Anda di halaman 1dari 15

BAB VI

Sholat Fardlu dan Tata Cara Sholat


Menurut Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah
(Rahayu Cahaya Wulan & Lina Ida Wahyuni)

A. Pendahuluan

Ibadah merupakan suatu kewaajiban bagi umat manusia terhadap tuhannya


dan dengan ibadah manusia akan mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan di
Dunia dan di Akhirat nanti. Bentuk dan jenis Ibadah sangat bermacam-macam,
seperti shalat, puasa, haji, membaca Al-Qur’an, jihad dan lainnya.
Shalat merupakan salah satu kewajiban bagi kaum muslimin yang sudah
baligh, berakal, dan harus dikerjakan bagi seorang mukmin dalam keadaan
bagaimanapun.
Shalat merupakan rukun Islam yang kedua setelah syahadat. Islam didirikan
atas lima sendi (tiang) salah satunya adalah shalat. Sehingga barang siapa yang
mendirikan agama, dan barang siapa yang meninggalkan shalat, maka ia
meruntuhkan agama(Islam).
Shalat yang wajib harus didirikan dalam sehari semalam sebanyak lima
kali, berjumlah 17 raka’at. Shalat tersebut wajib dilaksanakan oleh muslim baligh
tanpa terkecuali baik dalam keadaan sehat maupun sakit, dalam keadaan susah
maupun senang, lapang ataupun sempit. Selain shalat wajib yang lima ada juga
shalat sunah

1
B. Pengertian Sholat
Menurut bahasa, shalat berarti (do’a) atau rahmat. Shalat dalam arti doa
bisa ditemukan dalam QS.At-Taubah/9:103. Sedangkan shalat dalam arti
rahmat bisa ditemukan dalam QS.Al-Ahzab/33:43. Adapun pengertian shalat
menurut istilah adalah:...
“Suatu ibadah yang terdiri dari ucapan dan perbuatan tertentu yang dibuka
dengan takbir dan ditutup dengan salam.”
Di dalam islam, shalat mempunyai arti penting dan kedudukan yang sangat
istimewa, antara lain:
1. Shalat merupakan ibadah yang pertama kali diwajibakan oleh Allah SWT
yang perintahnya langsumg di terima oleh Rasulullah SAW pada malam
Isra-Mi’raj (QS.Al-Asra’/17:1).
2. Sholat merupakan tiang agama. Nabi SAW bersabda:....
“Pokok perkara adalah islam, tiangnya adalah shalat dan puncaknya
adalah jihad.”
3. Shalat merupakan amalan yang pertama kali dihisab pada hari kiamat.
Nabi SAW bersabda:...
“Yang pertama kali dihisab (amalan) seorang hamba pada hari kiamat
adalah shalat...”(HHR.Al-Tirmidzi, Al-Nasa’I, Ibn Majah, Ahmad dan
Al-Thabrani.)
Sholat Fardlu

Shalat fardlu yang dikenal dengan shalat wajib, maksudnya shalat


lima waktu yang diwajibkan oleh Allah SWT dalam sehari semalam, yang
disyari'atkan pada tahun 11 dari kenabian Muhammad saw atau tahun 621
M ketika beliau dimi'rajkan

1
C. Waktu Shalat Fardlu

1. Dhuhur

Permulaan waktu shalat Dhuhur adalah dari tergelincirnya matahari


dari tengah-tengah langit, sedangkan akhir waktu shalat Dhuhur adalah
ketika bayangan sesuatu benda itu sama panjangnya dengan benda
aslinya.

2. Ashar

Permulaan waktu shalat Ashar adalah ketika bayangan sesuatu telah


sepanjang bendanya,Yaitu mulai dari berakhirnya waktu Dhuhur,
sedangkan akhir waktu shalat Ashar sampai terbenamnya matahari.

3. Maghrib

Permulaan shalat Maghrib adalah telah sempurnanya matahari


terbenam, sedangkan akhir waktu shalat Maghrib apabila telah hilang
syafaq merah (awan merah telah terbenam).

4. Isya’

Permulaan shalat Isya’ adalah dari terbenamnya awan merah sampai


separuh malam yang Akhir (menjelang fajar)

5. Shubuh

Permulaan shalat Shubuh dari saat terbitnya fajar Shadiq (garis putih
yang melintang dari Selatan ke Utara dari kaki langit sebelah Timur)
sampai terbitnya matahari.

2
D. Tata Cara Shalat Nabi Muhammad saw.
Tata cara shalat haruslah sesuai dengan yang diajarkan oleh junjungan
kita, Nabi Muhammad saw. Sebuah hadits yang masyhur, Rasulullah
bersabda: Shalat lah kamu sekalian sebagaimana melihatku shalat.  Cara
Shalat yang benar telah banyak dibahas dalam berbagai macam buku baik
buku fiqih maupun buku yang secara khusus membahas cara shalat.
Salah satu kewajiban seorang muslim adalah mendirikan shalat lima
waktu (fardhu). Sholat fardhu merupakan salah satu dari rukun Islam yang
lima, sehingga bagaimanapun keadaannya, seorang muslim tidak boleh
meninggalkannya. Bahkan saat seorang muslim tidak bisa menggerakan
tangan dan kakinya, selama dia masih sadar, shalat ini tetap tidak boleh
ditinggalkan. Pada dasarnya semua shalat baik yang fardhu maupun sunnah
itu memiliki tata-gerakan yang sama, kecuali pada shalat jenazah dan shalat
gerhana.
Berikut ini adalah tata cara sholat Nabi Muhammad saw:
1. Niat
Di dalam hati secara ikhlas karena Allah semata (QS.Al-Bayyinah/98:5).
Niat adalah perbuatan hati, bukan perbuatan mulut sehingga tidak perlu
diucapkan. Apalagi tidak ada satu pun hadis yang menjelaskan tentang
adanya tuntunan melafalkan niat ketika hendak memulai shalat. Niat
secara bahasa berarti menyengaja (al-qasdhu: maksud) sehingga siapapun
yang menyengaja suatu perbuatan maka sebenarnya ia telah mempunyai
niat di dalam hatinya.
2. Berdiri sempurna menghadapp ke arah qiblat.
Hal ini dipahami dari firman Allah SWT: ....

3
“Peliharalah segala shalat (mu), dan (peliharalah) shalat wustha (yakni
shalat ‘Ashr). Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan
khusyu.”(QS.Al-Baqarah/2:238)
Demikian pula sabda Nabi saw ketika menjawab pertanyaan sahabat
‘Imran binHushain yang sedang sakit ambeyen (wasir): ....
“Shalatlah dengan berdiri. Jika engkau tidak mampu maka (shalatlah)
dengan duduk, dan jika tetap tidak mampu maka dengan berbaring!”
(HSR.Al-Bukhari, dari ‘Imran bin Hushain).
Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya shalat itu
diperintahkan dengan berdiri. Namun jika dalam keadaan darurat, sulit
dan tidak memungkinkan untuk berdiri misalnya karena sakit, berperang,
musafir di atas kendaraan, maka diperbolehkan duduk, bahkwan jika tidak
mampu duduk.
3. Bertakbir dengan mengucapkan “Allahu Akbar”
Takbir pertama ini disebut takbiratul-ihram. Disebut demikian karena
setelah takbir ini diharamkan melakukan gerakan lain di luar gerakan
yang dituntunkan dalam shalat hingga salam.
Takbir ini disyari’atkan dengna berdasarkan beberapa hadis, antara lain
hadis riwayat Abu Hurairah bahwa Nabi saw bersabda:....
“Apabila kamu bangkit berdiri untuk shalat, maka sempurnakan dalam
berwudlu, kemudian menghadap qiblat, lalu bertakbirlah, kemudian
bacalah Al-Qur’an yang paling mudah yang ada padamu!” (Muttafaq
‘alayh)
Cara melakukan takbiratul-ihram yaitu:
a. Mengangkat kedua tangan sejajar dengan telinga dan bahu sekaligus,
sambil bertakbir: Allahu Akbar. Dasarnya adalah hadis dari Abu
Qilabah bahwa Malik bin al-Huwayrits ra:
“Apalagi bertakbir, beliau mengangkat kedua tangannya hingga
keduanya sejajar dengan kedua telinganya.” (HSR. Muslim, al-
Bayhaqi dan Ibn Hibban. Dalam redaksi yang lain riwayat Muslim,
Abu Dawud, al-Nasai dan Ahmad, dari Wa’il menyebutkan :...

4
“sejajar dengan kedua telinganya” atau .... : “hingga keduanya sejajar
dengan kedua bahunya sedang kedua ibu jarinya sejajar dengan
kedua telinganya lalu bertakbir.” (Abu Dawud, 2/385:622)
Ibn ‘Umar ra juga menceritakan bahwa Nabi saw: ...
“Apabila (beliau saw) berdiri untuk shalat, beliau mengangkat kedua
tanganyya hingga keduanya sejajar bahunya...” (HR.Jama’ah. dalam
redaksi Musmil (juz 2/6:888), Abu Dawud, al-Nasa’I, dan al-
Bayhaqimada tambahan: ... “kemudian bertakbir”). Tapi redaksi
muslim yang lain bahwa Malik bin al-Huwayrits:... :”bertakbir
kemudian mengangkat kedua tangannya”. (HSR.Muslim 2/7:890,
Malik, al-Bayhaqi).
Karena kedua cara ini sama-sama didasarkan pada hadis sahih,
maka tidak perlu dipertentangkan satu sama lain, apakah mau
mengangkat kedua tangan dahulu kemudian bertakbir, ataukah
bertakbir dulu lalu mengangkat tangan. Bisa jadi pula cara
pelaksanaannya secara bersamaan karena umumnya redaksi yang
lebih kuat (seperti: al-Bukhari), tidak menyebutkan kata urutan: ...
(kemudian), tapi ketika kata penggabungan: .. (dan) seperti: ... atau ...
(saat/ketika) yang tidak mesti menunjukkan urutan, tapi bisa juga
menunjukkan waktu bersamaan/sekaligus. Redaksi al-Bukhari dan Ibn
‘Umar yang lain bahwa ia melihat Nabi saw:...
“Beliau (Nabi saw) membuka takbir shalat dengan mengangkat kedua
tangan saat bertakbir hingga kedua tangannya sejajar dengan kedua
bahunya, dan bila bertakbir untuk ruku’ juga berbuat seperti itu, bila
beliau berkat:”sami’a-llahu li man hamidah” beliau juga berbuat
seperti itu dan berdoa: “robbana walakal-hamd”. Beliau tidak
berbuat seperti itu (yakni tidak mengangkat kedua tangan) saat sujud
dan tidak pula saat mengangkat kepalanya dari sujud.” (HR.Al-
Bukhari I/258, no:705;al-Nasa’I 2/121:876
b. Meletakkan tangan kanan di atas punggung pergelangan dan lengan
kiri, dan mengencangkan keduanya dia atas dada.

5
Menurut Wa’il bin Hujr ra bahwa:...
“Beliau (Nabi saw) meletakkan tangannya yang kanan di atas
punggung telapak tangan kirinya, pergelangan dan lengan
bawahnya.” (HSR.Abu Dawud, Ahmad, al-Bayhaqi, Ibn Khuzaymah,
Ibn Hibban)
Hadis senada berasal dari Abu Hazim, dari Sahl bin Sa’ad ra.
Bahwa:...
“Orang-orang diperintahkan (oleh Nabi saw) agar meletakkan
tangan kanannya dia atas lengan kirinya dalam shalat” (HSR.Al-
Bukhari, Malik)
Dalam HR. Ibn Khuzaymah yang lain juga dari Wa’il ra. bahwa
setelah takbiratul-ihram, posisi tangan kanan Nabi saw diletakkan di
atas tangan kiri dalam keadaan memegang tangan kiri:...
“Ketika bertakkbir, beliau mengangkat kedua tangannya hingga
sejajar dengan kedua telingannya kemudian beliau meletakkan
tangan kanannya di atas tangan kirinya lalu memegangnya.”
(HRR.Ibn Khuzaymah)
Hadis yang lain menyebutkan bahwa kedua tangan tersebut diletakkan
dia atas dada. Hal ini diriwayatkan bahwa saat Nabi saw bangkit
menuju mihrab untuk shalat:...
“Lalu beliau mengangkat kedua tangannya dengan bertakbir,
kemudian meletakkan tangan kanannya dia atas tangan kirinya di
atas dadanya.” (HHR.Al-Bayhaqi dan al-Thabrani)
Sekiranya hadis yang menuntunkan untuk meletakkan tangan kanan di
atas pergelangan dan lengan tangan kiri dipraktekkan dengan benar
maka letak kedua tangan pasti akan berada di atas pusar (yakni: di
dada), bukan di bawah pusar apalagi hadisnya daif dan munkar.
c. Pandangan kea rah tempat sujud (HR.Al-Bayhaqi dan al-Hakim),
tidak boleh menutup mata (Jawa: merem), tidak boleh menengadah ke
atas (HR. Al-Bukhari dan Abu Dawud), dan tidak memalingkan
pandangan (al-iltifat) ke kanan-kiri (HR. Al-Bukhari).

6
d. Kemudian membaca salah satu do’a iftitah berikut:...
“‫ا‬GGَ‫ اللَّهُ َّم نَقَنِي ِمنَ ال َخطَاي‬، ‫ب‬ ِ ‫ َك َما بَا َعدْتَ بَ ْينَ ْال َم ْش ِر‬، ‫ي‬
ِ ‫ق َوال َم ْغ ِر‬ َ ‫اللَّهُ َّم بَا ِع ْد بَ ْينِي َوبَ ْينَ َخطَايَا‬
ِ ‫ َوالثَّ ْل‬، ‫ي بِ ْال َما ِء‬
‫ َوالبَ َر ِد‬، ‫ج‬ ِ ‫َك َما يُنَقَّى الثَّوْ بُ اَأْل ْبيَضُ ِمنَ ال َّدن‬
َ ‫ اللَّهُ َّم ا ْغ ِسلْ خَ طَايَا‬، ‫َس‬

4. Membaca Surat Al-Fatihah


secara tartil (jelas dan perlahan) dengan sebelumnya ta’awwudz tanpa
dikeraskan, lalu membaca basmalah (yakni “Bimillahir-rahmanir-
rahim”).
Membaca al-Fatihah dalam shalat ini wajib berdasarkan hadis Nabi saw:..
“Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul-Kitab”.
(HSR.Al-Jama’ah kecuali Imam Malik, dari ‘Ubadah bin al-Shamit.
Dalam HSR. Al-Jama’ah selain al-Bukhari, dari Abu Hurayrah ra
disebutkan bahwa:
“Siapa yang shalat tanpa membaca Ummul-Qur’an,...: maka shalatnya
kurang/bunting (diulang hingga 3x), tak sempurna.”)
Penekanan hadis di atas adalah pada ketidakabsahan shalat
seseorang yang tidak membaca al-Fatihah padahal dia mampu dan punya
kesempatan membacanya, misalnya pada kasus shalat sendirian. Tetapi
untuk kasus shalat berjama’ah di mana ma’mun masbuq (terlambat) tidak
sempat mendapatkan bacaan al-Fatihah imam tetapi masih mendapatkan
ruku’ bersama imam maka shalatnya tetap sah dan sudah dihitung
mendapat 1 rakaat, hanya saja kurang sempurna karena ia melewatkan al-
Fatihah bersama imam.
Para ulama berbeda pendapat dalam membaca basmallah saat
membaca surat al-Fatihah dalam shalat jahr. Ada yang membacannya
dengan keras (jahr), ada juga yang melirihkannya (sir), bahkan ada yang
sama sekali tidak membacanya. Bagaimanapun juga basmallah sudah
masuk dalam bagian al-Fatihah sehingga tetap harus dibaca. Hanya saja
umumnya ulama berbeda pendapat, apakah dalam shalat jahar basmallah
dibaca keras ataukah dibaca lirih. Yang jelas kedua cara ini ada dasar
hadisnya.

7
Menurut riwayat Nu’aim al-Mujmir ra. bahwa:...
Aku pernah shalat di belakang Abu Hurayrah ra. maka beliau membaca
Bismillahir-rahmanir-rahim, lalu membaca Ummul-Qur’an...., ia
berkata: “Demi Dzat yang diriku ada dalam grnggamannNya, sungguh
aku menyerupakan pada kalian shalat Rasulullah saw.” (HR.Al-Nasa’I,
al-Bayhaqi, al-Daruquthni, Ibn Hibban dan Ibn Khuzaymah).
Hadis tersebut sering dijadikan sebagai dalil mengeraskan bcaan
basmalah. Sedangkan dasar hadis melirihkan basmalah adalah hadis
riwayat Anas bin Malik ra. bahwa:...
“Aku pernah shalat bersama Rasulullah saw, Abu Bakr, ‘Umar, dan
‘Utsman, aku tak mendengar satupun di antara mereka yang membaca
Bismillahir-rahmanir-rahim.”(HSR,Muslim, al-Nasa’I, Ahmad).
Setelah membaca al-Fatihah langsung membaca Amin. Setelah itu,
membaca surat atau kelompok ayat lain yang mudah dalam al-Qur’an
tanpa mengeraskan basmalah (HR. Mualim dan Ahmad).
5. Ruku’.
Angkat kedua tangan seperti takbiratul-ihram sambil bertakbir: Allahu
Akbar menuju keposisi ruku’
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa posisi kedua tangan saat
ruku’ ada pada kedua lutut dalam keadaan menggenggam, sehingga sudut
Ketika sedang ruku’ dituntunkan membaca do’a:...
َ ‫ك اللّهم َربَّنَا َوبِ َح ْم ِد‬
“ ‫ك اللَّهُم ا ْغفِرْ لِي‬ َ َ‫“ ُسب َْحان‬
6. I’tidal setelah ruku’ yakni berdiri tegak (i’tidal) dengan sempurna dan
tenang (thuma’ninah).
Saat i’tidal, dituntunkan untuk mengucapkan:...

ِ ْ‫ت َو ِملْ اَأْلر‬


“ ‫ض َو ِملْ ُء َما ِشْئتَ ِم ْن َش ْي ٍء بَ ْع ُد‬ ِ ‫ك ْال َح ْم ُد ِملْ ُء ال َّس َمو‬
َ َ‫“ َربَّنَا َول‬
Posisi tangan setelah i’tidal adalah tegak lurus dan tidak sedekap di
dada, karena tidak ada hadis maqbul yang menjelaskan adanya tuntunan
sedekap setelah i’tidal kecuali hanya penafsiran terhadap hadis. Hadis
yang dimaksud antara lain diceritakan oleh Abu Humayd al-Sa’idiy
bahwa Nabi saw:...

8
7. Sujud.
Bertakbirlah tanpa mengangkat tangan menuju gerakan sujud dengan
meletakkan kedua lutut lebih dahulu lalu kedua tangan, kemudian
letakkan wajah (dahi dan hisung). Posisi saat sujud adalah dengan
menempelkan 7 tulang di tanah, sebagaimana dilaporkan oleh Ibn ‘Abbas
ra bahwa:....
“Aku diperintahkan (oleh Nabi saw) untuk sujud di atas 7 tulang, yaitu:
dahi sambil tangannya menunjuk pada hidungnya, kedua tangan, kedua
kaki dan ujung kedua kaki, dan kami dilarang menyibakkan kain dan
rambut.” (HR. Al-Bukhari, Muslim)
Sujud secara proporsional menurut Nabi saw adalah kedua telapak
tangan diletakkan sejajar dengan kedua telinga (HR. Ahmad) atau dalam
redaksi yang lain: wajahnya diletakkan di antara kedua telapak tangannya
(HR.Ahmad, Muslim) dimana jari jemarinya dirapatkan (HR. Ibn Hibban,
al-Thabrani) dan dihadapkan kearah qiblat (HR. Al-Bayhaqi). Nabi saw
juga menuntunkan agar mengangkat kedua siku dari lantai (HR. Muslim,
Ahmad) dan merenggangkan keduanya dari ketiak dan lambungnya
(Muttafaq ‘alayh), dan juga merenggangkan kedua pahanya, tapi tidak
menempelkan perutnya pada kedua pahanya (HR. Abu Daud & al-
Bayhaqi). Nabi saw menuntunkan supaya mengangkat pantat (HR.
Ahmad), namun tidak boleh berlebih-lebihan dengan memanjangkan
sujud hingga perutnya mendekati lantai (jakhkha) (HR. Ibn Khuzaymah,
Ibn Mundzir).
Untuk cara sujud perempuan sama dengan sujudnya laki-laki,
karena hadis yang menyuruh perempuan untuk merapatkan tangannya ke
lambungnya, hadisnya daif karena terputus sanadnya (mursal).
Adapun doa yang biasa dibaca oleh Nabi saw saat sujud dan ruku’
adalah:...
“ ‫ك اللهُ َّم ا ْغفِرْ لِي‬ َ َ‫” ُسب َْحان‬
َ ‫ك اللهُ َّم َربَّنَا َوبِ َح ْم ِد‬

9
8. Duduk diantara dua sujud
Dengan membaca doa “ ‫“ اللَّهُ َم ا ْغفِرْ لِي َوارْ َحمنِي َواجْ بُرْ نِي َوا ْه ِدنِي َوارْ ُز ْقنِي‬

Lalu sujudlah untuk kedua kalinya dengan bertakbir dan membaca do’a
sujud seperti sebelumnya.
Ketika bangkit dari sujud kedua pada rakaat ganjil dan akan berdiri
pada rakaat genap, disunahkan untuk duduk istirahat sejenak dengan cara
iftirasy kemudian baru berdiri (HR. al-Jama’ah kecuali Muslim) dengan
menekankan kedua telapak tangan (tanpa dikepalkkan) di tanah lalu
meletakkan keduanya pada kedua paha untuk berdiri dan langsung
sedekap, tanpa mengangkat tangan. Selanjutnya kerjakanlah raka’at kedua
ini, seperti raka’at yang pertama, hanya saja tidak membaca doa iftitah.

9. Duduk sejenak
kemudian berdiri untuk raka’at yang kedua dengan menekankan tangan
pada tanah.
10. Pada raka’at yang kedua, dikerjakan sama seperti pada raka’at
pertama, hanya saja tidak membaca iftitah
11. Duduk
Setelah sujud kedua, maka dituntunkan untuk duduk. Jika dalam posisi
duduk tasyahhud awal maka posisi duduknya iftirasy yakni duduk di atas
bentangan kaki kiri sementara telapak kaki kanan ditegakkan dengan jari
kaki kanan menghadap qiblat. Namun jika sudah dalam posisi duduk
tasyahud akhir maka poosisi duduknya tawarruk yakni pangkal paha atas
(pantat) yang kiri duduk bertumpu pada lantai sedangkan posisi kaki
kanan sama dengan tahiyat awal.
Pada saat tasyahhud, bacalah tahiyyat dengan posisi jari-jari tangan
kiri terjulur di atas lutut, sedangkan jari-jari tangan kanan dalam posisi
mengepal kecuali telunjuk yang menunjuk untuk berdoa.

Adapun bacaan tahiyyat atau tasyahhud awal dan akhir antara lain :...

10
Mengenai penambahan kata sayyidina Muhammad dalam shalawat
shalat, tidak satupun hadis menuntunkannya sehingga tidak disunahkkan
menggunakannya meskipun maksud penghormatan. Tetapi di luar bacaan
shalat, boleh saja menyebutkan sayyidina Muhammad sebagai ekspresi
cinta dan penghormatan Nabi saw.

Setelah shalawat, berdo’alah untuk memohon perlindungan

11
12. Salam. Setelah berdoa dalam tasyahhud akhir, kemudian salamlah dengn
berpalinag ke kanan hingga terlihat pipimu dari belakang dengan
mebaca:...
“As-salamu ‘alaykum wa rahmatullah”
Lalu berpaling ke kiri juga membaca:...
“ As-salamu ‘alaykum wa rahmatullah”
Baik salam ke kanan maupun ke kiri tanpa mengucapakan
tambahan wa barakatuh (HSR. Muslim, al-Tirmidzi, Abu Dawud, al-
Nasa’i, Ibn Majah, Ahmad). Inilah pendapat yang paling kuat dan
dipegangi oleh mayoritas ulama. Pada saat salam, tidak ditutunkan
mengibaskan tangan kanan saat salam ke kanan, demikian pula ke kiri
seperti ekor kuda yang lari terbirit-birit. Sebab Nabi saw pernah melarang
sahabat yang mengibaskan tangan kanannya ke kanan saat salam ke
kanan, kemudian tangan kirinya saat salam ke kiri. (HR. Muslim no:431,
Ibn Khuzaymah, al-Thabrari

E. Penutup

Shalat merupakan rukun Islam yang kedua setelah syahadat. Islam didirikan
atas lima sendi (tiang) salah satunya adalah shalat. Sehingga barang siapa yang
mendirikan agama, dan barang siapa yang meninggalkan shalat, maka ia
meruntuhkan agama(Islam).

Shalat yang wajib harus didirikan dalam sehari semalam sebanyak lima kali,
berjumlah 17 raka’at. Shalat tersebut wajib dilaksanakan oleh muslim baligh tanpa
terkecuali baik dalam keadaan sehat maupun sakit, dalam keadaan susah maupun
senang, lapang ataupun sempit. Selain shalat wajib yang lima ada juga shalat sunah

Tata cara shalat haruslah sesuai dengan yang diajarkan oleh junjungan kita,
Nabi Muhammad saw. Sebuah hadits yang masyhur, Rasulullah bersabda: Shalat lah
kamu sekalian sebagaimana melihatku shalat. Cara Shalat yang benar telah banyak
dibahas dalam berbagai macam buku baik buku fiqih maupun buku yang secara
khusus membahas cara shalat.

12
DAFTAR PUSTAKA

Jamaluddin, Syakir, 2014. Fiqih Ibadah, Yogyakarta: Gramasurya

13
14

Anda mungkin juga menyukai