“KHITBAH”
Disusun Oleh:
2019
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
1
Tihami dan Sihari sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers,
2014), hlm. 21.
2
Ibid, hlm. 21.
2
2. Rumusan Masalah
3
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Khitbah
Kata Khitbah menurut bahasa berasal dari akar kata khathaba, Yakhthubu,
khatban, wa khitbatan, artinya adalah pinangan. Sinonim dari pinangan adalah
melamar.3 Menurut istilah syara’ khitbah adalah tuntutan (permintaan) seorang
laki-laki Kepada seorang perempuan tertentu agar mau kawin dengannya, dan
laki-laki Itu datang kepada perempuan bersangkutan atau kepada keluarganya
menjelaskan keadaannya, serta berbincang-bincang tentang akad yang akan
dilangsungkan dengan segala kebutuhan aqad dan kebutuhan masing-masing.
Ensiklopedi Hukum Islam menjelaskan bahwa khitbah adalah pernyataan
keinginan pihak pria kepada pihak wanita tertentu untuk mengawininya dan pihak
wanita memberitakan pertunangan ini. Menurut Kompilasi Hukum Islam,
peminangan adalah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara
seorang pria dengan seorang wanita.4
Menurut Abdurrahman Ghazali, khitbah merupakan pendahuluan
perkawinan, disyariatkan sebelum adanya ikatan suami istri dengan tujuan agar
ketika perkawinan dilaksanakan berdasarkan pada penelitian dan pengetahuan
serta kesadaran masing-masing pihak. Sayyid Sabiq mengatakan, khitbah adalah
upaya untuk menuju perkawinan dengan cara-cara yang umum berlaku di
masyarakat. 5
Dari penjelasan berbagai sumber diatas penulis menyimpulkan bahwa
pengertian Khitbah, peminangan, melamar merupakan tahap awal yang dilakukan
antara pihak laki-laki dan pihak perempuan sebelum menuju kepada jenjang
pernikahan, dan juga peminangan yang dilakukan atas unsur kerelaan oleh kedua
belah pihak dan tanpa paksaan dari pihak manapun serta sudah saling mengenal
antara keduanya. Hal ini dilakukan agar kedua calon dan keluarga mengetahui
kepribadian dan latar belakang masing-masing.
3
Tihami dan Sihari sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers,
2014), hlm. 24
4
Abdul Bari Awang dan Imam Mahdie, Peminangan atau Melamar, dan Akibatnya Menurut
Hukum Islam Serta Undang-Undang Islam di Indonesia, (Universitas Malasyia: Jurnal Fikiran
Masyarakat, Vol. 6, No. 2), hlm. 78.
5
Ibid,. hlm. 78.
4
Hukum Khitbah
6
Abdul Bari Awang dan Imam Mahdie, Peminangan atau Melamar, dan Akibatnya Menurut
Hukum Islam Serta Undang-Undang Islam di Indonesia, (Universitas Malasyia: Jurnal Fikiran
Masyarakat, Vol. 6, No. 2), hlm. 79.
7
Mukhamad Sukur, Perbandingan Hukum Terhadap Status Barang Akibat Pembatalan Khitbah
Secara Sepihak Menurut Empat Madzhab. (IAIN Tulungagung: Ahkam: Jurnal Hukum Islam, 2018,
Vol. 6, No. 1), hlm. 114-116.
5
Ketiga, Ulama’ Hanafiyah dan Hanabillah yang masyhur mazhabnya berpendapat,
kadar anggota tubuh yang diperbolehkan untuk dilihat adalah wajah, kedua
telapak tangan dan kedua kaki, tidak lebih dari itu.
Keempat, Dawud Azh-Zhahiri berpendapat bahwa bolehnya melihat seluruh
anggota tubuh wanita terpinang yang diinginkan kecuali dua kemaluan.
Berdasarkan keumuman sabda Nabi “lihatlah kepadanya.” Di sini Rasulullah
tidak mengkhususkan suatu bagian bukan bagian tertentu dalam kebolehan
melihat. Pendapat Azh-Zhahiriyah telah ditolak mayoritas ulama, karena pendapat
dia menyalahi ijma’ ulama dan menyalahi prinsip tuntunan kebolehan sesuatu
karena darurat diperkirakan sekedarnya. Sementara Fuqaha lain melarang melihat
sama sekali.
Hikmah Melamar
Pertama, Lebih menguatkan ikatan perkawinan yang diadakan sesudah itu. Sebab
dengan pernikahan yang diawali dengan peminangan atau khitbah, pihak laki-laki
dan perempuan saling mengetahui kondisi fisik. Utamanya terkait dengan
kesempurnaan fisik, kecantikan atau ketampananya. Seorang laki-laki akan
berupaya memilih seorang perempuan yang cantik untuk dijadikan calon istrinya,
dan sebaliknya seorang perempuan akan berupaya untuk mendapatkan calon
suami yang tampan.
Kedua, kedua belah pihak saling mengenal, utamanya terkait dengan kepribadian
masing-masing. Mulai dari cara berfikir, karakter, perilaku dan akhlaknya.
Kepribadian yang baik bisa memupuk rasa cita dan kasih sayang diantara
keduanya. Cinta dan kasih sayang yang tumbuh diantara kedua belah pihak
merupakan modal yang sangat penting untuk mewujudkan keluarga yang bahagia
dan sejahtera.
Ketiga, pernikahan yang akan dilaksanakan akan mempunyai dampak bagi
keluarga kedua belah pihak. Dengan adanya khitbah, kedua belah pihak akan
saling mengetahui kondisi keluarga masingmasing.
8
Abdul Bari Awang dan Imam Mahdie, Peminangan atau Melamar, dan Akibatnya Menurut
Hukum Islam Serta Undang-Undang Islam di Indonesia, (Universitas Malasyia: Jurnal Fikiran
Masyarakat, Vol. 6, No. 2), hlm. 78
6
baik untuk dilaksanakan, sehingga tanpa adanya syarat ini peminangan
tetap sah Kamal Mukhtar, syarat-syarat tersebut adalah:
a. Wanita yang dipinang hendaknya sekufu atau sejajar dengan laki-laki
yang meminang, misalnya
tingkat keilmuannya, status sosial, dan kekayaan.
b. Meminang wanita yang memiliki sifat kasih sayang dan peranak.
c. Meminang wanita yang jauh hubungan kekerabatannya dengan lelaki
yang meminang.
2. Syarat lazimah.
Syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan dilakukan. Sah atau
tidaknya peminangan sangat erat kaitannya dengan syarat-syarat lazimah
Kamal Mukhtar, syarat-syarat tersebut antara lain:
a. Tidak berada dalam ikatan perkawinan sekalipun telah lama
ditinggalkan oleh suaminya Amir syarifuddin.
b. Tidak diharamkan untuk menikah secara syara’. Baik keharaman
mu’abbad (selamanya) seperti saudara kandung, bibi, maupun mu’aqqat
(sementara) seperti saudara ipar.
c. Tidak sedang dalam masa iddah. Mayoritas ulama sepakat atas
keharaman meminang atau berjanji untuk menikah kepada wanita yang
sedang dalam masa iddah karena kematian suaminya. Allah swt berfirman
dalamsurat Albaqarah 2: 235:
“ dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu
dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini
mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan
menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu
mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali
sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf.”
d. Tidak berada dalam pinangan orang lain. Haram kukumnya meminang
wanita yang berada dalam pinangan orang lain. Hal ini dapat merusak
ikatan antar kedua belah pihak keluarga dan merusak Ukhuwwah
Islamiyah.
7
Namun jika bentuknya berubah dari kondisinya (mungkin), maka si peminang
tidak berhak meminta kembali atas apa yang telah diberikan kembali atas apa
telah diberikan atau meminta gantinya.
Menurut madzhab maliki, dalam masalah ini ada perincianya dilihat siapa yang
membatalkan, apakah dari pihak laki-laki atau perempuan. Jika pembatalan
dari pihak laki-laki, maka baginya tidak ada hak meminta kembali atas apa
yang telah diberikan. Adapun jika yang membatalkan pihak perempuan, maka
si Perempuan harus mengembalikan atas apa yang telah dihadiahkan
kepadanya. Baik itu kondisi masih tetap seperti semula atau telah usang, maka
dikembalikan sebagai gantinya. Kecuali jika diketahui atau disyaratkan, maka
wajib melakukanya. Berkenaan dengan hadiah yang diberikan pada saat
khitbah.
Ulama Syafi’iyah berpandangan bahwa si lelaki boleh meminta kembali hadiah
khitbah yang telah diberikan, dengan alasan memberi itu hanya untuk menikahi
perempuan tersebut. Jika hadiah tersebut masih ada maka ia boleh memintanya
kembali. Jika hadiah tersebut sudah rusak maka ia boleh meminta gantinya.
Sanksi meminta kembali hadiah khitbah bagi laki-laki menurut Syafi’iyah
sangat disyaratkan. Alasan Syafi’iyah sangat jelas karena khitbah tiada lain
hanya untuk menikah. Akan tetapi sanksi tetap hanya sebatas hadiah yang
diberikan, tidak boleh ada denda materi lain.
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa sebelum akad nikah, si lelaki boleh
meminta hadiahnya kembali atau dikembalikan. Pendapat ini mensyaratkan
kebolehan meminta atau mengembalikan sampai batas terjadinya akad nikah.
Hanabilah memberikan gambaran bahwa pembatalan khitbah dilakukan oleh
pihak perempuan disyaratkan untuk mengembalikan hadiah khitbah atau
pinangan apabila barangnya masih ada atau utuh. Jika barangnya lenyap, rusak
atau hilang, maka ulama Hanabillah berpendapat tidak boleh meminta kembali
harganya, berarti hadiah menjadi sia-sia bagi yang menyerahkan. Berkaitan
dengan mahar yang telah diserahkan, para fuqaha’ sepakat bahwa bagi
peminang boleh meminta kembali mahar tersebut secara mutlak. Jika mahar
yang diserahkan masih ada, wajib dikembalikan barangnya. Jika barangnya
sudah tidak ada, rusak atau dilebur diganti menjadi yang lain, wajib
dikembalikan persamaanya atau jika tidak ada wajib dikembalikan harganya.
Wanita terpinang belum berhak memiliki apa yang telah diterima, karena akad
yang menyebabkanya dan menyebabkan nafkah belum terealisasikan.
8
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Tihami, Sohari Sahrani. 2014. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap.
Jakarta: Rajawali Pers, cet. 4, edisi 1.
Mas’ud Ibnu, Zaenal Abidin. 2007. Edisi Lengkap Fiqih Madzhab Syafi’I Buku 2:
Muamalat, Munakahat, Jinayat. Bandung: Pustaka Setia, cet. 2.
Ismail. 2009. Jurnal Al-Hurriyah: Khitbah Menurut Perspektif Hukum Islam. Vol.
10, No. 2, Juli-Desember.
Abdul Bari Awang, Imam Mahdie. 2018. Jurnal Fikiran Masyarakat: Peminangan
atau Melamar, dan Akibatnya Menurut Hukum Islam Serta Undang-Undang
Islam di Indonesia. Universitas Malasyia. Vol. 6, No. 2.
Eliyyil Akbar. 2015. Jurnal Musawa: Ta’aruf Dalam Khitbah Perspektif Syafi’I
dan Ja’fari. STAIN Gajah Putih, Takengon. Vol. 14, No. 1, Januari.