Anda di halaman 1dari 7

Adab-Adab Buang Hajat

KITAB THAHARAH (PERIHAL BERSUCI)


Oleh Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Adab-Adab Buang Hajat

1.Disunnahkan bagi orang yang hendak memasuki al-khalaa’ (kamar kecil/WC) agar membaca:

ِ ‫ث َو ْالخَ بَاِئ‬
‫ث‬ ِ ُ‫ اَللّهُ َّم ِإنِّ ْي َأ ُعوْ ُذ بِكَ ِمنَ ْال ُخب‬،ِ‫بِس ِْم هللا‬.

“Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari syaitan laki-laki dan
syaitan perempuan.

” Do’a ini berdasarkan hadits ‘Ali Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:

ِ‫ بِس ِْم هللا‬:‫ت بَنِي آ َد َم ِإ َذا َد َخ َل َأ َح ُد ُك ُم ْالخَ الَ َء َأ ْن يَقُوْ َل‬


ِ ‫س ْت ٌر َما بَ ْينَ ْال ِجنِّ َوعَوْ َرا‬.
ِ

“Penghalang antara jin dan aurat anak Adam jika salah seorang dari kalian memasuki al khalaa’
adalah ia mengucapkan, “Bismillah”.” [1]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 3611)],
Sunan at-Tirmidzi (II/59/ no. 603) ini adalah lafazhnya. Sunan Ibni Majah (I/109 no. 297),
dengan lafazh: َ‫ِإ َذا َدخَ َل ْال َكنِ ْيف‬. “Jika memasuki al kaniif” Sebagai ganti dari “jika memasuki al-
khalaa’.”

Juga hadits Anas Radhiyallahu anhu, dia berkata:

ِ ‫ث َو ْال َخبَاِئ‬
‫ث‬ ِ ُ‫ك ِمنَ ْال ُخب‬
َ ِ‫ اَللّهُ َّم ِإنِّ ْي َأ ُعوْ ُذ ب‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِإ َذا َد َخ َل ْالخَ الَ َء قَا َل‬
َ ِ‫ َكانَ َرسُوْ ُل هللا‬.

“Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak masuk ke kamar kecil, beliau
mengucapkan, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari syaitan laki-laki dan syaitan
perempuan”.[2] Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/242 no. 142)], Shahiih
Muslim (I/283 no. 375), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/21 no. 4), Sunan Ibni Majah
(I/109 no. 298), Sunan at-Tirmidzi (I/7 no. 6), dan Sunan an-Nasa-i (I/20).

َ َ‫ ُغ ْف َران‬.
2. Disunnahkan jika keluar darinya mengucapkan: ‫ك‬
“(Ya Allah, aku mengharap) ampunan-Mu.”

Berdasarkan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata

َ َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِإ َذا خَ َر َج ِمنَ ْال َخالَ ِء ق‬


َ‫ ُغ ْف َرانَك‬:‫ال‬ َ ‫ َكانَ النَّبِ ُّي‬.

“Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari kamar kecil, beliau mengucapkan, ‘(Ya
Allah, aku mengharap) ampunan-Mu’.” [3] Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 4714)],
Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/52 no. 30), Sunan at-Tirmidzi (I/7 no. 7), Sunan Ibni
Majah (I/ 110 no. 300).
3. Disunnahkan mendahulukan kaki kiri ketika masuk, dan kaki kanan ketika keluar Karena
adanya sunnah yang memerintah agar mendahulukan yang kanan untuk hal mulia, dan
mendahulukan yang kiri untuk hal yang tidak mulia. Banyak riwayat yang menunjukkan hal
tersebut secara global. [4] As-Sailul Jarraar (I/64).

4. Jika di tempat terbuka, maka disunnahkan menjauh hingga tidak terlihat Dari Jabir
Radhiyallahu anhu, dia berkata:
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم الَ يَْأتِي ْالبَ َرازَ َحتَّى يَتَ َغي‬
‫َّب فَالَ يَ َرى‬ َ ِ‫ َو َكانَ َرسُوْ ُل هللا‬،‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فِ ْي َسفَ ٍر‬
َ ِ‫خَ َرجْ نَا َم َع َرسُوْ ِل هللا‬.

“Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu perjalanan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak buang hajat di lapangan terbuka melainkan
bersembunyi hingga tidak terlihat.” [5] Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 268)], Sunan
Ibni Majah (I/121 no. 335), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/19 no. 2), dengan lafazh
yang semisalnya.

5. Disunnahkan tidak mengangkat pakaian kecuali setelah dekat dengan tanah Dari Ibnu ‘Umar
Radhiyallahu anhuma :

ِ ْ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َكانَ ِإ َذا َأ َرا َد ْال َحا َجةَ الَ يَرْ فَ ُع ثَوْ بَهُ َحتَّى يَ ْدنُ َو ِمنَ اَْألر‬
‫ض‬ َّ ِ‫َأ َّن النَّب‬.
َ ‫ي‬

“Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak buang hajat, beliau tidak mengangkat
pakaiannya kecuali setelah dekat dengan tanah.” [6] Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no.
4652)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/31 no. 14), dan Sunan at-Tirmidzi (I/11 no. 14),
dari hadits Anas Radhiyallahu anhu.

Tidak boleh menghadap dan membelakangi kiblat, baik di lapangan terbuka maupun dalam
bangunan. Dari Abu Ayyub al-Anshari Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda:

‫ َولَ ِك ْن َشرِّ قُوا َأوْ َغ ِّربُوْ ا‬،‫ِإ َذا َأتَ ْيتُ ُم ْالغَاِئطَ فَالَ تَ ْستَ ْقبِلُوا ْالقِ ْبلَةَ َوالَ تَ ْستَ ْدبِرُوْ هَا‬.

“Jika kalian hendak buang hajat, janganlah menghadap dan membelakangi kiblat. Tapi,
menghadaplah ke timur atau ke barat.” [7] Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 109)], dan
Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 7).

Abu Ayyub berkata, “Kami datang ke Syam, kami dapati banyak WC yang dibangun menghadap
Kiblat. Kami pun miring darinya dan beristighfar kepada Allah Ta’ala.” [8] Muttafaq ‘alaihi:
[Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/498 no. 394)], Shahiih Muslim (I/224 no. 264), Sunan at-
Tirmidzi (I/8 no. 8

6. Dilarang buang hajat di jalan yang dilalui manusia dan tempat berteduh mereka. Dari Abu
Hurairah Raddhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫اس َأوْ فِي ِظلِّ ِه ْم‬ ِ ‫ الَّ ِذي يَتَ َخلَّى فِي طَ ِري‬:‫ َو َما الالَّ ِعنَا ِن يَا َرسُوْ َل هللاِ؟ قَا َل‬:‫ قَالُوْ ا‬.‫اِتَّقُوا الالَّ ِعنَي ِْن‬.
ِ َّ‫ْق الن‬

“Jauhilah dua perkara yang mengundang laknat. Mereka bertanya, ‘Apakah dua perkara yang
mengundang laknat itu, ya Rasulullah?.’” Beliau berkata, “Orang yang buang hajat di jalan
orang-orang atau di tempat berteduh mereka.” [9] Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no.
110)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/47 no. 25), dan Shahiih Muslim (I/226 no. 269),
dengan lafazh darinya:

‫ َو َما اللَّعَّانَا ِن؟‬:‫ قَالُوْ ا‬،‫اَللَّعَّانَ ْي ِن‬

7. Dimakruhkan jika seseorang kencing di tempat mandinya. Dari Humaid al-Himyari, dia
berkata, “Aku menjumpai seorang yang telah menyertai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagaimana Abu Hurairah menyertai beliau. Dia berkata:

‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َأ ْن يَ ْمت َِشطَ َأ َح ُدنَا ُك َّل يَوْ ٍم َأوْ يَبُوْ َل فِ ْي ُم ْغتَ َسلِ ِه‬
َ ِ‫نَهَى َرسُوْ ُل هللا‬.

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang salah seorang dari kami bersisir setiap hari
dan kencing di tempat mandinya.” [10] Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 232)], Sunan an-
Nasa-i (I/130), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/50 no. 28).

8. Dilarang kencing di air yang tidak mengalir Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

‫َأنَّهُ نَهَى َأ ْن يُبَا َل فِي ْال َما ِء الرَّا ِك ِد‬.

“Beliau melarang kencing di air yang menggenang.” [11] Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush
Shaghiir (no. 6814)], Shahiih Muslim (I/235 no. 281), dan Sunan an-Nasa-i (I/34).

9. Diperbolehkan kencing sambil berdiri, tapi duduk (jongkok) lebih utama Dari Hudzaifah
Radhiyallahu anhu :
‫ضَأ َو َم َس َح‬ ُ ‫ت َحتَّى قُ ْم‬
َّ ‫ فَت ََو‬،‫ت ِع ْن َد َعقِبَ ْي ِه‬ ُ ْ‫ فَ َدنَو‬،ُ‫ ا ْدنُه‬:‫ْت فَقَا َل‬ َ َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم اِ ْنتَهَى ِإلَى ُسبَاطَ ِة قَوْ ٍم فَب‬
ُ ‫ فَتَنَ َّحي‬،‫ال قَاِئ ًما‬ َّ ِ‫َأ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬

‫ َعلَى ُخفَّ ْي ِه‬.

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di tempat pembuangan sampah sebuah kaum lalu
kencing sambil berdiri, dan aku pun menjauh. Beliau lantas berkata, ‘Mendekatlah.’ Lalu aku
mendekat hingga aku berdiri dekat kaki beliau. Beliau kemudian berwudhu dan membasuh
bagian atas kedua khuf (sepatu panjang) beliau.” [12] Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih Muslim (I/228
no. 273)], Sunan at-Tirmidzi (I/11 no. 13), Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/329 no. 225),
Sunan an-Nasa-i (I/19), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/44 no. 23), dan Sunan Ibni
Majah (I/ 111 no. 305).

Baca Juga Pembatal-Pembatal Wudhu Kita katakan bahwa duduk lebih utama karena begitulah
kebanyakan perbuatan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sampai-sampai ‘Aisyah
Radhiyallahu anhuma berkata:

َ ِ‫ َم ْن َح َّدثَ ُك ْم َأ َّن َرسُوْ َل هللا‬.


َ ُ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم بَا َل قَاِئ ًما فَالَ ت‬
‫ َما َكانَ يَبُوْ ُل ِإالَّ َجالِسًا‬،ُ‫ص ِّدقُوْ ه‬

“Barangsiapa mengatakan kepada kalian bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kencing
sambil berdiri, maka janganlah kalian mempercayainya. Beliau tidak pernah kencing melainkan
dengan duduk.” [13] Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 29)], Sunan an-Nasa-i (I/26), dan
Sunan at-Tirmidzi (I/10 no. 12) dengan lafazh darinya: “‫”قَا ِعدًا‬.

Perkataan ‘Aisyah tidak menafikan apa yang dibawakan oleh Khudzaifah. Karena ‘Aisyah
hanya mengabarkan apa yang dia lihat. Dan Khudzaifah juga mengabarkan apa yang dia lihat.
Sebagaimana diketahui (dalam kaidah) bahwa yang menetapkan lebih diutamakan daripada yang
menafikan. Karena pada yang menetapkan itu terdapat ilmu yang lebih.

10. Diwajibkan bersuci dari kencing Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah melalui dua kubur, lalu bersabda:

ِ َّ‫ َوَأ َّما ْاآل َخ ُر فَ َكانَ يَ ْم ِشي بَ ْينَ الن‬،‫ َأ َّما َأ َح ُدهُ َما فَ َكانَ الَ يَ ْستَ ْن ِزهُ ِمنَ ْالبَوْ ِل‬،‫ِإنَّهُ َما لَيُ َع َّذبَا ِن َو َما يُ َع َّذبَا ِن فِ ْي َكبِي ٍْر‬.
‫اس بِالنَّ ِم ْي َم ِة‬

“Sesungguhnya mereka berdua diadzab. Mereka tidak diadzab karena dosa besar. Salah seorang
di antara mereka diadzab karena tidak bersuci dari kencingnya. Sedang yang lain karena suka
menggunjing di antara manusia.” [14] Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari)
(I/317 no. 216), Shahiih Muslim (I/240 no. 292), Sunan at-Tirmidzi (I/47 no. 70), Sunan Abi
Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/40 no. 20), dan Sunan an-Nasa-i (I/28)

11. Tidak boleh menyentuh kemaluan dengan tangan kanan ketika kencing. Dan tidak
menggunakannya saat bercebok dengan air Dari Abu Qatadah Radhiyallahu anhu, dia
mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ِ ‫ِإ َذا بَا َل َأ َح ُد ُك ْم فَالَ يَ ُمسُّ َذ َك َرهُ بِيَ ِم ْينِ ِ¯ه َوالَ يَ ْستَ ْن‬.
‫ج بِيَ ِم ْينِ ِه‬

“Jika salah seorang di antara kalian kencing, janganlah ia menyentuh kemaluannya dengan
tangan kanannya. Dan jangan pula ia cebok dengan tangan kanannya.” [15] Shahih: [Shahiih
Sunan Ibni Majah (no. 250)], Sunan Ibni Majah (I/113 no. 310), ini adalah lafazh darinya.
Diriwayatkan pula dalam Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/254 no. 154), Shahiih Muslim
(I/225 no. 267), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/53 no. 31), Sunan at-Tirmidzi (I/12 no.
15), Sunan an-Nasa-i (I/25) secara ringkas maupun panjang.

12. Diperbolehkan bersuci dengan air, dan batu, atau yang serupa dengan batu, namun air lebih
utama. Dari Anas Radhiyallahu anhu, dia berkata:

‫ فَيَ ْستَ ْن ِجي بِ ْال َما ِء‬،ً‫ فََأحْ ِم ُل َأنَا َو ُغالَ ٌم نَحْ ِوي ِإدَا َوةً ِم ْن َما ٍء َو َعنَ َزة‬،‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَ ْد ُخ ُل ْالخَ الَ َء‬
َ ِ‫ َكانَ َرسُوْ ُل هللا‬.

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasuki WC. Lalu aku dan anak lain yang
seusia denganku membawakan beliau setimba air dan sebuah tombak kecil. Beliau lantas bersuci
dengan air.” [16] Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/252 no. 152)], Shahiih
Muslim (I/227 no. 271), Sunan an-Nasa-i (I/42), di dalam riwayatnya tidak disebutkan kata
“’Anazah”.

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ُ‫ار فَ ْليَ ْستَ ِطبْ بِهَا فَِإنَّهَا تُجْ ِزُئ َع ْنه‬


ٍ ‫َب َأ َح ُد ُك ْم ِإلَى ْالغَاِئ ِط فَ ْليَ ْذهَبْ َم َعهُ بِثَالَثَ ِة َأحْ َج‬
َ ‫ِإ َذا َذه‬.

“Jika salah seorang di antara kalian hendak buang hajat, maka hendaklah membawa tiga buah
batu. Dan hendaklah ia bersuci dengannya, karena itu mencukupinya.” [17] Shahih: [Shahiih
Sunan an-Nasa-i (no. 43)], Sunan an-Nasa-i (I/42), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud)
(I/61 no. 40).

13. Tidak boleh menggunakan kurang dari tiga batu Dari Salman al-Farisi Radhiyallahu anhu,
dikatakan kepadanya,

“Nabi kalian telah mengajari kalian segala hal hingga masalah buang air besar?” Dia menjawab:

ْ‫ َأو‬،‫ َأوْ نَ ْستَ ْن ِج ْي بِ َر ِجي ٍْع‬،‫ار‬


ٍ ‫ َأوْ نَ ْستَ ْن ِج ْي بَِأقَ ِّل ِم ْن ثَالَثَ ِة َأحْ َج‬،‫ َأوْ نَ ْستَ ْن ِج ْي بِ ْاليَ ِمي ِْن‬،‫ لَقَ ْد نَهَانَا َأ ْن نَ ْستَ ْقبِ َل ْالقِ ْبلَةَ لِغَاِئ ٍط َأوْ بَوْ ٍل‬، ْ‫َأ َجل‬
‫بِ ِعظَ ٍم‬.

“Benar. Beliau melarang kami menghadap kiblat ketika kencing atau buang hajat, bersuci dengan
tangan kanan, bersuci dengan kurang dari tiga buah batu, dan bersuci dengan kotoran atau
tulang.” [18] Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 255)], Shahiih Muslim (I/223 no. 262),
Sunan at-Tirmidzi (I/13 no. 16), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/24/7), Sunan Ibni
Majah (I/115/316), dan Sunan an-Nasa-i (I/38).

14. Tidak boleh bersuci dengan tulang atau kotoran Dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia berkata:

ٍ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َأ ْن يَتَ َم َّس َح بِ ِعظَ ٍم َأوْ بِبَع‬


‫ْر‬ َ ‫نَهَى النَّبِ ُّي‬.

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang bersuci dengan tulang atau kotoran.” [19] Shahih:
[Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 6827)], Shahiih Muslim (I/224 no. 263), Sunan Abi Dawud
(‘Aunul Ma’buud) (I/60 no. 38).

Bab Bejana Boleh menggunakan semua bejana selain bejana emas dan perak. Diharamkan
menggunakan keduanya untuk makan dan minum. Namun tidak diharamkan menggunakan
keduanya selain untuk makan dan minum. Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: ‫ فَِإنَّهَا لَهُ ْم فِي ال ُّد ْنيَا َولَ ُك ْم فِي‬،‫ َوالَ ت َْلبِسُوا ْال َح ِري َْر َوال ِّد ْيبَا َج‬،‫ض ِة‬
َّ ِ‫ب َو ْالف‬
ِ َ‫الَ تَ ْش َربُوْ ا فِ ْي آنِيَ ِة ال َّذه‬
‫اآل ِخ َر ِة‬.ْ “Janganlah kalian minum dari bejana emas dan perak. Dan jangan pula mengenakan
sutera. Karena semua itu bagi mereka di dunia dan bagi kalian di akhirat.” [20] Muttafaq ‘alaihi:
[Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (X/96/5633), Shahiih Muslim (III/1637 no. 2067)], Sunan at-
Tirmidzi (III/199 no. 1939), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (X/189 no. 3705), Sunan Ibni
Majah (II/1130 no. 3414), tanpa mencantumkan larangan memakai sutera, dan Sunan an-Nasa-i
(VIII/198).

Dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ْ َ‫ض ِة ِإنَّ َما ي َُجرْ ِج ُر فِي ب‬


‫طنِ ِه نَا ُر َجهَنَّ َم‬ َّ ِ‫اَلَّ ِذي يَ ْش َربُ فِ ْي ِإنَا ِء ْالف‬.

“Orang yang minum dari bejana perak, sesungguhnya api Jahannam bergejolak dalam
perutnya.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. [21] Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari
(Fat-hul Baari) (X/96 no. 5634)], Shahiih Muslim (III/1634 no. 2065), dan Sunan Ibni Majah
(II/1130 no. 3413).

Dalam riwayat Muslim disebutkan:

َّ ِ‫…ِإ َّن الَّ ِذي يَْأ ُك ُل َأوْ يَ ْش َربُ فِ ْي آنِيَ ِة ْالف‬


ِ َ‫ض ِة َوال َّذه‬
‫ب‬

“Sesungguhnya orang yang makan atau minum dari bejana perak dan emas…” Muslim berkata,
“Tidak seorang pun pada sebuah hadits menyebutkan lafazh: “makan dan emas” kecuali dalam
hadits Ibnu Mushir.”
Baca Juga Mengusap Khuff (Sepatu Yang Menutup Mata Kaki) Al-Albani berkata, “Dari segi
ilmu riwayat, tambahan ini syadz sekalipun maknanya benar dari segi ilmu diraayah. Karena
“makan dan emas” lebih berat dan berbahaya daripada “minum dan perak” sebagaimana yang
tampak jelas.” [22]
Irwaa’ul Ghaliil (I/69).

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim
bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah
LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September
2007M]

Anda mungkin juga menyukai