaj bin Minhal telah
menghabarkan kepada kami, Hamam telah menghabarkan kepada kami, Muhammad bin Jahadah telah
menghabarkan kepada kami, dari Abdul Jabbar bin Wail, dari ayahnya (Wail); Sesungguhnya Nabi saw.
-Maka Wail menerangkan hadis salat- ia berkata, Maka ketika beliau hendak sujud kedua lututnya kena
pada tanah sebelum kedua telapak tangannya. H.r. Abu Daud, Aunul Mabud III : 48
Sebagian ulama menyatakan hadis ini munqathi (terputus jalur periwayatan) karena Abdul Jabar tidak
mendengar hadis itu dari ayahnya (Wail). Tuhfatul Ahwadzi II : 134
Hemat kami sanad Hamam bin Yahya dari Muhammad bin Jahadah riwayat Abu Daud tersebut
memang munqathi, karena Abdul Jabar tidak mendengar hadis tersebut dari ayahnya (Wail). Namun
bila kita perhatikan sanad Al Baihaqi di bawah ini ternyata Abdul Jabar menerima hadis tersebut dari
ibunya (istri Wail/Ummu Yahya), ia menerima dari Wail (suaminya).

:






Abu Bakar al-Harits al-Faqih telah mengabarkan kepada kami, Abu Muhamad bin Hayyan telah
mengabarkan kepada kami, Muhamad bin Yahya telah menceritakan kepada kami, Abu Kureb telah
menceritakan kepada kami, Muhamad bin Hujr telah menceritakan kepada kami, Sa'id bin Abdul Jabbar

telah menceritakan kepada kami, dari Abdul Jabbar bin Wail, dari ibunya, dari Wail bin Hujr, ia
berkata, "Aku Salat di belakang Rasul kemudian beliau sujud dan yang paling awal sampai ke lantai
adalah kedua lututnya. (Lihat, as-Sunanul Kubra, II:99)
Dengan demikian sanad hadis tersebut muttashil (bersambung), dan dapat dipergunakan sebagai syahid
(penguat) bagi hadis Anas bin Malik dan Abu Hurairah sehingga derajat keduanya naik menjadi hasan
lighairihi dan dapat diamalkan.
Dari berbagai argumentasi di atas kami berkesimpulan bahwa hadis mendahulukan lutut ketika hendak
turun ke sujud adalah shahih.
C. Kedudukan Riwayat Ad-Darawardi
Hemat kami, hadis tentang mendahulukan tangan daripada lutut dapat dikategorikan daif karena
semua sanadnya melalui seorang rawi bernama Abdul Aziz bin Muhamad ad-Darawardi. Ulama al-jarh
wat tadil (kritikus rawi) telah memberikan penilaian kepada ad-Darawardi sebagai berikut:

Abu Zurah berkata, Dia buruk hapalan, terkadang ia menceritakan sesuatu dari hapalannya An-Nasai
berkata, Abdul Aziz Ad-Darawardi tidak kuat Dan di pada tempat lain ia berkata, Tidak apa-apa,
dan hadisnya dari Ubaidullah bin Umar adalah munkar Tahdzibul Kamal, XVIII:194
Penilaian sayyiul hifzhi terhadap Ad-Darawardi dari segi dhabt (hafalan)-nya, bukan adalat-nya.
Pentajrihan terhadap seorang rawi yang seperti ini dapat kita terima selama rawi itu tafarrud (sendirian
dalam meriwayatkan hadis) atau mukhalafah (bertentangan) dengan rawi yang tsiqat (kuat). Namun
bila rawi itu tidak taffarud, artinya ia meriwayatkan hadis seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi lain
yang tsiqat selain dia, maka hadisnya dapat diterima.
Dengan demikian, penilaian para ulama di atas terhadap Ad-Darawardi sama statusnya dengan
penilaian terhadap Syarik, yakni tidak berarti menolak seluruh hadis yang diriwayatkannya, namun
bergantung atas tafarrud atau tidaknya Ad-Darawardi dalam meriwayatkan hadis. Itulah sebabnya
Imam Muslim menggunakan rawi seperti ini di dalam Shahih-nya, karena semua periwayatan AdDarawardi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim tidak tafarrud, seperti pada kitabul iman, bab

Bab dalil bahwa orang yang ridha terhadap Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, Muhamad
sebagai Rasul, maka dia mukmin meskipun melakukan maksiat dan dosa besar. Shahih Muslim, I:40
Karena periwayatan Ad-Darawardi di atas diperkuat oleh rawi lain bernama Al-Laits seperti pada
riwayat At-Tirmidzi (lihat, Tuhfatul Ahwadzi VII:372). Rawi seperti ini oleh Imam Muslim dimasukkan
ke dalam rawi-rawi kelompok kedua, yaitu rawi-rawi yang memiliki sifat adalah hanya tingkatan hafizh
dan mutqin-nya di bawah kelompok pertama.
Demikian pula halnya dengan Imam Al-Bukhari, beliau menggunakan Ad-Darawardi ini selalu
maqrunan (disertai) oleh rawi lain yang tsiqah, seperti Abdul Aziz bin Abu Hazim pada bab Sifatul
Jannah wan Nar (lihat, Fathul Bari XI:509, No. 6564)
Dengan demikian, untuk menerima periwayatan Ad-Darawardi tentang mendahulukan tangan
ketika hendak sujud diperlukan mutabi yang tsiqat. Sepanjang pengetahuan kami, tidak ada satupun
rawi yang tsiqat yang memperkuat periwayatannya. Adapun periwayatan rawi lain bernama Abdullah
bin Nafi as-Shaig (H.r. Abu Daud, Sunan Abu Daud I:193; An-Nasai, As-Sunanul Kubra I:229; AtTirmidzi, Tuhfatul Ahwadzi II:139), tidak dapat dijadikan mutabi, karena Abddulah bin Nafi rawi yang
daif sebagaimana dinyatakan para ulama sebagai berikut:.

Abu Hatim berkata, Dia tidak hafizh, dia lemah pada hapalannya Dan al-Bukhari berkata, Pada
hapalannya terdapat sesuatu Tahdzibul Kamal, XVI:210

Abu Zurah berkata, Munkarul Hadits Taliq Ala Tahdzibil Kamal, XVI:210

Ibnu Hajar berkata, Lemah pada hapalannya Taqribut Tahdzib, I:318


Dr. Nuruddin Itr menerangkan bahwa rawi yang dijarah dengan dua martabat ini (seperti layyinul
hadits, sayyiul hifzhi, dan lain-lain) maka kedudukan hadisnya ditibar, yaitu dicari riwayat-riwayat lain
yang menguatkannya sehingga bisa dipakai hujjah. (lihat, Manhajun Naqd, 1981:112)

Berdasarkan keterangan di atas, periwayatan Ad-Darawardi tentang mendahulukan tangan sebelum


lutut ketika hendak sujud tidak dapat diterima karena Ad-Darawardi tidak memiliki mutabi yang tsiqat
yang dapat memperkuat periwayatannya.
Dengan demikian hadis mendahulukan tangan ketika hendak turun ke sujud adalah daif.
D. Kedudukan Atsar (Riwayat) Ibnu Umar
Para ulama yang berpendapat mendahulukan tangan di samping berhujjah dengan hadis Abu Huraerah,
juga bersandar pada riwayat Ibnu Umar, baik secara marfu (amaliah Nabi) maupun mauquf (amaliah
Ibnu Umar sendiri, sebagai berikut:

Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw. apabila sujud beliau menempatkan kedua tangannya
sebelum kedua lututnya. H.r. Ad Daraquthni, Sunan Ad Daraquthni I : 27

.
:

Nafi berkata, Ibnu Umar, beliau menempatkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya. H.r. Ibnu
Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah I:318-319; Ad-Daraquthni, Sunan ad-Daraquthni I:344; At-Thahawi,
Syarah Ma'anil Atsar I:254; Al-Hakim, al-Mustadrak I:226; Al-Baihaqi, as-Sunanul Kubra II:100.
Namun menurut penelitian kami riwayat Ibnu Umar, baik yang marfu maupun yang mauquf,
keduanya dhaif karena pada sanad keduanya terdapat rawi Ad Darawardi yang telah dijelaskan di atas.
Berdasarkan pertimbangan di atas kami berkesimpulan:
1. Hadis mendahulukan tangan ketika hendak sujud adalah daif sanadnya dan maqlub (terbalik) matan
(redaksi)-nya.
2. Mendahulukan tangan ketika hendak sujud menyerupai burukul bair (menderumnya unta) dalam
hal nunggingnya. Dan hal ini yang dilarang oleh Rasulullah saw

E. Fiqih al-Bukhari
Ada yang berpendapat bahwa riwayat Ibnu Umar di atas diriwayatkan oleh al-Bukhari secara mu'allaq
(dihilangkan sanadnya). Dengan demikian hadis tersebut dapat dipakai hujjah dan al-Bukhari
berpendapat bahwa ketika hendak sujud mendahulukan tangan sebelum lutut. Benarkah demikian?
Sebagaimana telah kami jelaskan bahwa atsar Ibnu Umar tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah,
Shahih Ibnu Khuzaimah I:318-319; Ad-Daraquthni, Sunan ad-Daraquthni I:344; At-Thahawi, Syarah
Ma'anil Atsar I:254; Al-Hakim, al-Mustadrak I:226; Al-Baihaqi, as-Sunanul Kubra II:100. Atsar tersebut
dhaif karena pada semua sanadnya terdapat rawi Ad Darawardi yang telah dijelaskan di atas.
Imam al-Bukhari lebih mengetahui terhadap status kedaifan atsar tersebut, meskipun demikian beliau
mencantumkannya dalam kitab Shahih-nya. Karena itu pemahaman terhadap atsar itu harus dilihat dari
sudut paradigma fiqh al-Bukhari, bukan dari sudut fiqih pembaca atsar itu. Dalam konteks inilah kita kaji
maksud beliau dengan pencantuman atsar tersebut.
Atsar Ibnu Umar tersebut ditempatkan oleh al-Bukhari pada kitabul Adzan bab

Pada bab ini al-Bukhari mencantumkan tiga hadis


Pertama:






























Kedua:


























Ketiga:

Muthabaqah (Relevansi) atsar Ibnu Umar terhadap judul bab di atas dilihat dari ketercakupannya dalam
kalimat al-hawi bit takbir ilas sujud (turun dengan takbir ke sujud), yaitu al-hawi sebagai fi'lun
(perbuatan) dan at-takbir sebagai qaulun (ucapan). Karena itu, melalui judul bab tersebut al-Bukhari
hendak menjelaskan bahwa al-hawi ilas sujud itu memiliki dua sifat; a. sifat fi'liyyah (gerakan) dan sifat
qauliyyah (ucapan). Atsar Ibnu Umar ditempatkannya pada bab ini sebagai isyarat kepada sifat fi'liyyah.
Sedangkan atsar Abu Huraerah sebagai isyarat kepada sifat fi'liyyah dan qauliyyah (Lihat, Umdatul Qari
Syarah Shahih al-Bukhari, VI:78).
Dengan demikian, atsar itu digunakan oleh al-Bukhari untuk memperkuat landasan atau pijakan
fiqihnya (dilalah isyarah kepada sifat fi'liyyah) bukan sebagai pinjakan dalam menetapkan bahwa ketika
akan sujud disyariatkan mendahulukan tangan karena beliau lebih paham bahwa hadis daif tidak dapat
dijadikan landasan syariat.

Anda mungkin juga menyukai