sunnah rawatib dan sholat dhuha. Semoga dengan pembahasan ini, kita semua bisa lebih maksimal
dalam mengerjakan shalat sunnah rawatib dan sholat dhuha.
Sesungguhnya diantara hikmah dan rahmat Allah atas hambanya adalah disyariatkannya At-
tathowwu’ (ibadah tambahan). Dan dijadikan pada ibadah wajib diiringi dengan adanya at-
tathowwu’ dari jenis ibadah yang serupa. Hal itu dikarenakan untuk melengkapi kekurangan yang
terdapat pada ibadah wajib.
Dan sesungguhnya at-tathowwu’ (ibadah sunnah) di dalam ibadah shalat yang paling utama adalah
shalat sunnah rawatib. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa mengerjakannya dan tidak pernah
sekalipun meninggalkannya dalam keadaan mukim (tidak bepergian jauh).
Mengingat pentingnya ibadah ini, serta dikerjakannya secara berulang-ulang sebagaimana shalat fardhu,
saya akan menjalaskannya dengan singkat
Ummu Habibah berkata: saya tidak pernah meninggalkan shalat sunnah rawatib semenjak mendengar
hadits tersebut. ‘Anbasah berkata: Maka saya tidak pernah meninggalkannya setelah mendengar hadits
tersebut dari Ummu Habibah. ‘Amru bin Aus berkata: Saya tidak pernah meninggalkannya setelah
mendengar hadits tersebut dari ‘Ansabah. An-Nu’am bin Salim berkata: Saya tidak pernah
meninggalkannya setelah mendengar hadits tersebut dari ‘Amru bin Aus. (HR. Muslim no. 728).
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha telah meriwayatkan sebuah hadits tentang shalat sunnah rawatib sebelum
(qobliyah) shubuh, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Dua rakaat sebelum shubuh
lebih baik dari dunia dan seisinya“. Dalam riwayat yang lain, “Dua raka’at sebelum shubuh lebih aku
cintai daripada dunia seisinya” (HR. Muslim no. 725)
Adapun shalat sunnah sebelum shubuh ini merupakan yang paling utama di antara shalat sunnah
rawatib dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya baik ketika mukim
(tidak berpegian) maupun dalam keadaan safar.
Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha telah meriwayatkan tentang keutamaan rawatib dzuhur, dia berkata:
saya mendengar rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menjaga (shalat)
empat rakaat sebelum dzuhur dan empat rakaat sesudahnya, Allah haramkan baginya api neraka“. (HR.
Ahmad 6/325, Abu Dawud no. 1269, At-Tarmidzi no. 428, An-Nasa’i no. 1814, Ibnu Majah no. 1160)
“Manusia memiliki 360 sendi, diwajibkan untuk bersedekah sedekah untuk setiap sendinya”. Para
sahabat bertanya, ”Siapa yang mampu melakukan demikian, wahai Nabi Allah?”. Nabi bersabda,
”Cukup dengan menutup dahak yang ada di lantai masjid dengan tanah dan menghilangkan gangguan
dari jalanan. Apabila engkau tidak mendapatinya, maka lakukanlah dua raka’at shalat Dhuha yang itu
bisa mencukupimu” (HR. Abu Daud no.5242, dishahihkan Al Albani dalam Irwaul Ghalil [2/213]).
Hadits yang mirip juga diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, ia berkata: “Kekasihku
(Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam) mewasiatkan aku utiga perkara: puasa tiga hari di setiap bulan,
dua raka’at shalat dhuha dan shalat witir sebelum tidur” (HR. Bukhari no. 1178, Muslim no. 721).
Kedua, Shalat dhuha juga disebut sebagai shalat awwabin, yaitu shalatnya orang-orang yang banyak
kembali kepada Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Shalat awwabin adalah ketika anak unta merasakan terik matahari” (HR. Muslim no. 748).
Ketiga, akan dicukupi urusan di akhir siang
Dari Nu’aim bin Hammar Al Ghothofaniy, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Allah Ta’ala berfirman: Wahai anak Adam, janganlah engkau tinggalkan empat raka’at shalat di awal
siang (di waktu Dhuha). Maka itu akan mencukupimu di akhir siang.” (HR. Ahmad (5/286), Abu Daud no.
1289, At Tirmidzi no. 475, Ad Darimi no. 1451 . Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Penulis ‘Aunul Ma’bud –Al ‘Azhim Abadi- menyebutkan, “Hadits ini bisa mengandung pengertian bahwa
shalat Dhuha akan menyelematkan pelakunya dari berbagai hal yang membahayakan. Bisa juga
dimaksudkan bahwa shalat Dhuha dapat menjaga dirinya dari terjerumus dalam dosa atau ia pun akan
dimaafkan jika terjerumus di dalamnya. Atau maknanya bisa lebih luas dari itu.” (‘Aunul Ma’bud, 4: 118)
At Thibiy berkata, “Yaitu engkau akan diberi kecukupan dalam kesibukan dan urusanmu, serta akan
dihilangkan dari hal-hal yang tidak disukai setelah engkau shalat hingga akhir siang. Yang dimaksud,
selesaikanlah urusanmu dengan beribadah pada Allah di awal siang (di waktu Dhuha), maka Allah akan
mudahkan urusanmu di akhir siang.” (Tuhfatul Ahwadzi, 2: 478).
Keempat, Mendapat pahala haji dan umrah yang sempurna
Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang melaksanakan shalat shubuh secara berjama’ah lalu ia duduk sambil berdzikir pada
Allah hingga matahari terbit, kemudian ia melaksanakan shalat dua raka’at, maka ia seperti memperoleh
pahala haji dan umroh.” Beliau pun bersabda, “Pahala yang sempurna, sempurna dan sempurna.” (HR.
Tirmidzi no. 586. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Waktu pelaksanaannya adalah dimulai ketika matahari meninggi setinggi tombak sampai sebelum zawal,
yaitu ketika matahari tegak lurus.
Sebagian ulama mengatakan bahwa waktu dhuha itu sekitar 15 menit setelah matahari terbit. Syaikh
Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:“Waktu shalat dhuha adalah dimulai ketika matahari meninggi setinggi
tombak bagi orang yang melihatnya (matahari). Dan itu sekitar 15 menit setelah ia terbit” (Fatawa Ibnu
Baz, https://ar.islamway.net/fatwa/14645).
Dan waktu yang paling utama adalah ketika matahari sudah tinggi dan sinar matahari sudah terik. Dari
Zaid bin Arqam radhiallahu’anhu: Zaid bin Arqam melihat sekelompok orang yang sedang melaksanakan
shalat Dhuha. Kemudian ia mengatakan, “Mereka mungkin tidak mengetahui bahwa selain waktu yang
mereka kerjakan saat ini, ada yang lebih utama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Shalat awwabin hendaknya dikerjakan ketika anak unta merasakan terik matahari” (HR. Muslim no.
748).
Dalam hadits ini disebutkan shalat dua rakaat ketika matahari terbit. Yang sering disebut sebagai shalat
isyraq. Dan shalat isyraq ini adalah shalat dhuha di awal waktu.
Maka shalat dhuha yang dikerjakan di awal waktunya, itulah shalat isyraq.
Jumlah Raka’at
Shalat dhuha dikerjakan minimal dua raka’at sebagaimana dalam hadits Abu Dzar dan Abu Hurairah di
atas. Disebutkan dalam hadits dengan kata “dua rakaat shalat dhuha”. Namun ulama khilaf mengenai
kadar maksimal rakaat shalat dhuha. Jumhur ulama berpendapat maksimal delapan rakaat. Berdasarkan
hadits dari Ummu Hani’: “Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam di tahun terjadinya Fathu Makkah beliau
shalat delapan rakaat shalat dhuha” (HR. Bukhari no. 1103, Muslim no. 336).
Sebagian ulama berpendapat tidak ada batasannya. Dalilnya hadits dari Aisyah radhiallahu’anha,
“Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dhuha empat raka’at dan beliau biasa
menambahkan sesuka beliau” (HR. Muslim no. 719).
Ini pendapat yang dikuatkan oleh Ath Thabari, Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Ibnu Al Utsaimin.
Tata Cara Shalat Dhuha
Tata cara melaksanakan shalat dhuha sama sebagaimana tata cara shalat lainnya. Dikerjakan dengan
dua raka’at-dua raka’at, dengan salam setiap dua raka’at. Berdasarkan hadits dari Abdullah bin
Umar radhiallahu’anhuma, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Shalat (sunnah) di malam dan siang hari, dua rakaat-dua rakaat” (HR. Abu Daud no. 1295, An Nasa-i
no. 1665, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).
Syaiikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan: “Dalam shalat dhuha (setelah Al Fatihah, pent.) silakan
membaca surat atau ayat-ayat apa saja yang dimampui, tidak ada surat atau ayat khusus yang
diutamakan. Silakan membaca ayat atau surat apa saja. Jumlah rakaatnya minimal dua rakaat dengan
satu salam. Jika ingin shalat empat rakaat atau enam atau delapan rakaat, atau bahkan lebih, dengan
salam di setiap dua rakaat, maka ini semua baik” (Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/10014).
“Tidak mengapa melaksanakan sebagian shalat sunnah secara berjama’ah, namun hendaknya tidak
dijadikan kebiasaan yang dirutinkan sehingga terus-menerus shalat sunnah berjama’ah” (Majmu’
Fatawa war Rasa’il, 14/335).
Jika shalat dhuha dilaksanakan secara berjama’ah maka dilakukan dengan bacaan yang sirr (lirih). Syaikh
Abdul Aziz bin Baz mengatakan:
“Adapun shalat-shalat yang dilakukan di siang hari, seperti shalat dhuha, shalat rawatib, shalat zhuhur,
shalat ashar, disunnahkan dilakukan dengan sirr (lirih)” (Fatawa Ibnu Baz, 11/207).
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah shalat dhuha, kemudian membaca doa: /Allaahummagh
firlii wa tub ‘alayya, innaka antat tawwaabur rahiim/ (Ya Allah, ampunilah dosaku, dan terimalah
taubatku, sungguh Engkau adalah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang). Beliau ucapkan ini
100x” (HR. Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrad no. 219, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Adabul
Mufrad).
Yang rajih, ini adalah doa setelah shalat secara umum, bukan hanya shalat dhuha. Sebab disebutkan
dalam riwayat lainnya secara mutlak:
“Seorang lelaki dari kaum Anshar mengatakan bahwa ia pernah mendengar Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam setelah shalat beliau berdoa: /Allaahummagh firlii wa tub ‘alayya, innaka antat tawwaabur
rahiim/ 100x” (HR. Ahmad, Ibnu Abi Syaibah dalam Musnad Ibnu Fudhail, dishahihkan Syu’aib Al Arnauth
dalam Takhrij Musnad Ahmad no. 23150).
Namun andaikan seseorang mengamalkan doa ini setelah shalat dhuha, pun tidak mengapa. Selama
tidak berkeyakinan bahwa ini adalah doa khusus setelah shalat dhuha. Wallahu a’lam.
Adapun doa setelah sholat dhuha yang populer berasal dari Syarh Al Minjah oleh Asy Syarwani dan
disebutkan pula oleh Ad Dimyathi dalan I’anatuth Thalibiin. Namun ketika dibaca setelah sholat dhuha,
boleh saja dibaca asalkan baik, meski sejatinya doa tersebut bukanlah doa yang berasal dari hadist Nabi.
Amalan sedikit namun konsekuen dilakukan akan memberikan ganjaran yang besar dan berlipat
dibandingkan dengan amalan yang sedikit namun sesekali saja dilakukan.”[18]
Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, ”Amalan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah
amalan yang konsekuen dilakukan (kontinu). Beliau pun melarang memutuskan amalan dan
meninggalkannya begitu saja. Sebagaimana beliau pernah melarang melakukan hal ini pada sahabat
’Abdullah bin ’Umar.”[19]
Berikut beberapa tips agar kita bisa rajin /istiqomah menjalankan ibadah sholat sunnah, yaitu:
1) Niat
Jika kita ingin mencapai sesuatu kita harus niatkan dulu karena jika kita main - main / kurang niatnya
maka kita akan berhenti ditengah jalan. Niatkan dengan ikhlas untuk beribadah kepada Allah bukan
karena hal lain karena jika kita niatkan bukan untuk beribadah kepada allah maka ibadah yang kau
lakukan akan sia - sia.
Dengan membaca keutamaan - keutamaan yang ada pada sholat sunnah, baik sholat sunnah rawatib
maupun sholat dhuha, insya Allah kita pasti akan lebih bersemangat untuk mengerjakannya.
3) Biasakan melakukanya meskipun awalnya sangat berat.
Pada awalnya, seseorang yang melakukan shp;a ini memanglah sangat berat dan sulit . Hal ini bisa
diatasi dengan membiasakan melakukannya. meskipun awalnya sangat berat dan sulit Insya Allah kita
akan terbiasa melakukannya dan pada akhirnya kita akan mudah melakukannya.
Meskipun kita sibuk dengan hal lain,misalnya kamu sedang mengerjakan tugas dari guru,bekerja atau
hal lainnya, kamu harus bisa mengatur waktu untuk menyempatkan untuk melaksanakan sholat sunnah
ini. Dengan begitu kita akan terbiasa melakukannya.
5) Berdoa
Jika kita sudah berusaha melakukannya dengan sebaik - baiknya maka cara terakhir adalah dengan
berdoa. Berdoalah kepada Allah agar diberi kemudahan dan istiqomah karena sebaik baik senjata adalah
doa serta berdoalah dengan bersungguh - sungguh karena allah tidak menyukai orang yang lalai/tidak
sungguh - sungguh.