Pendapat Para Ulama Tentang Sholat Dhuha 1. Disunnahkan untuk dilakukan kadang-kadang saja 2. Tidak disyariatkan, akan tetapi merupakan kebid’ahan 3. Disunnahkan jika tidak melaksanakan sholat malam 4. Dilaksanakan karena suatu sebab
5. Pendapat yang paling tepat: Sholat dhuha itu disunnahkan secara
mutlak. (Merupakan pendapat mayoritas ulama Rahimahumullah) Pendapat Pertama • Shalat dhuha disunnahkan untuk dilakukan kadang-kadang saja. • Mereka berdalil dengan hadis Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dhuha hingga kami mengatakan beliau tidak meninggalkannya. Dan beliau juga meninggalkannya hingga kami mengatakan beliau tidak melakukannya.” HR Ahmad: 11155, Tirmidzi: 477. • Hadis ini dha’if, karena dalam sanadnya terdapat Athiyyah bin Sa’id al Aufy. Ad-Daruquthni berkata tentangnya, “Mudhtharibul hadis” Adz- Dzahabi berkata, “Ia disepakati kedha’ifannya.” Al ‘Ilal Daraquthni: 4/6, al Mughni fi al Dhu’afa, Dzahabi: 2/436. Hadits Mudhtharib, yaitu hadits yang diriwayatkan dalam beberapa bentuk yang berbeda dan saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya, kemudian perbedaan dan pertentangan tersebut tidak dapat dikompromikan dan tidak dapat ditarjih karena masing- masing bentuk sama kuatnya. Pendapat Kedua • shalat dhuha tidak disyariatkan, ia adalah bid’ah. Mereka berdalil dengan hadis Aisyah radhiyallahu ‘anhu, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat pada waktu dhuha, dan sungguh aku akan melakukannya (jika beliau melakukannya).” HR Bukhari: 1177. • Dalam shahih Bukhari juga diriwayatkan dari Muwarriq al Ujly, ia berkata, “Aku berkata kepada Ibnu Umar, apakah engkau shalat dhuha?” ia berkata, “Tidak” aku berkata, “Umar?” ia berkata, “Tidak” aku berkata, “Abu Bakar?” ia berkata, “Tidak” aku berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” ia berkata, “Aku kira tidak.” HR Bukhari: 1175 Pendapat Ketiga • disunnahkan untuk melakukan shalat dhuha untuk orang yang tidak melakukan shalat malam. Adapun jika ia telah melakukan shalat malam, ia tidak perlu shalat dhuha. Pendapat ini yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Lihat: Majmu’ al Fatawa: 22/284. Pendapat Keempat • shalat dhuha dikerjakan karena suatu alasan saja. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakannya karena suatu sebab, seperti pada saat beliau datang dari perjalanan, pembebasan kota Mekah, kunjungan beliau kepada suatu kaum sebagaimana dalam hadis ‘Itban dalam shahih Bukhari dan Muslim (HR Bukhari: 840, Muslim: 33.) , kedatangan beliau ke masjid Quba dan lain-lain. Pendapat ini yang dipilih oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. Pendapat Yang Lebih Kuat
Pendapat yang lebih kuat –wallahu a’lam- adalah, shalat dhuha sunnah secara mutlak, ini adalah pendapat mayoritas ulama dan dipilih oleh guru kami Ibnu Utsaimin. Lihat: al Mumti’: 4/83. Dalilnya Dalil Pertama
a) Hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Kekasihku shallallahu
‘alaihi wa sallam berwasiat kepadaku dengan tiga perkata: puasa tiga hari setiap bulan, dua rakaat dhuha dan shalat witir sebelum aku tidur.” Nabi juga berwasiat dengannya kepada Abu Darda dalam shahih Muslim (HR Muslim: 722.) dan kepada Abu Dzar dalam sunan Ibnu AnNasa’i. (HR An Nasa`i dalam Sunan Kubra: 2712, dinilai shahih oleh al Albani (Shahihah: 2166)) Dalil Kedua (b) Hadis Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap persendian dalam tubuhmu harus disedekahi setiap hari. Setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, amar makruf adalah sedekah, mencegah dari kemungkaran adalah sedekah. Dan semua itu dapat tercukupi dengan dua rakaat shalat dhuha.” HR Muslim: 720. • Dalam shahih Muslim dari hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha terdapat penjelasan bahwa setiap manusia diciptakan dengan 360 persendian. Barangsiapa yang bersedekah dengan jumlah ini, maka pada hari itu ia menghindarkan dirinya dari neraka jahannam. • Dari Aisyah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap manusia diciptakan dengan 360 persendian. Barangsiapa yang bertakbir, bertahmid, tahlil, bertasbih, beristighfar, menyingkirkan batu dari jalan manusia, duri atau tulang, memerintah kepada yang baik dan mencegah dari perbuatan munkar, jumlah semua itu adalah 360 persendian, maka pada hari itu ia telah menghindarkan dirinya dari api neraka.” HR Muslim: 1007. Waktu shalat dhuha dimulai dari sejak meningginya matahari seukuran tombak, yaitu setelah waktu terlarang shalat. Berakhir pada waktu sesaat sebelum zawal, yaitu sekitar 10 menit sebelum masuk waktu zuhur. Ini berdasarkan hadis Amr bin Abasah radhiyallahu ‘anhu, “Shalat subuhlah, kemudian berhentilah dari shalat saat matahari terbit hingga ia meninggi… kemudian shalat lah, karena shalat tersebut disaksikan dan dihadiri, sampai bayangan sebesar tombak, kemudian berhentilah dari shalat, karena pada saat itu jahannam dinyalakan.” HR Muslim: 832. Waktu yang paling utama adalah pada akhir waktunya, yaitu ketika cuaca cukup panas. Ini berdasarkan hadis Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat awwabin adalah ketika matahari sangat panas.” HR Muslim: 748. Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata, “Makna tarmadhu al fishaal adalah, panas matahari yang menguat. Fishaal adalah anak-anak unta. Ia termasuk shalat yang lebih utama dikerjakan pada akhir waktu.” Fatawa Islamiyyah: 1/515.
Guru kami Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Makna tarmadhu al fishaal
yaitu bangkit karena panasnya kerikil kerikil. Ia adalah waktu sekitar 10 menit sebelum zawal.” Al Mumti’: 4/88. Keutamaan-keutamaan-nya : فضلها Keutamaannya 1. Shalat dhuha adalah wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada beberapa para sahabatnya, seperti Abu Hurairah, Abu Darda, Abu Dzar radhiyallahu ‘anhum sebagaimana yang telah lalu. Dan jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepada seseorang, maka ia pun menjadi wasiat untuk seluruh umatnya. Sebagaimana jika beliau memerintahkan sesuatu atau melarang sesuatu kepada seseorang, maka perintah dan larangan itu berlaku untuk seluruh umatnya –wallahu a’lam. Keutamaannya 2. Shalat dhuha setara dengan 360 sedekah, sebagaimana dalam hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu yang telah lalu dalam shahih Muslim. 3. Shalat dhuha menunjukkan bahwa seorang hamba yang mengerjakannya termasuk awwab (orang yang kembali kepada Rabbnya), utamanya jika dikerjakan pada waktu utama, yaitu akhir waktu sebagaimana dalam hadis Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu yang telah lalu dalam shahih Muslim Keutamaannya 4. Shalat dhuha dihadiri dan disaksikan para malaikat, sebagaimana keterangan dalam hadis Amr bin Abasah radhiyallahu ‘anhu dalam shahih Muslim. An-Nawawi rahimahullah berkata, sabda beliau, “Sesungguhnya shalat itu disaksikan dan dihadiri.” Maksudnya dihadiri oleh para malaikat, sehingga lebih dikabulkan serta mendatangkan rahmat.” Syarh Muslim, An Nawawi, hadis: 832, Bab Islam Amr bin Abasah. Bilangan Rakaatnya • Jumlah rakaat paling sedikit adalah 2 rakaat. Ini berdasarkan hadis Abu Hurairah dalam shahih Bukhari Muslim, “Kekasihku berwasiat kepadaku dengan tiga perkara.” Diantaranya disebutkan, “Dua rakaat dhuha.” HR Bukhari: 1981, Muslim: 821. • Adapun jumlah rakaat yang paling banyak adalah, yang benar tidak memiliki batasan. Ini berbeda dengan sebagian para ulama yang membatasinya dengan 8 rakaat. Maka, boleh bagi seseorang untuk shalat lebih dari delapan. Hal ini berdasarkan hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa shalat dhuha empat rakaat, dan terkadang menambahnya sebagaimana yang Allah kehendaki.” HR Muslim: 719