Anda di halaman 1dari 6

Nama : Ilham Rifaldi

Nim : 180103030

Fasakh dan Khulu’

 Fasakh

Definisi Fasakh

Kata fasakh berasal dari kata ‫خا‬ ‫فس‬-‫يفس خ‬-‫فس خ‬   yang memiliki arti

membatalkan. Dalam konteks kali ini kata fasakh ini dikaitkan dengan perihal


perkawinan yang akan memiliki arti pembatalan atau merusak suatu
perkawinan. Menurut pendapat yang lain fasakh adalah rusak atau putusnya
perkawinan melalui pengadilan yang hakikatnya hak suami-istri disebabkan sesuatu
yang diketahui setelah akad berlangsung. Misalnnya suatu penyakit yang muncul
setelah akad yang menyebabkan pihak lain tidak dapat merasakan arti dan hakikat
sebuah perkawinan. Fasakh disyariatkan dalam rangka menolak kemudaratan dan
diperbolehkan bagi seorang istri yang sudah mukallaf atau baligh dan berakal.

Sedangkan menurut Al-Hamdani pembatalan nikah disebabkan oleh sesuatu

sifat yang dibenarkan oleh syara’ misalnya perkawinan yang difasakhkan oleh
Hakim

disebabkan oleh suami tidak mampu memberi nafkah kepada istrinya. Fasakh
tidak

dapat mengurangi bilangan talak. Fasakh bisa terjadi karena tidak


terpenuhinya  syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal lain
yang datang
kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan.

            Dalam hadis di atas diceritakan bahwasannya Uqbah bin Haris telah


menikahi seorang perempuan yang bernama Umi Yahya binti Abi Ihab, kemudian
datanglah wanita berkulit hitam yang menyatakan bahwa dia telah menyusui Uqbah
dan istri yang dinikahinya. Dikarenakan Uqbah sendiri tidak mengetahui kondisi
seperti ini, kemudian Uqbah mengutus orang untuk bertanya pada Abi Ihab, dan Abi
Ihab sendiri tidak mengetahui juga, sehingga kemudian beranjaklah Uqbah menemui
nabi, untuk menanyakan masalah ini.

            Kemudian Rasulullah menjawab dengan redaksi ‫ل‬


َ ‫ف َوقَ ْد قِ ْي‬
َ ‫ َك ْي‬yang
mengandung arti, bagaimana kamu menggauli istri kamu sedangkan ada yang
menyatakan bahwasannya kamu itu saudara sepersusuan baginya, hal ini merupakan
sifat yang bertentangan dengan muru’ah dan sifat wira’i (menghidarkan diri dari
dosa). Sehingga kemudian Uqbah berpisah (mentalaq) darinya, dan perempuan
tersebut menikah dengan laki-laki lain.

            Dalam sumber lain, juga diterangkan bahwa saudara sepersusuan


memiliki kedudukan mahram yang sama dengan kedudukan mahram dari jalur nasab.
Sebagaimana hadis berikut,

‫ َح َّد َثنَا َعلِ ٌّي بن َزيْ ٍد َع ْن َس ِع ْي ِد بن‬: ‫اع ْيل بن اِ ْب َر ِاه ْيم‬
ِ ‫ ح َّد َثنا اِسم‬: ‫ح َّد َثنا َأحم ْد ب ِن منِيع‬
َْ َ َ ْْ َ َْ َ َ
‫اع َما َح َّر َم‬
ِ ‫ض‬ َّ ‫ (اِ َّن اللّهَ َح َّر َم ِم َن‬:  ‫رس ْو ُل اللّه‬
َ ‫الر‬ ُ ‫ال‬
َ َ‫ ق‬: ‫ال‬ ِ ِ‫ َع ْن َعلِي (بن اَبِي طَال‬, ‫ال ُْم َسيَّب‬
َ َ‫ب) ق‬ ْ
ِ ‫َّس‬
)‫ب‬ َ ‫من الن‬ 
َ

“Ahmad bin Malik menyampaikan kepada kami, dari Isma’il bin Ibrahim, dari
Ali bin Zaid, dari Sa’id bin Al-musayyib, dari Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulullah
SAW bersabda: sesungguhnya Allah mengharamkan (menjadikan mahram) dari jalur
penyusuan sebagaimana mengharamkan dari jalur nasab”.
Diriwayatkan oleh: As Syaukhan dan At Tirmidzi dari Aisyah r.a At Turmudzi
meriwayatkan juga dari Ali r.a, dan hadis di atas diriwayatkan Turmudzi dan menurut
At Turmudzi hadis ini merupakan hadis hasan Shahih.             

Dan adapun asbabul wurud hadis di atas yaitu, Imam At-Turmudzi dari Ali
Amirul Mukminin meriwayatkan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah SAW:
“YA Rasulullah, inginkah Engkau mengawini putri pamanmu Hamzah, karena
bukankah dia itu gadis Quraisy yang tercantik?” Rasulullah menjawab: “Ketahuilah,
sesunggunhnya putri Hamzah itu adalah saudaraku karena sepersusuan (radha’ah),
kemudiaan beliau menyebutkan hadis di atas.

‫ َفلَ َها َم ْه ُر َها بِ َما‬, ‫ص‬ ٍ ِ


ٌ ‫ َأيُّ َما ا ْم َرَأة غَ َّر بِ َها َر ُج ٌل بِهاَ ُجُن ْو ٌن َْأو ُج َذ ٌام َْأو َب َر‬: ‫ال‬
َ َ‫َع ْن عُ َم َر اَنَّهُ ق‬

)‫ (رواه مالك في الموطأ والدرقطني‬.‫الر ُج ُل َعلى َم ْن غَ َّر َه‬ ِ


َ ‫ص َدا ُق‬
َ ‫ َو‬, ‫اضاب م ْن َها‬
َ

Di dalam Almuwatha’ diriwayatkan dari Umar bahwa dia berkata : “ketika ada
seorang wanita yang telah membuat seorang laki-laki yang tertipu dengannya berupa :
si wanita tersebut memiliki penyakit gila atau judzam (lepra) atau barash (belang
putih pada kulit karena penyakit), maka si wanita berhak mendapat mahar atas apa
yang telah didapatkan oleh si suami darinya (menggauli, mengumpuli), dan orang
yang telah menipu laki-laki tersebut menanggung denda mahar.

Dalam kitab Sunan ibnu Majjah diterangkan pula oleh Muhammad Fuad Abdul
al-Baqiy bahwa ibnu ‘Abbas ingin menikahkan anaknya dengan Hamzah bin Abdil
Muthalib namun Rasulullah melarangnya karena mereka adalah saudara sepersusuan.
Dan sesungguhnya yang diharamkan dari jalur sepersusuan adalah apa yang
dilarangkan dari jalur nasab.
 Khulu’

Definisi Khulu’

Secara etimologi (tinjauan bahasa), khulu’ berasal dari kata ‫ب‬


َ ‫( َخلَ َع الث َّْو‬melepas
pakaian), karena istri adalah pakaian bagi suaminya secara maknawi.
Adapun definisi khulu’ secara terminologi (menurut istilah) adalah perpisahan
dengan istri yang ditebus dengan bayaran dari istri atau dari selainnya.
Jadi, khulu’ berkonsekuensi dua perkara: bayaran (tebusan) dan perpisahan.
Hadits ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz Ia berkata :
ِ ‫ الَ ِع َّدةَ َعلَْي‬:‫ال‬
َّ‫ك ِإال‬ ِ ‫ْت ماذَا َعلَ َّي ِمن ال ِْعد‬
َ ‫َّة؟ َف َق‬ ُ ‫ ثُ َّم ِجْئ‬،‫ت ِم ْن َز ْو ِجي‬
ْ َ ُ ‫ت ُعثْ َما َن فَ َسَأل‬ ُ ‫ا ْخَتلَ ْع‬
ِ ‫ضاء ر ُس‬
‫ول‬ َ ِ‫ َوَأنَا ُمتَّبِ ٌع فِي َذل‬:‫ال‬
َ َ َ َ‫ك ق‬ َ َ‫ ق‬.ً‫ضة‬ ِ ‫َأ ْن تَ ُكونِي ح ِديثَةَ َع ْه ٍد بِ ِه َفتَم ُكثِي حتَّى تَ ِح‬
َ ‫يضي َح ْي‬ َ ْ َ
ِ ْ ‫اس فَا ْختلَع‬ ِ ِ‫ت ثَاب‬ ْ َ‫اللَّ ِه فِي َم ْريَ َم ال َْمغَالِيَّ ِة َكان‬.
ُ‫ت م ْنه‬ َ َ ٍ ‫س بْ ِن َش َّم‬
ِ ‫ت بْ ِن َق ْي‬ َ ‫ت تَ ْح‬
“Aku khulu’ dari suamiku, lalu aku mendatangi Utsman lantas bertanya akan
kewajiban ‘iddah yang harus aku jalani. Utsman menjawab, ‘Tidak ada kewajiban
‘iddah atasmu, kecuali jika kamu baru saja berpisah dengannya, maka hendaklah
kamu menanti hingga haid satu kali.’ Utsman berkata, ‘Dalam hal ini, saya
mengikuti hukum Rasulullah n terhadap Maryam al-Maghaliyah, yang sebelumnya
sebagai istri Tsabit bin Qais bin Syammas lalu khulu’ darinya’.” (HR. an-Nasa’i dan
Ibnu Majah, dihasankan oleh al-Albani dan al-Wadi’i).
Hadits ini begitu jelas menunjukkan bahwa khulu’ itu adalah fasakh walaupun
dijatuhkan dengan lafadz talak, sebab ‘iddah dengan satu kali haid adalah urusan
fasakh, bukan urusan talak. Adapun perintah Rasulullah kepada Tsabit bin Qais bin
Syammas untuk mencerai istrinya yang meminta khulu’ dengan lafadz :

ً‫ْح ِد ْي َق ةَ َوطَلِّ ْق َه ا تَطْلِ ْي َق ة‬


َ ‫“ اقْبَ ِل ال‬Terimalah kebun itu dan talaklah dia.” (HR. al-Bukhari
dari Ibnu ‘Abbas) tidak menunjukkan bahwa khulu’ dengan lafadz talak adalah talak.
Ibnu Taimiyah sebagaimana dalam Majmu’ al-Fatawa berkata, “Adapun hadits
‘Talaklah dia’ maksudnya izin dari Nabi n kepada Tsabit untuk menalaknya satu kali
talak dengan bayaran (tebusan) dan larangan lebih dari satu kali.”
Artinya, tidak boleh menjatuhkan khulu’ lebih dari satu kali sekaligus dalam satu
majelis seperti halnya larangan Nabi n menalak tanpa bayaran (tebusan) lebih dari
satu kali sekaligus dalam satu majelis. Lebih lanjut, Ibnu Taimiyah t berkata, “Nabi
memerintahkan agar tidak menjatuhkan talak dengan tebusan lebih dari satu kali
(sekaligus), tetapi hanya satu kali saja. Sebagaimana halnya menalak hanya satu kali,
tidak lebih dari itu (sekaligus). Namun, talak dengan tebusan adalah talak yang
terikat, bermakna fidyah (khulu’) dan perpisahan ba’in (utuh tanpa dapat dirujuk),
bukan talak mutlak yang terdapat dalam Al-Qur’an yang bermakna raj’i (dapat di
ruju’).” Ini jika hadits tersebut sahih sebagaimana telah disahihkan oleh al-Bukhari
dan al-Albani.
Yang benar, ‘iddahnya adalah satu kali haid. Ini adalah istibra’, yaitu
pembebasan rahim dari anak yang dikandung. Dalilnya adalah hadits ar-Rubayyi’ di
atas. Hal ini karena tujuannya semata untuk mengetahui terbebasnya rahim dari
kehamilan yang tercapai dengan satu kali haid saja. Tidak perlu diperpanjang untuk
memberi kesempatan yang cukup agar bisa ruju’ (kembali), karena tidak ada
kesempatan rujuk pada khulu’. Berbeda halnya dengan ‘iddah istri yang ditalak
sampai tiga kali haid, karena bertujuan memberi kesempatan yang cukup lama bagi
suami agar bisa rujuk jika mau. Inilah pendapat Ibnu ‘Abbas dan murid-muridnya,
salah satu riwayat dari Ahmad, serta yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim,
ash-Shan’ani, as-Sa’di, al-‘Utsaimin, dan al-Wadi’i, guru besar kami. Konsekuensi
hukum dari khulu’ sebagai fasakh Terdapat beberapa hukum sebagai konsekuensi
khulu’ (fasakh).
1. Jika seorang suami telah menjatuhkan khulu’ atas istrinya dengan tebusan
yang disepakati dan tebusannya telah dibayarkan, terjadilah perpisahan antara
keduanya dan putuslah hubungan keduanya yang diistilahkan bainunah shughra’
(perpisahan kecil). Artinya, dia tidak punya hak rujuk (kembali) dan tidak halal
baginya untuk rujuk, sebab bayaran yang diberikannya kepada suaminya adalah
penebusan diri. Dengan itu, dia telah menebus dirinya sehingga terlepas dari
genggaman kuasa suaminya. Namun, dia bisa menikahinya kembali dengan akad
yang baru, baik dalam masa ‘iddah maupun setelahnya. Ini adalah mazhab empat
imam mazhab bersama jumhur ulama, yang dibenarkan oleh Ibnu Taimiyah, asy-
Syaukani, as-Sa’di, dan al-‘Utsaimin. Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad berkata,
“Amalan kaum muslimin berjalan di atas hukum ini.” Inilah yang benar, insya Allah.
Begitu pula halnya jika khulu’ telah dijatuhkan oleh suami dengan tebusan yang
disepakati dan tinggal penyerahan tebusan saja, fasakh telah jatuh dan sudah tidak
boleh rujuk (kembali). Ini ditegaskan oleh as-Sa’di dalam al-Fatawa as-Sa’diyah.
2. Khulu’ tidak dihitung sebagai salah satu dari tiga talak yang ditetapkan dalam
syariat. Artinya, tidak mengurangi kesempatan menalak yang diizinkan sampai tiga
kali. Dengan demikian, jika suami sudah menalaknya dua kali lalu dia mencerainya
dengan khulu’, perpisahan yang terjadi hanya bainunah shugra’ dan dia bisa
menikahinya kembali secara langsung (tanpa syarat telah digauli suami yang lain).
Sebab, ini bukan talak tiga melainkan fasakh. Dalam hal ini, kesempatan untuk
menalaknya tetap tersisa satu kali, karena dua talak sebelumnya tetap terhitung
meskipun telah diselingi akad pernikahan baru akibat khulu’ (fasakh) tersebut. Ini
sebagaimana ditunjukkan oleh ayat di atas. Khulu’ berulang kali tidak menjadikan
istri haram atasnya untuk dinikahi kembali secara langsung. Walaupun telah dikhulu’
sampai sepuluh kali atau lebih dari itu tanpa batas, tetap boleh baginya menikahinya
kembali dengan akad baru, tanpa syarat telah dinikahi dan digauli suami lain.

Anda mungkin juga menyukai