Anda di halaman 1dari 8

PROPOSAL PENELITIAN

UKURAN MAHAR DALAM KITAB BIDAYAH AL-MUJTAHID


(Karya Imam Ibnu Rusyd)
Oleh:
WILDAN NURUL ANWAR
NPM. 19.02.1992

A. Latar Belakang Masalah

Agama Islam adalah agama yang terakhir dan merupakan agama penyempurna bagi

agama-agama lain yang diturunkan oleh Allah Swt, baik dari segi ajaran-ajarannya maupun

hukumnya, tujuan diciptakan manusia adalah untuk beribadah. Agama memberi jalan

kepada manusia untuk hidup bahagia di dunia maupun di akhirat dengan berbakti kepada

Tuhan, berkeluarga dan bermasyarakat.

Begitu juga di dalam ajaran Islam, adanya suatu anjuran untuk memperoleh keturunan

yang pelaksanaannya harus sesuai dengan tatacara yang telah ditetapkan dalam syari’at

Islam baik dalam Al-Qur’an maupun hadits ataupun sumber-sumber hukum yang lain.

Tatacara yang dimaksud adalah melalui perkawinan yang sah, baik sah secara agama

ataupun sah menurut pemerintah sehingga tidak akan terjadi ketimpangan di masa datang

setelah terjadi perkawinan.

Kedudukan hukum perkawinan ini oleh Islam dipandang sangat penting. Oleh karena

itu masalah-masalah mengenai perkawinan diatur dan diterangkan dengan jelas dan

terperinci dalam syari’at Islam. Syariat Islam tidak hanya mengatur tentang tata cara

pelaksanaanya saja, melainkan juga mengatur segala permasalahan yang erat hubunganya

dengan perkawinan termasuk masalah mahar.

Oleh karena itu Islam menolak praktik- praktik berkeluarga yang merusak martabat

manusia, seperti yang terjadi pada zaman Jahiliyyah dengan cara merampas mahar dari

perempuan. Kemudian Islam datang membersihkan semua kebodohan -melalui pemberian


1
kembali atas hak perempuan untuk menikah dan mewajibkan laki-laki membayar mahar

kepada perempuan. (kamil, 2017:351)

Mahar hanya diberikan kepada seorang istri, orang lain tidak boleh menggunakannya

meskipun suaminya sendiri kecuali istri sudah ridha untuk memberikannya (ghazali

2003:84-85).Seperti dalam surat an-Nisa’ ayat 4 yang menyatakan bahwa suami berhak

memberikan mahar kepada istri sebagai imbalan dari adanya persetubuhan.sebagaimana

firman Allah SWT dalam Q.S An-Nisa ayat 4 sebagai berikut:

‫ص ُد ٰقتِ ِه َّن حِن ْلَةً ۗ فَاِ ْن ِطنْب َ لَـ ُك ْم َع ْن َش ْي ٍء ِّمْنهُ نَ ْف ًسا فَ ُكلُ ْوهُ َهنِْيۤـًئـا َّم ِریْۤـًئـا‬ َ ‫َواٰ تُوا الن‬
َ َ‫ِّساء‬
Artinya: “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah
pemberian itu dengan senang hati."

Mahar termasuk keutamaan agama Islam dalam melindungi dan memuliakan kaum

wanita dengan memberikan hak yang dimintanya dalam pernikahan berupa mahar kawin

yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak karena pemberian itu

harus diberikan secara ikhlas. Menurut Sayyid Sabiq dalam Beni Ahmad Saebani, mahar

adalah harta atau manfaat yang wajib diberikan oleh seorang mempelai pria dengan sebab

nikah atai watha’. (Saebani, 2001:261).

Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seseorang wanita dengan

memberi hak kepadanya, diantaranya adalah hak untuk menerima mahar. Mahar hanya

diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapapun

walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah apalagi

menggunakannya, meskipun oleh suaminya sendiri, kecuali dengan rida dan kerelaan istri.

(Abidin & Aminuddin, 1999:105)

2
Walaupun mahar itu wajib, namun dalam penentuannya tetaplah harus

mempertimbangkan asas kesederhanaan dan kemudahan(Sobari 2012:667). Maksudnya,

bentuk dan harga mahar tidak boleh memberatkan calon suami dan tidak pula

mengesankan apa adanya, sehingga calon istri merasa dilecehkan atau disepelekan

(Kaharuddin, 2015:202).

Pada umumnya mahar haruslah berbentuk materi, baik, uang atau barang berharga,

emas, perak, jasa ataupun yang lainnya yang dapat diambil manfaatnya sesuai dengan

tradisinya masing-masing(Tihami 2010:48). Kecuali benda-benda yang diharamkan oleh

Allah swt seperti khamr, daging babi, bangkai dan sebagainya tidak sah dijadikan mahar

menurut syara’ karena tidak ada nilai manfaatnya. Begitu pula benda-benda yang tidak bisa

dijadikan hak milik, seperti air, udara, yang tidak bisa dimilikinya (Muchtar, 1974:81).

Mahar diwajibkan kepada calon suami, karena hal tersebut sesuai dengan titik awal

pensyariatan dalam Islam bahwa perempuan tidak dibebani dengan kewajiban memberi

nafkah baik sebagai ibu, anak maupun istri. Akan tetapi pihak laki-lakilah yang diberi

kewajiban tersebut baik itu memberi nafkah maupun mahar karena laki-laki lebih mampu

untuk berusaha dan bekerja mencari rizki.

Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari

mahar. Hal ini disebabkan perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberinya

orang yang kaya mempunyai kemapuan untuk memberi mahar yang lebih besar jumlahnya

kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang miskin yang ada yang hampir tidak mampu

memberinya. Oleh karena itu, pemberian mahar diserahkan menurut kemampuan yang

bersangkutan disertai kerelaan dan persetujuan masing-masing pihak yang akan menikah

untuk menetapkan jumlahnya.

3
Para ulama sepakat bahwa besarnya mahar tidak ada batas maksimalnya, akan

tetapi mereka berbeda pendapat mengenai ada tidaknya batas minimal dalam mahar

tersebut. Dalam hal ini Imam Hanafi mengatakan bahwa mahar ada batas minimalnya,

yaitu jumlah minimalnya emas atau perak seberat 10 dirham. Kalau suatu akad dilakukan

dengan mahar kurang dari itu, maka akad tetap sah, tetapi wajib membayar mahar 10

dirham (Taufik & Al-masyur, 2015:174).

Sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya.

Imam malik dan pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar

emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding berat

emas perak tersebut (Tihami, 2010:48).

Sedangkan Imam Syafi'i mengatakan bahwa mahar itu tidak ada batasan rendahnya.

Yang menjadi prinsip bagi Imam Syafi'i yaitu asal sesuatu yang dijadikan mahar itu

bernilai dan berharga, maka boleh digunakan sebagai mahar. Segala sesuatu yang dapat

dijadikan harga dalam jual beli boleh dijadikan mahar sekalipun hanya satu qirshy

(Syarifuddin, 2009:94).

Perbedaan itu adalah suatu hal yang menarik untuk diperbincangkan, karena

dengan adanya perbedaan pendapat itu akan muncul ide yang baru, yang dapat diterima

oleh keadaan. Lebih-lebih pada era sekarang ini, sudah tidak zamanya lagi menekankan

secara sepihak tanpa pertimbangan yang moderat, sehingga Islam terkesan tidak fleksible

terhadap kemajuan zaman, yang ada hanyalah istilah Islam tradisional. Sebagai akibatnya

kemudian hari adalah taqlid, yaitu mengikuti perndapat orang tanpa mengetahui

argumentasinya (hujjahnya). Dan masih sebagian umat yang berbuat demikian.

4
Tabel 1.1
Studi Terdahulu

Persamaan Dan
No Nama Judul Metode
Perbedaan

1 Widya Fitriani Batas Mahar Pada Metode yang Persamaan:


(2022) Pernikahan Studi digunakan dalam Persamaan
Komparatif Imam penelitian ini penelitian ini
Abu Hanifah dan adalah metode dengan penelitian
Imam Syafi’i kepustakaan yang dilakukan
(library research) widya fitriani
adalah sama-sama
membahas
tentang batas
mahar

Perbedaan;
Perbedaan
penelitian ini
dengan penelitian
yang dilakukan
oleh widya
fitriani adalah
penelitian ini
membahas
batasan mahar
dalam kitab
bidayah al-
mujtahid.

2 Sunarto (2017) Studi komparasi Metode yang Persamaan:


antara pendapat digunakan dalam Persamaan
imam maliki dan penelitian ini penelitian ini
imam syafi’i adalah kualitatif dengan penelitian
tentang batas deskriftif yang dilakukan
minimal mahar Sunarto adalah
dalam perkawinan sama-sama
membahas
tentang batas
mahar

5
Perbedaan:
Perbedaan
penelitian ini
dengan penelitian
yang dilakukan
oleh Sunarto
adalah penelitian
ini membahas
batasan mahar
dalam kitab
bidayah al-
mujtahid.
Sedangkan
sunarto hanya
membahas
menurut imam
maliki dan imam
syafi’i.

3 Hafsah Batasan Mahar Metode yang Persamaan:


khoerunnisa (2019) Dalam digunakan dalam Persamaan
Perkawinan penelitian ini penelitian ini
Menurut Imam adalah metode dengan penelitian
Abu Hanifah dan kualitatif dengan yang dilakukan
Imam Syafi’i” pendekatan Hafsah
deskriftif analisis khoerunnisa
dan juga metode adalah sama-sama
kepustakaan membahas
tentang batas
mahar

Perbedaan:
Perbedaan
penelitian ini
dengan penelitian
yang dilakukan
oleh Hafsah
khoerunnisa
adalah penelitian
ini membahas
batasan mahar
dalam kitab
6
bidayah al-
mujtahid.
Sedangkan
Hafsah
khoerunnisa
hanya membahas
menurut imam
Abu hanifah dan
imam syafi’i.

Dari uraian di atas terdapat perbedaan yang sangat mendasar. Maka dari itu penulis

ingin membahasnya dalam bentuk skripsi dengan judul : “Ukuran Mahar Menurut

Kitab Bidayah Al-Mujtahid (Karya Imam Ibnu Rusyd)”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat diambil permasalahn tentang Ukuran Mahar

menurut Kitab Bidayah Al-Mujtahid (Karya Imam) untuk memfokuskan penelitian penulis

mengambil rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana ukuran mahar dalam hukum islam ?

2. Bagaimana perbedaan ukuran mahar dalam kitab bidayah al-mujtahid ?

3. Bagaimana kontekstualisasi mahar pada saat ini ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan Perumusan Masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan :

1. Untuk mengetahui ukuran mahar menurut hukum islam;

2. Untuk mengetahui perbedaan ukuran mahar dalam kitab bidayah al-mujtahid;

3. Untuk mengetahui kontekstualisasi mahar pada saat ini.

7
D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

a. Untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan sumbangan pemikiran dalam

perkembangan hukum Islam yang berkaitan dengan permasalahan ukuran mahar.

b. Untuk menambah wawasan bagi penulis dan yang membaca tentang Ukuran mahar

dalam Kitab Bidayah Al-Mujtahid.

2. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai pedoman penggunaan mahar yang

terdapat di masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai