Anda di halaman 1dari 3

Kaifiyat Sholat Gerhana

Syekh Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam salah satu masterpiece-nya mendefinisikan gerhana
(kusuf) dengan arti hilangnya sinar matahari secara keseluruhan atau sebagiannya saja di
waktu siang. Hal itu disebabkan terhalangnya sinar matahari oleh bulan yang berada di antara
bumi dan matahari. Dalam keadaan tersebut, Islam menganjurkan pemeluknya melakukan
shalat sunnah gerhana matahari.
Dalil yang menganjurkan untuk melaksanakan shalat sunnah gerhana ialah firman Allah ‫ﷻ‬
dalam Al-Qur’an, yaitu:
َ‫س َواَل لِ ْلقَ َم ِر َوا ْس ُج ُدوْ ا هّٰلِل ِ الَّ ِذيْ َخلَقَه َُّن اِ ْن ُك ْنتُ ْم ِايَّاهُ تَ ْعبُ ُدوْ ن‬ ۗ
ِ ‫َو ِم ْن ٰا ٰيتِ ِه الَّ ْي ُل َوالنَّهَا ُر َوال َّش ْمسُ َو ْالقَ َم ُر اَل تَ ْس ُج ُدوْ ا لِل َّش ْم‬
Artinya, “Sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)-Nya adalah malam, siang, matahari, dan
bulan. Janganlah bersujud pada matahari dan jangan (pula) pada bulan. Bersujudlah kepada
Allah yang menciptakannya jika kamu hanya menyembah kepada-Nya,” (QS Fushilat: 37).
Dalam hadits juga disebutkan, Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:
‫هّٰللا‬ ‫َّن ال َّشمس و ْالقَمر آيتَان م ْن آيا هّٰللا‬
َ ‫ فَِإ َذا َرَأ ْيتُ ُموهَا فَا ْد ُعوا َ َو‬،‫ت َأ َح ٍد َواَل لِ َحيَاتِ ِه‬
َ‫صلُّوا حتَّى تَ ْن َك ِشف‬ ِ ْ‫ت ِ الَ يَ ْن َك ِسفَا ِن لِ َمو‬ ِ َ ِ ِ َ َ َ َ َ ْ ‫ِإ‬
Artinya, “Matahari dan bulan merupakan setengah dari beberapa tanda kekuasaan Allah,
bukan karena matinya seseorang atau bukan (pula) karena hidupnya, maka ketika kalian
melihat gerhana, berdoalah dan shalatlah sampai gerhana tersebut hilang (terang)” (HR al-
Bukhari).
Hukum dan Waktu Shalat Gerhana Matahari
Para ulama sepakat bahwa hukum melaksanakan shalat sunnah gerhana matahari adalah
sunnah, baik bagi laki-laki maupun perempuan, bepergian (musafir) dan orang yang diam di
rumah (muqim), sesuai dengan dua dalil di atas. Intinya, semua umat Islam yang sudah
mempunyai kewajiban (khitab) untuk melakukan shalat lima waktu, maka sunnah baginya
ikut serta dalam melaksanakan shalat gerhana. Bahkan, kesunnahan ini merupakan sunnah
yang sangat dianjurkan (mu’akkad). Dan, makruh hukum meninggalkannya. Sedangkan
waktu pelaksanaan shalat gerhana matahari sebagaimana yang dijelaskan oleh Habib Zain bin
Ibrahim bin Smith ialah mulai dari awal perubahan matahari sampai sinarnya terang kembali,
atau sampai terbenamnya matahari meskipun masih dalam keadaan gerhana. Artinya, jika
matahari sudah kembali normal, atau masih gerhana namun sudah terbenam, maka waktu
disunnahkannya shalat gerhana sudah tidak ada (Habib Zain bin Smith, Taqriratus Sadidah fil
Masailil Mufidah, [Darul Mirats an-Nabawi], 2003, h. 347).
Teknis Pelaksanaan Shalat Gerhana
Shalat gerhana matahari dilakukan tanpa didahului dengan adzan atau iqamah. Yang
disunnahkan hanyalah panggilan shalat dengan lafadz “ashshalâtu jâmi‘ah.” Dalam kitab
Syarah Yaqutun Nafis disebutkan bahwa shalat gerhana bisa dilakukan dengan salah satu dari
tiga cara, yaitu: Shalat dua rakaat seperti shalat sunnah tahiyatul masjid, dengan
memperpendek bacaan-bacaannya. Cara ini merupakan cara paling gampang dan ringan.
Shalat dua rakaat dengan dua kali berdiri dan dua kali ruku’ dalam setiap rakaat, tanpa
memperpanjang bacaan-bacaannya. Shalat dua rakaat dengan dua kali berdiri dan dua kali
ruku’ dalam setiap rakaatnya, serta memperpanjang bacaan-bacaan di dalam shalat. Cara
inilah yang paling utama.
Teknis pelaksanaan shalat gerhana matahari dengan cara yang pertama adalah sebagaimana
shalat biasanya yang terdiri dari dua rakaat, yaitu dimulai dengan niat.
Adapun lafal niatnya, yaitu:
‫س َر ْك َعتَي ِْن هّٰلِل ِ تَ َعالَى‬ َ ‫ُأ‬
ِ ْ‫صلِّ ْي ُسنَّةً لِ ُكسُو‬
ِ ‫ف ال َّش ْم‬
Ushallî sunnatan likusûfisy syamsi rak’ataini lillâhi ta’âlâ
Artinya, “Saya niat shalat sunnah gerhana matahari dua rakaat karena Allah ta’âla.”
Setelah itu takbiratul ihram, membaca doa iftitah, membaca ta’awudz, dan surat al-Fatihah,
dilanjut dengan mambaca surat-surat pendek, ruku’, i’tidal, sujud, duduk, lalu sujud lagi.
Selanjutnya berdiri lagi untuk melanjutkan rakaat kedua sebagaimana rakaat pertama,
kemudian disambung tahiyat, membaca dua kalimat sahadat, membaca shalawat ibrahimiyah,
dan diakhiri dengan salam. Adapun teknis pelaksanaan shalat gerhana dengan cara yang
kedua yaitu melaksanakan shalat dengan cara dua rakaat dengan dua kali berdiri dan dua kali
ruku’. Begini penjelasannya, setelah melaksanakan ruku’ (sebagaimana teknis awal), ia
melakukan i’tidal dan kembali pada posisi tegak (berdiri) serta kedua tangan ditaruh kembali
di bawah dada dan di atas pusar untuk berdiri yang kedua kalinya. Setelah itu, ia kembali
membaca surat Al-Fatihah kedua kalinya serta membaca surat pendek sebagaimana
bacaannya yang pertama. Dilanjut dengan ruku’ dan i’tidal lagi, kemudian sujud dua kali
dengan thuma’ninah (tenang, diam sejenak) di setiap sujudnya. Setelah tahapan ini selesai, ia
kembali berdiri untuk mengerjakan rakaat yang kedua, sesuai dengan cara yang telah
dijelaskan.
Begitupun dengan teknis yang ketiga, sebenarnya cara yang ini sama dengan cara yang
kedua, hanya saja yang membedakan adalah bacaan-bacaannya dalam pelaksanaan shalat,
yaitu:
1. Setelah membaca surat al-Fatihah pada rakaat yang pertama, ia membaca surat al-
Baqarah. Namun, jika tidak memungkinkan dibaca secara keseluruhan, maka cukup
membaca separuhnya.
2. Ketika melaksanakan ruku’ yang pertama, membaca tasbih yang banyaknya kira-kira
sesuai dengan membaca seratus ayat Al-Qur’an.
3. Ketika berdiri untuk kedua kalinya (setelah melakukan ruku’) dan membaca al-
Fatihah maka membaca surat Ali Imran.
4. Ketika melaksanakan ruku’ yang kedua, membaca tasbih yang banyaknya kira-kira
sesuai dengan membaca delapan puluh ayat Al-Qur’an.
5. Ketika berdiri untuk ketiga kalinya, setelah membaca surat al-Fatihah ia membaca
surat An-Nisa’.
6. Ketika melaksanakan ruku’ yang ketiga, membaca tasbih yang banyaknya kira-kira
sesuai dengan membaca tujuh puluh ayat Al-Qur’an.
7. Ketika berdiri untuk terakhir kalinya (yang keempat), setelah membaca surat al-
Fatihah membaca surat al-Maidah.
8. Dan ketika melaksanakan ruku’ yang terahir (keempat), membaca tasbih yang
banyaknya kira-kira sesuai dengan membaca lima puluh ayat Al-Qur’an.
9. Ketika sujud yang pertama ia membaca tasbih yang banyaknya kira-kira sesuai
dengan membaca seratus ayat Al-Qur’an, sujud kedua delapan puluh ayat, sujud
ketiga tujuh puluh, dan sujud keempat lima puluh ukuran ayat Al-Qur’an. (Habib
Muhammad bin Ahmad asy-Syatiri, Syarah Yaqutun Nafis, [Darul Hawi, 1997], h.
271-272)

Anjuran seputar Shalat Gerhana Matahari


1. Disunnahkan mandi sebelum melaksanakan shalat gerhana matahari, tanpa
berhias, dengan niat sebagai berikut:
‫ف ُسنَّةً هّٰلِل ِ تَ َعالَى‬
ِ ْ‫صاَل ِة ْال ُكسُو‬
َ ِ‫ْت ْال ُغ ْس َل ل‬
ُ ‫نَ َوي‬

Nawaitul ghusla lishalâtil kusûfi sunnatan lillâhi ta’âlâ


2. Artinya, “Aku niat mandi untuk gerhana matahari sunnah karena Allah ta’ala.”
Disunnahkan untuk tidak mengeraskan bacaan-bacaannya dalam shalat. Sebab,
shalat gerhana matahari termasuk bagian shalat yang dikerjakan di siang hari
(nahariyah).
3. Jika dilakukan secara berjamaah, maka disunnahkan bagi Imam untuk berkhutbah,
sebagaimana khutbah shalat Jumat. Namun, dalam hal ini hendaklah bagi khatib
memotivasi para jamaah terhadap kebaikan, berupa taubat, sedekah, dan kebaikan
lainnya, serta mengajak untuk meninggalkan kemaksiatan dan segala kejelekan
lainnya. Anjuran khutbah ini tidak berlaku bagi orang yang melakukan shalat
gerhana secara sendiri.
4. Disunnahkan untuk tidak dilakukan secara berjamaah apabila terjadi gempa, petir
yang menakutkan, dan angin kencang. (Habib Zain, Taqriratus Sadidah fil
Masailil Mufidah, 2003, h. 348).
Hikmah Disyariatkannya Shalat Gerhana
Menurut Habib Ibrahim bin Smith, hikmah disyariatkannya shalat gerhana adalah sebagai
peringatan kepada orang-orang yang menyembah dan mempertuhankan matahari dan bulan,
bahwa kedua benda langit itu tidak memiliki daya dan kekuatan apa pun, tidak bisa
mendatangkan kebaikan dan keburukan, tidak pula memberikan manfaat dan mudarat.
Keduanya sama-sama makhluk Allah ‫ ﷻ‬yang tidak boleh disembah. Sebab, seandainya
matahari dan bulan memiliki kekuatan maka ia akan menolak kekurangan yang ada pada
dirinya, dan sinarnya tidak akan pernah hilang (Habib Zain, Taqriratus Sadidah fil Masailil
Mufidah, 2003, h. 347). Wallahu A’lam.

Anda mungkin juga menyukai