Agama Islam adalah agama yang terakhir dan merupakan agama penyempurna bagi
agama-agama lain yang diturunkan oleh Allah Swt, baik dari segi ajaran-ajarannya maupun
hukumnya, tujuan diciptakan manusia adalah untuk beribadah. Agama memberi jalan
kepada manusia untuk hidup bahagia di dunia maupun di akhirat dengan berbakti kepada
Begitu juga di dalam ajaran Islam, adanya suatu anjuran untuk memperoleh keturunan
yang pelaksanaannya harus sesuai dengan tatacara yang telah ditetapkan dalam syari’at
Islam baik dalam Al-Qur’an maupun hadits ataupun sumber-sumber hukum yang lain.
Tatacara yang dimaksud adalah melalui perkawinan yang sah, baik sah secara agama
ataupun sah menurut pemerintah sehingga tidak akan terjadi ketimpangan di masa datang
Kedudukan hukum perkawinan ini oleh Islam dipandang sangat penting. Oleh karena
itu masalah-masalah mengenai perkawinan diatur dan diterangkan dengan jelas dan
terperinci dalam syari’at Islam. Syariat Islam tidak hanya mengatur tentang tata cara
pelaksanaanya saja, melainkan juga mengatur segala permasalahan yang erat hubunganya
Oleh karena itu Islam menolak praktik- praktik berkeluarga yang merusak martabat
manusia, seperti yang terjadi pada zaman Jahiliyyah dengan cara merampas mahar dari
Mahar hanya diberikan kepada seorang istri, orang lain tidak boleh menggunakannya
meskipun suaminya sendiri kecuali istri sudah ridha untuk memberikannya (ghazali
2003:84-85).Seperti dalam surat an-Nisa’ ayat 4 yang menyatakan bahwa suami berhak
ص ُد ٰقتِ ِه َّن حِن ْلَةً ۗ فَاِ ْن ِطنْب َ لَـ ُك ْم َع ْن َش ْي ٍء ِّمْنهُ نَ ْف ًسا فَ ُكلُ ْوهُ َهنِْيۤـًئـا َّم ِریْۤـًئـا َ َواٰ تُوا الن
َ َِّساء
Artinya: “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah
pemberian itu dengan senang hati."
Mahar termasuk keutamaan agama Islam dalam melindungi dan memuliakan kaum
wanita dengan memberikan hak yang dimintanya dalam pernikahan berupa mahar kawin
yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak karena pemberian itu
harus diberikan secara ikhlas. Menurut Sayyid Sabiq dalam Beni Ahmad Saebani, mahar
adalah harta atau manfaat yang wajib diberikan oleh seorang mempelai pria dengan sebab
memberi hak kepadanya, diantaranya adalah hak untuk menerima mahar. Mahar hanya
diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapapun
walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah apalagi
menggunakannya, meskipun oleh suaminya sendiri, kecuali dengan rida dan kerelaan istri.
2
Walaupun mahar itu wajib, namun dalam penentuannya tetaplah harus
bentuk dan harga mahar tidak boleh memberatkan calon suami dan tidak pula
mengesankan apa adanya, sehingga calon istri merasa dilecehkan atau disepelekan
(Kaharuddin, 2015:202).
Pada umumnya mahar haruslah berbentuk materi, baik, uang atau barang berharga,
emas, perak, jasa ataupun yang lainnya yang dapat diambil manfaatnya sesuai dengan
Allah swt seperti khamr, daging babi, bangkai dan sebagainya tidak sah dijadikan mahar
menurut syara’ karena tidak ada nilai manfaatnya. Begitu pula benda-benda yang tidak bisa
dijadikan hak milik, seperti air, udara, yang tidak bisa dimilikinya (Muchtar, 1974:81).
Mahar diwajibkan kepada calon suami, karena hal tersebut sesuai dengan titik awal
pensyariatan dalam Islam bahwa perempuan tidak dibebani dengan kewajiban memberi
nafkah baik sebagai ibu, anak maupun istri. Akan tetapi pihak laki-lakilah yang diberi
kewajiban tersebut baik itu memberi nafkah maupun mahar karena laki-laki lebih mampu
Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari
mahar. Hal ini disebabkan perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberinya
orang yang kaya mempunyai kemapuan untuk memberi mahar yang lebih besar jumlahnya
kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang miskin yang ada yang hampir tidak mampu
memberinya. Oleh karena itu, pemberian mahar diserahkan menurut kemampuan yang
bersangkutan disertai kerelaan dan persetujuan masing-masing pihak yang akan menikah
3
Para ulama sepakat bahwa besarnya mahar tidak ada batas maksimalnya, akan
tetapi mereka berbeda pendapat mengenai ada tidaknya batas minimal dalam mahar
tersebut. Dalam hal ini Imam Hanafi mengatakan bahwa mahar ada batas minimalnya,
yaitu jumlah minimalnya emas atau perak seberat 10 dirham. Kalau suatu akad dilakukan
dengan mahar kurang dari itu, maka akad tetap sah, tetapi wajib membayar mahar 10
Sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya.
Imam malik dan pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar
emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding berat
Sedangkan Imam Syafi'i mengatakan bahwa mahar itu tidak ada batasan rendahnya.
Yang menjadi prinsip bagi Imam Syafi'i yaitu asal sesuatu yang dijadikan mahar itu
bernilai dan berharga, maka boleh digunakan sebagai mahar. Segala sesuatu yang dapat
dijadikan harga dalam jual beli boleh dijadikan mahar sekalipun hanya satu qirshy
(Syarifuddin, 2009:94).
Perbedaan itu adalah suatu hal yang menarik untuk diperbincangkan, karena
dengan adanya perbedaan pendapat itu akan muncul ide yang baru, yang dapat diterima
oleh keadaan. Lebih-lebih pada era sekarang ini, sudah tidak zamanya lagi menekankan
secara sepihak tanpa pertimbangan yang moderat, sehingga Islam terkesan tidak fleksible
terhadap kemajuan zaman, yang ada hanyalah istilah Islam tradisional. Sebagai akibatnya
kemudian hari adalah taqlid, yaitu mengikuti perndapat orang tanpa mengetahui
4
Tabel 1.1
Studi Terdahulu
Persamaan Dan
No Nama Judul Metode
Perbedaan
Perbedaan;
Perbedaan
penelitian ini
dengan penelitian
yang dilakukan
oleh widya
fitriani adalah
penelitian ini
membahas
batasan mahar
dalam kitab
bidayah al-
mujtahid.
5
Perbedaan:
Perbedaan
penelitian ini
dengan penelitian
yang dilakukan
oleh Sunarto
adalah penelitian
ini membahas
batasan mahar
dalam kitab
bidayah al-
mujtahid.
Sedangkan
sunarto hanya
membahas
menurut imam
maliki dan imam
syafi’i.
Perbedaan:
Perbedaan
penelitian ini
dengan penelitian
yang dilakukan
oleh Hafsah
khoerunnisa
adalah penelitian
ini membahas
batasan mahar
dalam kitab
6
bidayah al-
mujtahid.
Sedangkan
Hafsah
khoerunnisa
hanya membahas
menurut imam
Abu hanifah dan
imam syafi’i.
Dari uraian di atas terdapat perbedaan yang sangat mendasar. Maka dari itu penulis
ingin membahasnya dalam bentuk skripsi dengan judul : “Ukuran Mahar Menurut
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat diambil permasalahn tentang Ukuran Mahar
menurut Kitab Bidayah Al-Mujtahid (Karya Imam) untuk memfokuskan penelitian penulis
C. Tujuan Penelitian
7
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
b. Untuk menambah wawasan bagi penulis dan yang membaca tentang Ukuran mahar
2. Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai pedoman penggunaan mahar yang
terdapat di masyarakat.