Takbiratul Ihram
Takbiratul ihram harus diucapkan dengan lisan (bukan diucapkan di dalam hati).
# An-Nawawi berkata,
“…adapun selain imam, maka disunnahkan baginya untuk tidak mengeraskan suara ketika membaca lafal takbir,
baik apakah dia sedang menjadi makmum atau ketika shalat sendiri. Tidak mengeraskan suara ini jika dia tidak
menjumpai rintangan, seperti suara yang sangat gaduh. Batas minimal suara yang pelan adalah bisa didengar oleh
dirinya sendiri jika pendengarannya normal. Ini berlaku secara umum baik ketika membaca ayat-ayat Al-Qur’an,
takbir, membaca tasbih ketika ruku’, tasyahud, salam dan do’a-do’a dalam shalat baik yang hukumnya wajib
maupun sunnah…” beliau melanjutkan, “Demikianlah nash yang dikemukakan Syafi’i dan disepakati oleh para
pengikutnya. Asy Syafi’i berkata dalam al-Umm, ‘Hendaklah suaranya bisa didengar sendiri dan orang yang
berada disampingnya. Tidak patut dia menambah volume suara lebih dari ukuran itu.’.” (al Majmuu’ III/295).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu memulai shalatnya dengan takbiratul ihram yakni mengucapkan Allahu
Akbar di awal shalat dan beliau pun pernah memerintahkan seperti itu kepada orang yang shalatnya salah.
Adapun saat mengangkat tangan ketika takbir berdasarkan riwayat yang shahih ada tiga macam:
Cara ini menurut ulama Hanafiah adalah yang paling baik. Alasannya ialah mengangkat kedua tangan itu merupakan
simbol untuk meniadakan sifat-sifat kebesaran kepada selain Allah. Sedangkan takbir itu sendiri merupakan
pengukuhan akan kebesaran Allah. Peniadaan harus didahulukan daripada pengukuhan seperti dalam kalimat
“syahadat”. (Lihat Ibnu Hajar Al-Atsqalani, Fatkhul Bari, (Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 1379 H), juz 2, h.218).
Dalam syahadat sebelum mengukuhkan bahwa hanya Allah lah Tuhan yang wajib disembah, ditiadakan dulu adanya
Tuhan-tuhan selain Allah.
2) Mengucapkan Takbir Terlebih Dahulu, Baru Kemudian Mengangkat Kedua Tangan
Tentang cara yang kedua ini, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Saya tidak pernah menjumpai ulama yang
berpendapat bahwa takbir itu didahulukan daripada mengangkat tangan.” (Lihat Ibnu Hajar Al-Atsqalani, Fatkhul
Bari, (Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 1379 H), juz 2, h.218).
Menurut Imam Nawawi, cara ini adalah benar sebagaimana juga dilakukan oleh Imam Syafi’i.
1) Kedua Tangan Sejajar Telinga; Dimana Kedua Ibu Jari Sejajar Dengan Bagian Telinga Paling Bawah
3) Ujung-Ujung Jari Kedua Tangan Sejajar Dengan Puncak Kedua Telinga, Kedua Ibu Jari Sejajar Dengan
Ujung Bawah Telinga Dan Kedua Telapak Tangan Sejajar Dengan Kedua Bahu.
Cara ini adalah cara yang paling utama dan dipakai oleh jumhur ulama.
An-Nawawi berkata: asy-Syafi’i memilih cara ini sebagai hasil dari penyatuan beberapa hadits, dan akhirnya banyak
diikuti oleh umat islam.
# “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya dengan membuka jari-jarinya lurus ke
atas –tidak merenggangkannya dan tidak pula menggengamnya.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Tamam dan
Hakim).
# “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya.” (HR. Muslim dan Abu
Dawud)
# Dalam sebuah riwayat pernah beliau melewati seorang yang sedang shalat, tetapi orang ini meletakkan tangan
kirinya pada tangan kanannya, lalu beliau melepaskannya, kemudian orang itu meletakkan tangan kanannya pada
tangan kirinya. (HR. Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad yang shahih).
# Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan lengan kanan pada punggung telapak kirinya, pergelangan dan
lengan kirinya, berdasar hadits dari Wail bin Hujur:
“Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir kemudian meletakkan tangan kanannya di atas telapak
tangan kiri, pergelangan tangan kiri atau lengan kirinya.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Khuzaimah, dengan
sanad yang shahih dan dishahihkan pula oleh Ibnu Hibban).
# Beliau terkadang juga menggenggam pergelangan tangan kirinya dengan tangan kanannya,
“Tetapi beliau terkadang menggenggamkan jari-jari tangan kanannya pada lengan kirinya.” (HR. An-Nasa’i dan
Daruqutni dengan sanad shahih).
Ini merupakan persoalan yang menjadi perselisihan di kalangan ulama. Sebabnya ialah ditemukannya banyak hadits
yang tidak menjelaskan secara detail mengenai posisi tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan di
dalam kitab-kitab hadits Bukhari dan Muslim. Hanya ada satu hadits yang menjelaskan secara meyakinkan perihal
posisi tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah.
Namun hadits tersebut ternyata tidak banyak dikutip oleh Imam-imam besar seperti Syafi’i, Maliki, Hanafi dan
Hambali.
Maka berkembanglah tata cara meletakkan kedua tangan dalam beberapa cara.
Cara ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
Cara ini dianut oleh Imam Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri.
Menurut imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu Jilid III hadits ini merupakan hadits yang lemah (dhaif), karena
hadits ini diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Ishak Al-Wasithi, sedangkan ia adalah perawi dhaif menurut
kesepakatan dari para ulama hadits (muhadditsin) dalam bidang jarh wa ta’dil.
Menurut Al-Baihaqi, “Sanadnya tidak kuat, karena Abdurrahman bin Ishak Al-Wasithi adalah perawi yang matruk.”
Menurut Aini Al-Hanafi dalam kitab ‘Umdatul Qari’ jilid IV; ini adalah perkataan Ali bin Abi Thalib dari
periwatannya kepada Rasulullah tidak benar.
Mereka juga berpedoman pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah “Meletakkan telapak tangan di bawah
pusar termasuk sunnah dalam shalat” (Hadits dhaif diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Hazm dari
Abdurrahman bin Ishak Al-Wasithi)
Dan dari Anas radhiyallahu anhu, ia berkata, “Di antara sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya di bawah pusar.” Ini juga hadits yang dhaif (tidak ada sanadnya),
kedhaifan hadits ini diterangkan oleh Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla jilid IV.
Oleh Syaikh Al-Albani dalam kitabnya Sifat Shalat Nabi menyebutkan bahwa makna dada adalah dada kita ini, jadi
bukan di atas pusar tapi tetap di atas dada.
Dan mengomentari kedudukan hadits ini, penulis kitab Nailul Authar Imam Asy-Syaukani mengatakan bahwa,
# “Hadits ini adalah hadits paling kuat dalam babnya yang menerangkan tentang posisi tangan saat shalat.”
# “Imam Ishaq bin Rahawaih meriwayatkan hadits secara mutawatir kepada kami…. Beliau mengangkat kedua
tangannya ketika berdo’a qunut dan melakukan qunut sebelum ruku’. Beliau menyedekapkan tangannya berdekatan
dengan teteknya.“
Pendapat yang semacam ini juga dikemukakan oleh Qadhi ‘Iyadh al- Maliki dalam bab Mustahabatu ash-Shalat
pada Kitab Al I’lam, beliau berkata:
# “Dia (Imam Ishaq bin Rahawaih) meletakkan tangan kanan pada punggung tangan kiri di dada.“
Cara ini dilakukan oleh Imam Syafi’i (meletakkan kedua tangan sedikit di bawah dada dan di atas pusar sedikit
miring ke arah kiri) dan jumhur ulama.
Sungguhpun ada hadits dari Wail yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah yang secara tegas mengatakan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan kedua tangannya di atas dadanya, namun ulama besar lebih
banyak memilih cara ini. Hal ini disebabkan karena hanya dalam shahih Ibnu Khuzaimah-lah, terdapat riwayat Wail
menyatakan secara tegas posisi tangan di atas dada. Padahal hadits yang sama dalam kitab-kitab yang sudah diakui
keshahihannya, yaitu dalam kitab Bukhari dan Muslim, riwayat Wail tidak menceritakan secara detail posisi tangan
diletakkan setelah takbiratul ihram.
Para ulama pendukung cara ini berpendapat, bahwa meletakkan kedua tangan di daerah antara bawah dada dan pusar
mempunyai hikmah yang sangat besar. Pengarang kitab Faedul Qodir, Abdul Rauf al-Manawi, mengatakan bahwa
hikmah meletakkan kedua tangan di bawah dada di atas pusar adalah, bahwa tempat tersebut adalah hati, anggota
badan yang paling mulia, dan di dalam hatilah tempatnya niat. Niat sangat berhubungan dengan kekhusyu’an shalat,
maka dapat dirasakan lebih khusu’ ketika kita shalat dengan tangan di antara pusar dan dada, daripada ketika tangan
berada di atas dada.
e) Pandangan Mata
Madzhab Al-Hanafiyah, Asy-Syafi’iyyah dan Al-Hanabilah berpendapat bahwa pada saat mengerjakan shalat,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menundukkan kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke tempat sujud.
# “Saat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menundukkan kepalanya dan memandang tempat sujud dan
tatkala beliau memasuki Ka’bah pandangannya tetap kearah tempat sujud sampai beliau keluar Ka’bah. (HR.
Baihaqi dan Hakim, dishahihkan oleh Hakim)
# “…. Maka sungguh Kami akan memalingkanmu kearah kiblat yang kamu sukai, maka palingkanlah mukamu
kearah Masjidil Haram.” (QS. Al-Baqarah: 144)
Menurut Imam Maliki, firman Allah, “Maka palingkanlah wajahmu kearah Masjidil Haram,” apabila pandangan
orang shalat diarahkan ke tempat sujud, maka membutuhkan posisi tunduk dan hal ini akan mengganggu
kesempurnaan posisi berdiri. Sebagian mereka juga berpendapat bahwa arah pandangan ketika shalat adalah
diarahkan ke dada. Menurut Syarik Al-Qadhi, ketika orang yang shalat sedang berdiri, arah pandangannya adalah
tempat sujud, seperti pendapat mayoritas ulama, karena akan terasa tenang, dan akan mengarah pada khusu’.
Sedangkan ketika ia sedang ruku’, pandangannya diarahkan ke dua belah kaki, dan ketika ia sedang sujud
pandangannya diarahkan ke batang hidung, adapun ketika ia sedang duduk arah pandangannya adalah tembok di
depan-nya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir jilid I)
3) Memalingkan Wajah
Seseorang yang tengah melakukan shalat, tidak diperbolehkankan untuk memalingkan wajahnya. Karena, pada
waktu itu Allah tengah berhadapan dengan wajah hambanya. Sehingga apabila seorang hamba memalingkan
wajahnya, secara tidak langsung ia telah memalingkan wajahnya dari Allah.
Dalam Zaadul Ma’aad I/248 disebutkan bahwa makruh hukumnya orang yang sedang shalat menolehkan kepalanya
tanpa ada keperluan. Ibnu Abdil Bar berkata, “Jumhur ulama mengatakan bawa menoleh yang ringan tidak
menyebabkan shalat menjadi rusak.”
Juga dimakruhkan shalat dihadapan sesuatu yang bisa merusak konsentrasi atau di tempat yang ada gambar-
gambarnya, diatas sajadah yang ada lukisan atau ukiran, dihadapan dinding yang bergambar dan sebagainya.
4) Memejamkan Mata
Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama; apakah dibolehkan atau tidak.
Menurut Ibnu Qayyim: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengajarkan pada kita untuk memejamkan
mata ketika shalat, dan ulama berbeda pendapat dalam memakruhkannya. Imam Ahmad dan lainnya menganggap
hal itu makruh, menurut mereka itu adalah perbuatan Yahudi, namun sebagian ulama membolehkannya dan tidak
menganggapnya makruh. Karena menurut mereka, demikian itu (memejamkan mata) akan dapat membantu untuk
mencapai kekhusyu’an sebagai inti shalat dan tujuan utamanya.
Dalam kitab Zaadul Ma’ad jilid I, disebutkan bahwa yang tepat adalah: apabila membuka kedua kelopak mata tidak
mengganggu konsentrasi maka itu lebih baik, namun apabila di depan arah kiblatnya terdapat dinding yang dihiasi
dengan ukiran yang dapat mengganggu konsentrasi shalat, maka dalam kondisi ini memejamkan mata tidak
dimakruhkan sama sekali. Dalam kondisi ini pendapat yang mengatakan memejamkan mata lebih dianjurkan dekat
sekali dengan pendapat yang menganggap makruh memejamkan mata, jika tidak ada halangan apa pun.
5) Menengadah Ke Langit
Sebagian jama’ah dalam shalat, mereka mengangkat pandangan ke langit. Perbuatan ini dengan tegas dilarang oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjanjikan siksa bagi pelakunya.
# “Hendaklah orang-orang berhenti menengadah ke langit ketika sedang shalat atau matanya tidak dikembalikan
lagi kepada mereka.” (Dalam riwayat lain dikatakan: “Atau mata-mata mereka akan dicopot.)” (HR. Bukhari,
Muslim dan Siraj)
# Dari Anas radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Mengapa sekelompok kaum mengangkat pandangan (menengadahkan wajah mereka) ke langit dalam shalat?
Beliau mengangkat suara sampai beliau berkata, akhiri itu semua dan hendaknya turunkan pandangan mereka
(lihat ke arah sujud).” (HR. Bukhari)
Menurut Qadhi ‘Iyadh’, “Ulama berbeda pendapat dalam hal mengangkat pandangan ke langit saat berdo’a, dan
bukan ketika shalat. Menurut Syuraih dan ulama lainnya itu dilarang. Namun mayoritas mereka membolehkannya
dan mereka berpendapat, langit adalah kiblat atau arah untuk berdo’a, sebagaimana Ka’bah kiblat dalam shalat.
Mengangkat pandangan ke langit saat berdo’a tidak dilarang, sebagaimana tidak dilarang mengangkat tangan dalam
berdo’a”. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
# “Di langit rezekimu dan apa yang kau janjikan.” (QS. Adz-Dzariyat: 22)
Do’a iftitah dibaca pada raka’at pertama sebelum membaca surat Al-Fatihah. Dalam do’a iftiftah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengucapkan pujian, sanjungan dan kalimat keagungan untuk Allah.
Beliau pernah memerintahkan hal ini kepada orang yang salah melakukan shalatnya dengan sabdanya:
# “Tidak sempurna shalat seseorang sebelum ia bertakbir, mengucapkan pujian, mengucapkan kalimat keagungan
(do’a iftiftah), dan membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang dihafalnya…” (HR. Abu Dawud dan Hakim, disahkan oleh
Hakim, disetujui oleh Dzahabi).
Pertama: Berdasarkan riwayat Imam Syafi’i yang bersumber dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, yang
menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai shalatnya dengan bacaan:
# “(INNII) WAJJAHTU WAJHIYA LILLADZII FATHARAS SAMAWAATI WAL-ARDHA HANIIFAN,
WAMAA ANA MINAL MUSYRIKIIN, INNAA SHALAATII WANUSUKII WAMAHYAA-YA WAMAMA-TII
LILLAAHI RABBIL ‘ALAMIN. LAA SYARIIKALAHUU WABIDZAALIKA UMIRTU WA ANA AWWALUL
MUSLIMIN (ADA SEBAGIAN YANG MENGATAKAN, “WA ANA MINAL MUSLIMIN”). ALLAHUMMA
ANTAL MALIKU LAA ILAAHA ILLA ANTA SUBHAANAKA WABIHAMDIKA RABBII WA ANA
‘ABDUKA, ZHALAMTU NAFSI WA’TARAFTU BI DZANBII FAGHFIRLII DZUNUUBII JAMII’AN LAA
YAGHFIRUHAA ILLAA ANTA. WAHDINII LIAHSANIL AKHLAAQ, LAA YANDII LI AHSANIHAA ILLAA
ANTA, WASH RIF ‘ANNI SAYYI-AHAA LAA YASRIFU ‘ANNII SAYYI-AHAA ILLAA ANTA, LABBAIKA
WA SA’DIKA WAL KHAIRU BIYADIKA WASY SYARRU LAISA ILAIKA WAL-MUHDII MAN HADAITA
ANA BIKA WAILAIKA LA MANJA MINKA ILLAA ILAIKA, TABAARAKA WA TA-’AALAA,
ASTAGHFIRUKA WA ATUUBU ILAIKA”.
[Artinya]: “Aku hadapkan wajahku dengan penuh keridhaan kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi. Dan
kami bukanlah dari golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, matiku, semuanya
hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tidak ada yang menyerupainya, dan untuk itulah aku diperintahkan, dan
kami adalah dari golongan orang-orang yang` pertama berserah diri. (Ada yang menggunakan redaksi “dari
sebagian golongan orang-orang yang berserah diri). Ya Allah, ya Tuhanku! Engkaulah Raja Diraja, tidak ada
Tuhan kecuali Engkau, maha suci Engkau, dan hanya dengan memuji Engkau wahai Tuhanku, dan aku adalah
hamba-Mu, Aku telah menzalimi diriku sendiri, dan aku bergelimang dengan dosa maka ampunilah dosa-dosaku
semua. Tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau. Aku memenuhi panggilan-Mu dan kebahagiaan dan
kebaikan ada pada-Mu, sedangkan kejelekan tidak pada-Mu. Engkaulah Tuhan yang menunjukkan orang-orang
yang telah engkau beri petunjuk, aku menghadap kepada-Mu, tidak ada tempat berlindung kecuali kepada-Mu. Ya
Allah Engkau Tuhan pemberi berkah dan yang maha luhur, aku mohon ampun kepada-Mu dan aku bertaubat
kepada-Mu.” .” (HR. Imam Syafi’i)
Doa yang panjang ini, boleh dibaca hanya sampai pada “Wa ana minal muslimin“.
Doa ini biasanya didahului dengan bacaan takbir, tahmid dan tasbih, sebagai berikut:
[Artinya]: “Allah Maha besar tiada yang menandingi kebesaran-Nya, segala puji sebanyak-banyaknya bagi Allah,
maha suci Allah pada pagi dan petang.”
Tambahan ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu anhu yang
mengatakan bahwa pada waktu para sahabat shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada salah
seorang yang membaca bacaan di atas. Kemudian Nabi berkata,
# “Siapa yang membaca bacaan Allahu Akbar dst.. . ” Seorang sahabat menjawab, “Saya ya Rasulullah!”
Kemudian Rasul berkata, “Saya kagum pada bacaan itu, karena bacaan itu, pintu-pintu langit terbuka.” (HR.
Muslim)
Kedua: Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah oleh Bukhari dan Muslim:
[Artinya]: “Ya Allah! Jauhkanlah aku dari dosa-dosaku sebagaimana Engkau jauhkan antara timur dan barat. Ya
Allah! Bersihkan daku dari dosa-dosaku sebagaimana bersihnya baju putih daripada kotoran. Ya Allah! Sucikanlah
aku dari dosa-dosaku dengan air, air salju, dan embun.” (HR. Muttafaq ‘alaih)
3. Membaca Ta’awudz
# Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk shalat, beliau mengucapkan,
“Ya Allah Sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari godaan syaitan yang terkutuk.” (Sunan As-Shagir)
Para ulama berbeda pendapat tentang sunnahnya membaca ta’awudz selain raka’at pertama. Yang berpendapat
bahwa membaca ta’awudz adalah disunnahkan dalam setiap raka’at, berdasarkan dengan firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala:
# “Apabila kamu membaca Al-Qur’an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang
terkutuk.” (An Nahl: 98).
Dan pendapat ini adalah yang paling shahih dalam madzhab Syafi’i dan diperkuat oleh Ibnu Hazm (Lihat al
Majmuu’ III/323 dan Tamaam al Minnah 172-177).
[Artinya]: “Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk, dari semburannya (yang menyebabkn gila), dari
kesombongannya, dan dari hembusannya (yang menyebabkan kerusakan akhlaq).” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah,
Daraquthni, Hakim dan dishahkan olehnya serta oleh Ibnu Hibban dan Dzahabi).
[Artinya]: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Pemurah”, dengan suara lirih. (HR. Bukhari
Muslim, Abu ‘Awanah, Thahabi, dan Ahmad)
4. Membaca Al-Fatihah
Membaca Al-Fatihah merupakan salah satu dari sekian banyak rukun shalat, jadi kalau dalam shalat tidak membaca
Al-Fatihah maka tidak sah shalatnya.
# Sesungguhnya Abu Saib mendengar Abu Hurairah mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
‘Barangsiapa yang mengerjakan shalat tanpa membaca surat Al-Fatihah, maka shalatnya cacat, shalatnya cacat,
shalatnya cacat tidak sempurna.’ Aku bertanya, ‘Wahai Abu Hurairah sesungguhnya aku kadang-kadang jadi
makmum.’ Abu Hurairah memberikan isyarat kepada kedua tanganku. Lalu beliau berkata, ‘Ya Faris! Bacalah di
dalam Hatimu’” (HR. Muslim dan Ibnu Khuzaimah).
# “Tidak sah shalat seseorang jika tidak membaca Al-Fatihah.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu ‘Awanah dan Baihaqi)
b) Kapan Kita Wajib Membaca Al-Fatihah
Para ulama juga masih berbeda pendapat mengenai kapan diwajibkannya membaca surat Al-Fatihah, apakah setiap
raka’at atau pada sebagian raka’at saja. Imam Syafi’i berpendapat bahwa wajib hukumnya membaca surat Al-
Fatihah di setiap raka’at. Sedangkan Imam Hasan al-Bashri dan ulama Basrah berpendapat cukup pada raka’at
pertama saja. Menurut Imam Al-Auza’i, perbedaan ini disebabkan hadits tentang persoalan ini terlalu umum,
sehingga memungkinkan banyak pemahaman.
Sedangkan ulama yang berpendapat tidak perlu membaca bismillah adalah ulama yang menyatakan bahwa bismillah
bukanlah bagian dari surat Al-Fatihah. Ulama yang berpendapat demikian ialah Imam Malik dan Imam Abu
Hanifah. Alasannya ialah karena bismillah bukan bagian dari Al-Fatihah, maka konsekuensinya tidak wajib dibaca
ketika shalat. Di samping itu mereka juga berargumentasi dengan hadits berikut:
Ulama yang berpendapat bahwa basmalah termasuk bagian surat Al-Fatihah dan wajib membacanya ketika shalat
ialah Imam Syafi’i. Alasannya ialah hadits berikut:
# Ibnu Juraij meriwayatkan dari Abdullah bin Abi Mulaikah yang mendengar dari Ummu Salamah, bahwa:
“Sesungguhnya ia pernah ditanya tentang bacaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Ummu Salamah
menyatakan, ‘Ia putus-putuskan (membacanya) ayat demi ayat, seperti Bismillaahir-rahmaanir-rahiim.
Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin. Arrahmaanir rahiim. Maaliki yaumiddin …” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
# Abu Hurairah radhiyallahu anhu menuturkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika kamu semua membaca Alhamdulillah, maka bacalah Bismillaahir-rahmaanir-rahiim. Sesungguhnya itu ayat
darinya (Al-Fatihah) atau salah satu ayat darinya.” (HR. Ad-Daruqutni)
Ketika ada hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai bacaannya dengan
“Alhamdu lillahi rabbil ‘alamin” (Hadits dari Anas menyatakan bahwa Abu Bakar, Umar dan Utsman, mereka
semua tidak membaca “bismillah” ketika memulai bacaan surat Al-Fatihahnya), Imam Syafi’i menanggapinya
dengan mengatakan, “Maksudnya ialah mereka memulai shalatnya dengan bacaan Ummul qur’an sebelum membaca
surat-surat lain. Jadi bukan berarti mereka tidak membaca bismillah, baik sesudah maupun sebelum.”
Menurut Imam Syafi’i, bismillah ini dibaca mengikuti sifat bacaan surat Al-Fatihah, ketika al-Fatihah pada tempat
yang harus dibaca keras (jahr), maka bismillah juga harus dibaca keras, sedang kalau pada tempat yang harus dibaca
lirih (sirr), maka bismillah juga harus di baca lirih. Jadi dalam madzhab Syafi’i, membaca bismillah saat membaca
surat Al-Fatihah adalah wajib.
Jadi kalau kita sedang shalat sendirian (munfarid) maka wajib untuk membaca Al-Fatihah, begitu pun pada shalat
jama’ah ketika imam membacanya secara sirr (tidak diperdengarkan) yakni pada shalat Dzuhur, ‘Ashr, satu raka’at
terakhir shalat Mahgrib dan dua raka’at terakhir shalat ‘Isya, maka para makmum wajib membaca surat Al-Fatihah
tersebut secara sendiri-sendiri secara sirr (tidak dikeraskan).
3) Pendapat Basmalah Termasuk Bagian Surat Al-Fatihah Tetapi Dibaca Secarah Lirih (Tidak Dikeraskan)
Dari hadits-hadits di atas, sepintas ada pertentangan antara hadits yang mendukung pendapat bahwa basmalah
termasuk bagian surat Al-Fatihah dengan hadits yang mendukung pendapat bahwa basmalah tidak termasuk bagian
surat Al-Fatihah, benarkah?
Menurut Ibnu Qaiyim, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu membaca bismillah dalam
shalat. Hanya saja beliau sering membacanya dengan suara lirih/sirr (tidak dikeraskan).
[Artinya]: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Pemurah”, dengan suara lirih. (HR. Bukhari
Muslim, Abu ‘Awanah, Thahabi, dan Ahmad)
Dalam membaca Al-Fatihah disunnahkan membacanya ayat demi ayat, dan berhenti pada setiap akhir ayat.
Demikianlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam membaca Al-Fatihah, yaitu beliau berhenti pada setiap akhir
ayat. Beliau tidak menyambung satu ayat dengan ayat sesudahnya, meskipun ada hubungan antara kedua ayat
tersebut.
# Ibnu Juraij meriwayatkan dari Abdullah bin Abi Mulaikah yang mendengar dari Ummu Salamah, bahwa:
“Sesungguhnya ia pernah ditanya tentang bacaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Ummu Salamah
menyatakan, ‘Ia putus-putuskan (membacanya) ayat demi ayat, seperti Bismillaahir-rahmaanir-rahiim.
Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin. Arrahmaanir rahiim. Maaliki yaumiddin …” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
# Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat Al-Fatihah pada setiap raka’at. Membacanya dengan berhenti
pada setiap akhir ayat (waqaf), tidak menyambung satu ayat dengan ayat berikutnya (washal). Jadi bunyinya:
Begitulah seterusnya sampai selesai. Beliau tidak menyambung ayat satu dengan ayat berikutnya. (HR. Abu
Dawud, Sahmi dan ‘Amr Ad-Dani, dishahihkan oleh Hakim, disetujui Adz-Dzahabi)
(HR. Tamam Ar-Razi, Ibnu Abu Dawud, Abu Nu’aim dan Hakim, disahkan oleh Hakim dan disetujui oleh Dzahabi.
Qira’ah membaca ma pendek riwayatnya mutawatir, sama dengan membaca maaliki dengan ma panjang)
Disunnahkan membaca ‘amin’ setelah selesai membaca Al-Fatihah. Hal ini berdasarkan hadits berikut:
# Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
“Apabila seorang Qori (pembaca Al-Fatihah) mengucapkan ‘amin’, maka ikutilah karena sesungguhnya Malaikat
ikut meng-amini-nya. Maka barang siapa ucapan amin-nya berbarengan dengan ucapan ‘amin’ para malaikat,
maka orang tersebut dosa-dosanya yang telah lampau diampuni.” (HR. Bukhari)
Membaca salah satu surah Al-Qur’an atau beberapa ayat yang dihafalnya setelah membaca Al Fatihah dalam shalat
hukumnya sunnah. Membaca surah Al-Qur’an ini dilakukan pada dua raka’at pertama.
Namun para ulama berbeda pendapat mengenai apakah membaca surat / ayat Al-Qur’an itu disunnahkan setiap
raka’at. Imam Malik berpendapat bahwa disunnahkan hanya pada raka’at pertama dan kedua, sebagaimana hadits di
atas. Sedangkan pada raka’at berikutnya cukup dengan membaca Al-Fatihah saja [Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi].
Sedangkan menurut Imam Syafi’i, hukum membaca surat / ayat Al-Qur’an setelah membaca Al-Fatihah adalah
sunnah, bahkan bukan hanya di dua raka’at yang pertama saja, melainkan pada semua raka’at. Imam Syafi’i bahkan
mengatakan, paling tidak seseorang yang mengerjakan shalat itu membaca surat-surat pendek setelah dua raka’at
pertama, misalnya surat Al-kautsar atau lainnya. Hadits yang menjadi landasan Imam Syafi’i adalah yang
diriwayatkan dari Abu Said, sebagai berikut:
Pada shalat munfarid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surah-surah yang panjang kecuali dalam
kondisi sakit, batuk atau sedang dalam perjalanan, sedangkan kalau sebagai imam disesuaikan dengan kondisi
makmumnya (misalnya ada bayi yang menangis maka bacaan diperpendek).
Surah yang dibaca dalam setiap shalat adalah beragam dan berbeda, contohnya, bacaan pada shalat Shubuh biasanya
lebih panjang dibandingkan bacaan pada shalat-shalat lima waktu lainnya. Shalat berikutnya yang agak panjang
bacaannya yaitu shalat Dzuhur, Ashar, Isya, baru setelah itu shalat Maghrib. Disunnahkan agar bacaan pada raka’at
pertama lebih panjang dibandingkan raka’at kedua.
# “Dalam satu shalat terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi satu surah dalam dua raka’at, kadang
pula surah yang sama dibaca pada raka’at pertama dan kedua.” (HR. Ahmad dan Abu Ya’la, juga hadits shahih
yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Al-Baihaqi atau riwayat dari Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim,
disahkan oleh Al-Hakim disetujui oleh Ad-Dzahabi)
# “Terkadang beliau membolehkan membaca dua surah atau lebih dalam satu raka’at.” (HR. Bukhari dan At-
Tirmidzi, dinyatakan oleh At-Tirmidzi sebagai hadits shahih)
# “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya membaca surah dengan jumlah ayat yang berimbang antara raka’at
pertama dengan raka’at kedua.” (HR. Bukhari dan Muslim)
# Dalam shalat yang bacaannya di-jahr-kan Nabi membaca dengan keras dan jelas. Tetapi pada shalat Dzuhur dan
Ashar juga pada shalat Maghrib pada raka’at ketiga ataupun dua raka’at terakhir shalat Isya Nabi membacanya
dengan lirih yang hanya bisa diketahui kalau Nabi sedang membaca dari gerakan jenggotnya, tetapi terkadang
beliau memperdengarkan bacaannya kepada mereka tapi tidak sekeras seperti ketika di-jahr-kan.” (HR. Bukhari,
Muslim dan Abu Dawud)
# Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering membaca suatu surah dari awal sampai selesai selesai. Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
“Berikanlah setiap surah haknya, yaitu dalam setiap (raka’at) ruku’ dan sujud.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Ahmad
dan ‘Abdul Ghani Al-Maqdisi)
# Dalam membaca surat Al-Qur’an Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya dengan tartil, tidak
lambat juga tidak cepat -sebagaimana diperintahkan oleh Allah- dan beliau membaca satu per satu kalimat, sehingga
satu surat memerlukan waktu yang lebih panjang dibanding kalau dibaca biasa (tanpa dilagukan). Rasulullah berkata
bahwa orang yang membaca Al-Qur’an kelak akan diseru:
“Bacalah, telitilah dan tartilkan sebagaimana kamu dulu mentartilkan di dunia, karena kedudukanmu berada di
akhir ayat yang engkau baca.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi, dishahihkan oleh At-Tirmidzi)
# Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surah Al-Qur’an dengan suara yang bagus, maka beliau juga
memerintahkan yang demikian itu:
“Perindahlah / hiasilah Al-Qur’an dengan suara kalian [karena suara yang bagus menambah keindahan Al-
Qur’an].” (HR. Bukhari, Abu Dawud, Ad-Darimi, Al-Hakim dan Tamam Ar-Razi)
# “Bukanlah dari golongan kami orang yang tidak melagukan Al-Qur’an.” (HR. Abu Dawud dan Al-Hakim,
dishahihkan oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah selesai membaca surat dari Al-Qur’an kemudian berhenti sejenak,
sebatas pengambilan nafas. Lalu beliau mengangkat kedua tangannya sambil bertakbir seperti ketika takbiratul
ihram (setentang bahu atau daun telinga) kemudian ruku’ (merundukkan badan kedepan dipatahkan pada pinggang,
dengan punggung dan kepala lurus sejajar lantai).
7. Ruku’
a) Cara Ruku’
# “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (ketika ruku’) meletakkan kedua tangannya pada kedua lututnya.”
(HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).
# “Jika kamu ruku’ maka letakkan kedua tanganmu pada kedua lututmu dan luruskanlah punggungmu serta
tekankan tangan untuk ruku’ (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
# “Beliau menyandarkan kedua telapak tangannya pada kedua lututnya seakan-akan memegang erat kedua lututnya
itu.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud)
3) Merenggangkan Jari-Jemari
# “Jika kamu ruku’, letakkanlah tanganmu pada lututmu, kemudian renggangkanlah jari-jarimu, kemudian
tenanglah sampai ruas tulang belakangmu mantap di tempatnya.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).
4) Antara Kepala Dan Punggung Lurus, Kepala Tidak Mendongak Tidak Pula Menunduk Tetapi Tengah-
Tengah Antara Kedua Keadaan Tersebut.
# “Beliau tidak mendongakkan kepalanya, tetapi posisi kepala sama rata dengan punggung.” (HR. Bukhari,
Muslim, Abu Dawud dan Abu ‘Awanah)
# “Beliau tidak mendongakkan kepalanya dan tidak pula menundukkannya.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud).
# “Shalat seseorang sempurna setelah dia melakukan ruku’ dan sujud dengan meluruskan punggungnya.” (HR. Abu
‘Awanah, Abu Dawud dan Sahmi)
# Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat dan melirik orang yang tidak melakukan ruku’ dan sujud dengan
punggung yang lurus. Ketika selesai shalat, beliau bersabda:
“Wahai kaum muslimin, sesungguhnya tidak sah shalat orang yang tidak melakukan ruku’ dan sujud dengan
meluruskan punggungnya” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Majah dan Ahmad, hadits shahih).
# “Beliau bila ruku’, meluruskan dan membentangkan punggungnya sehingga bila air dituangkan di atas punggung
beliau, air tersebut tidak akan bergerak.” (HR. Thabrani, ‘Abdullah bin Ahmad dan Ibnu Majah).
# “Beliau menjauhkan (membuka) kedua siku ke samping kiri dan kanan badannya.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan
oleh Ibnu Khuzaimah)
# Beliau pernah melihat orang yang ruku’ dengan tidak sempurna dan sujud seperti burung mematuk, lalu berkata:
“Kalau orang ini mati dalam keadaan seperti itu, maka ia mati di luar agama Muhammad [shalatnya seperti gagak
mematuk makanan] sebagaimana orang ruku’ tidak sempurna dan sujudnya cepat seperti burung lapar yang
memakan satu, dua biji kurma yang tidak mengenyangkan.” (HR. Abu Ya’la, Al-Ajiri, Al-Baihaqi, Adh-Dhiya’ dan
Ibnu Asakir)
# Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan ruku’ dengan tenang dan menyuruh orang yang shalatnya salah
berbuat demikian. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa wallam bersabda:
“Sempurnakanlah ruku’ dan sujudmu! Demi Tuhan yang menggenggam jiwaku, aku benar-benar dapat melihat
kamu dari balik punggungku” (HR. Bukhari dan Muslim)
# “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadikan ruku’, berdiri setelah ruku’ dan sujudnya, juga duduk antara
dua sujud hampir sama lamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Lafal yang dibaca ketika ruku’ telah ditentukan sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafi‘i
yaitu: “Subhana Rabbial Adzim” (3x). Menurut pendapat mereka, tidak boleh membaca selain ini karena bacaan
untuk ruku‘ dan sujud atau tauqifi, sudah merupakan ketetapan yang baku. Pendapat mereka di dasarkan pada dalil
hadits:
Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa lafal untuk ruku‘ dan sujud tidak ada lafal yang baku. Sebagaimana
pengertian dalil yang dipahami beliau:
# Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
”Ketahuilah bahwa aku dilarang membaca Al-Quran dalam ruku‘ dan sujud. Dalam ruku‘, (ta‘dzhimkan)
agungkanlah Rabbmu dan dalam sujud (bertasbihlah) sucikanlah rabbmu.” (HR Muslim, Abu Dawud, An-Nasai,
Al-Baihaqi, Ahmad)
Bacaan ruku’ ada beberapa versi, dan kesemuanya boleh dijadikan sebagai bacaan ruku’, karena bacaan tersebut
memiliki dasar-dasar yang kuat dari hadits yang berbeda-beda, di antaranya adalah:
Bacaan 1:
# Dari Hudzaifah,
“Bahwa Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan:
[Artinya]: “Mahasuci Allah, Tuhanku Yang Maha Agung” (HR. Ibnu Khuzaimah)
Bacaan 2:
[Artinya]: “Mahasuci Allah, Tuhanku Yang Maha Agung, dan aku ruku’ dengan memuji-Mu”. (HR Abu Dawud,
Daruqutni meriwayatkannya dari Ibnu Mas’ud)
Menurut Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, beberapa perawi hadits ini adalah dhaif. Namun demikian ada riwayat lain
yang menguatkan hadits ini, yaitu hadits Hudzaifah yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah di atas, serta hadits
Aisyah radhiyallahu anha berikut:
Keterkaitan hadits ini dengan do’a di atas adalah pada bacaan “tahmidnya”; artinya kalau Rasulullah juga pernah
bertahmid dalam ruku’nya, maka berarti tahmid tidak dilarang. Dengan demikian, sungguhpun hadits Uqbah yang
diriwayatkan Abu Dawud dhaif, namun bisa dipakai karena didukung oleh hadits lain yang shahih.
Bacaan 3:
[Artinya]: “Mahasuci Allah, Tuhan kami, dan segala puji bagi-Mu. Ya Allah, ampunilah aku.” (HR. Muttafaq
‘alaih)
Setelah ruku’ dengan sempurna dan selesai membaca do’a, maka kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal). Waktu
bangkit tersebut membaca tasmi (Sami’ Allaahu Liman Hamidah) disertai dengan mengangkat kedua tangan
sebagaimana waktu takbiratul ihram.
9. I’tidal
a) Cara I’tidal
Adapun dalam tata cara i’tidal ulama berbeda pendapat menjadi dua pendapat, pertama mengatakan bersedekap dan
yang kedua mengatakan tidak bersedekap tapi melepaskannya (berdiri dengan sikap sempurna).
1) Bersedekap:
Keterangan untuk pendapat pertama, yaitu kembali meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri atau
menggenggamnya dan menaruhnya di dada, ketika telah berdiri. Hal ini berdasarkan nash di bawah ini:
# “Ia (Wa-il bin Hujr) berkata: “Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila beliau berdiri dalam
shalat, beliau memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya.” (HR. An-Nasa’i)
# “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah, ia berkata dari Malik, ia berkata dari Abu Hazm, ia
berkata dari Sahl bin Sa’d ia berkata: “Adalah orang-orang (para sahabat) diperintah (oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam) agar seseorang meletakkan tangan kanannya atas lengan kirinya dalam shalat.” (HR. Bukhari)
Komentar dari Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baaz (termaktub dalam fatwanya yang dimuat dalam majalah
Rabithah ‘Alam Islamy, edisi Dzulhijjah 1393 H/Januari 1974 M, tahun XI):
# “Dari hadits shahih ini ada petunjuk diisyaratkan meletakkan tangan kanan atas tangan kiri ketika seorang
Mushalli (orang yang shalat) tengah berdiri baik sebelum ruku’ maupun sesudahnya. Karena Sahl
menginformasikan bahwa para sahabat diperintahkan untuk meletakkan tangan kanannya atas lengan kirinya
dalam shalat. Dan sudah dimengerti bahwa sunnah (Nabi) menjelaskan orang shalat dalam ruku’ meletakkan
kedua telapak tangannya pada kedua lututnya, dan dalam sujud ia meletakkan kedua telapak tangannya pada bumi
(tempat sujud) sejajar dengan kedua bahunya atau telinganya, dan dalam keadaan duduk antara dua sujud, begitu
pun dalam tasyahud ia meletakkannya di atas kedua pahanya dan lututnya dengan dalil masing-masing secara
rinci. Dalam rincian sunnah tersebut tidak tersisa kecuali dalam keadaan berdiri. Dengan demikian dapatlah
dimengerti bahwasanya maksud dari hadits Sahl diatas adalah disyari’atkan bagi Mushalli ketika berdiri dalam
shalat agar meletakkan tangan kanannya atas lengan kirinya. Sama saja baik berdiri sebelum ruku’ maupun
sesudahnya. Karena tidak ada riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membedakan antara keduanya, oleh
karena itu barangsiapa membedakan keduanya haruslah menunjukkan dalilnya. (Kembali pada kaidah ushul fiqh:
“asal dari ibadah adalah haram kecuali ada penunjukannya” -per.)
Pendapat kedua, yaitu tidak bersedekap tapi melepaskannya (berdiri dengan sikap sempurna), berdasarkan hadits:
# “Kemudian angkatlah kepalamu sampai engkau berdiri dengan tegak [sehingga tiap-tiap ruas tulang belakangmu
kembali pata tempatnya].” (dalam riwayat lain disebutkan: “Jika kamu berdiri i’tidal, luruskanlah punggungmu
dan tegakkanlah kepalamu sampai ruas tulang punggungmu mapan ke tempatnya).” (HR. Bukhari dan Muslim, dan
riwayat lain oleh Ad-Darimi, Al-Hakim, Asy-Syafi’i dan Ahmad)
# Dari ‘Aisyah:
“Apabila beliau mengangkat kepalanya dari rukuk, maka dia tidak langsung sujud sebelum berdiri lurus terlebih
dahulu (HR. Muslim)
# “Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri terkadang dikomentari oleh sahabat: “Dia telah lupa” [karena
saking lamanya berdiri]. (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
# “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadikan ruku’, berdiri setelah ruku’ dan sujudnya, juga duduk antara
dua sujud hampir sama lamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
c) Bacaan I’tidal
Ketika bangkit dari rukuk, seorang yang sedang shalat diperintahkan membaca Sami’ allahu Liman Hamidahu
(Allah Maha Mendengar terhadap orang yang memuji-Nya), baik dia sebagai imam maupun makmum. Lalu apabila
dia telah berdiri lurus (i’tidal), maka dia membaca Rabbana wa Laka al-Hamdu (Wahai Tuhan kami, bagi-Mu lah
segala pujian) atau Allahuma Rabbana wa Laka al-Hamdu (Ya Allah Tuhan kami, bagi-Mu lah segala pujian), yaitu
berdasarkan hadits:
# Dari Anas:
“Dan apabila imam membaca Sami’ allahu Liman Hamidahu (Allah Maha Mendengar terhadap orang yang
memuji-Nya), maka katakanlah: Allahumma Rabbana wa Laka al-Hamdu (Ya Allah Tuhan kami, bagi-Mu lah
segala pujian).” (HR. Bukhari)
# Dari Abu Hurairah yang dikeluarkan oleh Ahmad dan lain-lain, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Apabila imam membaca Sami’ allahu Liman Hamidahu (Allah Maha Mendengar terhadap orang yang memuji-
Nya), maka katakanlah: Allahumma Rabbana wa Laka al-Hamdu (Ya Allah Tuhan kami, bagi-Mu lah segala
pujian). Barangsiapa bacaannya bersamaan dengan bacaan malaikat, maka akan diampuni dosa-dosanya yang
telah lalu.” (Al-Bukhari, bab Adzan, pasal Keutamaan Allahumma Rabbana wa Laka al-Hamdu)
Bacaan yang diperintahkan ketika i’tidal, sekurang-kurangnya adalah tahmid (Rabbana wa Laka al-Hamdu). Dan
kalau mungkin, disunnahkan ditambah dengan bacaan-bacaan yang antara lain ditunjukkan dalam hadits berikut:
Bacaan 1:
“RABBANA LAKAL HAMDU MIL US SAMAAWAATI WA MIL-UL-ARDHI WA MIL’U MAA SYI’TA MIN
SYAI-IN BA’DU”
[Artinya]: “Ya Allah ya Tuhan kami, bagi-Mu-lah segala puji, sepenuh langit dan sepenuh bumi, dan sepenuh apa
saja yang Engkau kehendaki sesudah itu.” (Musnad al-Mustkhraj ‘ala shahih Muslim)
Bacaan 2:
[Artinya]: “Ya Allah ya Tuhan kami, bagi-Mu-lah segala pujian yang banyak, yang baik dan yang ada barakah di
dalamnya.”
Maka tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai mengerjakan shalat, beliau bertanya, “Siapa yang
tadi membaca doa.” Seorang laki-laki menjawab, ‘Saya!’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
‘Saya melihat 37 Malaikat tergopoh-gopoh untuk segera menjadi penulis yang pertama’.” (Shahih Ibnu
Khuzaimah).
Bacaan 3:
“RABBANA LAKAL HAMDU MIL’US SAMAWATI WAL ARDHI WA MIL’U MA SYI’TA MIN SYAI’IN
BA’DU. ALLAHUMMA LA MANI’A LIMA A’THAITA WALA MU’THIYA LIMA MANA’TA WA LA
YANFA’U DZAL JADDI MINKAL JADDU”
[Artinya]: “Ya Allah, bagi Engkaulah segala puja dan puji, sepenuh langit, sepenuh bumi, dan sepenuh apa saja
yang engkau kehendaki. Ya Allah Tak ada yang mampu menghalangi apa yang akan Engkau berikan dan tidak ada
pula yang mampu memberikan apa yang Engkau larang dan tidaklah kekayaan itu dapat menolong yang empunya
kecuali seizin Engkau.” (HR. Muslim)
# “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertakbir dan turun untuk sujud.” (HR. Bukhari dan Muslim).
# Perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang shalatnya salah, sebagaimana sabdanya
kepadanya:
“Shalat seseorang tidak sempurna sebelum mengucapkan ‘sami’allaahu liman hamidah’ sampai ia berdiri dengan
tegak, kemudian mengucapkan ‘allaahu akbar’, kemudian sujud sampai ruas tulang belakangnya kembali mapan.”
(HR. Abu Dawud dan Hakim, disahkan oleh Hakim dan disetujui oleh Dzahabi)
# “Bila hendak sujud Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan takbir [dan beliau merenggangkan
tangannya dari lambungnya], kemudian sujud.” (HR. Abu Ya’la dengan sanad jayyid dan Ibnu Hibban dengan
sanad lain yang shahih)
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai apa yang terlebih dahulu harus diturunkan ketika
hendak sujud, yaitu apakah tangan yang terlebih dahulu ataukah lutut.
Para fuqaha yang berpendapat bahwa tangan terlebih dahulu sebelum lutut di antaranya adalah: Al-Hadawiyah,
Imam Malik menurut sebagian riwayat dan Al-Auza‘i.
# “Apabila kamu sujud, maka jangan meletakkan lutut terlebih dulu seperti anak unta, namun letakkanlah kedua
telapak tangan sebelum kedua lutut.” (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ad-Darimi, Bukhari, Ath-
Thahawi, Ad-Daruqutni, Hadzimi, Baihaqi, Ibnu Hazim dan Baghawi, dengan sanad shahih)
Para fuqaha yang berpendapat bahwa lutut terlebih dahulu sebelum tangan, menolak pendapat yang mengatakan
bahwa tangan yang diletakkan terlebih dahulu sebelum lutut, karena menurut anggapan mereka hadits yang
digunakan ada masalah. Karena dalam matannya ada ketidak konsistenan. Yaitu disebutkan bahwa jangan duduk
seperti duduknya unta, lalu diteruskan dengan perintah untuk meletakkan tangan terlebih dahulu. Hal ini justru
bertentangan. Karena unta itu bila duduk, justru kaki depannya terlebih dahulu baru kaki belakang. Sedangkan
perintahnya jangan menyamai unta, artinya seharusnya kaki terlebih dahulu baru tangan.
Ketidak-konsistenan ini dikomentari oleh Ibnul Qayyim bahwa ada kekeliruan dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari ini. Yaitu terbaliknya perintah, seharusnya bunyi perintahnya adalah untuk meletakkan lutut terlebih dahulu
baru tangan. Dan kemungkinan terbaliknya suatu lafal dalam hadits bukan hal yang tidak mungkin.
# Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa ia meletakkan kedua tangannya dulu (ketika akan sujud)
sebelum kedua lututnya dan ia (Ibnu Umar) berkata:
“Demikianlah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukannya.” (HR. Ad-Daruqutni, Ath-Thahawi, Ibnu
Khuzaimah, Al-Bukhari, Al-Hadzimi, Al-Hakim. Dishahihkan oleh Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi).
# Al-Auza’i berkata:
“Kami melihat sahabat meletakkan kedua tangan mereka sebelum menurunkan lutut mereka” (HR. Al-Marwadzi,
hadits shahih)
Sedangkan para fuqaha yang berpendapat bahwa lutut terlebih dahulu sebelum tangan di antaranya adalah: madzhab
Imam Abu Hanifah dan madzhab Imam Asy-Syafi‘i serta menurut sebagian riwayat madzhab Imam Malik.
Menurut Ad-Daruqutni: Dalam periwayatannya Yazid sendirian, dan tidak menyampaikan hadits dari ‘Ashim bin
Kalib selain Syarik, dan Syarik bukan termasuk perawi yang kuat.
Menurut Al-Baihaqi: Hadits ini termasuk hadits yang diriwayatkan secara ifradh oleh Syarik Al-Qadhi. Dan menurut
Ibnu ‘Arabi dalam Kitab ‘Aridhah Al-Ahwadzi bahwa hadits ini gharib (asing tidak pernah didengar)
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Al-Baihaqi dari sanad lain diketahui bahwa ada sanad yang terputus antara Abdul
Jabar dan Ayahnya, ia tidak pernah mendengar hadits ini.
# Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
“Jika salah seorang di antara kamu sujud, hendaknya mulai dengan kedua lutut sebelum kedua tangannya, jangan
menjatuhkan diri seperti kuda jantan” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Ath-Thahawi dan Al-Baihaqi)
Dalam sanad hadits tersebut terdapat nama Abdullah bin Said, dia seorang rawi yang lemah, bahkan menurut Yahya
Al-Qathan dia pendusta. Menurut Ahmad bin Hambal hadits yang diriwayatkannya munkar dan matruk. Menurut
Ibnu Addi’ kebanyakan yang ia riwayatkan jelas kedhaifannya, dan menurut Iman Ad-Daruqutni hadits yang
diriwayatkannya matruk (bagian dari hadits dhaif). Dan menurut Ibnu Hibban ia (Abdullah bin Said) membalik
hadits di atas agar sampai ke hati pembacanya bahwa dia sengaja melakukannya, dan menurut Ibnu Hajar dalam
kitab At-Taqrib, hadits ini matruk derajatnya.
# Dari Abu Hurairah,
“Bahwa apabila Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sujud, beliau memulainya dengan dua lutut sebelum
kedua tangannya.” (HR. Ath-Thahawi)
Karena dalam hadits tersebut terdapat Abdullah bin Said dan ia pelupa dalam hadits, serta kemungkinan dialah yang
memutarbalikkan hadits ini. Diriwayatkan Ibnu Hambal bahwa ia dengan sengaja membalikkan hadits ini agar
pembaca mengetahuinya.
Dalam sanad hadits ini ada Ismail bin Yahya bin Salamah, sedangkan ia seorang perawi yang matruk seperti
diterangkan dalam kitab At-Taqrib, demikian juga anaknya yaitu Ibrahim seorang perawi yang dhaif
Ibnu Qayyim sendiri menganggap hadits ini dhaif dengan perkataannya: Dalam hadits ini ada dua kelemahan (cela):
Pertama: karena diriwayatkan oleh Yahya bin Salamah bin Kuhail, dan menurut An-Nasa’i perawi itu matruk.
Menurut Ibnu Hibban, hadits ini sangat munkar dan tidak dapat dijadikan hujjah. Menurut Ibnu Ma’in, tidak ada
apa-apanya.
Kedua: hadits yang dihafal dari riwayat Mush’ab bin Sa’ad dari ayahnya adalah cerita tentang penerapan, dan
ucapan Sa’ad: kami melakukan hal itu, maka Rasulullah memerintahkan kami untuk meletakkan kedua tangan kami
sebelum lutut.
Menurut Ad-Daruqutni yang diikuti juga oleh Al-Baihaqi, Ala’ bin Ismail sendirian dalam meriwayatkan hadits ini
dari Hafs. Menurut Al-Hafizh dalam kitab At-Talkish dan Al-Baihaqi dalam kitab Al-Ma’rifah: Ala’ sendiri dan ia
perawi yang majhul dan dalam kitab Lisanul Mizan, ia berpendapat bahwa Ala’ ditentang oleh Umar bin Hafs bin
Ghiyas. Ia adalah orang yang paling tepat dari ayahnya, dan diriwayatkan oleh ayahnya dari A’masi dari Ibrahim,
dari ‘Alqamah dan lainnya dari Umar secara mauquf, dan hadits ini yang diingat.
Dalam kitab Ibnu Abi Hatim, Abu Hatim berpendapat: Hadits ini munkar karena terdapat cela.
Hadits ini dianggap Ibnu Qayyim dhaif dengan ucapannya: Abdurrahman bin Abi Hatim berkata: aku bertanya pada
ayahku tentang hadits ini, ayahku menjawab: hadits ini munkar. Hadits ini munkar menurutnya karena diriwayatkan
oleh Ala’ bin Ismail Al-Athar dari Hafs bin Ghiyas, sedangkan Ala’ adalah perawi yang majhul. Namanya tidak
terdapat dalam kitab-kitab hadits.
11. Sujud
Ketika sujud, antara dahi dan tempat sujud tidak boleh ada penghalang, baik rambut maupun pakaian. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyuruh sujud dengan tujuh anggota badan, beliau
melarang melapisi dahinya dengan rambutnya atau pakaiannya.” (HR. Syafi’i; hadits senada juga diriwayatkan
oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad, Imam At-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain)
a) Anggota Sujud
Para Ulama berbeda pendapat mengenai anggota sujud. Secara garis besar pendapat mereka dapat dikategorikan ke
dalam dua kelompok:
Yaitu kedua tangan, kedua lutut, kedua ujung-ujung jari kaki, dan dahi. Hal ini berdasarkan hadits berikut:
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sujud ditopang oleh oleh tujuh anggota badan, yaitu
kedua tangan, kedua lutut, ujung jari jari kaki dan dahi.” (HR Syafi’i; Hadis senada juga diriwayatkan oleh Imam
Bukhari, Imam Muslim, Imam At-Tirmidzi, Imam Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain)
Dari hadits di atas disimpulkan bahwa anggota sujud ada tujuh, yaitu kedua telapak kaki, kedua lutut, kedua telapak
tangan, dan dahi.
Yaitu ketujuh anggota di atas ditambah hidung. Ini adalah menurut pendapat Imam Malik berdasarkan praktek
beberapa sahabat, seperti dikatakan Al-Aza’ i dan Said bin Abdul Aziz:
# “Ibnu Abbas, Said bin Jubair, Ikrimah dan Abdurrahman bin Abu Laila, mereka semua memerintahkan sujud
dengan menyertakan hidung.” (Tafsir Al-Qurthubi)
Kalau Imam Malik menjadikan ujung hidung sebagai salah satu anggota sujud, Imam Syafi’i hanya menganggapnya
sunnah [Asy-Syafi’i, Al-Umm].
“Tidak sah shalat seseorang bila hidung dan dahinya tidak menekan” (HR. Ad-Daruqutni, Thabarani dan Abu
Nu’aim)
b) Cara Sujud
1) Bersujud Pada 7 Anggota Badan, Yakni Kening Dan Hidung (1), Dua Telapak Tangan (3), Dua Lutut (5)
Dan Dua Ujung Kaki (7)
“Aku diperintah untuk bersujud (dalam riwayat lain; kami diperintah untuk bersujud) dengan (7) anggota badan;
yakni kening sekaligus hidung, dua tangan (dalam lafadhz lain; dua telapak tangan), dua lutut, jari-jari kedua kaki
dan kami tidak boleh menyibak lengan baju dan rambut kami. (HR. Al-Jama’ah)
“Bila seseorang sujud, hendaklah menyertakan tujuh anggota badannya, yaitu wajahnya, kedua telapak tangannya,
kedua lututnya, dan kedua kakinya.” (HR. Muslim, Abu ‘Awanah dan Ibnu Hibban)
# “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menekankan kedua lututnya dan bagian depan telapak kaki ke tanah.”
(HR. Al-Baihaqi dengan sanad shahih, Ibnu Abi Syaibah dan Siraj, dishahihkan oleh Hakim dan disetujui oleh
Dzahabi).
# “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menekankan hidung dan dahinya ke tanah.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi,
dishahihkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Malaqqan)
# “Apabila engkau sujud, tekanlah wajahmu dan kedua tanganmu ke tanah sehingga setiap ruas tulangmu kembali
ke tempatnya.” (HR. Ibnu Khuzaimah, dengan sanad hasan)
“Tidak sah shalat seseorang bila hidung dan dahinya tidak menekan” (HR. Ad-Daruqutni, Thabarani dan Abu
Nu’aim)
# “Beliau menempelkan dan mengokohkan kedua lututnya serta ujung-ujung jari kedua kakinya.” (HR. Baihaqi
dengan sanad shahih)
3) Kedua Lengan/Siku Tidak Ditempelkan Pada Lantai, Tapi Diangkat Serta Dijauhkan Dari Sisi
Rusuk/Lambung
“Luruslah kalian dalam sujud dan jangan kamu menghamparkan kedua lenganmu seperti anjing menghamparkan
kakinya.” (HR. Al-Jama’ah kecuali An-Nasa’i, lafadhz ini bagi Bukhari).
# “Apabila kamu sujud, letakkanlah telapak tanganmu dan angkatlah siku lenganmu” (HR. Muslim dan Abu
Awanah)
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bila sujud maka menekankan hidung dan dahinya di tanah serta menjauhkan
kedua tangannya dari dua sisi perutnya, tangannya di taruh sebanding dua bahu beliau” (HR. At-Tirmidzi)
# “Beliau mengangkat kedua lengannya dari lantai dan menjauhkannya dari lambungnya sehingga warna putih
ketiaknya terlihat dari belakang” (HR. Bukhari dan Muslim).
# “Bahkan sekiranya anak kambing kecil lewat di sela-sela ketiaknya, niscaya ia dapat melaluinya.” (HR. Muslim,
Abu ‘Awanah dan Ibnu Hibban)
# Dari Abi Humaid tentang sifat shalat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, ia berkata:
“Apabila dia sujud, beliau merenggangkan antara dua pahanya (dengan) tidak menopang perutnya.” (HR. Abu
Dawud).
# “Beliau menempelkan dan mengokohkan kedua lututnya serta ujung-ujung jari kedua kakinya.” (HR. Baihaqi
dengan sanad shahih)
5) Meletakkan Tangan Sejajar Bahu Dan Kadang-Kadang Sejajar Daun Telinga Serta Melebarkannya Sama
Rata
# “Beliau meletakkan tangannya sejajar dengan bahunya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh
Tirmidzi dan Ibnu Mulaqqan)
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bila sujud maka menekankan hidung dan dahinya di tanah serta menjauhkan
kedua tangannya dari dua sisi perutnya, tangannya di taruh sebanding dua bahu beliau” (HR. At-Tirmidzi)
# “Terkadang beliau meletakkan tangannya sejajar dengan daun telinganya.” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i
dengan sanad shahih)
# “Beliau bersujud dengan bertumpu pada kedua telapak tangannya dan melebarkannya sama rata.” (HR. Abu
Dawud dan Hakim)
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam jika sujud maka merapatkan jari-jemarinya.” (HR. Al-Hakim).
# “Saat bersujud, beliau menempelkan (merapatkan) jari-jari kedua telapak tangannya.” (HR. Ibnu Khuzaimah,
Baihaqi dan Hakim, disahkan oleh Hakim dan disetujui oleh Dzahabi)
# “Beliau mengarahkan jari-jari kedua tangannya ke arah kiblat.” (HR. Baihaqi dengan sanad shahih)
7) Menegakkan Kedua Telapak Kaki, Menghadapkan Punggung Kedua Kaki Dan Ujung Jari Kaki Ke
Kiblat Serta Saling Merapatkan/Menempelkan Kedua Tumit
“Aku kehilangan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam padahal beliau tadi tidur bersamaku, kemudian aku
dapati beliau tengah sujud dengan merapatkan kedua tumitnya (dan) menghadapkan ujung-ujung jarinya ke kiblat,
…” (HR. Al-Hakim dan Ibnu Khuzaimah).
# “Beliau menghadapkan [punggung kedua kakinya dan] ujung-ujung jari kaki ke kiblat.” (HR. Al-Bukhari, dan
Abu Dawud)
# “Beliau merapatkan tumitnya” (HR. Ath-Thahawi, Ibnu Khuzaimah dan Hakim, dishahihkan oleh Hakim dan
disetujui Dzahabi)
“Di antara sunnah shalat adalah menghadapkan jari-jari kaki ke arah kiblat.” (HR. An-Nasa’i dengan sanad
shahih)
Sebagaimana rukun shalat yang lain yang mesti dikerjakan dengan thuma’ninah, maka Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam kalau sujud biasanya juga lama.
# “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadikan ruku’, berdiri setelah ruku’ dan sujudnya, juga duduk antara
dua sujud hampir sama lamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Lafal yang dibaca ketika sujud telah ditentukan sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafi‘i
yaitu: “Subhana Rabbial A’la” (3x). Menurut pendapat mereka, tidak boleh membaca selain ini karena bacaan
untuk ruku‘ dan sujud atau tauqifi, sudah merupakan ketetapan yang baku. Pendapat mereka di dasarkan pada dalil
hadits:
”Ketika turun ayat (Fasabbih bismi rabbikal ‘adzhim), Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada
kami,”Jadikanlah ayat itu bacaan dalam ruku‘mu. Dan ketika turun ayat (Sabbihisma rabbikal a‘laa) beliau
berkata,”Jadikanlah ayat itu bacaan dalam sujudmu.” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Hakim, al-Baihaqi, Ad-
Darimi)
Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa lafal untuk ruku‘ dan sujud tidak ada lafal yang baku. Sebagaimana
pengertian dalil yang dipahami beliau:
”Ketahuilah bahwa aku dilarang membaca Al-Quran dalam ruku‘ dan sujud. Dalam ruku‘, (ta‘dzhimkan)
agungkanlah Rabbmu dan dalam sujud (bertasbihlah) sucikanlah rabbmu.” (HR Muslim, Abu Dawud, An-Nasai,
Al-Baihaqi, Ahmad)
Bacaan sujud ada beberapa versi, dan kesemuanya boleh dijadikan sebagai bacaan sujud, karena bacaan tersebut
memiliki dasar-dasar yang kuat dari hadits yang berbeda-beda, di antaranya adalah:
Bacaan 1:
“Saya shalat bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam…maka ketika sujud beliau
mengucapkan:
[Artinya]: “Mahasuci Allah, Tuhanku Yang Maha Tinggi” (HR. Ibnu Khuzaimah)
Bacaan 2:
[Artinya]: “Mahasuci Allah, Tuhanku Yang Maha Tinggi, dan aku sujud’ dengan memuji-Mu” (HR. Abu Dawud,
Ad-Daruqutni, Ahmad dan Baihaqi)
Bacaan 3:
“Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam ruku’ dan sujudnya mengucapkan,
[Artinya]: “Mahasuci Allah, Tuhan kami, dan segala puji bagi-Mu. Ya Allah, ampunilah aku.” (HR. Muttafaq
‘alaih)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa saat yang paling dekat antara seorang hamba dengan
Tuhannya adalah ketika ia sedang sujud dalam shalat, sebab sujud merupakan simbol ketundukan yang tertinggi
seorang hamba kepada Tuhannya.
“Hamba yang paling dekat dekat kepada Rabb-nya adalah hamba yang bersujud. Oleh karena itu perbanyaklah
do’a di dalam sujud.” (HR. Muslim, Abu ‘Awanah dan Baihaqi)
# Dalam kaitan dengan sujud ini, Thahir Abu Faasha melantunkan sebuah syair:
“Wahai Tuhanku! Wujud ini telah membuatku rindu, padahal ia hanya dunia-Mu. Lalu, bagaimana kelak dengan
akhirat-Mu?
Nilaiku di sisi-Mu terletak dalam sujud kehinaan, namun jika Engkau ridha maka aku tidak membutuhkan
kekayaan.”
# Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“…dan dalam sujud berijtihadlah dengan berdo’a. Maka sewajarnya do’a tersebut dikabulkan.” (HR. Muslim).
Berkaitan dengan lafal do’a dalam sujud, para ulama berbeda pendapat, apakah lafalnya harus dari ayat-ayat Al-
Quran ataukah boleh ‘karangan’ sendiri.
Imam Abu Hanifah mensyaratkan lafal itu harus berasal dari ayat-ayat Al-Quran. Sedangkan Imam Malik dan Imam
As-Syafi`i berpendapat bahwa lafal do’anya boleh dari selain Al-Quran.
Namun apakah boleh dengan bahasa masing-masing? Bila mengacu pada sakralisme shalat, cenderung tidak
dibenarkan. Kalaupun membuat redaksi sendiri, maka harus dengan bahasa arab yang benar dan lafal do’a itu sendiri
harus senafas dengan tertib dan aturan do’a. Jadi tidak boleh dalam berdo’a kita malah berpuisi atau bersajak semau
kita.
# “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bangkit dari sujudnya seraya bertakbir” (HR. Bukhari dan Muslim)
# “Tidak sempurna shalat seseorang hingga…, dia sujud sampai ruas tulang belakangnya mapan, kemudian
mengucapkan Allahu Akbar, kemudian bangkit dari sujud sampai duduk dengan tegak” (HR. Abu Dawud dan
Hakim)
Duduk ini dilakukan antara sujud yang pertama dan sujud yang kedua, pada raka’at pertama sampai terakhir.
Ada dua macam cara duduk di antara dua sujud, yaitu duduk Iftirasy dan duduk Iq’a.
1) Duduk Iftirasy
Yaitu: Duduk dengan melipat kaki kiri, meletakkan pantat di atas kaki kiri, menegakkan telapak kaki kanan serta
menghadapkan jari-jari kaki kanan ke arah kiblat. Cara duduk seperti ini dilakukan oleh Imam Syafi’i dan Imam
Abu Hanifah.
# “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegakkan kaki kanannya.” (HR. Bukhari dan Baihaqi)
# “Beliau menghadapkan jari-jari kaki kanannya ke arah kiblat.” (HR. An-Nasa’i, shahih)
2) Duduk Iq’a
Yaitu: Duduk dengan menegakkan kedua telapak kaki dan duduk di atas tumit.
# “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang duduk iq’a, yakni [duduk dengan menegakkan telapak dan tumit
kedua kakinya].” (HR.Muslim, Abu ‘Awanah dan Abu Asy-Syaikh)
b) Thuma’ninah
# “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk antara dua sujud dengan thuma’ninah sehingga ruas tulang
belakangnya kembali pada tempatnya.” (HR. Abu Dawud dan Baihaqi, shahih)
# Dan beliau memerintahkan berbuat demikian kepada orang yang shalatnya salah, sebagaimana sabdanya:
“Tidak sempurna shalat seseorang di antara kamu sampai dia berbuat demikian” (HR. Abu Dawud dan Hakim,
disahkan olehnya dan disetujui oleh Dzahabi).
# “Beliau melamakan duduknya hingga hampir sama lamanya dengan sujudnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
# “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadikan ruku’, berdiri setelah ruku’ dan sujudnya, juga duduk antara
dua sujud hampir sama lamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
# “Terkadang beliau diam lama sampai ada orang yang menyangka beliau lupa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan hadits yang ada, terdapat beberapa macam bacaan saat duduk di antara dua sujud, di antaranya adalah:
Bacaan 1:
[Artinya]: “Ya Allah, ampunilah aku, sayangilah aku, cukupkanlah aku, tunjukkanlah aku dan berilah aku rezeki.”
(H.R. At-Tirmidzi dan Abu Dawud)
Bacaan 2:
[Artinya]: “Ya Allah! Ampunilah aku, kasihilah aku, cukupkanlah aku, angkatlah derajatku, berilah aku rezeki dan
tunjukkanlah aku.” (HR. Baihaqi)
Bacaan 3:
[Artinya]: “Ya Allah! Ampunilah aku, kasihilah aku, cukupkanlah aku, angkatlah derajatku, berilah aku rezeki dan
tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan ampunilah aku.”
Doa ini dirumuskan ulama berdasarkan beberapa hadits yang ada. Di antaranya berdasar hadits pada bacaan-2 di atas
yang memerintahkan berdoa dengan:
Penambahan ini berdasarkan pada suatu hadits yang sebenarnya tidak berkaitan dengan duduk di antara dua sujud,
tetapi terkait dengan jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang Badui yang bertanya tentang
doa yang harus ia baca ketika shalat karena ia tidak dapat membaca Al-Qur’an. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab:
[Artinya]: “Ya Allah ampunilah aku, sayangilah aku, tunjukilah aku, sehatkanlah aku, dan berilah aku rezeki.”
(Shahih Ibnu Khuzaimah)
Ditinjau redaksinya, maka keterkaitannya dengan bacaan duduk di antara dua sujud sangat mirip, hanya saja pada
bacaan duduk di antara dua sujud para perawi tidak mencantumkan kata wa aafinii. Maka kalau Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan bacaan ini diucapkan dalam shalat, tentu saja tidak ada salahnya kalau
lafal wa-aafini ditambahkan pada doa tersebut.
Adapun penambahan wa’fu ‘anni, terdapat dalam hadits yang konteksnya sama, tetapi perawinya menyebutkan wa’
fu ‘anni. Yaitu hadits yang diriwayatkan Imam al-Baihaqi. Sehingga lengkapnya doa tersebut sebagai berikut:
Sujud yang kedua ini sama seperti sujud yang pertama, baik dalam hal tata caranya maupun dalam hal bacaannya.
# “Beliau mengucapkan takbir, lalu bersujud untuk sujud yang kedua kalinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
# “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan sujud yang kedua dengan thuma’ninah hingga tulang-tulang
persendiannya menjadi tenang. Sikap seperti ini dilakukan di setiap shalat.” (HR. Abu Dawud dan Hakim dengan
tambahan riwayat dari Bukhari dan Muslim)
Setelah mengangkat kepala dari sujud yang kedua, dan hendak bangkit ke raka’at berikutnya, maka wajib
mengucapkan takbir.
# “Kemudian beliau mengangkat kepalanya, lalu bertakbir.” (HR. Abu Dawud dan Hakim)
# “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bangkit dari duduknya mengucapkan takbir, kemudian berdiri.” (HR. Abu
Ya’la dengan sanad jayyid)
# “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bangkit berdiri untuk melakukan raka’at ketiga sambil bertakbir.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
# “Begitu juga apabila beliau hendak berdiri pada raka’at keempat, maka beliau mengucapkan takbir Allahu
Akbar.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud)
a) Duduk Istirahat
Para Ulama telah sepakat, bahwa duduknya orang yang shalat setelah bangkit dari sujud kedua pada raka’at pertama
dan ketiga, yakni sebelum berdiri ke raka’at kedua dan keempat (duduk istirahat), tidak termasuk kewajiban shalat,
tidak pula termasuk sunnah muakkadah. Kemudian ada perbedaan pendapat, apakah hukumnya sunnah saja atau
memang tidak termasuk kewajiban shalat sama sekali, atau boleh dilakukan oleh yang membutuhkannya karena
fisiknya lemah akibat usia lanjut atau karena sakit atau fisiknya yang tidak fit.
Yang berpendapat bahwa duduk istirahat tersebut hukumnya adalah sunnah adalah Imam Asy-Syafi’i., ulama
Kuffah dan sejumlah ahli hadits, demikian juga menurut salah satu pendapat Imam Ahmad, yaitu berdasarkan
hadits:
Yang berpendapat bahwa duduk istirahat tersebut tidak termasuk kewajiban shalat sama sekali, di antaranya adalah:
Abu Hanifah, Malik dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Mereka menyatakan bahwa karena hadits-hadits
lainnya tidak menyebutkan adanya duduk istirahat tersebut, maka kemungkinannya adalah; bahwa yang disebutkan
dalam hadits Malik bin Al-Huwairits tentang duduk tersebut adalah di akhir hayat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam, yaitu ketika fisik beliau telah lemah atau karena sebab lain.
Dan pendapat ketiga, yaitu menggabungkan antara hadits-hadits yang ada; bahwa duduk istirahat tersebut boleh
dilakukan oleh yang membutuhkannya karena fisiknya lemah akibat usia lanjut atau karena sakit atau fisiknya yang
tidak fit.
Kelompok ini mengatakan, bahwa duduk istirahat tersebut disyariatkan saat dibutuhkan saja (hukumnya mustahab).
Tidak disebutkannya duduk istirahat tersebut dalam hadits-hadits lainnya bukan berarti bahwa duduk istirahat itu
tidak mustahab, melainkan hanya untuk menunjukkan bahwa duduk istirahat itu tidak wajib.
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai apa yang terlebih dahulu harus diangkat ketika
bangkit dari sujud, yaitu apakah tangan yang terlebih dahulu ataukah lutut.
Para fuqaha yang berpendapat bahwa tangan terlebih dahulu sebelum lutut di antaranya adalah: madzhab Imam Abu
Hanifah dan madzhab Imam Asy-Syafi‘i serta menurut sebagian riwayat madzhab Imam Malik.
# Dari Wail bin Hujr radhiyallahu anhu, ia berkata,
”Aku melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bila sujud meletakkan kedua lututnya sebelum kedua
tangannya, dan ketika bangkit dari sujud mengangkat kedua tangannya terlebih dahulu sebelum kedua lututnya.”
(HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ad-Darimi, Ad-Daruqutni, Ath-Thahawi,
Ath-Thabarani, Al-Hadzimi, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Al-Baghawi dan Ibnu Hibban)
Menurut Ad-Daruqutni: Dalam periwayatannya Yazid sendirian, dan tidak menyampaikan hadits dari ‘Ashim bin
Kalib selain Syarik, dan Syarik bukan termasuk perawi yang kuat.
Menurut Al-Baihaqi: Hadits ini termasuk hadits yang diriwayatkan secara ifradh oleh Syarik Al-Qadhi. Dan menurut
Ibnu ‘Arabi dalam Kitab ‘Aridhah Al-Ahwadzi bahwa hadits ini gharib (asing tidak pernah didengar)
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Al-Baihaqi dari sanad lain diketahui bahwa ada sanad yang terputus antara Abdul
Jabar dan Ayahnya, ia tidak pernah mendengar hadits ini.
Imam Asy-Syafi’i setelah menguraikan hadits Malik bin Huwairits berkata, “Kami mengambil pendapat dari hadits
ini. Maka kami memerintahkan orang yang bangun dari sujud atau duduk dalam shalat untuk bertumpu dengan
kedua tangannya secara bersamaan, mengikuti sunnah.”
# “Kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bangkit ke raka’at kedua dengan tangan bertumpu ke tanah.”
(HR. Asy-Syafi’i dan Bukhari)
# “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan ‘ajn ketika shalat, yaitu berdiri ke raka’at berikutnya bertumpu
pada kedua tangannya.” (HR. Abu Ishaq Al-Harbi dengan sanad shahih. Semakna dengan hadits ini diriwayatkan
oleh Baihaqi dengan sanad shahih)
# “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebelum bangkit berdiri, terlebih dahulu beliau duduk istiwa’, …. Lalu
beliau berdiri sambil bertumpu pada kedua telapak tangannya yang menekan tanah atau lantai.” (HR. Bukhari dan
Abu Dawud)
Tasyahud Awal adalah duduk setelah sujud kedua pada raka’at kedua. Sedangkan Tasyahud Akhir adalah duduk
sebelum salam pada raka’at terakhir
a) Cara Duduk Tasyahud Awal
Pada tasyahud awal, duduknya adalah secara Iftirasy, yaitu: duduk dengan melipat kaki kiri, meletakkan pantat di
atas kaki kiri, menegakkan telapak kaki kanan serta menghadapkan jari-jari kaki kanan ke arah kiblat. Cara duduk
seperti ini dilakukan oleh Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah.
# “Beliau menjelaskan bahwa bila duduk dalam tasyahud awal, hendaklah dilakukan dengan thuma’ninah dan
membentangkan paha kiri, lalu bertasyahud.” (HR. Abu Dawud dan Baihaqi dengan sanad jayyid)
Pada tasyahud akhir, duduknya adalah secara tawaruk, yaitu: duduk dengan menghamparkan kaki kiri ke samping
kanan, mendudukkan pantat di atas lantai, menegakkan kaki kanan serta menghadapkan jari-jari kaki kanan ke arah
kiblat. Cara duduk seperti ini dilakukan oleh Imam Syafi’i.
# “Di dalam tasyahud akhir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya dengan duduk tawaruk.” (HR.
Bukhari)
# “Duduk tawaruk yang dicontohkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu dengan cara membentangkan paha
sebelah kiri di atas lantai, lalu mengeluarkan kedua telapak kaki dari arah yang sama.” (HR. Abu Dawud dan
Baihaqi)
# “Duduk tawaruk tersebut yaitu meletakkan kaki kiri di bawah paha dan betisnya.” (HR. Muslim dan Abu
‘Awanah)
c) Letak Duduk Tasyahud Awal Dan Tasyahud Akhir Dalam Shalat Dua Raka’at
Para ulama berbeda pendapat tentang letak duduk tasyahud dalam shalat dua raka’at, seperti shalat Shubuh, shalat
Jum’ah, dan shalat sunnah rawatib. Sebahagian ada yang menyatakan bahwa duduk yang harus dilakukan adalah
duduk iftirasy sebagaimana halnya ketika duduk dalam tasyahud awal, karena duduk tersebut dilaksanakan di
raka’at yang kedua.
# Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian duduk tasyahud setelah raka’at kedua. Bila shalat yang
dilakukannya hanya dua raka’at, seperti shalat Shubuh, beliau duduk iftirasy (HR. An-Nasa’i dengan sanad shahih),
yaitu seperti ketika duduk antara dua sujud. Begitulah keadaan duduk pada tasyahud awal (HR. Bukhari dan Abu
Dawud) dalam shalat tiga raka’at atau empat raka’at.
# Pendapat ini diperkuat dengan hadits yang menceritakan orang yang salah dalam melaksanakan shalatnya,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya:
“Dan apabila kamu duduk dipertengahan shalat, maka tuma’ninahlah dan duduklah di atas paha kirimu kemudian
bertasyhadudlah” (HR. Abu Dawud dan Baihaqi dengan sanad jayyid)
Pendapat ini dipegang oleh ulama Hanabilah, mereka menyatakan bahwa seseorang tidak diperbolehkan melakukan
duduk tawaruk kecuali di raka’at yang terakhir dari shalat yang di dalamnya dilakukan dua kali tasyahud. Mereka
berlandaskan dalil dari Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata:
# “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Setiap dua raka’at; tasyahud dan beliau biasa
membentangkan kaki kirinya dan menegakkan yang kanan.” (HR. Muslim)
Dan dalam tasyahud kedua, pelaksanaan duduk tawaruk tiada lain adalah bertujuan untuk membedakan dua macam
tasyahud, dan setiap shalat yang hanya memiliki satu tasyahud tidak ada kesamaran (keserupaan) lagi, maka tidak
perlu ada pembeda lagi (duduk tawaruk tidak perlu dilakukan).
Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa disunnahkan untuk melakukan duduk tawaruk setiap tasyahud yang
diakhiri dengan salam meskipun bukan tasyahud yang kedua (akhir) sebagaimana halnya tasyahud Shubuh dan
shalat Jum’ah, karena ia merupakan tasyahud yang disunnahkan untuk dipanjangkan pelaksanaannya sehingga
disunnahkan untuk melakukan duduk tawaruk sebagaimana halnya ketika tasyahud kedua (tasyahud akhir).
(Mausu’ah Fiqhiyyah XV/268)
Baik pada tasyahud awal maupun tasyahud akhir, tangan kanan diletakkan di atas paha dan lutut kanan dan tangan
kiri di atas paha dan lutut kiri dengan cara berikut:
1) Menggenggam Jari-Jari Tangan Kanan Dengan Meletakkan Ibu Jari Di Bagian Tengah Di Bawah Jari
Telunjuk
2) Menggenggam Jari-Jari Tangan Kanan Hingga Menyerupai Lingkaran (Meletakkan Ibu Jari Di Atas Jari
Tengah)
# “….Ibu jari dan jari tengahnya membentuk bulatan.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Jarud, Ibnu Khuzaimah
dan Ibnu Hibban dengan sanad shahih)
# “Beliau menunjuk dengan jari telunjuknya, dan meletakkan ibu jarinya di atas jari tengahnya.” (HR. Muslim dan
Abu ‘Awanah)
# “Beliau melebarkan telapak tangan kirinya di atas pahanya yang sebelah kiri, dan menggenggamkan jari-jari
telapak tangannya yang sebelah kanan di atas pahanya yang sebelah kanan, sambil mengarahkan jari telunjuk
tangan kanannya ke arah kiblat, sementara pandangan mata tertuju pada jari telunjuk tersebut.” (HR. Muslim, Abu
‘Awanah dan Ibnu Khuzaimah)
# “Apabila duduk tasyahud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan telapak tangan kanannya di atas paha
kanannya -dalam riwayat lain disebutkan: pada lutut kanannya- dan meletakkan telapak tangan kirinya pada paha
kirinya -pada riwayat lain disebutkan pada lutut kirinya-.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
Baik pada tasyahud awal maupun tasyahud akhir, pandangan mata tertuju pada jari telunjuk tangan kanan yang
sedang memberikan isyarat, dimana pandangan matanya tidak melampaui jari telunjuknya tersebut, yaitu
berdasarkan hadits:
# “Beliau melebarkan telapak tangan kirinya di atas pahanya yang sebelah kiri, dan menggenggamkan jari-jari
telapak tangannya yang sebelah kanan di atas pahanya yang sebelah kanan, sambil mengarahkan jari telunjuk
tangan kanannya ke arah kiblat, sementara pandangan mata tertuju pada jari telunjuk tersebut.” (HR. Muslim, Abu
‘Awanah dan Ibnu Khuzaimah)
Isyarat selama duduk tasyahud awal maupun tasyahud akhir, hanya dilakukan dengan satu jari tangan saja, yaitu jari
telunjuk tangan kanan dengan sedikit membungkukkannya.
# “Nabi pernah melihat seorang sahabat berdo’a sambil mengacungkan dua jarinya, lalu sabdanya kepada orang
itu: ‘Satu saja! Satu saja!’ [Seraya mengacungkan jari telunjuk].” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan An-Nasa’i disahkan
oleh Hakim dan disetujui Dzahabi)
Tentang bagaimana cara dan saat memberi isyarat dengan jari telunjuk tangan kanan tersebut, terdapat beberapa
pendapat. Sebagian mengatakan bahwa jari telunjuk itu digerak-gerakkan, sedangkan pendapat lain mengatakan
bahwa jari telunjuk itu tidak digerak-gerakkan. Sebagian mengatakan bahwa jari telunjuk tersebut digerak-gerakan
secara terus menerus, sedangkan yang lain mengatakan hanya digerak-gerakkan pada saat tertentu saja.
Mereka yang berpendapat harus menggerakkan jari telunjuk, berdalil dengan hadits:
# “(Gerakan jari telunjuk) lebih ditakuti setan daripada (pukulan) besi. (HR. Ahmad, Bazzar, Abu Ja’far, Bukhtari,
Ath-Thabarani, Abdul Ghani Al-Muqaddasi, Rauyani dan Baihaqi)
# “Sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak mengetahui perbuatan ini meniru perbuatan
sahabat yang mengetahuinya, yaitu menggerakkan telunjuknya sambil mengucapkan do’a.” (HR. Ibnu Abi Syaibah
dengan sanad hasan)
# “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggerakkan jari telunjuknya seraya berdo’a dengannya.” (HR. An-
Nasa’i)
# “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan perbuatan ini dalam dua tasyahudnya -tasyahud awal dan
tasyahud akhir-.” (HR. An-Nasa’i dan Baihaqi dengan sanad shahih)
Dalam kitabnya Fi Shifat Ash-Shalat, Syaikh Al-Albani berkata: “Disunnahkan untuk terus berisyarat dengan
telunjuk dan menggerak-gerakannya sampai salam karena do’a dilaksanakan sebelum salam dan ini juga merupakan
pendapat Imam Malik dan yang lainnya,.”
Dalam madzhab Imam Maliki, jari telunjuk digerakkan ke kiri dan ke kanan ketika duduk tasyahud hingga selesai
shalat.
Sebagian ulama berpendapat bahwa menggerakkan jari telunjuk tidak dimulai dari awal tasyahud, akan tetapi
dimulai dari awal do’a. Pendapat ini juga dipegang oleh Syaikh Ibnu Utsaimin.
Penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam bukunya Fatawa Arkanul Islam:
Menggerakkan jari telunjuk dilakukan pada waktu berdoa, bukan di semua waktu tasyahud. Jika kamu berdoa di
waktu tasyahud, maka gerakkan jari telunjukmu, seperti yang dijelaskan dalam sebuah hadits, “Menggerakkannya
seraya berdoa dengannya….”
Di delapan tempat itulah yang perlu kita gerakkan jari telunjuk kita ke arah langit. Di sunnahkan juga ketika berdoa
di selain delapan tempat itu untuk mengangkatnya; karena kaidah umumnya adalah disunnahkan mengangkat jari
telunjuk pada setiap doa.
Dalam kitab Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari
Abdullah bin Az-Zubair, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat jari telunjuknya ketika berdo’a
dan tidak menggerakkannya. Tambahan hadits ini (dan tidak menggerakkannya) masih perlu ditinjau
keshahihannya.”
Syaikh Muhammad Bayumi dalam kitab Akhthaa’ Al-Mushallin min At-Takbir ilaa At-Taslim, berasumsi bahwa
tambahan tersebut (dan tidak menggerakkannya) menyimpang. Ini bisa dilihat dari:
Pertama, Muhammad bin ‘Ijlan tidak menetapkan hadits yang menyatakan, “Tidak adanya gerakan.”
Kedua, pendapat Ibnu ‘Ijlan berseberangan dengan riwayat mereka yang tidak menyebutkan redaksi “Tanpa
gerakan”. Mereka itu adalah Utsman bin Hakim, dan ‘Ashim bin Kulaib. ‘Ashim lebih tsiqah daripada Muhammad
bin ‘Ijlan, seperti terlihat dari hasil terjemahannya dalam At-Tahzib.
Syaikh Muhammad Bayumi juga melihat bahwa pendapat Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad, kemudian riwayat
Abu Dawud yang tidak menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal itu dalam
shalat, maka secara umum argumentasinya menjadi batal dengan riwayat dari Wail bin Hujr.
Syaikh Al-Albani dalam kitab Fi Shifat Ash-Shalat, “Hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidak menggerakkannya tidak bisa ditetapkan, ditinjau dari segi sanadnya. Kalaupun hadits ini ditetapkan,
akan tetapi bertentangan (nafi’), sedangkan hadits utama tetap (mustbit), yaitu hadits Wail bin Hujr. Dan seperti
yang lazim terjadi dikalangan ulama, yang mutsbit didahulukan dari yang nafi’.
Ada lagi pendapat yang ketiga, yaitu kita disuruh memilih antara menggerakkan atau tidak, karena Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang menggerakkan telunjuknya dan terkadang tidak menggerakkannya. (Lihat:
Subulus Salam dan Nailul Authar).
Adapun pendapat pertama yang mengatakan bahwa telunjuk selalu digerakkan adalah berdasarkan hadits shahih
seperti yang telah disebutkan di atas, sedangkan hadits yang menjelaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
menggerakkan telunjuknya ketika shalat adalah hadits dhaif, juga berdasarkan sebuah kaidah yang berbunyi: al-
mutsbat muqaddamun ‘alal manfi’, yaitu nash yang menetapkan (menunjukkan adanya perbuatan) didahulukan dari
nash yang menafikan (menolak adanya suatu perbuatan). Maksudnya, dalil yang menunjukkan adanya gerakan
telunjuk didahulukan dari pada dalil yang menunjukkan tidak adanya gerakan telunjuk.
Kalau terdapat dua dalil yang seolah-olah bertentangan, seperti riwayat tentang menggerakkan telunjuk, yaitu
menggerakkanya atau tidak menggerakkannya, maka cara pertama yang harus kita lakukan adalah menggabungkan
antara kedua dalil tersebut. Kalau kedua dalil tersebut kita gabungkan maka yang dimaksud adalah bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menggerakkan namun tidak terus menerus, bahkan dilakukan hanya sekali, yaitu ketika
berdo’a, ini pemahaman yang terbaik seperti yang dikatakan imam Baihaqi, yaitu bahwa yang dimaksud dengan
menggerakkan jari telunjuk adalah bukan dengan cara menggerak-gerakkannya naik turun, melainkan dari semula
menggenggam kemudian menunjuk ke arah kiblat.
Kalau ini tidak bisa dilakukan baru kita memakai kaidah seperti yang disebutkan di atas, yaitu dalil yang
menunjukkan adanya gerakan telunjuk didahulukan dari pada dalil yang menunjukkan tidak adanya gerakan
telunjuk. Namun seperti yang telah dijelaskan di atas, hadits yang menunjukkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak menggerakkan telunjuknya adalah hadits dhaif.
Madzhab Imam Asy-Syafi’i berpendapat bahwa memberi isyarat dengan jari telunjuk hanya dilakukan sekali saja,
yaitu waktu membaca “Illallahu” ketika syahadah. Sementara Madzhab Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa
mengangkat jari telunjuk itu ketika dalam syahadah, yaitu ketika membaca “La Ilaha” dan meletakkannya kembali
ketika membaca “Illallahu”. Sedangkan madzhab Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat memberi isyarat dengan
jari telunjuk ketika menyebut nama Allah tanpa menggerakkannya.
Sebagian orang cukup mengangkat jari telunjuk hanya pada saat mengucapkan dua kalimat syahadat dalam tahiyyat.
Hal ini tidak ada dasarnya dalam sunnah (Syaikh Muhammad Bayumi dalam kitab Akhthaa’ Al-Mushallin min At-
Takbir ilaa At-Taslim & Sayyid Sabiq dalam buku Fiqh as-Sunnah)
Dalam hadits-hadits yang menjelaskan tentang bacaan tasyahud, tidak dibedakan antara do’a tasyahud awal dan
tasyahud akhir, seperti yang terdapat dalam hadits berikut:
Hadits-hadits di atas menunjukkan tidak adanya perbedaan doa dalam duduk tasyahud, baik pada tasyahud awal dan
tasyahud akhir, sebagaimana juga dikatakan oleh Ibnu Hazm [Muhammad Nashiruddin Al-Albani, "Sifat Shalat
Nabi]. Hanya saja nanti, pada tasyahud akhir ada doa-doa tertentu yang disarankan oleh Nabi untuk dibaca.
Berdasarkan beberapa hadis Nabi, inti bacaan yang harus dibaca dalam tasyahud awal dan akhir adalah: bacaan
tahiyyat dan bacaan syahadat
Yang menjadi perbedaan di kalangan ulama hanyalah redaksi bacaannya. Ada yang berdasarkan riwayat Umar Bin
Khattab, riwayat Ibnu Mas’ud, riwayat Ibnu Abbas dan lain-lainnya.
1) Menurut Riwayat Umar Bin Khatab
[Artinya]: “Segala penghormatan bagi Allah, segala kesucian bagi Allah, segala kebaikan dan kesejahteraan bagi
Allah. Semoga keselamatan, rahmat dan barakah Allah senantiasa dilimpahkan kepadamu wahai Nabi
(Muhammad). Semoga juga dilimpahkan kepada kami dan kepada semua hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi
sesungguhnya tiada Tuhan kecuali Allah, dan aku bersaksi sesungguhnya Nabi Muhammad adalah hamba dan
utusan-Nya.” (HR. Malik dalam Muwaththa dengan sanad yang shahih)
Tahiyyat ini dipraktekkan oleh Imam Malik. Menurut Ibnu Abdil Barr sungguhpun hadis ini mauquf, tetapi
dihukumi mar’fu’ [Muhammad Nashiruddin Al-Albani, "Sifat Shalat Nabi].
[Artinya]: “Segala penghormatan, keberkahan, kesejahteraan dan kebaikan bagi Allah. Semoga keselamatan,
rahmat dan barakah Allah senantiasa dilimpahkan kepadamu wahai Nabi (Muhammad). Semoga juga dilimpahkan
kepada kami dan kepada semua hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi sesungguhnya tiada Tuhan kecuali Allah,
dan aku bersaksi sesungguhnya Nabi Muhammad adalah utusan-Nya.” (HR. Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu
Hibban, At-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Baihaqi, Ad-Daruqutni, Ahmad, dan Syafi’i)
[Artinya]: “Segala penghormatan bagi Allah, segala kesejahteraan dan kebaikan bagi Allah. Semoga keselamatan,
rahmat dan barakah Allah senantiasa dilimpahkan kepadamu wahai Nabi (Muhammad). Semoga juga dilimpahkan
kepada kami dan kepada semua hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi sesungguhnya tiada Tuhan kecuali Allah,
dan aku bersaksi sesungguhnya Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.” (HR. Bukhari, Ibnu Khuzaimah
dan Ibnu Hibban)
Bacaan ini dipraktekkan Imam Ats-Tsauri, Ulama Kufah dan para ahli Hadits.
h) Shalawat Nabi
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum membaca shalawat Nabi dalam Shalat. Sebagian mengatakan wajib, di
antaranya adalah Imam Syafi’i. Beliau mengatakan bahwa membaca shalawat Nabi dalam shalat hukumnya wajib.
Beliau beralasan dengan firman Allah berikut:
# “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman,
bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab: 56)
Imam Syafi’i berkata, “kewajiban membaca shalawat tidak ada tempat yang lebih tepat kecuali dalam shalat.” [Asy-
Syafi’i, Al-Umm]. Maka orang yang tidak membaca shalawat dalam tasyahudnya, shalatnya tidak sah, ia harus
mengulang.
Namun sebagian besar ulama yang lain mengatakan bahwa membaca shalawat hukumnya sunnah. Di antaranya
ialah Ibnu Mundzir, Imam Malik, Sufyan Ats-Tsauri dan ulama Madinah serta kalangan rasionalis.
Alasan mereka adalah berdasarkan tidak adanya hadits yang secara eksplisit memerintahkan seorang yang shalat
membaca shalawat Nabi.
Beberapa hadits yang ada hanya seputar persoalan pertanyaan sahabat mengenai bagaimana mereka membaca
salawat ketika shalat, dan kemudian Nabi mengajarkannya. Menurut ulama yang berpendapat shalawat hukumnya
sunnah, penjelasan tentang shalawat ini sangat berbeda dengan ketika nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengajarkan tasyahud. Pada saat mengajarkan tasyahud para sahabat bersaksi:
Bahkan apa yang dipraktekkan oleh Nabi dalam mengajarkan tasyahud juga dipraktekkan oleh Abu Bakar dan
Umar. Dan dalam pengajaran itu baik Nabi maupun para sahabat sama sekali tidak mengajarkan shalawat. Karena
itulah para ulama ini menyimpulkan bahwa hukum membaca shalawat ketika tasyahud adalah sunnah [Al-Qurthubi]
1) Letak Shalawat Nabi Pada Tasyahud
Semua ulama sepakat bahwa Shalawat Nabi dibaca pada tasyahud akhir, tetapi ada perbedaan pendapat tentang
apakah Shalawat Nabi dibaca/tidak dibaca pada tasyahud pertama (tasyahud awal).
Para ulama yang berpendapat bahwa Shalawat Nabi tidak dibaca pada tasyahud pertama, maka bacaan mereka pada
tasyahud pertama dibatasi hanya sampai bacaan dua kalimat syahadat saja, kemudian berdiri. Hal ini didasarkan
hadits Ibnu Mas’ud yang berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika duduk setelah dua raka’at pertama
seperti duduk di atas radhf.
Berdasarkan hadits dari Ibnu Mas’ud tersebut, Ibnul Qayyim Rahimahullah dalam kitab Zaadul Ma’ad berpendapat,
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat membatasi bacaan tasyahudnya, sehingga (ketika
beliau duduk tasyahud) seperti duduk di atas radhf -yaitu batu panas- dan tidak ada satu hadits pun yang menyatakan
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bershalawat untuknya dan keluarganya dalam tasyahud ini (setelah
dua raka’at pertama).”
Hadits Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh Imam Asy-Syafi’i, Ahmad dan imam yang empat, Imam Al-Hakim dari
riwayat Ubaidah bin Abdullah bin Mas’ud dari bapaknya tersebut lemah menurut Ibnu Daqiqil Ied dalam At-Talkhis
1/163. Hadits ini terputus sanadnya (munqathi’), karena Abu Ubaidah tidak mendengar langsung dari bapaknya. Dan
Imam An-Nawawi berkata dalam Al-Majmu’, diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasa’i. At-
Tirmidzi berkata, “Hadits tersebut hasan.” Hal ini kontradiktif (bertolak belakang) dengan apa yang dikatakan oleh
Ibnu Daqiqil Ied, karena Abu Ubaidah tidak mendengar dari bapaknya, dan juga tidak bertemu dengannya. Ini
merupakan hadits yang terputus sanadnya.
Imam Al-Albani berkata, “Dalil yang tidak bisa dijadikan landasan hukum, tidak bisa digunakan untuk membatasi
keumuman dan kemutlakan yang ditunjukkan pada tasyahud pertama, keumuman hadits ini sangat layak. Adapun
dalil terkuat yang dijadikan argumentasi oleh mereka yang menentang ini adalah hadits Ibnu Mas’ud. Hadits ini
tidak tergolong shahih karena terputus sanadnya.
Para ulama yang berpendapat bahwa Shalawat Nabi juga dibaca pada tasyahud pertama berdasarkan pada:
# Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca shalawat untuk dirinya pada tasyahud awal dan lainnya. (HR. Abu
‘Awanah dalam Shahihnya dan An-Nasa’i)
# Keumuman hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk para sahabat ketika mereka bertanya,
“Ya Rasulullah, kami telah mengetahui bagaimana memberi salam kepadamu, tetapi bagaimana kami bershalawat
atasmu?” Maka beliau bersabda, “Ucapkanlah Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad…” dan
seterusnya hingga selesai. (HR. Muttafaq ‘alaih)
Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan antara tasyahud pertama dan tasyahud
kedua. Karena itu, maka dibolehkan bershalawat atas Nabi pada tasyahud yang pertama. Pendapat ini dinyatakan
oleh Imam Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Umm 1/102, ia berkata, “Bacaan tasyahud dan shalawat atas Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak dipisahkan satu dengan lainnya. Pendapat inilah yang sah di kalangan murid-murid beliau
seperti dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ 3/460 dan yang dengan jelas dinyatakan dalam kitab
Raudhah 1/263.
Ini juga merupakan pendapat Ibnul Daqiqil Ied dalam kitab Talkhis Al-Habir 1/236. Dia dikenal dengan nama Al-
Wazir bin Hubairah Al-Hambali dalam kitab Al-Ifshah. Begitu pula yang dikutip oleh Ibnu Rajab dalam kitab Zail
Ath-Thabaqat 1/280 dan dalam hal ini menjadi ketetapan.
2) Bacaan Shalawat Nabi
[Artinya]: “Ya Allah limpahkanlah kebahagiaan kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau
telah memberi kebahagiaan kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya. Dan limpahkanlah keberkahan kepada Nabi
Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah memberi keberkahan kepada Nabi Ibrahim dan
keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.” (HR. Imam Syafi’i)
[Artinya]: “Ya Allah limpahkanlah kebahagiaan kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau
telah memberi kebahagiaan kepada Nabi Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Dan
limpahkanlah keberkahan kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah memberi
keberkahan kepada: keluarga Nabi Ibrahim. Sesungguhnya Enkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.” (Musnad Imam
Ahmad)
Dalam konteks shalat, lafal Shalawat Nabi dalam hadits di atas (tanpa lafal sayyidina) sudah baku sebagaimana yang
telah di ajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan merupakan bagian dari praktek shalat Rasulullah.
Sedangkan di luar konteks shalat, tidak ada larangan bahwa lafal itu harus persis dengan yang diajarkan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagai ummatnya, kita boleh saja menyapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan sebutan yang baik-baik, termasuk memberikan tambahan gelar “sayyidina” sebagai rasa penghormatan dan
penyanjungan kepada beliau.
Dan penggunaan lafal “sayyidina” kepada sosok Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara umum tidak
bertentangan dengan posisi beliau sendiri, karena beliau memang junjungan kita. Bahkan beliau sendiri
menyebutkan dirinya dengan “sayyidu waladi Adam”, junjungan anak-anak Adam (umat manusia).
Adanya do’a sebelum salam didasarkan pada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyuruh orang
yang shalat untuk berdo’a setelah membaca tasyahud:
# “Setelah membaca do’a ta’awudz, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada orang-orang yang
shalat untuk memilih do’a-do’a yang dikehendakinya sebelum mengucapkan salam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
# Dari Ibnu Mas’ud tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarinya tasyahud, beliau bersabda:
“Kemudian hendaklah seseorang itu memilih do’a yang paling disenanginya, dan berdo’a [dalam suatu lafal:
kemudian hendaklah ia memilih dari permohonan yang ia kehendaki]” (Muttafaq ‘alaih)
Arti kata dubur dalam kamus Almu’jam Al Wasid adalah: akhir dari sesuatu (penghujungnya) dan bukan setelah,
sebab setelah dalam bahasa arab adalah ba’da.
Arti kata dubur jika dikaitkan dengan shalat (Fatwa Syaikh Ibnu Baz dalam Tuhfatul ikhwan biajwibatin
muhimmbatin tata’allaqu bi arkanil Islam, Syaikhul Islam dalam majmu’ fatawa dan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam
majmu’ fatawa wa rasail):
# Apabila berkaitan dengan pembacaan do’a, maka arti kata dubur shalat adalah penghujung shalat sebelum
salam,
# Dan apabila berkaitan dengan pembacaan dzikir, maka arti kata dubur shalat adalah penghujung shalat setelah
salam.
Berdasarkan hadits-hadits di atas, maka para ulama yang beraliran tekstual (ahli dzahir) menganggap bahwa berdo’a
sebelum salam hukumnya wajib. Sedangkan menurut jumhur ulama hukumnya sunnah.
Adapun materi do’a, menurut jumhur ulama adalah sesuka orang yang shalat, baik persoalan dunia maupun akhirat,
sebagaimana dikatakan dalam hadits. Tetapi menurut Imam Hanafi, hanya dengan do’a yang ada di dalam Al-
Qur’an dan Al-Hadits (Nail al-Authar). Sedangkan ahli dzahir menyatakan bahwa do’a yang harus dibaca haruslah
mengandung kewajiban berlindung dari empat perkara, yaitu: siksa kubur, siksa neraka, fitnah Dajjal, dan fitnah
hidup dan mati (Ibnu Rusyd).
# “Apabila seseorang telah selesai membaca tasyahud akhir maka hendaklah ia memohon perlindungan kepada
Allah dari empat perkara, yaitu:
[Artinya]: Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari siksa neraka jahannam, siksa kubur, fitnah kehidupan dan
kematian dan dari fitnah dajjal. [Selanjutnya, hendaklah ia berdo’a memohon kebaikan untuk dirinya sesuai
kepentingan].” (HR. Muslim, Abu ‘Awanah, An-Nasa’i dan Ibnul Jarud)
[Artinya]: “Ya Allah! Aku berlindung kepada-Mu dari siksa jahannam, siksa kubur, fitnah hidup dan mati serta
fitnah Al-Masiihid Dajjaal.” (HR. Bukhari dan Muslim dengan lafadhz Muslim)
# Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a tersebut dalam tasyahudnya.” (HR. Abu Dawud dan
Ahmad dengan sanad shahih)
# Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan do’a tersebut kepada sahabat-sahabatnya seperti halnya beliau
mengajarkan suatu surah Al-Qur’an kepada mereka.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
[Artinya]: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari adzab qubur, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah
Dajjal, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian. Ya Allah, sesungguhnya aku
berlindung kepada-Mu dari dosa dan hutang.” (HR. Bukhari)
[Artinya]: Ya Allah, tolonglah aku untuk senantiasa ingat kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan bagus ibadah
kepada-Mu.” (Dalam Mustadrak ‘ala Shahihaini)
# Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seorang sahabat dalam tasyahudnya membaca:
“ALLAAHUMMA INNII AS-ALUKA YAA ALLAHUL (BILLAAHIL) [WAAHID] AHADITSH-SHAMADI
LLADZII LAM YALID WALAM YUU LAD, WALAM YAKUL LAHU KUFUWAN AHAD, AN TAGHFIRLII
DZUNUBII, INNAKA ANTAL GHAFUURUR RAHIIM. “
[Artinya]: “Ya Allah, Aku memohon kepada-Mu, ya Allah, [Tuhan Yang Mahatunggal], tempat makhluk
bergantung, tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, tiada sesuatu apapun yang menyamai-Nya, ampunilah
segala dosaku, karena Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
# Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar sahabat lain dalam tasyahudnya berdo’a:
“ALLAAHUMMA INNI AS-ALUKA BIANNA LAKAL HAMDA, LAA ILAAHA ILLA ANTA #WAKHDAKA
LA SYARIIKA LAKA#, #AL-MANNAANU# [YA] BADII ’AS SAMAAWAATI WAL ARDHI, YA DZAAL
JALAALI WAL IKRAAMI, YAA HAYYU YAA QAYYUUMU, [INNII AS-ALUKA] [AL-JANNATA, WA
A’UDZUBIKA MINAN NAARI].”
[Artinya]: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu bahwa segala puji adalah milik-Mu, tiada tuhan
kecuali Engkau, [tiada sekutu bagi-Mu], [Maha Pemberi karunia], [wahai] Penciapta langit dan bumi. Wahai
Tuhan Yang Mahaagung dan Maha Pemurah. Wahai Tuhan Yang Mahahidup, wahai Tuhan Yang Mahaberdiri
sendiri, [sesungguhnya aku memohon] [surga kepada-Mu dan berlindung kepada-Mu dari siksa neraka].”
# Do’a antara tasyahud dan salam yang terakhir kali dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:
“ALLAAHUMMAGH FIRLII MAA QADDAMTU, WAMAA AKH KHARTU, WA MAA ASRARTU, WA MAA
A’LANTU, WA MAA ASRAFTU, WAMAA ANTA A’LAMU BIHI MINNII. ANTAL MUQADDIMU, WA
ANTAL MUAKH KHIRU, LAA ILAAHA ILLA ANTA.”
[Artinya]: “Ya Allah, ampunilah segala dosaku, baik yang lampau maupun yang akan datang, baik yang
tersembunyi maupun yang terang, serta dosa-dosaku yang berlebihan, juga dari semua yang Engkau lebih
mengetahui daripada aku. Engkaulah yang terdahulu dan Engkaulah yang terkemudian, tidak adaTtuhan kecuali
Engkau.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
17. Salam
# “Kunci shalat adalah bersuci, pembukanya takbir dan penutupnya adalah mengucapkan salam.” (HR. Al-Hakim
dan disahkan Adz-Dzahabi)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan tentang salam yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
# “Beliau mengakhiri shalatnya dengan mengucapkan salam dengan menoleh ke sebelah kanan, hingga pipi kanan
beliau yang putih nampak terlihat, setelah itu beliau menoleh ke sebelah kiri, hingga pipi kiri beliau yang putih
nampak terlihat.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i dan At-Tirmidzi serta dishahihkan olehnya)
# “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam dengan berpaling ke arah kanan seraya mengucapkan
“assalamu ‘alaikum wa rahmatullaah” [sehingga terlihat pipi kanannya yang putih] dan berpaling ke kiri seraya
mengucapkan “assalamu ‘alaikum wa rahmatullaah” [sehingga terlihat pipi kirinya yang putih].” (HR. Muslim,
Abu Dawud, An-Nasa’i dan At-Tirmidzi)
# Terkadang pada bacaan salam yang pertama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menambahkan kata wa
baraakatuh.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah Daruqutni dengan sanad shahih, Abdur Razzaq, Abu Ya’la, Ath-
Thabarani, Al-Ausath dan)
# Ketika berpaling ke kanan beliau terkadang mengucapkan: assalamu ‘alaikum wa rahmatullaah dan ketika
berpaling ke kiri hanya mengucapkan assalamu ‘alaikum. (HR. An-Nasa’i, Ahmad dan Siraj dengan sanad shahih).
Terkadang beliau mengucapkan salam sekali saja dengan ucapan: [assalamu ‘alaikum] [dengan sedikit
memalingkan wajahnya ke kanan}. (HR. Ibnu Khuzaimah, Baihaqi, Adh-Dhiya’, Abdul Ghani Al-Maqdisi dengan
sanad shahih, Ahmad, Ath-Thabrani, Baihaqi, dan Hakim)
Ketika mengucapkan salam para sahabat ada yang menggerakkan tangan kanannya ke kanan ketika menoleh ke
kanan dan menggerakkan tangan kirinya ke kiri ketika menoleh ke kiri. Hal ini dilihat oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda:
# "Mengapa kamu menggerakkan tangan kamu seperti gerakan ekor kuda yang lari terbirit-birit dikejar binatang
buas? Bila seseorang di antara kamu mengucapkan salam, hendaklah ia berpaling kepada temannya dan tidak
perlu menggerakkan tangannya." [Ketika mereka shalat lagi bersama Rasullullah, mereka tidak melakukannya
lagi]. (Pada riwayat lain disebutkan: “Seseorang di antara kamu cukup meletakkan tangannya di atas pahanya,
kemudian ia mengucapkan salam dengan berpaling kepada saudaranya yang di sebelah kanan dan saudaranya di
sebelah kiri).” (HR. Muslim, Abu ‘Awanah, Ibnu Khuzaimah dan Ath-Thabrani).
# Dari Jabir bin Samarah radhiyallahu anhu, ia berkata: “Apabila kami shalat bersama Rasulullah, ….” Kemudian
memberikan isyarat dengan tangannya ke sisi kanan dan kiri. Maka, ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Apa yang kalian yakini dari isyarat tangan tersebut? Padahal, perbuatan tersebut tidak lebih seperti ritualitas
ibadah sebagian kaum yang menyembah matahari yang berbentuk seperti ekor kuda. Sebenarnya, cukup bagi
kalian untuk meletakkan tangan di atas paha, kemudian memberikan salam kepada saudaranya yang berada di
samping kanan dan kirinya.” (HR. Muslim, Abu Dawud dan An-Nasa’i)
Sujud sahwi adalah sujud yang dilakukan sebanyak dua kali, yang disyariatkan untuk dilaksanakan jika seseorang
merasa ragu tentang jumlah raka’at shalat atau jika dia meninggalkan hal-hal yang wajib dalam shalat seperti
tasyahud awal. Pelaksanaan sujud tersebut boleh dilakukan sebelum maupun sesudah salam.
1) Lupa
Para ulama sepakat bahwa yang melatar-belakangi sujud sahwi adalah lupa (ghaflah). Dan bahkan lafal “sahwi”
sendiri artinya lupa, lalai, alpa.
Lupa ini mengakibatkan seseorang menambahi atau mengurangi gerakan shalat. Sedangkan bila menambahi atau
mengurangi gerakan shalat karena sengaja, maka shalatnya batal.
# Dari Ibnu Mas‘ud radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
”Bila kamu lupa dalam shalat, maka sujudlah dua kali (sujud sahwi).” (HR. Muslim)
2) Ragu-Ragu
Hal kedua yang melatar-belakangi sujud sahwi adalah timbulnya rasa ragu dalam diri seseorang dalam shalat.
Misalnya, seseorang ragu-ragu apakah sudah tiga raka’at atau baru dua raka’at.
Dalam kondisi ini para ulama sepakat bahwa tindakan yang harus diambil saat itu adalah kembali kepada apa yang
lebih diyakini yaitu bilangan yang lebih sedikit lalu melakukan sujud sahwi. Dalilnya adalah:
# Dari Abi Said al-Khudhri radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
”Bila seseorang merasa ragu dalam shalatnya, dan tidak tahu sudah berapa raka’at, tiga atau empat, maka
hendaklah membuang ragunya itu dan lakukan apa yang diyakini. Kemudian hendaklah sujud dua kali sebelum
salam.” (HR. Muslim)
Cara sujud shawi sama dengan sujud pada umumnya. Jumlahnya dua kali diselingi duduk di antara dua sujud.
c) Waktu Mengerjakan Sujud Sahwi
1) Madzhab Al-Hanafiyah
Al-Hanafiyah mengatakan bahwa sujud sahwi itu dilakukan sesudah salam pertama, baik karena kelebihan atau
karena kekurangan dalam shalat.
Caranya menurut madzhab ini adalah bertasyahud lalu mengucapkan salam sekali saja, lalu sujud lagi (sujud sahwi)
kemudian bertasyahud lagi salu bersalam. Bila saat salam pertama dilakukan dua kali salam, maka tidak boleh lagi
sujud sahwi.
2) Madzhab Al-Malikiyah Dan Sebuah Riwayat Dari Imam Ahmad bin Hanbal
Sedangkan Al-Malikiyah dan menurut sebuah riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa harus dibedakan sujud
sahwi berdasarkan bentuk lupanya. Bila lupanya adalah kekurangan dalam gerakan shalat, maka sujud sahwi
dilakukan sebelum salam. Dan sebaliknya bila kelebihan gerakan, maka sujudnya sesudah salam atau setelah selesai
shalat. Dalilnya adalah hadits:
Sedangkan bila lupa yang menyebabkan kelebihan gerakan shalat, maka sujudnya sesudah salam. Dalilnya adalah
hadits:
Asy-Syafi‘iyyah dan juga riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa sujud sahwi itu dilakukan
sebelum salam.
Akan lebih baik jika kita mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika kita mengalami apa yang
pernah dialami oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
iii) Apabila Ragu Tentang Jumlah Raka’at Shalat Yang Telah Dilakukan
Tentang lafal yang dibaca saat sujud sahwi, umumnya para ulama menyatakan bahwa do’a sujud sahwi adalah sama
dengan do’a ketika sujud dalam shalat.
Meskipun demikian ada juga yang berpendapat bahwa bacaan do’a ketika sujud sahwi adalah: “Subhaana Man Laa
Yanaamu Walaa Yashu (Maha Suci Dzat Yang tidak pernah tidur dan tidak pernah lupa)”.
Keterangan tentang itu ada pada kitab-kitab fiqih antara lain tulisan Ibnu Nawawi Al-Jawi yang bernama Nihayatuz
Zain pada juz 1 halaman 81 dan kitab Hasyiah At-Tahawiyah ‘Ala Maraqil Falah karya At-Tahawi Al-Hanafi juz 1
halaman 298. Namun sayangnya, kedua kitab itu tidak mencantumkan dalil apakah lafal tersebut dari perbuatan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau bukan.
Doa qunut juga merupakan salah satu amalan dalam shalat yang diperdebatkan. Letak persoalannya adalah apakah
doa qunut itu ada pada shalat tertentu serta dilakukan selamanya dan melekatnya sebagai sunnah, ataukah ia dapat
dilaksanakan kapan pun, asalkan ada alasan untuk melakukannya. Dalam hal ini ada beberapa pendapat sebagai
berikut:
a) Qunut Dilakukan Hanya Untuk Mendo’akan Suatu Kaum Yang Terkena Mushibah (Qunut Nazilah)
Qunut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berlangsung terus-menerus selama hidup beliau, melainkan
ketika yang diharapkan sudah terwujud beliau menghentikannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Berdasarkan hadits-hadits di atas, maka sebagian ulama mengatakan bahwa doa Qunut hanya dilakukan jika ada
sebab, dan dilakukan pada setiap shalat, tidak khusus pada shalat Shubuh saja. Di antara ulama yang berpendapat
demikian adalah Abu Hanifah dan ulama-ulama Kuffah. Baik Abu Hanifah maupun ulama Kuffah melarang
melakukan Qunut pada shalat Shubuh.
Jika Qunut dilaksanakan untuk mendoakan atau melaknat suatu kaum yang maksiat kepada Allah, maka boleh
dilakukan kapan saja. Qunut ini dilakukan sepanjang ada persoalan, setelah persoalannya selesai (tidak ada) maka
qunut tidak dilakukan lagi.
Do’a Qunut Nazilah redaksinya disesuaikan dengan kejadiannya, dapat berupa do’a keselamatan bagi orang yang
tertindas ataupun kecaman terhadap orang-orang yang zalim, seperti do’a Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berikut:
# “Ya Allah selamatkanlah Al-Walid bin A1-Walid, Salmah bin Hisyam, lyas bin Abi Rabiah serta orang-orang
lemah dari kaum mukminin. Ya Allah kuatkanlah cengkeraman-Mu atas kaum Madhar dan turunkanlah malapetaka
atas mereka seperti malapetaka pada zaman Yusuf. Ya Allah laknatlah suku Lihyan, Ri’il, Zakwan dan Ushayyah
yang telah durhaka kepada Allah dan Rasulnya.” (HR. Muttafaq `alaih)
Al-Hazaimi dalam kitabnya Al-I’tibar berkata bahwa kebanyakan sahabat, bahkan sahabat-sahabat besar seperti Abu
Bakar, Umar, Usman, dan Ali melakukan Qunut, begitu juga tabiin dan orang-orang sesudahnya terutama ulama
Mesir menetapkan adanya doa qunut dalam shalat Shubuh. Dasarnya ialah:
Menurut Imam Syafi’i, sungguhpun ada hadits yang menyatakan bahwa setelah persoalan itu selesai Nabi
meninggalkan qunut, tetapi yang perlu dicatat adalah, tidak ada persaksian bahwa Nabi meninggalkan qunut di
waktu Subuh. Hal ini diperkuat juga oleh Hadits Anas bin Malik radhiyallahu anhu berikut:
Bahkan kata Imam Syafi’i, adanya Qunut dalam shalat Shubuh itu berdasarkan hadits yang kuat, yaitu:
Pada dasarnya do’a qunut itu disesuaikan dengan maksud dan tujuannya. Sehingga qunut shubuh dengan do’a qunut
nazilah pun tidak menjadi masalah, asalkan do’a tersebut sesuai dengan kejadian yang sedang terjadi.
Persoalannya, bagaimanakah do’a qunut pada waktu shalat Shubuh manakala tidak ada kejadian yang perlu
dido’akan atau dilaknat.
Dalam hal ini do’anya sebagai berikut:
# Diriwayatkan dari Umar bin Khattab radhiyallahu anhu, beliau qunut dengan membaca:
[Artinya]: “Ya Allah! Sesungguhnya kami mohon pertolongan kepadamu, mohon ampun kepadamu, mohon
kebaikan kepadamu, kami bersyukur kepadamu, dan kami tidak mengingkari-Mu, dan kami melepaskan dan
meninggalkan orang yang durhaka kepada-Mu. Ya Allah! Hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya untuk-
Mu kami shalat dan sujud. Hanya kepada-Mu kami berusaha dan bersegera. Kami mohon rahmat-Mu dan kami
takut siksa-Mu. Sesungguhnya siksa-Mu terhadap orang-orang kafir adalah suatu keniscayaan.” (Al-Umm, juz VII,
h. 141)
[Artinya]: “Ya Allah! Tunjukkilah aku pada jalan orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk. Sehatkanlah aku
sebagaimana Engkau telah memberi kesehatan kepada orang yang sehat. Berikanlah aku kekuasaan sebagaimana
orang-orang yang telah Engkau beri kekuasaan. Berikanlah aku berkah di dalam apa saja yang telah Engkau
berikan. Selamatkanlah aku dari kejelekan sesuatu yang telah Engkau jadikan. Sesungguhnya Engkau-lah yang
menentukan, bukan ditentukan. Dan sesungguhnya tidak akan terhina orang yang Engkau tolong.” (HR. Baihaqi)
Catatan:
Do’a Qunut ini dalam riwayat-riwayat yang lain berkaitan dengan qunut dalam shalat witir.
c) Qunut Witir
Adanya do’a qunut dalam shalat witir tertuang dalam banyak hadits, di antaranya:
Hadits di atas juga didukung oleh hadits yang menjelaskan do’a yang dibaca Rasulullah ketika doa Qunut dalam
shalat witir, yang akan disebutkan nanti.
Para ulama berbeda pendapat tentang waktu qunut witir, apakah sepanjang tahun atau hanya waktu-waktu tertentu
saja.
Imam Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa qunut Witir hanya dilakukan pada pertengahan akhir bulan Ramadhan.
Pendapat ini berdasarkan praktik yang dilakukan Ali bin Abi Thalib:
# Sesungguhnya Ali bin Abi Thalib tidak melakukan qunut dalam shalat witir kecuali pada pertengahan akhir bulan
Ramadhan dan beliau qunut setelah ruku’.” (HR. At-Tirmidzi)
Sedangkan menurut ulama Kuffah, Sufyan Ats-Tsauri, Ibnu Mubarak, Ishak dan para ulama dari kalangan rasionalis
berpendapat bahwa Qunut Witir dilakukan sepanjang tahun dan dilakukan sebelum ruku’. Hal ini berdasarkan
amalan Ibnu Mas’ud. Juga berdasarkan hadits-hadits yang menerangkan bacaan qunut dalam witir tidak dikaitkan
dengan waktu.
Imam Malik berpendapat bahwa qunut dilakukan sebelum ruku’, hal ini berdasarkan hadits berikut:
Di antara para ulama yang juga berpendapat bahwa qunut itu dilakukan sebelum ruku adalah Ulama Kuffah, Sufyan
Ats-Tsauri, Ibnu Mubarak, Ishak dan para ulama dari kalangan rasionalis.
2) Setelah Ruku’
Imam Syafii, berpendapat bahwa qunut itu dilakukan setelah ruku’. Hal ini berdasarkan hadits:
Dalam hadits lain yang diriwayatkan melalui sanad Abu Hurairah juga disebutkan:
Dalam tinjauan Imam Ibnu Hajar Al-Atsqalani kedua pendapat di atas sama-sama kuatnya, maka ia
mengkompromikan dua hal tersebut dengan mengatakan:
# “Berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu anhu, dapat disimpulkan bahwa Qunut yang disebabkan
keperluan yang mendesak (nazilah, pen) dilakukan setelah ruku’, sedangkan selain qunut nazilah dilakukan
sebelum ruku.“
Bahkan para sahabat pun berbeda dalam praktek qunut, tetapi yang jelas perbedaan ini bukan pada wilayah yang
terlarang.