Anda di halaman 1dari 6

1

Apa Dan Bagaimana Thoharoh


(Cara Bersuci)?
Pengajian Jumat 18 Juli 2008
di DKSI Disampaikan oleh:
Hasan Rohim

Al Ghuroba. Secara bahasa, ath-thaharah maknanya ialah kesucian dan kebersihan dari segala
yang tercela, baik dhahir maupun batin (Lihat Syarah Shahih Muslim lin Nawawi juz 3 hal. 455
dan Tuhfatul Ahwadzi Syarah Sunan At-Tirmidzi , Al-Mubarakfuri jilid 1 hal. 18). Sedangkan
makna ath-thaharah dalam istilah fiqh ialah hilangnya perkara yang menghalangi sahnya shalat.
Dan perkaara yang menghalangi sahnya shalat itu ialah hadats atau najis. Sedangkan
menghilangkan hadats atau najis itu dengan air atau debu. (Lihat Al-Mughni fi Fiqhil Imam
Ahmad bin Hanbal , Ibnu Qudamah, jilid 1 hal. 21).
Hadats itu ialah kondisi seorang Muslim yang sedang batal wudlunya karena keluarnya
sesuatu dari dua jalan (yaitu jalan
kemaluan depan yang diistilahkan dengan qubul dan jalan kemaluan belakang yang diistilahkan
dengan dubur ), atau batalnya wudlu karena berhubungan badan antara suami dengan istri,
yaitu ketika kemaluan pria telah masuk ke kemaluan wanita walaupun tidak keluar mani, maka
batal pula wudlunya. Sehingga bila seseorang itu dikatakan ber hadats , maknanya ialah bila dia
telah batal wudlunya karena sebab-sebab tersebut. Jadi ath-thaharah itu menurut istilah fiqh
maknanya ialah bila seorang Muslim telah bersih dari hadats dan najis sehingga secara dhahir dapat
menunaikan shalat sebagaimana mestinya.
BEBERAPA KETENTUAN DI
SEPUTAR HADATS
Istilah hadats telah dikenal para ahli fiqh yang diambil dari antara lain sabda Rasulullah s.a.w. Dari
Abu Hurairah radliyallahu `anhu
, beliau berkata: Rasulullah s.a.w bersabda: “Tidak diterima shalatnya orang yang ber hadats
sehingga dia berwudlu.” Berkata seseorang dari Hadramaut: “Apakah yang dimaksud hadats itu
wahai Abu Hurairah?” Beliau menjawab: “Ialah keluar angin atau kentut.” (HR. Bukhari dalam
Kitab Shahih nya, Kitabul Wudlu’ bab La Tuqbalus Shalatu bi Ghairi Thahur hadits ke 135).

Ibnu Hajar Al-Aqalani rahimahullah menerangkan: “Yang dimaukan dengan hadats ini ialah apa
saja yang keluar dari dua jalan ( qubul dan dubur ). Abu Hurairah menafsirkan dengan secara
khusus demikian adalah karena ingin memberikan peringatan tentang terjadinya hadats yang
paling ringan, karena keluar angin atau ketut itu adalah hadats yang paling sering terjadi ketika
dalam shalat. Dan adapun jenis hadtas yang lainnya telah diterangkan oleh para ulama, seperti
menyentuh kemaluan, menyentuh perempuan, muntah sepenuh mulut, berbekam. Bisa jadi Abu
Hurairah menerangkan demikian karena beliau tidak memandang hadats itu kecuali karena
sesuatu yang keluar dari dua jalan sehingga hal-hal yang diterangkan para ulama tersebut
tidak termasuk dalam perkara hadats. Al-Bukhari sependapat dengan Abu Hurairah.” ( Fathul Bari,
Ibnu Hajar al-Asqalani, jld 1 hal. 235).
Para ulama menerangkan bahwa hadats
itu ada dua:
1). Al-Hadatsul Asghar , yakni hadats kecil yang meliputi segenap pembatal wudlu, yang hanya
dihilangkan dengan berwudlu saja.
2). Al-Hadatsul Akbar , yakni hadats besar yang meliputi segenap pembatal wudlu yang harus
dihilangkan dengan mandi yang disertai wudlu padanya dan mandi yang demikian ini dinamakan
mandi junub.
2
Tetapi kemudian yang masyhur, hadats itu ialah pembatal-pembatal wudlu yang hanya
dihilangkan dengan berwudlu saja atau yang dinamakan al-hadatsul ashgar (hadats kecil).
Sedangkan al-hadatsul akbar sering disebut junub, haid atau nifas.(Lihat Mushannaf, Al-Imam
Abdurrazaq bi Hammam As-Shan`ani, jilid 1 hal.138 bab Al-Wudlu’ minal Hadats ).
KEUTAMAAN
THAHARAH
Setelah kita mengerti perkara najis dalam pembahasan yang lalu dan perkara hadats , maka perlu
juga kita mengerti keutamaan ath-thaharah di sisi Allah Ta`ala terutama dalam kaitannya dengan
ibadah kepada Allah Ta`ala.

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang banyak bertaubat dan orang-orang yang
melakukan amalan thaharah (bersuci).”
( Al-Baqarah
: 222)
Juga Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: “Berthaharah itu (yakni bersuci itu)
adalah separoh dari iman.” (HR. Muslim dalam Shahih nya, Kitabut Thaharah hadits ke 223
dari Abi Malik Al-Asy’ari radliyallahu `anhu ).Dan beliau shallallahu
`alaihi wa sallam bersabda: “Kuncinya shalat itu ialah ber thaharah , dan pengharamannya
(yakni mulai diharamkan berbicara
dalam shalat) ialah takbir (yaitu takbir permulaan shalat atau dinamakan takbiratul ihram), dan
penghalalannya ialah salam (yakni halal kembali berbicara setelah berakhirnya shalat dengan
mengucapkan salam).” (HR. Tirmidzi dalam Sunan nya dari Ali. Abu Isa (yakni At-Tirmidzi)
berkata: “Hadits ini paling shahih dan paling baik dalam bab ini.”).

BENDA-BENDA YANG TIDAK


TERGOLONG NAJIS
Kita telah membahas sebelum ini satu kaidah bahwa hukum asal segala benda itu adalah tidak
najis kecuali bila ada keterangan dari Al-Qur’an dan Al-Hadits bahwa benda itu najis, barulah
kita menganggapnya najis. Tetapi dalam pembahasan ini perlu pembaca sekalian memahami
bahwa ada beberapa benda yang sesungguhnya tidak najis, tetapi oleh banyak orang dianggap
najis. Benda-benda yang tidak tergolong najis itu ialah:
1). Air mani manusia Muslim. Air mani merupakan pengecualian dari ketentuan tentang najisnya
segala perkara yang keluar dari
3

dua jalan, walaupun keluarnya mani menyebabkan batalnya wudlu. Yang demikian ini karena
adanya beberapa riwayat Aisyah
Ummul Mukminin radliyallahu `anha tentang tidak najisnya air mani seorang
Muslim. Aisyah r.a menyatakan:
“Sungguh aku pernah melihat mani kering di baju Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dan
aku mengeriknya dalam keadaan kering itu dengan kukuku.” (HR. Muslim dalam Shahih nya
Kitabut Thaharah bab Hukmul Mani hadits ke 290 dari Abdillah bin Syihab Al-Khaulani).
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menerangkan: “Dan banyak dari para ulama berpendapat
bahwa mani itu adalah suci. Telah diriwayatkan yang demikian ini adalah pendapatnya Ali bin Abi
Thalib, Sa’ad bin Abi Waqqas, Ibnu Umar, Aisyah, Daud (yakni Adl- Dlahiri), Ahmad (yakni: bin
Hanbal) dalam riwayat yang shahih dari dua riwayat tentang pendapat beliau, dan yang demikian
ini pula merupakan pendapat Imam Asy-Syafi’i dan para Ahli Hadits.”( Syarah Shahih Muslim lin
Nawawi juz 3 hal. 530).
2). Kotoran dan air kencing hewan yang dagingnya halal dimakan. Seperti kotoran dan kencing
kambing, sapi, unta dan lain- lainnya. Karena Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
memerintahkan kepada orang-orang Uraniyyin (yakni orang-orang dari suku Urainah) untuk
berobat dari penyakit perut yang dideritanya dengan minum air kencing unta dan air susunya.
Demikian diriwayatkan oleh Anas bin Malik dalam Shahih Bukhari Kitabul Wudlu’ bab Abwabil
Ibil wad Dawab hadits ke 233. Juga Anas meriwayatkan sebagaimana dalam Shahih Bukhari hadits
ke 234 bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat di tempat tambatan kambing sebelum
dibangunnya masjid beliau di Madinah. Maka dua riwayat tersebut menunjukkan bahwa kencing
unta bukanlah benda najis, sebab kalau ia adalah benda najis, tidak mungkin dijadikan obat
oleh beliau, karena beliau tidak akan menjadikan sesuatu yang najis atau haram untuk dijadikan
obat. Demikian pula tentang air kencing dan kotoran kambing, bila dianggap najis maka tidak
mungkin beliau shalat di tempat tambatan kambing. Cukuplah alasan menunjukkan tidak
najisnya kotoran dan air kencing kambing. Sehingga dipahami dari dua riwayat tersebut bahwa
hewan yang oleh Allah Ta`ala dagingnya halal dimakan, maka air kencing dan kotorannya tidaklah
najis.” (Lihat Majmu’ Fatawa , Ibnu Taimiyah jilid 21 hal. 534 – 587).
3). Bekas air mandi dan air wudlu seorang Muslim pria maupun wanita tidaklah najis. Demikian pula
bersalaman dengan seorang Muslim yang sedang dalam keadaan junub, tidak pula najis. Karena
adanya penegasan yang demikian dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam : “Hanyalah seorang
Muslim itu tidaklah najis.” (HR. Muslim dalam Shahih nya Kitabul Haidl bab Ad-Dalil `ala
`Annal Muslima la Yanjus dari Hudzaifah hadits ke 372). Dari Ibni Abbas radliyallahu
`anhuma , dia berkata: Bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam mandi
dengan air bekas mandinya Maimunah.” (HR. Muslim dlm sahihnya hadist 223).
4). Darah atau nanah yang keluar dari tubuh seorang Muslim dan darah itu bukan keluar dari qubul
ataupun dubur , maka darah ini juga tidak teranggap najis. Karena telah diriwayatkan oleh Abu
Dawud dalam Sunan nya bahwa seorang shahabat Nabi dari kalangan Anshar ketika sedang
menjaga suatu lembah dari serangan musuh, dia menyibukkan diri dengan shalat. Ketika itu dia
terkena panah musuh dalam keadaan shalat dan mengalirlah darah dari luka yang
dideritanya. Shahabi tersebut tidak membatalkan shalatnya, yang berarti menunjukkan bahwa
darah yang keluar dari selain dua jalan, tidaklah dianggap najis dan tidak membatalkan wudlu.
(Lihat Sunan Abi Dawud Kitabut Thaharah bab Wudlu’ minad Dam hadits ke 198 dari Jabir
radliyallahu
`anhu . Juga lihat Syarhus Sunnah Al-Baghawi Kitabul Haidl bab Man Shalatahu Addam
riwayat ke 330 jilid 1 hal. 425 – 426).
5). Sesuatu yang keluar dari mulut karena muntah atau pun ingus atau ludah seorang Muslim juga
tidak dianggap najis. Al-Imam Ibnu Hazmin rahimahullah menerangkan: “Alasan bagi kami
4
bahwa tidak ada kewajiban wudlu ketika terkena perkara-perkara tersebut ialah karena tidak
ada keterangan dalam Al-Qur’an dan tidak pula dalam hadits. Bahkan tidak ada dalam ijma’
yang mewajibkan orang untuk berwudlu karenanya.” ( Al-Muhalla , Ibnu Hazm, jilid 1 hal. 236
masalah ke 169)
CARA BERTHAHARAH DARI NAJIS
ATAU PUN HADATS
Alat ber thaharah (yakni bersuci) dari najis atau hadats itu ialah dengan air yang suci dari najis.
Sedangkan air yang suci dari najis itu ialah air yang tidak terdapat padanya warna atau pun bau
najis. Allah Ta`ala menegaskan tentang kedudukan air sebagai alat untuk bersuci dari najis dan
hadats :

“Dan Kami turunkan air dari langit sebagai alat bersuci.” ( Al-Furqan : 48) Juga firman-Nya:

“Dan Allah turunkan air dari langit kepada kalian agar Dia mensucikan kalian dengannya dari
najis dan agar menghilangkan was- was syaithan.” ( Al-Anfal : 11)
Dari Rasyid bin Sa’ad dari Abu Umamah dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam beliau bersabda:
“Sesungguhnya air itu sifatnya suci dan mensucikan kecuali bila berubah baunya, atau rasanya,
atau warnanya dengan benda najis yang jatuh ke dalamnya.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunanul
Kubra jilid 1 hal. 260).
Maka dengan demikian, air itu tetap pada fungsinya sebagai alat be rthaharah dari najis dan hadats
selama tidak ada bau benda najis padanya, atau selama tidak ada padanya warna dari warna benda
najis. Adapun cara berthaharah dari benda najis itu ialah
5

dengan mengalirkan air pada bagian yang terkena najis hingga hilang bekas-bekas najis padanya.
Dan bekas-bekas najis itu ialah bau, warna dan rasanya. Hal ini dicontohkan oleh Nabi shallallahu
`alaihi wa sallam dalam suatu peristiwa berikut ini:
Dari Anas, dia berkata: Telah datang seorang Arab dari pegunungan, kemudian dia kencing di
salah satu pojok masjid. Maka orang-orang pun menghardiknya, dan Rasulullah s.a.w melarang
mereka untuk menghardiknya. Maka ketika orang gunung itu telah selesai dari kencingnya,
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memerintahkan untuk diambilkan seember air dan
kemudian air itu dituangkan pada tempat yang dikencingi oleh orang gunung itu.” (HR. Bukhari
dan Muslim dalam Shahih keduanya)
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menuntunkan cara membersihkan najis dengan cara
menyiramkan air padanya adalah karena masjid beliau waktu itu lantainya berupa tanah berpasir,
sehingga dengan disiram air sebanyak itu, akan hilang bau dan bekas najis yang lainnya. Tapi
bila sudah dicuci dengan sungguh-sungguh kain itu namun sebagian bekas najisnya masih belum
hilang, maka yang demikian ini tidaklah mengapa. Hal ini telah diterangkan dalam riwayat berikut
ini:
Dari Abu Hurairah radliyallahu `anhu bahwa Khaulah bintu Yasar pernah mendatangi Nabi s.a.w.
Maka dia pun bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki baju kecuali hanya
sepotong saja yang aku pakai ketika dalam keadaan haidl, maka bagaimana pula yang harus aku
lakukan?” Beliau menjawab: “Apabila telah berhenti haidl-mu, maka cucilah baju itu.” Khaulah
bertanya lagi: “Bagaimana kalau bekas darahnya tidak bisa hilang dengan dicuci?” Beliau
menjawab: “Cukup bagimu dengan dicucinya darah yang mengena baju itu. dan tidak mengapa
bekas darah haidl yang tidak bisa hilang itu.” (HR. Abu Dawud Kitabut Thaharah bab Keterangan
tentang Wanita yang Mencuci Bajunya yang Dipakainya ketika Haidl , hadits no. 365)
Sedangkan cara bersuci dari hadats kecil ialah dengan berwudlu, dan cara bersuci dari hadats
besar ialah dengan mandi junub, yang dinamakan juga mandi wajib.
MENCUCI BEJANA YANG
DIJILAT ANJING
Islam memberi tuntunan dalam perkara jilatan anjing ini dengan cara pencucian yang khusus,
sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w: “Sucinya bejana tempat air kalian apabila dijilat anjing
padanya, maka cucilah bejana itu dengan air sebanyak tujuh kali, didahului dengan
menggosoknya dengan tanah.” (HR. Muslim hadits ke 279 / 91 dari Abi Hurairah radliyallahu
`anhu )

Tuntunan yang demikian ini ialah bila anjing menjilat tempat air. Al-Imam An-Nawawi
menerangkan: “ Para ahli bahasa Arab menerangkan: Kalimat di hadits ini maknanya ialah:
Apabila anjing itu minum dengan menjilat air menggunakan ujung lidahnya.” Abu Zaid berkata:
“Yang demikian itu apabila anjing itu menjilat minuman kita, dan pada minuman kita, atau
ia minum dari minuman kita.” ( Syarah Shahih Muslim , Al-Imam An-Nawawi, juz 3 hal. 519).
Adapun bila anjing itu menjilat selain tempat air, maka cara mencucinya sama dengan cara
mencuci benda najis yang lainnya, yaitu sampai bekas najisnya telah hilang. Dan bila dia menjilat
tanah, maka tidak perlu adanya pencucian karena najisnya telah gugur dengan tanah itu. (Lihat
Al-Muhalla , Ibnu Hazm, jilid 1 hal. 120 masalah ke 127). Dan mencuci bejana tempat air yang
dijilat anjing tidak dapat digantikan dengan cairan sabun atau cairan pengganti lainnya. Karena
cara pencucian yang dituntunkan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam adalah perkara ibadah, tidak
dapat digantikan dengan cara lainnya yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi
wa sallam .
PENUT
UP
6
Tuntunan at-thaharah tersebut menunjukkan betapa Islam itu adalah agama yang diajarkan
dengan mencocoki fitrah manusia. Dan janganlah kita mempertentangkan tuntunan Al-
Qur’an dan Al-Hadits ini dengan akal fikiran yang amat terbatas kemampuannya. Karena
perkara at-thaharah ini adalah termasuk perkara ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta`ala.

DAFTAR
PUSTAKA:
1). Al-Qur’anul
Karim
2). Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari , Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Maktabah
As-Salafiyah, tanpa tahun.
3). Talkhisul Habir , Ibnu Hajar Al-Asqalani, Mu`assasah
Qurtubah, th. 1416 H / 1995 M.
4). Shahih Muslim bi Syarah An-Nawawi , penerbit Darul Khair, Damaskus – Beirut ,
cetakan pertama, th.1414H/1994 M.
5). Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, Al-Imam Abu Zakaria Muhyidin bin Syaraf An-
Nawawi, Darul Fikr, 1414 H/1994 M.
6). Al-Hawil Kabir , Al-Imam Abil Hasan Al-Mawardi, Darul
Fikr, th. 1414 H / 1994 M.
7). Al-Mughni fi Fiqih Al-Imam Ahmad bin Hanbal , Al-Imam Abi Muhammad ibnu
Qudamah,Darul Fikr, th.1405H/1985 M.
8). Majmu’ Fatawa , Ibnu Taimiyah, Mujamma’ Al-Malik Fahad, Al-Madinah Al-
Munawarrah, th. 1416 H / 1995 M.
9). Sunan Abu Dawud , Al-Imam Abu Dawud As-Sijistani, Darur Rayyan lit
Turats, th. 1408 H / 1988 M.
10). Al-Mushannaf , Al-Imam Abdurrazaq bin Hammam As-Shan`ani, Al-Majlisul `Ilmi,
Beirut – Libanon, tanpa tahun.
11). Sunan At-Tirmidzi , Al-Imam Abu Isa At-Tirmidzi, Darul Kutub Al-
Ilmiyah, th. 1356 H / 1937 M.
12). Syarhus Sunnah , Al-Imam Al-Baghawi, Darul Fikr,
th. 1414 H / 1994 M.
13). Al-Muhalla , Al-Imam Ibnu Hazm, Darul
Fikr, tanpa tahun.
14). As-Sunanul Kubra , Al-Imam Al-Baihaqi,
Darul Fikr, tanpa tahun
15) Al Ustadz Ja’far Umar Thalib
http://alghuroba.org/apa.php

Anda mungkin juga menyukai