Anda di halaman 1dari 6

Asbabul wurud

Mohammad Akbar Aulia Arwani

Untuk memahami konteks yang tersimpan dalam sebuah hadits, seseorang


membutuhkan pengetahuan akan kehidupan Nabi SAW secara mendetail, khususnya
kejadian-kejadian yang berkaitan dengan munculnya sebuah hadits. Hal ini oleh para ulama
disebut sebagai asbabul wurud hadits.

Ilmu asbabul wurud memiliki beberapa fungsi. Secara umum, fungsi-fungsi dari
asbabul wurud ini telah tergambar dalam definisi asbabul wurud menurut As-Suyuthi, yaitu:

‫ما يكون طريقا لتحديد المراد من الحديث من عموم أو خصوص أو إطالق أوتقييد أو نسخ أو نحو ذالك‬.

Artinya, “Setiap hal yang menjadi metode untuk membatasi makna hadits, baik dari
makna umum, khusus, mutlak-muqayyad, atau naskh, dan semacamnya.” Atau dalam bahasa
yang lebih mudah, As-Suyūṭī menyebutnya dengan:

‫ما ورد الحديث أيام وقوعه‬

Artinya, “Suatu kejadian yang mengiringi sebuah hadits pada masa terjadinya
kejadian tersebut,” (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Lummāʽ fi Asbābil Ḥadīts, [Beirut,
Dārul Kutub: 1984 M], halaman 11).

Dalam definisinya di atas, As-Suyūṭī menjelaskan enam fungsi asbabul wurud.

Pertama, Takhshīsul ʽAmm

Salah satu contoh dari faedah ini adalah hadits yang menjelaskan bahwa pahala orang
yang shalat dengan duduk adalah setengah dari pahala orang yang shalat dengan berdiri.

‫صالة القاعد على النصف من صالة القائم‬

Artinya, “(Pahala) shalat orang yang duduk adalah setengah dari pahala shalat dengan
berdiri.”

Hadits di atas sebenarnya bukan untuk semua orang yang shalat dengan duduk,
melainkan hanya untuk orang yang shalat dengan duduk dalam keadaan tertentu. Hadits di
atas mungkin secara sekilas kelihatan masih umum. Tapi jika kita runut asbabul wurudnya,
hadits tersebut ditujukan kepada orang-orang di Madinah saat itu yang shalat dengan duduk.
Pada saat itu nabi mengetahui, Nabi pun bertanya kepada Abdullāh bin Umar terkait
alasan mereka shalat duduk. Mereka menjawab bahwa mereka shalat duduk karena mereka
terkena wabah penyakit panas. Kemudian Rasul bersabda hadits di atas. Para sahabat yang
masih mampu berdiri pun lebih memilih berdiri daripada duduk, (Lihat At-Ṭhabrānī,
Musnadus Syamīyyīn, [Beirut, Muassasatur Risālah: 1984 M], juz I, halaman 370).

As-Suyūṭī pun menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pahala setengah dari
orang yang berdiri adalah untuk orang-orang yang masih kuat dan mampu untuk berdiri tetapi
ia lebih memilih duduk.

Dalam hadits lain riwayat Muslim juga disebutkan bahwa Rasulullah SAW tidak
meninggal hingga beliau shalat dengan duduk.

‫عن جابر بن سمرة أن النبي ﷺ لم يمت حتى صلى قاعدا‬.

Artinya, “Dari Jābir bin Samurah bahwa Rasulullah SAW tidak meninggal dunia
hingga beliau shalat dengan duduk,” (Lihat Muslim, Ṣhaḥīḥ Muslim, [Beirut, Dāru Jil: tanpa
catatan tahun], juz II, halaman 165).

Ini menunjukkan bahwa Rasul SAW selalu dengan sekuat tenaga berusaha berdiri
hingga beliau sakit parah yang menyebabkan kewafatannya. Artinya, Rasul hanya shalat
dengan duduk ketika ia sakit parah yang menyebabkan ia meninggal dunia, (Lihat Jalaluddin
As-Suyuthi, Al-Lummāʽ fi Asbābil Ḥadīts, [Beirut, Dārul Kutub: 1984 M], halaman 11).

Kedua, Taqyīdul Muṭhlāq

Yang dimaksud dengan taqyīd al-muṭlāq adalah pembatasan kata yang masih terlalu
umum. Salah satu contohnya adalah hadits tentang balasan bagi orang yang berbuat baik
kemudian banyak orang yang menirunya. Orang yang berbuat baik tersebut akan
mendapatkan pahala orang-orang yang telah meniru perbuatannya tanpa mengurangi sedikit
pun pahala orang-orang tersebut.

‫من سن سنة حسنة عمل بها بعده كان له مثل أجر من عمل بها من غير ان ينقص من أجره شيء ومن سن سنة‬
‫سيئة كان عليه مثل وزر من عمل بها من غير ان ينقص من أوزارهم شيء‬

Artinya, “Siapa pun orang yang mencontohkan suatu sunnah (perbuatan) yang baik
yang diamalkan oleh orang lain setelahnya maka ia mendapat pahala sebanyak pahala orang
lain yang telah melakukan perbuatan baik tersebut tanpa mengurangi pahala orang-orang
yang telah melakukannya. Siapun orang yang mencontohkan suatu perbuatan yang jelek
maka maka ia mendapat dosa sebanyak dosa orang lain yang telah melakukan perbuatan jelek
tersebut tanpa mengurangi dosa orang-orang yang telah melakukannya,” (Lihat Abdullāh
Abū Muḥammad Ad-Dārimī, Sunan Ad-Dārimī, [Beirut, Dārul Kutub: 1407 H], juz I,
halaman 60).

Dalam hadits di atas, kata sunnah hasanah terlihat masih umum, ditandai dengan
tanda nakirah, yaitu tanwīn (‫)ًـ‬. Ini tentu menimbulkan pertanyaan, perbuatan baik seperti
apa? Apakah perbuatan baik yang terdapat unsur dalilnya dalam naṣ agama atau boleh juga
perbutan baik yang tidak ada naṣ agamanya?

Menurut As-Suyūṭī, yang dimaksud sunnah hasanah dalam hal ini adalah perbuatan
baik yang terdapat dalam naṣ agama. As-Suyūṭī kemudian menyebutkan redaksi hadits yang
lebih lengkap, bahwa suatu hari Rasul SAW berkhotbah dan berpesan untuk bertakwa,
kemudian para sahabat datang membawa beberapa barang untuk disedekahkan, mulai baju,
uang, perhiasan, makanan pokok, hingga ada seseorang Ansor yang datang dengan
bungkusan yang sangat berat dan membuatnya tak bisa mengangkatnya, hingga wajah Rasul
SAW terlihat semringah. Kemudian Rasul bersabda hadits di atas. (Lihat Al-Bazzār, Musnad
Al-Bazzār, [Madinah, Maktabah Ulūm wal Hukm: 2009 M], juz X, halaman 145).

Dari redaksi hadits yang disebutkan secara lengkap di atas, As-Suyūṭi berkesimpulan
bahwa yang dimaksud sunnah ḥasanah atau perbuatan baik dalam hadits di atas, adalah
perbuatan baik yang telah diajarkan Rasul dalam naṣ agama, baik dalam Al-Qur’an maupun
hadits.

Ketiga, Tafṣīlul Mujmal

Yang dimaksud dengan tafṣīlul mujmal adalah memperinci sesuatu yang masih
global. Contoh dari faedah ini adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Mālik
tentang Rasulullah SAW yang memerintahkan Biāl untuk menggenapkan kalimat azan dan
mengganjilkan kalimat iqamah.

‫أمر بالل أن يشفع األذان ويوتر اإلقامة‬

Artinya, “Bilāl diperintahkan untuk menggenapkan kalimat adzan (dua-dua) dan


mengganjilkan kalimat iqamah (satu-satu).”
Namun hadits ini seolah bertentangan dengan pendapat jumhūr ulama yang
menyebutkan bahwa kalimat takbir dalam adzan itu tidak hanya dua kali, tapi empat kali
(tarbīʽ). Sedangkan kalimat takbir dalam iqamah adalah dua kali.

Yang dimaksud mengganjilkan dalam hadits di atas adalah empat kali. Hal ini bisa
dilihat dari asbabul wurud hadits tersebut yang menjelaskan sejarah kalimat adzan, yaitu
melalui proses mimpi Abdullāh bin Zaid. Kemudian Abdullāh datang kepada Rasulullah
SAW dan menceritakan mimpinya, yaitu menyebutkan kalimat takbīr empat kali saat adzan
dan dua kali saat iqamah. Baru kemudian Rasul SAW meminta Abdullāh mengajarkan
kalimat itu kepada Bilāl, (Lihat Ibnu Ḥibbān, Ṣaḥīḥ Ibnu Ḥibbān, [Beirut, Muassasatur
Risālah: 1993 M], juz IV, halaman 572).

Inilah yang dimaksud oleh As-Suyūṭī bahwa asbabul wurud hadits di atas, yang
berupa penjelasan Abdullāh bin Zaid tentang kalimat lengkap adzan menjelaskan hal-hal
yang masih global dalam kalimat menggenapkan dan mengganjilkan.

Keempat, Membatasi hadits yang menjadi nāsikh (penghapus) dan menjelaskan


nāsikh dan mansūkh.

Seperti contoh dalam sebuah hadits yang menjelaskan bahwa orang yang berbekam
dan orang yang membekam puasanya batal.

‫أفطر الحاجم والمحجوم‬

Artinya, “Batal puasanya orang yang membekam dan dibekam,” (HR Ahmad).

Namun dalam hadits lain disebutkan bahwa orang yang berbekam tidak batal, karena
Rasulullah SAW juga pernah berbekam dalam keadaan sedang puasa dan sedang berihram.

‫إحتجم النبي ﷺ وهو صائم محرم‬

Artinya, “Rasulullah Saw berbekam dan beliau dalam keadaan sedang puasa dan
berihram (menggunakan pakaian ihram),” (HR Ibnu Mājjah).

Juga dalam hadits lain riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa orang yang mimpi
basah, muntah, dan berbekam tidak membatalkan puasa.

‫ال يفطر من قاء وال من احتلم وال من احتجم‬

Artinya, “Tidak batal puasa orang yang mutah (tidak disengaja), mimpi basah, dan
berbekam,” (HR Abu Dawud).
Secara sekilas kelihatan bahwa hadits yang pertama dinasakh. As-Suyuṭī menjelaskan
bahwa para ulama berbeda pendapat terkait hadits mana yang menasakh dan dinasakh. Imam
Alī bin Al-Madīnī dan Ibnu Mundzīr berpendapat bahwa yang menasakh adalah hadits yang
pertama. Sedangkan Imam As-Syafi’i berpendapat bahwa yang menasakh adalah hadits yang
kedua, (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Lummāʽ fi Asbābil Ḥadīts, [Beirut, Dārul Kutub:
1984 M], halaman 15).

Dalam riwayat Al-Baihaqi disebutkan bahwa sebab Rasul bersabda tentang batalnya
puasa dua orang yang sedang berbekam, baik dari orang yang membekam maupun dibekam
adalah kerena keduanya juga melakukan ghibah.

‫مر رسول هللا صلى هللا عليه وسلم على رجل بين يدي حجام وذلك في رمضان وهما يغتابان رجال فقال افطر‬
‫الحجام والمحجوم‬

Artinya, “Rasulullah SAW berjalan di antara dua orang yang sedang melakukan
bekam. Dan hal itu terjadi pada bulan Ramadhan, keduanya sedang menggunjing orang lain.
Kemudian Rasul SAW bersabda, telah batal puasanya orang yang membekam dan dibekam,”
(Lihat Al-Baihāqī, Syuʽābul Īmān, [Beirut, Darul Fikr: 1410 H], juz V, halaman 307).

Ini menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada pertantangan dan nasikh mansukh
antara satu hadits di atas dengan yang lain. Hanya saja hadits yang pertama perlu dicari
asbābul wurūdnya untuk mengurai dan menjelaskan apakah ada nasakh dan mansukh.

Kelima, Menjelaskan illat suatu hukum

Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa Rasul SAW pernah melarang seorang untuk
minum langsung dari mulut sebuah wadah air (kendi). Dalam hadits yang lain dijelaskan
bahwa ada seseorang yang minum dari mulut sebuah kendi kemudian perutnya sakit.

Inilah yang dimaksud oleh As-Suyūṭī, bahwa asbabul wurud bisa digunakan untuk
melihat illat suatu hukum. Dalam kasus minum air ini, illatnya adalah dapat membuat sakit
perut, tersedak, dan lain sebagainya, (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Lummāʽ fi Asbābil
Ḥadīts, [Beirut, Dārul Kutub: 1984 M], halaman 17).

Keenam, Menjelaskan hal yang masih musykil (sulit dipahami)

Contohnya ketika Rasul SAW bersabda bahwa orang yang diperdebatkan hisabnya,
dia akan diazab. Lalu Aisyah bertanya bukankah hisab akan dipermudah. Kemudian Rasul
menjawab, yang dimaksud hisab itu adalah hanya diperlihatkan (‫)عرض‬. Sedangkan orang
yang diperdebatkan hisabnya dia akan hancur.

Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadits riwayat Imam Al-Bukhari.

‫ي‬َّ ِ‫ْرفَهُ َوَأ َّن النَّب‬ ْ ‫ْرفُهُ ِإاَّل َرا َج َع‬


ِ ‫ت فِي ِه َحتَّى تَع‬ ِ ‫َت اَل تَ ْس َم ُع َش ْيًئا اَل تَع‬ َ ‫َأ َّن عَاِئ َشةَ َزوْ َج النَّبِ ِّي‬
ْ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َكان‬
ْ َ‫ْس يَقُو ُل هَّللا ُ تَ َعالَى ( فَ َسوْ فَ ي َُحا َسبُ ِح َسابًا يَ ِسيرًا ) قَال‬
‫ت‬ َ ‫ت َأ َولَي‬ ُ ‫ت عَاِئ َشةُ فَقُ ْل‬ َ ‫ب ُع ِّذ‬
ْ َ‫ب قَال‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل َم ْن حُو ِس‬
َ
َ ‫ش ْال ِح َس‬
‫اب يَ ْهلِ ْك‬ َ ِ‫ك ْال َعرْ ضُ َولَ ِك ْن َم ْن نُوق‬
ِ ِ‫ال ِإنَّ َما َذل‬
َ َ‫فَق‬

Artinya, “Sungguh Aisyah istri Nabi SAW tidaklah mendengar sesuatu yang tidak dia
mengerti kecuali menanyakannya kepada Nabi SAW sampai dia mengerti, dan Nabi SAW
pernah bersabda, ‘Siapa yang dihisab berarti dia disiksa’ Aisyah berkata, maka aku bertanya
kepada Nabi, ‘Bukankah Allah SWT berfirman, ‘Kelak dia akan dihisab dengan hisab yang
ringan.’’ Aisyah berkata, maka Nabi SAW bersabda, ‘Sungguh yang dimaksud itu adalah
pemaparan (amalan). Akan tetapi barang siapa yang didebat hisabnya pasti celaka,’” (Lihat
Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ Al-Bukhārī, [Beirut, Dāru Ṭūqin Najāt: 1422 H], juz I, halaman 32).

Hadits di atas menunjukkan bahwa sababu wurūdil hadits bisa digunakan sebagai
penjelas atas hal yang masih musykil. Wallahu a’lam

Anda mungkin juga menyukai