Salah satu rukun Islam yang lima dan merupakan kewajiban terbesar setelah dua
syahadat
Rasûlullâh Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
Islam dibangun di atas lima tiang: Syahadat Lâ ilâha illa Allâh dan Muhammad Rasûlullâh;
menegakkan shalat; memberikan zakat; haji; dan puasa Ramadhân.” [HR. Bukhâri, no. 8;
Muslim, no. 16]
Shalat merupakan tiang agama
Rasûlullâh Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
Pokok urusan (agama) itu adalah Islam (yakni: syahadatain) , tiangnya shalat, dan puncak
ketinggiannya adalah jihad.” [HR. Tirmidzi, no: 2616; dll, dishohihkan oleh Syeikh Al-Albani]
Pembatas antara iman dengan kekafiran.
Rasûlullâh Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
Sesungguhnya (batas) antara seseorang dengan syirik dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.
[HR. Muslim, no: 82, dari Jabir]
Rasûlullâh Shallallahu „alaihi wa sallam juga bersabda:
Perjanjian yang ada antara kami dengan mereka adalah shalat. Maka barangsiapa
meninggalkannya, dia telah kafir. [HR. Tirmidzi, no: 2621; dll; Dishohihkan oleh syeikh Al-
Albani]
Amal yang pertama kali dihisab pada hari kiamat.
Rasûlullâh Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
Sesungguhnya pertama kali amal hamba yang akan dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya.
Jika shalatnya baik, maka dia beruntung dan sukses, namun jika shalatnya rusak, maka dia gagal
dan rugi. Jika ada sesuatu kekurangan dari shalat wajibnya, maka ar-Rabb (Allâh) Subhanahu wa
Ta‟ala berfirman, “Perhatikan (wahai para malaikat) apakah hambaKu ini memiliki shalat
tathowwu‟ (sunah), sehingga kekurangan yang ada pada shalat wajibnya bisa disempurnakan
dengannya!”. Kemudian seluruh amalannya akan dihisab seperti itu. [HR. Ibnu Majah, no: 1425;
Tirmidzi, no: 413; lafazh ini bagi imam Tirmidzi; dishohihkan oleh Syeikh Al-Albani]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan orang-orang yang beriman untuk menjaga
shalat dengan sebaik-baiknya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthâ (shalat Ashar). Dan berdirilah
untuk Allâh (dalam shalatmu) dengan khusyu‟. [Al-Baqarah/2: 238]
Shalatadalah penyejuk mata
" 3940
Dari Abu Hurairah Radliyallahu Anhu sesungguhnya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam
bersabda :
(390 ) " ) 48
Perintah Shalat merupakan kebaikan yang telah dibentangkan, maka barang siapa yang bisa
memperbanyak Shalat hendaklah ia memperbanyaknya. ( Hadits Riwayat Ath Thabrani ( 1/ 84 )
dan di Shahihkan oleh Al Albani dalam kitab : “ Shahih At Targhieb ” ( 390 ).
(6 )
Artinya : (Allah tidak ingin menyulitkan kalian, akan tetapi DIA berkehendak membersihkan
kalian dan menyempurnakan Nikmat-NYA bagi kalian agar kalian senantiasa bersyukur ). Al
Maidah/ 6.
BAHAYA MENINGGALKAN SHALAT
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
Maka datanglah sesudah mereka (yakni sesudah para Nabi), pengganti (yang jelek) yang menyia-
nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui
kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan
masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun. [Maryam/19: 59-60]
Allâh Subhanahu wa Ta‟ala berfirman :
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.
[Al-Mâ‟ûn/107: 4-5]
Oleh karena itu Allâh Subhanahu wa Ta‟ala memberitakan bahwa meninggalkan shalat
merupakan penyebab utama masuk neraka. Allâh Azza wa Jalla menceritakan jawaban para
penghuni neraka ketika ditanya oleh para penghuni surga tentang sebab masuk neraka.
Mereka (para penghuni neraka Saqor) menjawab, “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang
yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami
membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah
kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian”. Maka tidak berguna
lagi bagi mereka syafa‟at dari orang-orang yang memberikan syafa‟at.[Al-Muddatstsir/74: 43-
48]
Dosa Meninggalkan Shalat Lima Waktu Lebih Besar dari Dosa Berzina
Para Ulama Sepakat Bahwa Meninggalkan Shalat Termasuk Dosa Besar yang Lebih Besar dari
Dosa Besar Lainnya.
Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan, ”Kaum muslimin bersepakat
bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar
dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri,
dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan
kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (Ash Sholah, hal. 7)
Ibnu Hazm –rahimahullah- berkata, “Tidak ada dosa setelah kejelekan yang paling besar
daripada dosa meninggalkan shalat hingga keluar waktunya dan membunuh seorang mukmin
tanpa alasan yang bisa dibenarkan.” (Al Kaba’ir, hal. 25)
Adz Dzahabi –rahimahullah- juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga
keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat secara keseluruhan
-yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan
shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya
sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang
meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang
berbuat dosa).” (Al Kaba’ir, hal. 26-27)
HUKUM MENINGGALKAN SHALAT
Meninggalkan shalat ada dua bentuk :
1. Meninggalkan shalat sambil meyakini bahwa shalat itu tidak wajib,
Pelakunya kafir. Ini berdasarkan kesepakatan Ulama.
2. Meninggalkan shalat, karena malas namun tetap meyakini bahwa shalat itu wajib.
Dalam masalah ini para ulama Ahlus Sunnah berbeda pendapat. Sebagian mereka
berpendapat bahwa pelakunya belum kafir, sementara sebagian yang lain menghukuminya
kafir. Pendapat kedua inilah yang lebih kuat –insya Allâh- berdasarkan banyak dalil dan
perkataan as-salafush shalih. Pendapat yang menyatakan kafirnya orang yang meninggalkan
shalat adalah pendapat mayoritas Shahabat. [Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamâ‟ah min Ahlil
Ahwa‟ wal Bida‟, 1/172-177]
Bahkan sebagian Ulama menukilkan adanya ijma‟ sahabat Nabi tentang kekafiran orang
yang meninggalkan shalat. Seperti Imam Ibnu Hazm dalam kitab al-Muhalla, 2/242-243,
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Kitâbus Shalat, hlm. 26, dan Syaikh Muhammad bin
Shalih al-„Utsaimin rahimahullah dalam Syarhul Mumti‟ 2/28.
Seorang tabi‟in, Abdullâh bin Syaqîq rahimahullah, berkata, “Dahulu para sahabat Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam tidak memandang sesuatu di antara amalan-amalan yang
meninggalkannya merupakan kekafiran selain shalat”. [Riwayat al-Hakim, lihat: Mauqif Ahlis
Sunnah wal Jamâ‟ah min Ahlil Ahwa‟ wal Bida‟, 1/174]
Pertama: Pendapat yang kuat bagi orang yang meninggalkan sholat tanpa mengingkari
kewajibannya adalah dosa besar dan kufur ashghor (bukan kufur akbar, yang menjadikan orang
murtad), diantara dalilnya adalah sabda Rosululloh –shoallallahu „alaihi wasallam-:
“Ubadah bin Shamit mengatakan: saya mendengar Rasulullah –shallallahu alaihi wasallam–
bersabda: “Ada lima shalat yang diwajibkan oleh Alloh kepada para hambanya. Maka
barangsiapa mengerjakannya dan tidak meninggalkannya karena meremehkannya, niscaya ia
mendapat janji dari Alloh untuk memasukkannya ke surga. Dan barangsiapa tidak
mengerjakannya, maka ia tidak mendapatkan janji itu dari-Nya, jika Alloh berkehendak, maka Ia
akan menyiksanya, dan jika Alloh berkehendak, maka Ia akan (memaafkannya) dan
memasukkannya ke surga“. (HR. Abu Dawud, no.1420, dan dishahihkan oleh Albani).
Hadits ini, jelas menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat tanpa mengingkari
kewajibannya tidak kafir, karena seorang yang kafir tidak akan masuk surga. Ini adalah pendapat
mayoritas ulama Islam, dan dipilih oleh Syaikh Albani (lihat Silsilah Shahihah, 8/8) Wallohu
a‟lam.
Kedua: Ada perbedaan pendapat diantara ulama yang mengatakan bahwa meninggalkan shalat
tanpa mengingkari kewajibannya adalah kafir. Ada yang mengatakan ia menjadi kafir walaupun
meninggalkan satu shalat saja, ada yang mengatakan ia menjadi kafir jika meninggalkan shalat
semuanya. Diantara ulama yang memilih pendapat pertama adalah Lajnah Daimah (5/41),
sedangkan pendapat kedua dipilih oleh Syaikh Ibn Shalih Al Utsaimin (Majmu‟ Fatawa Syaikh
Al Utsaimin, 12/95).
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan, “Orang yang meninggalkan shalat
adalah kafir dengan kekufuran yang menyebabkan dia keluar dari Islam, dia diancam hukuman
mati, jika tidak bertaubat dan tidak mengerjakan shalat.”
Imam Abu Hanifah rahimahullah, Mâlik rahimahullah dan Imam Syâfi‟i rahimahullah
mengatakan, “Orang yang meninggalkan shalat adalah orang fasik dan tidak kafir”, namun,
mereka berbeda pendapat mengenai hukumannya.
Menurut Imam Mâlik rahimahullah dan Syâfi‟i rahimahullah, “Orang yang
meninggalkan shalat diancam hukuman mati sebagai hadd”,
Menurut Imam Abu Hanîfah rahimahullah, “dia diancam hukuman sebagai ta‟zîr
(peringatan), bukan hukuman mati.”
Jika permasalahan ini termasuk masalah yang diperselisihkan, maka yang wajib bagi kita adalah
mengembalikannya kepada kitâbullâh dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu „alaihi wa sallam,
karena Allâh Azza wa Jalla berfirman:
َ ش ًْءٍ فَ ُح ْك ًُُّ ِإنَى
ِّللا َ ٍْ اختَهَ ْفت ُ ْى ِفٍ ِّ ِي
ْ َٔ َيب
Tentang sesuatu apapun yang kamu perselisihkan, maka putusannya (terserah) kepada Allâh.
[As Syûrâ/42:10]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman, yang artinya, “Jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (al-Qur‟an) dan Rasul (as-Sunnah), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya.” [An-Nisa/4:59]
Juga karena pendapat masing-masing pihak yang berselisih memiliki kedudukan yang sama, oleh
karena itu masalah ini wajib dikembali kepada al-Qur‟ân dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu
„alaihi wa sallam .
Jika kita kembalikan permasalahan yang diperbedatkan ini kepada al-Qur‟ân dan as-Sunnah, kita
akan dapati keduanya menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat dengan kufur
akbar yang menyebabkan ia keluar (murtad) dari Islam.
Jika ada pertanyaan: Apakah boleh nash-nash yang menunjukkan kekafiran orang yang
meninggalkan shalat itu dibawa pengertiannya atau diberlakukan (khusus) pada orang
yang meninggalkan shalat karena mengingkari wajibnya shalat?
Jawab:
Tidak boleh, karena akan mengakibatkan dua masalah yang berbahaya:
Pertama: Menghapuskan ketentuan (sifat) yang telah ditetapkan oleh Allâh Azza wa Jalla dan
dijadikan sebagai dasar hukum.
Allâh Azza wa Jalla telah menetapkan hukum kafir dengan sebab meninggalkan shalat, bukan
dengan sebab mengingkari kewajibannya. Allâh Azza wa Jalla menetapkan persaudaraan
seagama atas dasar pendirian shalat, bukan atas dasar pengakuan terhadap wajibnya shalat. Allâh
tidak berfirman: “Jika mereka bertaubat dan mengakui kewajiban shalat”, Nabi Muhammad n
pun tidak bersabda, “Batas pemisah antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah
mengingkari kewajiban shalat”, atau “perjanjian antara kita dan mereka ialah pengakuan
terhadap kewajiban shalat, barang siapa yang mengingkari kewajibannya maka dia telah kafir”.
Kedua: Menjadikan ketentuan (sifat) yang tidak ditetapkan oleh Allâh sebagai landasan hukum.
Mengingkari kewajiban shalat lima waktu tentu menyebabkan kekafiran bagi pelakunya yang
tidak memiliki udzur bil jahhl (artinya pengingkaran dilakukan bukan karena tidak tahu
hukumnya-red), baik dia masih mengerjakan shalat atau tidak mengerjakannya.
Jika ada seseorang yang mengerjakan shalat lima waktu dengan melengkapi segala syarat, rukun,
dan hal-hal yang wajib dan sunnah, namun dia mengingkari kewajiban shalat tersebut tanpa ada
udzur (alas an), maka orang tersebut telah kafir, sekalipun dia tidak meninggalkan shalat.
Dengan demikian, jelas bahwa membawa pengertian kafir akibat meninggalkan shalat kepada
kafir akibat menentang wajibnya shalat adalah sebuah kekeliruan. Dan yang benar ialah orang
yang meninggalkan shalat adalah kafir dengan kekafiran yang menyebabkan dia keluar dari
Islam, sebagaimana ditegaskan dalam salah satu hadits riwayat Ibnu Abi Hâtim dalam kitab
Sunan, dari Ubâdah bin Shâmit Radhiyallahu anhu ia berkata: Rasûlullâh Shallallahu „alaihi wa
sallam telah berwasiat kepada kita:
فَ ََ ِْ رَ َش َمَٖب ػ ََْذًا ٍُزَؼَ ِ َّذًا فَقَ ْذ َخ َش َج ٍََِ ا ْى َِيَّ ِخ،ػ َْذًا
َ َصَلَح
َّ ََّٗلَ رَزْ ُشمُ٘ا اى،ئ ًبْٞ ش
َ َِّلَ رُش ِْشم ُْ٘ا ثِبهلل
Janganlah kamu berbuat syirik kepada Allâh sedikitpun, dan janganlah kamu sengaja
meninggalkan shalat, barangsiapa yang benar-benar dengan sengaja meninggalkan shalat maka
ia telah keluar dari Islam.
Jika ada pertanyaan: Apakah kekafiran bagi orang yang meninggalkan shalat tidak dapat
diartikan sebagai kufur nikmat bukan kufur millah (yang menyebabkan pelakunya keluar
dari agama Islam), atau diartikan sebagai kekafiran yang tingkatannya dibawah kufur
akbar, seperti kekafiran yang disebutkan dalam hadits dibawah ini, yang mana Rasûlullâh
Shallallahu „alaihi wa sallam bersaba:
َ َُبحَخِّْٞ َٗاى، ت
ِ ََِّٞ ا ْىَٚػي
ذ َ َّْ اىِٜبط ُٕ ََب ثِ ِٖ ٌْ ُم ْف ٌش اَى َّط ْؼُِ ف
ِ س ِ َْْاث
ِ َّْبُ ثِبى
Ada dua perkara terdapat pada manusia, yang keduanya merupakan suatu kekafiran bagi
mereka, yaitu: mencela keturunan dan meratapi orang yang telah mati.
Juga Sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam :
ق َٗقِزَبىُُٔ ُم ْف ٌش ُ ُس ِي ٌِ ف
ٌ ْ٘ س ْ َُ بة ا ْى
ُ َسج
ِ
Menghina seorang muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekafiran.”
Jawab:
Membawa pengertian kufur (akibat meninggalkan shalat) kepada kemungkinan-kemungkinan
yang di atas tidak benar, karena beberapa alasan:
Pertama: Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam telah menjadikan shalat sebagai batas pemisah
antara kekafiran dan keimanan, antara orang-orang Mukmin dan orang-orang kafir. Dan (yang
namanya-red) batas tentu akan membedakan apa yang dibatasi serta memisahkannya dari yang
lain, sehingga kedua hal yang terpisahkan itu berbeda dan tidak bisa bercampur antara yang satu
dengan yang lain.
Kedua : Shalat adalah salah satu rukun Islam, maka penyematan gelar kafir terhadap orang yang
meninggalkannya berarti kafir dan keluar dari Islam, karena dia telah menghancurkan salah satu
rukun Islam, berbeda halnya dengan penyebutan kafir terhadap orang yang mengerjakan salah
satu perbuatan-perbuatan kekafiran lainnya.
Ketiga: Keberadaan beberapa nash lain yang menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan
shalat itu kafir dengan kekafiran yang menyebabkan ia keluar dari Islam.
Oleh karena itu kekafiran ini harus difahami sesuai dengan arti tertera padanya, sehingga nash-
nash itu akan sinkron dan tidak saling bertentangan.
Keempat : Penggunaan kata kufur berbeda-beda, tentang kufur akibat meninggalkan shalat,
Beliau n bersabda:
َّ ش ِْش ِك َٗا ْى ُن ْف ِش ر َ ْشكَ اى
صَلَ ِح ّ َِ اىْٞ َاىش ُج ِو َٗث
َّ َِْٞ َِإَُّ ث
Sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah
meninggalkan shalat. [HR. Muslim, dalam kitab al Îmâ]
Dalam kalimat ini digunakan kata yang ada “al“nya, dalam bentuk ma‟rifah (tertentu), yang
menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan kufur di sini adalah kekafiran yang sebenarnya,
berbeda dengan penggunaan kata kufur secara nakirah (indefinite), atau “kafara” sebagai kata
kerja, maka itu menunjukkan bahwa dia telah melakukan suatu perbuatan kekufuran, tapi bukan
kekufuran mutlak yang menyebabkan keluar dari Islam.
Apabila sudah jelas bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, keluar dari Islam,
berdasarkan dalil-dalil di atas, maka yang benar adalah pendapat yang dianut oleh Imam Ahmad
bin Hanbal rahimahullah yang juga merupakan salah satu pendapat Imam asy-Syâfi‟i,
sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya tentang firman Allâh Azza wa Jalla
dalam surat Maryam, ayat ke-59 dan 60.
Juga disebutkan oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam Kitâb ash-Shalât bahwa pendapat ini
merupakan salah satu dari dua pendapat yang ada dalam madzhab Syâfi‟i. Ath-Thahawi
menukilkan demikian dari Imam Syâfii sendiri.
Pendapat inilah yang dipegangi oleh mayoritas Shahabat, bahkan banyak Ulama yang
menyebutkan bahwa pendapat ini merupakan ijma‟ para Shahabat.
Abdullah bin Syaqîq mengatakan, ”Para sahabat Nabi g berpendapat bahwa tidak ada satupun
amal yang bila ditinggalkan menyebabkan kafir, kecuali shalat”. (Diriwayatkan oleh Tirmidzi
dan lima Ulama perawi hadits lainnya. Beliau t menilai hadits ini shahih menurut persyaratan
Imam Bukhari dan Muslim).
Ishaq bin Rahawaih rahimahullah, seorang imam terkenal mengatakan, “Diriwayatkan dari Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir.” Dan
demikianlah pendapat yang dianut oleh para Ulama sejak zaman Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam sampai sekarang ini, bahwa orang yang sengaja meninggalkan shalat tanpa ada suatu
halangan sehingga lewat waktunya adalah kafir.”
Ibnu Hazm rahimahullah menuturkan bahwa pendapat ini datang dari Umar, Abdurrahman bin
Auf, Muadz bin Jabal, Abu Hurairah, dan para Shahabat lainnya Radhiyallahu anhum, dan ia
berkata, “Dan sepengetahuan kami tidak ada seorang pun diantara Shahabat Nabi yang
menyelisihi pendapat mereka ini.”
Keterangan Ibnu Hazm rahimahullah ini telah dinukil oleh al-Mundziri dalam kitabnya at-
Targhîb wat Tarhîb, dan beliau menyebutkan tambahan nama Shahabat yaitu Abdullah bin
Mas‟ûd, Abdullah bin Abbâs, Jâbir bin Abdullah, Abu Darda‟ Radhiyallahu anhum. Lalu al-
Mundziri rahimahullah mengatakan, “Dan diantara para Ulama yang bukan dari kalangan
Shahabat adalah Ahmad bin Hanbal, Ishâq bin Rahawaih, Abdullah bin al Mubârak, an Nakhâ‟i,
al Hakam bin Utaibah, Ayub as-Sikhtiyâni, Abu Daud at-Thayâlisi, Abu Bakar bin Abi Syaibah,
Zuhair bin Harb, dan lain-lainnya.”
Jika ada pertanyaan: Apa jawaban atau bantahan terhadap dalil-dalil yang dipergunakan
oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir?
Jawabnya adalah:
Tidak disebutkan (secara gamblang-red) dalam dalil-dalil tersebut bahwa orang yang
meninggalkan shalat itu tidak kafir, atau masih Mukmin, atau tidak masuk neraka, atau masuk
surga, dan yang semisalnya.
Siapapun orang yang memperhatikan dalil-dalil itu dengan seksama pasti akan menemukan
bahwa dalil-dalil itu tidak keluar dari empat bagian (kategori) dan kesemuanya tidak
bertentangan dengan dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang
yang meninggalkan shalat adalah kafir.
Kategori pertama: Dalam dalil-dalil yang mereka sebutkan tidak ada yang cocok menjadi
pijakan pendapat yang mereka dalam masalah ini, seperti dalil yang digunakan oleh sebagian
orang, yaitu firman Allâh Azza wa Jalla :
َشَب ُءٝ ِْ ََ َ ْغ ِف ُش ٍَب ُدَُٗ َٰرَ ِىلَ ِىَٝٗ ِٔ ُش َْشكَ ِثٝ ُْ َ َ ْغ ِف ُش أٝ ّللاَ ََّل
َّ َُِّإ
Sesungguhnya Allâh tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa
yang selain dari (syirik) itu yang Dia kehendaki.” [An-Nisâ/4:48]
Firman Allâh “ َ ” ٍَب ُدَُٗ َٰرَ ِىلmaksudnya adalah dosa-dosa yang lebih kecil daripada syirik, bukan
dosa-dosa yang selain dosa syirik, berdasarkan dalil yang menunjukkan bahwa orang yang
mendustakan apa yang diberitakan Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya adalah kafir dengan
kekufuran yang tidak diampuni, padahal dosa akibat mendustakan ini tidak termasuk dosa syirik.
(Ini menunjukkan ada dosa lain yang tidak diampuni selain dosa syirik-red)
Andaikata kita menerima bahwa firman Allâh “ َ ” ٍَب ُدَُٗ َٰرَ ِىلmaksudnya adalah dosa-dosa selain
syirik, ini pun masih masuk dalam kategori al âmm al makhsûs (dalil umum yang sudah
dikhususkan maknanya), dengan nash-nash lain yang menunjukkan adanya kekufuran yang
disebabkan oleh selain perbuatan syirik dan kekufuran yang menyebabkan pelakunya keluar dari
Islam itu termasuk dosa yang tidak diampuni, sekalipun tidak termasuk syirik.
Kategori kedua: Dalil umum yang sudah dikhususkan dengan hadits-hadits yang menunjukkan
kekafiran orang yang meninggalkan shalat. Misalnya: Sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
dalam hadits Mu‟adz bin Jabal Radhiyallahu anhu :
اىَّْ ِبسَٚػي
َ ُس ْ٘ىُُٔ إَِّلَّ ح ََّش ٍَُٔ هللا َ ش َٖ ُذ أ َ ُْ َّلَ إِىََٔ إَِّلَّ هللا ُ َٗأََُّ ٍُ َح ََّذًا
ُ ػ ْج ُذُٓ َٗ َس َ ِْ ٍِ ٍَب
ْ َٝ ػ ْج ٍذ
Tidak ada seorang hamba pun yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali
Allâh dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, kecuali Allâh akan haramkan ia dari api
neraka.
Inilah salah satu lafadznya, dan diriwayatkan pula dengan lafadz yang senada dengan ini dari
Abu Hurairah, Ubâdah bin Shâmit dan Itbân bin Mâlik Radhiyallahu anhum.
Kategori ketiga: Dalil umum yang muqayyad (sudah dibatasi) oleh suatu ikatan yang tidak
mungkin baginya meninggalkan shalat. Misalnya, sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
dalam hadits Itbân bin Mâlik Radhiyallahu anhu :
َ ًَ فَ ِئَُّ هللاَ ح ََّش
ِ ِثزَ ِىلَ َٗجْ َٔ هللاَٜ ْجزَ ِغٝ ُ اى َّْ ِبس ٍَ ِْ قَب َه َّلَ إِىََٔ إَِّلَّ هللاٚػ َي
Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan LAA
ILAHA ILLALLAH dalam rangka mencari wajah Allâh [HR. Al-Bukhâri]
Juga dalam hadits Mu‟âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda:
ُ ش َٖ ُذ أ َ ُْ َّلَ إِىََٔ إَِّلَّ هللا ُ َٗأََُّ ٍُ َح ََّذًا َس
َ ِس ْ٘ ُه هللاِ ِص ْذقًب ٍِ ِْ قَ ْي ِج ِٔ إَِّلَّ ح ََّش ٍَُٔ هللا
اىَّْ ِبسَٚػي ْ َٝ ٍَب ٍِ ِْ أ َ َح ٍذ
Tidak ada seorang hamba pun yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali
Allâh, dan Muhammad adalah utusan Allâh, dengan ikhlas dari hatinya (semata-mata karena
Allâh), kecuali Allâh haramkan ia dari api neraka. [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]
Orang yang mengucapkan dua syahadat yang diharamkan masuk neraka yaitu yang terpenuhi
syarat dua syarat ikhlas dan kejujuran hati. Jika dua syarat ini terpenuhi, maka mustahil
seseorang meninggalkan shalat. Karena siapapun yang jujur dan ikhlas dalam syahadatnya
niscaya dan pasti kejujuran dan keikhlasannya akan mendorongnya untuk melaksanakan shalat.
Karena shalat merupakan tiang agama Islam, serta media komunikasi antara hamba dengan
Rabbnya.
Jika ia benar-benar mencari wajah Allâh, tentu ia akan melakukan apapun yang dapat
menghantarkannya kepada tujuannya itu, dan menjauhi segala apa yang menjadi penghalangnya.
Demikian pula orang yang mengucapkan kalimat dua syahadat secara jujur dari lubuk hatinya,
tentu kejujurannya itu akan mendorong dirinya untuk melaksanakan shalat dengan ikhlas semata-
mata karena Allâh, dan mengikuti tuntunan Rasûlullâh Shallallahu „alaihi wa sallam , karena hal
itu termasuk syarat-syarat syahadat yang benar.
Kategori keempat: Dalilnya muqayyad (terbatasi maknanya) oleh suatu kondisi yang
diperbolehkan dalam kondisi tersebut untuk meninggalkan shalat. Misalnya hadits Ibnu Mâjah
rahimahullah, dari Hudzaifah ibnul Yaman, ia mengatakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu „alaihi
wa sallam bersabda:
ٔٞة (ٗف ِ ْ٘ َّ اىثُْٜ ط َٗش ُ َذ ُْسٝ سَلَ ًُ َم ََب ْ ط اْ ِإل َ َقُ ْ٘ىُ َُْ٘ أَد َْس ْمَْب آثَب َء َّبٝ ُْش َٗا ْىؼَ ُج ْ٘ ُصٞ ُخ ا ْى َن ِجْٞ ش
ُ َذ ُْسٝ) ٚػ َي َّ بط اى ُ ِ َط َ٘ائََٚٗرَ ْجق
ِ َّْف ٍَِِ اى
َٕ ِز ِٓ ا ْى َن ِي ََ ِخ َّلَ ِإىََٔ ِإَّلَّ هللاُ َفَْحْ ُِ َّقُ ْ٘ىَُٖب
Islam ini akan hilang sebagaimana hilangnya perhiasan yang ada pada pakaian (dalam hadits
itu terdapat ungkapan) dan tinggallah beberapa kelompok orang, yaitu kaum lelaki dan wanita
yang tua renta, mereka berkata:”kami mendapatkan orang tua kami di atas kalimat “LAA
ILAHA ILLALLAH” ini, maka kamipun menyatakannya (seperti mereka)
Shilah bin Zufar berkata kepada Hudzaifah, “Tidak berguna bagi mereka kalimat “LAA ILAHA
ILLALLAH”, bila mereka tidak tahu apa itu shalat, puasa, haji, juga zakat.”, maka Hudzaifah
Radhiyallahu anhu menoleh kearahnya seraya menjawab, ”Wahai Shilah, kalimat itu akan
menyelamatkan mereka dari api neraka.
Orang-orang di atas yang terselamat dari neraka dengan sebab kalimat syahadat saja adalah
orang-orang yang memiliki udzur untuk tidak melaksanakan syari‟at Islam, karena mereka tidak
mengenalnya. Apa yang mereka kerjakan hanyalah apa yang mereka dapatkan saja. Kondisi
mereka sama dengan kondisi orang yang meninggal dunia sebelum syari‟at Islam diwajibkan,
atau sebelum sempat mengerjakan syari‟at Islam, seperti orang yang meninggal dunia setelah
mengucapkan dua kalimat syahadat sebelum sempat melaksanakan syari‟at Islam yang lain, atau
orang yang masuk Islam di negara kafir tetapi belum sempat mengenal syari‟at ia meninggal
dunia.
Kesimpulannya, dalil-dalil yang dipergunakan oleh yang berpendapat bahwa orang yang
meninggalkan shalat tidak kafir, tidak bisa membantah dalil-dalil yang dipergunakan oleh yang
berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir. Karena dalil-dalil yang mereka
pergunakan, adakalanya tidak mengandung sesuatu yang bisa dijadikan landasan dalam masalah
ini; Atau adakalanya terikat dengan suatu sifat yang jika sifat itu ada maka tidak mungkin dia
akan meninggalkan shalat; Atau adakalanya dalil mereka terbatasi oleh suatu kondisi yang bisa
menjadi udzur bagi seseorang untuk tidak shalat; Atau adakalanya mereka bersifat umum tapi
sudah dikhususkan dengan nash-nash yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan
shalat.
Jika sudah terbukti kekufuran orang yang meninggalkan shalat berdasarkan dalil yang kuat yang
tidak dapat disanggah dan disangkal lagi, maka hukum kafir dan segala konsekuensinya
dikenakan kepada orang yang meninggalkan shalat. Diantara konsekuensinya adalah orang yang
meninggalkan shalat tidak boleh dinikahkan dengan wanita Muslimah.
Orang yang meninggalkan shalat karena malas-malasan dan tetap meyakini shalat itu
wajib,
Ada tiga pendapat di antara para ulama mengenai hal ini.
Pendapat pertama mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat harus dibunuh karena
dianggap telah murtad (keluar dari Islam). Pendapat ini adalah pendapat Imam Ahmad, Sa‟id bin
Jubair, „Amir Asy Sya‟bi, Ibrohim An Nakho‟i, Abu „Amr, Al Auza‟i, Ayyub As Sakhtiyani,
„Abdullah bin Al Mubarrok, Ishaq bin Rohuwyah, „Abdul Malik bin Habib (ulama Malikiyyah),
pendapat sebagian ulama Syafi‟iyah, pendapat Imam Syafi‟i (sebagaimana dikatakan oleh Ath
Thohawiy), pendapat Umar bin Al Khothob (sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hazm), Mu‟adz
bin Jabal, „Abdurrahman bin „Auf, Abu Hurairah, dan sahabat lainnya.
Pendapat kedua mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat dibunuh dengan hukuman
had, namun tidak dihukumi kafir. Inilah pendapat Malik, Syafi‟i, dan salah salah satu pendapat
Imam Ahmad.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat karena malas-malasan
adalah fasiq (telah berbuat dosa besar) dan dia harus dipenjara sampai dia mau menunaikan
shalat. Inilah pendapat Hanafiyyah. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 22/186-187)
BERBAGAI KASUS ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT
[Kasus Pertama]
Kasus ini adalah meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya sebagaimana mungkin
perkataan sebagian orang, „Sholat oleh, ora sholat oleh.‟ [Kalau mau shalat boleh-boleh saja,
tidak shalat juga tidak apa-apa]. Jika hal ini dilakukan dalam rangka mengingkari hukum
wajibnya shalat, orang semacam ini dihukumi kafir tanpa ada perselisihan di antara para ulama.
[Kasus Kedua]
Kasus kali ini adalah meninggalkan shalat dengan menganggap gampang dan tidak pernah
melaksanakannya. Bahkan ketika diajak untuk melaksanakannya, malah enggan. Maka orang
semacam ini berlaku hadits-hadits Nabi shallallahu „alaihi wa sallam yang menunjukkan
kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Inilah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, mayoritas ulama
salaf dari shahabat dan tabi‟in.
[Kasus Ketiga]
Kasus ini yang sering dilakukan kaum muslimin yaitu tidak rutin dalam melaksanakan shalat
yaitu kadang shalat dan kadang tidak. Maka dia masih dihukumi muslim secara zhohir (yang
nampak pada dirinya) dan tidak kafir. Inilah pendapat Ishaq bin Rohuwyah yaitu hendaklah
bersikap lemah lembut terhadap orang semacam ini hingga dia kembali ke jalan yang benar. Wal
„ibroh bilkhotimah [Hukuman baginya dilihat dari keadaan akhir hidupnya].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Jika seorang hamba melakukan sebagian perintah
dan meninggalkan sebagian, maka baginya keimanan sesuai dengan perintah yang
dilakukannya. Iman itu bertambah dan berkurang. Dan bisa jadi pada seorang hamba ada iman
dan nifak sekaligus. … Sesungguhnya sebagian besar manusia bahkan mayoritasnya di banyak
negeri, tidaklah selalu menjaga shalat lima waktu. Dan mereka tidak meninggalkan secara total.
Mereka terkadang shalat dan terkadang meninggalkannya. Orang-orang semacam ini ada pada
diri mereka iman dan nifak sekaligus. Berlaku bagi mereka hukum Islam secara zhohir seperti
pada masalah warisan dan semacamnya. Hukum ini (warisan) bisa berlaku bagi orang munafik
tulen. Maka lebih pantas lagi berlaku bagi orang yang kadang shalat dan kadang tidak.”
(Majmu’ Al Fatawa, 7/617)
[Kasus Keempat]
Kasus ini adalah bagi orang yang meninggalkan shalat dan tidak mengetahui bahwa
meninggalkan shalat membuat orang kafir. Maka hukum bagi orang semacam ini adalah
sebagaimana orang jahil (bodoh). Orang ini tidaklah dikafirkan disebabkan adanya kejahilan
pada dirinya yang dinilai sebagai faktor penghalang untuk mendapatkan hukuman.
[Kasus Kelima]
Kasus ini adalah untuk orang yang mengerjakan shalat hingga keluar waktunya. Dia selalu rutin
dalam melaksanakannya, namun sering mengerjakan di luar waktunya. Maka orang semacam ini
tidaklah kafir, namun dia berdosa dan perbuatan ini sangat tercela sebagaimana Allah berfirman,
5 8
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari
shalatnya.” (QS. Al Maa‟un [107] : 4-5)
(Lihat Al Manhajus Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, 189-190)
HUKUMAN BAGI ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT
Imam Hazm rahimahullah berkata,
“Kaum Muslimin tidak berselisih pendapat bahwa meninggalkan shalat wajib dengan sengaja
termasuk dosa besar yang terbesar, dan bahwa dosanya di sisi Allâh lebih besar daripada dosa
membunuh, merampas harta orang, berzina, mencuri, dan minum khamr. Dan bahwa pelakunya
menghadapi hukuman Allah, kemurkaanNya, dan kehinaan dariNya di dunia dan akhirat.
Kemudian ulama berbeda pendapat tentang (hukum) bunuh terhadapnya, tentang cara (hukum)
bunuh terhadapnya, dan tentang kekafirannya. (Imam) Sufyân bin Sa‟id ats-Tsauri, Abu „Amr al-
Auza‟i, Abdullâh bin al-Mubârak, Hammad bin bin Zaid, Waki‟ bin al-Jarrah, Mâlik bin Anas,
Muhammad bin Idris asy-Syâfi‟i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahûyah dan murid-murid,
mereka berfatwa bahwa orang yang meninggalkan shalat di (hukum) bunuh.
Kemudian mereka berbeda pendapat tentang cara (hukum) bunuh terhadapnya. Mayoritas
mereka berkata, “Dibunuh dengan pedang dengan cara dipenggal lehernya”. Sebagian pengikut
imam Syâfi‟i berkata, “Dia dipukul dengan kayu sampai dia shalat atau dia mati”. Ibnu Suraij
berkata, “Dia ditusuk dengan pedang sampai mati, karena hal itu lebih sempurna di dalam
menghentikannya dan lebih diharapkan untuk kembali (taubat)”. [Ash-Shalat wa Hukmu
Tarikiha, hlm. 29-30]
Hukum bunuh tersebut tentu penguasa yang berhak melakukan setelah pelakunya diminta
untuk bertaubat dan melakukan shalat, namun dia menolaknya.
“Sesungguhnya shalat merupakan kewajiban bagi orang beriman yang telah ditetapkan
waktunya.” (QS. An-Nisa: 103).
Allah menegaskan dalam al-Quran, bahwa shalat merupakan ibadah yang dibatasi
waktunya. Ada batas awal dan ada batas akhir. Sebagaimana tidak sah melakukan shalat sebelum
waktu, juga tidak sah melakukan shalat, setelah keluar waktu. Hanya saja, bagi mereka yang
tidak sengaja meninggalkan shalat, misalnya karena ketiduran atau lupa, diberi toleransi untuk
mengqadha‟nya, dengan mengerjakannya ketika bangun atau ketika ingat.
Pada prinsipnya, inti dari taubat ada 5 :
Ikhlas dengan memohon ampun kepada Allah []اَّلصتْفبس
Meninggalkan dosa yang dilakukan []اَّلقَلع
Menyesali perbuatannya []انُذو, sehingga dia mengakui apa yang dia lakukan adalah kesalahan
Bertekad untuk mengulangi []انعزو. Tekad ini yang akan menghalangi dia jangan sampai
melanjutkan dosanya.
Melakukan perbaikan []اَّلصَلح. Melakukan upaya yang bisa memperbaiki dirinya.
Allah berfirman,
Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama)
Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah
bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang
beriman pahala yang besar. (QS. an-Nisa: 146).
Bagi orang yang kelupaan dan ketiduran, harus menebus kesalahan meninggalkan shalat
ketika bangun atau ketika dia ingat.
Dari Anas bin Malik, bahwa Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,
“Barang siapa yang kelupaan shalat atau tertidur sehingga terlewat waktu shalat maka
penebusnya adalah dia segera shalat ketika ia ingat.” (HR. Ahmad 11972 dan Muslim 1600).
Nabi shallallahu „alaihi wa sallam mengatakan,
“Siapa yang lupa shalat, maka dia harus shalat ketika ingat. Tidak ada kaffarah untuk
menebusnya selain itu.” (HR. Bukhari 597 & Muslim 1598)
Ketika orang meninggalkan shalat dengan sengaja, kemudian dia mengerjakan shalat
ketika taubat, hakekat yang terjadi : Dia mengerjakan shalat di luar waktu. Dan mengerjakan
shalat setelah waktunya habis, statusnya tidak sah. Dia melakukan kaffarah (penebus dosa) yang
tidak ada panduannya dari dalil. Sementara penebusan kesalahan meninggalkan shalat yang
disebutkan dalam dalil, hanya berlaku untuk mereka yang ketiduran atau kelupaan.
Siapa saja yang meninggalkan shalat wajib, agar segera bertaubat dan perbanyak
melakukan shalat sunah.
Dengan harapan, shalat sunah yang dia kerjakan bisa menjadi penebus kesalahannya.
Nabi shallallahu „alaihi wa sallam yang menjelaskan proses hisab amal hamba,
: . إ
“Amal manusia pertama yang akan dihisab kelak di hari kiamat adalah shalat. Allah bertanya
kepada para Malaikatnya – meskipun Dia paling tahu – “Perhatikan shalat hamba-Ku, apakah dia
mengerjakannya dengan sempurna ataukah dia menguranginya?” Jika shalatnya sempurna,
dicatat sempurna, dan jika ada yang kurang, Allah berfirman, “Perhatikan, apakah hamba-Ku
memiliki shalat sunah?.” jika dia punya shalat sunah, Allah perintahkan, “Sempurnakan catatan
shalat wajib hamba-Ku dengan shalat sunahnya.” (HR. Nasai 465, Abu Daud 864, Turmudzi
415, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Syaikhul Islam mengatakan,
“Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, tidak disyariatkan meng-qadhanya. Dan jika
dilakukan, shalat qadhanya tidak sah. Namun yang dia lakukan adalah memperbanyak shalat
sunah. Ini meruapakan pendapat sebagian ulama masa silam.” (al-ikhtiyarot, hlm. 34).
Ibnu Hazm mengatakan,
“Siapa yang sengaja meninggalkan shalat sampai keluar waktunya, maka selama dia tidak bisa
mengqadha‟-nya. Hendaknya dia memperbanyak amal soleh dan shalat sunah, agar memperberat
timbangannya keelah di hari kiamat. Dia harus bertaubat dan banyak istighfar.” (al-Muhalla,
2/279).
Karena itu, kewajiban orang yang pernah meninggalkan shalat wajib, dan sekarang telah
bertaubat, Banyak memohon ampun kepada Allah, Memperbanyak shalat sunah, Mencari
komunitas yang baik, yang bisa memotivasi dirinya untuk menjaga shalat, Dan jangan lupa untuk
bersyukur kepada Allah atas nikmat hidayah untuk taubat.
Cara Efektif Untuk Mendakwahi Mereka Yang Meninggalkan Shalat dan Cara Bergaul
Dengan Para Ahli Bid’ah
Hendaknya melihat kondisi mad‟u dalam pelaksanaan shalat atau bentuk ibadah lainnya,
demikian juga hendaknya memperhatikan metode targhib (anjuran) dan tarhib (ancaman) yang
sesuai, meskipun hukum asalnya secara umum hendaknya digabungkan antara keduanya.
Kemudian adalah sangat penting untuk memperhatikan kondisi para mad‟u dalam hal
penerimaan dan penolakannya, pengaruh dari nasehat yang disampaikan atau malah
menjauhinya.
Kedua:
Cara efektif untuk mendakwahi mereka yang meninggalkan shalat adalah sebagai berikut:
1. Mengingatkannya akan kewajiban shalat dan bahwa shalat adalah rukun Islam yang paling
agung setelah dua kalimat syahadat.
2. Mengajarinya tentang keutamaan shalat; karena shalat adalah sebaik-baik yang telah
diwajibkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya dan sebaik-baik cara seorang hamba
bertaqarrub kepada Rabbnya. Ibadah shalat adalah ibadah yang pertama kali dihisab dari semua
urusan agamanya, shalat lima waktu akan menjadi penghapus dosa disela-selanya, selama tidak
melakukan dosa besar, satu kali sujud saja akan mengangkat satu derajat seorang hamba dan
menggugurkan satu kesalahan dan lain sebagainya dari semua keutamaan shalat. Semua itu bagi
seorang hamba akan menjadikan jiwanya semangat untuk mendirikannya in sya Allah, mudah-
mudahan shalat akan menjadi penyejuk mata baginya, sebagaimana telah menjadi penyejuk mata
Nabi –shallallahu „alaihi wa sallam-.
3. Mengajarinya bahwa ada ancaman keras bagi mereka yang meninggalkan shalat, dan
adanya perbedaan para ulama apakah yang meninggalkan shalat telah kafir dan keluar dari Islam
atau belum. Dan bahwa Islam tidak memberikan kesempatan bagi mereka yang meninggalkan
shalat untuk hidup bebas di tengah-tengah masyarakat; karena menjadi kewajibannya untuk
diajak shalat, dan jika dia bersikukuh tidak mau shalat maka hukumannya dibunuh dalam
kekafiran menurut madzhab Ahmad dan yang menyetujuinya dari kalangan ulama salaf atau
dibunuh karena melanggar had (batasan dalam Islam) menurut madzhab Maliki dan Syafi‟i, atau
ditahan dan dipenjara menurut madzhab Abu Hanifah. Adapun jika yang meninggalkan shalat
dibiarkan bebas kemana-mana, maka hal ini tidak satu pun dari para ulama yang menyatakan hal
itu. Maka hendaknya disampaikan kepada seseorang yang meninggalkan shalat: “Apakah anda
ridho bahwa para ulama berbeda pendapat dalam masalah anda ini antara kekufuran, dibunuh
dan dipenjara !?”.
4. Mengingatkannya bahwa kelak akan bertemu dengan Allah –Ta‟ala-, kematian, alam kubur
dan apa yang akan terjadi kepada mereka yang meninggalkan shalat dengan suul khatimah
(penutup usia yang buruk) dan siksa kubur.
5. Menjelaskan bahwa mengakhirkan shalat dari waktu pelaksanaannya termasuk dosa besar,
sebagaimana firman Allah:
( 55/َ ٌَ ْهقَ ٌَْٕ َغٍّب ً ) يشٌى َ َث ف
َ ْٕ ض َ صَلة َ َٔاتَبَعُٕا ان
ِ ش َٓ َٕا َ َ ف ِي ٍْ بَ ْع ِذ ِْ ْى خ َْهف أ
َ ضبعُٕا ان َ َفَ َخه
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat
dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan”. (QS.
Maryam: 56)
Ibnu Mas‟ud berkata tentang makna “Al Ghayy” adalah lembah di neraka
jahannam, dasarnya jauh, baunya busuk. Allah –Ta‟ala- juga berfirman:
( 5 ،8/ٌٕصب ٌَُْٕ ) انًبع
َ صَلتِ ِٓ ْى َ ًُ فَ ٌَْٕم ِن ْه
َ ٍْ صهٍٍَِّ انَزٌٍَِ ُْ ْى َع
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari
shalatnya”. (QS. Al Ma‟uun: 4-5)
6. Menjelaskan dampak yang besar dari dinyatakannya berada dalam kekufuran, seperti
batalnya pernikahannya, diharamkan tinggal bersama dan menggauli istrinya, termasuk tidak
dimandikan, tidak dishalatkan setelah meninggal dunia. Di antara dalil yang menyatakan bahwa
mereka yang meninggalkan shalat sebagai orang kafir adalah sabda Nabi –shallallahu „alaihi wa
sallam-:
" 48( )إٌ بٍٍ انشجم ٔبٍٍ انششك ٔانكفش تشك انصَلة " سٔاِ يضهى
“Sungguh antara seseorang dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan
shalat”. (HR. Muslim: 82)
Sabda beliau –shallallahu „alaihi wa sallam- yang lain adalah:
" 8681( فًٍ تشكٓب فقذ كفش" سٔاِ انتشيزي، ) ٔابٍ يبجّ )انعٓذ انزي بٍُُب ٔبٍُٓى انصَلة864( ً(ٔانُضبئ1079(
“Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, maka barang siapa yang meninggalkan shalat
maka dia telah menjadi kafir”. (HR. Tirmidzi: 2621, Nasa‟i: 463 dan Ibnu Majah: 1079)
7. Memberinya hadiah kutaibat (buku-buku kecil) dan kaset-kaset yang berisi tentang shalat,
hukuman bagi yang meninggalkannya dan yang meremehkannya.
8. Menjauhinya pada saat dia terus-menerus meninggalkannya.
Adapun mereka yang melakukan bid‟ah, maka ada perbedaan cara bergaul dengannya sesuai
dengan jenis bid‟ah dan tingkatannya. Yang menjadi sebuah kewajiban adalah menasehati dan
mengajaknya kembali kepada Allah, dan menegakkan hujjah kepadanya, menghilangkan
syubhatnya. Jika dia masih tetap pada bid‟ahnya maka hendaknya dihajr (dijauhi) jika hajr
dianggap bermanfaat, sebelum itu yang perlu dipastikan pertama kali adalah penetapan hukum
kepada seseorang bahwa dia sebagai pelaku bid‟ah dengan merujuk pada para ulama, dan
membedakan antara bid‟ah dan pelakunya, karena bisa jadi dia dimaklumi/ dimaafkan karena
ketidaktahuannya atau karena dia melakukan takwil.
Baca juga rincian masalah ini pada “Haqiqatul Bid‟ah wa Ahkamuha” karya Sa‟id bin Nashir al
Ghamidi.
Wallahu A‟lam.
https://rumaysho.com/4902-bahaya-meninggalkan-shalat-1-dalil-al-quran.html
https://rumaysho.com/4927-bahaya-meninggalkan-shalat-2-dalil-hadits.html
https://rumaysho.com/2278-pendapat-imam-syafii-mengenai-orang-yang-meninggalkan-
shalat.html
https://www.alukah.net/sharia/0/46421/
https://dorar.net/feqhia/682/%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%B7%D9%84%D8%A8-
%D8%A7%D9%84%D8%AB%D8%A7%D9%86%D9%8A:-%D8%AD%D9%83%D9%85-
%D8%AA%D8%A7%D8%B1%D9%83-
%D8%A7%D9%84%D8%B5%D9%84%D8%A7%D8%A9-
%D8%A8%D8%A7%D9%84%D9%83%D9%84%D9%8A%D8%A9-
%D8%AA%D9%87%D8%A7%D9%88%D9%86%D8%A7-
%D9%88%D9%83%D8%B3%D9%84%D8%A7
https://www.alukah.net/sharia/0/31192/
https://konsultasisyariah.com/22020-ancaman-meninggalkan-jumatan-3-kali.html
https://islamqa.info/id/answers/186002/hukum-orang-yang-meninggalkan-shalat-jumat-
sebanyak-tiga-kali-dengan-sengaja
https://konsultasisyariah.com/23285-tidak-shalat-jumat-karena-menjadi-satpam.html
https://konsultasisyariah.com/26740-meninggalkan-jumatan-karena-menangani-pasien.html
https://konsultasisyariah.com/29577-hukum-meninggalkan-shalat-ied.html/meninggalkan-shalat-
id
https://konsultasisyariah.com/29577-hukum-meninggalkan-shalat-ied.html
https://konsultasisyariah.com/25500-jagal-yang-tidak-shalat-sembelihannya-haram.html