Anda di halaman 1dari 17

8 (Delapan) Penyebab Batalnya Wudhu Seseorang

Posted by Admin pada 29/07/2009

Wudhu sebagai rangkaian ibadah yang tidak dapat dipisahkan dari shalat seorang hamba dapat batal
karena beberapa perkara. Hal-hal yang bisa membatalkan ini diistilahkan dalam fiqih Nawaqidhul
Wudhu (pembatal-pembatal wudhu). Wudhu yang telah batal akan membatalkan pula shalat seseorang
sehingga mengharuskannya untuk berwudhu kembali

Nawaqidhul wudhu ini ada yang disepakati oleh ulama karena adanya sandaran dalil dari Al-Quran dan
As-Sunnah dan telah terjadinya ijma di antara mereka tentang permasalahan tersebut. Ada juga yang
diperselisihkan oleh mereka keberadaannya sebagai pembatal wudhu ataupun tidak. Hal ini disebabkan
tidak adanya dalil yang jelas dari Al-Quran dan As-Sunnah serta tidak terjadinya ijma sehingga
kembalinya perkara ini kepada ijtihad masing-masing ahlul ilmi.

Pembatal wudhu yang disepakati

1. Kencing (buang air kecil/BAK)

Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kalian jika ia berhadats sampai ia berwudhu. (HR. Al-
Bukhari no. 135)

Hadits ini menunjukkan bahwa hadats kecil ataupun besar merupakan pembatal wudhu dan shalat
seorang, dan kencing termasuk hadats kecil.

2.Buang Air Besar

Allah Subhanahu wa Taala berfirman dalam ayat wudhu ketika menyebutkan perkara yang
mengharuskan wudhu (bila seseorang hendak mengerjakan shalat):

Atau salah seorang dari kalian kembali dari buang air besar (Al-Maidah: 6)

Dengan demikian bila seseorang buang air besar (BAB) batallah wudhunya.

3. Keluar angin dari dubur (kentut)


Angin yang keluar dari dubur (kentut) membatalkan wudhu, sehingga bila seseorang shalat lalu kentut,
maka ia harus membatalkan shalatnya dan berwudhu kembali lalu mengulangi shalatnya dari awal.

Abdullah bin Zaid bin Ashim Al-Mazini radhiallahu anhu berkata: Diadukan kepada Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam tentang seseorang yang menyangka dirinya kentut ketika ia sedang
mengerjakan shalat. Maka beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

Jangan ia berpaling (membatalkan shalatnya) sampai ia mendengar bunyi kentut (angin) tersebut atau
mencium baunya. (HR. Al-Bukhari no. 137 dan Muslim no. 361)

Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kalian jika ia berhadats sampai ia berwudhu. (HR.
Bukhari no. 135)

Mendengar penyampaian Abu Hurairah radhiallahu anhu ini, berkatalah seorang lelaki dari Hadhramaut:
Seperti apa hadats itu wahai Abu Hurairah? Abu Hurairah menjawab: Angin yang keluar dari dubur
(kentut) yang bunyi maupun yang tidak bunyi.

Sementara perkataan Abu Hurairah ini dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah,
beliau berkata: Abu Hurairah menjelaskan tentang hadats dengan perkara yang paling khusus (yaitu
angin dari dubur) sebagai peringatan bahwa angin dari dubur ini adalah hadats yang paling ringan
sementara di sana ada hadats yang lebih berat darinya. Dan juga karena angin ini terkadang banyak
keluar di saat seseorang melaksanakan shalat, tidak seperti hadats yang lain. (Fathul Bari, 1/296)

Hadits ini dijadikan dalil bahwa shalat seseorang batal dengan keluarnya hadats, sama saja baik
keluarnya dengan keinginan ataupun terpaksa. (Fathul Bari, 1/269)

Aisyah radhiallahu anha berkata: Salma, maula Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam atau istrinya Abu
Rafi maula Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, datang menemui Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam. Ia mengadukan Abu Rafi yang telah memukulnya. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pun
bertanya kepada Abu Rafi: Ada apa engkau dengan Salma, wahai Abu Rafi? Abu Rafi menjawab: Ia
menyakitiku, wahai Rasulullah. Rasulullah bertanya lagi: Dengan apa engkau menyakitinya wahai
Salma? Kata Salma: Ya Rasulullah, aku tidak menyakitinya dengan sesuatupun, akan tetapi ia
berhadats dalam keadaan ia sedang shalat, maka kukatakan padanya: Wahai Abu Rafi, sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan kaum muslimin, apabila salah seorang dari
mereka kentut, ia harus berwudhu. Abu Rafi pun bangkit lalu memukulku. Mendengar hal itu Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam tertawa seraya berkata: Wahai Abu Rafi, sungguh Salma tidak
menyuruhmu kecuali kepada kebaikan. (HR. Ahmad 6/272, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah
dalam Al-Jamiush Shahih, 1/521)

Adapun orang yang terus menerus keluar hadats darinya seperti penderita penyakit beser(kencing terus
menerus) (Al-Fatawa Al-Kubra, Ibnu Taimiyah t, 1/282) atau orang yang kentut terus menerus atau buang
air besar terus menerus maka ia diberi udzur di mana thaharahnya tidaklah dianggap batal dengan
keluarnya hadats tersebut. (Asy-Syarhul Mumti, 1/221)

4. Keluar Madzi

Keluarnya madzi termasuk pembatal wudhu sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Ali bin Abi Thalib
radhiallahu anhu. Ali berkata: Aku seorang yang banyak mengeluarkan madzi, namun aku malu untuk
bertanya langsung kepada Rasullah Shallallahu alaihi wa sallam karena keberadaan putrinya (Fathimah
radhiallahu anha) yang menjadi istriku. Maka akupun meminta Miqdad ibnul Aswad radhiallahu anhu
untuk menanyakannya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu alaihi wa
sallam pun menjawab:

Hendaklah ia mencuci kemaluannya dan berwudhu. (HR. Al-Bukhari no. 269 dan Muslim no. 303)

5. Keluar Wadi

Keberadaan wadi sama halnya dengan madzi atau kencing sehingga keluarnya membatalkan wudhu
seseorang.

6. Keluar Darah Haid dan Nifas

Darah haid dan nifas yang keluar dari kemaluan (farji) seorang wanita adalah hadats besar yang
karenanya membatalkan wudhu wanita yang bersangkutan. Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah di atas
tentang batalnya wudhu karena hadats. Dan selama masih keluar darah haid dan nifas ini diharamkan
baginya mengerjakan shalat, puasa dan bersenggama dengan suaminya sampai ia suci.

Dikecualikan bila darah dari kemaluan itu keluar terus menerus di luar waktu kebiasaan haid dan bukan
disebabkan melahirkan, seperti pada wanita yang menderita istihadhah, karena wanita yang istihadhah
dihukumi sama dengan wanita yang suci sehingga ia tetap mengerjakan shalat walaupun darahnya terus
keluar. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: Bila si wanita yang menderita istihadhah itu
ingin berwudhu untuk shalat hendaknya ia mencuci terlebih dahulu kemaluannya dari bekas darah dan
menahan keluarnya darah dengan kain. (Risalah fid Dima Ath-Thabiiyyah Lin Nisa, hal. 50)

7. Keluarnya Mani

Seseorang yang keluar maninya wajib baginya mandi, tidak cukup hanya berwudhu, karena dengan
keluarnya mani seseorang dia dihukumi dalam keadaan junub/ janabah yang berarti dia telah hadats
besar. Berbeda dengan kencing, BAB, keluar angin, keluar madzi dan wadi yang merupakan hadats kecil
sehingga dicukupkan dengan wudhu.

8. Jima (senggama)

Abu Hurairah radhiallahu anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah
bersabda:

Apabila seorang suami telah duduk di antara empat cabang istrinya kemudian dia bersungguh-sungguh
padanya (menggauli istrinya), maka sungguh telah wajib baginya untuk mandi (janabah). (HR. Al-
Bukhari no. 291 dan Muslim no. 348)

Dalam riwayat Muslim ada tambahan:

Sekalipun ia tidak keluar mani.

Dari hadits di atas kita pahami bila jima (senggama) sekalipun tidak sampai keluar mani menyebabkan
seseorang harus mandi, sehingga jima perkara yang membatalkan wudhu.

Pembatal wudhu yang diperselisihkan

Dalam masalah fiqhiyyah baik itu fiqh ibadah ataupun fiqh muamalah sering sekali kita dapati
perselisihan di antara ahlul ilmi. Hal ini disebabkan tersamarnya dalil yang jelas dalam pengetahuan
mereka, baik dari Al-Quran ataupun dari hadits dan karena satu keadaan dimana masing-masing mereka
harus berijtihad terhadap permasalahan yang ada, sehingga timbullah beragam pandangan.
Permasalahan ini sebetulnya bukan permasalahan yang baru karena sejak zaman sahabat kita dapati
mereka berselisih dalam beberapa masalah fiqhiyyah dan diikuti oleh zaman setelahnya dari kalangan
para imam. Walaupun kita dapati mereka berselisih dalam berbagai permasalahan, namun mereka
terhadap satu dengan yang lainnya saling berlapang dada selama perkara itu bukanlah perkara yang
ganjil yang menyelisihi pendapat yang maruf (atau meyelisihi ijma), walaupun juga dalam banyak
permasalahan kita dapati mereka bersepakat di atasnya.

Demikianlah yang ingin kami utarakan sebelum masuk ke dalam masalah yang diperselisihkan di sini,
yang mana mungkin penulis berbeda pandangan dalam menguatkan satu permasalahan dengan
pembaca, sehingga bila didapati hal yang demikian hendaknya kita berlapang dada. Tentunya dengan
tidak menolak pandangan yang ada selama itu adalah maruf di kalangan ahlul ilmi salafus shalih.
Mungkin penulis memberikan contoh waqiiyyah (kenyataan) yang penulis sendiri mengalaminya (yang
terkenang di sisi penulis). Suatu ketika penulis shalat berdampingan dalam satu shaf dengan guru kami
Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muqbil rahimahullah. Pada waktu itu penulis berpandangan menggerak-
gerakkan jari dalam tasyahud karena memilih pendapat tahrik (menggerak-gerakkan jari) sesuai dengan
pendapat yang maruf. Sementara guru kami adalah orang yang sangat keras melemahkan hadits dalam
masalah tahrik ini dan memandangnya syadz (ganjil). Namun selesai shalat beliau rahimahullah tidak
memaksakan pendapatnya kepada penulis dalam keadaan beliau berkuasa untuk memaksa dan
melakukan penekanan. Bahkan yang ada dalam berbagai majelis beliau berbangga dengan keberadaan
murid-muridnya yang tidak taqlid (mengikut tanpa dalil) kepada beliau tapi berpegang dengan dalil
sekalipun harus berbeda pandangan dengan beliau rahimahullah rahmatan wasiatan.

1. Menyentuh wanita

Ahlul ilmi terbagi dalam dua pendapat dalam menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Taala:

Atau kalian menyentuh wanita (An-Nisa: 43)

Pertama: sebagian mereka menafsirkan menyentuh dengan jima (senggama), seperti pendapat Ibnu
Abbas, Ali, Ubay bin Kab, Mujahid, Thawus, Al-Hasan, Ubaid bin Umair, Said bin Jubair, Asy-Syabi,
Qatadah dan Muqatil bin Hayyan. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227)

Kedua: ahlul ilmi yang lain berpendapat menyentuh di sini lebih luas/ umum daripada jima sehingga
termasuk di dalamnya menyentuh dengan tangan, mencium, bersenggolan, dan semisalnya. Di antara
yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Masud dan Ibnu Umar dari kalangan shahabat. Abu Utsman
An-Nahdi, Abu Ubaidah bin Abdillah bin Masud, Amir Asy-Syabi, Tsabit ibnul Hajjaj, Ibrahim An-Nakhai
dan Zaid bin Aslam. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227)

Adapun pendapat pertama, bila seseorang menyentuh wanita dengan tangannya atau dengan seluruh
tubuhnya selain jima maka tidaklah membatalkan wudhu.
Sedangkan pendapat kedua menunjukkan sekedar menyentuh wanita, walaupun tidak sampai jima,
membatalkan wudhu.

Dari dua penafsiran di atas yang rajih adalah penafsiran yang pertama bahwa yang dimaksud dengan
menyentuh dalam ayat di atas adalah jima sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam Al-Quran sendiri1 dan
juga dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa semata-mata
bersentuhan dengan wanita (tanpa jima) tidaklah membatalkan wudhu.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: Yang dimaukan (oleh ayat Allah Shallallahu alaihi wa sallam ini)
adalah jima, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dan selainnya dari kalangan
Arab. Dan diriwayatkan hal ini dari Ali radhiallahu anhu dan selainnya. Inilah yang shahih tentang makna
ayat ini. Sementara menyentuh wanita (bukan jima) sama sekali tidak ada dalilnya dari Al-Quran
maupun As-Sunnah yang menunjukkan bahwa hal itu membatalkan wudhu. Adalah kaum muslimin
senantiasa bersentuhan dengan istri-istri mereka namun tidak ada seorang muslim pun yang menukilkan
dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau memerintahkan kepada seseorang untuk berwudhu
karena menyentuh para wanita (istri).

Beliau juga berkata: Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Al-Hasan bahwa menyentuh di sini dengan
tangan dan ini merupakan pendapat sekelompok salaf. Adapun apabila menyentuh wanita tersebut
dengan syahwat, tidaklah wajib berwudhu karenanya, namun apabila dia berwudhu, perkara tersebut
baik dan disenangi (yang tujuannya) untuk memadamkan syahwat sebagaimana disenangi berwudhu
dari marah untuk memadamkannya. Adapun menyentuh wanita tanpa syahwat maka aku sama sekali
tidak mengetahui adanya pendapat dari salaf bahwa hal itu membatalkan wudhu. (Majmu Al-Fatawa,
21/410)

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: Pendapat yang rajih adalah menyentuh wanita tidak
membatalkan wudhu secara mutlak, sama saja baik dengan syahwat atau tidak dengan syahwat kecuali
bila keluar sesuatu darinya (madzi atau mani). Bila yang keluar mani maka wajib baginya mandi
sementara kalau yang keluar madzi maka wajib baginya mencuci dzakar-nya dan berwudhu. (Majmu
Fatawa wa Rasail, 4/201, 202)

Dalil dari As-Sunnah yang menunjukkan bahwa bersentuhan dengan wanita (selain jima) tidaklah
membatalkan wudhu di antaranya:

Aisyah radhiallahu anha berkata:








Aku pernah tidur di hadapan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan kedua kaki di arah
kiblat beliau (ketika itu beliau sedang shalat, pen) maka bila beliau sujud, beliau menyentuhku (dengan
ujung jarinya) hingga aku pun menekuk kedua kakiku. Bila beliau berdiri, aku kembali membentangkan
kedua kakiku. (HR. Al-Bukhari no. 382 dan Muslim no. 512)

Aisyah radhiallahu anha juga mengabarkan:

Suatu malam, aku pernah kehilangan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dari tempat tidurku. Maka
aku pun meraba-raba mencari beliau hingga kedua tanganku menyentuh bagian dalam kedua telapak
kaki beliau yang sedang ditegakkan. Ketika itu beliau di tempat shalatnya (dalam keadaan sujud) dan
sedang berdoa: Ya Allah, aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu dan dengan maaf-Mu
dari hukuman-Mu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari-Mu, aku tidak dapat menghitung pujian atas-Mu,
Engkau sebagaimana yang Engkau puji terhadap diri-Mu. (HR. Muslim no. 486)

2. Muntah

Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa muntah mengharuskan seseorang untuk berwudhu
dengan dalil hadits Madan bin Abi Thalhah dari Abu Ad-Darda bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam pernah muntah, lalu beliau berbuka dan berwudhu. Kata Madan: Aku berjumpa dengan Tsauban
di masjid Damaskus, maka aku sebutkan hal itu padanya, Tsauban pun berkata: Abu Ad-Darda benar,
akulah yang menuangkan air wudhu beliau Shallallahu alaihi wa sallam. (HR. At-Tirmidzi no. 87)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: Al-Baihaqi mengatakan bahwa hadits ini diperselisihkan
(mukhtalaf) pada sanadnya. Kalaupun hadits ini shahih maka dibawa pemahamannya pada muntah yang
sengaja. Di tempat lain Al-Baihaqi berkata: Isnad hadits ini mudhtharib (goncang), tidak bisa ditegakkan
hujjah dengannya. (Nailul Authar, 1/268). Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah di dalam taliq beliau
terhadap kitab Ar-Raudhatun Nadiyyah mengatakan: Hadits-hadits yang diriwayatkan dalam masalah
batalnya wudhu karena muntah adalah lemah semuanya, tidak dapat dijadikan hujjah. (taliq beliau
dinukil dari Taliqat Ar-Radhiyyah, 1/174)2

Ulama berselisih pendapat dalam masalah muntah ini:

Di antara mereka ada yang berpendapat muntah itu membatalkan wudhu seperti Abu Hanifah dan
pengikut mazhab Abu Hanifah, dengan syarat muntah itu berasal dari dalam perut, memenuhi mulut dan
keluar sekaligus. (Nailul Authar, 1/268)
Al-Imam At-Tirmidzi t berkata: Sebagian ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam dan selain mereka dari kalangan tabiin berpandangan untuk berwudhu disebabkan muntah dan
mimisan. Demikian pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad dan Ishaq. Sementara sebagian
ahlul ilmi yang lainnya berpendapat tidak ada keharusan berwudhu karena muntah dan mimisan,
demikian pendapat Malik dan Asy-Syafii. (Sunan At-Tirmidzi, 1/59)

Adapun ulama yang lain seperti 7 imam yang faqih dari Madinah, Asy-Syafii dan orang-orang yang
mengikuti mazhab Asy-Syafii, juga satu riwayat dari Al-Imam Ahmad menunjukkan bahwa keluar sesuatu
dari tubuh selain qubul dan dubur tidaklah membatalkan wudhu, baik sedikit ataupun banyak, kecuali bila
yang keluar dari tubuh itu kencing ataupun tahi. (Nailul Authar, 1/268, Asy-Syarhul Mumti, 1/234). Inilah
pendapat yang rajih dan menenangkan bagi kami. Mereka berdalil sebagai berikut:

1. Hukum asal perkara ini tidaklah membatalkan wudhu. Sehingga barangsiapa yang menyatakan suatu
perkara menyelisihi hukum asalnya maka hendaklah ia membawakan dalil.

2. Sucinya orang yang berwudhu dinyatakan dengan pasti oleh kandungan dalil syari, maka apa yang
telah pasti tidaklah mungkin mengangkat kesuciannya (menyatakan hilang/ membatalkannya) kecuali
dengan dalil syari.

3. Hadits yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama telah dilemahkan oleh mayoritas ulama.

4. Apa yang ditunjukkan dalam hadits ini adalah semata-mata fiil (perbuatan) sedangkan yang semata-
mata fiil tidaklah menunjukkan suatu yang wajib. (Asy-Syarhul Mumti, 1/224-225)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: Tidaklah batal wudhu dengan keluarnya sesuatu dari selain
dua jalan (qubul dan dubur) seperti pendarahan, darah yang keluar karena berbekam, muntah dan
mimisan, sama saja baik keluarnya banyak ataupun sedikit.3 Demikian pendapat Ibnu Abbas, Ibnu
Umar, Ibnu Abi Aufa, Jabir, Abu Hurairah, Aisyah, Ibnul Musayyab, Salim bin Abdillah bin Umar, Al-
Qasim bin Muhammad, Thawus, Atha, Mak-hul, Rabiah, Malik, Abu Tsaur dan Dawud. Al-Baghawi
berkata: Ini merupakan pendapat mayoritas shahabat dan tabi`in. (Al-Majmu, 2/63)

Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmuatur Rasail Al-Kubra, beliau
berpendapat hukumnya di sini adalah sunnah sebagaimana dinukilkan oleh Asy-Syaikh Al Albani
rahimahullah. Demikian juga beliau menyatakan sunnahnya berwudhu setelah muntah. (Tamamul
Minnah, hal. 111, 112)

Sementara hadits Aisyah radhiallahu anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam
bersabda:




Siapa yang ditimpa (mengeluarkan) muntah, mimisan, qalas4 atau madzi (di dalam shalatnya)
hendaklah ia berpaling dari shalatnya lalu berwudhu. (HR. Ibnu Majah no. 1221)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: Hadits ini dinyatakan cacat oleh sebagian Ahlul Hadits
karena setiap periwayatan Ismail ibnu Iyasy dari orang-orang Hijaz semuanya dinilai lemah. Sementara
dalam hadits ini Ismail meriwayatkan dari Ibnu Juraij yang dia itu orang Hijaz. Juga karena para perawi
yang meriwayatkan dari Ibnu Juraij yang mereka itu adalah para tokoh penghapal meriwayatkannya
secara mursal (menyelisihi periwayatan Ismail yang meriwayatkannya secara ittishal (bersambung)
pen.), sebagaimana hal ini dikatakan oleh penulis kitab Muntaqal Akhbar. Terlebih lagi riwayat yang
mursal ini dinyatakan shahih oleh Adz-Dzuhli, Ad-Daruquthni dalam kitab Al-Ilal, begitu pula Abu Hatim
dan beliau mengatakan telah terjadi kesalahan dalam periwayatan Ismail. Ibnu Main berkata hadits ini
dhaif. (Nailul Authar, 1/269)

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan bahwa Al-Imam Ahmad dan selain beliau men-dhaif-kan
hadits ini (Bulughul Maram hal. 36)

3. Darah yang keluar dari tubuh

Darah yang keluar dari tubuh seseorang, selain kemaluannya tidaklah membatalkan wudhu, sama saja
apakah darah itu sedikit ataupun banyak. Demikian pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Abi Aufa, Abu Hurairah,
Jabir bin Zaid, Ibnul Musayyab, Mak-hul, Rabiah, An-Nashir, Malik dan Asy-Syafii. (Nailul Authar, 1/269-
270). Dan ini pendapat yang rajih menurut penulis. Wallahu taala alam bish-shawab.

Dari kalangan ahlul ilmi ada yang membedakan antara darah sedikit dengan yang banyak. Bila keluarnya
sedikit tidak membatalkan wudhu namun bila keluarnya banyak akan membatalkan wudhu. Hal ini seperti
pendapat Abu Hanifah, Al-Imam Ahmad dan Ishaq. (Nailul Authar, 1/269)

Adapun dalil bahwa darah tidak membatalkan wudhu adalah hadits tentang seorang shahabat Al-Anshari
yang tetap mengerjakan shalat walaupun darahnya terus mengalir karena luka akibat tikaman anak
panah pada tubuhnya (HR. Al-Bukhari secara muallaq dan secara maushul oleh Al-Imam Ahmad, Abu
Dawud dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 193)

Seandainya darah yang banyak itu membatalkan wudhu niscaya shahabat Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam itu dilarang untuk mengerjakan shalat dan akan disebutkan teguran dari Nabi Shallallahu alaihi
wa sallam atas shalat yang ia kerjakan tersebut dan akan diterangkan kepadanya atau siapa yang
bersamanya. Karena mengakhirkan penjelasan/ penerangan pada saat dibutuhkan penerangannya
tidaklah diperbolehkan. Mereka para shahabat radhiallahu anhum sering terjun ke dalam medan
pertempuran hingga badan dan pakaian mereka berlumuran darah. Namun tidak dinukilkan dari mereka
bahwa mereka berwudhu karenanya dan tidak didengar dari mereka bahwa perkara ini membatalkan
wudhu. (Sailul Jarar, 1/262, Tamamul Minnah, hal. 51-52)

Wallahu taala alam bish-shawab wal ilmu indallah.

1 Seperti dalam ayat: Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi wanita-wanita
mukminah kemudian kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh mereka, maka tidak ada
kewajiban bagi mereka untuk menjalani iddah. (Al-Ahzab: 49)

Ayat ini jelas sekali menunjukkan bahwa menyentuh yang dikaitkan dengan wanita maka yang
dimaksudkan adalah jima.

2 Di antara imam ahlul hadits ada juga yang menguatkan hadits ini seperti Ibnu Mandah dan Asy-Syaikh
Al-Albani di Tamamul Minnah, beliau mengatakan sanadnya shahih (hal. 111)

3 Adapun permasalahan yang disebutkan di sini juga merupakan perkara yang diperselisihkan ahlul ilmi
sebagaimana disebutkan sendiri oleh Al-Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu (2/63).

4 Qalas adalah muntah yang keluar dari tenggorokan, bukan dari perut. (Subulus Salam, 1/105)

Dikutip dari: http://www.asysyariah.com Penulis: Al Ustadz Abu Ishaq Muslim Al Atsari Judul: Pembatal-Pembatal

Baca risalah terkait ini: Apakah Menyentuh Wanita Membatalkan Wudhu ?


Apakah Menyentuh Wanita Membatalkan
Wudhu ?
Posted by Admin pada 15/07/2009

Berikut ini kami akan membawakan beberapa permasalahan yang dianggap sebagai pembatal wudhu
padahal tidak demikian, diantaranya.

Tidak Membatalkan Wudhu

Maha Suci Allah yang telah menyempurnakan agama-Nya sebagaimana Allah telah berfirman dalam Al
Quran (yang artinya), Pada hari ini Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian (QS Al Maidah:3)

Maka dipahami dari ayat tersebut bahwasanya Islam itu agama yang sempurna, tidak ada perkara yang
bisa mendekatkan kepada Allah melainkan sudah ada keterangannya. Dan diantara permasalahan-
permasalahan yang telah Allah jelaskan adalah permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan
pembatal-pembatal wudhu, maka tidak boleh seseorang menetapkan sesuatu hal sebagai pembatal
wudhu kecuali harus berdasarkan dengan dalil dari Al Quran ataupun As Sunnah.

Berikut ini kami akan membawakan beberapa permasalahan yang dianggap sebagai pembatal wudhu
padahal tidak demikian, diantaranya:

1. Al Istihadhah

Berkata Al Imam An Nawawi Rahimahullah , Al Istihadhah adalah keluarnya darah dari kemaluan wanita
bukan pada waktunya (bukan pada waktu menstruasi dan bukan pada saat melahirkan) yang darah
tersebut keluar dari urat yang bernama adzil, berbeda dengan haidh, karena haid keluar dari dalam
rahim Lihat Syarh Shahih Muslim (4-16)

Dalam kesempatan yang ringkas ini kita akan membawakan 2 hukum yang berkaitan dengan istihadhah.

Masalah pertama adalah tidak diwajibkannya bagi wanita yang terkena istihadhah untuk mandi setiap
hendak shalat, kecuali pada saat berhenti haidnya maka diwajibkan untuk mandi sekali saja. Ini adalah
pendapat kebanyakan ulama bahwa seorang wanita yang terkena istihadhah tidak wajib baginya untuk
mandi setiap shalat sebagaimana hadits Aisyah Radhiyallahu Anha (yang artinya), Telah berkata
Fatimah bintu Abi Ubaisy, Wahai Rasulullah Aku terkena Istihadhah dan tidak suci darinya apakah aku
boleh meninggalkan sholat? Berkata Rasulullah Sholallahu Alaihi Wasallam, Tidak, itu adalah darah
yang keluar dari urat (bukan darah dari rahim, darah haidh atau nifas) akan tetapi engkau boleh
meninggalkan shalat di hari-hari haidmu kemudian mandilah dan shalatlah (setelah haidmu selesai) .
Lihat Shahih Al Bukhary (325).

Dan kita lihat bahwasanya Rasulullah Sholallahu Alaihi Wasallam tidak memerintahkan untuk mandi
setiap shalat. Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah, Pendapat kebanyakan ulama adalah pendapat
yang benar, bahwasanya tidak wajib untuk mandi (setiap shalat) kecuali ketika haidnya selesai
dikarenakan tidak ada dalil yang shahih (yang mewajibkan harus mandi setiap shalat). Lihat Nail Al
Authar (jilid 1 hal:261).

Demikian juga telah berkata Al Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah, Adapun riwayat yang disitu Rasulullah
Sholallahu Alaihi Wasallam memerintahkan untuk mandi setiap shalat maka periwayatan tersebut telah
diingkari oleh ulama ahlul hadits.

Adapun riwayat yang shahih adalah Ummu Habibah binti Jahsy Radhiyallahu Anha sendirilah yang
mandi setiap hendak shalat.

Maka telah berkata Al Imam Asy Syafii Rahimahullah, Rasulullah Sholallahu Alaihi Wasallam hanya
memerintahkan untuk mandi dan sholat dan tidaklah Rasulullah Sholallahu Alaihi Wasallam
memerintahkan padanya untuk mandi setiap sholat. Demikian juga dinukil perkataan yang sama dari
Sufyan Bin Uyainah juga Laits Bin Sad. Lihat Fath Al Baari (jilid 1 halaman 535) dan Syarh Shahih
Muslim (jilid 4 halaman 18)

Pendapat ini pendapat yang benar, yang diriwayatkan dari Ali Bin Masud, Ibnu Abbas, Aisyah, Urwah
Bin Zubair, Abi Salamah, Malik, Abi Hanifah, Asy Syafii, dan Ahmad. Pendapat ini juga dikatakan oleh Al
Imam An Nawawi, Al Hafidz Ibnu Hajar, Al Imam Asy Syaukani, Asy Syaikh Muhammad Bin Ibrahim Alu
Asy Syaikh. Lihat Jami Ahkam Al Quran (jilid 2 no 77), Al Ihkam (No 192), Ainul Mabud (Jilid 1 No 333),
Subul As Salaam (Jilid 1 no 160).

Tidak juga diwajibkan bagi wanita yang terkena istihadhah untuk wudhu setiap kali hendak sholat, maka
bila telah berwudhu boleh baginya untuk untuk sholat dengan wudhu tersebut lebih dari satu kali sholat
selama tidak berhadats selain darah istihadhah (semisal buang air besar, jima, atau buang angin).
Adapun darah istihadhah tidak membatalkan wudhu.

Ini adalah pendapat yang lebih kuat daripada yang mewajibkan untuk wudhu setiap kali sholat. Karena
tidak ada dalil shahih yang mewajibkan untuk berwudhu setiap kali sholat.

Adapun hadits yang memerintahkan untuk berwudhu setiap kali hendak sholat adalah hadits lemah
yangtelah diingkari oleh imam-imam ahli hadits, diantaranya Al Imam Muslim Rahimahullah dalam
Shahih-nya, tatkala berkata, Di periwayatan Hammad Bin Zaid ada tambahan (perintah berwudhu setiap
kali sholat) sengaja kami tidak sebutkan. Syarah Shahih Muslim (4/19). Perkataan Imam Muslim
Rahimahullah tersebut merupakan isyarat dari beliau bahwa periwayatan tersebut tidak shahih atau
lemah. Hal ini perkara-perkara yang dipahami oleh orang-orang yang memperhatikan kebiasaan Imam
Muslim Rahimahullah dalam Shahih-nya.

Mengingat kesempatan yang sedikit mungkin ada baiknya kalau kita bawakan bukti-bukti yang
menguatkan hal itu di kesempatan yang lain. Dan hal ini juga dipahami oleh Al Hafidz Ibnu Hajar
bahwasanya hadits ini dianggap lemah oleh Al Imam Muslim, walaupun Al Hafidz tidak sependapat
dengan Al Imam Muslim dalam hal ini. Lihat Al Fathu AL Baari (1/512)

Demikian juga Al Imam An Nasai Rahimahullah mengatakan bahwa periwayatan yang memerintahkan
untuk berwudhu setiap hendak sholat tidaklah shahih. Demikian juga Abu Daud dalam Sunan-nya,
Hadits Adi Bin Tsabit dan al Amasy dan Habib dan Ayub Abi Al Ala semuanya lemah tidak shahih.
Kemudian Beliau berkata, Telah meriwayatkan Ibnu Abi Daud dari Al Amasy marfu awalnya kemudian
ia ingkari hadits yang mewajibkan wudhu setiap sholat. Lihat Ainul Mabud (1/337)

Kesimpulan: Tidak wajib bagi perempuan yang terkena istihadhah untuk berwudhu setiap kali hendak
sholat dan darah istihadhahnya bukanlah pembatal wudhu. Pendapat ini adalah pendapat Imam Rabiah,
Imam Malik, Dawud, dan merupakan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
sebagaimana yang tersebut dalam Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyah (hal. 27)

2. Menyentuh Wanita

Telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini menjadi lima pendapat
sebagaimana yang telah disebutkan oleh Al Imam Qurtubi dalam Jami Li Ahkamil Quran (3-199). Akan
tetapi bisa dikatakan pendapat yang mahsyur ada 3 pendapat. Lihat Majmu Al Fatawa (21-230)

Pendapat pertama: Menyentuh perempuan membatalkan wudhu secara mutlak (terangsang ataupun
tidak terangsang) dengan syahwat atau tidak dengan syahwat. Mereka berdalil dengan ayat dalam Al
Quran (yang artinya), Atau bila kalian menyentuh perempuan dan kalian tidak mendapatkan air maka
bertayamumlah (QS An Nisaa:43). Lihat Nailul Authar (1-213). Ayat tersebut sepintas menunjukkan
apabila menyentuh perempuan dapat membatalkan wudhu.

Pendapat kedua: Menyentuh wanita dapat membatalkan wudhu apabila disertai dengan syahwat. Mereka
juga berdalil dengan ayat di atas sebagaimana perkataan Ibnu Al Arabi dalam Ahkamul Quran (1-223)
sebagaimana yang dinukil oleh Al Imam Al Qurtubi dalam Jami Ahkam Al Quran (3-200) bahwasanya
perkataan Allah Atau bila kalian menyentuh perempuan bermaknamenyentuh dan mencium.
Pendapat ketiga: Menyentuh wanita tidaklah membatalkan wudhu baik dengan syahwat maupun tidak,
selama tidak keluar sesuatu dari kemaluannya (mani atau madzi). Pendapat inilah yang diperkuat oleh
Ali, Ibnu Abbas, Atha, Thawus, Abu Hanifah, Sufyan Ats Tsauriy, dan lainnya. Lihat Ainul Mabud (1-2)

Berkata Al Imam Ibnu Jarir Ath Thabari sebagaimana dinukil oleh Ibnu Katsir, Pendapat yang paling
benar dalam permasalahan ini adalah pendapat yang mengatakan bahwasanya yang dikehendaki Allah
Taala dari perkataan-Nya, Atau apabila kalian menyentuh perempuan maksudnya adalah jima
(hubungan suami istri -red) bukan yang lain dari makna tersebut karena telah ada hadits dari Rasulullah
Sholallahu Alaihi Wasallam mencium istri kemudian sholat dan tidak mengulangi wudhunya. Lihat Tafsir
Ibnu Katsir (1-516).

Berkata Asy Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah, Pendapat yang benar adalah
menyentuh perempuan tidaklah membatalkan wudhu secara mutlak kecuali jika keluar dari kemaluannya
sesuatu. Dalilnya bahwa telah ada hadits dari Rasulullah Sholallahu Alaihi Wasallam bahwasanya beliau
mencium istrinya kemudian Sholat tanpa mengulangi wudhunya. Selain itu tidaklah sesuatu itu bisa
dianggap sebagai pembatal wudhu kecuali ada dalil yang shahih yang menunjukkan dengan jelas bahwa
hal tersebut pembatal wudhu, dikarenakan seseorang yang yang telah berwudhu dengan mengikuti dalil
syari maka tidak ada yang membatalkannya kecuali dengan keterangan dalil syari yang lain. Adapun
firman Allah Taala, Atau apabila kalian menyentuh perempuan maksudnya adalah jima (melakukan
hubungan suami istri) sebagaiman ditafsirkan oleh Ibnu Abbas, kemudian yang lebih memperkuat
pendapat ini adalah ayat tersebut menjelaskan tentang pembagian (yang serasi) dari ayat Al Quran yaitu
pembagian bersuci dengan thaharah yang asli (wudhu) dan thaharah pengganti (tayammum) kemudian
pembagian yang serasi tentang bersuci dari hadats besar dan sebab-sebab untuk bersuci dari hadats
kecil. Lihat Fatawa Al Marah Al Muslimah (59)

Kesimpulan: Pendapat yang benar dalam hal ini adalah pendapat yang mengatakan menyentuh
perempuan tidaklah membatalkan wudhu dengan syahwat ataupun tidak dengan syahwat kecuali kalau
keluar sesuatu dari kemaluannya (mani atau madzi)

Hal tersebut dikarenakan tidak adanya dalil yang mengharuskan untuk bersuci setelah menyentuh
perempuan. Adapun ayat pada surat An Nisaa maknanya adalah melakukan hubungan suami istri
sebagaimana yang ditafsirkan oleh Ibnu Abbas yang telah didoakan oleh Rasulullah Sholallahu Alaihi
Wasallam agar Allah memberikan kepada Ibnu Abbas pemahaman tentang ilmu tafsir Al Quran. Dan
diperkuat lagi oleh hadits Shahih Muslim dari Aisyah Radhiyallahu Anha bahwasanya dia berkata, Aku
letakkan tanganku di telapak kaki Rasulullah Sholallahu Alaihi Wasallam (yang sedang sholat)
Berkata Imam Asy Syaukani, Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh perempuan tidaklah
membatalkan wudhu. Lihat Nail Authar (1-25). Pendapat ini juga diambil oleh Syaikhul Islam pada
kesempatannya yang terakhir sebagaimana tertera dalam Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah (hal: 28)

3. Mimisan

Adapun dua pendapat dikalangan ulama yang mempermasalahkan ini: Ada yang mengatakan Mimisan
merupakan salah satu pembatal wudhu. Mereka berdalil dengan hadits Aisyah yang dikeluarkan oleh
Ibnu Majah (bab 137 hadits 1222) dan dikeluarkan oleh Al Imam Ad Daruquthni dan Al Imam Ahmad
(yang artinya), Barangsiapa yang muntah atau mimisan atau keluar sisa makanan dari kerongkongan
atau madzi maka hendaklah ia berwudhu.

Adapun sebagian ulama yang lain berpendapat mimisan tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini
adalah pendapat Ibnu Abbas, Malik As Syarif, Ibnu Abi Aufa, Abu Hurairah, Jabir bin Zaid, Ibnu Al
Musayyab, Makhul dan Rabiah. Lihat Nail Authar (1/206).

Pendapat yang kedua (mimisan tidak membatalkan wudhu) adalah pendapat yang dikuatkan oleh
Syaikhul Islam sebagaimana dalam Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyah (hal 28). Selain itu juga dikuatkan oleh Al
Imam Asy Syaukani. Beliau berkata, Tidaklah pantas untuk mengatakan bahwa darah atau muntah
sebagai pembatal wudhu kecuali jika ada dalil yang menunjangnya dan memastikan kewajiban (wajib
wudhu dari mimisan atau muntah) sebelum mengetahui kebenaran dalilnya, sama sepertu memastikan
keharaman sebelum mengetahui kebenaran dalil yang mengharamkan. Semua itu adalah menyandarkan
kepada Allah suatu perkataan padahal Allah tidak mengatakannya. Lihat Nail Al Authar (1-207)

Berkata Asy Syaikh Abdurrahman As Sadi, Pendapat yang benar adalah darah dan muntah dan yang
semisalnya (sesuatu yang keluar dari tubuh manusia yang bukan dari kemaluan dan anus) tidak
membatalkan wudhu banyak atau sedikit karena tidak ada dalil yang menunjukkan kalau darah atau
muntah membatalkan wudhu, dan hukum asal seseorang yang telah bersuci adalah tetap dalam keadaan
suci (sampai ada dalil yang mengeluarkan dari kesuciannya). Lihat Tawdhih Al Ahkam (1/301).

Berkata Asy Syaikh Ibnu Utsaimin, Sesuatu yang keluar dari sealin 2 jalan (kemaluan dan anus) tidaklah
membatalkan wudhu sedikit ataupun banyak kecuali kencing atau tinja (atau madzi atau mani) karena
hukum asalnya adalah tidaklah sebagai pembatal wudhu. Barangsiapa yang mengeluarkan dari hukum
asal maka wajib baginya untuk mendatangkan dalilnya. Lihat Fatawa Al Marah Al Muslimah (57).

Kesimpulan: Pendapat yang benar dalam hal ini adalah yang mengatakan bahwa mimisan bukanlah
sebagai pembatal wudhu dikarenakan hukum asal seseorang yang sudah bersuci tetap dalam keadaan
kesuciannya selama tidak ada dalil yang mengeluarkan dari hukum asal tersebut dan dalam
permasalahan ini tidak ada dalil yang kuat untuk mengeluarkan dari hukum asal. Adapun hadits yang
dikeluarkan Aisyah bahwa mimisan dan muntah sebagai pembatal wudhu, maka hadits ini adalah hadits
yang lemah dikarenakan perawinya yang bernama Ismail bin Ayyas telah meriwayatkan dari Ibnu Juraij,
sementara periwayatannya dari selain orang se-negrinya sering salah, lihat At Taqrib (48), ditambah lagi
dalam hal ini ia menyelisihi perawi-perawi yang lebih kuat darinya dan mereka meriwayatkannya secara
mursal (terputus jalan haditsnya) dan riwayat yang mursal telah dikuatkan oleh Al Imam Muhammad Bin
Yahya Ad Dzuhli, Ad Daruquthni dan Abu Hatim. Adapun jalan yang lain, dikeluarkan Ad Daruquthni
darinya dari Atha bin Ajlan dan Abbad Bin Katsir dari Ibnu Abi Mulaikah dari Aisyah.

Berkata Al Imam Baihaqi, Yang benar irsal dan hadits dirafakan (disambungkan jalannya) oleh Sulaiman
bin Arqam tetapi periwayatannya ditinggalkan oleh ahlul hadits. Selain itu juga ada periwayatan dari Ibnu
Abbas dikeluarkan oleh Ad Daruquthni, Ibnu Adiy dan Ath Thabrani tetapi di jalannya ada Sulaiman Bin
Arqam. Kemudian dari shahabat Abi Said dikeluarkan oleh Ad Daruquthni di sanadnya ada Abu Bakr Adz
Dzahiri, dia juga ditinggalkan periwayatannya. Lihat Nail Al Authar (1-206)

4. Muntah

Demikian juga dalam hal ini bahwa pendapat yang benar adalah muntah tidak membatalkan wudhu. Hal
ini dikarenakan tidak ada dalil yang kuat yang mengharuskan wudhu dari muntah. Sebagaimana kaidah
berulang-ulang kali disebutkan, yaitu hukum asal seseorang yang telah bersuci maka tidak membatalkan
sucinya kecuali perkara-perkara yang datang dengan dalil yang kuat. Pendapat ini adalah pendapat Al
Imam Malik, Imam Asy Syafii, dan lain-lain dan diperkuat oleh Syaikhul Islam, Al Imam Asy Syaukani, Asy
Syaikh As Sadi, Asy Syaikh Ibnu Utsaimin, dan lain-lain. Lihat Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah (28), Nail Al
Authar (1-207), Taudhih Ahkam (1/301), Fatawa Al Marah Al Muslimah (57).

Adapun hadits Aisyah yang mewajibkan wudhu dari muntah telah dijelaskan kelemahannya.

Sedangkan hadits Abi Darda, Bahwa Nabi Sholallahu Alaihi Wasallam muntah kemudian berwudhu
Hadits riwayat Al Imam Ahmad, Tirmidzi, Ibnul Jarud, Ibnu Hibban, Ad Daruquthni, Al Baihaqi, Ath
Thabrani, Ibnu Majah, dan Al Hakim. Berkata Ibnu Mandah, Isnadnya shahih bersambung akan tetapi
ditinggalkan oleh Al Bukhari dan Muslim karena ada perselisihan di jalan haditsnya.

Berkata At Tirmidzi, Husein Al Muallim telah membaikkan sanadnya dan ini yang paling shahih dalam
permasalahan ini. Demikian juga berkata Ahmad dan di situ ada perselisihan yang banyak sebagaimana
disebutkan oleh Ath Thabrani dan juga yang lainnya. Berkata Al Baihaqi: Jalan haditsnya mudhthradib
(banyak perselisihan) tidak dapat dipakai sebagai hujjah Talkhis Al Habir (2-190)
Kesimpulannya: Hadits ini tidak bisa dipakai hujjah, kalaupun hadits ini dianggap shahih sebagaimana
disebutkan oleh Asy Syaikh Al Albani di dalam Tamamul Minnah (hal 111) hadits ini tidak tidak
menunjukkan wajibnya wudhu dari muntah akan tetapi hanya mustahab saja (disunnahkan saja), afdhal
untuk dilakukan dan tidaklah mengapa jika ditinggalkan karena hanya berupa fiil saja (perbuatan saja).
Sebagimana dinukil oleh Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah (112) dari Syaikhul Islam di Majmual
Ar Rasail 1 dan sebagaimana disebutkan oleh Al Imam Asy Syaukani dalam Nail Al Authar (1-205) dan
ditekankan juga oleh Syaikh Ibnu Utsaimin. Fatawa Al Marah Al Muslimah (57)

Sumber: Majalah As Salam No IV /1427 H hal 20-24, Dikutip dari: salafy.or.id offline Penulis: Al Ustadz Abdul Bar Kaisinda, Judul

Asli: Istihadhah, Menyentuh Wanita, Muntah, dan Mimisan Tidak Membatalkan Wudhu

Anda mungkin juga menyukai