Anda di halaman 1dari 109

Macam-Macam Najis

Pengertian Najis
Najis adalah sesuatu yang dianggap kotor oleh orang yang memiliki tabi’at yang selamat (baik) dan selalu menjaga diri darinya .
Apabila pakaian terkena najis –seperti kotoran manusia dan kencing- maka harus dibersihkan. (Lihat Rhoudhotun Nadiyah Syarh
Ad Durorul Bahiyyah, Shidiq Hasan Khon, 1/22, Darul ‘Aqidah,cetakan pertama, 1422 H)

Perlu dibedakan antara najis dan hadats. Najis kadang kita temukan pada badan, pakaian dan tempat. Sedangkan hadats
terkhusus kita temukan pada badan. Najis bentuknya konkrit, sedangkan hadats itu abstrak dan menunjukkan keadaan seseorang.
Ketika seseorang selesai berhubungan badan dengan istri (baca: jima’), ia dalam keadaan hadats besar. Ketika ia kentut, ia dalam
keadaan hadats kecil. Sedangkan apabila pakaiannya terkena air kencing, maka ia berarti terkena najis. Hadats kecil dihilangk an
dengan berwudhu dan hadats besar dengan mandi. Sedangkan najis, asalkan najis tersebut hilang, maka sudah membuat benda
tersebut suci. Mudah-mudahan kita bisa membedakan antara hadats dan najis ini. (Faedah dari pembahasan di Shahih Fiqh
Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayid Saalim, 1/71, Al Maktabah At Taufiqiyah)

Hukum Asal Segala Sesuatu adalah Suci


Terdapat suatu kaedah penting yang harus diperhatikan yaitu segala sesuatu hukum asalnya adalah mubah dan suci. Barangsiapa
mengklaim bahwa sesuatu itu najis maka dia harus mendatangkan dalil. Namun, apabila dia tidak mampu mendatangkan dalil atau
mendatangkan dalil namun kurang tepat, maka wajib bagi kita berpegang dengan hukum asal yaitu segala sesuatu itu pada
asalnya suci. (Lihat As Sailul Jaror, Asy Syaukani, 1/31, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan pertama, tahun 1405 H) Menyatakan
sesuatu itu najis berarti menjadi beban taklif, sehingga hal ini membutuhkan butuh dalil. (Lihat Rhoudhotun Nadiyah Syarh Ad
Durorul Bahiyyah, 1/24)

1
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Macam-Macam Najis
1,2 – Kencing dan kotoran (tinja) manusia
Mengenai najisnya kotoran manusia ditunjukkan dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Jika
salah seorang di antara kalian menginjak kotoran (al adza) dengan alas kakinya, maka tanahlah yang nanti akan menyucikannya. ”
(HR. Abu Daud no. 385. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Al adza (kotoran) adalah segala sesuatu yang mengganggu yaitu benda najis, kotoran, batu, duri, dsb. (Lihat ‘Aunul Ma’bud,
Muhammad Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi Abu Ath Thoyib, 2/32, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut, cetakan kedua, 1415 H)

Yang dimaksud al adza dalam hadits ini adalah benda najis, termasuk pula kotoran manusia.(Lihat ‘Aunul Ma’bud, 2/34) Selain dalil
di atas terdapat juga beberapa dalil tentang perintah untuk istinja’ yang menunjukkan najisnya kotoran manusia. (Lihat Shahih Fiqh
Sunnah, 1/71)

Sedangkan najisnya kencing manusia dapat dilihat pada hadits Anas, “(Suatu saat) seorang Arab Badui kencing di masjid. Lalu
sebagian orang (yakni sahabat) berdiri. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Biarkan dan jangan henti kan
(kencingnya)”. Setelah orang badui tersebut menyelesaikan hajatnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas meminta satu em ber
air lalu menyiram kencing tersebut.” (HR. Muslim no. 284)

Shidiq Hasan Khon rahimahullah mengatakan, “Kotoran dan kencing manusia sudah tidak samar lagi mengenai kenajisannya,
lebih-lebih lagi pada orang yang sering menelaah berbagai dalil syari’ah.” (Lihat Ar Roudhotun Nadiyah, 1/22)

3,4 - Madzi dan Wadi


Wadi adalah sesuatu yang keluar sesudah kencing pada umumnya, berwarna putih, tebal mirip mani, namun berbeda
kekeruhannya dengan mani. Wadi tidak memiliki bau yang khas.

2
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Sedangkan madzi adalah cairan berwarna putih, tipis, lengket, keluar ketika bercumbu rayu atau ketika membayangkan jima’
(bersetubuh) atau ketika berkeinginan untuk jima’. Madzi tidak menyebabkan lemas dan terkadang keluar tanpa terasa yaitu keluar
ketika muqoddimah syahwat. Laki-laki dan perempuan sama-sama bisa memiliki madzi.( Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil
Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, 5/383, pertanyaan kedua dari fatwa no.4262, Mawqi’ Al Ifta’)

Hukum madzi adalah najis sebagaimana terdapat perintah untuk membersihkan kemaluan ketika madzi tersebut keluar. Dari ‘Ali
bin Abi Thalib, beliauradhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku termausk orang yang sering keluar madzi. Namun aku malu menanyakan hal
ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallm dikarenakan kedudukan anaknya (Fatimah) di sisiku. Lalu aku pun memerintahkan
pada Al Miqdad bin Al Aswad untuk bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau memberikan jawaban pada Al
Miqdad, “Perintahkan dia untuk mencuci kemaluannya kemudian suruh dia berwudhu”.”(HR. Bukhari no. 269 dan Muslim no. 303)

Hukum wadi juga najis. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Mengenai mani, madzi dan wadi; adapun mani, maka
diharuskan untuk mandi. Sedangkan wadi dan madzi, Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Cucilah kemaluanmu, lantas berwudhulah
sebagaimana wudhumu untuk shalat.” (HR. Al Baihaqi no. 771. Syaikh Abu Malik -penulis Shahih Fiqh Sunnah- mengatakan
bahwa sanad riwayat ini shahih)

5 – Kotoran hewan yang dagingnya tidak halal dimakan


Contohnya adalah Kotoran keledai jinak: Keledai jinak termasuk hewan yang diharamkan untuk dimakan. Inilah pendapat
mayoritas ulama. Di antara dalilnya adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang pada perang Khoibar memakan daging keledai jinak, dan beliau mengizinkan memakan daging kuda. ” (HR. Bukhari no.
4219 dan Muslim no. 1941)

Kotoran anjing: Anjing termasuk hewan yang haram dimakan karena ia termasuk hewan buas (yang dapat menyerang manusia)
dan bertaring. Padahal Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap hewan buas yang bertaring haram untuk dimakan.”
(HR. Muslim no. 1933, dari Abu Hurairah)

3
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Kotoran babi (Babi termasuk hewan yang haram dimakan sebagaimana disebutkan dalam Surat Al An’am ayat 145 ). Abdullah bin
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermaksud bersuci setelah buang hajat. Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Carikanlah tiga buah batu untukku.” Kemudian aku mendapatkan dua batu dan kotoran keledai.
Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil dua batu dan membuang kotoran tadi. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
lantas bersabda, “Kotoran ini termasuk najis”.” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 70)

Hal ini menunjukkan bahwa kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya semacam kotoran keledai jinak adalah najis.

6 – Darah haidh
Dalil yang menunjukkan hal ini, dari Asma’ binti Abi Bakr, beliau berkata, “Seorang wanita pernah mendatangi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallamkemudian berkata, “Di antara kami ada yang bajunya terkena darah haidh. Apa yang harus kami perbuat?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Gosok dan keriklah pakaian tersebut dengan air, lalu percikilah. Kemudian
shalatlah dengannya.” (HR. Bukhari no. 227 dan Muslim no. 291)

Shidiq Hasan Khon rahimahullah mengatakan, “Perintah untuk menggosok dan mengerik darah haidh tersebut menunjukkan akan
kenajisannya.”( Ar Roudhotun Nadiyah, hal. 30)

7 – Jilatan anjing
Dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Cara menyucikan bejana di antara
kalian apabila dijilat anjing adalah dicuci sebanyak tujuh kali dan awalnya dengan tanah.”(HR. Muslim no. 279) Yang dipilih oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bagian anjing yang termasuk najis adalah jilatannya saja. Sedangkan bulu dan anggota tubuh
lainnya tetap dianggap suci sebagaimana hukum asalnya.( Lihat Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 21/616-620,
Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H)

4
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
8 – Bangkai
Bangkai adalah hewan yang mati begitu saja tanpa melalui penyembelihan yang syar’i.(Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/73) Najisnya
bangkai adalah berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abdullah bin ‘Abbas, “Apabila kulit bangkai tersebut
disamak, maka dia telah suci.”

Bangkai yang dikecualikan adalah :

a – Bangkai ikan dan belalang


Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kami dihalalkan
dua bangkai dan darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati dan
limpa.”( HR. Ibnu Majah no. 3314. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Ibnu Majah mengatakan bahwa hadits
ini shohih)

b – Bangkai hewan yang darahnya tidak mengalir


Contohnya adalah bangkai lalat, semut, lebah, dan kutu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Apabila seekor lalat jatuh di salah satu bejana di antara kalian, maka celupkanlah lalat tersebut seluruhnya,
kemudian buanglah. Sebab di salah satu sayap lalat ini terdapat racun (penyakit) dan sayap lainnya terdapat penawarnya .”(HR.
Bukhari no. 5782)

c – Tulang, tanduk, kuku, rambut dan bulu dari bangkai


Semua ini termasuk bagian dari bangkai yang suci karena kita kembalikan kepada hukum asal segala sesuatu adalah suci.
Mengenai hal ini telah diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq (tanpa sanad), beliau rahimahullah berkata, “Hammad
mengatakan bahwa bulu bangkai tidaklah mengapa (yaitu tidak najis). Az Zuhri mengatakan tentang tulang bangkai dari gajah dan
semacamnya, ‘Aku menemukan beberapa ulama salaf menyisir rambut dan berminyak dengan menggunakan tulang tersebut.
Mereka tidaklah menganggapnya najis hal ini’.” (Lihat Shohih Bukhari pada Bab ‘Benda najis yang jatuh pada minyak dan air’)

5
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Tersisa pembahasan beberapa hal yang sebenarnya tidak termasuk najis -menurut pendapat ulama yang lebih kuat- yaitu mani,
darah (selain darah haidh), muntah, dan khomr. Dan juga masih tersisa pembahasan bagaimana cara membersihkan najis.

Cara Membersihkan Najis


Berikut beberapa penjelasan mengenai cara membersihkan najis sebagai kelanjutan dari pembahasan macam-macam
najis dalam tulisan sebelumnya. Semoga bermanfaat.

1 – Menyucikan kulit bangkai dengan disamak


(Bangkai adalah hewan yang mati begitu saja tanpa melalui penyembelihan yang syar’i) Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
beliau berkata bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kulit bangkai apa saja yang telah
disamak, maka dia telah suci.” (HR. An Nasa’i no. 4241, At Tirmidzi no. 1728, Ibnu Majah no. 3609, Ad Darimi dan Ahmad. Syaikh
Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir wa Ziyadatuhu no. 4476 mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Namun hadits di atas tidak berlaku umum. Perlu dibedakan antara:

[1] kulit bangkai yang sebenarnya jika hewannya mati dengan jalan disembelih menjadi halal, maka kulit bangkai tersebut bisa suci
dengan disamak.

[2] kulit bangkai yang jika hewannya disembelih tidak membuat hewan tersebut halal (artinya: hewan tersebut haram dimakan),
maka kulitnya tetap tidak bisa suci dengan disamak (Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat ulama. Ada sebagian ulama
yang menganggap bahwa hewan yang haram sekali pun jika kulitnya disamak tetap menjadikan kulitnya suci. Mereka berdalil
dengan keumuman hadits tentang kulit yang disamak. Namun pendapat yang dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin
itulah yang lebih tepat, sebagaimana alasan yang beliau sebutkan di atas). Inilah pendapat yang lebih kuat dari pendapat ulama
yang ada.

Contoh pertama: Kulit kambing yang mati dalam keadaan bangkai, misalnya kambingnya mati ditabrak dan tidak sempat
disembelih, maka bisa menjadi suci dengan disamak.
6
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Contoh kedua: Serigala mati, lalu kulitnya diambil, walaupun kulit tadi disamak, tetap kulit tersebut tidak suci (najis). Alasannya,
jika serigala tersebut disembelih tidak bisa membuat hewan tersebut jadi halal, maka jika kulit hewan tersebut disamak lebih -lebih
lagi tidak membuat jadi suci. Kulit serigala ini masih tetap najis berbeda dengan kulit kambing tadi. Namun kulit ini boleh digunakan
untuk keadaan kering saja. Karena dalam keadaan kering, najisnya tidak menyebar luas. Demikian penjelasan dari Al Faqih Syaik h
Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dengan perubahan redaksi. (Lihat Fathu Dzil Jalaali wal Ikrom Syarh Bulughil
Marom, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 1/159, Madarul Wathon Lin Nasyr, cetakan pertama, tahun 1425 H)

Serigala adalah hewan yang haram dimakan karena termasuk hewan buas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap
hewan buas yang bertaring haram untuk dimakan.” (HR. Muslim no. 1933, dari Abu Hurairah)

2 – Menyucikan bejana yang dijilat anjing


Adapun mengenai najis pada anjing terdapat tiga pendapat di kalangan para ulama :
Pertama, seluruh tubuhnya najis bahkan termasuk bulu (rambutnya). Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan salah satu dari dua
riwayat (pendapat) Imam Ahmad.
Kedua, anjing itu suci termasuk pula air liurnya. Inilah pendapat yang masyhur dari Imam Malik.
Ketiga, air liurnya itu najis dan bulunya itu suci. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah dan pendapat lain dari Imam Ahmad.

Yang terkuat adalah pendapat ketiga sebagaimana pernah kami terangkan pada tulisan sebelumnya. (Lihat Majmu’ Al Fatawa,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 21/616-620, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H)

Dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Cara menyucikan bejana di antara
kalian apabila dijilat anjing adalah dicuci sebanyak tujuh kali dan awalnya dengan tanah.” (HR. Muslim no. 279)

Sebagaiman diterangkan oleh An Nawawi rahimahullah, mengenai cara membersihkan jilatan anjing ada beberapa riwayat. Ada
riwayat yang menyebut “ ”, yaitu tujuh kali. Ada riwayat lain menyebut “ ”, yaitu tujuh kali dan awalnya
dengan tanah. Ada lagi yang menyebut “ ”, yaitu yang terakhir atau pertamanya. Ada riwayat menyebut, “

7
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
”, yaitu tujuh kali dan yang ketujuh dengan tanah.Ada yang menyebut, “ ”, yaitu tujuh kali dan yang
kedelapan dilumuri dengan tanah.”

Selanjutnya An Nawawi mengatakan, “Al Baihaqi dan selainnya telah mengeluarkan seluruh riwayat ini. Ini menunjukkan bahwa
penggunaan kata “yang pertama” dan penyebutan urutan lainnya bukanlah syarat, namun yang dimaksudkan adalah “salah
satunya dengan tanah”. Adapun riwayat terakhir yang menyatakan “yang terakhir dilumuri tanah, maka menurut madzhab
Syafi’iyah dan madzhab mayoritas ulama bahwa yang dimaksud adalah cucilah tujuh kali, salah satu dari yang tujuh itu dengan
tanah bersama air. Maka seakan-akan tanah tadi mengganti cara mencuci sehingga disebut kedelapan. Wallahu a’lam. ” (Al Minhaj
Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, 3/185, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392)

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud “pertamanya dengan tanah” ada tiga
pilihan: [1] Awalnya disiram air, lalu dilumuri tanah, [2] Dilumuri tanah terlebih dahulu, lalu disiram air, atau [3] Mencamp uri tanah
dan air, lalu dilumuri pada bejana yang dijilat anjing. (Lihat Fathu Dzil Jalaali wal Ikrom Syarh Bulughil Marom, 1/95)

3 – Menyucikan pakaian yang terkena darah haidh


Dari Asma’ binti Abi Bakr, beliau berkata, “Seorang wanita pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian dia
berkata, “Di antara kami ada yang bajunya terkena darah haidh. Apa yang harus kami perbuat?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab, “Singkirkan darah haidh dari pakaian tersebut kemudian keriklah kotoran yang masih tersisa dengan air,
lalu cucilah( Makna cuci (al ghuslu) di sini sebagaimana diterangkan oleh Al Faqih Syaikh Muhammad bin Sholih Al
‘Utsaimin rahimahullah. Lihat Fathu Dzil Jalaali wal Ikrom Syarh Bulughil Marom , 1/219) Kemudian shalatlah dengannya.” (HR.
Bukhari no. 227 dan Muslim no. 291)

8
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Kalau masih ada bekas darah haidh yang tersisa setelah dibersihkan tadi, maka hal ini tidaklah mengapa.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Khaulah binti Yasar berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai
Rasulullah, aku hanya memiliki satu pakaian. Bagaimana ketika haidh saya memakai pakaian itu juga?” Lantas Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau telah suci, cucilah bagian pakaianmu yang terkena darah lalu shalatlah dengannya .”
Lalu Khaulah berujar lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau masih ada bekas darah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab, “Air tadi sudah menghilangkan najis tersebut, sehingga bekasnya tidaklah membahayakanmu.” (HR. Ahmad.
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Jika wanita ingin membersihkan darah haidh tersebut dengan menggunakan kayu sikat atau alat lainnya atau dengan
menggunakan air plus sabun atau pembersih lainnya untuk menghilangkan darah haidh tadi, maka ini lebih baik (Lihat Shahih Fiqh
Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/84, Al Maktabah At Taufiqiyah).

Dalilnya adalah hadits Ummu Qois binti Mihshon, beliau mengatakan, “Aku bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengenai darah haidh yang mengenai pakaian. Beliau menjawab, “ Gosoklah dengan tulang hean dan cucilah dengan air dan sidr
(sejenis tanaman)”.” (HR. Abu Daud no. 363, An Nasai no. 292, 395, dan Ahmad (6/355). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih)

4 – Menyucikan ujung pakaian wanita


Dari ibunya Ibrohim bin Abdur Rahman bin ‘Auf bahwasanya beliau bertanya pada Ummu Salamah –salah satu istri Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Beliau berkata, “Aku adalah wanita yang berpakaian panjang. Bagaimana kalau aku sering berjalan
di tempat yang kotor?” Ummu Salamah berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tanah yang berikutnya
akan menyucikan najis sebelumnya.” (HR. Abu Daud no. 383, Tirmidzi no. 143, dan Ibnu Majah no. 531. Syaikh Al Albani
dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Sebagian ulama menyatakan bahwa yang dimaksud najis dalam hadits di atas adalah najis yang sifatnya kering, seperti Imam
Ahmad (Al Atsrom pernah mendengar Ahmad bin Hambal ditanya mengenai hadits Ummu Salamah “tanah berikutnya akan

9
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
menyucikan najis sebelumnya”. Beliau rahimahullah menjawab, “Menurutku wanita tersebut bukanlah terkena kencing, lalu
disucikan dengan tanah selanjutnya. Akan tetapi, ia melewati tempat yang kotor (bukan najis yang basah, pen) kemudian ia
melewati tempat yang lebih suci, lalu tempat tersebut menyucikan najis sebelumnya.” (Lihat Al Istidzkar, Ibnu ‘Abdil Barr, 1/171,
Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan pertama, 1421 H) dan Imam Malik. Menurut mereka, jika ujung pakaian wanita terkena najis yang
sifatnya basah, maka tidak bisa disucikan dengan tanah berikutnya, namun harus dengan cara dicuci.

Al Baghowi rahimahullah mengatakan, “Ada yang memahami bahwa najis yang dimaksud dalam hadits ini adalah najis yang
sifatnya kering saja. Ini pendapat yang sebenarnya perlu dikritisi. Karena najis yang mengenai pakaian wanita pada umumnya
didapat ketika berjalan di tempat yang kotor dan di sana umumnya ditemukan kotoran yang sifatnya basah. Inilah yang biasa kit a
perhatikan dalam keseharian. Jadi, jika seseorang mengeluarkan maksud kotoran yang sifatnya basah ini dari maksud hadits
tersebut –padahal ini umumnya atau seringnya kita temui-, maka ini adalah anggapan yang teramat jauh.” (Lihat Tuhfatul Ahwadzi,
Muhammad Abdurrahman Al Mubarakfuri, 1/372, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah)

Al Imam Muhammad rahimahullah mengatakan, “Tidak mengapa jika ujung pakaian wanita terkena kotoran (najis) selama kotoran
tersebut tidak seukuran dirham yang besar (artinya: kotorannya banyak, pen). Jika kotoran tersebut banyak, maka tidak boleh
shalat dengan menggunakan pakaian tersebut sampai dibersihkan (dicuci).” Demikian pula pendapat dari Imam Abu
Hanifah rahimahullah. (Idem)

5 – Membersihkan pakaian dari kencing bayi yang belum mengonsumsi makanan


Dari Abus Samhi –pembantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Membersihkan kencing bayi perempuan adalah dengan dicuci, sedangkan bayi laki -laki cukup dengan diperciki.” (HR. Abu Daud
no. 376 dan An Nasa’i no. 304. Syaikh Al Albani dalam Al Jami Ash Shogir wa Ziyadatuhu mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Yang dimaksudkan di sini adalah bayi yang masih menyusui dan belum mengonsumsi makanan. Kencing bayi laki -laki dan
perempuan sama-sama najis, namun cara menyucikannya saja yang berbeda. (Lihat Tawdhihul Ahkam, Syaikh Ali Basam, 1/176-
177, Darul Atsar)

10
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Dalil kenapa yang dimaksud di sini adalah bayi yang belum mengonsumsi makanan adalah hadits berikut. “Dari Ummu Qois binti
Mihshon (saudara dari ‘Ukkasyah bin Mihshon), ia berkata, “Aku pernah masuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan membawa puteraku –yang belum mengonsumsi makanan-. Kemudian anakku tadi mengencingi Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Beliau pun meminta air untuk diperciki (pada bekas kencing tadi, pen). ” (HR. Bukhari no. 5693 dan Muslim no. 287)

Apa yang dimaksud dengan bayi yang belum mengonsumsi makanan? Al Faqi h Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin
rahimahullah menjelaskan, “Bukanlah yang dimaksud bahwa bayi tersebut tidak mengonsumsi makanan sama sekali. Karena
seandainya kita katakan demikian, bayi ketika awal-awal lahir, ia pun sudah mencicipi sedikit makanan. Akan tetapi yang
dimaksudkan tidak mengonsumsi makanan adalah makanan sudah menjadi pengganti dari ASI atau ia mengonsumsi makanan
sudah lebih banyak dari ASI. Namun jika ASI masih jadi konsumsi utamanya, maka sudah jelas. Adapun jika makanan sudah
menjadi mayoritas yang ia konsumsi, maka kita menangkan mayoritasnya (yaitu dianggap dia sudah mengonsumsi makanan,
pen).” (Fathu Dzil Jalali wal Ikrom Syarh Bulughil Marom, 1/214)

6 – Membersihkan pakaian yang terkena madzi


Dari Sahl bin Hunaif, beliau berkata, “Dulu aku sering terkena madzi sehingga aku sering mandi. Lalu aku menanyakan hal ini pada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kejadian yang menimpaku ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,
‘Cukup bagimu berwudhu ketika mendapati seperti ini.’ Aku lantas berkata lagi, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana jika ada sebagian
madzi yang mengenai pakaianku?’. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Cukup bagimu mengambil air seukuran telapak
tangan, lalu engkau perciki pada pakaianmu ketika engkau terkena madzi ’.” (HR. Abu Daud no. 210, Tirmidzi no. 115, dan Ibnu
Majah no. 506. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Asy Syaukani rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini menjelaskan bahwa jika madzi cuma diperciki saja, maka itu sudah cukup
untuk menghilangkan najisnya. … Ini menunjukkan bahwa memercikinya termasuk kewajiban. Madzi adalah najis yang ringan,
sehingga diberi keringanan cara menyucikannya.” (As Sailul Jaror, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad Asy Syaukani, 1/35, Darul
Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan pertama, tahun 1405 H)

11
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Ini adalah perilaku terhadap pakaian yang terkena madzi, yaitu cukup diperciki. Sedangkan kemaluannya cukup dibersihkan dan
bersucinya adalah dengan berwudhu, tanpa perlu mandi besar.

7 – Menyucikan bagian bawah alas kaki (sandal)


Dari Abu Sa’id Al Khudri, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama para sahabatnya. Ketika
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas kedua sandalnya dan meletakkannya di sebelah kirinya, tatkala para sahabat melihat
hal itu, mereka pun ikut mencopot sandal mereka. Ketika selesai shalat, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Kenapa
kalian melepas sandal kalian?”. Mereka menjawab, “Kami melihat engkau mencopot sandalmu, maka kami juga ikut mencopot
sandal kami.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas memberitahu mereka, “Sesungguhnya Jibril shallallahu ‘alaihi wa sallam
mendatangiku dan memberitahu aku bahwa di sandalku itu terdapat kotoran .” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,
“Apabila salah seorang di antara kalian pergi ke masjid, maka lihatlah, jika terdapat kotoran (najis) atau suatu gangguan di sandal
kalian, maka usaplah sandal tersebut (ke tanah) dan shalatlah dengan keduanya.” (HR. Abu Daud no. 650. Syaikh Al Albani
mengatakan dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud bahwa hadits ini shohih)

Ash Shon’ani rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini menunjukkan disyariatkannya shalat dengan menggunakan sendal (Dengan
catatan, shalat dengan sandal boleh dilakukan jika memungkinkan disesuaikan dengan kondisi tempat shalat. Jika zaman
sekarang ini, masjid dilengkapi dengan lantai keramik, maka sudah seharusnya tidak menggunakan sendal di dalam masjid.
Sunnah ini bisa dilakukan ketika di luar masjid seperti ketika bersafar). Hadits ini menunjukkan pula bahwa mengusap sendal yang
terkena najis (ke tanah), itu sudah menyucikannya. Kotoran (najis) yang dimaksud di sini mencakup yang basah atau pun yang
kering. Sebab cerita hadits ini adalah bahwasanya Jibril mengabarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa di sendal
beliau terdapat kotoran ketika beliau shalat. (Lalu beliau pun mencopot sendalnya) dan terus melanjutkan shalat. Oleh karena itu,
jika seseorang berada dalam shalat dan ia terkena najis tanpa ia ketahui atau lupa, kemudian ia mengetahuinya ketika di
pertengahan shalat, maka ia wajib menghilangkan najis tersebut. Kemudian ia pun terus melanjutkan shalatnya.” (Subulus Salam,
Muhammad bin Isma’il Ash Shon’ani, 1/137, Maktabah Musthofa, ce takan keempat, tahun 1379)

12
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
8 – Menyucikan tanah
Dari Abu Hurairah, beliau radhiyallahu ‘anhu berkata, “Seorang arab badui pernah kencing di masjid, lalu para sahabat ingin
menghardiknya. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para sahabatnya, “Biarkan dia! (Setelah dia kencing),
siramlah kencing tersebut dengan seember air. Kalian itu diutus untuk mendatangkan kemudahan dan bukan bukan untuk
mempersulit”.” (HR. Bukhari no. 220)

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh menyiram tanah yang terkena kencing tadi dengan air dengan
maksud untuk mempercepat sucinya tanah dari najis. Seandainya tanah tersebut dibiarkan hingga kering, lalu hilang bekas
najisnya, maka tanah tersebut juga sudah dinilai suci. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mengenai anjing
yang keluar-masuk masjid dan kencing di sana, namun dibiarkan begitu saja tanpa disiram atau diperciki dengan air. Beliau
berkata, “Beberapa ekor anjing sering kencing dan keluar-masuk masjid pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Namun mereka (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya) tidak memerciki kencing anjing tersebut. ” (HR.
Bukhari no. 174)

Apakah Menghilangkan Najis Harus dengan Menggunakan Air?


Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Yang masyhur dalam madzhab Imam Malik, Imam Ahmad dan pendapat baru
dari Imam Asy Syafi’i, juga Asy Syaukani bahwa untuk menghilangkan najis disyaratkan dengan menggunakan air, tidak boleh
berpaling pada yang lainnya kecuali jika ada dalil.

Sedangkan menurut madzhab Imam Abu Hanifah, pendapat lain dari Imam Malik dan Imam Ahmad, pendapat yang lama dari
Imam Asy Syafi’i(Lihat penjelasan Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah, 1/86), pendapat Ibnu Hazm(Lihat Al Muhalla, Ibnu
Hazm, 1/92, Mawqi’ Ya’sub), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah(Lihat Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 21/475, Darul
Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H) dan pendapat Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin(Lihat Fathu Dzil Jalali wal Ikrom,
hal. 176) bahwa diperbolehkan menghilangkan najis dengan cara apa pun dan tidak dipersyaratkan menggunakan air. Pendapat
kedua inilah yang lebih tepat.

13
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Alasan-alasan yang mendukung pendapat kedua ini:

Pertama: Jika air boleh digunakan untuk menyucikan yang lain, maka demikian pula setiap benda atau cairan yang bisa
menyucikan dan menghilangkan najis benda lain juga berlaku demikian.

Kedua: Syari’at memerintahkan menghilangkan najis dengan air pada beberapa perkara tertentu, namun syariat tid ak
memaksudkan bahwa setiap najis harus dihilangkan dengan air.

Ketiga: Syari’at membolehkan menghilangkan najis dengan selain air. Seperti ketika istijmar yaitu membersihkan kotoran ketika
buang air dengan menggunakan batu. Contoh lainnya adalah menyucikan sendal yang terkena najis dengan tanah. Begitu pula
membersihkan ujung pakaian wanita yang panjang dengan tanah berikutnya. Sebagaimana dalil tentang hal ini telah kami
sebutkan.

Keempat: Membersihkan najis bukanlah bagian perintah, namun menghindarkan diri dari sesuatu yang mesti dijauhi. Jika najis
tersebut telah hilang dengan berbagai cara, maka berarti najis tersebut sudah dianggap hilang.

Terakhir, yang menguatkan hal ini lagi: khomr (menurut ulama yang menganggapnya najis) jika telah berubah menjadi cuka, maka
ia dihukumi suci dan ini berdasarkan kesepakatan para ulama. (Lihat penjelasan dalam Shahih Fiqh Sunnah, 1/86-87)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Pendapat yang terkuat dalam masalah ini bahwasanya najis kapan saja
ia hilang dengan cara apa pun, maka hilang pula hukum najisnya. Karena hukum terhadap sesuatu jika illah (sebab)-nya telah
hilang, maka hilang pula hukumnya. Akan tetapi tidak boleh menggunakan makanan dan minuman untuk menghilangkan najis
tanpa ada keperluan karena dalam hal ini menimbulkan mafsadat terhadap harta dan juga tidak boleh beristinja’ dengan
menggunakan keduanya.” (Majmu’ Al Fata wa, 21/475)

14
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Fiqih Wudhu
Tanya: Niat apakah yang dimaksudkan dalam berwudhu dan mandi (wajib)? Apa hukum perbuatan yang dilakukan tanpa niat dan
apa dalilnya?

Jawab: Niat yang dimaksud dalam berwudhu dan mandi (wajib) adalah niat untuk menghilangkan hadats atau untuk menjadikan
boleh suatu perbuatan yang diwajibkan bersuci, oleh karenanya amalan-amalan yang dilakukan tanpa niat tidak diterima. Dalilnya
adalah firman Allah, “Dan mereka tidaklah diperintahkan melainkan agar beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.”(QS. Al-Bayyinah: 5)

Dan hadits dari Umar bin al-Khaththab, bahwa Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya segala amalan itu tidak lain tergantung pada
niat; dan sesungguhnya tiap-tiap orang tidak lain (akan memperoleh balasan dari) apa yang diniatkannya. Barangsiapa hijrahnya
menuju (keridhaan) Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya itu ke arah (keridhaan) Allah dan rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya karena
(harta atau kemegahan) dunia yang dia harapkan, atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu ke arah
yang ditujunya.” (HR. Bukhari: Jami’ush Shahih, no. 45, 163. Muslim: Jami’ush Shahih, no. 1907)

Tanya: Apakah wudhu itu? Apa dalil yang menunjukkan wajibnya wudhu? Dan apa (serta berapa macam) yang mewajibkan
wudhu?

Jawab: Yang dimaksud wudhu adalah menggunakan air yang suci dan mensucikan dengan cara yang khusus di empat anggota
badan yaitu, wajah, kedua tangan, kepala, dan kedua kaki. Adapun sebab yang mewajibkan wudhu adalah hadats, yaitu apa saja
yang mewajibkan wudhu atau mandi [terbagi menjadi dua macam, (Hadats Besar) yaitu segala yang mewajibkan mandi dan
(Hadats Kecil) yaitu semua yang mewajibkan wudhu].

15
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Adapun dalil wajibnya wudhu adalah firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua
mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)

Tanya: Apa dalil yang mewajibkan membaca basmalah dalam berwudhu dan gugur kewajiban tersebut kalau lupa atau tidak tahu?

Jawab: Dalil yang mewajibkan membaca basmalah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari Nabi, beliau
bersabda, “Tidak sah shalat bagi orang yang tidak berwudhu dan tidak sah wudhu orang yang tidak menyebut nama Allah atas
wudhunya.”

Adapun dalil gugurnya kewajiban mengucapka n basmalah kalau lupa atau tidak tahu adalah hadits, “Dimaafkan untuk umatku,
kesalahan dan kelupaan.” Tempatnya adalah di lisan dengan mengucapkan bismillah.

Tanya: Apa sajakah syarat-syarat wudhu itu?

Jawab: Syarat-syarat (sahnya) wudhu adalah sebagai berikut:


(1). Islam, (2). Berakal, (3). Tamyiz (dapat membedakan antara baik dan buruk), (4). Niat, (5). Istishab hukum niat, (6). Tid ak
adanya yang mewajibkan wudhu, (7). Istinja dan istijmar sebelumnya (bila setelah buang hajat), (8). Air yang thahur (suci lagi
mensucikan), (9). Air yang mubah (bukan hasil curian -misalnya-), (10). Menghilangkan sesuatu yang menghalangi air meresap
dalam pori-pori.

Tanya: Ada berapakah fardhu (rukun) wudhu itu? Dan apa saja?

Jawab: Fardhu (rukun) wudhu ada 6 (enam), yaitu:


1. Membasuh muka (temasuk berkumur dan memasukkan sebagian air ke dalam hidung lalu dikeluarkan).
2. Membasuh kedua tangan sampai kedua siku.
3. Mengusap (menyapu) seluruh kepala (termasuk mengusap kedua daun telinga).
16
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
4. Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki.
5. Tertib (berurutan).
6. Muwalah (tidak diselingi dengan perkara-perkara yang lain).

Tanya: Sampai dimana batasan wajah (muka) itu? Bagaimana hukum membasuh rambut/bulu yang tumbuh di (daerah) muka
ketika berwudhu?

Jawab: Batasan-batasan wajah (muka) adalah mulai dari tempat tumbuhnya rambut kepala yang normal sampai jenggot yang
turun dari dua cambang dan dagu (janggut) memanjang (atas ke bawah), dan dari telinga kanan sampai telinga kiri melebar. Waji b
membasuh semua bagian muka bagi yang tidak lebat rambut jenggotnya (atau bagi yang tidak tumbuh rambut jenggotnya) beserta
kulit yang ada di balik rambut jenggot yang jarang (tidak lebat). Karena anda lihat sendiri, kalau rambut jenggotnya lebat ma ka
wajib membasuh bagian luarnya dan di sunnahkan menyela -nyelanya. Karena masing-masing bagian luar jenggot yang lebat dan
bagian bawah jenggot yang jarang bisa terlihat dari depan sebagai bagian muka, maka wajib membasuhnya.

Tanya: Apa yang dimaksud dengan tertib (urut)? Apa dalil yang mewajibkannya dari al-Qur’an dan As-Sunnah?

Jawab: Yang dimaksud dengan tertib (urut) adalah sebagaimana yang tertera dalam ayat yang mulia. Yaitu membasuh wajah,
kemudian kedua tangan (sampai siku), kemudian mengusap kepala, kemudian membasuh kedua kaki.

Adapun dalilnya adalah sebagaimana tersebut dalam ayat di atas (ayat 6 surat al -Maidah). Di dalam ayat tersebut telah
dimasukkan kata mengusap diantara dua kata membasuh. Orang Arab tidak melakukan hal ini melainkan untuk suatu fa edah
tertentu yang tidak lain adalah tertib (urut).

Kedua, sabda Rasulullah, “Mulailah dengan apa yang Allah telah memulai dengannya.”
Ketiga, hadits yang diriwayatkan dari ‘Amr bin ‘Abasah. Dia berkata, “Wahai Rasulullah beritahukan kepadaku tentang wudhu?”
Rasulullah berkata, “Tidaklah salah seorang dari kalian mendekati air wudhunya, kemudian berkumur -kumur, memasukkan air ke
hidungnya lalu mengeluarkannya kembali, melainkan gugurlah dosa-dosa di (rongga) mulut dan rongga hidungnya bersama air
17
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
wudhunya, kemudian (tidaklah) ia membasuh mukanya sebagaimana yang Allah perintahkan, melainkan gugurlah dosa -dosa
wajahnya melalui ujung-ujung janggutnya bersama tetesan air wudhu, kemudian (tidaklah) ia membasuh kedua tangannya sampai
ke siku, melainkan gugurlah dasa-dosa tangannya bersama air wudhu melalui jari-jari tangannya, kemudian (tidaklah) ia mengusap
kepalanya, melainkan gugur dosa-dasa kepalanya bersama air melalui ujung-ujung rambutnya, kemudian (tidaklah) ia membasuh
kedua kakinya, melainkan gugur dosa-dasa kakinya bersama air melalui ujung-ujung jari kakinya.” (HR. Muslim)

Dan dalam riwayat Ahmad terdapat ungkapan, “Kemudian mengusap kepalanya (sebagaimana yang Allah perintahkan),…
kemudian membasuh kedua kakinya sampai mata kaki sebagaimana yang Allah perintahkan.”
Dan di dalam riwayat Abdullah bin Shanaji terdapat apa yang menunjukkan akan hal itu. Wallahu A’lam.

Tanya: Apa yang dimaksud dengan muwalah dan apa dalilnya?

Jawab: Maksudnya adalah jangan mengakhirkan membasuh anggota wudhu sampai mengering anggota sebelumnya setelah
beberapa saat.

Dalilnya, hadits yang diriwayatkan Ahmad dan Abu Dawud dari Nabi, bahwa beliau melihat seorang laki -laki di kakinya ada bagian
sebesar mata uang logam yang tidak terkena air wudhu, maka beliau memerintahkan untuk mengulangi wudhunya.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Umar bin al-Khathab bahwa seorang laki-laki berwudhu, tetapi meninggalkan satu bagian sebesar
kuku di kakinya (tidak membasahinya dengan air wudhu). Rasulullah melihatnya maka beliau berkata, “Ber wudhulah kembali,
kemudian shalatlah.” Sedangkan dalam riwayat Muslim tidak menyebutkan lafal, “Ber wudhulah kembali.”

Tanya: Bagaimana tata cara wudhu yang sempurna? Dan apa yang dibasuh oleh orang yang buntung ketika berwudhu?

Jawab: Hendaknya berniat kemudian membaca basmalah dan membasuh tangannya sebanyak tiga kali, kemudian berkumur-
kumur dan memasukkan air ke dalam hidung (lalu mengeluarkannya) sebanyak tiga kali dengan tiga kali cidukan. Kemudian,

18
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
membasuh mukanya sebanyak tiga kali, kemudian membasuh kedua tangannya beserta kedua sikunya sebanyak tiga kali,
kemudian mengusap kepalanya sekali, dari mulai tempat tumbuh rambut bagian depan sampai akhir tumbuhnya rambut dekat
tengkuknya, kemudian mengembalikan usapan itu (membalik) sampai kembali ketempat semula memulai, kemudian memasukkan
masing-masing jari telunjuknya ke telinga dan menyapu bagian daun telinga dengan kedua jempolnya, kemudian membasuh
kedua kakinya beserta mata kakinya tiga kali, dan bagi yang cacat membasuh bagian-bagian yang wajib (dari anggota tubuhnya)
yang tersisa. Jika yang buntung adalah persendiannya maka memulainya dari bagian lengan yang terputus. Demikian pula jika
yang buntung adalah dari persendian tumit kaki, maka membasuh ujung betisnya.

Tanya: Apa dalil dari tata cara wudhu yang sempurna? Sebutkan dalil-dalil tersebut secara lengkap?

Jawab: Adapun niat dan membaca basmalah, telah disebutkan dalilnya di atas. Dan dalam riwayat Abdullah bin Zaid tentang
tatacara wudhu (terdapat lafal), “Kemudian Rasulullah memasukkan tangannya, kemudian berkumur dan memasukkan air ke
dalam hidung dengan satu tangan sebanyak tiga kali.” (Mutafaq ‘alaih)

“Dan dari Humran bahwa Utsman pernah meminta dibawakan air wudhu, maka ia membasuh kedua telapak tangannya tiga kali,
…kemudian membasuh tangan kanannya sampai ke siku tiga kali, kemudian tangan kirinya seperti itu pula, kemudian mengusap
kepalanya, kemudian membasuh kaki kanannya sampai mata kaki tiga kali, kemudian kaki kirinya seperti itu pula, kemudian
berkata, ‘Aku melihat Rasulullah berwudhu seperti wudhuku ini.’” (Mutafaq alaih)

Dan dari Abdullah bin Zaid bin Ashim dalam tatacara wudhu, ia berkata, “Dan Rasulullah mengusap kepalanya, menyapukannya
ke belakang dan ke depan.” (Mutafaq alaih)

Dan lafal yang lain, “(Beliau) memulai dari bagian depan kepalanya sampai ke tengkuk, kemudian menariknya lagi ke bagian
depan tempat semula memulai.”

19
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Dan dalam riwayat Ibnu Amr tentang tata cara berwudhu, katanya, “Kemudian (Rasulullah) mengusap kepalanya, dan
memasukkan dua jari telunjuknya ke masing-masing telinganya, dan mengusapkan kedua jari jempolnya ke permukaan daun
telinganya.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i dan disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah)

Tanya: Apa saja yang termasuk sunnah-sunnah wudhu beserta dalilnya?

Jawab: Yang termasuk sunnah-sunnah wudhu adalah:

1. Menyempurnakan wudhu.
2. Menyela-nyela antara jari jemari.
3. Melebihkan dalam memasukkan air ke dalam hidung kecuali bagi yang berpuasa.
4. Mendahulukan anggota wudhu yang kanan.
5. Bersiwak.
6. Membasuh dua telapak tangan sebanyak tiga kali.
7. Mengulangi setiap basuhan dua kali atau tiga kali.
8. Menyela-nyela jenggot yang lebat.

Dalil tentang siwak telah lalu penjelasannya. Adapun tentang membasuh dua telapak tangan sebelum berwudhu, yaitu apa yang
diriwayatkan oleh Ahmad dan Nasa’i dari Aus bin Aus ats-Tsaqafi ia berkata, “Aku melihat Nabi berwudhu, maka beliau mencuci
dua telapak tangannya sebanyak tiga kali.”

Adapun tentang menyempurnakan wudhu, menyela-nyela jari jemari dan melebihkan (dalam memasukkan air ke hidung) kecuali
bagi yang berpuasa, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Laqith bin Shabrah, katanya, “Aku berkata: ‘Wahai
Rasulullah, kabarkan kepadaku tentang wudhu?’” Nabi berkata, “Sempurnakan wudhu -mu, dan sela-selalah antara jari-jemarimu,
dan bersungguh sungguhlah dalam memasukkan air ke dalam hidung kecuali jika kamu dalam keadaan berpuasa.” (Diriwayatkan
oleh lima imam, dishahihkan oleh Tirmidzi)

20
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Dan dari ‘Aisyah, ia berkata, “Nabi suka mengawali sesuatu dengan yang kanan, dalam memakai terompah, bersisir, bersuc i dan
dalam segala sesuatu.”(Mutafaq alaih)

Adapun menyela-nyala jenggot, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Utsman, “Bahwa Nabi ada menyela-nyala jenggotnya.” (HR.
Ibnu Majah dan Turmudzi dan ia menshahihkannya). Cara menyela-nyela jenggot ini dengan mengambil seraup air dan
meletakkannya dari bawahnya dengan jari-jemarinya atau dari dua sisinya dan menggosokkan keduanya. Dan dalam riwayat Abu
Dawud dari Anas, “Bahwa Nabi jika berwudhu mengambil seraup air, kemudian meletakkannya di bawah dagunya dan b erkata,
‘Demikianlah yang diperintahkan oleh Tuhan kepadaku.’”

Tanya: Berapa takaran air yang dibutuhkan ketika berwudhu atau mandi (junub)?

Jawab: Takaran air dalam berwudhu adalah satu mud (Satu mud sama dengan 1 1/3 liter menurut ukuran orang Hijaz da n 2 liter
menurut ukuran orang Irak. (Lihat Lisanul Arab Jilid 3 hal 400). Adapun untuk mandi sebanyak satu sha’ sampai lima mud.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Anas, katanya, “Adalah Rasulullah ketika berwudhu dengan (takaran air sebanyak)
satu mud dan mandi (dengan takaran sebanyak) satu sha’ sampai lima mud.” (HR. Muttafaq alaih). Dan makruh (dibenci) berlebih-
lebihan, yaitu yang lebih dari tiga kali dalam berwudhu.

Tanya: Bacaan apa yang disunnahkan ketika selesai berwudhu?

Jawab: Bacaan yang disunnahkan adalah mengucapkan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Umar, katanya, “Berkata
Rasulullah, ‘Tidaklah salah seorang diantara kalian berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, kemudian mengucapkan: asyhadu
anlaa ilaaha illalloohu wahdahu laa syariikalahu wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa Rosuuluh (Aku bersaksi bahwa tidak
ada Ilah yang berhak disembah selain Allah semata; yang tidak ada sekutu baginya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah
hamba-Nya dan utusan-Nya), melainkan dibukakan untuknya delapan pintu syurga, ia dapat masuk dari mana saja yang ia
kehendaki.’” (HR. Muslim)

21
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Dan Tirmidzi menambahkan: “Alloohummaj’alni minat tawwabiina waj’alnii minl mutathohhiriin (Ya Allah jadikan aku termasuk
orang-orang yang bertaubat dan jadikan aku termasuk orang-orang yang suka mensucikan diri).”

Nawaqidul Wudhu
Tanya: Apa arti nawaqidul wudhu?

Jawab: Nawaqidul wudhu artinya yang membatalkan wudhu, seperti sesuatu yang keluar dari dua jalan (kencing dan berak),
makan daging unta, tidur lama, menyentuh kemaluan dengan syahwat, semua yang mewajibkan mandi, gila, mabuk, pingsan,
obat-obat yang menghilangkan kesadaran, dan murtad/keluar dari Islam -semoga Allah melindungi kita darinya-.

Tanya: Apa dalilnya bahwa kencing dan berak membatalkan wudhu?

Jawab: Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah. Dia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Allah tidak akan
menerima shalat salah seorang dari kamu apabila telah berhadats hingga dia berwudhu.” (Bukhari, hadits no. 132. Muslim, hadits
no. 225)

Lalu ada seorang laki-laki dari penduduk Hadhramaut yang bertanya, “Apa yang dimaksud hadats, wahai Abu Hurairah?” Beliau
menjawab, “Yaitu kentut.” (Mutafaq alaih)

Demikian pula hadits Shafwan bin Assal, “Akan tetapi yang temasuk perkara yang membatalkan wudhu adalah buang air besar,
buang air kecil, dan tidur.”

Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa makan daging unta itu termasuk yang membatalkan wudhu?

Jawab: Dalilnya adalah hadits riwayat dari Jabir bin Samurah, Bahwa ada seorang laki -laki yang bertanya kepada Nabi, “Apakah
kami harus wudhu karena makan daging kambing?” Beliau bersabda, “Kalau kamu mau (silakan berwudhu lagi).” Laki -laki itu
22
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
bertanya lagi, “Apakah kami (harus) wudhu karena makan daging onta?” Beliau bersabda, “Ya.” Laki -laki itu bertanya, “Bolehkah
shalat di kandang kambing?” Beliau bersabda, “Ya boleh.” Laki -laki itu bertanya lagi, “Bolehkah shalat di kandang onta?” Nabi
bersabda, “Tidak boleh.” (Ahmad, hadits no. 20287 dan Muslim, hadits no. 360)

Dari al-Barra’ bin ‘Azib berkata, “Rasulullah telah ditanya tentang wudhu karena makan daging unta, maka beliau bersabda,
‘Berwudhulah karenanya.’” Dan ketika ditanya tentang wudhu karena makan daging kambing, beliau bersabda, “Janganlah
berwudhu karenanya.” (Ahmad Hadits no. 18067 dan Abu Dawud hadits no. 184)

Ada yang berpendapat bahwa tidak membatalkan wudhu kalau makan unta selain dagingnya seperti, makan hati, limpa, jeroan,
lemak, lidah, kepala, punuk, kikil, usus, kuah. Sementara pendapat yang kedua menyatakan tetap batal, karena daging di sini
sebagai ungkapan yang menunjukan seluruh apa yang ada dalam binatang. Sesungguhnya pengaharaman babi itu secara
keseluruhan (tidak hanya dagingnya saja), maka demikian pulalah halnya mengenai hukum memakan daging onta ini, dagingnya
saja atau selain dagingnya tetap membatalkan, dan ini adalah pendapat yang paling kuat dan paling berkah. Wallahu ‘alam.

Tanya: Apa dalil yang menunjukan bahwa tidur sebentar tidak membatalkan wudhu sementara tidur lama (pulas) membatalkan
wudhu?

Jawab: Dalilnya adalah riwayat dari Ali bin Abi Thalib beliau berkata, “Telah bersabda Rasulullah, ‘Mata adalah tali pengikat dubur,
maka barangsiapa telah tidur hendaklah berwudhu.’” (Ibnu Majah Hadits no. 477, Ahmad Hadits no. 16437. Abu Dawud Hadits no.
203)

Demikian pula dalam hadits Shafwan bin Assal, “Akan tetapi (yang termasuk membatalkan wudhu) adalah buang air besar, buang
air kecil dan tidur.”

Adapun dalilnya, yang menyatakan bahwa tidur sebentar tidak membatalkan wudhu adalah sebagaimana yang diriwaya tkan oleh
Anas bin Malik,“Adalah para sahabat Rasulullah menunggu-nunggu waktu isya hingga larut malam, hingga kepala mereka

23
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
berkulaian (terantuk-antuk). Kemudian mereka melakukan shalat tanpa wudhu lagi.” (Abu Dawud, hadits no. 200 dan telah
dishahihkan Daruqutni dan asalnya dalam riwayat Muslim)

Juga berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Aku bermalam di tempat bibiku, Maimunah. Tatkala Rasulullah berdiri untuk
shalat, maka aku pun berdiri di samping kirinya. Lalu beliau memegang tanganku dan m enarikku supaya berada di samping
kanannya. Lalu aku pun berada di samping kanannya. Apabila aku mengantuk, beliau memegang daun telingaku.” Ibnu Abbas
berkata, “Dan Rasulullah shalat dengan sebelas rakaat.”

Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa hilang ingatan dengan sebab pingsan, gila, mabuk, atau memakai obat-obatan yang
menghilangkan akal itu termasuk membatalkan wudhu?

Jawab: Hilang ingatan itu ada dua jenis, pertama karena tidur. Mengenai dalilnya telah lalu penjelasannya. Kedua hilang akal
karena gila, pingsan, mabuk atau yang sejenisnya. Pembatalan wudhunya karena orang yang memiliki sifat semacam ini ketidak
sadarannya lebih parah kalau dibandingkan dengan orang tidur, dengan dalil (bukti) dia tidak akan bangun apabila dibangunkan.
Karenanya hukum wajibnya berwudhu bagi orang yang hilang akal lebih layak jika tidur lama saja membatalkan wudhu. Dan para
ulama telah menjelaskan bahwasannya sebentar atau lamanya gila, mabuk, pingsan atau yang sejenisnya tetap membatalkan
wudhu. Ini berdasarkan ijma (kesepakatan) ulama. Telah berkata Ibnu Mundzir, para ulama telah sepakat atas wajibnya wudhu
bagi orang yang pingsan.

Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa menyentuh-kemaluan baru membatalkan jika diiringi dengan syahwat?

Jawab: Dalam hal ini ada dua periwayatan yang kedua-duanya shahih:
Riwayat pertama, hadits dari Ummu Habibah. Dia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Barangsiapa menyentuh
kemaluannya, maka hendaknya dia berwudhu.’” (Ibnu Majah, hadits no. 481, 482 dan Atsram. Dishahihkan oleh Ahmad dan Abu
Zur’ah)

24
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi bersabda, “Barangsiapa menyentuh kemaluannya, maka janganlah melaksanakan shalat
hingga berwudhu.” (HR. Khamsah dan telah dishahihkan oleh Tirmidzi, hadits no. 82 Bukhari berkata dalam bab ini, inilah yang
paling shahih)

“Apabila salah seorang di antara kalian tangannya menyetuh kemaluannya, maka wajib atasnya untuk berwudhu.” (HR. Syafi’i dan
Ahmad Hadits no. 8199)

Dalam riwayat lain, “Kalau tanpa kain pembatas.”


Dari Umar bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya dari Nabi bersabda, “Setiap laki-laki yang menyentuh kemaluannya, maka
hendaknya dia berwudhu dan setiap wanita yang menyentuhnya maka berwudhulah.” (HR. Ahmad)

Riwayat kedua, hadits dari Talq bin Ali, bahwasannya Nabi ditanya tenta ng menyentuh kamaluan ketika shalat? Maka beliau
bersabda, “Bukankah kemaluan itu bagian dari anggata tubuhmu!?” (HR. Ibnu Hibban III/403, Sunan Daruqutni I/149, Majmu
Zawaid I/244)

Maka dibutuhkan penggabungan (penyatuan) antara dua riwayat hadits di atas, bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan
wudhu jika menyentuhnya sebagaimana menyentuh anggota tubuhnya yang lain (seperti menyentuh daun telinga, hidung dan
anggota tubuh lainnya) yang terjadi tanpa syahwat. Artinya ketika menyentuh kemaluan tanpa syahwat itu sama seperti menyentuh
daun telinga, hidung dan lainnya. Dengan cara inilah kedua hadits tersebut di atas diamalkan. Dan dengan cara penyatuan inila h
yang paling baik dan ini pulalah yang telah dipilih oleh jama’ah as-Habu Malik dan sebagian ulama hadits.

Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa laki-laki menyentuh wanita atau sebaliknya tanpa pembatas dengan syahwat
membatalkan wudhu?

Jawab: Mereka yang berpendapat demikian itu mengambil dalil dari firman Allah, “Atau kalian menyentuh wanita.” (QS. an-Nissa:
43)

25
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Telah berkata Ibnu Mas’ud, “Ciuman termasuk lams dan ciuman itu mengharuskan wudhu.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud) (Dalil
yang dijadikan pegangan bagi mereka yang berpendapat batal wudhu bila menyentuh wanita dengan syahwat atau tanpa syahwat
hanya pada ayat ini saja, adapun hadits tidak ada satupun yang shahih). Maka jawaban atas mereka yang berpendapat seperti ini
sebagai berikut:

Bahwa tafsir kata ‘al-lamsu’ dalam surat an-Nissa ayat 43 di atas yang benar adalah bermakna jima (senggama), dan sesuai
dengan dalil yang shahih dari Ibrahim at-Taimiy dari ‘Aisyah, bahwa Rasulullah:

“Adalah Rasulullah mencium salah satu dari istrinya kemudian shalat dan tanpa mengulangi wudhu.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i.
Hadits no. 170)

Demikian pula hadits dari Aisyah radhiallahu ‘anha, katanya, “Pada suatu malam aku kehilangan Rasulullah dari tempat tidur,
(tatkala meraba-raba mencarinya) maka aku menyentuhnya, aku letakan tanganku pada telapak kakinya yang ketika itu beliau
berada di masjid dalam posisi sujud dengan menegakkan kedua telapak kakinya.” (HR. Muslim dan Tirmidzi telah menshahihkan)
Hadits di atas adalah dalil bahwa menyentuh istri dengan syahwat atau tidak dengan syahwat itu tidak membatalkan wudhu dan ini
adalah pendapat Imam Abu Hanifah, dan inilah pendapat yang benar.

Tanya: Apa yang dimaksud dengan riddah (murtad)? Dan apa dalil yang menunjukan bahwa riddah itu membatalkan wudhu?

Tanya: Riddah adalah melakukan perkara-perkara yang menyebabkan seseorang keluar dari Islam, baik dengan ucapan,
keyakinan atau dengan keragu-raguan. Jika dia kembali masuk Islam (sementara ketika sebelum murtad dia masih dalam kadaan
berwudhu) dia tidak boleh shalat sebelum berwudhu lagi.

Dalilnya adalah firman Allah, “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: ‘Jika
kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang -orang yang merugi.’” (QS.
az-Zumar: 65)

26
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Firman Allah, “Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di
hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS. al-Maidah: 5)

Dan berdasarkan keterangan dari Ibnu Abbas, “Hadats ada dua, hadats lisan dan hadats kemaluan. Hadits lisan lebih berat; dan
dari keduanya mengharuskan wudhu.”

Juga berdasarkan keumuman hadits Rasulullah, “Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kalian apabila hadats hingga
berwudhu.”(Muttafaq alaih; Bukhari hadits no. 135, 6554. Muslim hadits no. 225)

Tanya: Apa dalil orang yang berpendapat bahwa memandikan mayat membatalkan wudhu?

Jawab: Dalilnya adalah riwayat Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah. Adapun riwayat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas bahwa
mereka berdua telah memerintahkan kepada orang yang memandikan mayat supaya berwudhu. Sedangkan riwayat dari Abu
Hurairah dia menjadikan minimal yang mesti dilakukan orang yang memandikan mayat adalah berwudhu, dan kami tidak
mengetahui ada dari kalangan sahabat yang menyelisihi pendapat mereka. karena kebanyakan orang yang memandikan ma yat itu
tangannya tidak bisa menghindari dari menyentuh kemaluan, maka berdasarkan keumuman inilah mereka yang memandikan
jenazah dianggap telah meyentuh kemaluan, sebagaimana orang yang tidur lama telah dianggap berhadats (karena ketidak
sadarannya akan apa yang telah ia perbuat, termasuk jika ia berhadats).

Abu Hasan at-Taimi berkata, “Tidak ada wudhu bagi orang yang memandikan mayit.” Ini adalah pendapat mayoritas fuqaha dan
inilah yang benar insyaAllah. Adapun dalilnya karena hukum wajib harus dari syari’at sementara tidak ada riwayat (nash) dalam hal
ini dan tidak pula nash yang bermakna sebagaimana yang dinaskan atasnya. Maka hukumnya kembali pada asal, yaitu kerena
memandikan mayat mirip memandikan orang hidup inilah sebenarnya sebab diperintahkan wudhu bagi orang yang memandian
mayit. Adapun riwayat dari imam Ahmad yang berpendapat istihbab (disukai) berwudhu tidak sampai kepada wajib, sesungguhnya
perkataannya itu menunjukan tidak wajibnya wudhu. Beliau tidak mengamalkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi, “Barang siapa
memandikan mayat maka hendaknya ia mandi.” (Tarikh al-Kabir I/1398), dengan alasan hadits di atas hanya sampai Abu Hurairah

27
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
(mauquf) sehingga ucapan Abu Hurairah tidak menjadikan hukum tersebut menjadi wajib meskipun peng -istihbaban beliau dengan
alasan adanya kemungkinan bahwa itu adalah sabda Rasulullah, padahal yang lebih utama dan tepat semestinya tidak
mewajibkannya karena itu merupakan ucapan Abu Hurairah dengan tidak membuka peluang kemungkinan bahwa itu adalah sabda
Rasulullah.

Bersuci Dengan Debu


Syari’at Islam adalah ajaran yang sangat sempurna. Sebuah ajaran yang diturunkan dari sisi Dzat Yang Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana. Oleh karena itu siapa saja yang dengan lapang dada dan hati gembira menyambut syariat Islam yang dibawa
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamsebagai jalan hidupnya maka sesungguhnya dia telah menemukan cahaya penerang
serta ruh kehidupannya. Para pembaca yang budiman, Islam mengajarkan umatnya untuk beribadah kepada Allah dalam keadaan
suci. Oleh karena itu disyariatkanlah syariat bersuci. Dan sebagaimana sudah dikenal di kalangan umat Islam bersuci itu meliputi
wudhu, mandi dan tayamum. Nah, pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan membahas tentang masalah tayamum.
Semoga Allah ta’ala mengaruniakan ilmu yang bermanfaat kepada kita.

Pengertian Tayamum
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah mendefinisikan tayamum sebagai berikut. Secara bahasa tayamum berarti
bermaksud atau menyengaja. Sebagaimana ungkapan orang Arab tayyamamtu asy-syai’a yang maknanya qashadtuhu (saya
menginginkannya). Adapun dalam terminologi syariat, yang dimaksud dengan tayamum yaitu: membasuh wajah dan kedua telapak
tangan dengan menggunakan ash-sha’id yang suci sebagai pengganti bersuci dengan air yaitu ketika terhalangi memakai air.
Bahkan syariat tayamum ini merupakan salah satu keistimewaan yang dimiliki oleh umat ini. Allah mensyariatkannya demi
menyempurnakan agama mereka, dan juga sebagai tanda bukti kasih sayang dan cinta kasih -Nya kepada mereka (lihat Tanbiihul
Afhaam wa Taisirul ‘Allaam, jilid 1 hal. 112)

Dalil Pensyari’atannya
Diriwayatkan dari sahabat ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
melihat ada seorang lelaki yang memisahkan diri tidak ikut shalat berjamaah bersama orang -orang. Maka beliau pun bertanya
28
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
kepadanya, “Wahai fulan, apakah yang menghalangimu untuk shalat bersama orang-orang ?” Lelaki itu menjawab, “Wahai
Rasulullah, saya mengalami junub sedangkan air tidak ada.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya
engkau bersuci dengan ash-sha’id, itu saja sudah cukup bagimu.” (HR. Bukhari no. 348 dalam At-Tayamum)

Yang dimaksud dengan ash-sha’id adalah permukaan bumi serta segala sesuatu yang berdiri di atasnya. Oleh sebab itu
diperbolehkan bertayamum dengan apapun yang masih layak disebut sebagai bagian permukaan bumi. Inilah pendapat yang
dipilih oleh Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Imam Malik serta Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumullah (lihat Shahih Fiqih
Sunnah, I/198) Hadits ini menunjukkan bahwa apabila tidak ada air maka diperbolehkan bersuci dengan cara tayamum. Dan
menunjukkan pula bahwa tayamum itu berkedudukan sebagaimana bersuci dengan air, selama air tidak ada atau tidak sanggup
memakainya(lihat Tanbiihul Afhaam wa Taisirul ‘Allaam, jilid 1 hal. 113-114)

Sebab-Sebab Dilakukan Tayamum


Tayamum boleh dilakukan karena: (1) Ketika tidak sanggup memakai air, atau (2) Karena tidak ada air, atau (3) Karena khawatir
akan bahaya yang timbul bila tersentuh air gara-gara badan sedang menderita sakit atau karena hawa dingin yang sangat
menusuk. Bahkan mayoritas ulama berpendapat bahwa seseorang yang khawatir mati disebabkan hawa dingin yang sangat
menusuk diperbolehkan untuk bertayamum, karena kondisinya serupa dengan keadaan orang yang sakit (Lihat Shahih Fiqih
Sunnah, I/196)

Dalil-dalilnya adalah: Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan (apabila) kemudian kalian tidak berhasil menemukan air maka
bertayamumlah dengan tanah yang suci.” (QS. An-Nisaa’: 43)

Diriwayatkan dari Jabirradhiyallahu’anhu bahwa dia berkata; Pada suatu saat kami bepergian dalam sebuah rombongan
perjalanan. Tiba-tiba ada seorang lelaki diantara kami yang tertimpa batu sehingga menyisakan luka di kepalanya. Beberapa waktu
sesudah itu dia mengalami mimpi basah. Maka dia pun bertanya kepada sahabat-sahabatnya, “Apakah menurut kalian dalam
kondisi ini saya diberi keringanan untuk bertayamum saja?” Menanggapi pertanyaan itu mereka menjawab, “Menurut kami engkau
tidak diberikan keringanan untuk melakukan hal itu, sedangkan engkau sanggup memakai air.” Maka orang itu pun mandi dan

29
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
akhirnya meninggal. Tatkala kami berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau mendapat laporan tentang
peristiwa itu. Beliau bersabda, “Mereka telah menyebabkan dia mati ! Semoga Allah membinasakan mereka. Kenapa mereka tidak
mau bertanya ketika tidak mengetahui. Karena sesungguhnya obat ketidaktahuan adalah dengan bertanya. Sebenarnya dia cukup
bertayamum saja.” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan Hakim. Dinilai shahih oleh Syaikh Abdul ‘Azhim Badawi. Lihat Al Wajiz hal. 55.
Namun hadits ini dinilai lemah oleh Imam Al-Baihaqi dan Ibnu Hazm karena sanadnya lemah. Lihat Shahih Fiqih Sunnah, I/195)

Tata Caranya
Diriwayatkan dari ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu’anhu bahwa dia berkata; ‘Saya pernah mengalami junub dan ketika itu saya tidak
mendapatkan air (untuk mandi, pen). Oleh karena itu saya pun bergulung-gulung di tanah (untuk bersuci, pen) dan kemudian saya
menjalankan shalat. Maka hal itu pun saya ceritakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi bersabda, “Sebenarnya sudah
cukup bagimu bersuci dengan cara seperti ini.” Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam memukulkan kedua telapak tangannya di atas
tanah dan meniup keduanya. Kemudian dengan kedua telapak tangan itu beliau membasuh wajah dan telapak tanga nnya.’ (HR.
Bukhari dan Muslim)

Berdasarkan hadits ini dan juga hadits lainnya maka tata cara tayamum yang benar adalah cukup dengan menepukkan kedua
telapak tangan (1X) ke tanah atau permukaan bumi yang lainnya, kemudian meniupnya, lalu membasuh dengan kedua telapak
tangannya itu wajah dan telapak tangannya (dari ujung jari sampai pergelangan, bagian luar dan dalam telapak tangan) (lihat
Shahih Fiqih Sunnah, I/202-203)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa tata cara tayamum karena junub sama halnya dengan
tayamum karena hadats kecil yaitu dengan cara menepuk tanah dengan kedua telapak tangannya sekali dan kemudian membasuh
telapak tangan kirinya dengan bagian dalam telapak tangan kanannya dan juga bagian luar kedua telapak tangannya serta
wajahnya. Demikianlah penjelasan beliau tatkala menerangkan hadits ‘Ammar bin Yasir di atas. Syaikh Ibnu Bassam hafizhahullah
menerangkan bahwa tayamum itu cukup dengan satu kali tepukan saja. Inilah pendapat yang dipilih oleh mayoritas ulama, di
antara mereka adalah Imam Ahmad, Al-Auza’i, Ishaq serta para ulama ahli hadits berdasarkan hadits-hadits shahih (lihat Tanbiihul
Afhaam wa Taisirul ‘Allaam, jilid 1 hal. 116 dan 117)

30
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Bertayamum Dengan Dinding
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma bahwa dia berkata; Saya datang bersama dengan ‘Abdullah bin Yasar bekas
budak Maimunah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala kami bertemu dengan Abu Jahim bin Al-Harits bin Ash-Shamah
Al-Anshari maka Abu Jahim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah datang dari arah sumur Jamal. Kemudian ada
seorang lelaki yang menemuinya dan mengucapkan salam kepada beliau. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjawab
salamnya hingga beliau menyentuh dinding (dengan tangannya, pen) kemudian membasuh wajah dan kedua telapak tangannya.
Baru setelah itu beliau mau menjawab salamnya.” (Muttafaq ‘alaih) Hadits ini menunjukkan bahwa bertayamum dengan mengusap
dinding diperbolehkan (lihat Al-Wajiz, hal. 57)

Pembatal Tayamum
Tayamum menjadi batal karena hal-hal yang bisa membatalkan wudhu. Selain itu tayamum juga dinilai batal apabila air berhasil
ditemukan oleh orang yang berusaha mencari namun belum menemukannya. Dan tayamum juga dinilai batal apabila seseorang
yang pada awalnya tidak sanggup memakai air karena sakit atau alasan lainnya ternyata pada saat itu dia sudah kembali sanggup
menggunakannya. Sedangkan shalat yang sudah dilakukan sebelumnya dengan bekal tayamum tersebut tetap dinilai sah dan
tidak perlu diulangi.

Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata; ‘Ada dua orang lelaki yang menempuh suatu
perjalanan. Maka tibalah waktu shalat sementara mereka berdua tidak mendapati air sama sekali. Oleh sebab itu mereka pun
bertayamum dengan tanah yang suci lalu melakukan shalat. Kemudian pada suatu saat ternyata mereka menemukan air. Maka
salah seorang dari keduanya mengulangi wudhu dan shalat, sedangkan kawannya yang satu tid ak. Kemudian mereka berdua
menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian tersebut kepada beliau. Maka beliau berkata kepada
orang yang tidak mengulangi shalatnya, “Engkau telah sesuai dengan tuntunan. Dan shalatmu pun dinilai sah.” Dan beliau berkata
kepada orang yang berwudhu dan mengulangi shalatnya, “Engkau memperoleh pahala dua kali.” (HR. Abu Dawud dan An-
Nasa’i, Shahih Sunan Abu Dawud : 327. lihat Al-Wajiz hal. 56-57)

31
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Haruskah Mengusap Perban Jika Terluka?
Seseorang yang terluka atau patah salah satu bagian tubuhnya (anggota badan yang dikenai usapan wudhu atau tayamum, pen)
maka dia tidak berkewajiban mengusapnya (ataupun perbannya, pen) tatkala berwudhu maupun tayamum. Dalilnya adalah firman
Allah ta’ala yang artinya, “Allah tidak akan membebankan kepada seseorang melainkan menurut kesanggupannya.” (QS. Al-
Baqarah: 286)

Begitu pula sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apabila aku memerintahkan kalian untuk menjalankan sesuatu maka
laksanakanlah menurut kemampuan kalian.” (HR. Muslim dan An-Nasa’i)

Berdasarkan ayat al-Qur’an dan As-Sunnah ini maka gugurlah kewajiban dari setiap orang yang tidak berkesanggupan
menjalankannya. Menentukan adanya pengganti tata cara tersebut (mengusap anggota badan, pen) dengan mengusap yang lain
(seperti perban dan semacamnya, pen) adalah tindakan pensyari’atan. Sedangkan syariat tidak bisa digariskan kecuali dengan al-
Qur’an atau as-Sunnah. Padahal tidak ada satu pun dalil dari al-Qur’an maupun as-Sunnah yang menyebutkan adanya pengganti
tindakan mengusap anggota badan yang terluka dengan mengusap perban atau pembalut lukanya. Oleh karena itu pendapat yang
menyatakan dituntunkan untuk mengusap perban adalah pendapat yang tertolak (lihat Al-Wajiz, hal. 57)

5 Hal Yang Menyebabkan Mandi Wajib


Segala puji bagi Allah, pujian yang terbaik untuk-Nya. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan
sahabatnya.

Saat ini kami akan menjelaskan beberapa hal yang berkenaan dengan mandi (al ghuslu). Insya Allah, pembahasan ini akan dikaji
secara lebih lengkap dalam tiga artikel. Pada kesempatan kali ini kita akan mengkaji beberapa hal yang mewajibkan seseorang
untuk mandi (al ghuslu).

Yang dimaksud dengan al ghuslu secara bahasa adalah mengalirkan air pada sesuatu. Sedangkan yang dimaksud dengan al
ghuslu secara syari’at adalah menuangkan air ke seluruh badan dengan tata cara yang khusus. Ibnu Malik mengatakan bahwa al
32
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
ghuslu (dengan ghoin-nya didhommah) bisa dimaksudkan untuk perbuatan mandi dan air yang digunakan untuk mandi. (Kasyaful
Qona’ ‘an Matnil Iqna’, 1/392, Mawqi’ Al Islam)

Beberapa hal yang mewajibkan untuk mandi (al ghuslu):

Pertama: Keluarnya mani dengan syahwat.


Sebagaimana dijelaskan oleh ulama Syafi’iyah, mani bisa dibedakan dari madzi dan wadi (Wadi adalah sesuatu yang keluar
sesudah kencing pada umumnya, berwarna putih, tebal mirip mani, namun berbeda kekeruhannya dengan mani. Wadi tidak
memiliki bau yang khas.

Sedangkan madzi adalah cairan berwarna putih, tipis, lengket, keluar ketika bercumbu rayu atau ketika membayangkan jima’
(bersetubuh) atau ketika berkeinginan untuk jima’. Madzi tidak menyebabkan lemas dan terkadang keluar tanpa terasa yaitu keluar
ketika muqoddimah syahwat. Laki-laki dan perempuan sama-sama bisa memiliki madzi. (Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil
Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, 5/383, pertanyaan kedua dari fatwa no.4262, Mawqi’ Al Ifta’)

dengan melihat ciri-ciri mani yaitu: [1] baunya khas seperti bau adonan roti ketika basah dan seperti bau telur ketika kering, [2]
birnya memancar, [3] keluarnya terasa nikmat dan mengakibatkan futur (lemas). Jika salah satu syarat sudah terpenuhi, maka
cairan tersebut disebut mani. Wanita sama halnya dengan laki-laki dalam hal ini. Namun untuk wanita tidak disyaratkan air mani
tersebut memancar sebagaimana disebutkan oleh An Nawawi dalam Syarh Muslim dan diikuti oleh Ibnu Sholah. (Lihat Kifayatul
Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, Taqiyuddin Abu Bakr Asy Syafi’i, hal. 64, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, tahun 1422 H)

Dalill bahwa keluarnya mani mewajibkan untuk mandi adalah firman Allah Ta’ala, “Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al
Maidah: 6) “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti
apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga
kamu mandi.” (QS. An Nisa’: 43)

33
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Dalil lainnya dapat kita temukan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya (mandi) dengan air disebabkan karena keluarnya air (mani).” (HR. Muslim no. 343)

Menurut jumhur (mayoritas) ulama, yang menyebabkan seseorang mandi wajib adalah karena keluarnya mani dengan memancar
dan terasa nikmat ketika mani itu keluar. Jadi, jika mani tersebut keluar tanpa syahwat seperti ketika sakit atau kedinginan, maka
tidak ada kewajiban untuk mandi. Berbeda halnya dengan ulama Syafi’iyah yang menganggap bahwa jika mani tersebut keluar
memancar dengan terasa nikmat atau pun tidak, maka tetap menyebabkan mandi wajib. Namun pendapat yang lebih kuat adalah
pendapat jumhur (mayoritas) ulama. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, 1/163, Al Maktabah
At Taufiqiyah. Juga lihat penjelasan dalam kitab Fiqh Al Mar’ah Al Muslimah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, hal. 49,
Darul ‘Aqidah, tahun 1428 H)

Lalu bagaimana dengan orang yang mimpi basah?


Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Terdapat ijma’ (kesepakatan) ulama mengenai wajibnya mandi ketika ihtilam (mimpi),
sedangkan yang menyelisihi hal ini hanyalah An Nakho’i. Akan tetapi yang menyebabkan mandi wajib di sini ialah jika orang yang
bermimpi mendapatkan sesuatu yang basah.” (Ad Daroril Mudhiyah Syarh Ad Duroril Bahiyah, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani,
hal. 57, Darul ‘Aqidah, tahun 1425 H)

Dalil mengenai hal ini adalah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang
seorang laki-laki yang mendapatkan dirinya basah sementara dia tidak ingat telah mimpi, beliau menjawab, “Dia wajib mandi”. Dan
beliau juga ditanya tentang seorang laki-laki yang bermimpi tetapi tidak mendapatkan dirinya basah, beliau menjawab: “Dia tidak
wajib mandi”.” (HR. Abu Daud no. 236, At Tirmidzi no. 113, Ahmad 6/256. Dalam hadits ini semua perowinya shahih kecuali
Abdullah Al Umari yang mendapat kritikan. Lihat Ad Daroril Mudhiyah, hal. 58. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
hasan)

34
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Juga terdapat dalil dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Ummu Sulaim (istri dari Abu Tholhah) datang
menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu terhadap
kebenaran. Apakah bagi wanita wajib mandi jika ia bermimpi?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ya, jika dia melihat
air.” (HR. Bukhari no. 282 dan Muslim no. 313)

Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Hadits-hadits di atas adalah sanggahan bagi yang berpendapat bahwa mandi wajib itu
baru ada jika seseorang yang mimpi tersebut merasakan mani tersebut keluar (dengan syahwat) dan yakin akan hal itu.” (Ad
Daroril Mudhiyah, hal. 58)

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah ketika menjelaskan hadits di atas berkata, “Pada saat itu diwajibkan mandi
ketika melihat air (mani), dan tidak disyaratkan lebih dari itu. Hal ini menunjukkan bahwa mandi itu wajib jika seseorang bangun
lalu mendapati air (mani), baik ia merasakannya ketika keluar atau ia tidak merasakannya sama sekali. Begitu pula ia tetap wa jib
mandi baik ia merasakan mimpi atau tidak karena orang yang tidur boleh jadi lupa (apa yang terjadi ketika ia tidur). Yang dimaksud
dengan air di sini adalah mani.” (Fiqh Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 50)

Kedua: Bertemunya dua kemaluan walaupun tidak keluar mani.


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seseorang duduk di antara empat anggota
badan istrinya (maksudnya: menyetubuhi istrinya , pen), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib baginya mandi.” (HR.
Bukhari no. 291 dan Muslim no. 348)

Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan, “Walaupun tidak keluar mani.”


Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
seorang laki-laki yang menyetubuhi istrinya namun tidak sampai keluar air mani. Apakah keduanya wajib mandi? Sedangkan
Aisyah ketika itu sedang duduk di samping, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku sendiri pernah
bersetubuh dengan wanita ini (yang dimaksud adalah Aisyah, pen) namun tidak keluar mani, kemudian kami pun mandi.” (HR.
Muslim no. 350)

35
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Imam Asy Syafi’i rahimahullah menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “junub” dalam bahasa Arab dimutlakkan secara
hakikat pada jima’ (hubungan badan) walaupun tidak keluar mani. Jika kita katakan bahwa si suami junub karena berhubungan
badan dengan istrinya, maka walaupun itu tidak keluar mani dianggap sebagai junub. Demikian nukilan dari Ibnu Hajar Al Asqola ni
dalam Fathul Bari. (Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani 1/398, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379)

Ketika menjelaskan hadits Abu Hurairah di atas, An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Makna hadits tersebut adalah wajibnya
mandi tidak hanya dibatasi dengan keluarnya mani. Akan tetapi, -maaf- jika ujung kemaluan si pria telah berada dalam kemaluan
wanita, maka ketika itu keduanya sudah diwajibkan untuk mandi. Untuk saat ini, hal ini tidak terdapat perselisihan pendapat. Yang
terjadi perselisihan pendapat ialah pada beberapa sahabat dan orang-orang setelahnya. Kemudian setelah itu terjadi ijma’
(kesepakatan) ulama (bahwa meskipun tidak keluar mani ketika hubungan badan tetap wajib mandi) sebagaimana yang pernah
kami sebutkan.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, 4/40-41, Dar Ihya’ At Turots, cetakan
kedua, 1392)

Ketiga: Ketika berhentinya darah haidh dan nifas.


Dalil mengenai hal ini adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada Fathimah binti Abi
Hubaisy, “Apabila kamu datang haidh hendaklah kamu meninggalkan shalat. Apabila darah haidh berhenti, hendaklah kamu mandi
dan mendirikan shalat.” (HR. Bukhari no. 320 dan Muslim no. 333).

Untuk nifas dihukumi sama dengan haidh berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Asy Syaukani rahimahullah mengatakan,
“Mengenai wajibnya mandi karena berhentinya darah haidh tidak ada perselisihan di antara para ulama. Yang menunjukkan hal ini
adalah dalil Al Qur’an dan haditsmutawatir (melalui jalur yang amat banyak). Begitu pula terdapat ijma’ (kesepakatan) ulama
mengenai wajibnya mandi ketika berhenti dari darah nifas.” (Ad Daroril Mudhiyah, hal. 57)

36
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Keempat: Ketika orang kafir masuk Islam.
Mengenai wajibnya hal ini terdapat dalam hadits dari Qois bin ‘Ashim radhiyallahu ‘anhu, “Beliau masuk Islam, lantas Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mandi dengan air dan daun sidr (daun bidara) .” (HR. An Nasai no. 188, At
Tirmidzi no. 605, Ahmad 5/61. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Perintah yang berlaku untuk Qois di sini berlaku pula untuk yang lainnya. Dalam kaedah ushul, hukum asal perintah adalah wajib
(Faedah dari Shahih Fiqh Sunnah, 1/167). Ulama yang mewajibkan mandi ketika seseorang masuk Islam adalah Imam Ahmad bin
Hambal dan pengikutnya dari ulama Hanabilah(Lihat Ad Daroril Mudhiyah, hal. 59), Imam Malik, Ibnu Hazm, Ibnull Mundzir dan Al
Khottobi ( Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/166).

Kelima: Karena kematian.


Yang dimaksudkan wajib mandi di sini ditujukan pada orang yang hidup, maksudnya orang yang hidup wajib memandikan orang
yang mati. Jumhur (mayoritas) ulama menyatakan bahwa memandikan orang mati di sini hukumnya fardhu kifayah, artinya jika
sebagian orang sudah melakukannya, maka yang lain gugur kewajibannya.( Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/617) Penjelasan lebih
lengkap mengenai memandikan mayit dijelaskan oleh para ulama secara panjang lebar dalamKitabul Jana’iz, yang berkaitan
dengan jenazah.

Dalill mengenai wajibnya memandikan si mayit di antaranya adalah perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu
‘Athiyah dan kepada para wanita yang melayat untuk memandikan anaknya, “Mandikanlah dengan mengguyurkan air yang
dicampur dengan daun bidara tiga kali, lima kali atau lebih dari itu jika kalian anggap perlu dan jadikanlah yang terakhirnya dengan
kafur barus (we wangian).” (HR. Bukhari no. 1253 dan Muslim no. 939).

Berdasarkan kaedah ushul, hukum asal perintah adalah wajib. Sedangkan tentang masalah ini tidak ada dalil yang
memalingkannya ke hukum sunnah (dianjurkan). Kaum muslimin pun telah mengamalkan hal ini dari zaman dulu sampai saat ini.
Yang wajib dimandikan di sini adalah setiap muslim yang mati, baik laki -laki atau perempuan, anak kecil atau dewasa, orang
merdeka atau budak, kecuali jika orang yang mati tersebut adalah orang yang mati di medan perang ketika berperang dengan

37
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
orang kafir. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/618. Catatan: Adapun orang yang mati selain di medan pertempuran dan disebut syahid
(seperti orang yang mati karena tenggelam dan sakit perut), maka mereka dimandikan dan disholatkan sebagaimana orang yang
mati pada umumnya. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama. (Shahih Fiqh Sunnah, 1/619)

Lalu bagaimana dengan bayi karena keguguran, wajibkah dimandikan?


Jawabannya, dapat kita lihat dari penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata, “Jika bayi
karena keguguran tersebut sudah memiliki ruh, maka ia dimandikan, dikafani dan disholati. Namun jika ia belum memiliki ruh, m aka
tidak dilakukan demikian. Waktu ditiupkannya ruh adalah jika kandungannya telah mencapai empat bulan, sebagaimana hal ini
terdapat dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu….” (Fiqh Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 51)

Tata Cara Mandi Wajib


Niat, Syarat Sahnya Mandi
Para ulama mengatakan bahwa di antara fungsi niat adalah untuk membedakan manakah yang menjadi kebiasaan da n manakah
ibadah. Dalam hal mandi tentu saja mesti dibedakan dengan mandi biasa. Pembedanya adalah niat. Dalam hadits dari ‘Umar bin
Al Khattab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari no.
1 dan Muslim no. 1907)

Rukun Mandi
Hakikat mandi adalah mengguyur seluruh badan dengan air, yaitu mengenai rambut dan kulit.
Inilah yang diterangkan dalam banyak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha yang menceritakan tata cara mandi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kemudian beliau mengguyur air pada seluruh
badannya.” (HR. An Nasa-i no. 247. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Penguata n makna dalam hadits ini menunjukkan bahwa ketika mandi beliau mengguyur air
ke seluruh tubuh.” (Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 1/361, Darul Ma’rifah, 1379)

38
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Dari Jubair bin Muth’im berkata, “Kami saling memperbincangkan tentang mandi janabah di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
lalu beliau bersabda, “Saya mengambil dua telapak tangan, tiga kali lalu saya siramkan pada kepalaku, kemudian saya tuangkan
setelahnya pada semua tubuhku.” (HR. Ahmad 4/81. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sa nad hadits ini shahih sesuai
syarat Bukhari Muslim)

Dalil yang menunjukkan bahwa hanya mengguyur seluruh badan dengan air itu merupakan rukun (fardhu) mandi dan bukan
selainnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah. Ia mengatakan, “Saya berkata, wahai Rasulullah, aku seorang
wanita yang mengepang rambut kepalaku, apakah aku harus membuka kepangku ketika mandi junub ?” Beliau bersabda, “Jangan
(kamu buka). Cukuplah kamu mengguyur air pada kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah yang lainnya dengan air, maka kamu
telah suci.” (HR. Muslim no. 330)

Dengan seseorang memenuhi rukun mandi ini, maka mandinya dianggap sah, asalkan disertai niat untuk mandi wajib ( al ghuslu).
Jadi seseorang yang mandi di pancuran atau shower dan air mengenai seluruh tubuhnya, maka mandinya sudah dianggap sah.
Adapun berkumur-kumur (madhmadhoh), memasukkan air dalam hidung (istinsyaq) dan menggosok-gosok badan (ad dalk) adalah
perkara yang disunnahkan menurut mayoritas ulama. (Penjelasannya silakan lihat di Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik,
1/173-174 dan 1/177-178, Al Maktabah At Taufiqiyah)

Tata Cara Mandi yang Sempurna


Berikut kita akan melihat tata cara mandi yang disunnahkan. Apabila hal ini dilakukan, maka akan membuat mandi tadi lebih
sempurna. Yang menjadi dalil dari bahasan ini adalah dua dalil yaitu hadits dari ‘Aisyah dan hadits dari Maimunah.
Hadits pertama:

Dari ‘Aisyah, isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi junub, beliau memulainya
dengan mencuci kedua telapak tangannya. Kemudian beliau berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Lalu beliau
memasukkan jari-jarinya ke dalam air, lalu menggosokkannya ke kulit kepalanya, kemudian menyiramkan air ke atas kepalanya

39
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
dengan cidukan kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengalirkan air ke seluruh kulitnya.” (HR. Bukhari
no. 248 dan Muslim no. 316)

Hadits kedua:
Dari Ibnu ‘Abbas berkata bahwa Maimunah mengatakan, “Aku pernah menyediakan air mandi untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Lalu beliau menuangkan air pada kedua tangannya dan mencuci keduanya dua kali -dua kali atau tiga kali. Lalu dengan
tangan kanannya beliau menuangkan air pada telapak tangan kirinya, kemudian beliau mencuci kemaluannya. Setelah itu beliau
menggosokkan tangannya ke tanah. Kemudian beliau berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung. Lalu beliau
membasuh muka dan kedua tangannya. Kemudian beliau membasuh kepalanya tiga kali dan mengguyur seluruh badannya.
Setelah itu beliau bergeser dari posisi semula lalu mencuci kedua telapak kakinya (di tempat yang berbeda).” (HR. Bukhari no. 265
dan Muslim no. 317)

Dari dua hadits di atas, kita dapat merinci tata cara mandi yang disunnahkan sebagai berikut.

Pertama: Mencuci tangan terlebih dahulu sebanyak tiga kali sebelum tangan tersebut dimasukkan dalam bejana atau sebelum
mandi.

Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah mengatakan, “Boleh jadi tujuan untuk mencuci tangan terlebih dahulu di sini adalah untuk
membersihkan tangan dari kotoran … Juga boleh jadi tujuannya adalah karena mandi tersebut dilakukan setelah bangun tidur.”
(Fathul Bari, 1/360)

Kedua: Membersihkan kemaluan dan kotoran yang ada dengan tangan kiri.

Ketiga: Mencuci tangan setelah membersihkan kemaluan dengan menggosokkan ke tanah atau dengan menggunakan sabun.
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Disunnahkan bagi orang yang beristinja’ (membersihkan kotoran) dengan air, ketika
selesai, hendaklah ia mencuci tangannya dengan debu atau semacam sabun, atau hendaklah ia menggosokkan tangannya ke

40
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
tanah atau tembok untuk menghilangkan kotoran yang ada.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 3/231,
Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi, 1392)

Keempat: Berwudhu dengan wudhu yang sempurna seperti ketika hendak shalat.
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Adapun mendahulukan mencuci anggota wudhu ketika mandi itu tidaklah wajib. Cukup
dengan seseorang mengguyur badan ke seluruh badan tanpa didahului dengan berwudhu, maka itu sudah disebut mandi (al
ghuslu).” (Ad Daroril Mudhiyah Syarh Ad Duroril Bahiyyah, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, hal. 61, Darul ‘Aqidah, terbitan tahun
1425 H)

Untuk kaki ketika berwudhu, kapankah dicuci?


Jika kita melihat dari hadits Maimunah di atas, dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau membasuh
anggota wudhunya dulu sampai membasuh kepala, lalu mengguyur air ke seluruh tubuh, sedangkan kaki dicuci terakhir. Namun
hadits ‘Aisyah menerangkan bahwa Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu secara sempurna (sampai mencuci kaki), setelah
itu beliau mengguyur air ke seluruh tubuh.

Dari dua hadits tersebut, para ulama akhirnya berselisih pendapat kapankah kaki itu dicuci. Yang tepat tentang masalah ini, d ua
cara yang disebut dalam hadits ‘Aisyah dan Maimunah bisa sama-sama digunakan. Yaitu kita bisa saja mandi dengan berwudhu
secara sempurna terlebih dahulu, setelah itu kita mengguyur air ke seluruh tubuh, sebagaimana disebutkan dalam riwayat ‘Aisya h.
Atau boleh jadi kita gunakan cara mandi dengan mulai berkumur-kumur, memasukkan air dalam hidup, mencuci wajah, mencuci
kedua tangan, mencuci kepala, lalu mengguyur air ke seluruh tubuh, kemudian kaki dicuci terakhir.

Syaikh Abu Malik hafizhohullah mengatakan, “Tata cara mandi (apakah dengan cara yang disebut dalam hadits ‘Aisyah dan
Maimunah) itu sama-sama boleh digunakan, dalam masalah ini ada kelapangan.” (Shahih Fiqh Sunnah, 1/175-176)

Kelima: Mengguyur air pada kepala sebanyak tiga kali hingga sampai ke pangkal rambut.
Keenam: Memulai mencuci kepala bagian kanan, lalu kepala bagian kiri.

41
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Ketujuh: Menyela-nyela rambut.
Dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha disebutkan, “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mandi junub, beliau mencuci
tangannya dan berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Kemudian beliau mandi dengan menggosok -gosokkan tangannya ke
rambut kepalanya hingga bila telah yakin merata mengenai dasar kulit kepalanya, beliau mengguyurkan air ke atasnya tiga kali.
Lalu beliau membasuh badan lainnya.” (HR. Bukhari no. 272)

Juga ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, “Jika salah seorang dari kami mengalami junub, maka ia mengambil air dengan
kedua tangannya dan disiramkan ke atas kepala, lalu mengambil air dengan tangannya dan disiramkan ke bagian tubuh sebelah
kanan, lalu kembali mengambil air dengan tangannya yang lain dan menyiramkannya ke bagian tubuh sebelah kiri.” (HR. Bukhari
no. 277)

Kedelapan: Mengguyur air pada seluruh badan dimulai dari sisi yang kanan setelah itu yang kiri.
Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mendahulukan yang kanan
ketika memakai sendal, ketika bersisir, ketika bersuci dan dalam setiap perkara (yang baik -baik).” (HR. Bukhari no. 168 dan
Muslim no. 268)

Mengguyur air ke seluruh tubuh di sini cukup sekali saja sebagaimana zhohir (tekstual) hadits yang membicarakan tentang mandi.
Inilah salah satu pendapat dari madzhab Imam Ahmad dan dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. (Al Ikhtiyaarot Al Fiqhiyah li
Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, ‘Alauddin Abul Hasan ‘Ali bin Muhammad Al Ba’li Ad Dimasyqi Al Hambali, hal. 14, Mawqi’ Misykatul
Islamiyah)

Bagaimanakah Tata Cara Mandi pada Wanita?


Tata cara mandi junub pada wanita sama dengan tata cara mandi yang diterangkan di atas sebagaimana telah diterangkan dalam
hadits Ummu Salamah, “Saya berkata, wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang mengepang rambut kepalaku, apakah aku
harus membuka kepangku ketika mandi junub?” Beliau bersabda, “Jangan (kamu buka). Cukuplah kamu mengguyur air pada
kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah yang lainnya dengan air, maka kamu telah suci.” (HR. Muslim no. 330)

42
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Untuk mandi karena haidh dan nifas, tata caranya sama dengan mandi junub namun ditambahkan dengan beberapa hal berikut ini:

Pertama: Menggunakan sabun dan pembersih lainnya beserta air.


Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Asma’ bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mandi
wanita haidh. Maka beliau bersabda, “Salah seorang dari kalian hendaklah mengambil air dan daun bidara, lalu engkau bersuci,
lalu membaguskan bersucinya. Kemudian hendaklah engkau menyiramkan air pada kepalanya, lalu menggosok -gosoknya dengan
keras hingga mencapai akar rambut kepalanya. Kemudian hendaklah engkau menyiramkan air pada kepalanya tadi. Kemudian
engkau mengambil kapas bermisik, lalu bersuci dengannya. Lalu Asma’ berkata, “Bagaimana dia dikatakan suci dengannya?”
Beliau bersabda, “Subhanallah, bersucilah kamu dengannya.” Lalu Aisyah berkata -seakan-akan dia menutupi hal tersebut-, “Kamu
sapu bekas-bekas darah haidh yang ada (dengan kapas tadi)”. Dan dia bertanya kepada beliau tentang mandi junub, maka beliau
bersabda, ‘Hendaklah kamu mengambil air lalu bersuci dengan sebaik-baiknya bersuci, atau bersangat-sangat dalam bersuci
kemudian kamu siramkan air pada kepala, lalu memijatnya hingga mencapai dasar kepalanya, kemudian mencurahkan air
padanya’.” (HR. Bukhari no. 314 dan Muslim no. 332)

Kedua: Melepas kepangan sehingga air sampai ke pangkal rambut.


Dalil hal ini adalah hadits yang telah lewat, “Kemudian hendaklah kamu menyiramkan air pada kepalanya, lalu menggosok-
gosoknya dengan keras hingga mencapai akar rambut kepalanya.” Dalil ini menunjukkan tidak cukup dengan hanya mengalirkan
air seperti halnya mandi junub. Sedangkan mengenai mandi junub disebutkan, “Kemudian kamu siramkan air pada kepala, lalu
memijatnya hingga mencapai dasar kepalanya, kemudian mengguyurkan air padanya.”

Dalam mandi junub tidak disebutkan “menggosok-gosok dengan keras”. Hal ini menunjukkan bedanya mandi junub dan mandi
karena haidh/nifas.

Ketiga: Ketika mandi sesuai masa haidh, seorang wanita disunnahkan membawa kapas atau potongan kain untuk mengusap
tempat keluarnya darah guna menghilangkan sisa-sisanya. Selain itu, disunnahkan mengusap bekas darah pada kemaluan setelah

43
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
mandi dengan minyak misk atau parfum lainnya. Hal ini dengan tujuan untuk menghilangkan bau yang tidak enak karena bekas
darah haidh.

Perlukah Berwudhu Seusai Mandi?


Cukup kami bawakan dua riwayat tentang hal ini,
Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berwudhu setelah selesai mandi.” (HR. Tirmidzi no. 107, An Nasai
no. 252, Ibnu Majah no. 579, Ahmad 6/68. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Sebuah riwayat dari Ibnu ‘Umar,


Beliau ditanya mengenai wudhu setelah mandi. Lalu beliau menjawab, “Lantas wudhu yang mana lagi yang lebih besar dari
mandi?” (HR. Ibnu Abi Syaibah secara marfu’ dan mauquf Lihat Ad Daroril Mudhiyah, hal. 61)

Abu Bakr Ibnul ‘Arobi berkata, “Para ulama tidak berselisih pendapat bahwa wudhu telah masuk dalam mandi.” Ibnu Baththol juga
telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) dalam masalah ini. ( Idem)

Penjelasan ini adalah sebagai alasan yang kuat bahwa jika seseorang sudah berniat untuk mandi wajib, lalu ia mengguyur seluru h
badannya dengan air, maka setelah mandi ia tidak perlu berwudhu lagi, apalagi jika sebelum mandi ia sudah berwudhu.

Apakah Boleh Mengeringkan Badan dengan Handuk Setelah Mandi?


Di dalam hadits Maimunah disebutkan mengenai tata cara mandi, lalu diakhir hadits disebutkan, “Lalu aku sodorkan kain (sebagai
pengering) tetapi beliau tidak mengambilnya, lalu beliau pergi dengan mengeringkan air dari badannya dengan tangannya ” (HR.
Bukhari no. 276). Berdasarkan hadits ini, sebagian ulama memakruhkan mengeringkan badan setelah mandi. Namun yang tep at,
hadits tersebut bukanlah pendukung pendapat tersebut dengan beberapa alasan:

1. Perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu masih mengandung beberapa kemungkinan. Boleh jadi beliau tidak
mengambil kain (handuk) tersebut karena alasan lainnya yang bukan maksud untuk memakruhkan mengeringkan badan
ketika itu. Boleh jadi kain tersebut mungkin sobek atau beliau buru-buru saja karena ada urusan lainnya.
44
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
2. Hadits ini malah menunjukkan bahwa kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengeringkan badan sehabis
mandi. Seandainya bukan kebiasaan beliau, maka tentu saja beliau tidak dibawakan handuk ketika itu.
3. Mengeringkan air dengan tangan menunjukkan bahwa mengeringkan air dengan kain bukanlah makruh karena keduanya
sama-sama mengeringkan.

Kesimpulannya, mengeringkan air dengan kain (handuk) tidaklah mengapa. (Shahih Fiqh Sunnah, 1/181)

Waktu-Waktu Shalat
Segala puji yang disertai pengagungan seagung-agungnya hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan perendahan diri kita yang
serendah-rendahnyanya hanya kita berikan kepadaNya Robbul ‘Alamin. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada
Nabi kita Muhammadshallallahu ‘alaihi was sallam.

Kaum muslimin sepakat bahwa sholat lima waktu harus dikerjakan pada waktunya, dalil nya adalah firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala, “Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu/wajib yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. [ QS. An Nisa’
(4) : 103]

Berikut penjelasan waktu-waktu sholat.

Sholat Zhuhur
Secara bahasa Zhuhur berarti waktu Zawal yaitu waktu tergelincirnya matahari (waktu matahari bergeser dari tengah-tengah langit)
menuju arah tenggelamnya (barat).

Sholat zhuhur adalah sholat yang dikerjakan ketika waktu zhuhur telah masuk. Sholat zhuhur disebut juga sholat Al Uulaa ( )
karena sholat yang pertama kali dikerjakan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam bersama Jibril ‘Alaihis salam. Disebut juga sholat Al
Hijriyah ( ). (Berdasarkan hadits riwayat Al Bukhari No. 541)

45
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Awal Waktu Sholat Zhuhur

Awal waktu zhuhur adalah ketika matahari telah bergeser dari tengah langit menuju arah tenggelamnya (barat). Hal ini merupaka n
kesepakatan seluruh kaum muslimin, dalilnya adalah hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat ‘Abdullah bin
‘Amr rodhiyallahu ‘anhu, “Waktu Sholat Zhuhur adalah ketika telah tergelincir matahari (menuju arah tenggelamnya) hingga
bayangan seseorang sebagaimana tingginya selama belum masuk waktu ‘Ashar……….”. (HR. Muslim No. 612)

Akhir Waktu Sholat Zhuhur

Para ulama bersilisih pendapat mengenai akhir waktu zhuhur namun pendapat yang lebih tepat dan ini adalah pendapat
jumhur/mayoritas ulama adalah hingga panjang bayang-bayang seseorang semisal dengan tingginya (masuknya waktu ‘ashar).
Dalil pendapat ini adalah hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu di atas.

Catatan :
Waktu sholat zhuhur dapat diketahui dengan menghitung waktu yaitu dengan menghitung waktu antara terbitnya matahari hingga
tenggelamnya maka waktu zhuhur dapat diketahui dengan membagi duanya.

Disunnahkan Hukumnya Menyegerakan Sholat Zhuhur di Awal Waktunya


Hal ini berdasarkan hadits Jabir bin Samuroh rodhiyallahu ‘anhu, “Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam biasa mengerjakan sholat
zhuhur ketika matahari telah tergelincir”. (HR. Muslim No. 618)

Disunnahkan Hukumnya Mengakhirkan Sholat Zhuhur Jika Sangat Panas


Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam, “Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam biasanya jika keadaan sangat
dingin beliau menyegerakan sholat dan jika keadaan sangat panas/terik beliau mengakhirkan sholat”. (HR. Bukhari No. 906 dan
Muslim No. 615)

46
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Batasan dingin berbeda-beda sesuai keadaan selama tidak terlalu panjang hingga mendekati waktu akhir sholat.

Sholat ‘Ashar
‘Ashar secara bahasa diartikan sebagai waktu sore hingga matahari memerah yaitu akhir dari dalam sehari.
Sholat ‘ashar adalah sholat ketika telah masuk waktu ‘ashar, sholat ‘ashar ini juga disebut sholat woshtho ( ).

Awal Waktu Sholat ‘Ashar

Jika panjang bayangan sesuatu telah semisal dengan tingginya (menurut pendapat jumhur ulama). Dalilnya adalah hadits
Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam, “Waktu Sholat Zhuhur adalah ketika telah tergelincir matahari (menuju arah tenggelamnya)
hingga bayangan seseorang sebagaimana tingginya selama belum masuk waktu ‘ashar dan waktu ‘ashar masih tetap ada selama
matahari belum menguning………”. (HR. Muslim No. 612)

Akhir Waktu Sholat ‘Ashar

Hadits-hadits tentang masalah akhir waktu ‘ashar seolah-olah terlihat saling bertentangan.

 Dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah rodhiyallahu ‘anhu ketika Jibril ‘alihissalam menjadi imam bagi
Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam, “Jibril mendatangi Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam ketika matahari telah tergelincir ke arah
tenggelamnya kemudian dia mengatakan, “Berdirilah wahai Muhammad kemudian shola zhuhur lah. Kemudian ia diam hingga saat
panjang bayangan seseorang sama dengan tingginya. Jibril datang kemudian mengatakan, “Wahai Muhammad berdirilah sholat ‘ashar
lah”. Kemudian ia diam hingga matahari tenggelam………….diantara dua waktu ini adalah dua waktu sholat seluruhnya”. (HR. Nasa’i
No. 526, hadits ini dinilai shahih oleh Al Albani rohimahullah dalam Al Irwa’ hal. 270/I)
 Dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu, “Dan waktu ‘ashar masih tetap ada selama
matahari belum menguning………”. (HR. Muslim No. 612)

47
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
 Hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam yang diriwayatkan dari sahabat Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu, “Barangsiapa yang
mendapati satu roka’at sholat ‘ashar sebelum matahari tenggelam maka ia telah mendapatkan sholat ‘ashar”. (HR. Bukhari No. 579 dan
Muslim No. 608)

Kompromi dalam memahami ketiga hadits yang seolah-olah saling bertentangan ini adalah :

Hadits tentang sholat Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dan Jibril ‘Alaihissalam dipahami sebagai penjelasan tentang akhir waktu
terbaik dalam melaksanakan sholat ‘ashar. Adapun hadits ‘Abdullah bin ‘Amr dipahami sebagai penjelasan atas waktu
pelaksanaan sholat ‘ashar yang masih boleh. Sedangkan waktu hadits Abu Huroiroh sebagai penjelasan tentang waktu
pelaksanaan sholat ‘ashar jika terdesak artinya makruh mengerjakan sholat ‘ashar pada waktu ini kecuali bagi orang yang memiliki
udzur maka mengerjakan sholat ‘ashar pada waktu itu hukumnya tidak makruh. Allahu a’lam.

Disunnahkan Hukmnya Menyegerakan Sholat ‘Ashar


Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam yang diriwayatkan dari Sahabat Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu,
“Rosulullah shollallahu ‘alaihi was sallam sering melaksanakan sholat ‘ashar ketika matahari masih tinggi”. (HR. Bukhari No. 550
dan Muslim No. 621)

Sunnah ini lebih dikuatkan ketika mendung, hal ini berdasarkah hadits yang diriwayatkan dari Sahabat Abul Mulaih rodhiyallahu
‘anhu. Dia mengatakan, “Kami bersama Buraidah pada saat perang di hari yang mendung. Kemudian ia mengatakan,
“Segerakanlah sholat ‘ashar karena Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Barangsiapa yang meninggalkan sholat
‘ashar maka amalnya telah batal”. (HR. Bukhari No. 553)

Hadits ini juga menunjukkan betapa bahayanya meninggalkan sholat ‘ashar.

48
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Sholat Maghrib
Secara bahasa maghrib berarti waktu dan arah tempat tenggelamnya matahari. Sholat maghrib adalah sholat yang dilaksanakan
pada waktu tenggelamnya matahari.

Awal Waktu Sholat Maghrib

Kaum Muslimin sepakat awal waktu sholat maghrib adalah ketika matahari telah tenggelam hingga matahari benar -benar
tenggelam sempurna.

Akhir Waktu Sholat Maghrib

Para ulama berselisih pendapat mengenai akhir waktu maghrib.


Pendapat pertama mengatakan bahwa waktu maghrib hanya merupakan satu waktu saja yaitu sekadar waktu yang diperlukan
orang yang akan sholat untuk bersuci, menutup aurot, melakukan adzan, iqomah dan melaksanakan sholat maghrib. Pendapat ini
adalah pendapat Malikiyah, Al Auza’i dan Imam Syafi’i. Dalil pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Jabir ketika J ibril
mengajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam sholat, “Kemudian Jibril mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam ketika
matahari telah tenggelam (sama dengan waktu ketika Jibril mengajarkan sholat kepada Nabi pada hari sebelumnya) kemudian dia
mengatakan, “Wahai Muhammad berdirilah laksanakanlah sholat maghrib………..”. (HR. Nasa’i No. 526, hadits ini dinilai shahih
oleh Al Albani rohimahullah dalam Al Irwa’ hal. 270/I)

Pendapat kedua mengatakan bahwa akhir waktu maghrib adalah ketika telah hilang sinar merah ketika matahari tenggelam.
Pendapat ini adalah pendapatnya Sufyan Ats Tsauri, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Mahzab Hanafi serta sebahagian mazhab
Syafi’i dan inilah pendapat yang dinilai tepat oleh An Nawawi rohimahumullah. Dalilnya adalah hadits ‘Abdullah bin
‘Amr rodhiyallahu ‘anhu, “Waktu sholat maghrib adalah selama belum hilang sinar merah ketika matahari tenggelam”. (HR. Muslim
No. 612)

49
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Pendapat inilah yang lebih tepat Allahu a’lam.

Disunnahkan Menyegerakan Sholat Maghrib


Hal ini berdasarkan hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dari Sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir rodhiyallahu ‘anhu, “Umatku akan
senantiasa dalam kebaikan (atau fithroh) selama mereka tidak mengakhirkan waktu sholat maghrib hingga munculnya bintang (di
langit)”. (HR. Abu Dawud No. 414 dll. dan dinilai shohih oleh Al Albani dalam Takhrij beliau untuk Sunan Ibnu Majah)

Sholat ‘Isya’
‘Isya’ adalah sebuah nama untuk saat awal langit mulai gelap (setelah maghrib) hingga sepertiga malam yang awal. Sholat ‘isya ’
disebut demikian karena dikerjakan pada waktu tersebut.

Awal Waktu Sholat ‘Isya’

Para ulama sepakat bahwa awal waktu sholat ‘isya’ adalah jika telah hilang sinar merah di langit.

Akhir Waktu Sholat ‘Isya’

Para ulama’ berselisih pendapat mengenai akhir waktu sholat ‘isya’.


Pendapat pertama mengatakan bahwa akhir waktu sholat ‘isya’ adalah sepertiga malam. Ini adalah pendapatnya Imam Syafi’i
dalam al Qoul Jadid, Abu Hanifah dan pendapat yang masyhur dalam mazhab Maliki. Dalilnya adalah hadits ketika Jibril
mengimami sholat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam, “……Kemudian Jibril mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam untuk
melaksanakan sholat ‘isya’ ketika sepertiga malam yang pertama………..”. (HR. Nasa’i No. 526, hadits ini dinilai shahih oleh Al
Albani rohimahullah dalam Al Irwa’ hal. 270/I)

50
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Pendapat kedua mengatakan bahwa akhir waktu sholat ‘isya’ adalah setengah malam. Inilah pendapatnya Sufyan Ats Tsauri, Ibnul
Mubarok, Ishaq, Abu Tsaur, Mazhab Hanafi dan Ibnu Hazm rohimahumullah. Dalil pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan
oleh ‘Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu, “Waktu sholat ‘isya’ adalah hingga setengah malam”. (HR. Muslim No. 612)

Pendapat ketiga mengatakan bahwa akhir waktu sholat ‘isya’ adalah ketika terbit fajar shodiq. Inilah pendapatnya ‘Atho’, ‘Ikr imah,
Dawud Adz Dzohiri, salah satu riwayat dari Ibnu Abbas, Abu Huroiroh dan Ibnul Mundzir Rohimahumullah. Dalilnya adalah hadits
yang diriwayatkan dari Abu Qotadahrodhiyallahu ‘anhu, “Hanyalah orang-orang yang terlalu menganggap remeh agama adalah
orang yang tidak mengerjakan sholat hingga tiba waktu sholat lain”. (HR. Muslim No. 681)

Pendapat yang tepat menurut Syaukani dalam masalah ini adalah akhir waktu sholat ‘isya’ yang terbaik adalah hingga setengah
malam berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Amr sedangkan batas waktu bolehnya mengerjakan sholat ‘isya’ adalah hingga terbit fajar
berdasarkan hadits Abu Qotadah. Sedangkan pendapat yang dinilai lebih kuat menurut Penulis Shahih Fiqh Sunnah adalah
setengah malam jika hadits Anas adalah hadits yang tidak shohih.

Disunnahkan Mengakhirkan Sholat ‘Isya’


Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam, “Jika sekiranya tidak memberatkan ummatku maka akan aku
perintah agar mereka mengakhirkan sholat ‘isya’ hingga sepertiga atau setengah malam”. ( HR. Tirmidzi No. 167, Ibnu Maja h No.
691, dinyatakan shohih oleh Al Albani di Takhrij Sunan Tirmidzi)

Akan tetapi hal ini tidak selalu dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam, sebagaimana dalam hadits yang lain, “Terkadang
(Nabi) menyegerakan sholat isya dan terkadang juga mengakhirkannya. Jika mereka telah terlihat terkumpul maa segerakanlah
dan jika terlihat (lambat datang ke masjid)” (HR. Bukhari No. 560, Muslim No. 233)

Dimakruhkan Tidur Sebelum Sholat ‘Isya’ dan Berbicara yang Tidak Perlu Setelahnya
Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam, “Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam membenci tidur sebelum sholat
‘isya’ dan melakukan pembicaraan yang tidak berguna setelahnya”. (HR. Bukhari No. 568, Muslim No. 237)

51
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Sholat Shubuh/Fajar
Fajar secara bahasa berarti cahaya putih. Sholat fajar disebut juga sebagai sholat shubuh dan sholat ghodah.
Fajar ada dua jenis yaitu fajar pertama (fajar kadzib) yang merupakan pancaran sinar putih yang mencuat ka atas kemudian hila ng
dan setelah itu langit kembali gelap.

Fajar kedua adalah fajar shodiq yang merupakan cahaya putih yang memanjang di arah ufuk, cahaya ini akan terus menerus
menjadi lebih terang hingga terbit matahari.

Awal Waktu Sholat Shubuh/Fajar

Para ulama sepakat bahwa awal waktu sholat fajar dimulai sejak terbitnya fajar kedua/fajar shodiq.

Akhir Waktu Sholat Shubuh/Fajar

Para ulama juga sepakat bahwa akhir waktu sholat fajar dimulai sejak terbitnya matahari.
Disunnahkan Menyegerakan Waktu Sholat Shubuh/Fajar Pada Saat Keadaan Gholas (Gelap yang Bercampur Putih)

Jumhur ulama’ berpendapat lebih utama melaksanakan sholat fajar pada saat gholas dari pada melaksanakannya ketika ishfar
(cahaya putih telah semakin terang). Diantara ulama yang berpendapat demikian adalah Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad,
Ishaq dan Abu Tsaur rohimahumullah. Diantara dalil mereka adalah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, “Sesungguhnya
Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam berperang pada perang Khoibar, maka kami sholat ghodah (fajar) di Khoibar pada
saatgholas” (HR. Bukhari No. 371, Muslim No. 1365).

52
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Rukun-Rukun Shalat
Yang dimaksud dengan rukun shalat adalah setiap perkataan atau perbuatan yang akan membentuk hakikat shalat. Jika salah satu
rukun ini tidak ada, maka shalat pun tidak teranggap secara syar’i dan juga tidak bisa diganti dengan sujud sahwi.
Meninggalkan rukun shalat ada dua bentuk.

Pertama: Meninggalkannya dengan sengaja. Dalam kondisi seperti ini shalatnya batal dan tidak sah dengan kesepakatan para
ulama.

Kedua: Meninggalkannya karena lupa atau tidak tahu. Di sini ada tiga rincian,
1. Jika mampu untuk mendapati rukun tersebut lagi, maka wajib untuk melakukannya kembali. Hal ini berdasarkan kesepakatan
para ulama.
2. Jika tidak mampu mendapatinya lagi, maka shalatnya batal menurut ulama-ulama Hanafiyah. Sedangkan jumhur ulama
(mayoritas ulama) berpendapat bahwa raka’at yang ketinggalan rukun tadi menjadi hilang.
3. Jika yang ditinggalkan adalah takbiratul ihram, maka shalatnya harus diulangi dari awal lagi karena ia tidak memasuki shalat
dengan benar.

Rukun pertama: Berdiri bagi yang mampu


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalatlah dalam keadaan berdiri. Jika tidak mampu, kerjakanlah dalam keadaan
duduk. Jika tidak mampu lagi, maka kerjakanlah dengan tidur menyamping.” (HR. Bukhari no. 1117, dari ‘Imron bin Hushain)

Rukun kedua: Takbiratul ihram


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pembuka shalat adalah thoharoh (bersuci). Yang mengharamkan dari hal -hal di luar
shalat adalah ucapan takbir. Sedangkan yang menghalalkannya kembali adalah ucapan salam. ” (HR. Abu Daud no. 618, Tirmidzi
no. 3, Ibnu Majah no. 275. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Al Irwa’ no. 301)

53
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Yang dimaksud dengan rukun shalat adalah ucapan takbir “Allahu Akbar”. Ucapan takbir ini tidak bisa digantikan dengan ucapakan
selainnya walaupun semakna.

Rukun ketiga: Membaca Al Fatihah di Setiap Raka’at


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada shalat (artinya tidak sah) orang yang tidak membaca Al Fatihah.” (HR.
Bukhari no. 756 dan Muslim no. 394, dari ‘Ubadah bin Ash Shomit)

Rukun keempat dan kelima: Ruku’ dan thuma’ninah


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada orang yang jelek shalatnya (sampai ia disuruh mengulangi shalatnya
beberapa kali karena tidak memenuhi rukun), “Kemudian ruku’lah dan thuma’ninahlah ketika ruku’. ” (HR. Bukhari no. 793 dan
Muslim no. 397)

Keadaan minimal dalam ruku’ adalah membungkukkan badan dan tangan berada di lutut.
Sedangkan yang dimaksudkan thuma’ninah adalah keadaan tenang di mana setiap persendian juga ikut tenang. Sebagaimana
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada orang yang jelek shalatnya sehingga ia pun disuruh untuk mengulangi
shalatnya, beliau bersabda, “Shalat tidaklah sempurna sampai salah seorang di antara kalian menyempurnakan wudhu, …
kemudian bertakbir, lalu melakukan ruku’ dengan meletakkan telapak tangan di lutut sampai persendian yang ada dalam keadaan
thuma’ninah dan tenang.” (HR. Ad Darimi no. 1329. Syaikh Husain Salim Asad mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
Ada pula ulama yang mengatakan bahwa thuma’ninah adalah sekadar membaca dzikir yang wajib dalam ruku’.

Rukun keenam dan ketujuh: I’tidal setelah ruku’ dan thuma’ninah


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada orang yang jelek shalatnya, “Kemudian tegakkanlah badan (i’tidal) dan
thuma’ninalah.” (Sudah disebutkan takhrijnya)

54
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Rukun kedelapan dan kesembilan: Sujud dan thuma’ninah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada orang yang jelek shalatnya, “Kemudian sujudlah dan thuma’ninalah ketika
sujud.” (Idem)

Hendaklah sujud dilakukan pada tujuh bagian anggota badan: [1,2] Telapak tangan kanan dan kiri, [3,4] Lutut kanan dan kiri, [5,6]
Ujung kaki kanan dan kiri, dan [7] Dahi sekaligus dengan hidung.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: [1] Dahi
(termasuk juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), [2,3] telapak tangan kanan dan kiri, [4,5] lutut kanan dan ki ri,
dan [6,7] ujung kaki kanan dan kiri. ”

Rukun kesepuluh dan kesebelas: Duduk di antara dua sujud dan thuma’ninah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kemudian sujudlah dan thuma’ninalah ketika sujud. Lalu bangkitlah dari sujud dan
thuma’ninalah ketika duduk. Kemudian sujudlah kembali dan thuma’ninalah ketika sujud.” (Idem)

Rukun keduabelas dan ketigabelas: Tasyahud akhir dan duduk tasyahud


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang antara kalian duduk (tasyahud) dalam shalat, maka ucapkanlah “at
tahiyatu lillah …”.” (HR. Bukhari no. 831 dan Muslim no. 402, dari Ibnu Mas’ud)

Bacaan tasyahud: “At tahiyaatu lillah wash sholaatu wath thoyyibaat. Assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rohmatullahi wa
barokaatuh. Assalaamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahish sholihiin. Asy-hadu an laa ilaha illallah, wa asy-hadu anna muhammadan
‘abduhu wa rosuluh.” (Segala ucapan penghormatan hanyalah milik Allah, begitu juga segala shalat dan amal shalih. Semoga
kesejahteraan tercurah kepadamu, wahai Nabi, begitu juga rahmat Allah dengan segenap karunia-Nya. Semoga kesejahteraan
terlimpahkan kepada kami dan hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak
disembah dengan benar selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya) (HR. Bukhari no. 6265
dan Muslim no. 402)
55
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Apakah bacaan tasyahud “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi” perlu diganti dengan bacaan “assalaamu ‘alan nabi”?

Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah ditanya,


“Dalam tasyahud apakah seseorang membaca bacaan “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi” atau bacaan “assalamu ‘alan nabi”?
‘Abdullah bin Mas’ud pernah mengatakan bahwa para sahabat dulunya sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, mereka
mengucapkan “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi”. Namun setelah beliau wafat, para sahabat pun mengucapkan “assalamu ‘alan
nabi”. Jawab: Yang lebih tepat, seseorang ketika tasyahud dalam shalat mengucapkan “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi wa
rohmatullahi wa barokatuh”. Alasannya, inilah yang lebih benar yang berasal dari berbagai hadits. Adapun riwayat Ibnu Mas’ud
mengenai bacaan tasyahud yang mesti diganti setelah Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam wafat –jika memang itu benar riwayat
yang shahih-, maka itu hanyalah hasil ijtihad Ibnu Mas’ud dan tidak bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang ada.
Seandainya ada perbedaan hukum bacaan antara sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan setelah beliau wafat, maka
pasti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang akan menjelaskannya pada para sahabat.

(Yang menandatangani fatwa ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz sebagai Ketua, Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai Wakil
Ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud dan ‘Abdullah bin Ghodyan sebagai anggota) (Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah
wal Ifta’ no. 8571, juz 7, hal. 11, Mawqi’ Al Ifta’)

Rukun keempatbelas: Shalawat kepada Nabi setelah mengucapkan tasyahud akhir (P oint ini adalah tambahan dari Al Wajiz fi Fiqhis
Sunnah wal Kitabil ‘Aziz, ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi Al Kholafiy, hal. 89, Dar Ibni Rojab, cetak an k etiga, tahun 1421 H)

Dalilnya adalah hadits Fudholah bin ‘Ubaid Al Anshoriy. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang
yang berdo’a dalam shalatnya tanpa menyanjung Allah dan bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau
mengatakan, “Begitu cepatnya ini.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan orang tadi, lalu berkata padanya dan
lainnya, “Jika salah seorang di antara kalian hendak shalat, maka mulailah dengan menyanjung dan memuji Allah, lalu

56
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
bershalawatlah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berdo’a setelah itu semau kalian.” (Riwayat ini disebutkan oleh
Syaikh Al Albani dalam Fadh-lu Shalat ‘alan Nabi, hal. 86, Al Maktabah Al Islamiy, Beirut, cetakan ketiga 1977)

Bacaan shalawat yang paling bagus adalah sebagai berikut. “Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa
shollaita ‘ala Ibroohim wa ‘ala aali Ibrohim, innaka hamidun majiid. Allahumma baarik ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad
kamaa barrokta ‘ala Ibrohim wa ‘ala aali Ibrohimm innaka hamidun majiid.” (HR. Bukhari no. 4797 dan Muslim no. 406, dari Ka’ab
bin ‘Ujroh)

Rukun kelimabelas: Salam


Dalilnya hadits yang telah disebutkan di muka, “Yang mengharamkan dari hal-hal di luar shalat adalah ucapan takbir. Sedangkan
yang menghalalkannya kembali adalah ucapan salam. ” (HR. Abu Daud no. 618, Tirmidzi no. 3, Ibnu Majah no. 275. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Al Irwa’ no. 301)

Yang termasuk dalam rukun di sini adalah salam yang pertama. Inilah pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan mayoritas ‘ulama.
Model salam ada empat:

1. Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum wa rohmatullah”, salam ke kiri “Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah”.
2. Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum wa rohmatullah wa barokatuh”, salam ke kiri “Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah”.
3. Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum wa rohmatullah”, salam ke kiri “Assalamu ‘alaikum”.
4. Salam sekali ke kanan “Assalamu’laikum”. (Lihat Sifat Shalat Nabi, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 188,
Maktabah Al Ma’arif)

Rukun keenambelas: Urut dalam rukun-rukun yang ada


Alasannya karena dalam hadits orang yang jelek shalatnya, digunakan kata “ tsumma“ dalam setiap rukun. Dan “tsumma”
bermakna urutan. (Pembahasan rukun shalat ini banyak disarikan dari penjelasan Syaikh Abu Malik dalam kitab Shahih Fiqh
Sunnah terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah)

57
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Syarat dan Rukun Puasa
Syarat Wajib Puasa (Disebut dengan syarat wujub shoum)
Syarat wajibnya puasa yaitu: (1) islam, (2) berakal, (3) sudah baligh[2], dan (4) mengetahui akan wajibnya puasa. (Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyah, 2/ 9916)

Tanda baligh adalah: (1) Ihtilam, yaitu keluarnya mani dalam keadaan sadar atau saat mimpi; (2) Tumbuhnya bulu kemaluan; atau
(3) Dua tanda yang khusus pada wanita adalah haidh dan hamil. (Lihat Al Mawsua’ah Al Fiqhiyah, 2/3005 -3008).

Sebagian fuqoha menyatakan bahwa diperintahkan bagi anak yang sudah menginjak usia tujuh tahun untuk berpuasa jika ia
mampu sebagaimana mereka diperintahkan untuk shalat. Jika ia sudah berusia 10 tahun dan meninggalkannya –padahal mampu-,
maka hendaklah ia dipukul. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2 / 9916)

Syarat Wajibnya Penunaian Puasa (Disebut dengan syarat wujubul adaa’ shoum )

Syarat wajib penunaian puasa, artinya ketika ia mendapati waktu tertentu, maka ia dikenakan kewajiban puasa. Syarat yang
dimaksud adalah sebagai berikut.

(1) Sehat, tidak dalam keadaan sakit.


(2) Menetap, tidak dalam keadaan bersafar. Dalil kedua syarat ini adalah firman Allah Ta’ala, “Dan barangsiapa yang dalam
keadaan sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu,
pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 185).

Kedua syarat ini termasuk dalam syarat wajib penunaian puasa dan bukan syarat sahnya puasa dan bukan syarat wajibnya qodho’
puasa. Karena syarat wajib penunaian puasa di sini gugur pada orang yang sakit dan orang yang bersafar. Ketika mereka tidak

58
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
berpuasa saat itu, barulah mereka qodho’ berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun jika mereka tetap berpuasa dalam
keadaan demikian, puasa mereka tetap sah.

(3) Suci dari haidh dan nifas. Dalilnya adalah hadits dari Mu’adzah, ia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Hadits
tersebut adalah,

Dari Mu’adzah dia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, ‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa
dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan
Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk
mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.” (HR. Muslim no. 335) Berdasarkan kesepakatan para
ulama pula, wanita yang dalam keadaan haidh dan nifas tidak wajib puasa dan wajib mengqodho’ puasanya. (Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyah, 2/ 9916-9917)

Syarat Sahnya Puasa


Syarat sahnya puasa ada dua, yaitu: (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 97 dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9917 )
(1) Dalam keadaan suci dari haidh dan nifas. Syarat ini adalah syarat terkena kewajiban puasa dan sekaligus syarat sahnya pua sa.
(2) Berniat. Niat merupakan syarat sah puasa karena puasa adalah ibadah sedangkan ibadah tidaklah sah kecuali dengan niat
sebagaimana ibadah yang lain. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya setiap amal itu
tergantung dari niatnya.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907, dari ‘Umar bin Al Khottob)

Niat puasa ini harus dilakukan untuk membedakan dengan menahan lapar lainnya. Menahan lapar bisa jadi hanya sekedar
kebiasaan, dalam rangka diet, atau karena sakit sehingga harus dibedakan dengan puasa yang merupakan ibadah.

Namun, para pembaca sekalian perlu ketahui bahwasanya niat tersebut bukanlah diucapkan (dilafadzkan). Karena yang dimaksud
niat adalah kehendak untuk melakukan sesuatu dan niat letaknya di hati (Niat tidak perlu dilafazhkan de ngan “nawaitu shouma
ghodin …”. Jika seseorang makan sahur, pasti ia sudah niat dalam hatinya bahwa ia akan puasa. Agama ini sungguh tidak

59
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
mempersulit umatnya). Semoga Allah merahmati An Nawawi rahimahullah –ulama besar dalam Syafi’iyah- yang mengatakan,
“Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan. Masalah i ni
tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.” (Rowdhotuth Tholibin, 1/268)

Ulama Syafi’iyah lainnya, Asy Syarbini rahimahullah mengatakan, “Niat letaknya dalam hati dan tidak perlu sama sekali
dilafazhkan. Niat sama sekali tidakk disyaratkan untuk dilafazhkan sebagaimana ditegaskan oleh An Nawawi dalam Ar Roudhoh.”
(Mughnil Muhtaj, 1/620)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di
hatinya tanpa ia lafazhkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama.” ( Majmu’ Al
Fatawa, 18/262)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan pula, “Siapa saja yang menginginkan melakukan sesuatu, maka secara pasti ia telah
berniat. Semisal di hadapannya disodorkan makanan, lalu ia punya keinginan untuk menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah
berniat. Demikian ketika ia ingin berkendaraan atau melakukan perbuatan lainnya. Bahkan jika seseorang dibebani suatu amalan
lantas dikatakan tidak berniat, maka sungguh ini adalah pembebanan yang mustahil dilakukan. Karena setiap orang yang hendak
melakukan suatu amalan yang disyariatkan atau tidak disyariatkan pasti ilmunya telah mendahuluinya dalam hatinya, inilah yang
namanya niat.” (Idem)

Wajib Berniat Sebelum Fajar (Yang dimaksudkan adalah masuk waktu shubuh )
Dalilnya adalah hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Hafshoh –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallambersabda, “Barangsiapa siapa yang tidak berniat sebelum fajar, maka puasanya tidak sah .” (HR. Abu Daud no.
2454, Tirmidzi no. 730, dan Nasa’i no. 2333. Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Riwayat yang menyatakan bahwa hadits ini
mauquf (hanya perkataan sahabat) tidak menafikan riwayat di atas. Karena riwayat marfu’ adalah ziyadah (tambahan) yang bisa
diterima sebagaimana dikatakan oleh ahli ilmu ushul dan ahli hadits. Pendapat seperti ini pun dipilih oleh sekelompok ulama,

60
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
namun diselisihi oleh yang lainnya. Ulama yang menyelisihi tersebut berdalil tanpa argumen yang kuat” (Ar Roudhotun Nadiyah,
hal. 323).

Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Irwaul Gholil 914 (4/26)

Syarat ini adalah syarat puasa wajib menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambali. Yang dimaksud dengan berniat di setiap
malam adalah mulai dari tenggelam matahari hingga terbit fajar. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9919)

Adapun dalam puasa sunnah boleh berniat setelah terbit fajar menurut mayoritas ulama. Hal ini dapat dilihat dari perbuatan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalil masalah ini adalah hadits ‘Aisyah berikut ini. ‘Aisyah berkata, “Pada suatu hari, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada .” Beliau
berkata, “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, “Wahai
Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kurma, samin dan keju).” Maka beliau pun berkata,
“Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa .” (HR. Muslim no. 1154)

An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ini adalah dalil bagi mayoritas ulama, bahwa boleh berniat di siang hari sebelum waktu
zawal (matahari bergeser ke barat) pada puasa sunnah.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/35) Di sini disyaratkan bolehnya niat di
siang hari yaitu sebelum niat belum melakukan pembatal puasa. Jika ia sudah melakukan pemb atal sebelum niat (di siang hari),
maka puasanya tidak sah. Hal ini tidak ada perselisihan di dalamnya. (Lihat Kasyaful Qona’ ‘an Matn Al Iqna’, 6/32)

Niat ini harus diperbaharui setiap harinya. Karena puasa setiap hari di bulan Ramadhan masing -masing hari berdiri sendiri, tidak
berkaitan satu dan lainnya, dan tidak pula puasa di satu hari merusak puasa hari lainnya. Hal ini berbeda dengan raka’at dala m
shalat. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9922)

Niat puasa Ramadhan harus ditegaskan (jazm) bahwa akan berniat puasa Ramadhan. Jadi, tidak boleh seseorang berniat dalam
keadaan ragu-ragu, semisal ia katakan, “Jika besok tanggal 1 Ramadhan, berarti saya tunaikan puasa wajib. Jika bukan 1

61
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Ramadhan, saya niatkan puasa sunnah”. Niat semacam ini tidak dibolehkan karena ia tidak menegaskan niat puasanya(Inilah
pendapat ulama Syafi’iyah dan Hanabilah. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9918 ). Niat itu pun harus dikhususkan (dita’yin) untuk
puasa Ramadhan saja tidak boleh untuk puasa lainnya. ( Ini pendapat jumhur (mayoritas ulama). Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah,
2/9918)

Rukun Puasa
Berdasarkan kesepakatan para ulama, rukun puasa adalah menahan diri dari berbagai pembatal puasa mulai dari terbit fajar (yaitu
fajar shodiq) hingga terbenamnya matahari(Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9915). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Dan makan
minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa it u sampai (datang)
malam.” (QS. Al Baqarah: 187). Yang dimaksud dari ayat adalah, terangnya siang dan gelapnya malam dan bukan yang dimaksud
benang secara hakiki.

Dari ‘Adi bin Hatim ketika turun surat Al Baqarah ayat 187, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya, “Yang dimaksud
adalah terangnya siang dari gelapnya malam ” (HR. Tirmidzi no. 2970, beliau mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan seperti itu pada ‘Adi bin Hatim karena sebelumnya ia mengambil dua benang hitam
dan putih. Lalu ia menanti kapan muncul benang putih dari benang hitam, namun ternyata tidak kunjung nampak. Lantas ia
menceritakan hal tersebut pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau pun menertawai kelakukan ‘Adi bin
Hatim. (HR. Ahmad, 4/377. Shahih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth)

62
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Pembatal-Pembatal Puasa
Berikut adalah penjelasan mengenai pembatal puasa.
1. Makan dan minum dengan sengaja.
Hal ini merupakan pembatal puasa berdasarkan kesepakatan para ulama(Lihat Bidayatul Mujtahid, hal. 267). Makan dan minum
yang dimaksudkan adalah dengan memasukkan apa saja ke dalam tubuh melalui mulut, baik yang dimasukkan adalah sesuatu
yang bermanfaat (seperti roti dan makanan lainnya), sesuatu yang membahayakan atau diharamkan (seperti khomr dan rokok
[Merokok termasuk pembatal puasa. Lihat keterangan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin di Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Ibnu
‘Utsaimin, Bab Ash Shiyam, 17/148]),

atau sesuatu yang tidak ada nilai manfaat atau bahaya (seperti potongan kayu) (Lihat Syarhul Mumthi’, 3/47-48). Dalilnya adalah
firman Allah Ta’ala, “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam .” (QS. Al Baqarah: 187).

Jika orang yang berpuasa lupa, keliru, atau dipaksa, puasanya tidaklah batal. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Apabila seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa, hendaklah dia tetap
menyempurnakan puasanya karena Allah telah memberi dia makan dan minum .” (HR. Bukhari no. 1933 dan Muslim no. 1155)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Sesungguhnya Allah menghilangkan dari umatku dosa karena keliru, lupa, atau
dipaksa.” (HR. Ibnu Majah no. 2045. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Yang juga termasuk makan dan minum adalah injeksi makanan melalui infus. Jika seseorang diinfus dalam keadaan puasa,
batallah puasanya karena injeksi semacam ini dihukumi sama dengan makan dan minum. (Lihat Shifat Shoum Nabi, hal. 72)

Siapa saja yang batal puasanya karena makan dan minum dengan sengaja, maka ia punya kewajiban mengqodho’ puasanya,
tanpa ada kafaroh. Inilah pendapat mayoritas ulama. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/105)
63
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
2. Muntah dengan sengaja.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang dipaksa muntah sedangkan dia dalam keadaan
puasa, maka tidak ada qodho’ baginya. Namun apabila dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya membayar qodho’.”
(HR. Abu Daud no. 2380. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

3. Haidh dan nifas.


Apabila seorang wanita mengalami haidh atau nifas di tengah-tengah berpuasa baik di awal atau akhir hari puasa, puasanya batal.
Apabila dia tetap berpuasa, puasanya tidaklah sah. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Keluarnya darah haidh dan nifas membatalkan
puasa berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Majmu’ Al Fatawa, 25/266)

Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah kalau wanita tersebut haidh, dia tidak shalat dan
juga tidak menunaikan puasa?” Para wanita menjawab, “Betul.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah
kekurangan agama wanita.” (HR. Bukhari no. 304)

Jika wanita haidh dan nifas tidak berpuasa, ia harus mengqodho’ puasanya di hari lainnya. Berdasarkan perkataan ‘Aisyah, “Kami
dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’
shalat.” (HR. Muslim no. 335) Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haidh dan nifas wajib
mengqodho’ puasanya ketika ia suci. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9917)

4. Keluarnya mani dengan sengaja.


Artinya mani tersebut dikeluarkan dengan sengaja tanpa hubungan jima’ seperti mengeluarkan mani dengan tangan, dengan cara
menggesek-gesek kemaluannya pada perut atau paha, dengan cara disentuh atau dicium. Hal ini menyebabkan puasanya batal
dan wajib mengqodho’, tanpa menunaikan kafaroh. Inilah pendapat ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Dalil hal ini adalah
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “(Allah Ta’ala berfirman): ketika berpuasa ia meninggalkan makan, minum dan syahwat
karena-Ku” (HR. Bukhari no. 1894). Mengeluarkan mani dengan sengaja termasuk syahwat, sehingga termasuk pembatal puasa
sebagaimana makan dan minum. (Lihat Syarhul Mumthi’, 3/52)

64
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Jika seseorang mencium istri dan keluar mani, puasanya batal. Namun jika tidak keluar mani, puasanya tidak batal. Adapun jika
sekali memandang istri, lalu keluar mani, puasanya tidak batal. Sedangkan jika sampai berulang kali memandangnya lalu keluar
mani, maka puasanya batal (Lihat Syarhul Mumthi’, 3/53-54). Lalu bagaimana jika sekedar membayangkan atau berkhayal
(berfantasi) lalu keluar mani? Jawabnya, puasanya tidak batal (Lihat Syarhul Mumthi’, 3/54).

Alasannya, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah memaafkan umatku apa yang terbayang dalam hati
mereka, selama tidak melakukan atau pun mengungkapnya” (HR. Bukhari no. 5269 dan Muslim no. 127, dari Abu Hurairah)

5. Berniat membatalkan puasa.


Jika seseorang berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam keadaan berpuasa. Jika telah bertekad bulat dengan sengaja
untuk membatalkan puasa dan dalam keadaan ingat sedang berpuasa, maka puasanya batal, walaupun ketika itu ia tidak makan
dan minum. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap orang hanyalah mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR.
Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907, dari Umar bin Al Khottob)

Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam keadaan berpuasa, maka
puasanya batal.” (Al Muhalla, 6/174) Ketika puasa batal dalam keadaan seperti ini, maka ia harus mengqodho’ puasanya di hari
lainnya. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/106)

6. Jima’ (bersetubuh) di siang hari.


Berjima’ dengan pasangan di siang hari bulan Ramadhan membatalkan puasa, wajib mengqodho’ dan menunaikan kafaroh.
Namun hal ini berlaku jika memenuhi dua syarat: (1) yang melakukan adalah orang yang dikenai kewajiban untuk berpuasa, dan
(2) bukan termasuk orang yang mendapat keringanan untuk tidak berpuasa. Jika seseorang termasuk orang yang mendapat
keringanan untuk tidak berpuasa seperti orang yang sakit dan sebenarnya ia berat untuk berpuasa namun tetap nekad berpuasa,
lalu ia menyetubuhi istrinya di siang hari, maka ia hanya punya kewajiban qodho’ dan tidak ada kafaroh. ( Lihat Syarhul Mumthi’,
3/68)

65
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Suatu hari kami duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
kemudian datanglah seorang pria menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu pria tersebut mengatakan, “Wahai
Rasulullah, celaka aku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pria tadi lantas menjawab, “Aku
telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau
memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga
menjawab, “Tidak”. Abu Hurairah berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamlantas diam. Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada
yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata,“Di mana orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengatakan, “Ambillah dan bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan, “Apakah akan aku berikan
kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung
barat kota Madinah dari keluargaku. ” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berilah makanan tersebut pada keluargamu.” (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no.
1111)

Menurut mayoritas ulama, jima’ (hubungan badan dengan bertemunya dua kemaluan dan tenggelamn ya ujung kemaluan di
kemaluan atau dubur) bagi orang yang berpuasa di siang hari bulan Ramadhan (di waktu berpuasa) dengan sengaja dan atas
kehendak sendiri (bukan paksaan), mengakibatkan puasanya batal, wajib menunaikan qodho’, ditambah dengan menunaikan
kafaroh. Terserah ketika itu keluar mani ataukah tidak. Wanita yang diajak hubungan jima’ oleh pasangannya (tanpa dipaksa),
puasanya pun batal, tanpa ada perselisihan di antara para ulama mengenai hal ini. Namun yang nanti jadi perbedaan antara laki -
laki dan perempuan apakah keduanya sama-sama dikenai kafaroh.

Pendapat yang tepat adalah pendapat yang dipilih oleh ulama Syafi’iyah dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, bahwa
wanita yang diajak bersetubuh di bulan Ramadhan tidak punya kewajiban kafaroh, yang menanggung kafaroh adalah si pria.
Alasannya, dalam hadits di atas, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintah wanita yang bersetubuh di siang hari untuk

66
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
membayar kafaroh sebagaimana suaminya. Hal ini menunjukkan bahwa seandainya wani ta memiliki kewajiban kafaroh, maka
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu akan mewajibkannya dan tidak mendiamkannya. Selain itu, kafaroh adalah hak harta. Oleh
karena itu, kafaroh dibebankan pada laki-laki sebagaimana mahar. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah 2/9957 dan Shohih Fiqih
Sunnah, 2/108)

Kafaroh yang harus dikeluarkan adalah dengan urutan sebagai berikut.

a) Membebaskan seorang budak mukmin yang bebas dari cacat.


b) Jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut.
c) Jika tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin. Setiap orang miskin mendapatkan satu mud (Satu mud sama
dengan ¼ sho’. Satu sho’ kira-kira sama dengan 3 kg. Sehingga satu mud kurang lebih 0,75 kg) makanan (Untuk ukuran makanan
di sini sebenarnya tidak ada aturan baku. Jika sekedar memberi makan, sudah dianggap menunaikannya. Lihat pembahasan
pembayaran fidyah dalam bab selanjutnya)

Jika orang yang melakukan jima’ di siang hari bulan Ramadhan tidak mampu melaksanakan kafaroh di atas, kafaroh tersebut
tidaklah gugur, namun tetap wajib baginya sampai dia mampu. Hal ini diqiyaskan (dianalogikan) dengan bentuk utang -piutang dan
hak-hak yang lain. Demikian keterangan dari An Nawawi rahimahullah. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/224)

67
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Yang Dibolehkan Ketika Puasa (1)
Bagi hamba yang masih memiliki tabi’at baik pasti mengetahui bahwa Allah selalu menginginkan kemudahan dan bukan
menginginkan kesulitan bagi hamba-Nya. Dalam perihal puasa, Allah Ta’ala juga menginginkan demikian dan ingin menghilangkan
kesulitan dari hamba-Nya. Berikut ini adalah beberapa hal yang dibolehkan oleh syari’at ini dan tidak membatalkan puasa :

1. Mendapati waktu fajar dalam keadaan junub.


Dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhuma, mereka berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendapati
waktu fajar ( waktu Shubuh) dalam keadaan junub karena bersetubuh dengan istrinya, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
mandi dan tetap berpuasa.” (HR. Bukhari no. 1926)

Istri tercinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
menjumpai waktu fajar di bulan Ramadhan dalam keadaan junub bukan karena mimpi basah, kemudian belia u shallallahu ‘alaihi
wa sallam mandi dan tetap berpuasa.” (HR. Muslim no. 1109)

2. Bersiwak ketika berpuasa.


Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seandainya tidak memberatkan umatku niscaya akan kuperintahkan mereka
untuk menyikat gigi (bersiwak) setiap kali berwudhu.” (Hadits ini dikeluarkan oleh Bukhari dalam kitab Shahihnya secara mu’allaq
(tanpa sanad). Dikeluarkan pula oleh Ibnu Khuzaimah 1/73 dengan sanad lebih lengkap. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
sanad hadits ini shahih)

Imam Al Bukhari membawakan hadits di atas (tanpa sanad) dalam judul Bab “Siwak basah dan kering bagi orang yang berpuasa”.
Judul bab ini mengisyaratkan bahwa Imam Al Bukhari ingin menyanggah sebagian ulama (seperti ulama Malikiyah dan Asy Sya’bi)
yang memakruhkan untuk bersiwak ketika berpuasa dengan siwak basah. (Fathul Bari, 4/158)

68
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Adapun siwak (ketika berpuasa) maka itu dibolehkan tanpa ada perselisihan di antara para ulama.
Akan tetapi, para ulama berselisih pendapat te ntang makruhnya hal itu jika dilakukan setelah waktu zawal (matahari tergelincir ke
barat). Ada dua pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad dalam masalah ini. Namun yang tepat, tidak ada dalil syari’i yang
mengkhususkan bahwa hal tersebut dimakruhkan. Padahal terdapat dalil-dalil umum yang membolehkan untuk bersiwak.” (Majmu’
Al Fatawa, 25/266)

Penulis Tuhfatul Ahwadzi mengatakan, “Hadits-hadits yang semakna dengan di atas yang membicarakan keutamaan bersiwak
adalah hadits mutlak yang menunjukkan bahwa siwak dibolehkan setiap saat. Inilah pendapat yang lebih tepat.” (Tuhfatul Ahwadzi,
3/345)

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, “Yang benar adalah siwak dianjurkan bagi orang yang berpuasa mulai dari
awal hingga akhir siang.” (Majmu’ Fatwa wa Rosa’il Ibnu ‘Utsaimin, 17/259)

Dalil yang menunjukkan mengenai keutamaan siwak adalah hadits ‘Aisyah. Dari ‘Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Bersiwak itu akan membuat mulut bersih dan diridhoi oleh Allah.” (HR. An Nasai no. 5 dan Ahmad 6/47. Syaikh
Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Adapun menggunakan pasta gigi ketika puasa lebih baik tidak digunakan ketika berpuasa karena pasta gigi memiliki pengaruh
sangat kuat hingga bisa mempengaruhi bagian dalam tubuh dan kadang seseorang tidak merasakannya. Waktu untuk menyikat
gigi sebenarnya masih lapang. Jika seseorang mengakhirkan untuk menyikat gigi hingga waktu berbuka, maka dia berarti telah
menjaga diri dari perkara yang dapat merusak puasanya. (Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin, 17/261-262)

3. Berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung asal tidak berlebihan.


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq (memasukkan air dalam hidung) kecuali
jika engkau berpuasa.” (HR. Abu Daud no. 142, Tirmidzi no. 788, An Nasa’i no. 87, Ibnu Majah no. 407, dari Laqith bin Shobroh. At
Tirmidzi mengatakan bahwa hadits tersebut hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih)

69
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Adapun berkumur-kumur dan beristinsyaq (memasukkan air dalam hidung) dibolehkan bagi orang
yang berpuasa berdasarkan kesepakatan para ulama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat juga berkumur-kumur
dan beristinsyaq ketika berpuasa. … Akan tetapi, dilarang untuk berlebih-lebihan ketika itu.” (Majmu’ Al Fatawa, 25/266)
Juga tidak mengapa jika orang yang berpuasa berkumur-kumur meski tidak karena wudhu dan mandi. (Shahih Fiqh Sunnah,
2/112)

Jika masih ada sesuatu yang basah –yang tersisa sesudah berkumur-kumur- di dalam mulut lalu tertelan tanpa sengaja, seperti itu
tidak membatalkan puasa karena sulit dihindari. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Jika dikhawatirkan sehabis bersiwak
terdapat sesuatu yang basah di dalam mulut (seperti sesudah berkumur-kumur dan masih tersisa sesuatu yang basah di dalam
mulut), maka itu tidak membatalkan puasa walaupun sesuatu yang basah tadi ikut tertelan.” (Fathul Bari, 4/159)

4. Bercumbu dan mencium istri selama aman dari keluarnya mani.


Orang yang berpuasa dibolehkan bercumbu dengan istrinya selama tidak di kemaluan dan selama terhindar dari terjerumus pada
hal yang terlarang. Puasanya tidak batal selama tidak keluar mani (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13123 dan Shahih Fiqh
Sunnah, 2/110-111).

An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Tidak ada perselisihan di antara para ulama bahwa bercumbu atau mencium istri tidak
membatalkan puasa selama tidak keluar mani”. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/215)

Dalil-dalil berikut menunjukkan bolehnya bercumbu dengan istri ketika berpuasa sebagaimana dilakukan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan beberapa sahabat radhiyallahu ‘anhum.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mencium dan mencumbu istrinya
sedangkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berpuasa. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan demikian
karena beliau adalah orang yang paling kuat menahan syahwatnya.” (HR. Bukhari no. 1927 dan Muslim no. 1106)

70
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Dari Jabir bin ‘Abdillah, dari ‘Umar Bin Al Khaththab, beliau berkata, “Pada suatu hari aku rindu dan hasratku muncul kemudian aku
mencium istriku padahal aku sedang berpuasa, maka aku datang kepada Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku berkata, “Hari
ini aku melakukan suatu kesalahan besar, aku telah mencium istriku padahal sedang berpuasa ” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bertanya, “Bagaimana pendapatmu jika kamu berpuasa kemudian berkumur-kumur?” Aku menjawab, “Seperti itu tidak
mengapa.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lalu apa masalahnya?“ (HR. Ahmad 1/21. Syaikh Syu’aib
Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)

Masyruq pernah bertanya pada ‘Aisyah, “Apa yang dibolehkan bagi seseorang terhadap istrinya ketika puasa? ‘Aisyah menjawab,
‘Segala sesuatu selain jima’ (bersetubuh)’.” (Riwayat ini disebutkan dalam Fathul Bari (4/149), dikeluarkan oleh ‘Abdur Rozaq
dengan sanad yang shahih)

5. Bekam dan donor darah jika tidak membuat lemas.


Dalil-dalil berikut menunjukkan dibolehkannya bekam bagi orang yang berpuasa.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dalam keadaan berihrom dan
berpuasa. (HR. Bukhari no. 1938)

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ditanya, “Apakah kalian tidak menyukai berbekam bagi orang yang berpuasa?” Beliau berkata,
“Tidak, kecuali jika bisa menyebabkan lemah.” (HR. Bukhari no. 1940)

Menurut jumhur (mayoritas ulama) yaitu Imam Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, berbekam tidaklah membatalkan puasa. Pendapat
ini juga dipilih oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Anas bin Malik, Abu Sa’id Al Khudri dan sebagian ulama salaf.
Imam Asy Syafi’i dalam Al Umm mengatakan, “Jika seseorang meninggalkan bekam ketika puasa dalam rangka kehati -hatian,
maka itu lebih aku sukai. Namun jika ia tetap melakukan bekam, aku tidak menganggap puasanya batal.” (Al Umm, 2/106)

71
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Di antara alasan bahwa bekam tidaklah membatalkan puasa:

Alasan pertama: Boleh jadi hadits yang menjelaskan batalnya orang yang melakukan bekam dan di bekam adalah hadits yang
telah di mansukh(dihapus) dengan hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al Khudri berikut: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam memberi keringanan (rukhsoh) bagi orang yang berpuasa untuk mencium istrinya dan berbekam.” (HR. Ad Daruquthni
2/183 dan Ibnu Khuzaimah 7/247. Ad Daruqutni mengatakan bahwa semua periwayat dalam hadits ini tsiqoh/terpercaya kecuali
Mu’tamar yang meriwayatkan secara mauquf -yaitu hanya sampai pada sahabat-. Syaikh Al Albani dalam Irwa’ (4/74) mengatakan
bahwa semua periwayat hadits ini tsiqoh/terpercaya, akan tetapi dipersilihkan apakah riwayatnya marfu’ -sampai pada Nabi- atau
mawquf -sampai sahabat-)

Ibnu Hazm mengatakan, “Hadits yang menyatakan bahwa batalnya puasa orang yang melakukan bekam dan orang yang dibekam
adalah hadits yang shohih –tanpa ada keraguan sama sekali-. Akan tetapi, kami menemukan sebuah hadits dari Abu Sa’id: “Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan (rukhsoh) bagi orang yang berpuasa untu k berbekam“. Sanad hadits ini shohih.
Maka wajib bagi kita untuk menerimanya. Yang namanyarukhsoh (keringanan) pasti ada setelah adanya ‘azimah (pelarangan)
sebelumnya. Hadits ini menunjukkan bahwa hadits yang menyatakan batalnya puasa dengan berbekam (bai k orang yang
melakukan bekam atau orang yang dibekam) adalah hadits yang telah dinaskh (dihapus).” (Dinukil dari Al Irwa’, 4/74)

Setelah membawakan pernyataan Ibnu Hazm di atas, Syaikh Al Albani mengatakan, “Hadits semacam ini dari berbagai jalur
adalah hadits yang shohih –tanpa ada keraguan sedikitpun-. Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa hadits yang menyatakan
batalnya puasa karena bekam adalah hadits yang telah dihapus (dinaskh). Oleh karena itu, wajib bagi kita mengambil pendapat ini
sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah di atas.” (Al Irwa’, 4/75)

Alasan kedua: Pelarangan berbekam ketika puasa yang dimaksudkan dalam hadits adalah bukan pengharaman. Maka hadits:
“Orang yang melakukan bekam dan yang dibekam batal puasanya” adalah kalimat majas. Jadi maksud hadits tersebut adalah
bahwa orang yang membekam dan dibekam bisa terjerumus dalam perkara yang bisa membatalkan puasa. Yang menguatkan hal
ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdur Rahman bin Abi Layla dari salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa

72
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
sallam, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berbekam dan puasa
wishol -namun tidak sampai mengharamkan-, ini masih berlaku bagi sahabatnya.” (HR. Abu Daud no 2374. Hadits ini tidaklah
cacat, walaupun nama sahabat tidak disebutkan. Syaikh Al Alba ni mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Jika kita melihat dalam hadits Anas yang telah disebutkan, terlihat jelas bahwa bekam itu terlarang ketika akan membuat lemah.
Anas ditanya, “Apakah kalian tidak menyukai berbekam bagi orang yang berpuasa?” Anas menjawab, “Tidak, kecuali jika bisa
menyebabkan lemah.”

Dengan dua alasan di atas, maka pendapat mayoritas ulama kami nilai lebih kuat yaitu bekam tidaklah membatalkan puasa. Akan
tetapi, bekam dimakruhkan bagi orang yang bisa jadi lemas. Termasuk dalam pembahasan bekam ini adalah hukum donor
darah karena keduanya sama-sama mengeluarkan darah sehingga hukumnya pun disamakan. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah,
2/113-114)

6. Mencicipi makanan selama tidak masuk dalam kerongkongan


Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia mengatakan, “Tidak mengapa seseorang yang sedang berpuasa mencicipi cuka atau
sesuatu, selama tidak masuk sampai ke kerongkongan.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf 2/304. Syaikh Al Albani dalam
Irwa’ no. 937 mengatakan bahwa riwayat ini hasan)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Mencicipi makanan dimakruhkan jika tidak ada hajat, namun tidak membatalkan
puasa. Sedangkan jika ada hajat, maka dibolehkan sebagaimana berkumur-kumur ketika berpuasa.” (Majmu’ Al Fatawa, 25/266-
267)

Yang termasuk dalam mencicipi adalah adalah mengunyah makanan untuk suatu kebutuhan sep erti membantu mengunyah
makanan untuk si kecil.
‘Abdur Rozaq dalam mushonnaf-nya membawakan Bab ‘Seorang wanita mengunyah makanan untuk anaknya sedangkan dia
dalam keadaan berpuasa dan dia mencicipi sesuatu darinya‘. ‘Abdur Rozaq membawakan beberapa riwayat di antaranya dari

73
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Yunus, dari Al Hasan Al Bashri, ia berkata, “Aku melihat Yunus mengunyah makanan untuk anak kecil -sedangkan beliau dalam
keadaan berpuasa-. Beliau mengunyah kemudian beliau mengeluarkan hasil kunyahannya tersebut dari mulutnya, lalu diberikan
pada mulut anak kecil tersebut.” (HR. ‘Abdur Rozaq dalam Mushonnafnya (4/207)

7. Bercelak dan tetes mata


Bercelak dan tetes mata tidaklah membatalkan puasa (Lihat Shifat Shoum Nabi, hal. 56 dan Shahih Fiqh Sunnah, 2/115).

Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Pendapat yang lebih kuat adalah hal-hal ini tidaklah membatalkan puasa. Karena puasa adalah
bagian dari agama yang perlu sekali kita mengetahui dalil khusus dan dalil umum. Seandainya perkara ini adalah perkara yang
Allah haramkan ketika berpuasa dan dapat membatalkan puasa, tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan
kepada kita. Seandainya hal ini disebutkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu para sahabat akan menyampaikannya
pada kita sebagaimana syariat lainnya sampai pada kita. Karena tidak ada satu orang ulama pun menukil hal ini dari beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam baik hadits shohih, dho’if, musnad (bersambung sampai Nabi) ataupun mursal (sanad di atas tabi’in
terputus), dapat disimpulkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan perkara ini (sebagai pembatal).
Sedangkan hadits yang menyatakan bahwa bercelak membatalkan puasa adalah hadits yang dho’if(lemah). Hadits tersebut
dikeluarkan oleh Abu Daud dalam sunannya, namun selain beliau tidak ada yang mengeluarkannya. Hadits tersebut juga tidak
terdapat dalam musnad Ahmad dan kitab referensi lainnya.” (Majmu’ Al Fatawa, 25/234)

Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Tidak mengapa bercelak untuk orang yang berpuasa.” (Dikeluarkan oleh ‘Abdur Rozaq dengan
sanad yang shahih. Lihat Fathul Bari, 4/154)

8. Mandi dan menyiramkan air di kepala untuk membuat segar


Bukhari membawakan Bab dalam kitab shohihnya ‘Mandi untuk orang yang berpuasa.’ Ibnu Hajar berkata, “Maksudnya adalah
dibolehkannya mandi untuk orang yang berpuasa.

74
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Az Zain ibnul Munayyir berkata bahwa mandi di sini bersifat mutlak mencakup mandi yang dianjurkan, diwajibkan dan mand i yang
sifatnya mubah. Seakan-akan beliau mengisyaratkan tentang lemahnya pendapat yang diriwayatkan dari ‘Ali mengenai larangan
orang yang berpuasa untuk memasuki kamar mandi. Riwayat ini dikeluarkan oleh ‘Abdur Rozaq, namun dengan sanad dho’if.
Hanafiyah bersandar dengan hadits ini sehingga mereka melarang (memakruhkan) mandi untuk orang yang berpuasa.” (Fathul
Bari, 4/153)

Hal ini juga dikuatkan oleh sebuah riwayat dari Abu Bakr bin ‘Abdirrahman, beliau berkata, “Sungguh, aku melihat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam di Al ‘Aroj mengguyur kepalanya -karena keadaan yang sangat haus atau sangat terik- dengan air
sedangkan beliau dalam keadaan berpuasa. ” (HR. Abu Daud no. 2365)

Penulis Aunul Ma’bud mengatakan, “Hadits ini merupakan dalil bolehnya orang yang berpuasa untuk menyegarkan badan dari
cuaca yang cukup terik dengan mengguyur air pada sebagian atau seluruh badannya. Inilah pendapat mayoritas ulama dan
mereka tidak membedakan antara mandi wajib, sunnah atau mubah.” ( ‘Aunul Ma’bud, 6/352)

9. Menelan dahak.
Menurut madzhab Hanafiyah dan Malikiyah, menelan dahak (Dahak adalah sesuatu yang keluar dari hidung atau lendir yang naik
dari dada) tidak membatalkan puasa karena ia dianggap sama seperti air ludah dan bukan sesuatu yang asalnya dari luar. (Lihat
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9962 dan Shahih Fiqh Sunnah, 2/117)

10. Menelan sesuatu yang sulit dihindari.


Seperti masih ada sisa makanan yang ikut pada air ludah dan itu jumlahnya sedikit serta sulit dihindari dan juga seperti dara h pada
gigi yang ikut bersama air ludah dan jumlahnya sedikit, maka seperti ini tidak mengapa jika tertelan. Namun jika darah atau
makanan lebih banyak dari air ludah yang tertelan, lalu tertelah, puasanya jadi batal. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/118)

11. Makan, minum, jima’ (berhubungan badan) dalam keadaan lupa.


12. Muntah yang tidak sengaja.

75
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Panduan Zakat: Keutamaan Menunaikan Zakat
Pengertian Zakat
Zakat –secara bahasa- berarti “ ” berarti bertambah atau tumbuh. Makna seperti dapat kita lihat dari perkataan ‘Ali
bin Abi Tholib, “Ilmu itu semakin bertambah dengan diinfakkan.”

Zakat secara bahasa juga berarti “ ”, yang lebih baik. Sebagaimana dapat kita lihat pada firman Allah Ta’ala, “Dan kami
menghendaki, supaya Rabb mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anakn ya itu” (QS.
Al Kahfi: 81). (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 23: 226)

Secara bahasa, zakat juga berarti “ ‫ ” ي ط‬mensucikan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya beruntunglah orang
yang mensucikan jiwa itu” (QS. Asy Syams: 9).

Zakat mensucikan seseorang dari sikap bakhil dan pelit. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, “Ambillah zakat dari sebagian harta
mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka” (QS. At Taubah: 103). (Lihat, Al Wajiz Al Muqorin, hal.
11)

Secara istilah syar’i, zakat berarti penunaian kewajiban pada harta yang khusus, dengan cara yang khusus, dan disyaratkan ket ika
dikeluarkan telah memenuhi haul (masa satu tahun) dan nishob (ukuran minimal dikenai kewajiban zakat). Zakat pun kadang
dimaksudkan untuk harta yang dikeluarkan. Sedangkan muzakki adalah istilah untuk orang yang memiliki harta dan mengeluarkan
zakatnya. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 23: 226)

Kita dapat mengambil pelajaran dari definisi di atas bahwa zakat dapat disebut zakat karena pokok harta itu akan tumbuh dengan
bertambah barokah ketika dikeluarkan dan juga orang yang mengeluarkan akan mendapatkan berkah dengan do’a dari orang yang
berhak menerima zakat tersebut. Harta lain yang tersisa juga akan bersih dari syubhat, ditambah dengan terlepasnya dari
kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan harta tersebut. (Al Fiqhi Al Manhaji, hal. 271)
76
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Hukum Zakat
Zakat disyari’atkan pada tahun kedua hijriyah dekat dengan waktu disyari’atkannya puasa Ramadhan (Idem). Zakat ini merupakan
suatu kewajiban dan bagian dari rukun Islam. Hal ini tidak bisa diragukan lagi karena telah terdapat berbagai dalil dari Al Q ur’an,
As Sunnah, dan ijma’ (kata sepakat ulama).

Dalil yang menyatakan wajibnya zakat di antaranya terdapat dalam ayat,

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’” (QS. Al Baqarah: 43). Perintah zakat ini
berulang di dalam Al Qur’an dalam berbagai ayat sampai berulang hingga 32 kali. (Idem)

Begitu pula dalam hadits ditunjukkan mengenai wajibnya melalui haditsd dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada ilah
(sesembahan) yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan -Nya; menegakkan shalat; menunaikan
zakat; menunaikan haji; dan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16)

Begitu juga dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memerintahkan pada Mu’adz yang ingin berdakwah ke Yaman,
“… Jika mereka telah mentaati engkau (untuk mentauhidkan Allah dan menunaikan shalat ), maka ajarilah mereka sedekah (zakat)
yang diwajibkan atas mereka di mana zakat tersebut diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan kemudian disebar
kembali oleh orang miskin di antara mereka.” (HR. Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 19)

Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata, “Zakat adalah suatu kepastian dalam syari’at Islam, sehingga tidak perlu lagi kita
bersusah payah mendatangkan dalil-dalil untuk membuktikannya. Para ulama hanya berselisih pendapat dalam hal perinciannya.
Adapun hukum asalnya telah disepakati bahwa zakat itu wajib, sehingga barang siapa yang mengingkarinya, ia menjadi kafir.”
(Fathul Bari, 3: 262)

77
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Perlu diketahui bahwa istilah zakat dan sedekah dalam syari’at Islam memiliki makna yang sama. Keduanya terbagi menjadi dua:

(1) wajib, dan (2) sunnah. Adapun anggapan sebagian masyarakat bahwa zakat adalah yang hukum, sedangkan sedekah adalah
yang sunnah, maka itu adalah anggapan yang tidak berdasarkan kepada dalil yang benar nan kuat.

Ibnul ‘Arobi rahimahullah mengatakan, “Zakat itu digunakan untuk istilah sedekah yang wajib, yang sunnah, untuk nafkah,
kewajiban dan pemaafan.” (Lihat Fathul Bari, 3: 262)

Keutamaan Menunaikan Zakat


1. Menyempurnakan keislaman seorang hamba. Zakat merupakan bagian dari rukun Islam yang lima. Apabila seseorang
melakukannya, maka keislamannya akan menjadi sempurna. Hal ini tidak diragukan lagi merupakan suatu tujuan/hikmah yang
amat agung dan setiap muslim pasti selalu berusaha agar keislamannya menjadi sempurna.

2. Menunjukkan benarnya iman seseorang. Sesungguhnya harta adalah sesuatu yang sangat dicintai oleh jiwa. Sesuatu yang
dicintai itu tidaklah dikeluarkan kecuali dengan mengharap balasan yang semisal atau bahkan lebih dari yang dikeluarkan. Oleh
karena itu, zakat disebut juga shodaqoh (yang berasal dari kata shiddiq yang berarti benar/jujur, -pen) karena zakat akan
menunjukkan benarnya iman muzakki (baca: orang yang mengeluarkan zakat) yang mengharapkan ridha Allah dengan zakatnya
tersebut.

3. Membuat keimanan seseorang menjadi sempurna. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Tidak
sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri. ” (HR.
Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45)

Sebagaimana kita mencintai jika ada saudara kita meringankan kesusahan kita, begitu juga seharusnya kita suka untuk
meringankan kesusahan saudara kita yang lain. Maka pemberian seperti ini merupakan tanda kesempurnaan iman kita.

78
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
4. Sebab masuk surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di surga terdapat kamar yang luarnya
dapat terlihat dari dalamnya dan dalamnya dapat terlihat dari luarnya.” Kemudian ada seorang badui berdiri lantas bertanya,
“Kepada siapa (kamar tersebut) wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Bagi orang yang berkata baik, memberi makan (di antaranya
lewat zakat, pen), rajin berpuasa, shalat karena Allah di malam hari di saat manusia sedang terlelap tidur .” (HR. Tirmidzi no. 1984.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan) Setiap kita tentu saja ingin masuk surga.

5. Menjadikan masyarakat Islam seperti keluarga besar (satu kesatuan). Karena dengan zakat, berarti yang kaya menolong yang
miskin dan orang yang berkecukupan akan menolong orang yang kesulitan. Akhirnya setiap orang merasa seperti satu saudara.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu” (QS. Al
Qoshosh: 77)

6. Memadamkan kemarahan orang miskin. Terkadang orang miskin menjadi marah karena melihat orang kaya hidup mewah.
Orang kaya dapat memakai kendaraan yang dia suka (dengan berganti-ganti) atau tinggal di rumah mana saja yang dia mau.
Tidak ragu lagi, pasti akan timbul sesuatu (kemarahan, -pen) pada hati orang miskin. Apabila orang kaya berderma pada mereka,
maka padamlah kemarahan tersebut. Mereka akan mengatakan,”Saudara-saudara kami ini mengetahui kami berada dalam
kesusahan”. Maka orang miskin tersebut akan suka dan timbul rasa cinta kepada orang kaya yang berderma tadi.

7. Menghalangi berbagai bentuk pencurian, pemaksaan, dan perampasan. Karena dengan zakat, sebagian kebutuhan orang yang
hidupnya dalam kemiskinan sudah terpenuhi, sehingga hal ini menghalangi mereka untuk merampas harta orang -orang kaya atau
berbuat jahat kepada mereka.

8. Menyelamatkan seseorang dari panasnya hari kiamat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap orang akan berada di
naungan amalan sedekahnya hingga ia mendapatkan keputusan di tengah-tengah manusia.” (HR. Ahmad 4: 147. Syaikh Syu’aib
Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits tersebut shahih)

79
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
9. Seseorang akan lebih mengenal hukum dan aturan Allah. Karena ia tidaklah menunaikan zakat sampai ia mengetahui hukum
zakat dan keadaan hartanya. Juga ia pasti telah mengetahui nishob zakat tersebut dan orang yang berhak menerimanya serta hal -
hal lain yang urgent diketahui.

10. Menambah harta. Terkadang Allah membuka pintu rizki dari harta yang dizakati. Sebagaimana terdapat dalam hadits yang
artinya, “Sedekah tidaklah mengurangi harta.” (HR. Muslim no. 2558)

11. Merupakan sebab turunnya banyak kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah suatu kaum enggan
mengeluarkan zakat dari harta-harta mereka, melainkan mereka akan dicegah dari mendapatkan huj an dari langit. Sekiranya
bukan karena binatang-binatang ternak, niscaya mereka tidak diberi hujan.” (HR. Ibnu Majah no. 4019. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini hasan)

12. Zakat akan meredam murka Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits, “Sedekah itu dapat memamkan murka Allah dan
mencegah dari keadaan mati yang jelek.” (HR. Tirmidzi no. 664. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan ghorib
dari sisi ini)

13. Dosa akan terampuni. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sedekah itu akan memadamkan dosa sebagaimana
air dapat memadamkan api.” (HR. Tirmidzi no. 614. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Keutamaan
menunaikan zakat ini diringkas dari kitab Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, 6: 7-11)

80
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Panduan Zakat: Hukum Orang yang Enggan Menunaikan Zakat
Pertama: Orang yang mengingkari kewajiban zakat.
Kita sudah pahami bahwa zakat adalah bagian dari rukun Islam. Para ulama bersepakat (berijma’) bahwa siapa yang menentang
dan mengingkari kewajiban zakat, maka ia telah kafir dan murtad dari Islam. Karena ini adalah perkara ma’lum minad diini bid
doruroh, yaitu sudah diketahui akan wajibnya.

Imam Nawawi rahimahullahberkata, “Barangsiapa mengingkari kewajiban zakat di zaman ini, ia kafir berdasarkan kesepakatan
para ulama.” (Syarh Muslim, 1: 205)

Ibnu Hajar berkata, “Adapun hukum asal zakat adalah wajib. Siapa ya ng menentang hukum zakat ini, ia kafir.” (Fathul Bari, 3: 262)

Kedua: Orang yang enggan menunaikan zakat dala rangka bakhil dan pelit.
Orang yang enggan menunaikan zakat dalam keadaan meyakini wajibnya, ia adalah orang fasik dan akan mendapatkan siksa
yang pedih di akhirat. Allah Ta’ala berfirman, “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada
jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas
perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada
mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu
simpan itu.” (QS. At Taubah: 34-35).

Di dalam beberapa hadits disebutkan ancaman bagi orang yang enggan menunaikan zakat.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang memiliki emas atau perak tapi tidak
mengeluarkan zakatnya melainkan pada hari kiamat nanti akan disepuh untuknya lempengan dari api neraka, lalu dipanaskan
dalam api neraka Jahannam, lalu disetrika dahi, rusuk dan punggungnya dengan lempengan tersebut. Setiap kali dingin akan
disepuh lagi dan disetrikakan kembali kepadanya pada hari yang ukurannya sama dengan lima puluh ribu tahun. Kemudian ia
melihat tempat kembalinya apakah ke surga atau ke neraka.” (HR. Muslim no. 987)
81
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Diriwayatkan dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku datang menemui Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang
sedang berlindung di bawah naungan Ka’bah. Beliau bersabda, ‘Merekalah orang-orang yang paling merugi, demi Rabb Pemilik
Ka’bah’. Beliau mengucapkannya tiga kali. Abu Dzar berkata, “Aku pun menjadi sedih, aku menarik nafas lalu berkata, ‘Ini
merupakan peristiwa yang buruk pada diriku. Aku bertanya, Siapakah mereka? Ayah dan ibuku menjadi tebusannya?’”
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Orang-orang yang banyak hartanya! Kecuali yang menyedekahkannya kepada
hamba-hamba Allah begini dan begini. Namun sangat sedikit mereka itu. Tidaklah seorang lelaki mati lalu ia meninggalkan
kambing atau unta atau sapi yang tidak ia keluarkan zakatnya melainkan hewan -he wan itu akan datang kepadanya pada hari
kiamat dalam bentuk yang sangat besar dan sangat gemuk lalu menginjaknya dengan kukunya dan menanduknya dengan
tanduknya. Hingga Allah memutuskan perkara di antara manusia. Kemudian hewan yang paling depan menginjaknya kembali,
begitu pula hewan yang paling belakang berlalu, begitulah seterusnya.” (HR. Bukhari no. 6638, Muslim no. 990 dan Ahmad 5: 169)

Panduan Zakat: Syarat-Syarat Zakat


Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam masalah kewajiban zakat. Syarat tersebut berkaitan denganmuzakki (orang yang
mengeluarkan zakat) dan berkaitan dengan harta.

Syarat pertama: berkaitan dengan muzakki: (1) islam, dan (2) merdeka. (Lihat Shahih Fiqh S unnah, 2: 11-12)
Adapun anak kecil dan orang gila –jika memiliki harta dan memenuhi syarat-syaratnya- masih tetap dikenai zakat yang nanti akan
dikeluarkan oleh walinya. Pendapat ini adalah pendapat terkuat dan dipilih oleh mayoritas ulama. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 12-
13 dan Az Zakat, 64-66)

Syarat kedua: berkaitan dengan harta yang dikeluarkan: (1) harta tersebut dimiliki secara sempurna, (2) harta tersebut adalah
harta yang berkembang, (3) harta tersebut telah mencapai nishob, (4) telah mencapai haul (harta tersebut bertahan selama
setahun), (5) harta tersebut merupakan kelebihan dari kebutuhan pokok. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 13 dan Az Zakat, 63)
Berikut rincian dari syarat yang berkaitan dengan harta.

82
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
(1) Dimiliki secara sempurna.
Pemilik harta yang hakiki sebenarnya adalah Allah Ta’ala sebagaimana disebutkan dalam sebuah ayat, “Berimanlah kamu kepada
Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-
orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar .” (QS. Al Hadiid: 7)

Al Qurthubi menjelaskan, “Ayat ini merupakan dalil bahwa pada hakekatnya harta adalah milik Allah. Hamba tidaklah memiliki apa -
apa melainkan apa yang Allah ridhoi. Siapa saja yang menginfakkan hartanya pada jalan Allah sebagaimana halnya seseorang
yang mengeluarkan harta orang lain dengan seizinnya, maka ia akan mendapatkan pahala yang melimpah dan amat banyak.”
(Tafsir Al Qurthubi, 17: 238)

Harta yang hakikatnya milik Allah ini telah dikuasakan pada manusia. Jadi manusia yang diberi harta saat ini dianggap sebagai
pemegang amanat harta yang hakikatnya milik Allah.

Sedangkan yang dimaksud dengan syarat di sini adalah harta tersebut adalah milik di tangan individu dan tidak berkaitan dengan
hak orang lain, atau harta tersebut disalurkan atas pilihannya sendiri dan faedah dari harta tersebut dapat ia peroleh. (Lihat Az
Zakat, 67)

Dari sini, apakah piutang itu terkena zakat? Pendapat yang tepat dalam hal ini, piutang bisa dirinci menjadi dua macam:

1. Piutang yang diharapkan bisa dilunasi karena diutangkan pada orang yang mampu untuk mengembalikan. Piutang seperti ini
dikenai zakat, ditunaikan segera dengan harta yang dimiliki oleh orang yang member utangan dan dikeluarkan setiap haul
(setiap tahun).
2. Piutang yang sulit diharapkan untuk dilunasi karena diutangkan pada orang yang sulit dalam melunasinya. Piutang seperti ini
tidak dikenai zakat sampai piutang tersebut dilunasi. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/14-15)

83
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
(2) Termasuk harta yang berkembang.
Yang dimaksudkan di sini adalah harta tersebut mendatangkan keuntungan dan manfaat bagi si empunya atau harta itu sendiri
berkembang dengan sendirinya. Oleh karena itu, para ulama membagi harta yang berkembang menjadi dua macam: (a) harta
yang berkembang secara hakiki (kuantitas), seperti harta perdagangan dan hewan ternak hasil perkembangbiakan, (b) harta yang
berkembang secara takdiri (kualitas).

Dalil dari syarat ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seorang muslim tidak dikenai kewajiban zakat pada budak dan
kudanya.” (HR. Bukhari no. 1464)

Dari sini, maka tidak ada zakat pada harta yang disimpan untuk kebutuhan pokok semisal makanan yang disimpan, kendaraan,
dan rumah. (Lihat Az Zakat, 69-70)

(3) Telah mencapai nishob.


Nishob adalah ukuran minimal suatu harta dikenai zakat.
Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak zakat bagi perak di bawah 5
uqiyah, tidak ada zakat bagi unta di bawah 5 ekor dan tidak ada zakat bagi tanaman di bawah 5 wasaq.” (HR. Bukhari no. 1405
dan Muslim no. 979)

Satu wasaq sama dengan 60 sho’. Jadi nishob zakat tanama adalah 5 wasaq x 60 sho’/wasaq = 300 sho’ (Lihat Syarh ‘Umdatul
Ahkam, Syaikh Sa’ad Asy Syatsri, 1: 376). Satu sho’ kira-kira sama dengan 3 kg. Sehingga nishob zakat tanaman = 300 sho’ x 3
kg/sho’ = 900 kg.)

Satu uqiyah sama dengan 40 dirham. Jadi nishob perak adalah 5 uqiyah x 40 dirham/uqiyah = 200 dirham (Lihat Syarh ‘Umdatul
Ahkam, Syaikh Sa’ad Asy Syatsri, 1: 376)

Untuk masing-masing harta yang dikenai zakat, ada ketentuan nishob masing-masing yang nanti akan dijelaskan.

84
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
(4) Telah mencapai haul.
Artinya harta yang dikenai zakat telah mencapai masa satu tahun atau 12 bulan Hijriyah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dan tidak ada zakat pada harta hingga mencapai haul .” (HR. Abu Daud no. 1573,
Tirmidzi no. 631 dan Ibnu Majah no. 1792. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Syarat ini berlaku bagi zakat pada mata uang dan hewan ternak. Sedangkan untuk zakat hasil pertanian tidak ada syarat haul.
Zakat pertanian dikeluarkan setiap kali panen. (Lihat Az Zakat, 70-71)

(5) Kelebihan dari kebutuhan pokok.


Harta yang merupakan kelebihan dari kebutuhan pokok, itulah sebagai barometer seseorang itu dianggap mampu atau
berkecukupan. Sedangkan harta yang masih dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok, maka seperti ini dikatakan tidak
mampu. Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kebutuhan pokok adalah apabila kebutuhan tersebut dikeluarkan,
maka seseorang bisa jadi akan celaka, seperti nafkah, tempat tinggal, dan pakaian. (Lihat Az Zakat, 71-72)

Harta yang Dikenai Zakat


Beberapa harta yang para ulama sepakat wajib dikenai zakat adalah:
1. Atsman (emas, perak dan mata uang).
2. Hewan ternak (unta, sapi, dan kambing).
3. Pertanian dan buah-buahan (gandum, kurma, dan anggur).

85
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Tuntunan Ibadah Haji
Sungguh Allah Ta’ala tidaklah menciptakan manusia dan jin kecuali hanya untuk menyembah-Nya semata, sebagaimana firman-
Nya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah -Ku. (QS. Adz dzariyat:56)

kemudian untuk merealisasikan penyembahan tersebut dibutuhkan suatu media yang dapat menjelaskan makna dan hakikat
penyembahan yang dikehendaki Allah Ta’ala, maka dengan hikmah-Nya yang agung Dia mengutus para Rasul dalam rangka
membawa dan menyampaikan risalah dan syariat-Nya kepada jin dan manusia. Dan risalah tersebut merupakan petunjuk yang
jelas dan hujjah atas para hamba -Nya. Dan diantara kesempurnaan Islam Allah yang Maha Bijaksana menetapkan ibadah Haji ke
Baitullah Al Haram sebagai salah satu dari syiar-syiar Islam yang agung. Bahkan ibadah haji merupakan rukun yang kelima dari
rukun-rukun Islam dan merupakan salah satu sarana dan media bagi kaum muslimin untuk bersatu, meningkatkan ketaqwaan dan
meraih surga yang telah dijanjikan untuk orang-orang yang bertaqwa.Oleh karena itu Islam dengan kesempurnaan syari’atnya
telah menetapkan suatu tatacara atau metode yang lengkap dan terperinci sehingga tidak perlu adanya penambahan dan
pengurangan dalam pelaksanaan ibadah ini. Dan sebagai seorang muslim yang baik tentunya akan berusaha dan bersemangat
untuk mempelajarinya kemudian mengamalkannya setelah Allah memberikan pertolongan, kemudahan dan kemampuan baginya
untuk menunaikan ibadah yang mulia ini.

Dari sinilah penulis berusaha untuk memberikan apa yang Allah Ta’ala karuniakan dari hal-hal yang berhubungan dengan ibadah
yang mulia ini, sebuah ibadah yang selalu diharap -harap dan dicita-citakan kaum muslimin yang berpegang teguh dengan
agamanya, mudah-mudahan hal ini bermanfaat bagi semua pihak dan dapat pula memperbaiki kesalahan-kesalahan yang banyak
dilakukan sebagian para jama’ah haji serta dapat dijadikan sebagai petunjuk bagi mereka yang akan menunaikannya dan mudah-
mudahan Allah Ta’ala menjadikan amalam yang kecil ini sebagai bekal bagi penulis ketika menghadap Rabb-Nya di hari yang tidak
ada pertolongan dan belas kasihan kecuali dari-Nya yang Maha Kuasa lagi Maha Adil dan Maha Bijaksana.

86
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
1. Definisi Haji
a. Secara Etimologi
Kata haji berasal dari bahasa arab yang bermakna tujuan dan dapat dibaca dengan dua lafazh Al-hajj dan Al-Hijj (Al-Mughni, 5/5)

b. Secara terminologi syariat


Haji menurut istilah syar’i adalah beribadah kepada Allah dengan melaksanakan manasik yang telah ditetapkan dalam sunnah
RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam (Syarhul Mumti’, 7/7)

Dan ada pula ulama yang berpendapat: “Haji adalah bepergian dengan tujuan ke tempat tertentu pada waktu yang tertentu untuk
melaksanakan suatu amalan yang tertentu pula (Muzakirat Syarhul ‘Umdatil Fiqh, Kitab Haji wal Umrah hal.1).

Akan tetapi definisi ini kurang pas karena haji lebih khusus dari apa yang didefinisikan di sini, karena seharusnya ditambah dengan
satu ikatan yaitu ibadah, maka apa yang ada pada definisi pertama lebih sempurna dan menyeluruh.

2. Dalil Pensyari’atannya
Haji merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima dan dia merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan bagi seorang
muslim yang mampu, sebagaimana telah digariskan dan ditetapkan dalam Al -Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’.

Adapun dalil dari Al-Qur’an: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak
memerlukan sesuatu) dari semesta alam”. (QS. Ali Imran, 97)

dan firman Allah Ta’ala “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh
atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum kurban
sampai ke tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka
wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa, atau bersedekah, atau berkurban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siap a

87
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan Haji), (wajiblah dia menyembelih) kurban yang mudah didapat. Tetapi
jika dia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (la gi)
apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang -
orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekkah). Dan
bertakwalah kepada Allah dan ketauhilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS. Al-Baqarah,196)

Dalil dari As-Sunnah:


Hadits yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu: “Telah berkhutbah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
kepada kami dan berkata: “Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mewajibkan atas kalian untuk berhaji, maka
berhajilah kalian.” (HR. Muslim)

Dan hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Islam itu didrikan atas lima perkara
yaitu persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah (dengan benar) kecuali Allah dan bersaksi bahwa
Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat,berhaji ke baitullah dan puasa
di bulan ramadhan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Dalil ijma’ (konsesus) para Ulama’


Para ulama dan kaum muslimin dari zaman Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sampai sekarang telah bersepakat bahwa ibadah haji
itu hukumnya wajib.( Lihat Al-Ijma, oleh Ibnul Mundzir hal 54 dan Al-Mughny 5/6)

3. Syarat-syarat haji
Haji diwajibkan atas manusia dengan lima syarat:
1. Islam
2. Berakal
3. Baligh
4. Memiliki kemampuan perbekalan dan kendaraan

88
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
5. Merdeka

4. Miqat-miqat untuk haji


Miqat adalah apa yang telah ditentukan dan ditetapkan oleh syari’at untuk suatu ibadah baik tempat atau waktu.(Lihat Syarhl
Umdah oleh Ibnu Taimiyah 2/302) Dan haji memiliki dua miqat yaitu miqat zamani dan makani. Adapun miqat zamani dimulai dari
malam pertama bulan syawal menurut kosensus para ulama, akan tetapi para ulama berbeda pendapat tentang kapan berakhirnya
bulan haji. Perbedaan ini terbagi menjadi tiga pendapat yang masyhur yaitu:

1.Syawal, Dzul Qa’dah, dan 10 hari dari Dzul Hijjah dan ini merupakan pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, dan Ibnu
Zubair dan ini yang dipilih madzhab hanbali.
2.Syawal, Dzul Qa’dah, dan 9 hari dari Dzul Hijjah dan ini yang dipilih madzhab Syafi’i.
3.Syawal, Dzul Qa’dah, dan Dzul Hijjah ini yang dipilih madzhab malikiyah

Dan yang rajih - wallahu’alam- bahwa bulan Dzul Hijjah seluruhnya termasuk bulan haji dengan dalil firman Allah Ta’ala: “(Musim)
haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka
tidak boleh rafats, berbuat kefasikan, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS Al-Baqarah, 197)

dan firman Allah Ta’ala : “Dan (inilah) suatu pemakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada manusia pada hari haji akbar, bahwa
sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyirikin.” (QS At-Taubah 9:3)

Dalam surat Al-Baqarah ini Allah Ta’ala berfirman ( ‫ ) ش‬dan bukan dua bulan sepuluh hari atau dua bulan sembilan hari. padahal
( ‫ ) ش‬jamak dari (‫ ) ش‬dan hal itu menunjukkan paling sedikit tiga bulan dan pada asalnya kata (‫ ) ش‬masuk padanya satu bula n
penuh dan tidak dirubah asal ini kecuali dengan dalil syar’i (Lihat Syarhul Mumti’, 7/62-64 dan Syarah Umdatul Fiqh hal 14)

maka tidak boleh berhaji sebelum bulan syawal dan tidak boleh mengakhirkan suatu amalan haji setelah bulan Dzulhijjah.

89
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Sebagai contoh seorang yang berhaji pada bulan Ramadhan maka ihramnya tersebut tidak dianggap sah untuk haji akan tetapi
berubah menjadi ihram untuk Umrah.

Adapun miqat makani, maka berbeda-beda tempatnya disesuaikan dengan negeri dan kota yang akan menjadi tempat awal para
haji untuk melakukan ibadah hajinya. Hal ini telah dijelaskan oleh Rasullulah Shallallahu’alaihi Wasallam sebagaimana dalam
hadits Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah menentukan miqat bagi ahli Madinah Dzul
Hulaifah * dan bagi ahli Syam Al-Juhfah dan bagi ahli NajdQarn dan bagi ahli Yamam Yalamlam lalu bersabda: “mereka (miqat-
miqat) tersebut adalah untuk mereka dan untuk orang-orang yang mendatangi mereka selain penduduknya bagi orang yang ingin
haji dan umrah. Dan orang yang bertempat tinggal sebelum miqat-miqat tersebut, maka tempat mereka dari ahlinya, dan demikian
pula dari penduduk Makkah berhaji (ihlal) dari tempatnya Makkah.” (H.R Bukhari 2/165, 166; dan 3/21, Muslim 2/838-839, Abu
Dawud 1/403, Nasa’i 5/94,95,96)

Dari hadits diatas Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah menerangkan bahwa miqat ahli Madinah adalah Dzul Hulaifah yang
dikenal sekarang dengan nama Abyar Ali yaitu sebuah tempat di Wadi Aqiq yang berjarak enam mil atau 5 2/3 mil kurang seratus
hasta(Syarah ‘Umdah oleh Ibnu Taimiyah 2/316) yang setara kurang lebih 11 km. dari Madinah. Dan dari makkah sejauh sepuluh
marhalah atau kurang lebih 430 Km dan sebagian ulama mengatakan 435 Km. Dan miqat penduduk Syam adalah al-Juhfah yaitu
suatu tempat yang sejajar dengan Raabigh dan dia berada dekat laut, jarak antara Raabigh (tempat yang sejajar dengannya)
dengan makkah adalah lima marhalah atau sekitar 201 Km, dan berkata sebagian ulama sekitar 180 km. Akan tetapi karena
banyaknya wabah di al-Juhfah, maka para jamaah haji dari Syam mengambil Raabigh sebagai ganti al-Juhfah. Miqat ini juga
sebagai miqat penduduk Mesir, Maghrib, dan Afrika Selatan seperti Somalia jika datang melalui jalur laut atau darat dan berlabuh
di Raabigh, akan tetapi kalau mereka datang melaluiYalamlam maka miqat mereka adalah miqat ahli Yaman yaitu Yalamlam.
Yalamlam yang dikenal sekarang dengan daerah As Sa’diyah adalah bukit yang memisahkan Tuhamah dengan As -Saahil,
berjarak dua marhalah atau sekitar 80 km dari Makkah, dan berkata sebagian ulama sekitar 92 km.

90
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Demikian pula miqat penduduk Najd adalah Qarnul Manazil atau Qarnul Tsa’alib, yaitu sebuah bukit yang ada di antara Najd dan
Hijaz. Jaraknya dari makkah dua marhalah atau sekitar 80 Km. dan berkata sebagian ulama sekitar 75 Km* demikian juga ahli
Thaif dan Tuhamah Najd serta sekitarnya.(Syarah Umdah Ibnu Taimiyah 2/316)

Kemudian ada satu miqat lagi yaitu Dzatu ‘Irq yaitu tempat yang sejajar denagn Qarnul Manazil yang terletak antara desa al-
Mudhiq dan Aqiq Ath-Thaif, jaraknya dari Makkah dua marhalah atau sekitar 80 km. Dan miqat ini juga untuk penduduk Iraq. Akan
tetapi terjadi perselisihan dari para ulama tetang penetapan Dzatul ‘Irq sebagai miqat, apakah didasa rkan dari perintah
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam atau dari perintah Umar bin KhaththabRadhiallahu’anhu?

a. Pendapat pertama menyatakan bahwa Nabilah yang menetapkannya sebagaimana dalan hadits Abu Dawud dan An -Nasa’i dari
‘Aisyah beliau berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah menentukan miqat ahli ‘Iraq adalah Dzatul
‘irq” (H.R Abu Dawud no. 1739 dan an-Nasa’i 2/6). Hadits ini dishahihkan Al-Albani dalam Al Ir wa’ 6/176)

b. Pendapat kedua mengatakan bahwa Umar bin Khaththab Radhiallahu’anhu yang menetapkannya. Sebagaimana dalam Shahih
Bukhari ketika penduduk Bashrah dan Kufah mengadu kepada Umar tentang jauhnya mereka dari Qarnul Manazil, bekata
Umar Radhiallahu’anhu: “Lihatlah tempat yang sejajar dengannya (Qarnul Mnazil) dari jalan kalian.” Lalu Umar menetapkan Dzatul
‘Irq (H.R Bukhary 1/388) dan ini adalah pendapat Imam Syafi’i.

Yang rajih – wallahu’alam- bahwa miqat tersebut telah ditetapkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan penetapan Umar
tersebut bersesuian dengan apa yang telah ditetapkan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, dan ini adalah pendapatnya Ibnu
Qudamah.

Miqat-miqat diatas diperuntukkan bagi ahli tempat-tempat tersebut dan orang-orang yang lewat melaluinya dari selain ahlinya,
sehingga setiap orang yang melewati miqat yang bukan miqatnya maka wajib baginya untuk berihram darinya. Misalnya: orang
Indonesia yang melewati Madinah dan tinggal disana satu atau dua hari kemudian berangkat umrah atau haji maka wajib baginya
untuk berihram dari Dzul Hulaifah atau ahli Najd atau ahli Yaman yang melewati Madinah tidak perlu pergi ke Qarnul

91
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Manazil atau Yalamlam akan tetapi diberi kemudahan oleh Allah Ta’ala untuk berihram dari Dzul Hulaifah.kecuali ahli Syam yang
melewati madinah dan Al-Juhfah, maka ada perselisihan para ulama tentang kebolehan mereka menunda ihramnya sampai ke Al-
Juhfah,

a. pendapat pertama membolehkan bagi mereka untuk mengakhirkan ihram mereka sampai Al-Juhfah, dan ini merupakan
pendapat Abu Hanifah dan Imam Malik. Mereka berdalil bahwa seorang yang melewati dua miqat wajib baginya berihram dari
salah satu dari keduanya. Satu dari keduanya adalah cabang, yaitu Dzul Hulaifah, dan yang kedua adalah asal, yaitu Al-
Juhfah ,maka boleh mendahulukan asal dari cabangnya. dan pendapat ini yang dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
sebagaimana dinukilkan Al-Ba’ly dalam Ikhtiyarat al-Fiqhiyah halaman 117.

b. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa mereka wajib berihram dari Dzul Hulaifah karena zhahir hadits dari Ibnu Abbas
diatas, dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama. Dan ini adalah pendapat yang lebih hati -hati kerena keumuman sabda
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, “Dan bagi yang datang melaluinya dari selain ahlinya” (Hadits Ibnu Abbas).

Adapun mereka yang berada di antara miqat dengan makkah maka wajib berihram dari tempat dia tetapkan niatnya untuk berhaji
atau berumrah. Maka hal ini menguatkan penduduk yang berada di antara Dzul Hulaifah dan Al -Juhfah seperti penduduk ar-
Rauha’, penduduk Badr dan Abyar al-Maasy untuk berihram dari tempat mereka. Demikian juga kalau ada seorang penduduk
madinah kemudian bepergian ke Jeddah dan tinggal di sana satu atau dua hari kemudian ingin berumrah atau berhaji maka
miqatnya adalah Jeddah kecuali kalau asal tujuan bepergiannya adalah umrah atau haji maka hajatnya tersebut ikut asal tujuannya
sehingga dia ihram dari miqatnya yaitu Dzul Hulaifah.

Contohnya: Seorang mengatakan saya ingin pergi umrah dan saya akan turun dulu di Jeddah sebelum umrah untuk membeli
barang-barang yang saya butuhkan, maka disini kepergiannya ke Jeddah adalah ikut kepada asal tujuannya yaitu umrah. Akan
tetapi kalau asal tujuannya adalah pergi ke Jeddah dikarenakan ada kebutuhan yang sangat penting kemudian berkata: “Kalau
dikendaki Alah dan saya mempunyai kesempatan, saya akan berumrah, maka disini umrah ikut kepada asal tujuan yaitu ke
Jeddah. Maka dia berihram di Jeddah dan jika dia memilliki dua tujuan yang sama kuat maka diambil tujuan melaksanakan umrah

92
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
sebagai asal. Demikian juga bagi ahli Makkah, mereka berihram dari Makkah untuk berhaji. Sedangkan untuk umrah, maka
mereka harus keluar tanah haram Makkah yang paling dekat. Dengan dalil hadits Ibnu Abbas yang terdahulu dan hadits Aisyah
ketika beliau berumrah setelah haji maka Rasululllah Shallallahu’alaihi Wasallam menyuruh Abdurrahman bin Abi Bakar untuk
mengantarnya ke Tan’im, sebagaimana dalam hadits Abdurrahman, beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah
memerintahkanku untuk menemani Aisyah dan (Aisyah) berihram untuk umrah dari Tan’im “(H.R Mutafaq ‘alaih)

Demikianlah miqatnya ahli Makkah baik dia penduduk asli maupun pendatang berihram dari rumah-rumah mereka jika akan berhaji
dan keluar ke tempat yang halal (di luar tanah haram Makkah) yang terdekat jika akan berumroh. Kemudan bagi mereka yang tidak
melewati miqat-miqat tersebut, maka wajib bagi mereka untuk berihram dari tempat yang sejajar dengan miqat yang terdekat dari
jalan yang dilewati tersebut.

Kesimpulan dari pembahasan ini bahwa mansia itu tidak lepas dari 3 keadaan:

1. Dia berada di dalam batas haram Makkah, ini dinamakan al-Harami atau al-Makki maka dia berikhram untuk haji dari tempat
tinggalnya, dan kalau berumrah maka harus keluar dari haram dan berihram darinya.
2. Berada di luar haram Makkah dan berada sebelum Miqat maka mereka berihram dari tempatnya untuk berhaji dan berumrah.
3. Berada di luar Miqat maka mereka memiliki dua keadaan:
a. Melewati Miqat, maka wajib berihram dari miqat
b. Tidak melewati miqat kalau ke Makkah, maka mereka berihram dari tempat yang sejajar atau memilih miqat yang terdekat
dengannya.

Adapun seorang yang pergi ke Makkah tidak lepas dari dua keadaan:
1. Pergi ke Makkah dengan niat haji atau umrah atau keduanya bersama-sama maka tidak boleh dia masuk makkah kecuali dalam
keadaan berihram.
2. Pergi ke Makkah dengan niat tidak berhaji dan umrah, maka dalam hal ini para ulama terbagi menjadi dua:

93
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
a. Orang yang melewati miqat dan ingin masuk makkah wajib berihram baik ingin haji da n umrah ataupun yang lainnya, ini
merupaka madzhab Hanafiyah dan Malikiyah.

Berdalil dengan atsar Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu: “Sesungguhnya tidaklah masuk (ke haram makkah) kecuali dalam keadaan
berihram”.

Mereka berkata: “Ini menunjukkan bahwa seorang mukalaf kalau melewati miqat dengan niat masuk makkah maka tidak boleh
memasukinya kecuali dalam berihram. Demikian juga Allah telah mengharamkan makkah dan keharaman tersebut mengharuskan
masuknya dengan cara yang khusus dan kalau tidak maka sama saja dengan yang lainnya.”

b. Boleh bagi yang melewati miqat dan tidak berniat haji atau umrah untuk tidak berihram dan ini adalah madzhab Syafi’i.
Mereka berdalil sebagai berikut:

Sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Bagi siapa saja yang ingin melaksanakan haji dan umrah” (Mutafaqun ‘Alaih)

Di sini Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam membatasi perintah berihram kepada orang yang berniat melaksanakan haji dan
umrah, hal ini menunjukkan bahwa selainnya dibolehkan tidak berihram jika ingin masuk makkah

Berhujjah dengan masuknya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ke Makkah pada fathul Makkah dalam keadaan memakai topi
baja pelindung kepala (al-Mighfar)

Dan yang rajih –wallahu’alam- adalah pendapat kedua yang membolehkan karena asalnya adalah tidak diwajibkan untuk berihram
sampai ada dalil yang menunjukkannya. Dan ini adalah pendapat yang dirajihkan oleh Ibnu Qudamah dan Bahaudin al -Maqdisy
serta Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar asy-Syanqithy.

94
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Dari pembahasan yang lalu menunjukkan wajibnya berihram dari miqat-miqat yang telah ditentukan oleh syar’i, lalu bagi mereka
yang melewat miqat dan dia berniat haji atau umrah dan belum berihram maka dia tidak lepas dari tiga keadaan:

1. Melewati miqat dan belum berihram, lantas dia melampaui miqat beberapa jauh, kemudian kembali ke miqat untuk berihram
darinya, maka hukumnya adalah boleh dan tidak terkena apa-apa, karena dia telah berihram dari tempat yang Allah perintahkan
untuk berhram.

2. Melewati miqat, walaupun hanya satu kilometer, lalu berihram dan dia tidak kembali ke miqat, masalah ini ada dua gambaran:
a.Dia memiliki udzur syar’i sehingga tidak mampu untuk kembali, seperti takut kehilangan haji kalau kembali dan lain sebagain ya.
b.Tidak memiliki udzur syar’i.
maka hukum kedua-duanya adalah sama, yaitu wajib menyembelih sembelihan, karena dia telah kehilangan kewajiban haji, yaitu
berihram dari miqat.

3. Melewati miqat dan melampauinya, kemudian berihram setelah melampaui miqat, lalu kembali dan berihram lagi untuk kedua
kali dari miqat maka dalam hal ini ada lima pendapat ulama:

a. Wajib atasnya dam (sembelihan) baik kembali atau tidak kembali, ini pendapat malikiyah dan hanabillah.
b. Tidak ada dam selama belum melaksanakan satu amalan-amalan haji atau umrah, ini madzhab Syafi’iyah
c. Kalau kembali ke miqat dalam keadaan bertalbiyah maka tidak ada dam (sembelihan) dan kalau kembali tidak bertalbiyah maka
wajib atasnya dam.
d. Rusak hajinya atau umrahnya dan wajib mengulangi ihramdari miqat, ini pendapat Sa’id bin Jubair.
e. Tidak apa-apa, ini pendapat al-Hasan al-Bashry, al-Auza’i, dan ats-Tsaury.
Pendapat pertama adalah pendapat yang dirajihkan oleh Syaikh Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar asy-Syanqithy dalam
Mudzakirat Syarh ‘Umdah hal. 23.

95
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
5. Jenis-jenis Manasik Haji
Jenis-jenis manasik haji yang telah ditetapkan syariat ada tiga,yaitu:

1. Ifrad
Ifrad merupakan salah satu dari jenis manasik haji yang hanya berihram untuk haji tanpa dibarengi dengan umroh,maka seorang
yang memilih jenis manasik ini harus berniat untuk haji saja, kemudian pergi ke Makkah dan ber-thawaf qudum, apabila telah ber-
thawaf maka dia tetap berpakaian ihram dan dalam keadaan muhrim sampai hari nahar (tanggal 10 Dzul hijah dan tidak dibebani
hadyu (sembelihan),serta tidak ber-Sa’i kecuali sekali dan umrohnya dapat dilakukan pada perjalanan yang lainnya.
Diantara bentuk-bentuk Ifrad adalah:

a. Berumroh sebelum bulan-bulan haji dan tinggal menetap di Makkah sampai haji.
b. Berumroh sebelum bulan-bulan haji, kemudian pulang ketempat tinggalnya dan setelah itu kembali ke Mekkah untuk
menunaikan ibadah haji.

2. Tamattu’
Tamatu’ adalah berihram untuk umrah di bulan-bulan haji setelah itu berihram untuk haji pada tahun itu juga. Dalam hal ini
diwajibkan baginya untuk menyembelih hadyu (sembelihan). Oleh karena itu setelah thawaf dan sa’i dia mencukur rambut dan
pada tanggal 8 Dzul Hijjah berihram untuk haji.

3. Qiran
Qiran adalah berihram untuk umrah dan haji sekaligus, dan membawa hadyu (sembelhan) sebagaimana yang dicontohkan
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, dan qiran ini memiliki tiga bentuk:

a. Berihram untuk haji dan umrah bersamaan, dengan menyatakan “ ” dengan dalil bahwa Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam didatangi Jibril u dan berkata: “Shalatlah di wadi yang diberkahi ini dan katakan “‘Umrah fi hajjatin” (H.R Bukhari)

96
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
b. Berihram untuk umrah saja pertama kali kemudian memasukkan haji atasnya sebelum memulai thawaf. Dengan dalil hadits yang
diriwayatkan ‘Aisyah ketika beliau berihram untuk umrah kemudian haidh di Saraf. Lalu Rasulullah memerintahkan beliau untuk
berihlal (ihram) untuk haji dan perintah tersebut bukan merupakan pembatalan umrah dengan dalil sabda Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits tersebut: “Cukuplah bagi kamu thawafmu untuk haji dan umrahmu” (H.R Muslim no.
2925/132)

c. Berihram untuk haji kemudan memasukkan umrah atasnya. Tentang kebolehan hal ini para ulama ada dua pendapat:
Boleh dengan dalil hadits ‘Aisyah: “Rasululloh berihlal (ihrom) dengan haji”. dan hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhu: “Shalatlah di
wadi yang diberkahi ini dan katakan “‘Umrah fi hajjatin” (H.R Bukhari) “telah masuk umroh kedalam haji sampa hari kiamat”.

Dalil-dalil ini menunjukkan kebolehan memasukkan umrah kedalam haji.


Tidak boleh dan ini adalah pendapat yang masyhur dalam madzhab hanbali. Berkata Syaikhul Isla m: “Dan seandainya dia
berihram dengan haji kemudian memasukkan umrah ke dalamnya, maka tidak boleh menurut pendapat yang rajih dan sebaliknya
dengan kesepakatan para ulama” (Al-Ikhtiyarat Fiqhiyyah, hal 117)

Kemudian berselisih para ulama dari ketiga macam/jenis manasik ini dan dapat kita simpulkan menjadi tiga pendapat:

1. Tamattu’ lebih utama dan ini merupakan pendapat Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, ‘Aisyah, Alhasan, ‘Atha’, Thawus,
Mujahid, Jabir bin Zaid, Al-Qarim, Saalim, Ikrimah, Ahmad bin Hanbal, dan madzhab ahli zhahir serta merupakan pendapat yang
masyhur dari madzhab hanbali dan satu daru dua pendapat Imam Syafi’i.

2. Qiran lebih utama dan ini merupakan pendapat madzhab Hanafi dan Tsaury berhujjah dengan:
Hadits Anas, beliau berkata: “Aku mendengar Rasulullah berihlal dengan keduanya: ‘Labbaik Umrotan wa hajjan’“ (Mutafaqun
Alaih) Hadits Adh-Dhabi bin Ma’bad ketika talbiyah dengan keduanya, kemudian datang umar lalu dia menanyakannya,maka
beliau berkata: “Kamu telah mendapatkan sunah Nabimu” (HR Abu Dawud no. 1798; Ibnu Majah no. 2970 ddengan sanad shahih)

97
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Perbuatan Ali dan perkataannya kepada Utsman ketika menegurnya: “Aku mendengar Rasulullah bertalbiyyah dengan keduanya
sekalgus, maka aku tidak akan meninggallkan ucapan Rasulullah karena pendapatmu “(H.R Baihaqi) Karena pada Qiran ada
pembawaan hadyu, maka lebih utama dari yang tidak membawa.

3. Ifrad lebih utama dan ini merupakan pendapat Imam Malik dan yang terkenal dari Madzhab Syafi ’i serta pendapat Umar,
Utsman, Ibnu Umar, Jabir dan ‘Aisyah; dengan hujjah:

 Hadits Aisyah dan Jabir yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melakukan haji ifrad
 Karena haji tersebut sempurna tanpa membutuhkan penguat, maka yang tidak membutuhkan lebih utama dari yang
membutuhkan.
 Amalan Khulafaur Rasyidin

Sedangkan yang rajih – wallahu’alam- adalah pendapat pertama dengan dalil:


a. Hadits Ibnu Abbas, beliau berkata: ketika Rasulullah sampai di Dzi Thuwa dan menginap disana, lalu setelah shalat subuh beliau
berkata: “Barang siapa yang ingin menjadikannya umrah maka jadikanlah dia sebagai umrah” (Mutafaqun Alaihi)
b. Hadits Aisyah: “Kami telah berangkat bersama Rasulullah dan tidaklah kami melihat kecuali itu adalah haji, ketika kami tiba di
makkah kami thawaf di ka’bah, lalu Rasulullah memerintahkan orang yang tidak membawa hadyu (senmbelihan) untuk bertahalul,
berkata Aisyah: maka bertahalullah orang yang tidak membawa hadyu dan istri-istri beliatidak membawa hadyu maka mereka
bertahalul ” (Mutafaqun ‘Alaih)

c. Juga terdapat riwayat Jabir dan Abu Musa bahwa Rasulullah memerintahkan sahabat -sahabatnya ketika selesai thawaf di
ka’bah untuk tahalul dan menjadikannya sebagai umrah.
Maka perintah pindah dari Ifrad dan Qiran kepada tamatu’ menujukkan bahwa tamattu’ lebih utama. Karena, tidaklah beliau
memindahkan satu hal kecuali kepada yang lebih utama.

98
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
d. Sabda Raslullah Shallallahu’alaihi Wasallam “Seandainya saya dapat mengulangi apa yang telah lalu dari amalan saya maka
saya tidak akan membawa sembelihan dan menjadikannya Umrah”. (H.R Muslim Ahmad no. 6/175)

e. Kemarahan dan kekesalan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada para sahabatnya yang masih bimbang dengan
anjuran beliau agar mereka menjadikan haji mereka umrah sebagaimana hadits Aisyah: “Maka masuklah Ali dan beliau dalam
keadaan marah, lalu aku berkata: “Siapa yang membuatmu marah wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Apakah kamu tidak tahu,
aku memerintahkan orang-orang dengan suatu perintah , lalu mereka bimbang. (ragu dalam melaksanakannya) “(H.R Muslim)

Maka jelaslah kemarahan beliau ini menunjukan satu keutamaan yang lebih dari yang lainnya, Wallahu’alam.
Sedangkan Syaikul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa hukumnya disesuaikan dengan keadaan, kalau dia membawa
hadyu (sembelihan) makaqiran lebih utama, dan apabila dia telah berumrah sebelum bulan-bulan haji maka ifrad lebih utama dan
selainnya tama Radhiallahu’anhutu’ lebih utama. Beliau berkata: “Dan yang rajih dalam hal ini adalah hukumnya berbeda-beda
sesuai dengan perbedaan orang yang berhaji, kalau dia bepergian dengan satu perjalanan umrah dan satu perjalanan untuk haji
atau bepergian ke Makkah sebelum bulan-bulan haji dan berumrah kemudian tinggal menetap disana sampai haji, maka dalam
keadaan ini ifrad lebih utama baginya, dengan kesepakatan imam yang empat. Dan apabila dia menge rjakan apa yang telah
dilakukan kebanyakan orang, yaitu mengabungkan antara umrah dan haji dalam satu kali perjalanan dan masuk Makkah dalam
bulan-bulan haji, maka dalam keadaan ini qiran lebih utama baginya kalau dia membawa hadyu, dan kalau dia tidak membawa
hadyu maka, ber-tahallul dari ihram untuk umrah lebih utama” (Kitab Manasik hal. 14)

Hal-hal yang diwajibkan dalam haji

1.Ihram dari Miqot


Kata ihram diambil dari bahasa arab dari Al-haram yang bermakna terlarang atau tercegah, dinamakan hal tersebut
dengan ihram karena seseorang dengan niatnya masuk kepada kehormatan ibadah haji, maka dia dilarang berkata dan beramal
dengan hal-hal tertentu seperti jima’, menikah, berucap ucapan kotor dan lain-sebagainya.Sehingga dapat diambil satu definisi
syar’i bahwa ihram adalah salah satu niat dari dua nusuk (yaitu haji dan umrah) atau kedua-duanya secara bersamaan

99
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
(Lihat Muzakirat Syarah Umdah hal 65 dan Syarhul Mumti’ 6/67), dari sini jelas terpahami sebagai suatu kesalahan apa yang telah
dipahami sebagian kaum muslimin bahwaihram adalah berpakaian dengan kain ihram karena ihram adalah niat masuk kedalam
haji atau umrah, sedangkan berpakaian dengan kain ihram hanya merupakan satu keharusan b agi seorang yang telah berihram.

Dan melakukan ihram dari miqat merupakan satu kewajiban dari hal-hal yang wajib dilakukan oleh seorang yang ingin menunaikan
haji atau umrah adalah pengambilan miqat sebagai tempat berihram sehingga mereka yang tidak berihram dari miqat berarti
meninggalkan suatu kewajiban dalam haji dan wajib atas mereka untuk menggantinya dengan Dam (denda).

Adapun cara berihram, maka seorang yang telah berketetapan untuk haji atau umrah maka disunnahkan baginya untuk mencontoh
RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam dalam melakukan hal-hal yang berhubungan dengan amalannya sebagaimana yang telah
ditunjukkan oleh hadits-hadits yang shahih .

Adapun cara-caranya adalah :

1. Disunnahkan untuk mandi sebelum ihram bagi laki-laki dan perempuan baik dalam keadaaan suci atau haidh, sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Jabir Radhiallahu’anhu, beliau berkata: “Lalu kami keluar bersamanya Shallallahu’alaihi Wasallam lalu
tatkala sampai Dzul hulaifah Asma binti ‘Umais melahirkan Muhammad bin Abi Bakr, maka ia (Asma) mengutus (seseorang untuk
bertemu) kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam (dan berkata): ‘Apa yang aku kerjakan? maka beliauShallallahu’alaihi
Wasallam menjawab: “Mandilah dan beristitsfarlah 2 dan berihramlah.” (Riwayat Muslim (2941) 8/404, Abu Daud no. 1905 dan
1909, dan Ibnu Majah no.3074.)

2
Istitsfar adalah suatu usaha untuk mencegah keluarnya daarah dari kemaluan orang yang haidh atau nifas dengaan cara
mengambil kain yang memanjang yang diletakkan pada tempat darah tersebut dan dilapisi oleh bahan yang tidak tembus darah
yang diambil ujung-ujunnya untuk diikatkan di perutnya, akan tetapi pada zaman sekarang telah ada softex (pembalut wanita).
(Lihat syarah Muslim 8/404)

100
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Apabila tidak mendapatkan air maka tidak ber-tayammum karena bersuci yang disunnahkan, apabila tidak dapat menggunakan air
maka tidak bertayamum karena Allah menyebutkan tayamum dalam bersuci dari hadats sebagai firman-Nya: “Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah , dan jika kamu sakit
atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air,
maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); “ (QS.Al Maidah :6)

maka tidak bisa dianalogikan (di-qiyas-kan) kepada yang lainnya,dan juga tidak ada contoh atau perintah dari Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam untuk ber-tayammum, apalagi kalau mandi ihram tersebut adalah untuk kebersihan dengan dalil
perintah beliau kepada Asma bintu Umais yang sedang haidh unt uk mandi tersebut.

2. Disunnahkan untuk memakai minyak wangi ketika ihram sebagaimana yang dikatakan Aisyah: “Aku memakaikan nabi wangi-
wangian untuk ihramnya sebelum berihram dan ketika halalnya sebelum thawaf di Ka’bah” (HR, Bukhory no.1539 dan Muslim no.
1189).

Dan hanya diperbolehkan pada anggota badan dan bukan pada pakaian ihramnya karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
bersabda: “Janganlah kalian memakai pakaian yang terkena minyak wangi za’faran dan wars .”(Muttafaqun alaih).

Memakai minyak wangi ini ada dua keadaan:

1. Memakainya sebelum mandi dan berihram,dan ini sepakat tidak ada permasalahan
2. Memakainya setelah mandi dan sebelum berihram dan minyak wangi tersebut tidak hilang, maka ini dibolehkan oleh para ulama
kecuali Imam Malik dan orang-orang yang sependapat dengan pendapatnya.
Dalil pembolehannya adalah hadits Aisyah, beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kalau ingin berihram memakai
wangi- wangian yang paling wangi yang beliau dapatkan kemudian aku melihat kilatan minyak di kepalanya dan jenggotnya setelah
itu”.(HR.Muslim no.2830 ).

101
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Dan Aisyah berkata pula: “Seakan akan aku melihat kilatan misk (minyak wangi misk) di bagian kepala Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam sedangkan beliau dan keadaan ihram”. (HR. Muslim no. 2831 dan Bukhory no. 5923).

Masalah: Apabila sesorang memakai wangi- wangian di badannya yaitu di kepala dan jenggotnya, lalu minyak wangi tersebut
menetes atau meleleh ke bawah, apakah hal ini mempengaruhi atau tidak?

Jawab: Tidak mempengaruhi, karena perpindahan minyak wangi tersebut dengan sendirinya dan tidak dipindahkan, dan juga
karena tampak pada NabiShallallahu’alaihi Wasallam dan sahabatnya tidak menghiraukan kalau minyak wangi tersebut menetes
karena mereka memakainya pada keadaan yang dibolehkan (Lihat Syarhul Mumti’ 6/73-74
)
Kemudian jika seorang yang berihram (muhrim) akan berwudhu dan dia telah mamakai minyak rambut yang wangi, maka tentu
akan mengusap kepalanya dengan kedua telapak tangannya, jika dia lakukan maka akan menempelah minyak tersebut ke kedua
telapak tangannya walaupun hanya sedikit, maka apakah perlu memakai kaos tangan ketika akan mengusap kepala tersebut?

Maka masalah ini dijawab oleh Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin dengan mengatakan: “Tidak perlu, bahkan hal itu
merupakan berlebih-lebihan dalam agama dan tidak ada dalilnya demikian juga tidak mengusap kepalanya dengan kayu atau kulit,
cukup dia mengusapnya dengan telapak tangannya karena ini termaasuk yang dimaafkan: (Syarhul Mumti’ 6/74)

3. Mengenakan dua helai kain putih yang dijadikan sebagai sarung (izar) dan selendang (rida’), sebagaimana Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam: “Hendaklah salah seorang dari kalian berihram dengan menggunakan sarung dan selendang serta
sepasang sandal.”(H. R Ahmad 2/34 dan dishahihkan sanadnya oleh Syaikh Ahmad Syakir)

dan diutamakan yang berwarna putih berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Sebaik-baik pakaian kalian
adalah yang putih, maka kenakanlah dia dan kafanilah mayat kalian padanya” (H.R Ahmad lihat syarahahmadsyakir 4/2219 dan
berkata isnadnyaa shahih)

102
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Berkata Ibnu Taimiyah dalam kitab Manasik (hal. 21): “Dan disunnahkan untuk berihram dengan dua kain yang bersih, maka kalau
keduanya berwarna putih maka itu lebih utama dan di bolehkan ihram dengan segala jenis kain yang dibolehkan dari
katun shuf (bulu domba) dan lain sebagainya. Dan dibolehkan berihram dengan kain putih dan yang tidak putih dari warna -warna
yang diperbolehkan, walaupun berwarna -warni”. (dinukil dari Syarhul Mumti‘ 6/75)

Sedangkan bagi wanita tetap memakai pakaian wanita yang menutup semua auratnya, kecuali wajah dan telapak tangan.

4. Disunahkan berihram setelah shalat. sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhuma dalam shahih Bukhary bahwa
RasulullahShallallahu’alaihi Wasallambersabda: “Telah datang tadi malam utusan dari Rabbku lalu berkata: “Shalatlah di Wadi
yang diberkahi ini dan katakan: Umrotan fi hajjatin.”

Dan hadits Jabir: “Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam Shalat di masjid (Dzulhulaifah) kemudian menunggangi Al Qaswa’
(nama onta beliau) sampai ketika ontanya berdiri di al-Baida’ berihram untuk haji”. (HR.Muslim).

Maka yang sesuai dengan sunnah, lebih utama dan sempurna adalah berihram setelah shalat fardhu. Akan tetapi apabila tidak
mendapatkan waktu shalat fardhu maka terdapat dua pendapat dari para ulama:

a. Tetap disunnahkan shalat dua rakaat dan ini pendapat jumhur berdalil dengan keumuman hadits Ibnu Umar Radhiallahu’an
huma: “Shalatlah di Wadi ini”

b. Tidak disyariatkan shalat dua rakaat dan ini pendapat syaikhul islam Ibnu Taimyah. Sebagaimana beliau katakan dalam Majmu’
Fatawa 26/108:

“Disunnahkan berihram setelah shalat baik fardhu maupun sunnah. Kalau ia berada pada waktu tathawu’ menurut salah satu dari
dua pendapatnya dan yang lain kalau dia shalat fardhu maka berihram setelahnya dan jika tidak maka tidak ada bagi ihram shala t
yang khusus dan ini yang rajih.”

103
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Dan berkata didalam Al Ikhtiyarat (hal. 116): “Dan berihram setelah shalat fardhu kalau ada atau sunnah (nafilah) karena ihram
tidak memiliki shalat yang khusus untuknya”. Demikianlah tidak ada shalat dua rakaat khusus untuk ihram.

5. Berniat untuk melaksanakan salah satu manasik dan disunnahkan untuk diucapkan dan dibolehkan untuk memilih salah satu
dari tiga nusuk yaitu ifrad, qiran dan tamatu’ sebagaimana yang dikatakan Aisyah: “Kami telah keluar bersama Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam pada tahun haji wada’ maka ada diantara kami yang berihram dengan umrah dan ada yang berihram
dengan haji dan umrah dan ada yang berihram dengan haji saja, sedangkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berihram
dengan haji saja, adapun yang berihram dengan umrah maka dia halal setelah datangny a(setelah melakukan umrah dengan
melakukan thawaf dan sya’i ) dan yang berihram dengan haji atau yang menyempurnakan haji dan umrah tidak halal (lepas dari
ihramnya) sampai dia berada dihari nahar (pada tanggal 10 Dzul Hijjah) “ (Mutafaq alaih)

Maka seorang yang ber-manasik ifrad mengatakan:


‫لهم‬ uata
dan seorang yang bermanasik tamatu’ mengatakan:
‫لهم‬ uata
dan ketika hari tarwiyah (8 Dzulhijah) menyatakan:
‫لهم‬ uata
dan sunnah yang ber-manasik Qiran menyatakan: ‫مع ي ل‬ ‫ج‬

6. Ber-talbiyah, yaitu membaca: Labbaika Allahumma labbaik labbaika laa syariika laka labbaik Innal hamda wani’mata laka wal
mulk laa syariikaa laka, dan yang sejenisnya.

6.1. Waktu Talbiyyah


Waktu talbiyah adalah dimulai setelah berihram ketika akan melakukan perjalanan, sebagaimana yang dilakukan oleh
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hajinya, berkata Jabir Radhiallahu’anhu : “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam

104
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
mulai membaca talbiyah ketika telah tegak ontanya di al-Baida beliau ihlal (ihram) dengan haji lalu bertalbiyah dengan tauhid,
labbaika allahumma labaik ……” (H.R Muslim)

6.2. Bacaan Talbiyah


Adapun bacaan talbiyah yang ma’tsur dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah:
a.‫ي ل‬ ‫ش‬ ‫ل‬ ‫إ‬ ‫ش‬ ‫ لهم‬6
b. ( ‫ل‬ ‫ق ل ه‬ )‫ل‬ ‫إ‬ ‫غ‬
c. ‫لهم‬ (‫ى‬ ‫ئ ش‬ ) ‫إ‬ ‫ش‬
d. Talbiyah yang poin “a” namun ditambah kalimat:
(‫لم‬ ‫ث‬ ) ‫ضل‬ ‫ذ‬ ‫ج‬ ‫ذ‬

6.3. Sebab dan maknanya


Sebab disyariatkannya talbiyah adalah dalam rangka menjawab panggilan Allah Ta’ala. Sebagaimana dalam al-Qur’an surah al-
Hajj ayat 27. “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji,niscaya mereka akan datang kepadamudengan berjalan
kaki,dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.’ (QS. al-Hajj 22:27)

Berkata Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu dalam menafsirkan firman Allah Ta’ala ini : “Ketika Allah Ta’ala memerintahkan Ibrahim
‘Alaihissalam untuk mengkhabarkan manusia agar berhajji, dia berkata: “Wahai manusia sesungguhnya Rabb kalian telah
membangun satu rumah (ka’bah) dan memerintahkan kalian untuk berhaji kepadanya. Lalu beliau menerima panggilan ini apa saja
yang mendengarnya dari batu-batuan, pepohonan, bukit-bukit debu atau apasaja yang ada, lalu mereka berkata ‫لهم‬
…… (H.R Ibnu Jarir 17/106)

Berkata Ibnu Hajar ; ”Berkata Ibnu Abdil Barr: ‘Telah berkata sejumlah dari sebagian dari Ulama’: “Makna Talbiyah adalah jawaban
panggilan Ibrahim ‘Alaihissalam ketika memberitahukan manusia untuk berhaji””, (Fathul Bari 3/406)

105
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Adapun ma’na dari kata-kata dalam talbiyah tersebut adalah :

( ‫ )م لل‬:Wahai Allah

( ) :Adalah penegas yang memiliki ma’na baru (lebih), maka saya mengulang-ulang dan menegaskan bahwa saya menjawab
atau menerima panggilan Rabb saya dan tetap dalam keta’atan kepada-Nya

(‫ ) ل ي ش ل‬:Berma’na tidak ada satupun yang menyekutukan Engkau (Allah) dalam segala sesuatu

(‫ ) ي ل‬:Sebagai penegas bahwa saya menerima panggilan haji tersebut karena Allah, bukan karena pujian, ingin terkenal, ingin
harta, dan lain-lain, akan tetapi saya berhaji dan menerima panggilan tersebut karena Engkau saja

(‫م ل إ‬ ‫ل مع ل‬ ‫ ) لمل‬:Sesungguhnya saya berikrar dan mengimani bahwa semua pujian dan nikmat itu hanyalah milik -Mu
demikikan juga kekuasaan

(‫ ) ل ي ش ل‬:Yang semua itu tidak ada sekutu bagimu

Kalau kita melihat kepada ma’na kata-kata yang ada dalam talbiyah tersebut didapatkan adanya penetapan tauhid dan jenis-
jenisnya sebagaimana yang dikatakan oleh Jabir ( ‫ل ل‬ ‫( ) ي‬Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bertalbiyah dengan tauhid”)

Dan hal ini tampak kalau kita mentelaah dan memahami makna kata-kata tersebut, lihatlah dalam kata-kata (‫ي ل م لل ي ل‬
( ‫ش‬ ) naidumek ,natadabirep malad nakiriysek naadainep tapadret ( ‫ش‬ terdapat tauhid
rububiyyah karena kita telah menetapkan kekuasaan yang mutlak hanya kepada Allah Ta’ala sema ta, dan hal itupun
mengharuskan seorang hamba untuk mengakui terhadap tauhid uluhiyyah, karena iman kepada tauhid rububiyyah mengharuskan
iman kepada tauhid uluhiyyah, dan dalam kata (‫م ل إ‬ ‫ ) ل مع ل‬terdapat penetapan sifat -sifat terpuji pada zat dan perbuatan
Allah Ta’ala adalah hak dan hal ini adalah merupakan tauhid asma’ dan sifat Allah Ta’ala.

106
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
Kalau demikian keharusan orang yang bertalbiya h maka dia akan selalu merasakan keagungan Allah dan akan selalu
menyerahkan amal ibadahnya hanya untuk Allah semata bukan hanya sekedar mengucapkan tanpa dapat merasakan hakikat dari
talbiyah tersebut.

6.4. Cara membacanya


Talbiyah ini dibaca dengan mengangkat suara bagi kaum laki-laki sebagaimana perintah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
“Telah datang kepadaku jibril dan dia memerintaahkan aku untk memerintahkan sahabat-sahabatku agar mengangkat suara-suara
mereka dalam bertalbiyah.”

Dan tidak disyari’atkan bertalbiyah dengan berjamaah akan tetapi apabila terjadi kebersamaan dalam talbiyah tanpa disengaja dan
tidak dipimpin maka hal itu tidak mengapa karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya bertalbiyah da lam
satu waktu padahal jumlah mereka sangat banyak maka hal tersebut sangat memungkinan untuk terjadinya talbiyah dengan suara
yang berbarengan, akan tetapi mengangkat suara dalam talbiyah ini jangan sampai mengganggu dan menyakiti dirinya sendiri
sehingga dia tidak dapat terus bertakbir.

Sedangkan untuk wanita tidak disunahkan mengangkat suara mereka bahkan mereka diharuskan untuk merendahkan suara
mereka dalam bertalbiyah.

6.5. Waktu Berhenti Talbiyah.


Terdapat perbedaan pendapat para ulama dalam penentuan waktu berhenti talbiyah bagi orang yang berumroh atau berhaji
dengan tamatu’ menjadi beberapa pendapat :

1. Ketika masuk haram,dan ini pendapat Ibnu Umar,Urwah dan Al Hasan serta mazdhab maliki,mereka berdalil dengan hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhori dan An Nasaai yang lafadznya; “Ibnu Umar ketika masuk pinggiran haram menghentikan talbiyah
kemudian menginap dzi thuwa dan beliau sholat shubuh disana serta mandi dan beliau berkata bahwa Nabipun berbuat demikian”

107
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
2. Ketika melihat rumah-rumah penduduk Makkah dan ini pendapat Said bin Al Musayyib

3. Ketika sampai ke Ka’bah dan memulai thawaf dengan menyentuh (Istilam) hajar aswad dan ini pendapat Ibnu Abbas, Atha’, Amr
bin Maimun, Thawus, An-Nakha’i, Ats-Tsaury, Asy-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq serta mazdhab Hanafi. Berdalil dengan hadits Ibnu
Abbas secara marfu’: “Dia menghentikan talbiyah dalam umoh kalau telah menyentuh (istilam) hajar aswad” (HR Abu Daud,At
Tirmidzy daan Al Baihaqy dan dilemahkan oleh Al Albany dalam Irwa’ 4/297)

Dan juga hadits Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya dengan lafazh: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melakukan
umrah tiga kali umrah seluruhnya di bulan dzul qa’dah dan terus bertalbiyah sampai menyentuh (istilam) hajar aswad” (H.R Ahmad
dan Baihaqi denan sanad yang lemah karena ada Hajaaj bin Abdullah bin Arthah dan dilemahkan oleh AL-Albanny dala Irwa’
4/297)

Dan mereka berkata : “Karena talbiyah adalah memenuhi panggilan untuk ibadah maka dihentikan ketik a memulai ibadah yaitu
thawaf”. Dan ini pendapat yang dirajihkan oleh Syaikul Islam(Syarah Umdah 2/461) dan Ibnu Qudamah(Al-Mughny 5/256) akan
tetapi yang rajih adalah pendapat pertama karena penjelasan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah juga melakukan hal itu,dan itu
menunjukkan bahwa Ibnu Umar berlaku demikian karena melihat Rasulullah telah melakukannya, dan ini yang dirajihkan oleh Ibnu
Khuzaimah(Shahih Ibnu Khuzaimah 4/205-207).

Demikian juga pada haji terdapat beberapa pendapat ulama;

1. Menghentikannya ketika berada di Arafah setelah tergelincirnya matahari dan ini pendapat Aisyah, Sa’ad bin Abi Waqash, Ali,
Al-Auza’i, Al-hasan Al-bashry dan madzhab malikiyah. Berdalil dengan hadits: “Haji itu adalah wuquf di Arafah”

Maka kalau telah sampai Arafah maka akan habis pemenuhan panggilan karena telah sampai kepada inti dan rukun pokok ibadah
tersebut. akan tetapi dalil ini lemah karena bertentangan dengan riwayat bahwa Raululloh masih bertalbiyah setelah tanggal 9
Dzuljhijjah tersebut.

108
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/
2 Menghentikannya ketika melempar jumroh aqobah dan ini pendapat jumhur, akan tetapi mereka berselisih menjadi dua
pendapat;

a. Menghentikan di awal batu yang di lempar dalam jumroh aqobah dan ini pendapat kebanyakan dari mereka, dengan dalil hadits
Al fadl bin Al Abbas ”Aku membonceng nabi dari Arafah ke Mina dan teru meneru bertalbiyah sampi melempar jumroh
Aqobah “(HR jama’ah)

dan hadits Ibnu Mas’ud dengan lafadz: “Aku berangkat bersama Rasulullah dan beliau tidak mmeninggalkan talbiyah sampai beliau
melempar jumrah Aqobah agar tidak tercampur dengan tahlil atau takbir” (HR Thohawi dan Ahmad dan sanadnya dihasankan oleh
Al Albani dalam Irwa’, /2966).

Pendapat ini dirajihkan oleh Syakhul Islam Inu Taimiyah dan beliau menyatakan: Dan secara ma’na, maka seorang yang telah
sampar Arafah- walaupun telah ampai pada tempat wuquf ini- maka dia masih terpanggil setelahnya kepada tempat wukuf yang
lainnya yaitu Muzdalifah dan kalau dia telah wukuf di Muzdalifah maka dia terpanggil untuk melempar jumrah, dan kalau telah
mmemulai dalam melempar jumrah maka telah selesai panggilannya (Majmu’ Fatawa 26/173)

b. Menghentikannya diakhir lemparan dalam jumroh Aqobah dan ini pendapat Ahmad dan sebagian pengikut Syafi’i serta
dirojihkan oleh Ibnu Khuzaimah dengan dalil lafadz hadits Fadhl: “Aku telah keluar bersama Nabi dari Arafah lalu beliau terus
bertalbiyah ampai melempar jumroh Aqobah, Beliau bertakbir setiap lemparan batu, kemudian menghentikan talbiyah bersama
akhir batu yang dilempar” (HR Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya dan beliau berkata:” ini hadits shahih yang menafsirkan apa
yang belum jelas dalam riwayat-riwayat yang lain).

109
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Fiqih dan Muamalah Sumber: http://muslim.or.id/

Anda mungkin juga menyukai