Anda di halaman 1dari 7

Bismillah, pada kesempatan kali ini saya akan membahas materi tentang berusaha melaksanakan sholat

sunnah rawatib dan sholat dhuha. Semoga dengan pembahasan ini, kita semua bisa lebih maksimal
dalam mengerjakan shalat sunnah rawatib dan sholat dhuha.

Sesungguhnya diantara hikmah dan rahmat Allah atas hambanya adalah disyariatkannya At-
tathowwu’ (ibadah tambahan). Dan dijadikan pada ibadah wajib diiringi dengan adanya at-
tathowwu’ dari jenis ibadah yang serupa. Hal itu dikarenakan untuk melengkapi kekurangan yang
terdapat pada ibadah wajib.

Dan sesungguhnya at-tathowwu’ (ibadah sunnah) di dalam ibadah shalat yang paling utama adalah
shalat sunnah rawatib. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa mengerjakannya dan tidak pernah
sekalipun meninggalkannya dalam keadaan mukim (tidak bepergian jauh).
Mengingat pentingnya ibadah ini, serta dikerjakannya secara berulang-ulang sebagaimana shalat fardhu,
saya akan menjalaskannya dengan singkat

Keutamaan Shalat Sunnah Rawatib


Ummu Habibah radiyallahu ‘anha telah meriwayatkan sebuah hadits tentang keutamaan shalat sunnah
rawatib, dia berkata: saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang shalat dua belas rakaat pada siang dan malam, maka akan dibangunkan baginya rumah di surga“.

Ummu Habibah berkata: saya tidak pernah meninggalkan shalat sunnah rawatib semenjak mendengar
hadits tersebut. ‘Anbasah berkata: Maka saya tidak pernah meninggalkannya setelah mendengar hadits
tersebut dari Ummu Habibah. ‘Amru bin Aus berkata: Saya tidak pernah meninggalkannya setelah
mendengar hadits tersebut dari ‘Ansabah. An-Nu’am bin Salim berkata: Saya tidak pernah
meninggalkannya setelah mendengar hadits tersebut dari ‘Amru bin Aus. (HR. Muslim no. 728).

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha telah meriwayatkan sebuah hadits tentang shalat sunnah rawatib sebelum
(qobliyah) shubuh, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Dua rakaat sebelum shubuh
lebih baik dari dunia dan seisinya“. Dalam riwayat yang lain, “Dua raka’at sebelum shubuh lebih aku
cintai daripada dunia seisinya” (HR. Muslim no. 725)

Adapun shalat sunnah sebelum shubuh ini merupakan yang paling utama di antara shalat sunnah
rawatib dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya baik ketika mukim
(tidak berpegian) maupun dalam keadaan safar.

Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha telah meriwayatkan tentang keutamaan rawatib dzuhur, dia berkata:
saya mendengar rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menjaga (shalat)
empat rakaat sebelum dzuhur dan empat rakaat sesudahnya, Allah haramkan baginya api neraka“. (HR.
Ahmad 6/325, Abu Dawud no. 1269, At-Tarmidzi no. 428, An-Nasa’i no. 1814, Ibnu Majah no. 1160)

Jumlah Shalat Sunnah Rawatib


Hadits Ummu Habibah di atas menjelaskan bahwa jumlah shalat sunnah rawatib ada 12 rakaat dan
penjelasan hadits 12 rakaat ini diriwayatkan oleh At-Tarmidzi dan An-Nasa’i, dari ‘Aisyah radiyallahu
‘anha, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak
meninggalkan dua belas (12) rakaat pada shalat sunnah rawatib, maka Allah akan bangunkan baginya
rumah di surga, (yaitu): empat rakaat sebelum dzuhur, dan dua rakaat sesudahnya, dan dua rakaat
sesudah maghrib, dan dua rakaat sesudah ‘isya, dan dua rakaat sebelum subuh“. (HR. At-Tarmidzi no.
414, An-Nasa’i no. 1794)

Waktu Mengerjakan Shalat Rawatib


Ibnu Qudamah berkata: “Setiap sunnah rawatib qobliyah maka waktunya dimulai dari masuknya waktu
shalat fardhu hingga shalat fardhu dikerjakan, dan shalat rawatib ba’diyah maka waktunya dimulai dari
selesainya shalat fardhu hingga berakhirnya waktu shalat fardhu tersebut “. (Al-Mughni 2/544)

Tentang Sholat Dhuha


Shalat dhuha adalah shalat sunnah yang dikerjakan di waktu dhuha, yaitu awal dari waktu siang. Shalat
dhuha memiliki banyak keutamaan dan ganjaran yang besar dari Allah Ta’ala.

Hukum Shalat Dhuha


Ulama empat madzhab sepakat bahwa shalat dhuha hukumnya sunnah. Diantara dalilnya hadits Abu
Dzar radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Di pagi hari ada kewajiban bagi seluruh persendian kalian untuk bersedekah. Maka setiap bacaan
tasbih adalah sedekah, setiap bacaan tahmid adalah sedekah, setiap bacaan tahlil adalah sedekah, dan
setiap bacaan takbir adalah sedekah. Demikian juga amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah sedekah.
Semua ini bisa dicukupi dengan melaksanakan salat dhuha sebanyak dua raka’at” (HR. Muslim no. 720).

Dari Buraidah Al Aslami radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Manusia memiliki 360 sendi, diwajibkan untuk bersedekah sedekah untuk setiap sendinya”. Para
sahabat bertanya, ”Siapa yang mampu melakukan demikian, wahai Nabi Allah?”. Nabi bersabda,
”Cukup dengan menutup dahak yang ada di lantai masjid dengan tanah dan menghilangkan gangguan
dari jalanan. Apabila engkau tidak mendapatinya, maka lakukanlah dua raka’at shalat Dhuha yang itu
bisa mencukupimu” (HR. Abu Daud no.5242, dishahihkan Al Albani dalam Irwaul Ghalil [2/213]).

Juga hadits dari Abud Darda’ radhiallahu’anhu, ia berkata:“Kekasihku (Rasulullah Shallallahu’alaihi


Wasallam) mewasiatkan aku untuk tidak meninggalkan tiga perkara selama aku masih hidup: puasa tiga
hari di setiap bulan, salat dhuha dan tidak tidur sampai aku salat witir” (HR. Muslim no. 722).

Hadits yang mirip juga diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, ia berkata: “Kekasihku
(Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam) mewasiatkan aku utiga perkara: puasa tiga hari di setiap bulan,
dua raka’at shalat dhuha dan shalat witir sebelum tidur” (HR. Bukhari no. 1178, Muslim no. 721).

Keutamaan Shalat Dhuha


Pertama, Shalat dhuha menggantikan kewajiban sedekah untuk semua persendian sebagaimana dalam
hadits Abu Dzar dan Buraidah di atas. Dari Nu’aim bin Hammar Al Ghathafani, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: Wahai anak Adam, janganlah engkau tinggalkan
empat raka’at shalat di awal siang (di waktu Dhuha). Maka itu akan mencukupimu di akhir siang” (HR.
Tirmidzi no. 475, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ no. 4342).

Kedua, Shalat dhuha juga disebut sebagai shalat awwabin, yaitu shalatnya orang-orang yang banyak
kembali kepada Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda:
“Shalat awwabin adalah ketika anak unta merasakan terik matahari” (HR. Muslim no. 748).
Ketiga, akan dicukupi urusan di akhir siang
Dari Nu’aim bin Hammar Al Ghothofaniy, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Allah Ta’ala berfirman: Wahai anak Adam, janganlah engkau tinggalkan empat raka’at shalat di awal
siang (di waktu Dhuha). Maka itu akan mencukupimu di akhir siang.” (HR. Ahmad (5/286), Abu Daud no.
1289, At Tirmidzi no. 475, Ad Darimi no. 1451 . Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Penulis ‘Aunul Ma’bud –Al ‘Azhim Abadi- menyebutkan, “Hadits ini bisa mengandung pengertian bahwa
shalat Dhuha akan menyelematkan pelakunya dari berbagai hal yang membahayakan. Bisa juga
dimaksudkan bahwa shalat Dhuha dapat menjaga dirinya dari terjerumus dalam dosa atau ia pun akan
dimaafkan jika terjerumus di dalamnya. Atau maknanya bisa lebih luas dari itu.” (‘Aunul Ma’bud, 4: 118)

At Thibiy berkata, “Yaitu  engkau akan diberi kecukupan dalam kesibukan dan urusanmu, serta akan
dihilangkan dari hal-hal yang tidak disukai setelah engkau shalat hingga akhir siang. Yang dimaksud,
selesaikanlah urusanmu dengan beribadah pada Allah di awal siang (di waktu Dhuha), maka Allah akan
mudahkan urusanmu di akhir siang.” (Tuhfatul Ahwadzi, 2: 478).
 
Keempat, Mendapat pahala haji dan umrah yang sempurna
Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang melaksanakan shalat shubuh secara berjama’ah lalu ia duduk sambil berdzikir pada
Allah hingga matahari terbit, kemudian ia melaksanakan shalat dua raka’at, maka ia seperti memperoleh
pahala haji dan umroh.” Beliau pun bersabda, “Pahala yang sempurna, sempurna dan sempurna.” (HR.
Tirmidzi no. 586. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Al Mubaarakfuri rahimahullah dalam Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jaami’ At Tirmidzi (3: 158) menjelaskan,


“Yang dimaksud ‘kemudian ia melaksanakan shalat dua raka’at’ yaitu setelah matahari terbit. Ath Thibiy
berkata, “Yaitu kemudian ia melaksanakan shalat setelah matahari meninggi setinggi tombak, sehingga
keluarlah waktu terlarang untuk shalat. Shalat ini disebut pula shalat Isyroq. Shalat tersebut adalah waktu
shalat di awal waktu.”

Waktu Shalat Dhuha

Waktu pelaksanaannya adalah dimulai ketika matahari meninggi setinggi tombak sampai sebelum zawal,
yaitu ketika matahari tegak lurus.

Dari Amr bin Abasah radhiallahu’anhu, ia berkata:


“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam datang ke Madinah, ketika itu aku pun datang ke Madinah. Maka aku
pun menemui beliau, lalu aku berkata: wahai Rasulullah, ajarkan aku tentang shalat. Beliau bersabda:
kerjakanlah shalat shubuh. Kemudian janganlah shalat ketika matahari sedang terbit sampai ia meninggi.
Karena ia sedang terbit di antara dua tanduk setan. Dan ketika itulah orang-orang kafir sujud kepada
matahari. Setelah ia meninggi, baru shalatlah. Karena shalat ketika itu dihadiri dan disaksikan (Malaikat),
sampai bayangan tombak mengecil” (HR. Muslim no. 832).

Sebagian ulama mengatakan bahwa waktu dhuha itu sekitar 15 menit setelah matahari terbit. Syaikh
Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:“Waktu shalat dhuha adalah dimulai ketika matahari meninggi setinggi
tombak bagi orang yang melihatnya (matahari). Dan itu sekitar 15 menit setelah ia terbit” (Fatawa Ibnu
Baz, https://ar.islamway.net/fatwa/14645).

Dan waktu yang paling utama adalah ketika matahari sudah tinggi dan sinar matahari sudah terik. Dari
Zaid bin Arqam radhiallahu’anhu: Zaid bin Arqam melihat sekelompok orang yang sedang melaksanakan
shalat Dhuha. Kemudian ia mengatakan, “Mereka mungkin tidak mengetahui bahwa selain waktu yang
mereka kerjakan saat ini, ada yang lebih utama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,
“Shalat awwabin hendaknya dikerjakan ketika anak unta merasakan terik matahari” (HR. Muslim no.
748).

Shalat Isyraq Adalah Shalat Dhuha Di Awal Waktu


Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda:
“Seseorang yang shalat subuh secara berjamaah, lalu ia duduk berdzikir kepada Allah sampai matahari
terbit. Kemudian ia shalat dua raka’at, maka pahala yang ia dapatkan seperti haji dan umrah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: sempurna, sempurna, sempurna” (HR. Tirmidzi no.
586, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 3403).

Dalam hadits ini disebutkan shalat dua rakaat ketika matahari terbit. Yang sering disebut sebagai shalat
isyraq. Dan shalat isyraq ini adalah shalat dhuha di awal waktu.

Dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah (27/220-221) disebutkan:


“Dengan menelusuri perkataan-perkataan pada fuqaha dan ahli hadits jelaslah bahwa shalat dhuha dan
shalat isyraq itu sama. Karena mereka semua menyebutkan waktu pelaksanaannya adalah awal
terbitnya matahari hingga zawal. Dan mereka tidak membedakannya”.

Maka shalat dhuha yang dikerjakan di awal waktunya, itulah shalat isyraq.

Jumlah Raka’at
Shalat dhuha dikerjakan minimal dua raka’at sebagaimana dalam hadits Abu Dzar dan Abu Hurairah di
atas. Disebutkan dalam hadits dengan kata “dua rakaat shalat dhuha”. Namun ulama khilaf mengenai
kadar maksimal rakaat shalat dhuha. Jumhur ulama berpendapat maksimal delapan rakaat. Berdasarkan
hadits dari Ummu Hani’: “Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam di tahun terjadinya Fathu Makkah beliau
shalat delapan rakaat shalat dhuha” (HR. Bukhari no. 1103, Muslim no. 336).

Sebagian ulama berpendapat tidak ada batasannya. Dalilnya hadits dari Aisyah radhiallahu’anha,
“Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dhuha empat raka’at dan beliau biasa
menambahkan sesuka beliau” (HR. Muslim no. 719).

Ini pendapat yang dikuatkan oleh Ath Thabari, Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Ibnu Al Utsaimin.
Tata Cara Shalat Dhuha
Tata cara melaksanakan shalat dhuha sama sebagaimana tata cara shalat lainnya. Dikerjakan dengan
dua raka’at-dua raka’at, dengan salam setiap dua raka’at. Berdasarkan hadits dari Abdullah bin
Umar radhiallahu’anhuma, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam  bersabda:

“Shalat (sunnah) di malam dan siang hari, dua rakaat-dua rakaat” (HR. Abu Daud no. 1295, An Nasa-i
no. 1665, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).
Syaiikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan: “Dalam shalat dhuha (setelah Al Fatihah, pent.) silakan
membaca surat atau ayat-ayat apa saja yang dimampui, tidak ada surat atau ayat khusus yang
diutamakan. Silakan membaca ayat atau surat apa saja. Jumlah rakaatnya minimal dua rakaat dengan
satu salam. Jika ingin shalat empat rakaat atau enam atau delapan rakaat, atau bahkan lebih, dengan
salam di setiap dua rakaat, maka ini semua baik” (Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/10014).

Shalat Dhuha Secara Berjama’ah


ٍShalat dhuha boleh dilaksanakan secara berjama’ah sesekali. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
mengatakan:

“Tidak mengapa melaksanakan sebagian shalat sunnah secara berjama’ah, namun hendaknya tidak
dijadikan kebiasaan yang dirutinkan sehingga terus-menerus shalat sunnah berjama’ah” (Majmu’
Fatawa war Rasa’il, 14/335).

Jika shalat dhuha dilaksanakan secara berjama’ah maka dilakukan dengan bacaan yang sirr  (lirih). Syaikh
Abdul Aziz bin Baz mengatakan:
“Adapun shalat-shalat yang dilakukan di siang hari, seperti shalat dhuha, shalat rawatib, shalat zhuhur,
shalat ashar, disunnahkan dilakukan dengan sirr (lirih)” (Fatawa Ibnu Baz, 11/207).

Doa Setelah Shalat Dhuha


Tidak terdapat hadits dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang shahih dan sharih  (tegas), mengenai
doa setelah shalat dhuha. Adapun hadits dari Aisyah radhiallahu’anha:

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah shalat dhuha, kemudian membaca doa: /Allaahummagh
firlii wa tub ‘alayya, innaka antat tawwaabur rahiim/ (Ya Allah, ampunilah dosaku, dan terimalah
taubatku, sungguh Engkau adalah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang). Beliau ucapkan ini
100x” (HR. Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrad no. 219, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Adabul
Mufrad).
Yang rajih, ini adalah doa setelah shalat secara umum, bukan hanya shalat dhuha. Sebab disebutkan
dalam riwayat lainnya secara mutlak:

“Seorang lelaki dari kaum Anshar mengatakan bahwa ia pernah mendengar Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam setelah shalat beliau berdoa: /Allaahummagh firlii wa tub ‘alayya, innaka antat tawwaabur
rahiim/ 100x” (HR. Ahmad, Ibnu Abi Syaibah dalam Musnad Ibnu Fudhail, dishahihkan Syu’aib Al Arnauth
dalam Takhrij Musnad Ahmad  no. 23150).

Namun andaikan seseorang mengamalkan doa ini setelah shalat dhuha, pun tidak mengapa. Selama
tidak berkeyakinan bahwa ini adalah doa khusus setelah shalat dhuha. Wallahu a’lam.
Adapun doa setelah sholat dhuha yang populer berasal dari Syarh Al Minjah oleh Asy Syarwani dan
disebutkan pula oleh Ad Dimyathi dalan I’anatuth Thalibiin. Namun ketika dibaca setelah sholat dhuha,
boleh saja dibaca asalkan baik, meski sejatinya doa tersebut bukanlah doa yang berasal dari hadist Nabi.

Kontinu dalam Amalan itu Lebih Baik


Dari ’Aisyah –radhiyallahu ’anha-, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa
sallam bersabda,
”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ’Aisyah
pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. [17]

An Nawawi rahimahullah mengatakan, ”Ketahuilah bahwa amalan yang sedikit namun konsekuen


dilakukan, itu lebih baik dari amalan yang banyak namun cuma sesekali saja dilakukan. Ingatlah bahwa
amalan sedikit yang rutin dilakukan akan melanggengkan amalan ketaatan, dzikir, pendekatan diri pada
Allah, niat dan keikhlasan dalam beramal, juga akan membuat amalan tersebut diterima oleh Sang
Kholiq Subhanahu wa Ta’ala.

Amalan sedikit namun konsekuen dilakukan akan memberikan ganjaran yang besar dan berlipat
dibandingkan dengan amalan yang sedikit namun sesekali saja dilakukan.”[18]
Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, ”Amalan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah
amalan yang konsekuen dilakukan (kontinu). Beliau pun melarang memutuskan amalan dan
meninggalkannya begitu saja. Sebagaimana beliau pernah melarang melakukan hal ini pada sahabat
’Abdullah bin ’Umar.”[19]

Agar Istiqomah dalam Melaksanakan Sholat Sunnah

Berikut beberapa tips agar kita bisa rajin /istiqomah menjalankan ibadah sholat sunnah, yaitu:

1) Niat

      Jika kita ingin mencapai sesuatu kita harus niatkan dulu karena jika kita main - main / kurang niatnya
maka kita akan berhenti ditengah jalan. Niatkan dengan ikhlas untuk beribadah kepada Allah bukan
karena hal lain karena jika kita niatkan bukan untuk beribadah kepada allah maka ibadah yang kau
lakukan akan sia - sia.

2) Bacalah keutamaan - keutamaan yang ada pada sholat sunnah ini.

      Dengan membaca keutamaan - keutamaan yang ada pada sholat sunnah, baik sholat sunnah rawatib
maupun sholat dhuha, insya Allah kita pasti akan lebih bersemangat untuk mengerjakannya.
3) Biasakan melakukanya meskipun awalnya sangat berat.

       Pada awalnya, seseorang yang melakukan shp;a ini memanglah sangat berat dan sulit . Hal ini bisa
diatasi dengan  membiasakan melakukannya. meskipun awalnya sangat berat dan sulit Insya Allah  kita
akan terbiasa melakukannya dan pada akhirnya kita akan mudah melakukannya.

4) Selalu sempatkan untuk melaksanakannya

       Meskipun kita sibuk dengan hal lain,misalnya kamu sedang mengerjakan tugas dari guru,bekerja atau
hal lainnya, kamu harus bisa mengatur waktu untuk menyempatkan untuk melaksanakan sholat sunnah
ini. Dengan begitu kita akan terbiasa melakukannya.

5) Berdoa

      Jika kita sudah berusaha melakukannya dengan sebaik - baiknya maka cara terakhir adalah dengan
berdoa. Berdoalah kepada Allah agar diberi kemudahan dan istiqomah karena sebaik baik senjata adalah
doa serta berdoalah dengan bersungguh - sungguh karena allah tidak menyukai orang  yang lalai/tidak
sungguh - sungguh.

Anda mungkin juga menyukai