Film “Sembilan Wali” merupakan film garapan dari sutradara Djun Saptohadi, yang diproduksi di Indonesia oleh Soraya Intercine film dan ditayangkan pada tahun 2005. Film ini menceritakan tentang Wali Songo dan kerajaan Majapahit yang sedang mengalami perang saudara, akibatnya kerajaan Majapahit mengalami perpecahan. Dalam situasi yang sedang kacau, banyak orang yang memanfatkan situasi tersebut yakni ingin mengambil alih kerajaan Majapahit. Disamping itu, film ini tidak hanya menceritakan kerajaan Majapahit, tetapi juga menceritakan bagaimana para Wali Songo berdakwah menyebarkan agama Islam dalam kehidupan sehari-hari dengan cara yang santun. Dan selalu mengedepankan kepentingan bersama, setiap menyelesaikan suatu permasalahan selalu di adakan musyawarah terlabih dahulu. Film Sembilan Wali yang di sutradarai oleh Djun Saptohadi merupakan film sosial yang menceritakan tentang para Wali Songo yang sedang membantu Raden Patah yang merupakan putra Raja Brawijaya, dalam mengembalikan nama baik kerajaan Majapahit yang tengah hancur akibat perang saudara dan melawan orang-orang yang ingin mengambil alih Majapahit. Seperti Patih Mahesa Kicak yang berambisi menjadi seorang penguasa Majapahit kerena ia merasa talah berjuang mati-matian untuk Majapahit. Karena ambisi Mahesa Kicak tidak tercapai, kemudian Mahesa Kicak melakukan kekacauan dan pemberontakan supaya para Wali Songo mengubah keputusannya untuk mengangkat Mahesa Kicak sebagai penguasa Majapahit tetapi Para Wali tidak mau merubah keputusan sidang tersebut. Selain itu dalam film ini juga menceritakan tentang bagaimana Para Sunan menyadarkan Syeh Siti Jenar yang talah menyebarkan ajaran Islam dengan cara yang salah, tidak pernah datang ke Majelis Sura, karena Syeh Siti Jenar merasa berselisih paham dengan para Sunan dalam pemikiranya dan mengangap dirinya tuhan. B. Deskripsi Film Film Sembilan Wali di produksi oleh Soraya Intercine Film dengan penulis naskah Alim Bachtiar dan sutradara Djun Saptohadi yang tokoh utamanya adalah Kh Yusuf Hasyim (Sunan Gresik), Wisnu Wardhana (Sunan Ampel), Dodi Wijaya (Sunan Giri), Rahmat Kartolo (Sunan Bonang), Jack Maland (Sunan Drajat), Sardono W. Kusumo (Sunan Kalijaga), Teddy Purba (Sunan Kudus), Alfian (Sunan Gunung Jati), Guruh Soekarno Putra (Sunan Muria), Baron Achmadi (Adipati Brumbung), Deddy Soetomo (Syeh Siti Jenar), El Manik (Patih Mahesa Kicak), George Rudy (Raden Patah). Produser : Ram Soraya Produser Pelaksan : Yan Senjaya Lukman Rewa Pemimpin Produksi : S. Budi Santoso Sutradara : Djun Saptohadi Asisten Sutradara : Ridwan Adam Penulis Naskah : Alim Bachtiar Penasehat Agama : Drs. H. Masbuchin Drs. H. A n Nuril Huda Pemain : • Amri Tahta • Alfian • Azwar An • Baron Achmadi • Deddy Soetomo • Dodi Wijaya • El Manik • George Rudy • Guruh Soekarnoputra • Jack Maland • Mieke Wijaya • Yani Sapto hudoyo • Rahmat Kartolo • Sardono W. Kusumo • Teddy Purba • Kh Yusuf Hasyim • Wisnu Wardhana Production Companies : PT Soraya Intercine Film Adipati Pandanaran : seorang yang mendholimi raknyatnya dan meninggalkan agama Kibuyut Srenggo : kepala desa dusun srenggo yang sudah tua Adipati Brumbung : penindas dusun srenggo yang ingin menguasai Majapahit Syeh Siti Jenar : Guru Mahesa Kicak, mengaku sebagai tuhan Sunan Giri : mengajak Mahesa Kicak bertaubat dan mendampingi Raden Patah Patih Mahesa Kicak : murid Syeh Siti Jenar yang berambisi sebagai penguasa Majapahit Raden Patah : pemimpin kerajaan Majapahit, putra Prabu Brawijaya Sunan Muria : menolong penduduk desa Srenggo Sunan Drajat : menolong penduduk sumber gerit dan mantingan Sri Ratu : istri Prabu Brawijaya, yang meminta bantuan Wali Songo Sunan Bonang : menyampaikan hasil sidang para wali Sunan Kalijaga : menyadarkan Adipati Pandanaran dan syeh Siti Jenar Sunan Kudus : menolong penduduk desa Srenggo Surep : anak yatim piyatu yang pemberani selalu mendampingi Kibuyut Sunan Gresik : penasehat para Wali , penegur Syeh Siti Jenar Sunan Ampel : pemimpin sidang para wali, penegur Syeh Siti Jenar C. Sinopsis Film Setting film ini yaitu saat kerajaan Majapahit hampir runtuh. Kanjeng Sri Ratu Majapahit dikawal Ki Patih Mahesa Kicak -yg trnyata merupakan salah satu murid Syeh Siti Jenar- datang ke Ampel Denta mewakili Sri Prabu Majapahit menghadap para Sunan agar bergabung menyusun kekuatan untuk menyongsong kembali kejayaan Majapahit. Keesokan harinya -yaitu Jumat Legi, dimana pada hari ini biasanya para wali berkumpul, para Sunan membahas salah satunya pertemuan hari sebelumnya dgn Sri Ratu yang dating memohon Ampel Denta agar bergabung dgn majapahit. Para Sunan mencurigai mengapa pengawalan Kanjeng Sri Ratu dilakukan langsung oleh Mahesa Kicak, sedangkan Kanjeng Sri Prabu ditinggal. Apakah mungkin ada alasan lain? Para Sunan mencurigai kemungkinan adanya ambisi ambil alih kekuasaan. Kanjeng Sunan Kalijaga sampai berucap “memang memprihatinkan anak-anak muda itu terlalu dalam masuk ke dunia tasawuf, sedangkan Syeh Siti Jenar makin asik masuk dengan dirinya sendiri.” Akhirnya setelah ada kecurigaan tersebut, para wali -dengan surat dari Baginda Majapahit, Prabu Brawijaya, yang memberi wewenang kepada para wali agar mampu memutuskan segala sesuatu yang menyangkut Majapahit- bermufakat untuk mengangkat Raden Patah -salah satu putra Sri Prabu dari salah satu selir- sbg penerus tahta sekaligus penguasa tertinggi kerajaan majapahit. Patih Mahisa Kicak yang tidak terima dengan keputusan para wali kemudian bergabung dgn adipati Brumbung dan melakukan berbagai kekacauan dan perampokan. Namun pada pertempurannya dgn Raden Patah, Mahisa Kicak kalah dan langsung melarikan diri. Para wali yang berunding akan keadaan tersebut menyimpulkan bahwa Mahisa Kicak adalah korban kekacauan tafsir, sehingga dalam hal ini yang lebih bertanggung jawab adalah Syeh Siti Jenar; maka daripada repot menangkap Mahisa kicak, maka panggil saja dulu Syeh Siti Jenar. Ketika diutus dua orang untuk memanggil Syeh Siti Jenar ke Demak, beliau menjawab “siapapun yg mencari Syeh Siti Jenar disini, dia tdk pernah akan menemukannya. Yang mereka temui sebenarnya Gusti 4jJ1. Pulanglah kalian karena aku akan menyatu dgn penciptaku.” Namun karena suatu alasan akhirnya Syeh Siti Jenar datang juga di dalam sidang para wali. Dalam sidang tersebut, Syeh Siti Jenar masih bersikukuh tidak mau menghentikan ajarannya dan berkata “mungkin bukan tafsiranku yang tidak memadai, merekalah yang salah menafsirkan ajaranku. Saya merasa tidak pernah menyesatkan umat.” Para Wali berkesimpulan “Syeh Siti Jenar telah ingkar, keluar dr ajaran Al Quran dan Sunah, dan Syeh Siti tetap berniat ingin mengajarkan Wihdatul Wujud (keyakinan bahwa tidak ada wujud kecuali Allah itu sendiri), dan bahkan menggoncangkan persatuan dan kesatuan, nilai-nilai hidup dan tata krama pun menjadi goyah karenanya. kita tidak boleh mnyebarkan hakikat tanpa dilandasi oleh syariat yang kuat. kalo sejarah Al Hallaj dari Parsi harus terulang lagi di tanah Jawi, maka mati adl hukumnya. Dalam pembicaraan yang dilakukan dengan cara telepati antara Syeh Siti Jenar dengan Kanjeng Sunan Kalijaga, Syeh Siti Jenar: “aku tidak bisa melangkah mundur, aku sedang melangkah ke depan. Aku tidak lagi menuju ke Allah, aku adalah Allah.” Sunan Kalijaga: “tidak ada beda pandangan Ulama dan Umara (pemimpin). Ucapan Ulama adalah ucapan ratu, Sabda Pandita Ratu. Kami mengajak Dimas Syeh Siti Jenar untuk berlomba dalam kebaikan. Di tangan kita, juga di tangan Dimas negeri ini menjadi hitam atau putih, atau tenggelam di dasar samudra karena dosa-dosa kita.” Syeh Siti Jenar: “di antara kita memang harus ada yang mati, dan aku memilih kematian itu. Kematian adalah sebuah tidur… yang panjang.” Menjelang penghukuman/eksekusi, Sunan Kalijaga menawarkan kembali kepada Syeh Siti Jenar bahwa masih ada kesempatan seandainya Syeh Siti Jenar menghendaki. Namun Syeh Siti Jenar menolak, “Wong Agung Menak -panggilan Syeh Siti Jenar kepada Sunan Kalijaga-, mengapa Wong Agung Menak masih juga resah. Bukankah sudah kukatakan kematian bagiku bukan merupakan masalah. Kematian adalah perjalanan terakhir untuk lebih mengenali diriku.” Sunan Kalijaga: “Dimas Siti Jenar -panggilan Sunan Kalijaga kepada Syeh Siti Jenar-, dikau tetap sebuah rembulan walau dari sisi yg gelap.” Kemudian Syeh Siti Jenar menjawab “kita telah sepakat untuk tidak sependapat bukan? jadi tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan.” Pada saat tersebut ternyata Mahisa kicak, yang masih mempunyai ambisi untuk membunuh Raden Patah, menyusup diantara masyarakat yang ingin menyaksikan eksekusi. Dia mengeluarkan kembali semacam susuk/senjata yang pernah ditanamkan oleh Syeh Siti Jenar dalam tubuhnya; kemudian dia lemparkan senjata tersebut ke arah punggung Raden Patah. Raden Patah, yang pada saat itu sedang berbicara berhadapan dengan Syeh Siti Jenar, bias menghidar dari lemparan senjata tersebut, dan senjata tersebut malah mengenai dan membunuh Syeh Siti Jenar sendiri. Syeh Siti Jenar mati dengan mata terbuka. Sementara Mahisa Kicak mati terbakar oleh senjata Syeh Siti Jenar.