Anda di halaman 1dari 37

KEDUDUKAN SHALAT DALAM AGAMA ISLAM

Salah satu rukun Islam yang lima dan merupakan kewajiban terbesar setelah dua
syahadat
Rasûlullâh Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :

Islam dibangun di atas lima tiang: Syahadat Lâ ilâha illa Allâh dan Muhammad Rasûlullâh;
menegakkan shalat; memberikan zakat; haji; dan puasa Ramadhân.” [HR. Bukhâri, no. 8;
Muslim, no. 16]
Shalat merupakan tiang agama
Rasûlullâh Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :

Pokok urusan (agama) itu adalah Islam (yakni: syahadatain) , tiangnya shalat, dan puncak
ketinggiannya adalah jihad.” [HR. Tirmidzi, no: 2616; dll, dishohihkan oleh Syeikh Al-Albani]
Pembatas antara iman dengan kekafiran.
Rasûlullâh Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:

Sesungguhnya (batas) antara seseorang dengan syirik dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.
[HR. Muslim, no: 82, dari Jabir]
Rasûlullâh Shallallahu „alaihi wa sallam juga bersabda:

Perjanjian yang ada antara kami dengan mereka adalah shalat. Maka barangsiapa
meninggalkannya, dia telah kafir. [HR. Tirmidzi, no: 2621; dll; Dishohihkan oleh syeikh Al-
Albani]
Amal yang pertama kali dihisab pada hari kiamat.
Rasûlullâh Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :

Sesungguhnya pertama kali amal hamba yang akan dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya.
Jika shalatnya baik, maka dia beruntung dan sukses, namun jika shalatnya rusak, maka dia gagal
dan rugi. Jika ada sesuatu kekurangan dari shalat wajibnya, maka ar-Rabb (Allâh) Subhanahu wa
Ta‟ala berfirman, “Perhatikan (wahai para malaikat) apakah hambaKu ini memiliki shalat
tathowwu‟ (sunah), sehingga kekurangan yang ada pada shalat wajibnya bisa disempurnakan
dengannya!”. Kemudian seluruh amalannya akan dihisab seperti itu. [HR. Ibnu Majah, no: 1425;
Tirmidzi, no: 413; lafazh ini bagi imam Tirmidzi; dishohihkan oleh Syeikh Al-Albani]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan orang-orang yang beriman untuk menjaga
shalat dengan sebaik-baiknya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :

Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthâ (shalat Ashar). Dan berdirilah
untuk Allâh (dalam shalatmu) dengan khusyu‟. [Al-Baqarah/2: 238]
Shalatadalah penyejuk mata

" 3940

" " " ( 3 / 116 )


Dan Shalat itu dijadikan penyejuk mataku. (Hadits ini di Hassankan oleh Al Hafidl Ibnu Hajar
dalam kitab “ At Talkhish Al Kabir ” ( 3/ 116 ) dan di Shahihkan oleh Al Albani dalam kitab : “
Shahih An Nasaa‟i ” Hadits Riwayat An Nasaa‟i ( 3940 ).

Dari Abu Hurairah Radliyallahu Anhu sesungguhnya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam
bersabda :

(390 ) " ) 48
Perintah Shalat merupakan kebaikan yang telah dibentangkan, maka barang siapa yang bisa
memperbanyak Shalat hendaklah ia memperbanyaknya. ( Hadits Riwayat Ath Thabrani ( 1/ 84 )
dan di Shahihkan oleh Al Albani dalam kitab : “ Shahih At Targhieb ” ( 390 ).

(6 )
Artinya : (Allah tidak ingin menyulitkan kalian, akan tetapi DIA berkehendak membersihkan
kalian dan menyempurnakan Nikmat-NYA bagi kalian agar kalian senantiasa bersyukur ). Al
Maidah/ 6.
BAHAYA MENINGGALKAN SHALAT
Allâh Azza wa Jalla berfirman :

Maka datanglah sesudah mereka (yakni sesudah para Nabi), pengganti (yang jelek) yang menyia-
nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui
kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan
masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun. [Maryam/19: 59-60]
Allâh Subhanahu wa Ta‟ala berfirman :

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.
[Al-Mâ‟ûn/107: 4-5]
Oleh karena itu Allâh Subhanahu wa Ta‟ala memberitakan bahwa meninggalkan shalat
merupakan penyebab utama masuk neraka. Allâh Azza wa Jalla menceritakan jawaban para
penghuni neraka ketika ditanya oleh para penghuni surga tentang sebab masuk neraka.

Mereka (para penghuni neraka Saqor) menjawab, “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang
yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami
membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah
kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian”. Maka tidak berguna
lagi bagi mereka syafa‟at dari orang-orang yang memberikan syafa‟at.[Al-Muddatstsir/74: 43-
48]

Dosa Meninggalkan Shalat Lima Waktu Lebih Besar dari Dosa Berzina
Para Ulama Sepakat Bahwa Meninggalkan Shalat Termasuk Dosa Besar yang Lebih Besar dari
Dosa Besar Lainnya.
Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan, ”Kaum muslimin bersepakat
bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar
dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri,
dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan
kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (Ash Sholah, hal. 7)
Ibnu Hazm –rahimahullah- berkata, “Tidak ada dosa setelah kejelekan yang paling besar
daripada dosa meninggalkan shalat hingga keluar waktunya dan membunuh seorang mukmin
tanpa alasan yang bisa dibenarkan.” (Al Kaba’ir, hal. 25)
Adz Dzahabi –rahimahullah- juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga
keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat secara keseluruhan
-yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan
shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya
sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang
meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang
berbuat dosa).” (Al Kaba’ir, hal. 26-27)
HUKUM MENINGGALKAN SHALAT
Meninggalkan shalat ada dua bentuk :
1. Meninggalkan shalat sambil meyakini bahwa shalat itu tidak wajib,
Pelakunya kafir. Ini berdasarkan kesepakatan Ulama.
2. Meninggalkan shalat, karena malas namun tetap meyakini bahwa shalat itu wajib.
Dalam masalah ini para ulama Ahlus Sunnah berbeda pendapat. Sebagian mereka
berpendapat bahwa pelakunya belum kafir, sementara sebagian yang lain menghukuminya
kafir. Pendapat kedua inilah yang lebih kuat –insya Allâh- berdasarkan banyak dalil dan
perkataan as-salafush shalih. Pendapat yang menyatakan kafirnya orang yang meninggalkan
shalat adalah pendapat mayoritas Shahabat. [Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamâ‟ah min Ahlil
Ahwa‟ wal Bida‟, 1/172-177]
Bahkan sebagian Ulama menukilkan adanya ijma‟ sahabat Nabi tentang kekafiran orang
yang meninggalkan shalat. Seperti Imam Ibnu Hazm dalam kitab al-Muhalla, 2/242-243,
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Kitâbus Shalat, hlm. 26, dan Syaikh Muhammad bin
Shalih al-„Utsaimin rahimahullah dalam Syarhul Mumti‟ 2/28.
Seorang tabi‟in, Abdullâh bin Syaqîq rahimahullah, berkata, “Dahulu para sahabat Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam tidak memandang sesuatu di antara amalan-amalan yang
meninggalkannya merupakan kekafiran selain shalat”. [Riwayat al-Hakim, lihat: Mauqif Ahlis
Sunnah wal Jamâ‟ah min Ahlil Ahwa‟ wal Bida‟, 1/174]

Pertama: Pendapat yang kuat bagi orang yang meninggalkan sholat tanpa mengingkari
kewajibannya adalah dosa besar dan kufur ashghor (bukan kufur akbar, yang menjadikan orang
murtad), diantara dalilnya adalah sabda Rosululloh –shoallallahu „alaihi wasallam-:
“Ubadah bin Shamit mengatakan: saya mendengar Rasulullah –shallallahu alaihi wasallam–
bersabda: “Ada lima shalat yang diwajibkan oleh Alloh kepada para hambanya. Maka
barangsiapa mengerjakannya dan tidak meninggalkannya karena meremehkannya, niscaya ia
mendapat janji dari Alloh untuk memasukkannya ke surga. Dan barangsiapa tidak
mengerjakannya, maka ia tidak mendapatkan janji itu dari-Nya, jika Alloh berkehendak, maka Ia
akan menyiksanya, dan jika Alloh berkehendak, maka Ia akan (memaafkannya) dan
memasukkannya ke surga“. (HR. Abu Dawud, no.1420, dan dishahihkan oleh Albani).
Hadits ini, jelas menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat tanpa mengingkari
kewajibannya tidak kafir, karena seorang yang kafir tidak akan masuk surga. Ini adalah pendapat
mayoritas ulama Islam, dan dipilih oleh Syaikh Albani (lihat Silsilah Shahihah, 8/8) Wallohu
a‟lam.
Kedua: Ada perbedaan pendapat diantara ulama yang mengatakan bahwa meninggalkan shalat
tanpa mengingkari kewajibannya adalah kafir. Ada yang mengatakan ia menjadi kafir walaupun
meninggalkan satu shalat saja, ada yang mengatakan ia menjadi kafir jika meninggalkan shalat
semuanya. Diantara ulama yang memilih pendapat pertama adalah Lajnah Daimah (5/41),
sedangkan pendapat kedua dipilih oleh Syaikh Ibn Shalih Al Utsaimin (Majmu‟ Fatawa Syaikh
Al Utsaimin, 12/95).

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan, “Orang yang meninggalkan shalat
adalah kafir dengan kekufuran yang menyebabkan dia keluar dari Islam, dia diancam hukuman
mati, jika tidak bertaubat dan tidak mengerjakan shalat.”
Imam Abu Hanifah rahimahullah, Mâlik rahimahullah dan Imam Syâfi‟i rahimahullah
mengatakan, “Orang yang meninggalkan shalat adalah orang fasik dan tidak kafir”, namun,
mereka berbeda pendapat mengenai hukumannya.
Menurut Imam Mâlik rahimahullah dan Syâfi‟i rahimahullah, “Orang yang
meninggalkan shalat diancam hukuman mati sebagai hadd”,
Menurut Imam Abu Hanîfah rahimahullah, “dia diancam hukuman sebagai ta‟zîr
(peringatan), bukan hukuman mati.”

Jika permasalahan ini termasuk masalah yang diperselisihkan, maka yang wajib bagi kita adalah
mengembalikannya kepada kitâbullâh dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu „alaihi wa sallam,
karena Allâh Azza wa Jalla berfirman:
َ ‫ش ًْءٍ فَ ُح ْك ًُُّ ِإنَى‬
ِ‫ّللا‬ َ ٍْ ‫اختَهَ ْفت ُ ْى ِفٍ ِّ ِي‬
ْ ‫َٔ َيب‬
Tentang sesuatu apapun yang kamu perselisihkan, maka putusannya (terserah) kepada Allâh.
[As Syûrâ/42:10]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman, yang artinya, “Jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (al-Qur‟an) dan Rasul (as-Sunnah), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya.” [An-Nisa/4:59]
Juga karena pendapat masing-masing pihak yang berselisih memiliki kedudukan yang sama, oleh
karena itu masalah ini wajib dikembali kepada al-Qur‟ân dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu
„alaihi wa sallam .
Jika kita kembalikan permasalahan yang diperbedatkan ini kepada al-Qur‟ân dan as-Sunnah, kita
akan dapati keduanya menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat dengan kufur
akbar yang menyebabkan ia keluar (murtad) dari Islam.

Pertama : Dalil Dari Al-Qur’an:


Allâh Azza wa Jalla berfirman:
َّ ‫فَ ِئ ُْ رَبثُ٘ا َٗأَقَب ٍُ٘ا اىص َََّلحَ َٗآرَ ُ٘ا‬
ِ ‫ اى ّذ‬ِٜ‫اىضمَبحَ فَ ِئ ْخ َ٘اُّ ُن ٌْ ف‬
ِِٝ
Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah
saudara saudaramu seagama.” [At-Taubah/9:11]
Juga firman Allâh Azza wa Jalla :
َ‫بة َٗآ ٍََِ َٗػ ََِ َو صَب ِى ًحب فَأُٗ َٰىَئِل‬ َ َُْ٘ َ‫َ ْيق‬ٝ ‫ف‬
َ َ ‫﴾ إِ ََّّل ٍَ ِْ ر‬٩٥﴿ ‫ب‬ًّٞ ‫غ‬ َ َ‫د ۖ ف‬
َ ْ٘ ‫س‬ َّ ‫ف أَضَبػُ٘ا اىص َََّلحَ َٗارَّجَؼُ٘ا اى‬
ِ ‫شٖ ََ٘ا‬ َ َ‫فَ َخي‬
ٌ ‫ف ٍِ ِْ ثَ ْؼ ِذ ِٕ ٌْ َخ ْي‬
َ ََُُ٘ َ‫ُ ْظي‬ٝ ‫َ ْذ ُخيَُُ٘ ا ْى َجَّْخَ َٗ ََّل‬ٝ
‫ئًب‬ْٞ ‫ش‬
Lalu datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang
yang bertaubat, beriman dan beramal shaleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak akan
dirugikan sedikitpun. [Maryam/19:59-60]
Sisi pendalilan pada ayat kedua, surat Maryam (yang menunjukkan orang yang meninggalkan
shalat itu kafir) yaitu Allâh Azza wa Jalla berfirman tentang orang-orang yang menyia-nyiakan
shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, “kecuali orang yang bertaubat, beriman …”. Ini
menunjukkan bahwa mereka ketika menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu,
kondisi mereka tidak beriman.
Pada ayat yang pertama, dalam surat at-Taubah, sisi pendalilannya yaitu Allâh Azza wa Jalla
telah menentukan tiga syarat agar terjalin ukhuwah antara kaum Muslimin dengan kaum
musyrikin. Tiga syarat tersebut adalah:
Mereka bertaubat dari syirik.
Mereka mendirikan shalat
Mereka menunaikan zakat.
Jika mereka bertaubat dari syirik, tetapi tidak mendirikan shalat dan tidak pula menunaikan
zakat, maka mereka bukanlah saudara seagama dengan kita. Begitu pula, jika mereka mendirikan
shalat, tetapi tidak menunaikan zakat maka mereka pun bukan saudara seagama kita.
Ikatan persaudaraan karena agama itu tidak dinyatakan hilang atau lepas kecuali jika seseorang
itu keluar dari agama secara mutlak. Persaudaraan ini tidak dinyatakan hilang karena perbuatan
fasik dan perbuatan kufur yang tidak menyebabkan seseorang murtad.
Perhatikanlah firman Allâh Azza wa Jalla tentang hukuman qishâsh karena membunuh:
ُ‫ب‬
ٍ ‫س‬َ ْ‫ ِٔ ثِ ِئح‬ْٞ َ‫ٗف َٗأَدَا ٌء إِى‬ ٌ ‫ ٌء فَب ِر ّجَب‬َْٜ ‫ ِٔ ش‬ٞ‫ ىَُٔ ٍِ ِْ أ َ ِخ‬َٜ ‫ػ ِف‬
ِ ‫ع ثِب ْى ََ ْؼ ُش‬ ُ ِْ ََ َ‫ف‬
Maka barangsiapa yang diberi maaf oleh saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti
dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang
memberi maaf dengan cara yang baik (pula) .” [Al-Baqarah/2:178]
Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla masih menyebut orang yang membunuh dengan sengaja
sebagai saudara dari orang yang dibunuhnya, padahal pembunuhan dengan sengaja termasuk
dosa besar, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, “Dan barangsiapa
membunuh seorang Mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahannam, ia kekal
di dalamnya dan Allâh murka kepadanya dan mengutukinya serta menyediakan adzab yang
besar baginya.” [An-Nisâ/4:93]
Kemudian cobalah kita perhatikan firman Allâh Azza wa Jalla tentang dua golongan dari kaum
Mukminin yang berperang:
‫ أَ ٍْ ِش‬َٰٚ َ‫ َء إِى‬ٜ‫ رَ ِف‬َٰٚ َّ ‫ َحز‬ٜ‫ رَ ْج ِغ‬ٜ‫ فَقَب ِريُ٘ا اىَّ ِز‬َٰٙ ‫ ْاْل ُ ْخ َش‬َٚ‫ػي‬َ ‫َْ ُٖ ََب ۖ فَ ِئ ُْ ثَغَذْ إِحْ ذَا ُٕ ََب‬ْٞ َ‫ص ِي ُح٘ا ث‬ ْ َ ‫َِ ا ْقزَزَيُ٘ا فَأ‬ٍِِْٞ ْ‫بُ ٍَِِ ا ْى َُؤ‬ ِ َ ‫َٗ ِإ ُْ َطبئِفَز‬
ٌْ ‫ ُن‬ْٝ َ٘ ‫َِ أَ َخ‬ْٞ َ‫ص ِي ُح٘ا ث‬ْ َ ‫﴾إَِّّ ََب ا ْى َُؤْ ٍَُُِْ٘ إِ ْخ َ٘حٌ فَأ‬٥﴿ َِٞ‫ت ا ْى َُ ْقس ِِط‬
ُّ ‫ُ ِح‬ٝ َ‫ّللا‬ ُ ‫س‬
َّ َُِّ‫ط٘ا ۖ إ‬ ِ ‫ َْ ُٖ ََب ثِب ْىؼَ ْذ ِه َٗأ َ ْق‬ْٞ َ‫ص ِي ُح٘ا ث‬
ْ َ ‫ّللاِ ۖ َف ِئ ُْ َفب َءدْ فَأ‬ َّ
Dan jika ada dua golongan dari kaum Mukminin berperang, maka damaikanlah antara
keduanya, jika salah satu dari dua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain,
maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali (kepada
perintah Allâh), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah,
sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang berbuat adil. Sesungguhnya orang-orang
Mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu”. [Al-
Hujurat/49:9-10]
Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla masih menetapkan ikatan persaudaraan antara pihak
pendamai dan kedua pihak yang berperang, padahal memerangi orang Mukmin termasuk
kekufuran, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih riwayat Imam al-Bukhâri dan yang
lainnya, dari Ibnu Mas‟ûd Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
‫ق َٗقِزَبىُُٔ ُم ْف ٌش‬ ُ ُ‫س ِي ٌِ ف‬
ٌ ْ٘ ‫س‬ ْ َُ ‫بة ا ْى‬
ُ َ‫سج‬
ِ
Mencela seorang Muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran
Namun kekufuran jenis ini tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Seandainya
kekufuran ini menyebabkan keluar dari Islam maka tentu tidak lagi dinyatakan sebagai saudara
seiman, sementara ayat suci tadi telah menunjukkan bahwa kedua belah pihak meski berperang
mereka masih saudara seiman.
Dengan demikian jelas bahwa meninggalkan shalat adalah kekufuran yang menyebabkan
pelakunya keluar dari Islam, sebab jika hanya merupakan kefasikan saja atau kekufuran yang
tidak menyebabkan keluar dari Islam, maka tentu persaudaraan seagama tidak dinyatakan hilang
karenanya, sebagaimana tidak dinyatakan hilang karena membunuh dan memerangi orang
Mukmin.
Jika ada pertanyaan: Apakah anda berpendapat bahwa orang yang tidak menunaikan
zakat pun dianggap kafir, sebagaimana pengertian yang tertera dalam surat at-Taubah
tersebut ?
Jawabnya : Orang yang tidak menunaikan zakat adalah kafir, menurut pendapat sebagian
Ulama, dan ini adalah salah satu pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah,
akan tetapi pendapat yang kuat menurut kami ialah yang mengatakan bahwa ia tidak kafir,
namun terancam hukuman berat, sebagaimana terdapat dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam . Diantaranya hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam menyebutkan hukuman bagi orang yang tidak mau membayar
zakat, disebutkan di bagian akhir hadits:
َ ِ‫ ا ْى َجَّْ ِخ َٗإِ ٍَّب إ‬ٚ‫ى‬
‫ اىَّْ ِبس‬ٚ‫ى‬ َ ٙ‫َ َش‬ٝ ٌَّ ُ ‫ث‬
َ ِ‫ئَُ إِ ٍَّب إ‬ْٞ ‫س ِج‬
… Kemudian ia akan melihat jalannya, menuju ke surga atau ke neraka.
Hadits ini panjang diriwayatkan secara lengkap oleh Imam Muslim dalam bab, “Dosa Orang
yang tidak mau Membayar Zakat.”
Ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak menunaikan zakat tidak menjadi
kafir, sebab andaikata ia kafir, maka tidak akan ada jalan baginya menuju surga.
Jadi, manthûq (yang tersurat) dari hadits ini harus lebih didahulukan daripada pemahaman (yang
tersirat) dari ayat yang terdapat dalam surat at-Taubah di atas, karena (dalam ilmu ushul fiqh
dijelaskan) bahwa manthûq (kalimat yang tersurat atau tertulis) lebih didahulukan dari pada
mafhûm (pemahaman yang tersirat).
Kedua: Dalil Dari As Sunnah
Diriwayatkan dari Jâbir bin Abdillah Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda:
َّ ‫ش ِْش ِك َٗا ْى ُن ْف ِش ر َ ْشكُ اى‬
‫صَلَ ِح‬ ّ ‫َِ اى‬ْٞ ‫اىش ُج ِو َٗ َث‬
َّ َِْٞ ‫ِإَُّ َث‬
Sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan juga kekafiran adalah
meninggalkan shalat. [HR. Muslim, dalam kitab: Al-Iman] .
Diriwayatkan dari Buraidah bin al-Hushaib Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengar
Rasûlullâh Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
‫صَلَحُ َف ََ ِْ ر َ َش َمَٖب َفقَ ْذ َم َف َش‬ ْ ‫ا ْى َؼ ْٖ ُذ اىَّز‬
َّ ‫َْ ُٖ ٌُ اى‬ْٞ َ‫ََْْب َٗث‬ْٞ َ‫ ث‬ِٛ
Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya maka ia benar
benar telah kafir.” [HR. Abu Daud, Tirmidzi, an-Nasa‟i, Ibnu Mâjah dan Imam Ahmad]
Kekufuran yang dimaksudkan di sini adalah kekufuran yang menyebabkan keluar dari Islam.
Karena Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam menjadikan shalat sebagai pemisah antara orang-
orang Mukmin dan orang-orang kafir.
Diriwayatkan dalam Shahîh Muslim, dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, Rasûlullâh
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
‫ َقبىُ ْ٘ا أَفََلَ ُّ َقبرِيُ ُٖ ٌْ َقب َه َّلَ ٍَب‬،‫ َٗر َبثَ َغ‬َٜ ‫ َٗىَ ِن ِْ ٍَ ِْ َس ِض‬، ٌَ ‫س ِي‬ َ ‫ َٗ ٍَ ِْ أ َ ّْن‬،‫ا‬
َ ‫َـش‬ َ ‫ـش َُْٗ فَ ََ ِْ ػ ََش‬
َ ‫ف ثَ َش‬ ُ ‫ـشا ُء فَز َ ْؼ ِشفُ َُْ٘ َٗر ُ ْْ ِن‬
َ ٍَ ُ ‫سزَن ُُُْ٘ أ‬
َ
‫ص ُّي ْ٘ا‬
َ
Akan ada para pemimpin, dan diantara kalian ada yang mengetahui dan menolak (kemungkaran
kemungkaran yang dilakukannya). Barangsiapa mengetahui bebaslah ia, dan barangsiapa
menolaknya selamatlah ia, akan tetapi barangsiapa yang rela dan mengikuti, (tidak akan
selamat), para sahabat bertanya: bolehkah kita memerangi mereka? Rasûlullâh Shallallahu
„alaihi wa sallam menjawab:” Tidak, selama mereka mengerjakan shalat.”
Diriwayatkan pula dalam Shahîh Muslim, dari Auf bin Mâlik Radhiyallahu anhu ia berkata,
“Rasûlullâh Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
، ٌْ ‫ُ ْج ِغض َُّْ٘ ُن‬َٝٗ ٌْ ُٖ َُّْ٘ ‫َِ ر ُ ْج ِغض‬ْٝ ‫اس أَئِ ََّزِ ُن ٌُ اىَّ ِز‬
ُ ‫ش َش‬ ِ َٗ ، ٌْ ِْٖ َٞ‫ػي‬ َ َُْ٘ ُّ‫صي‬َ ُ ‫ ُن ٌْ َٗر‬ْٞ ‫ػ َي‬ َ َُٝٗ ، ٌْ ‫ُ ِحجُّ َّْ٘ ُن‬َٝٗ ٌْ ُٖ َّ ْ٘ ُّ‫َِ ر ُِحج‬ْٝ ‫بس أَئِ ََّزِ ُن ٌُ اىَّ ِز‬
َ َُْ٘ ُّ‫صي‬ ُ َٞ‫ِخ‬
َّ ‫ ُن ٌُ اى‬ْٞ ِ‫ ٍَب أ َ َقب ٍُ ْ٘ا ف‬، َ‫ْف قَب َه َّل‬
َ‫صَلَح‬ ِ ٞ‫س‬ َّ ‫ أَفََلَ َُّْب ِثزُ ُٕ ٌْ ِثبى‬،ِ‫س ْـ٘ َه هللا‬
ُ ‫َب َس‬ٝ ‫ َو‬ْٞ ِ‫ ق‬، ٌْ ‫َ ْيؼَُْ َّْ٘ ُن‬َٝٗ ٌْ ُٖ َّْ٘ َُْ‫َٗر َ ْيؼ‬
„Sebaik-baik pemimpin kalian ialah mereka yang kalian sukai dan merekapun menyukai kalian,
mereka mendo‟akan kalian dan kalian pun mendoakan mereka, sedangkan pemimpin kalian
yang paling jahat adalah mereka yang kalian benci dan merekapun membenci kalian, kalian
melaknati mereka dan merekapun melaknati kalian.‟ Beliau n ditanya, „Ya Rasulullah! Bolehkan
kita memusuhi mereka dengan pedang?‟ Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam menjawab,
“Tidak, selama mereka mendirikan shalat dilingkungan kalian.”
Kedua hadits terakhir ini menunjukkan bahwa boleh memusuhi dan memerangi para pemimpin
dengan mengangkat senjata bila mereka tidak mendirikan shalat, dan tidak boleh memusuhi dan
memerangi para pemimpin, kecuali jika mereka melakukan kekafiran yang nyata, yang bisa kita
jadikan bukti di hadapan Allâh Azza wa Jalla , berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari
Ubâdah bin ash Shâmit Radhiyallahu anhu :
‫ ٍَ ْْش َِطْب َ َٗ ٍَن َْش ِٕ َْب‬ْٜ َ‫ػ ِخ ف‬ َ ‫س َْ ِغ َٗاى َّطب‬ َّ ‫ اى‬ٚ‫ػ َي‬ َ ‫َ ْؼ َْب‬ٝ‫َْب أ َ ُْ َثب‬ْٞ ‫ػ َي‬
َ ‫ ََب أ َ َخ َز‬ْٞ ِ‫ َفنَبَُ ف‬، ُٓ‫َ ْؼَْب‬ٝ‫س َّي ٌَ َف َجب‬َ َٗ ِٔ ْٞ ‫ػ َي‬ َ ُ‫ هللا‬ٚ‫ص َّي‬ ُ ‫َدػَبَّب َس‬
َ ِ‫س ْ٘ ُه هللا‬
ُ‫ ِٔ ثُ ْش َٕب‬ْٞ ِ‫ قَب َه ِإَّلَّ أ َ ُْ ر َ َش ْٗا ُم ْف ًشا ثَ َّ٘ا ًحب ِػ ْْ َذ ُم ٌْ ٍَِِ هللاِ ف‬، َُٔ‫ـش أ َ ْٕي‬
َ ٍْ َ ‫ع ْاْل‬َ ‫ َٗأ َ ُْ َّلَ َُّْ ِبص‬، ‫ َْب‬ْٞ َ‫ػي‬
َ ‫س ِش َّب َٗأَثْ َش ٍح‬
ْ َُٝٗ َ ‫س ِشّب‬
ْ ‫ػ‬
ُ َٗ
Rasûlullâh Shallallahu „alaihi wa sallam memanggil kami, dan kamipun membai‟at Beliau, di
antara bai‟at yang diminta dari kami ialah hendaklah kami membai‟at untuk senantiasa patuh
dan taat, baik dalam keadaan senang maupun susah, dalam kesulitan maupun kemudahan, dan
mendahulukannya di atas kepentingan kami, dan janganlah kami menentang orang yang telah
terpilih dalam urusan (kepemimpinan) ini, sabda beliau:” kecuali jika kamu melihat kekafiran
yang terang- terangan yang ada buktinya bagi kalian dari Allâh.”
Atas dasar ini, maka perbuatan mereka yang meninggalkan shalat yang dijadikan oleh Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam sebagai syarat bolehnya menentang dan memerangi mereka
dengan pedang termasuk kufur bawwâh (kekafiran nyata) yang bisa kita jadikan bukti dihadapan
Allâh nanti.
Tidak ada satu nash pun dalam al-Qur‟ân ataupun as-Sunnah yang menyatakan bahwa orang
yang meninggalkan shalat itu tidak kafir, atau dia adalah Mukmin.

Jika ada pertanyaan: Apakah boleh nash-nash yang menunjukkan kekafiran orang yang
meninggalkan shalat itu dibawa pengertiannya atau diberlakukan (khusus) pada orang
yang meninggalkan shalat karena mengingkari wajibnya shalat?
Jawab:
Tidak boleh, karena akan mengakibatkan dua masalah yang berbahaya:
Pertama: Menghapuskan ketentuan (sifat) yang telah ditetapkan oleh Allâh Azza wa Jalla dan
dijadikan sebagai dasar hukum.
Allâh Azza wa Jalla telah menetapkan hukum kafir dengan sebab meninggalkan shalat, bukan
dengan sebab mengingkari kewajibannya. Allâh Azza wa Jalla menetapkan persaudaraan
seagama atas dasar pendirian shalat, bukan atas dasar pengakuan terhadap wajibnya shalat. Allâh
tidak berfirman: “Jika mereka bertaubat dan mengakui kewajiban shalat”, Nabi Muhammad n
pun tidak bersabda, “Batas pemisah antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah
mengingkari kewajiban shalat”, atau “perjanjian antara kita dan mereka ialah pengakuan
terhadap kewajiban shalat, barang siapa yang mengingkari kewajibannya maka dia telah kafir”.
Kedua: Menjadikan ketentuan (sifat) yang tidak ditetapkan oleh Allâh sebagai landasan hukum.
Mengingkari kewajiban shalat lima waktu tentu menyebabkan kekafiran bagi pelakunya yang
tidak memiliki udzur bil jahhl (artinya pengingkaran dilakukan bukan karena tidak tahu
hukumnya-red), baik dia masih mengerjakan shalat atau tidak mengerjakannya.
Jika ada seseorang yang mengerjakan shalat lima waktu dengan melengkapi segala syarat, rukun,
dan hal-hal yang wajib dan sunnah, namun dia mengingkari kewajiban shalat tersebut tanpa ada
udzur (alas an), maka orang tersebut telah kafir, sekalipun dia tidak meninggalkan shalat.
Dengan demikian, jelas bahwa membawa pengertian kafir akibat meninggalkan shalat kepada
kafir akibat menentang wajibnya shalat adalah sebuah kekeliruan. Dan yang benar ialah orang
yang meninggalkan shalat adalah kafir dengan kekafiran yang menyebabkan dia keluar dari
Islam, sebagaimana ditegaskan dalam salah satu hadits riwayat Ibnu Abi Hâtim dalam kitab
Sunan, dari Ubâdah bin Shâmit Radhiyallahu anhu ia berkata: Rasûlullâh Shallallahu „alaihi wa
sallam telah berwasiat kepada kita:
‫ فَ ََ ِْ رَ َش َمَٖب ػ ََْذًا ٍُزَؼَ ِ َّذًا فَقَ ْذ َخ َش َج ٍََِ ا ْى َِيَّ ِخ‬،‫ػ َْذًا‬
َ َ‫صَلَح‬
َّ ‫ ََّٗلَ رَزْ ُشمُ٘ا اى‬،‫ئ ًب‬ْٞ ‫ش‬
َ ِ‫َّلَ رُش ِْشم ُْ٘ا ثِبهلل‬
Janganlah kamu berbuat syirik kepada Allâh sedikitpun, dan janganlah kamu sengaja
meninggalkan shalat, barangsiapa yang benar-benar dengan sengaja meninggalkan shalat maka
ia telah keluar dari Islam.

Jika ada pertanyaan: Apakah kekafiran bagi orang yang meninggalkan shalat tidak dapat
diartikan sebagai kufur nikmat bukan kufur millah (yang menyebabkan pelakunya keluar
dari agama Islam), atau diartikan sebagai kekafiran yang tingkatannya dibawah kufur
akbar, seperti kekafiran yang disebutkan dalam hadits dibawah ini, yang mana Rasûlullâh
Shallallahu „alaihi wa sallam bersaba:
َ ُ‫َبحَخ‬ِّْٞ ‫ َٗاى‬، ‫ت‬
ِ ََِّٞ ‫ ا ْى‬َٚ‫ػي‬
‫ذ‬ َ َّْ‫ اى‬ِٜ‫بط ُٕ ََب ثِ ِٖ ٌْ ُم ْف ٌش اَى َّط ْؼُِ ف‬
ِ ‫س‬ ِ َْْ‫اث‬
ِ َّْ‫بُ ثِبى‬
Ada dua perkara terdapat pada manusia, yang keduanya merupakan suatu kekafiran bagi
mereka, yaitu: mencela keturunan dan meratapi orang yang telah mati.
Juga Sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam :
‫ق َٗقِزَبىُُٔ ُم ْف ٌش‬ ُ ُ‫س ِي ٌِ ف‬
ٌ ْ٘ ‫س‬ ْ َُ ‫بة ا ْى‬
ُ َ‫سج‬
ِ
Menghina seorang muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekafiran.”
Jawab:
Membawa pengertian kufur (akibat meninggalkan shalat) kepada kemungkinan-kemungkinan
yang di atas tidak benar, karena beberapa alasan:
Pertama: Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam telah menjadikan shalat sebagai batas pemisah
antara kekafiran dan keimanan, antara orang-orang Mukmin dan orang-orang kafir. Dan (yang
namanya-red) batas tentu akan membedakan apa yang dibatasi serta memisahkannya dari yang
lain, sehingga kedua hal yang terpisahkan itu berbeda dan tidak bisa bercampur antara yang satu
dengan yang lain.
Kedua : Shalat adalah salah satu rukun Islam, maka penyematan gelar kafir terhadap orang yang
meninggalkannya berarti kafir dan keluar dari Islam, karena dia telah menghancurkan salah satu
rukun Islam, berbeda halnya dengan penyebutan kafir terhadap orang yang mengerjakan salah
satu perbuatan-perbuatan kekafiran lainnya.
Ketiga: Keberadaan beberapa nash lain yang menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan
shalat itu kafir dengan kekafiran yang menyebabkan ia keluar dari Islam.
Oleh karena itu kekafiran ini harus difahami sesuai dengan arti tertera padanya, sehingga nash-
nash itu akan sinkron dan tidak saling bertentangan.
Keempat : Penggunaan kata kufur berbeda-beda, tentang kufur akibat meninggalkan shalat,
Beliau n bersabda:
َّ ‫ش ِْش ِك َٗا ْى ُن ْف ِش ر َ ْشكَ اى‬
‫صَلَ ِح‬ ّ ‫َِ اى‬ْٞ َ‫اىش ُج ِو َٗث‬
َّ َِْٞ َ‫ِإَُّ ث‬
Sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah
meninggalkan shalat. [HR. Muslim, dalam kitab al Îmâ]
Dalam kalimat ini digunakan kata yang ada “al“nya, dalam bentuk ma‟rifah (tertentu), yang
menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan kufur di sini adalah kekafiran yang sebenarnya,
berbeda dengan penggunaan kata kufur secara nakirah (indefinite), atau “kafara” sebagai kata
kerja, maka itu menunjukkan bahwa dia telah melakukan suatu perbuatan kekufuran, tapi bukan
kekufuran mutlak yang menyebabkan keluar dari Islam.
Apabila sudah jelas bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, keluar dari Islam,
berdasarkan dalil-dalil di atas, maka yang benar adalah pendapat yang dianut oleh Imam Ahmad
bin Hanbal rahimahullah yang juga merupakan salah satu pendapat Imam asy-Syâfi‟i,
sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya tentang firman Allâh Azza wa Jalla
dalam surat Maryam, ayat ke-59 dan 60.
Juga disebutkan oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam Kitâb ash-Shalât bahwa pendapat ini
merupakan salah satu dari dua pendapat yang ada dalam madzhab Syâfi‟i. Ath-Thahawi
menukilkan demikian dari Imam Syâfii sendiri.
Pendapat inilah yang dipegangi oleh mayoritas Shahabat, bahkan banyak Ulama yang
menyebutkan bahwa pendapat ini merupakan ijma‟ para Shahabat.
Abdullah bin Syaqîq mengatakan, ”Para sahabat Nabi g berpendapat bahwa tidak ada satupun
amal yang bila ditinggalkan menyebabkan kafir, kecuali shalat”. (Diriwayatkan oleh Tirmidzi
dan lima Ulama perawi hadits lainnya. Beliau t menilai hadits ini shahih menurut persyaratan
Imam Bukhari dan Muslim).
Ishaq bin Rahawaih rahimahullah, seorang imam terkenal mengatakan, “Diriwayatkan dari Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir.” Dan
demikianlah pendapat yang dianut oleh para Ulama sejak zaman Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam sampai sekarang ini, bahwa orang yang sengaja meninggalkan shalat tanpa ada suatu
halangan sehingga lewat waktunya adalah kafir.”
Ibnu Hazm rahimahullah menuturkan bahwa pendapat ini datang dari Umar, Abdurrahman bin
Auf, Muadz bin Jabal, Abu Hurairah, dan para Shahabat lainnya Radhiyallahu anhum, dan ia
berkata, “Dan sepengetahuan kami tidak ada seorang pun diantara Shahabat Nabi yang
menyelisihi pendapat mereka ini.”
Keterangan Ibnu Hazm rahimahullah ini telah dinukil oleh al-Mundziri dalam kitabnya at-
Targhîb wat Tarhîb, dan beliau menyebutkan tambahan nama Shahabat yaitu Abdullah bin
Mas‟ûd, Abdullah bin Abbâs, Jâbir bin Abdullah, Abu Darda‟ Radhiyallahu anhum. Lalu al-
Mundziri rahimahullah mengatakan, “Dan diantara para Ulama yang bukan dari kalangan
Shahabat adalah Ahmad bin Hanbal, Ishâq bin Rahawaih, Abdullah bin al Mubârak, an Nakhâ‟i,
al Hakam bin Utaibah, Ayub as-Sikhtiyâni, Abu Daud at-Thayâlisi, Abu Bakar bin Abi Syaibah,
Zuhair bin Harb, dan lain-lainnya.”

Jika ada pertanyaan: Apa jawaban atau bantahan terhadap dalil-dalil yang dipergunakan
oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir?
Jawabnya adalah:
Tidak disebutkan (secara gamblang-red) dalam dalil-dalil tersebut bahwa orang yang
meninggalkan shalat itu tidak kafir, atau masih Mukmin, atau tidak masuk neraka, atau masuk
surga, dan yang semisalnya.
Siapapun orang yang memperhatikan dalil-dalil itu dengan seksama pasti akan menemukan
bahwa dalil-dalil itu tidak keluar dari empat bagian (kategori) dan kesemuanya tidak
bertentangan dengan dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang
yang meninggalkan shalat adalah kafir.
Kategori pertama: Dalam dalil-dalil yang mereka sebutkan tidak ada yang cocok menjadi
pijakan pendapat yang mereka dalam masalah ini, seperti dalil yang digunakan oleh sebagian
orang, yaitu firman Allâh Azza wa Jalla :
‫َشَب ُء‬ٝ ِْ ََ ‫َ ْغ ِف ُش ٍَب ُدَُٗ َٰرَ ِىلَ ِى‬َٝٗ ِٔ ‫ُش َْشكَ ِث‬ٝ ُْ َ ‫َ ْغ ِف ُش أ‬ٝ ‫ّللاَ ََّل‬
َّ َُِّ‫إ‬
Sesungguhnya Allâh tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa
yang selain dari (syirik) itu yang Dia kehendaki.” [An-Nisâ/4:48]
Firman Allâh “ َ‫ ” ٍَب ُدَُٗ َٰرَ ِىل‬maksudnya adalah dosa-dosa yang lebih kecil daripada syirik, bukan
dosa-dosa yang selain dosa syirik, berdasarkan dalil yang menunjukkan bahwa orang yang
mendustakan apa yang diberitakan Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya adalah kafir dengan
kekufuran yang tidak diampuni, padahal dosa akibat mendustakan ini tidak termasuk dosa syirik.
(Ini menunjukkan ada dosa lain yang tidak diampuni selain dosa syirik-red)
Andaikata kita menerima bahwa firman Allâh “ َ‫ ” ٍَب ُدَُٗ َٰرَ ِىل‬maksudnya adalah dosa-dosa selain
syirik, ini pun masih masuk dalam kategori al âmm al makhsûs (dalil umum yang sudah
dikhususkan maknanya), dengan nash-nash lain yang menunjukkan adanya kekufuran yang
disebabkan oleh selain perbuatan syirik dan kekufuran yang menyebabkan pelakunya keluar dari
Islam itu termasuk dosa yang tidak diampuni, sekalipun tidak termasuk syirik.
Kategori kedua: Dalil umum yang sudah dikhususkan dengan hadits-hadits yang menunjukkan
kekafiran orang yang meninggalkan shalat. Misalnya: Sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
dalam hadits Mu‟adz bin Jabal Radhiyallahu anhu :
‫ اىَّْ ِبس‬َٚ‫ػي‬
َ ُ‫س ْ٘ىُُٔ إَِّلَّ ح ََّش ٍَُٔ هللا‬ َ ‫ش َٖ ُذ أ َ ُْ َّلَ إِىََٔ إَِّلَّ هللا ُ َٗأََُّ ٍُ َح ََّذًا‬
ُ ‫ػ ْج ُذُٓ َٗ َس‬ َ ِْ ٍِ ‫ٍَب‬
ْ َٝ ‫ػ ْج ٍذ‬
Tidak ada seorang hamba pun yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali
Allâh dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, kecuali Allâh akan haramkan ia dari api
neraka.
Inilah salah satu lafadznya, dan diriwayatkan pula dengan lafadz yang senada dengan ini dari
Abu Hurairah, Ubâdah bin Shâmit dan Itbân bin Mâlik Radhiyallahu anhum.
Kategori ketiga: Dalil umum yang muqayyad (sudah dibatasi) oleh suatu ikatan yang tidak
mungkin baginya meninggalkan shalat. Misalnya, sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
dalam hadits Itbân bin Mâlik Radhiyallahu anhu :
َ ًَ ‫فَ ِئَُّ هللاَ ح ََّش‬
ِ‫ ِثزَ ِىلَ َٗجْ َٔ هللا‬ٜ‫َ ْجزَ ِغ‬ٝ ُ‫ اى َّْ ِبس ٍَ ِْ قَب َه َّلَ إِىََٔ إَِّلَّ هللا‬ٚ‫ػ َي‬
Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan LAA
ILAHA ILLALLAH dalam rangka mencari wajah Allâh [HR. Al-Bukhâri]
Juga dalam hadits Mu‟âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda:
ُ ‫ش َٖ ُذ أ َ ُْ َّلَ إِىََٔ إَِّلَّ هللا ُ َٗأََُّ ٍُ َح ََّذًا َس‬
َ ِ‫س ْ٘ ُه هللاِ ِص ْذقًب ٍِ ِْ قَ ْي ِج ِٔ إَِّلَّ ح ََّش ٍَُٔ هللا‬
‫ اىَّْ ِبس‬َٚ‫ػي‬ ْ َٝ ‫ٍَب ٍِ ِْ أ َ َح ٍذ‬
Tidak ada seorang hamba pun yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali
Allâh, dan Muhammad adalah utusan Allâh, dengan ikhlas dari hatinya (semata-mata karena
Allâh), kecuali Allâh haramkan ia dari api neraka. [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]
Orang yang mengucapkan dua syahadat yang diharamkan masuk neraka yaitu yang terpenuhi
syarat dua syarat ikhlas dan kejujuran hati. Jika dua syarat ini terpenuhi, maka mustahil
seseorang meninggalkan shalat. Karena siapapun yang jujur dan ikhlas dalam syahadatnya
niscaya dan pasti kejujuran dan keikhlasannya akan mendorongnya untuk melaksanakan shalat.
Karena shalat merupakan tiang agama Islam, serta media komunikasi antara hamba dengan
Rabbnya.
Jika ia benar-benar mencari wajah Allâh, tentu ia akan melakukan apapun yang dapat
menghantarkannya kepada tujuannya itu, dan menjauhi segala apa yang menjadi penghalangnya.
Demikian pula orang yang mengucapkan kalimat dua syahadat secara jujur dari lubuk hatinya,
tentu kejujurannya itu akan mendorong dirinya untuk melaksanakan shalat dengan ikhlas semata-
mata karena Allâh, dan mengikuti tuntunan Rasûlullâh Shallallahu „alaihi wa sallam , karena hal
itu termasuk syarat-syarat syahadat yang benar.
Kategori keempat: Dalilnya muqayyad (terbatasi maknanya) oleh suatu kondisi yang
diperbolehkan dalam kondisi tersebut untuk meninggalkan shalat. Misalnya hadits Ibnu Mâjah
rahimahullah, dari Hudzaifah ibnul Yaman, ia mengatakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu „alaihi
wa sallam bersabda:
ٔٞ‫ة (ٗف‬ ِ ْ٘ َّ‫ اىث‬ُْٜ ‫ط َٗش‬ ُ ‫َذ ُْس‬ٝ ‫سَلَ ًُ َم ََب‬ ْ ‫ط اْ ِإل‬ َ ‫َقُ ْ٘ىُ َُْ٘ أَد َْس ْمَْب آثَب َء َّب‬ٝ ‫ ُْش َٗا ْىؼَ ُج ْ٘ ُص‬ٞ‫ ُخ ا ْى َن ِج‬ْٞ ‫ش‬
ُ ‫َذ ُْس‬ٝ) ٚ‫ػ َي‬ َّ ‫بط اى‬ ُ ِ‫ َط َ٘ائ‬َٚ‫َٗرَ ْجق‬
ِ َّْ‫ف ٍَِِ اى‬
‫َٕ ِز ِٓ ا ْى َن ِي ََ ِخ َّلَ ِإىََٔ ِإَّلَّ هللاُ َفَْحْ ُِ َّقُ ْ٘ىَُٖب‬
Islam ini akan hilang sebagaimana hilangnya perhiasan yang ada pada pakaian (dalam hadits
itu terdapat ungkapan) dan tinggallah beberapa kelompok orang, yaitu kaum lelaki dan wanita
yang tua renta, mereka berkata:”kami mendapatkan orang tua kami di atas kalimat “LAA
ILAHA ILLALLAH” ini, maka kamipun menyatakannya (seperti mereka)
Shilah bin Zufar berkata kepada Hudzaifah, “Tidak berguna bagi mereka kalimat “LAA ILAHA
ILLALLAH”, bila mereka tidak tahu apa itu shalat, puasa, haji, juga zakat.”, maka Hudzaifah
Radhiyallahu anhu menoleh kearahnya seraya menjawab, ”Wahai Shilah, kalimat itu akan
menyelamatkan mereka dari api neraka.
Orang-orang di atas yang terselamat dari neraka dengan sebab kalimat syahadat saja adalah
orang-orang yang memiliki udzur untuk tidak melaksanakan syari‟at Islam, karena mereka tidak
mengenalnya. Apa yang mereka kerjakan hanyalah apa yang mereka dapatkan saja. Kondisi
mereka sama dengan kondisi orang yang meninggal dunia sebelum syari‟at Islam diwajibkan,
atau sebelum sempat mengerjakan syari‟at Islam, seperti orang yang meninggal dunia setelah
mengucapkan dua kalimat syahadat sebelum sempat melaksanakan syari‟at Islam yang lain, atau
orang yang masuk Islam di negara kafir tetapi belum sempat mengenal syari‟at ia meninggal
dunia.
Kesimpulannya, dalil-dalil yang dipergunakan oleh yang berpendapat bahwa orang yang
meninggalkan shalat tidak kafir, tidak bisa membantah dalil-dalil yang dipergunakan oleh yang
berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir. Karena dalil-dalil yang mereka
pergunakan, adakalanya tidak mengandung sesuatu yang bisa dijadikan landasan dalam masalah
ini; Atau adakalanya terikat dengan suatu sifat yang jika sifat itu ada maka tidak mungkin dia
akan meninggalkan shalat; Atau adakalanya dalil mereka terbatasi oleh suatu kondisi yang bisa
menjadi udzur bagi seseorang untuk tidak shalat; Atau adakalanya mereka bersifat umum tapi
sudah dikhususkan dengan nash-nash yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan
shalat.
Jika sudah terbukti kekufuran orang yang meninggalkan shalat berdasarkan dalil yang kuat yang
tidak dapat disanggah dan disangkal lagi, maka hukum kafir dan segala konsekuensinya
dikenakan kepada orang yang meninggalkan shalat. Diantara konsekuensinya adalah orang yang
meninggalkan shalat tidak boleh dinikahkan dengan wanita Muslimah.

Hukum Meninggalkan Sholat dengan Sengaja


Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja hukumnya kafir, ini berarti ia telah melakukan
kekufuran yang besar menurut pendapat yang paling benar di antara dua pendapat ulama, yang
demikian ini jika orang tersebut mengakui kewajiban tersebut. Jika ia tidak mengakui kewajiban
tersebut, maka ia kafir menurut seluruh ahlul ilmi,
Karena orang yang mengingkari kewajiban shalat berarti ia mendustakan Allah dan RasulNya
serta ijma‟ ahlul ilmi wal iman, maka kekufurannya lebih besar daripada yang meninggalkannya
karena meremehkan. Untuk kedua kondisi tersebut, wajib atas para penguasa kaum Muslimin
untuk menyuruh bertaubat kepada orang yang meninggalkan shalat, jika enggan maka harus
dibunuh, hal ini berdasarkan dalil-dalil yang menunjukkan hal ini. Lain dari itu, selama masa
diperintahkan untuk bertaubat, harus mengasingkan orang yang meninggalkan shalat dan tidak
berhubungan dengannya serta tidak memenuhi undangannya sampai ia bertaubat kepada Allah
dari perbuatannya, namun di samping itu harus tetap menasehatinya dan mengajaknya kepada
kebenaran serta memperingatkannya terhadap akibat-akibat buruk karena meninggalkan shalat
baik di dunia maupun di akhirat kelak, dengan demikian diharapkan ia mau bertaubat sehingga
Allah menerima taubatnya. Kitab ad-Da‟wah, halaman 93, Ibnu Baz.

Hukum Orang yang Meninggalkan Sholat?


Ucapan para sahabat: Amirul Mukminin Umar radhiallaahu‟anhu berkata:
“Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.”[ HR. Malik, kitab ath-
Thaharah (84).]
Maksudnya, tidak ada bagian baik sedikit maupun banyak.
Abdullah bin Syaqiq mengatakan, “Para sahabat Nabi shallallaahu‟alaihi wa sallam tidak
memandang suatu amal pun yang apabila ditinggalkan akan menyebabkan kekafiran, selain
shalat.”
Adapun berdasarkan pandangan yang benar, dikatakan, apakah masuk akal bahwa seseorang di
dalam hatinya terdapat keimanan sebesar biji sawi, ia mengetahui agungnya shalat dan
pemeliharaan Allah terhadapnya, namun ia malah senantiasa meninggalkannya? Tentu saja ini
tidak masuk akal. Jika diperhatikan alasan-alasan orang yang mengatakan bahwa meninggalkan
shalat tidak menyebabkan kekufuran, maka akan ditemukan alasan-alasan itu tidak keluar dari
lima hal:
Karena tidak ada dasar dalilnya;
Atau, hal itu terkait dengan suatu kondisi atau sifat yang menghalanginya sehingga
meninggalkan shalat;
Atau, hal itu terkait dengan kondisi yang diterima uzurnya untuk meninggalkan shalat;
Atau, hal itu bersifat umum kemudian dikhususkan dengan hadits-hadits yang mengkafirkan
orang yang meninggalkan shalat;
Atau, hal itu lemah sehingga tidak bisa dijadikan alasan.
Setelah jelas bahwa orang yang meninggalkan shalat itu kafir, maka berlaku padanya hukum-
hukum orang murtad. Lagi pula, tidak disebutkan dalam nash-nash bahwa orang yang
meninggalkan shalat itu Mukmin, atau masuk surga, atau selamat dari neraka, dan sebagainya,
yang memalingkan kita dari vonis kafir terhadap orang yang meninggalkan shalat menjadi vonis
kufur nikmat atau kufur yang tidak menyebabkan kekafiran.
Ibnu Mas‟ud radhiyallahu „anhuma mengatakan bahwa „ghoyya‟ dalam ayat tersebut adalah
sungai di Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan, yang tempatnya sangat dalam. (Ash
Sholah, hal. 31)
Dalam ayat ini, Allah menjadikan tempat ini –yaitu sungai di Jahannam- sebagai tempat bagi
orang yang menyiakan shalat dan mengikuti syahwat (hawa nafsu). Seandainya orang yang
meninggalkan shalat adalah orang yang hanya bermaksiat biasa, tentu dia akan berada di neraka
paling atas, sebagaimana tempat orang muslim yang berdosa. Tempat ini (ghoyya) yang
merupakan bagian neraka paling bawah, bukanlah tempat orang muslim, namun tempat orang-
orang kafir.
Pada ayat selanjutnya juga, Allah telah mengatakan,
َ ‫َبة َٔآَ َيٍَ َٔ َع ًِ َم‬
‫صب ِن ًحب‬ َ ‫إِ ََّل َي ٍْ ت‬
”kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh”. Maka seandainya orang yang
menyiakan shalat adalah mu‟min, tentu dia tidak dimintai taubat untuk beriman.
Dalam ayat yang lain, Allah Ta‟ala berfirman,
ِ ّ‫انزكَبة َ فَئ ِ ْخ َٕاَُ ُك ْى فًِ انذ‬
ٌٍِ َ ‫فَئ ِ ٌْ ت َببُٕا َٔأَقَب ُيٕا ان‬
َ ‫ص ََلة َ َٔآَت َُٕا‬
“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah
saudara-saudaramu seagama.” (QS. At Taubah [9] : 11). Dalam ayat ini, Allah Ta‟ala
mengaitkan persaudaraan seiman dengan mengerjakan shalat. Berarti jika shalat tidak dikerjakan,
bukanlah saudara seiman. Konsekuensinya orang yang meninggalkan shalat bukanlah mukmin
karena orang mukmin itu bersaudara sebagaimana Allah Ta‟ala berfirman,
‫ِإََ ًَب ْان ًُؤْ ِيٌَُُٕ ِإ ْخ َٕة‬
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.” (QS. Al Hujurat [49] : 10)
Pembicaraan Orang yang Meninggalkan Shalat dalam Hadits
Terdapat beberapa hadits yang membicarakan masalah ini.
Dari Jabir bin „Abdillah, Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,
َ ‫ش ِْش ِك َٔ ْان ُك ْف ِش ت َْشكُ ان‬
ِ‫صَلَة‬ ّ ‫انش ُج ِم َٔبٍٍََْ ان‬
َ ٍٍََْ‫ب‬
“(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan
shalat.” (HR. Muslim no. 257).
Dari Tsauban radhiyallahu „anhu -bekas budak Nabi shallallahu „alaihi wa sallam-, beliau
mendengar Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,
َ‫ص ََلة ُ فَئِرَا ت ََش َك َٓب فَقَذْ أَ ْش َشك‬
َ ‫بٌ ان‬ ِ َٔ ‫بٍٍََْ انعَ ْب ِذ َٔبٍٍََْ ان ُك ْف ِش‬
ِ ًَ ٌْ ‫اإل‬
“Pemisah Antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia
meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih.
Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566).
Diriwayatkan dari Mu‟adz bin Jabal, Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,
ُ ‫صَلَة‬
َ ‫اإل ْصَلَ ُو َٔ َع ًُٕدُُِ ان‬ ُ ْ‫َسأ‬
ِ ‫س األ َ ْي ِش‬
”Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat.” (HR.
Tirmidzi no. 2825. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho‟if Sunan At
Tirmidzi). Dalam hadits ini, dikatakan bahwa shalat dalam agama Islam ini adalah seperti
penopang (tiang) yang menegakkan kemah. Kemah tersebut bisa roboh (ambruk) dengan
patahnya tiangnya. Begitu juga dengan islam, bisa ambruk dengan hilangnya shalat.
Para Sahabat Berijma‟ (Bersepakat), Meninggalkan Shalat adalah Kafir
Umar mengatakan,
َ ‫صَلَة‬
َ ‫َّلَ إِ ْصَلَ َو ِن ًَ ٍْ ت ََشكَ ان‬
”Tidaklah disebut muslim bagi orang yang meninggalkan shalat.”
Dari jalan yang lain, Umar berkata,
َ‫صَلَة‬
َ ‫اَّل ْصَلَ ِو ِن ًَ ٍْ ت ََشكَ ان‬ َ ‫َّٔلَ َح‬
ِ ً‫ظ ِف‬
“Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” (Dikeluarkan oleh
Malik. Begitu juga diriwayatkan oleh Sa‟ad di Ath Thobaqot, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Iman.
Diriwayatkan pula oleh Ad Daruquthniy dalam sunannya, juga Ibnu ‟Asakir. Hadits ini shohih,
sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa‟ul Gholil no. 209). Saat Umar
mengatakan perkataan di atas tatkala menjelang sakratul maut, tidak ada satu orang sahabat pun
yang mengingkarinya. Oleh karena itu, hukum bahwa meninggalkan shalat adalah kafir termasuk
ijma‟ (kesepakatan) sahabat sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim dalam kitab Ash
Sholah.
Mayoritas sahabat Nabi menganggap bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja
adalah kafir sebagaimana dikatakan oleh seorang tabi‟in, Abdullah bin Syaqiq. Beliau
mengatakan,
َ ‫ش ٍْئًب ِيٍَ األ َ ْع ًَب ِل ت َْش ُكُّ ُك ْفش َغٍ َْش ان‬
ِ‫صَلَة‬ ْ َ ‫َكبٌَ أ‬
َ ٌَْٔ ‫ َّلَ ٌَ َش‬-‫ملسو هيلع هللا ىلص‬- ‫ص َحبةُ ُي َح ًَ ٍذ‬
“Dulu para shahabat Muhammad shallallahu „alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap
suatu amal yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali shalat.” Perkataan ini
diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abdullah bin Syaqiq Al „Aqliy seorang tabi‟in dan Hakim
mengatakan bahwa hadits ini bersambung dengan menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Dan
sanad (periwayat) hadits ini adalah shohih. (Lihat Ats Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah
wal Kitab, hal. 52)
Dari pembahasan terakhir ini terlihat bahwasanya Al Qur‟an, hadits dan perkataan sahabat
bahkan ini adalah ijma‟‟ (kesepakatan) mereka menyatakan bahwa orang yang meninggalkan
shalat dengan sengaja adalah kafir (keluar dari Islam). Itulah pendapat yang terkuat dari
pendapat para ulama yang ada.
Ibnul Qayyim mengatakan, ”Tidakkah seseorang itu malu dengan mengingkari pendapat bahwa
orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, padahal hal ini telah dipersaksikan oleh Al Kitab
(Al Qur‟an), As Sunnah dan kesepakatan sahabat. Wallahul Muwaffiq (Hanya Allah-lah yang
dapat memberi taufik).” (Ash Sholah, hal. 56)

Amirul Mukminin, Umar bin Al Khoththob –radhiyallahu „anhu- mengatakan, “Sesungguhnya


di antara perkara terpenting bagi kalian adalah shalat. Barangsiapa menjaga shalat, berarti dia
telah menjaga agama. Barangsiapa yang menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan
lebih disia-siakan lagi. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan shalat.“
Imam Ahmad –rahimahullah- juga mengatakan perkataan yang serupa, “Setiap orang yang
meremehkan perkara shalat, berarti telah meremehkan agama. Seseorang memiliki bagian dalam
Islam sebanding dengan penjagaannya terhadap shalat lima waktu. Seseorang yang dikatakan
semangat dalam Islam adalah orang yang betul-betul memperhatikan shalat lima waktu.
Kenalilah dirimu, wahai hamba Allah. Waspadalah! Janganlah engkau menemui Allah,
sedangkan engkau tidak memiliki bagian dalam Islam. Kadar Islam dalam hatimu, sesuai dengan
kadar shalat dalam hatimu.“ (Lihat Ash Sholah, hal. 12)
Oleh karena itu, seseorang bukanlah hanya meyakini (membenarkan) bahwa shalat lima waktu
itu wajib. Namun haruslah disertai dengan melaksanakannya (inqiyad). Karena iman bukanlah
hanya dengan tashdiq (membenarkan), namun harus pula disertai dengan inqiyad
(melaksanakannya dengan anggota badan).
Ibnul Qoyyim mengatakan, “Iman adalah dengan membenarkan (tashdiq). Namun bukan hanya
sekedar membenarkan (meyakini) saja, tanpa melaksanakannya (inqiyad). Kalau iman hanyalah
membenarkan (tashdiq) saja, tentu iblis, Fir‟aun dan kaumnya, kaum sholeh, dan orang Yahudi
yang membenarkan bahwa Muhammad adalah utusan Allah (mereka meyakini hal ini
sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka), tentu mereka semua akan disebut orang yang
beriman (mu‟min-mushoddiq).“
Al Hasan mengatakan, “Iman bukanlah hanya dengan angan-angan (tanpa ada amalan). Namun
iman adalah sesuatu yang menancap dalam hati dan dibenarkan dengan amal perbuatan.“ (Lihat
Ash Sholah, 35-36)
Orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya
Asy Syaukani -rahimahullah- mengatakan bahwa tidak ada beda pendapat di antara kaum
muslimin tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya.
Namun apabila meninggalkan shalat karena malas dan tetap meyakini shalat lima waktu itu
wajib -sebagaimana kondisi sebagian besar kaum muslimin saat ini-, maka dalam hal ini ada
perbedaan pendapat (Nailul Author, 1/369).

Orang yang meninggalkan shalat karena malas-malasan dan tetap meyakini shalat itu
wajib,
Ada tiga pendapat di antara para ulama mengenai hal ini.
Pendapat pertama mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat harus dibunuh karena
dianggap telah murtad (keluar dari Islam). Pendapat ini adalah pendapat Imam Ahmad, Sa‟id bin
Jubair, „Amir Asy Sya‟bi, Ibrohim An Nakho‟i, Abu „Amr, Al Auza‟i, Ayyub As Sakhtiyani,
„Abdullah bin Al Mubarrok, Ishaq bin Rohuwyah, „Abdul Malik bin Habib (ulama Malikiyyah),
pendapat sebagian ulama Syafi‟iyah, pendapat Imam Syafi‟i (sebagaimana dikatakan oleh Ath
Thohawiy), pendapat Umar bin Al Khothob (sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hazm), Mu‟adz
bin Jabal, „Abdurrahman bin „Auf, Abu Hurairah, dan sahabat lainnya.
Pendapat kedua mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat dibunuh dengan hukuman
had, namun tidak dihukumi kafir. Inilah pendapat Malik, Syafi‟i, dan salah salah satu pendapat
Imam Ahmad.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat karena malas-malasan
adalah fasiq (telah berbuat dosa besar) dan dia harus dipenjara sampai dia mau menunaikan
shalat. Inilah pendapat Hanafiyyah. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 22/186-187)
BERBAGAI KASUS ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT
[Kasus Pertama]
Kasus ini adalah meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya sebagaimana mungkin
perkataan sebagian orang, „Sholat oleh, ora sholat oleh.‟ [Kalau mau shalat boleh-boleh saja,
tidak shalat juga tidak apa-apa]. Jika hal ini dilakukan dalam rangka mengingkari hukum
wajibnya shalat, orang semacam ini dihukumi kafir tanpa ada perselisihan di antara para ulama.
[Kasus Kedua]
Kasus kali ini adalah meninggalkan shalat dengan menganggap gampang dan tidak pernah
melaksanakannya. Bahkan ketika diajak untuk melaksanakannya, malah enggan. Maka orang
semacam ini berlaku hadits-hadits Nabi shallallahu „alaihi wa sallam yang menunjukkan
kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Inilah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, mayoritas ulama
salaf dari shahabat dan tabi‟in.
[Kasus Ketiga]
Kasus ini yang sering dilakukan kaum muslimin yaitu tidak rutin dalam melaksanakan shalat
yaitu kadang shalat dan kadang tidak. Maka dia masih dihukumi muslim secara zhohir (yang
nampak pada dirinya) dan tidak kafir. Inilah pendapat Ishaq bin Rohuwyah yaitu hendaklah
bersikap lemah lembut terhadap orang semacam ini hingga dia kembali ke jalan yang benar. Wal
„ibroh bilkhotimah [Hukuman baginya dilihat dari keadaan akhir hidupnya].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Jika seorang hamba melakukan sebagian perintah
dan meninggalkan sebagian, maka baginya keimanan sesuai dengan perintah yang
dilakukannya. Iman itu bertambah dan berkurang. Dan bisa jadi pada seorang hamba ada iman
dan nifak sekaligus. … Sesungguhnya sebagian besar manusia bahkan mayoritasnya di banyak
negeri, tidaklah selalu menjaga shalat lima waktu. Dan mereka tidak meninggalkan secara total.
Mereka terkadang shalat dan terkadang meninggalkannya. Orang-orang semacam ini ada pada
diri mereka iman dan nifak sekaligus. Berlaku bagi mereka hukum Islam secara zhohir seperti
pada masalah warisan dan semacamnya. Hukum ini (warisan) bisa berlaku bagi orang munafik
tulen. Maka lebih pantas lagi berlaku bagi orang yang kadang shalat dan kadang tidak.”
(Majmu’ Al Fatawa, 7/617)
[Kasus Keempat]
Kasus ini adalah bagi orang yang meninggalkan shalat dan tidak mengetahui bahwa
meninggalkan shalat membuat orang kafir. Maka hukum bagi orang semacam ini adalah
sebagaimana orang jahil (bodoh). Orang ini tidaklah dikafirkan disebabkan adanya kejahilan
pada dirinya yang dinilai sebagai faktor penghalang untuk mendapatkan hukuman.
[Kasus Kelima]
Kasus ini adalah untuk orang yang mengerjakan shalat hingga keluar waktunya. Dia selalu rutin
dalam melaksanakannya, namun sering mengerjakan di luar waktunya. Maka orang semacam ini
tidaklah kafir, namun dia berdosa dan perbuatan ini sangat tercela sebagaimana Allah berfirman,

5 8
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari
shalatnya.” (QS. Al Maa‟un [107] : 4-5)
(Lihat Al Manhajus Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, 189-190)
HUKUMAN BAGI ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT
Imam Hazm rahimahullah berkata,

“Kaum Muslimin tidak berselisih pendapat bahwa meninggalkan shalat wajib dengan sengaja
termasuk dosa besar yang terbesar, dan bahwa dosanya di sisi Allâh lebih besar daripada dosa
membunuh, merampas harta orang, berzina, mencuri, dan minum khamr. Dan bahwa pelakunya
menghadapi hukuman Allah, kemurkaanNya, dan kehinaan dariNya di dunia dan akhirat.

Kemudian ulama berbeda pendapat tentang (hukum) bunuh terhadapnya, tentang cara (hukum)
bunuh terhadapnya, dan tentang kekafirannya. (Imam) Sufyân bin Sa‟id ats-Tsauri, Abu „Amr al-
Auza‟i, Abdullâh bin al-Mubârak, Hammad bin bin Zaid, Waki‟ bin al-Jarrah, Mâlik bin Anas,
Muhammad bin Idris asy-Syâfi‟i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahûyah dan murid-murid,
mereka berfatwa bahwa orang yang meninggalkan shalat di (hukum) bunuh.

Kemudian mereka berbeda pendapat tentang cara (hukum) bunuh terhadapnya. Mayoritas
mereka berkata, “Dibunuh dengan pedang dengan cara dipenggal lehernya”. Sebagian pengikut
imam Syâfi‟i berkata, “Dia dipukul dengan kayu sampai dia shalat atau dia mati”. Ibnu Suraij
berkata, “Dia ditusuk dengan pedang sampai mati, karena hal itu lebih sempurna di dalam
menghentikannya dan lebih diharapkan untuk kembali (taubat)”. [Ash-Shalat wa Hukmu
Tarikiha, hlm. 29-30]
Hukum bunuh tersebut tentu penguasa yang berhak melakukan setelah pelakunya diminta
untuk bertaubat dan melakukan shalat, namun dia menolaknya.

DI ANTARA HUKUM-HUKUM MURTAD YANG BERLAKU TERHADAP ORANG


YANG MENINGGALKAN SHALAT:
Pertama: Ia tidak sah menikah. Jika terjadi akad nikah maka nikahnya batal dan isterinya tidak
halal baginya. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta‟ala tentang para wanita yang
berhijrah:
ِ َ‫ث فَ ََل ت َْش ِجعُْٕ ٍَُ ِإنَى ْان ُكف‬
‫بس ََّل ْ ٍَُ ِح ٌّم نَ ُٓ ْى َٔ ََّل ُْ ْى ٌَ ِحهٌَُّٕ نَ ُٓ ٍَ َٔآتُُْٕى َيب أََفَقُٕا‬ ٍ ‫فَئ ِ ٌْ َع ِه ًْت ُ ًُْٕ ٍَُ ُيؤْ ِيَُب‬
“Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi
orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka.” (Qs. Al-Mumtahanah:
10)
Kedua: Jika ia meninggalkan shalat setelah akad nikah, maka pernikahannya menjadi gugur
sehingga isterinya tidak lagi halal baginya. Hal ini juga berdasarkan ayat yang telah disebutkan
tadi. Dan menurut rincian para ahlul ilmi, bahwa hukum ini berlaku baik setelah bercampur
maupun belum.
Ketiga: Orang yang tidak melaksanakan shalat, jika ia menyembelih hewan, maka daging hewan
sembelihannya tidak halal dimakan, karena daging itu menjadi haram. Padahal, sembelihan
orang Yahudi dan Nasrani dihalalkan bagi kita untuk memakannya. Ini berarti -na‟udzu billah-
sembelihan orang yang tidak shalat itu lebih buruk daripada sembelihan orang Yahudi dan
Nasrani.
Keempat: Ia tidak boleh memasuki Makkah atau batas-batas kesuciannya berdasarkan firman
Allah subhanahu wa ta‟ala:
ّ ‫َ ٌُ ْْ ٍُِ ُك ُى‬
ْ َ‫ّللاُ ِيٍ ف‬
ٌِ‫ْ ِه ِّ إ‬ َ َ‫بي ِٓ ْى َْـزَا َٔإِ ٌْ ِخ ْفت ُ ْى َع ٍْهَتً ف‬
َ ْٕ ‫ض‬ َ ‫ٌَب أٌَُّ َٓب انَزٌٍَِ آ َيُُٕاْ إََِ ًَب ْان ًُ ْش ِش ُكٌَٕ ََ َجش فََلَ ٌَ ْق َشبُٕاْ ْان ًَض ِْجذَ ْان َح َش‬
ِ ‫او بَ ْعذَ َع‬
ّ ٌَ ِ‫شَبء إ‬
‫ّللاَ َع ِهٍى َح ِكٍى‬
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka
janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir
menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberi kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia
menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. At-Taubah:
28)
Kelima: Jika ada kerabatnya yang meninggal, maka ia tidak boleh ikut serta dalam warisan.
Misalnya, ada seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan seorang anak yang tidak shalat.
Orang yang meninggal itu seorang Muslim yang shalat, sementara si anak itu tidak shalat, di
samping itu ada juga sepupunya. Siapakah yang berhak mewarisinya? Tentu saja sepupunya,
adapun anaknya tidak ikut mendapat warisan, hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallaahu‟alaihi
wasallam dalam hadits Usamah:
‫ث ْان ًُ ْض ِه ُى ْانكَبفِ َش ََّٔلَ ْانكَبفِ ُش ْان ًُ ْض ِه َى‬
ُ ‫َّلَ ٌَ ِش‬
“Seorang Muslim tidak mewarisi yang kafir dan seorang kafir tidak mewarisi orang Muslim.”
(Muttafaq „Alaih) [Muttafaq „Alaih; al-Bukhari, kitab al-Fara‟idh (6764), Muslim, kitab al-
Fara‟idh (1614).]
Juga berdasarkan sabda Nabi shallallaahu‟alaihi wasallam:
‫ً فَ ُٓ َٕ أل َ ْٔنَى َس ُج ٍم رَك ٍَش‬ َ ِ‫ْن ِحقُٕا ْانفَ َشائ‬
َ ‫ض بِأ َ ْْ ِه َٓب فَ ًَب بَ ِق‬
“Bagikan harta warisan kepada para ahlinya, adapun sisanya adalah untuk laki-laki yang paling
berhak.” [Al-Bukhari, kitab al-Fara‟idh (6732), Muslim, kitab al-Fara‟idh (1615).]
Hal ini pun berlaku untuk semua warisan.
Keenam: Jika ia meninggal, maka mayatnya tidak dimandikan, tidak dikafani, tidak dishalatkan
dan tidak dikubur di pekuburan kaum Muslimin. Lalu, apa yang harus kita lakukan? Kita
keluarkan mayatnya ke padang pasir, lalu dibuatkan lobang, kemudian kita kubur langsung
dengan pakaiannya, karena mayat itu tidak terhormat. Berdasarkan ini, tidak boleh seseorang
yang ditinggal mati oleh orang yang ia ketahui tidak shalat, untuk mempersilahkan kaum
Muslimin menyalatinya.
Ketujuh: Bahwa pada hari kiamat nanti ia akan dikumpulkan bersama Firaun, Haman, Qarun,
Ubay bin Khalaf dan para pemimpin kaum kafir -na‟udzu billah-, dan ia tidak akan masuk surga.
Kemudian, tidak boleh keluarganya untuk memohonkan rahmat dan ampunan baginya, karena ia
seorang kafir yang tidak berhak mendapatkan itu, hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu
wa ta‟ala:
ْ َ‫ً ِ َٔانَزٌٍَِ آ َيُُٕاْ أٌَ ٌَ ْضت َ ْْ ِف ُشٔاْ ِن ْه ًُ ْش ِشكٍٍَِ َٔنَ ْٕ كَبَُٕاْ أ ُ ْٔ ِنً قُ ْشبَى ِيٍ بَ ْع ِذ َيب تَبٍٍَََ نَ ُٓ ْى أَََ ُٓ ْى أ‬
‫ص َحبةُ ْان َج ِح ٍِى‬ ّ ‫َيب َكبٌَ ِنهَُ ِب‬
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada
Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya),
sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka
Jahannam.” (Qs. At-Taubah: 113)
Jadi, saudara-saudaraku, masalah ini sangat berbahaya, namun sayangnya, masih ada orang yang
menganggap remeh masalah ini, di antaranya ialah dengan menempatkan orang yang tidak shalat
di rumahnya, padahal itu tidak boleh.Wallahu a‟lam. Semoga shalawat dan salam senantisa
dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
Risalah Shifat Shalatin Nabi, hal. 29-30, Ibnu Utsaimin.

CARA TAUBAT ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT


Allah berfirman,

“Sesungguhnya shalat merupakan kewajiban bagi orang beriman yang telah ditetapkan
waktunya.” (QS. An-Nisa: 103).
Allah menegaskan dalam al-Quran, bahwa shalat merupakan ibadah yang dibatasi
waktunya. Ada batas awal dan ada batas akhir. Sebagaimana tidak sah melakukan shalat sebelum
waktu, juga tidak sah melakukan shalat, setelah keluar waktu. Hanya saja, bagi mereka yang
tidak sengaja meninggalkan shalat, misalnya karena ketiduran atau lupa, diberi toleransi untuk
mengqadha‟nya, dengan mengerjakannya ketika bangun atau ketika ingat.
Pada prinsipnya, inti dari taubat ada 5 :
Ikhlas dengan memohon ampun kepada Allah [‫]اَّلصتْفبس‬
Meninggalkan dosa yang dilakukan [‫]اَّلقَلع‬
Menyesali perbuatannya [‫]انُذو‬, sehingga dia mengakui apa yang dia lakukan adalah kesalahan
Bertekad untuk mengulangi [‫]انعزو‬. Tekad ini yang akan menghalangi dia jangan sampai
melanjutkan dosanya.
Melakukan perbaikan [‫]اَّلصَلح‬. Melakukan upaya yang bisa memperbaiki dirinya.
Allah berfirman,
Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama)
Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah
bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang
beriman pahala yang besar. (QS. an-Nisa: 146).

Bagi orang yang kelupaan dan ketiduran, harus menebus kesalahan meninggalkan shalat
ketika bangun atau ketika dia ingat.
Dari Anas bin Malik, bahwa Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,

“Barang siapa yang kelupaan shalat atau tertidur sehingga terlewat waktu shalat maka
penebusnya adalah dia segera shalat ketika ia ingat.” (HR. Ahmad 11972 dan Muslim 1600).
Nabi shallallahu „alaihi wa sallam mengatakan,

“Siapa yang lupa shalat, maka dia harus shalat ketika ingat. Tidak ada kaffarah untuk
menebusnya selain itu.” (HR. Bukhari 597 & Muslim 1598)
Ketika orang meninggalkan shalat dengan sengaja, kemudian dia mengerjakan shalat
ketika taubat, hakekat yang terjadi : Dia mengerjakan shalat di luar waktu. Dan mengerjakan
shalat setelah waktunya habis, statusnya tidak sah. Dia melakukan kaffarah (penebus dosa) yang
tidak ada panduannya dari dalil. Sementara penebusan kesalahan meninggalkan shalat yang
disebutkan dalam dalil, hanya berlaku untuk mereka yang ketiduran atau kelupaan.
Siapa saja yang meninggalkan shalat wajib, agar segera bertaubat dan perbanyak
melakukan shalat sunah.
Dengan harapan, shalat sunah yang dia kerjakan bisa menjadi penebus kesalahannya.
Nabi shallallahu „alaihi wa sallam yang menjelaskan proses hisab amal hamba,

: . ‫إ‬

“Amal manusia pertama yang akan dihisab kelak di hari kiamat adalah shalat. Allah bertanya
kepada para Malaikatnya – meskipun Dia paling tahu – “Perhatikan shalat hamba-Ku, apakah dia
mengerjakannya dengan sempurna ataukah dia menguranginya?” Jika shalatnya sempurna,
dicatat sempurna, dan jika ada yang kurang, Allah berfirman, “Perhatikan, apakah hamba-Ku
memiliki shalat sunah?.” jika dia punya shalat sunah, Allah perintahkan, “Sempurnakan catatan
shalat wajib hamba-Ku dengan shalat sunahnya.” (HR. Nasai 465, Abu Daud 864, Turmudzi
415, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Syaikhul Islam mengatakan,

“Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, tidak disyariatkan meng-qadhanya. Dan jika
dilakukan, shalat qadhanya tidak sah. Namun yang dia lakukan adalah memperbanyak shalat
sunah. Ini meruapakan pendapat sebagian ulama masa silam.” (al-ikhtiyarot, hlm. 34).
Ibnu Hazm mengatakan,
“Siapa yang sengaja meninggalkan shalat sampai keluar waktunya, maka selama dia tidak bisa
mengqadha‟-nya. Hendaknya dia memperbanyak amal soleh dan shalat sunah, agar memperberat
timbangannya keelah di hari kiamat. Dia harus bertaubat dan banyak istighfar.” (al-Muhalla,
2/279).
Karena itu, kewajiban orang yang pernah meninggalkan shalat wajib, dan sekarang telah
bertaubat, Banyak memohon ampun kepada Allah, Memperbanyak shalat sunah, Mencari
komunitas yang baik, yang bisa memotivasi dirinya untuk menjaga shalat, Dan jangan lupa untuk
bersyukur kepada Allah atas nikmat hidayah untuk taubat.

Cara Efektif Untuk Mendakwahi Mereka Yang Meninggalkan Shalat dan Cara Bergaul
Dengan Para Ahli Bid’ah
Hendaknya melihat kondisi mad‟u dalam pelaksanaan shalat atau bentuk ibadah lainnya,
demikian juga hendaknya memperhatikan metode targhib (anjuran) dan tarhib (ancaman) yang
sesuai, meskipun hukum asalnya secara umum hendaknya digabungkan antara keduanya.
Kemudian adalah sangat penting untuk memperhatikan kondisi para mad‟u dalam hal
penerimaan dan penolakannya, pengaruh dari nasehat yang disampaikan atau malah
menjauhinya.
Kedua:
Cara efektif untuk mendakwahi mereka yang meninggalkan shalat adalah sebagai berikut:
1. Mengingatkannya akan kewajiban shalat dan bahwa shalat adalah rukun Islam yang paling
agung setelah dua kalimat syahadat.
2. Mengajarinya tentang keutamaan shalat; karena shalat adalah sebaik-baik yang telah
diwajibkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya dan sebaik-baik cara seorang hamba
bertaqarrub kepada Rabbnya. Ibadah shalat adalah ibadah yang pertama kali dihisab dari semua
urusan agamanya, shalat lima waktu akan menjadi penghapus dosa disela-selanya, selama tidak
melakukan dosa besar, satu kali sujud saja akan mengangkat satu derajat seorang hamba dan
menggugurkan satu kesalahan dan lain sebagainya dari semua keutamaan shalat. Semua itu bagi
seorang hamba akan menjadikan jiwanya semangat untuk mendirikannya in sya Allah, mudah-
mudahan shalat akan menjadi penyejuk mata baginya, sebagaimana telah menjadi penyejuk mata
Nabi –shallallahu „alaihi wa sallam-.
3. Mengajarinya bahwa ada ancaman keras bagi mereka yang meninggalkan shalat, dan
adanya perbedaan para ulama apakah yang meninggalkan shalat telah kafir dan keluar dari Islam
atau belum. Dan bahwa Islam tidak memberikan kesempatan bagi mereka yang meninggalkan
shalat untuk hidup bebas di tengah-tengah masyarakat; karena menjadi kewajibannya untuk
diajak shalat, dan jika dia bersikukuh tidak mau shalat maka hukumannya dibunuh dalam
kekafiran menurut madzhab Ahmad dan yang menyetujuinya dari kalangan ulama salaf atau
dibunuh karena melanggar had (batasan dalam Islam) menurut madzhab Maliki dan Syafi‟i, atau
ditahan dan dipenjara menurut madzhab Abu Hanifah. Adapun jika yang meninggalkan shalat
dibiarkan bebas kemana-mana, maka hal ini tidak satu pun dari para ulama yang menyatakan hal
itu. Maka hendaknya disampaikan kepada seseorang yang meninggalkan shalat: “Apakah anda
ridho bahwa para ulama berbeda pendapat dalam masalah anda ini antara kekufuran, dibunuh
dan dipenjara !?”.
4. Mengingatkannya bahwa kelak akan bertemu dengan Allah –Ta‟ala-, kematian, alam kubur
dan apa yang akan terjadi kepada mereka yang meninggalkan shalat dengan suul khatimah
(penutup usia yang buruk) dan siksa kubur.
5. Menjelaskan bahwa mengakhirkan shalat dari waktu pelaksanaannya termasuk dosa besar,
sebagaimana firman Allah:
( 55/‫َ ٌَ ْهقَ ٌَْٕ َغٍّب ً ) يشٌى‬ َ َ‫ث ف‬
َ ْٕ ‫ض‬ َ ‫صَلة َ َٔاتَبَعُٕا ان‬
ِ ‫ش َٓ َٕا‬ َ َ ‫ف ِي ٍْ بَ ْع ِذ ِْ ْى خ َْهف أ‬
َ ‫ضبعُٕا ان‬ َ َ‫فَ َخه‬
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat
dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan”. (QS.
Maryam: 56)
Ibnu Mas‟ud berkata tentang makna “Al Ghayy” adalah lembah di neraka
jahannam, dasarnya jauh, baunya busuk. Allah –Ta‟ala- juga berfirman:
( 5 ،8/ٌٕ‫صب ٌَُْٕ ) انًبع‬
َ ‫صَلتِ ِٓ ْى‬ َ ًُ ‫فَ ٌَْٕم ِن ْه‬
َ ٍْ ‫صهٍٍَِّ انَزٌٍَِ ُْ ْى َع‬
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari
shalatnya”. (QS. Al Ma‟uun: 4-5)
6. Menjelaskan dampak yang besar dari dinyatakannya berada dalam kekufuran, seperti
batalnya pernikahannya, diharamkan tinggal bersama dan menggauli istrinya, termasuk tidak
dimandikan, tidak dishalatkan setelah meninggal dunia. Di antara dalil yang menyatakan bahwa
mereka yang meninggalkan shalat sebagai orang kafir adalah sabda Nabi –shallallahu „alaihi wa
sallam-:
" 48( ‫)إٌ بٍٍ انشجم ٔبٍٍ انششك ٔانكفش تشك انصَلة " سٔاِ يضهى‬
“Sungguh antara seseorang dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan
shalat”. (HR. Muslim: 82)
Sabda beliau –shallallahu „alaihi wa sallam- yang lain adalah:
" 8681( ‫ فًٍ تشكٓب فقذ كفش" سٔاِ انتشيزي‬، ‫) ٔابٍ يبجّ )انعٓذ انزي بٍُُب ٔبٍُٓى انصَلة‬864( ً‫(ٔانُضبئ‬1079(
“Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, maka barang siapa yang meninggalkan shalat
maka dia telah menjadi kafir”. (HR. Tirmidzi: 2621, Nasa‟i: 463 dan Ibnu Majah: 1079)
7. Memberinya hadiah kutaibat (buku-buku kecil) dan kaset-kaset yang berisi tentang shalat,
hukuman bagi yang meninggalkannya dan yang meremehkannya.
8. Menjauhinya pada saat dia terus-menerus meninggalkannya.
Adapun mereka yang melakukan bid‟ah, maka ada perbedaan cara bergaul dengannya sesuai
dengan jenis bid‟ah dan tingkatannya. Yang menjadi sebuah kewajiban adalah menasehati dan
mengajaknya kembali kepada Allah, dan menegakkan hujjah kepadanya, menghilangkan
syubhatnya. Jika dia masih tetap pada bid‟ahnya maka hendaknya dihajr (dijauhi) jika hajr
dianggap bermanfaat, sebelum itu yang perlu dipastikan pertama kali adalah penetapan hukum
kepada seseorang bahwa dia sebagai pelaku bid‟ah dengan merujuk pada para ulama, dan
membedakan antara bid‟ah dan pelakunya, karena bisa jadi dia dimaklumi/ dimaafkan karena
ketidaktahuannya atau karena dia melakukan takwil.
Baca juga rincian masalah ini pada “Haqiqatul Bid‟ah wa Ahkamuha” karya Sa‟id bin Nashir al
Ghamidi.
Wallahu A‟lam.
https://rumaysho.com/4902-bahaya-meninggalkan-shalat-1-dalil-al-quran.html
https://rumaysho.com/4927-bahaya-meninggalkan-shalat-2-dalil-hadits.html
https://rumaysho.com/2278-pendapat-imam-syafii-mengenai-orang-yang-meninggalkan-
shalat.html
https://www.alukah.net/sharia/0/46421/
https://dorar.net/feqhia/682/%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%B7%D9%84%D8%A8-
%D8%A7%D9%84%D8%AB%D8%A7%D9%86%D9%8A:-%D8%AD%D9%83%D9%85-
%D8%AA%D8%A7%D8%B1%D9%83-
%D8%A7%D9%84%D8%B5%D9%84%D8%A7%D8%A9-
%D8%A8%D8%A7%D9%84%D9%83%D9%84%D9%8A%D8%A9-
%D8%AA%D9%87%D8%A7%D9%88%D9%86%D8%A7-
%D9%88%D9%83%D8%B3%D9%84%D8%A7
https://www.alukah.net/sharia/0/31192/

https://konsultasisyariah.com/22020-ancaman-meninggalkan-jumatan-3-kali.html
https://islamqa.info/id/answers/186002/hukum-orang-yang-meninggalkan-shalat-jumat-
sebanyak-tiga-kali-dengan-sengaja
https://konsultasisyariah.com/23285-tidak-shalat-jumat-karena-menjadi-satpam.html
https://konsultasisyariah.com/26740-meninggalkan-jumatan-karena-menangani-pasien.html

https://konsultasisyariah.com/29577-hukum-meninggalkan-shalat-ied.html/meninggalkan-shalat-
id
https://konsultasisyariah.com/29577-hukum-meninggalkan-shalat-ied.html
https://konsultasisyariah.com/25500-jagal-yang-tidak-shalat-sembelihannya-haram.html

Dan salah seorang Ahli Hikmah berkata :

“Tidaklah angan-angan itu akan menjadi kenyataan melainkan dengan beramal ”

Anda mungkin juga menyukai