Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

CABANG-CABANG ILMU HADIS

Diajikan untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Hadis yang dibimbing oleh

dosen pengampu Dr. Amin Tohari, S.Ag.M.Si.M.Pd.i

Ditulis oleh:

1. Mohammad Bagas Bukhori (10010321019)


2. Nasya’ Fairy Amelia Putri (1001321023)
3. Nanda Atiqoh Nurfani (10010321024)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


PRODI SOSIOLOGI
UIN SUNAN AMPEL SURABAYA
2022

KATA PENGANTAR

1
Assalamualaikum wr.wb. Puji syukur atas rahmat Allah SWT, berkat rahmat serta
karunia-Nya sehingga makalah dengan berjudul Cabang-cabang Ilmu Hadis

Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas mata kuliah dari bapak Amin Tohari
Selain itu, penyusunan makalah ini bertujuan menambah wawasan kepada pembaca tentang
Cabang-cabang Ilmu Hadis

Kami menyampaikan ucapan terimakasih kepada bapak Amin Tohari. Berkat tugas yang
diberikan ini, dapat menambah wawasan kami berkaitan dengan topik yang diberikan. Kami
juga mengucapkan terimakasih yang sebesarnya kepada semua pihak yang membantu dalam
proses penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan masih melakukan banyak
kesalahan. Oleh karena itu kami memohon maaf atas kesalahan dan ketaksempurnaan yang
pembaca temukan dalam makalah ini. Kami juga mengharap adanya kritik serta saran dari
pembaca apabila menemukan kesalahan dalam makalah ini.

A. Pendahuluan

2
Sebagai umat yang beragama islam, kita memiliki dua sumber yang dijadikan acuan
hukum, yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Hadis hadir sebagai pelengkap dan penjelas ayat-ayat Al-
Qur’an.1 Umat islam selain berkewajiban meyakininya, juga menerapkan isi-isi yang ada di
dalamnya. Untuk melaksanakan hal tersebut, tentulah harus dipahami dulu isi di dalamnya.

Dalam memahami hadis tidak bisa serta merta dilakukan begitu saja. Ada hadis yang
tidak dapat diaplikasikan dalam kehidupan karena termasuk dalam hadis palsu. Beberapa
hadis bahkan saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Selain memahami isinya,
kita juga perlu untuk memahami asal muasal dari turunnya hadis tersebut. Oleh karena itu,
dibutuhkan beberapa ilmu penunjang lain agar pemahaman hadis yang didapatkan tidak
keliru. Beberapa ilmu penunjang tersebut akan kita bahas dalam makalah ini, diantaranya
yaitu asbabul wurud, nasikh mansukh, mukhtalaf, dan I’lal hadis.

Asbabul wurud digunakan untuk mempelajari sebab dari turunnya suatu hadis. Nasikh
mansukh dipelajari untuk hadis yang saling bertindihan sehingga ada yang menghapus dan
perlu dihapus. Mukhtalaf berfungsi untuk mempertemukan titik kompromi dari hadis-hadis
yang dianggap saling bertentangan. Sedangkan, I’lal digunakan untuk menemukan letak
cacat dari suatu hadis.

B. Hadis-hadis
Asbabul Wurud Al-Hadis

‫سَنِة بَِنْي َأَد َم ِبَم ا ِفْي اْلَم ْر ِء ِم ْن َخْيٍر َأْو َش ٍّر‬


ِ ‫ُإِّن َهّلل َتَع اَلى َم َالِئَكَة ِفْي اأْل َْر ِض َيْنُطُق َع َلى أَْل‬2
Mukhtalaf al-Hadis
- Hadis yang menyatakan mayat akan disiksa karena tangisan keluarga

‫ع ِع ِن اْبِن ُع َم َر َقاَل َلمَّا طَْعٌن ُع َم رُ َأغَم ى َع َلْيُه فَِص ْيُح عََلْيِه فََلَّم ا أََفاَق َقاَل َأَّم ا َع ِلْم ُتْم أََّن َر ُسْو َل ِهّللا َص َّلى ُهّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬
‫َقاَل ِاَّن اْلَم ِّيَت ِليَُع َّذ ُب ِبُبَك اِء اَْهِلِه َع َلْيِه‬3

- Hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah menangis saat kematian putri beliau

1 Jaya, S. A. (2019). Al-Qur’an dan Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam. Indo-Islamika. 204-216
2 Hadits Riwayat Hakim
3 Hadits Riwayat Muslim

3
‫ َش ِهْدُت ِبْنتًا لِلَّنِبِّي َص لَّى ُهّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َتْد ِفُن َو َر ُسْو َل ِهّللا َص َّلى ُهّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َج اِلٌس ِع ْن َد‬: ‫َع ْن َأَنُس َرِض َي ُهّللا َع ْنُه َقاَل‬
‫( رواه البخاري‬. ‫اْلُقُبِر َفَر َأْيُت َع ْيَنْيِه َتْد ِمَع اِن‬4

I’lal Hadis

‫َع ْن َع ْلَقَم ِة ْبِن َو اِئِل َأَّن الَّنِبَّي َقَر َأ (َغْيِر اْلَم ْغ ُضْو ِب َع َلْيِهْم َو َال الَّضالِّْيَن ) َفَقاَل “آِم ْيَن ” َو ِخ ْفضَ ِب َها َص ْو ُتُه‬5

C. Terjemahan
Asbabul Wurud Al-Hadis
“Sesungguhnya Allah SWT memiliki para Malaikat di bumi, yang dapat berbicara
melalui mulut manusia mengenai kebaikan dan keburukan seseorang.” (HR. Hakim).
Mukhtalaf al-Hadis
- Terjemahan hadis yang menyatakan mayat akan disiksa karena tangisan keluarga

“Dari Ibn Umar dia berkata, “ketika Umar ditusuk beliau tidak sadarkan diri [orang-orang
menangis] sambil berteriak.” Lalu saat ia sadar ia berkata, “apakah kalian tidak tahu
bahwa Rasulullah pernah bersabda “sesungguhnya mayit akan diazab karena sebab
tangisan orang yang masih hidup” (HR Muslim)

- Terjemahan hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah menangis saat kematian


putri beliau

“Dari Anas r.a. berkata: saya menyaksikan putrid Nabi saw dikubur dan Rasul saw duduk
dekat kuburan lalu aku lihat kedua mata beliau berlinang air mata.” (HR Bukhari)

I’lal Hadis

Dari ‘Alqamah ibnu Wa’il sesungguhnya Nabi pernah membaca “Ghoiril maghdhubi
‘alaihim waladhdhollin” kemudian Beliau menjawab “Aamiin” sedangkan Beliau
merendahkan suaranya

D. Teori dan Metode


Asbabul Wurud Al-Hadis

4 Hadits Riwayat Bukhari


5 Hadits Riwayat Muslim

4
Asbabul wurud adalah konteks historisitas, baik berupa peristiwa peristiwa atau
pertanyaan atau lainnya yang terjadi pada saat hadits itu disampaikan oleh Nabi SAW. la
dapat berfungsi sebagai pisau analisis untuk menentukan apakah hadits itu bersifat umum
atau khusus, mutlak atau muqayyad, naskh atau mansukh dan lain sebagainya. Singkatnya
asbabul wurud al-hadis ialah suatu ilmu perıgetahuan yang membicarakarı tentang
sebab-sebab Nabi Muhammad SAW menuturkan sabdanya dikarenakan adanya peristiwa
atau pertanyaan dari para sahabat.

Dalam memahami Hadis tersebut, ternyata para sahabat merasa kesulitan, maka
mereka bertanya: Ya Rasul!, Bagaimana hal itu dapat terjadi? Maka Nabi SAW
menjelaskan lewat sabdanya yang lain sebagaimana Hadis yang diriwayatkan oleh Anas
bin Malik. Suatu ketika Nabi SAW bertemu dengan rombongan yang membawa jenazah.
Para sahabat kemudian memberikan pujian terhadap jenazah tersebut, seraya berkata:
“Jenazah itu baik”. Mendengar pujian tersebut, maka Nabi berkata: “Wajabat” (pasti
masuk surga) tiga kali. Kemudian Nabi SAW bertemu lagi dengan rombongan yang
membawa jenazah lain. Ternyata para sahabat mencelanya, seraya berkata: “Dia itu orang
jahat”. Mendengar pernyataan itu, maka Nabi berkata: “Wajabat”. (pasti masuk neraka).

Ketika mendengar komentar Nabi SAW yang demikian, maka para sahabat bertanya:
“Ya Rasul!, mengapa terhadap jenazah pertama engkau ikut memuji, sedangkan terhadap
jenazah kedua tuan ikut mencelanya. Engkau katakan kepada kedua jenazah tersebut:
“Wajabat” sampai tiga kali. Nabi menjawab: ia benar. Lalu Nabi berkata kepada Abu
Bakar : “Wahai Abu Bakar sesungguhnya Allah SWT memiliki para Malaikat di bumi.
Melalui mulut merekalah, Malaikat akan menyatakan tentang kebaikan dan keburukan
seseorang. (HR. al-Hakim dan al-Baihaqi).

Dengan demikian, yang dimaksud dengan para Malaikat Allah di bumi yang
menceritakan tentang kebaikan keburukan seseorang adalah para sahabat atau orang-
orang yang mengatakan bahwa jenazah ini baik dan jenazah itu jahat.

Mukhtalaf al-Hadis
Kedua hadis tersebut memnuhi persyaratan pertentangan sebagai berikut: (a)
Pertentangan terjadi dalam satu permasalahan, yaitu menangisi mayit. (b) Pertentangan

5
terjadi pada dua hukum/madlul, dalam kajian ini terdapat hadits yang menyatakan mayit
akan diazab akibat tangisan keluarga dan terdapat hadits bahwa Rasulullah menangis saat
kematian kerabatnya. Dengan demikian, maka penyelesaian pertentangan hadits-hadits
tersebut adalah dengan menggunakan salah satu metode Mukhtalaf al-Hadis, yaitu al-
Jam’u wa Taufiq (kompromi).
Al-Jam’u wa al-Taufiq (kompromi) adalah cara yang dapat digunakan untuk
mengkompromikan hadits-hadits yang saling bertentangan, salah satunya adalah dengan
memaknai hadits atau lafadz-lafadz yang terkandung di dalamnya. Kata yang paling
menjadi penyebab pertentangan adalah al-buka yang berarti menangis atau tangisan.
Menangis di sini bisa jadi sekedar meneteskan air mata tanpa suara atau bisa juga
menangis dengan suara. Pertanyaannya adalah apakah ‘menangis/tangisan’ pada hadits
tersebut mencakup keduanya atau salah satunya?.
Menurut al-Nawawi, ulama telah sepakat bahwa maksud kata al-Buka adalah al-
Niyahah yang berarti bukan hanya sekedar mengeluarkan air mata tetapi dibarengi
dengan ekspresi atau ungkapan ketidakrelaan akan kematian si mayit. Hal ini sesuai
dengan sabda Nabi saw:

‫َع ِن اْبِن ُع َم َر َرِض َي ُهللا َع ْنُهَم ا َع ْن الَّنِبَي َص ىَّل ُهللا َع َلْيِه َو َس َلَم َقاُل‬

‫َاْم َلْيُت ُيَع ذُب ِفْي ُقُبِر ِه ِبَم ا َنُيٌح َع َلْيِه (متفق عليه‬

“Dari Ibn ‘Umar r.a. dari Nabi saw, bersabda ia: mayit diazab di dalam kuburnya karena
diratapi” (HR. Bukhari dan Muslim)

Menurut Ibnu Qudâmah, kata al-Buka dimaknai dengan tangisan yang tidak
dibenarkan oleh syari’ah yaitu meraung dan meratap. Adapun tangisan yang tidak seperti
itu adalah tangisan yang dibolehkan menurut mayoritas ulama.6

I’lal Hadis

I’lal hadis secara bahasa artinya penyakit, sebab alasan atau halangan. Dengan
demikian, tidak I’lalnya hadis tersebut tidak berpenyakit, tidak ada sebab yang

6 Abu Muhammad Muwaffiq al-Din ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, al-
Mughni fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal al-Syaibani, (Kairo: Jijr li al-Thaba’ah wa al-Nasyr,
1992), cet. ke-II, jilid III, h. 495

6
melemahkannya dan mengahalanginya. Sedangkan menurut istilah ’ilal adalah suatu
sebab yang tidak nampak atau samar-samarnya yang dapat mencacatkan keshahihan
suatu hadis. Dengan demikian, jika dikatakan hadis tersebut tidak ber’ilal, berarti hadis
tersebut tidak memiliki cacat, adapun yang dimaksud samar-samar, karena jika dilihat
dari segi lahirnya, hadis tersebut terlihat shahih 7. I’lal hadis mengakibatkan kualitas hadis
menjadi lemah, tidak shahih. Menurut istilah hadis ’ilal ialah sebab yang tersembunyi
yang merusakkan kualitas hadis. Keberadaan hadis ’ilal yang pada lahirnya terlihat
berkualitas sahih menjadi tidak sahih.
Hadis diatas diriwayatkan oleh Syu’bah Bin al-Hajjaj dari Salamah Bin Kahil dari
Hujr Bin Abi ‘Anbasah dari ‘Alqamah. Imam Muslim mengatakan bahwa Syu’bah telah
keliru dalam riwayat ini ketika mengatakan: ‫وخفض بها صوته‬. Imam al-Bukhari menyatakan
bahwa Syu’bah telah keliru di dalam beberapa bagian dalam hadis ini, Hujr Bin Abi
‘Anbasah seharusnya adalah Hujr Bin ‘Anbasah yang memiliki kuniah Abu al-Sakan.
Selain itu, Syu’bah juga telah menambah ‘Alqamah Bin Wa`il, padahal sebenarnya tanpa
‘Alqamah. Lengkapnya adalah dari Hujr Bin ‘Anbasah dari Wa`il Bin Hujr, Ia berkata:
‫وخفض بها صوته‬.

Nasikh wal mansukh

- Teori Dasar Nasikh Wal-Mansukh


Naskh secara etimologi, memiliki arti yang menghapus, yang mengganti atau
yang mengubah. Sedangkan Al-Mansukh berarti yang di hapus, yang digantikan atau
diubah. Penggunaan an-naskh dalam arti tersebut dapat dilihat dalam firman Allah
surat Al-Hajj ayat 52 :
‫َو َم ٓا َاْر َس ْلَنا ِم ْن َقْبِلَك ِم ْن َّرُسْو ٍل َّو اَل َنِبٍّي ِآاَّل ِاَذ ا َتَم ّٰن ٓى َاْلَقى الَّشْيٰط ُن ِفْٓي ُاْم ِنَّيِتٖۚه َفَيْنَس ُخ ُهّٰللا َم ا ُيْلِقى الَّشْيٰط ُن ُثَّم ُيْح ِكُم ُهّٰللا ٰا ٰي ِتٖۗه َو ُهّٰللا َع ِلْيٌم‬
‫ۙ َحِكْيٌم‬

Artinya : “Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu,dan Allah
menguatkan ayat-ayatnya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

7 Muhammad Rizal, M.T.H ilmu i'lal Al hadis, (Medan : adzka Ar razy, 2012)

7
Kajian tentang konsep Nasikh-Mansukh dalam pandangan Wahbah Zuhaily
merupakan kajian yang bersifat historis karena pembahasannya tidak akan lepas dari
dua hal pokok dalam periodisasi sejarah Islam yakni periode kenabian dan waktu
turunnya wahyu (pewahyuan). (Al-Zuhaili, 1986, p. 931)

Perlu dipahami pula bahwa terjadinya Nasikh-Mansukh itu bukan berarti dalam
Al-Qur’an maupun Al-Sunnah terdapat kontradiksi, tetapi menunjukkan fleksibilitas
ajaran islam, sehingga dapat disesuaikan dengan situasi maupun kondisi sosiokultural
penerima ajaran. Oleh sebab itu para ulama’ ushul menetapkan syarat kemungkinan
terjadi Nasikh dan Mansukh, sebagaimana dirangkum oleh Abdul Wahab Khalaf
dalam ushul fiqih-nya yaitu :

1. Nasikh harus terpisah dari mansukh, dengan kata lain ayat nasikh dengan ayat
mansukh tidak boleh berada dalam satu tempat yang sama,
2. Nasikh harus berupa dalil-dalil syara’,
3. Mansukh tidak dibatasi dengan waktu,
4. Mansukh harus berupa hukum syara’. (Khallaf, 1968, p.226)
Di dalam turunnya Al-qur’an ada beberapa ayat yang di nasikh mansukh kan.
Berikut ini adalah contoh ayat yang terjadi nasikh mansukh seeprti ayat 65 dari surat
Al-Anfal secara lafal tetap akan tetapi hukum syar’i nya tidak diamalkan atau
diharuskan ke ayat 66 :
‫ِّم نُك ْم ِع ْش ُروَن َص اِبُروَن َيْغ ِلُبوا ِم اَئَتْيِن َو ِإن َّيُك ن ِّم ْنُك ْم ِم اَئٌة َيْغ ِلُبوا َأْلًفا ِّم َن اَّلِذ يَن َكَفُروا ِبَأَّنُهْم َقْو ٌم َال َيْفَقُهوَن‬

Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu’min itu untuk berperang. Jika ada dua
puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus
orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, maka mereka
dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir
itu kaum yang tidak mengerti.

Kemudian hukum ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya

‫اْلَئاَن َخ َّفَف ُهللا َعنُك ْم َو َع ِلَم َأَّن ِفيُك ْم َض ْع ًفا َفِإن َيُك ن ِّم نُك م ِّم اَئٌة َص اِبَر ٌة َيْغ ِلُبوا ِم اَئَتْيِن َوِإن َيُك ْن ِّم ْنُك ْم َأْلٌف َيْغ ِلُبوا َأْلَفْيِن ِبِإْذ ِن ِهللا‬
‫َو ُهللا َم َع الَّصاِبِريَن‬

8
Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu
bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya
mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika diantaramu ada seribu orang
(yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang. Dan Allah beserta
orang-orang yang sabar.

- Domain Terjadinya Naskh

Para jumhur ulama’ sepakat diperbolehkannya penerapan naskh dalam Al-Qur’an,


karena terdapat hikmah yang sangat besar dampaknya bagi eksistensi syariat islam
yakni perhatian syariat Islam terhadap kemaslahatan dan kebutuhan pemeluknya.
Meskipun para ulama’ menyepakati diperbolehkannya naskh dalam Al-Qur’an, tapi
bukan berarti semua ayat dapat di-naskh, oleh sebab itu ada beberapa domain ayat
yang menolak adanya naskh yaitu :

1. Ayat yang berisi pokok-pokok ajaran agama, baik dalam aspek aqidah ibadah
maupun akhlak, seperti keadilan, kejujuran, larangan syirik, membunuh, mencuri
dan lain sebagainya.
2. Ayat yang berisi hukum pasti (Qath’iy) dan abadi berdasarkan persyaratan dalam
ayat itu sendiri, seperti perintah untuk mengerjakan sholat dan berzakat.
3. Ayat yang berisi berita atau khabar suatu kejadian baik yang sudah terjadi atau
yang akan terjadi seperti kisah kaum-kaum terdahulu atau berita kekalahan tentara
romawi. (Khallaf, 1968, p.227)
Dari pemaparan tersebut dapat ditangkap bahwa domain terjadinya naskh dalam
Al-Qur’an adalah pada ayat yang mengandung perintah dan larangan baik yang
berbentuk shorih (jelas) maupun dalam bentuk khabar (berita) serta tidak dalam
kategori pokok ajaran agama, atau dengan kata lain, wilayah nasikh-mansukh hanya
terbatas pada ayat-ayat hukum saja. (Al-Zarkasyi, 2006, p.350)

Jumhur Ulama’ sebagaimana disinggung oleh Abdullah Saeed,


mengklasifikasikan terjadinya Naskh dalam Al-Qur’an pada 3 aspek, yakni : naskh
hukum sekaligus bacaan, naskh hukum tetapi bacaannya masih tetap berlaku dan
nasikh bacaan namun hukumnya masih tetap berlaku. (Saeed, 2006, p.80)

9
- Implikasi Naskh-Mansukh dalam penerapan hukum islam

Hukum islam yang dimaksud disini adalah kecenderungannya kepada hukum


islam dalam makna fiqih. Karena hukum islam dengan pemaknaan fiqih yang sifatnya
terapan dapat bersifat kondisional. Artinya, ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
fiqih bisa berubah tergantung kondisi, situasi dan keadaan dimana fiqih itu
diterapkan. Dengan demikian, nasakh dengan pengertian perpindahan dan pengalihan
hukum dari satu tempat ke tempat lain mempunyai fungsi untuk membentuk hukum
Islam yang elastis dan fleksibel.

Dalam pandangan Saeed ada beberapa kelompok yang meyakini bahwa apapun
hukum yang telah tertulis dalam Al-Qur’an atau hadist harus selalu diamalkan tanpa
melihat situasi dan kondisi dimana hukum itu diberlakukan, pendapat tersebut
menurut Saaed justru mengabaikan gagasan penting dari adanya konsep Naskh-
Mansukh. Dan beliau menambahkan bahwa adanya Naskh sebagai faktor perubahan
hukum seiring perubahan kondisi dan situasi menunjukkan bahwa Allah telah
memberi petunjuk pada umat muslim agar mau menggunakan Naskh sebagai sumber
pijakan penting dalam merubah atau menerapkan hukum sesuai kondisi dan situasi
yang dialami. (Saaed, 2006, p.83)

E. Sumbangsih Kekinian Intelektual


Hadis pada era modern ini kehadirannya dirasa sangat perlu. Ketidakadaan sosok
Nabi tentunya membingungkan beberapa umat. Oleh karena itu, hadis-hadis ini hadir
sebagai 'pengganti' nabi agar umat tidak salah arah. Hadis merupakan sebuah kalimat atau
ucapan yang datangnya dari Allah maupun Nabi. Hadis berposisi sebagai pelengkap dari
alquran. Apabila ada ayat Al-Quran yang dirasa kurang jelas, disinilah fungsi hadis
muncul untuk memperjelas apa yang dimaksudkan alquran
F. Penutup

- Kesimpulan

Paparan materi diatas menjelaskan empat ilmu penunjang dalam memahami


hadis-hadis. Semuanya merupakan termasuk dalam ilmu penunjang yang penting

10
untuk dipelajari. Empat ilmu penunjang tersebut ialah asbabul wurud, nasikh
mansukh, mukhtalaf, dan I’lal hadis.

Asbabul wurud digunakan untuk mempelajari sebab dari turunnya suatu hadis.
Nasikh mansukh dipelajari untuk hadis yang saling bertindihan sehingga ada yang
menghapus dan dihapus. Mukhtalaf berfungsi untuk mempertemukan titik kompromi
dari hadis-hadis yang dianggap saling bertentangan. Sedangkan, I’lal digunakan
untuk menemukan letak cacat dari suatu hadis.

- Saran

Dikarenakan banyaknya hadis yang ada, ilmu penunjang hadis sangat berguna dan
diperlukan dalam memahami ilmu hadis untuk mencegah kekeliruan. Asbabul wurud,
nasikh mansukh, mukhtalaf, dan I’lal hadis. Keempatnya merupakan ilmu penunjang
hadis yang saling berkaitan dan alangkah baiknya apabila dipelajari dengan
bersamaan serta bersungguh-sungguh.

11
Daftar Pustaka

Aliyah, S. (2014). Teori Pemahaman Ilmu Mukhtalif Hadits. 1-12.

Al-Zuhaili, W. (1986). Usul al-Fiqh al-Islami. Dar al Fikr.

Faza, A. A. (2007, Oktober 16). category: Al-Jarh Wat-Ta'dil. Dipetik Maret 27, 2022, dari
ahlulhadist.wordpresses.com: https://ahlulhadist.wordpress.com/2007/10/16/ilmu-
%E2%80%99ilal-hadits/

Khallaf, A. W. (1968). Ilmu Ushul al Fiqh. Dar al Kuwaitiyah.

Komarudin. (2017). Tinjauan Mukhtalaf al-Hadits terhadap Hadits-hadits Menangisi Mayit.


Kordinat, 47-62.

Rizal, M. (2012). Ilmu I'lal Hadis.

Saeed, A. (2006). Interpreting the Qur'an: Towards a Contemporary Approach. Routledge.

Said, M. U. (2020). Nasikh Mansukh dalam Al-Qur'an. Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, 173-183.

12

Anda mungkin juga menyukai