Anda di halaman 1dari 21

TUGAS AKHIR MEMBUAT MAKALAH

MATA KULIAH ILMU PERBANDINGAN MADZHAB


Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Makhrus, S.H., M.Hum.

Oleh : M. Busyra
NIM : 21913094

PROGRAM MAGISTER ILMU AGAMA ISLAM


KONSENTRASI HUKUM ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA
TAHUN 2022
STUDI PERBANDINGAN MADZHAB TENTANG WALI NIKAH
(Madzhab Maliky, Madzhab Syafi’I, Madzhab Hanafy dan Madzhab Hambaly)

A. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya dalam Islam hubungan biologis antara laki-laki dan


perempuan diluar pernikahan akan dihukumi zina dan bahkan konsekuensi
hukumnya adalah berupa had sebanyak 100 (seratus) kali cambukan apabila
pelaku tidak mempunyai suami atau istri dan dirajam jika pelaku zina telah
memiliki suami atau istri, dan bahkan perbuatan zina itu sendiri adalah
termasuk salah satu dari dosa-dosa besar. Akan tetapi dengan adanya lembaga
pernikahan, hubungan biologis antara laki-laki dan perempuan menjadi boleh
dan bahkan bernilai ibadah dimata Allah SWT.

Pernikahan dalam Islam memiliki tata cara formil yang disebut dengan
rukun nikah. Apabila tata cara pernikahan tersebut tidak memenuhi rukun
nikah tersebut, maka akan berakibat kepada status keabsahan pernikahan itu
sendiri. Muslim Indonesia mayoritas bermadzhab Syafi’I sehingga rukun nikah
yang dipakai menggunakan hasil Ijtihad dari Imam Syafi’I ataupun ulama-ulama
Syafi’iyyah dan bahkan hasil ijtihad tersebut telah menjadi hokum Positif di
Indonesia diantaranya adalah: adanya calon mempelai a) laki-laki dan b)
perempuan, c) adanya wali nikah, d) adanya 2 (dua) orang saksi nikah, dan e)
adanya ijab dan kabul.

Meskipun mayoritas Muslim Indonesia bermadzhab Syafi’I, namun


seiring dengan komunitas global yang sudah semakin berkembang yang
ditandai dengan berkembangnya Technologi Informasi, sehingga transformasi
ilmu dari negara satu dengan negara lain, dari madzhab yang satu ke madzhab
yang lain sudah sangat terbuka, oleh karenanya tidak menutup kemungkinan
Muslim Indonesia yang lain memiliki pandangan dan keyakninan yang berbeda
terkait rukun nikah, terutama dalam hal adanya wali nikah.
Terdapat indikasi yang nyata terkait berbedanya pandangan tentang
wali nikah oleh para Ulama, terutama ulama 4 (empat) madzhab yakni Madzhab
Maliki, Madzhab Hanafi, Madzhab Syafi’I dan Mazdhab Hambali. Diantara para
ulama tersebut ada yang menyatakan wali nikah sebagai rukun nikah dan ada
pula yang menyatakan bahwa wali nikah bukanlah rukun nikah melainkan
hanya syarat nikah saja.

Untuk mengetahui pandangan-pandangan para ulama tersebut terkait


adanya wali nikah, maka sangat urgen membahas pandangan-pandangan ulama
tersebut dalam makalah ini, dengan maksud dapa mengetahui diantaranya:

1) Bagaimana pandangan ulama Madzhab tentang kedudukan wali nikah


dalam pernikahan?
2) Apa penyebab Ulama Madzhab berbeda pendapat terkait adanya wali
nikah?

B. Metodologi

Metodologi yang dipakai dalam membahas makalah ini adalah dengan


menggunakan pendekatan perbandingan. Untuk itu perlu kiranya dalam
makalah ini mengungkapkan teori seputar metode perbandingan yang nantinya
akan digunakan sebagai sebuah pendekatan.

Menurut H. Maradingin, perbandingan dalam istilah arab adalah ‫مقارنة‬


yang artinya ‫والمقابلة‬ ‫الجمع‬ menghimpun dan mempertentangkan
(membandingkan)1. Sedangkan Mazhab dalam bahasa Arab adalah ‫مذھب‬, berasal
dari kata sifat (masdar) dari Fi’il madhy ‫ذھب‬, yang artinya menurut bahasa
berarti berjalan atau pergi ‫ سار‬dan bisa juga berarti (‫ )الرأي‬pendapat.2

Sedangkan secara istilah, perbandingan madzhab (‫ (مقارنة المذھب‬menurut


para pakar adalah sebagai berikut:

Abdus Sami’ Ahmad Imam, dalam bukunya berjudul Kitab Mujaz Fil- Fiqh
Al-Islamy Al-Muqarin yang telah dikutip oleh H. Maradingin menyebutkan:

1 H. Maradingin, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Sukabumi: Farha Pustaka, 2020) h.5


2 Ibid, h.16
‫مجع اراء االئمة اجملتهدين مع ادلتها فی املسئلة الواحدة املختلفة فيها ومقابلة هذه االدلة بعضها‬
‫ببعض ليظهر بعد مناقشتها ای االقوال آقوی دليال۔‬
Artinya: “Mengumpulkan pendapat para Imam mujtahid dengan dalil-dalilnya
tentang suatu masalah yang di perselisihkan padanya, kemudian
mempertentangkan (membandingkan) dalil-dalil antara satu sama lainnya,
supaya jelas setelah diadakan munaqosyah (perbandingan dalil) mana pendapat
yang paling kuat dalilnya”.3

Huzaemah Tahido Yanggo mendefinisikan perbandingan madzhab sebagai


ilmu pengetahuan yang membahas pendapat-pendapat fuqaha (mujtahidin)
beserta dalil-dalinya mengenai berbagai masalah, baik yang disepakati (ijmak),
maupun yang diperselisihkan (ikhtilaf) dengan membandingkan dalil masing-
masing, yaitu dengan cara mendiskusikan dalil-dalil yang dikemukakan oleh
mujtahidin untuk menemukan pendapat fuqaha yang paling kuat.4

Syaikh Mahmoud Syaltout menjelaskan bahwa istilah perbandingan


madzhab adalah identik dengan istilah fiqih muqaran, yaitu “mengumpulkan
pendapat para imam mujtahid berikut dalil-dalinya tentang suatu masalah yang
diperselisihkan dan membandingkan serta mendiskusikan dalil-dalil tersebut
untuk menemukan pendapat yang paling kuat dalilnya”.5

Pada intinya, metode perbandingan madzhab di sini adalah sebuah upaya


antuk mengumpulkan, membandingkan pendapat-pendapat para ulama
mazhab, khususnya tentang wali nikah dan menjustifikasi mana menurut
penulis pendapat yang paling kuat dalam masalah ini. Dengan demikian,
pendekatan perbandingan mazhab yang dilakukan dalam membahas makalah
ini adalah: pertama, Penulis berusaha mengumpulkan pendapat-pendapat para
ulama khusunya ulama 4 (empat) Madzhab tentang wali nikah dalam agama
Islam. Kedua, Penulis mencoba melihat perbedaan-perbedaan yang mendasar,

3 Ibid, h.16
4 H. Hasbiyallah, Perbandingan Mazhab, (Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementrian Agama
Tahun 2012), h.6
5 H. Syaikhu dan Norwili, Perbandingan Madzhab Fiqih, (Yogyakarta: K. Media, 2019) h.6
baik dari segi dalil ataupun metode ijtihad yang dipakai oleh para ulama
tersebut. Ketiga, Penulis berusaha menentukan mana pendapat yang terkuat.

C. Pembahasan
1. Pengertian Wali Dalam Islam
Sebelum membicarakan wali nikah dalam islam, penting kiranya
dalam makalah ini menerangan perwalian dalam Islam secara singkat.
Perwalian dalam istilah bahasa juga memiliki beberapa arti, diantaranya
adalah kata perwalian berasal dari kata wali, dan jamak dari awliya. Kata
ini berasal dari bahasa Arab yang berarti teman, klien, sanak atau
pelindung. Dalam literatur fiqih Islam, perwalian disebut dengan al-
walayah (alwilayah), (orang yang mengurus atau yang mengusai sesuatu),
seperti kata ad-dalalah yang juga bisa disebut dengan ad-dilalah. Secara
etimologis, dia memiliki beberapa arti, di antaranya adalah cinta (al-
mahabbah) dan pertolongan (an-nashrah) dan juga berarti kekuasaan
atau otoritas (as-saltah wa-alqudrah) seperti dalam ungkapan al-wali,
yakni “orang yang mempunyai kekuasaan”. Hakikat dari al-walayah (al-
wilayah) adalah “tawalliy alamr”, (mengurus atau menguasai sesuatu) 6.

Perwalian dalam istilah Fiqh disebut wilayah, yang berarti


penguasaan dan perlindungan. Jadi arti dari perwalian menurut fiqh ialah
penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk
menguasai dan melindungi orang atau barang. Orang yang diberi
kekuasaan perwalian disebut wali.7

Abu Zahrah menyatakan bahwa perwalian itu adalah kemampuan


untuk menetapkan suatu akad (kontrak) serta melaksanakan
ketentuannya. Untuk untuk perwalian terbagi menjadi 2 (dua) bagian:
pertama, perwalian dalam makna sempit yakni kemampuan seseorang

6 Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2005), h. 134-135.
7 Soemiyati, Hukum Perkawinan dan Undang-Undang Perkawinan, (Undang-undang No. 1 tahun 1974

tentang Perkawian), (Yogyakarta: liberty, 1986), h. 41.


secara pribadi untuk membuat kontrak tertentu dan mampu
melaksanakannya. Kedua, perwalian dalam makna luas adalah kemapuan
seseorang untuk membuat kontrak tertentu terhadap orang lain karena
ada perintah dari syari’.8

Oleh karenanya mengenai perwalian, mayoritas ulama membagi wali


menjadi tiga macam, perwalian atas barang, perwalian atas orang, dan
perwalian atas barang dan orang secara bersama-sama.9 Dari tiga macam
perwalian di atas yang akan dibicarakan di sini adalah perwalian atas
orang yakni perwalian dalam perkawinan. Jadi yang disebut dengan wali
nikah adalah seseorang yang diberi kekuasaan untuk mengawinkan
seseorang perempuan yang dibawah kekuasaannya, dengan perkataan
lain wali itu dari pihak perempuan.

2. Kedudukan Wali Nikah Menurut Imam Madzhab (Maliky, Hanafi,


Syafi’I dan Hambali).

Madzhab Malikiah memasukkan wali nikah ke dalam rukun nikah.


Madzhab ini berpendapat bahwa rukun nikah ada 5 (lima): pertama, wali
bagi perempuan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan, karena tidak
ada akad nikah kecuali harus adanya seorang wali. Kedua, Shadaq (mahar)
namun tidak diwajibkan menyebutkannya dalam akad. Ketiga, seorang
calon suami. Keempat, seorang calon istri yang tidak sedang dalam
larangan menikah seperti ihram atau iddah. Dan yang ke lima shigat. 10

Menurut Madzhab Malikiyah yang dimaksud denga rukun adalah


sesuatu yang tidak ditemukan adalah kepentingan syari’at kecuali
dengannya.11

Sedangankan Madzhab Syafiiyah juga memiliki pendapat yang sama


dengan Madzhab Malikiyah yakni memasukkan wali nikah sebagai rukun

8 Muhammad Abu Zahra, Al-Ahwal Al-Syakhsiyah, (Mesir : Daar al-Fikrh, 1957) h.107
9 Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h.135
10 Abdurrahman Al-Jaziri, Kitaab al-Fiqhi ‘Ala al-Mazaahib al-Arba’ah, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah,

tahun 2003, Cet. 4, Jil. 2, hal. 17.


11 Ibid.
nikah. Madzhab ini berpendapat bahwa rukun nikah ada 5 (lima): calon
suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi dan adanya shighat (ijab dan
kabul).12

Para imam mazhab syafi’iyah menggolongkan dua saksi ke dalam


bagian syarat nikah. Mereka beralasan karena saksi berada diluar esensi
akad (mahiyatul aqdi) nikah. Hikmah menetapkan dua saksi sebagai satu
rukun tersendiri, sementara suami-isteri sebagai satu rukun untuk
masing-masingnya, bahwa syarat-syarat dua orang saksi sama, sedangkan
syarat-syarat suami dan isteri berbeda.13

Menurut mereka, syarat-syarat pernikahan sebagiannya


berhubungan dengan shighat, sebagian dengan wali, sebagian dengan
suami-isteri dan sebagian lagi berhubungan dengan saksi. 14

Berbeda dengan Mdzhab Maliky dan Madzhab Syafi’i. Madzhab


Hanafiyah tidak menyebutkan rukun nikah melainkan hanya
menyebutkan syarat nikah. Madzhab ini berpendapat bahwa untuk
melakukan pernikahan ada beberapa syarat, sebagiannya berhubungan
dengan shighat, sebagiannya berhubungan dengan dua pihak yang
melakukan akad, dan sebagian lagi berhubungan dengan saksi. Wali Nikah
menurut mazhab ini bukanlah syarat nikah. Abu Hanifah, Zufar, Al-Sya’bi
dan Al-Zuhri, mereka berpendapat bahwa apabila seorang wanita
melakukan akad nikah untuk dirinya tanpa wali, dengan laki-laki yang kuf-
ah, maka hukumnya boleh.15

Dan terakhir menurut mazhab Hanabilah, madzhab ini juga tidak


menyebutkan wali sebagai rukun nikah melainkan syarat nikah. Madzhab
ini menyebutkan bahwa dalam pernikahan ada empat syarat yakni: (1).
Tertentu suami-isteri, (2). Kemauan sendiri dan rela (al-ikhtiyar wa al-
ridha), (3). Wali, dan (4). Saksi. Dengan demikian, menurut mereka, hal-

12 Ibid.
13 Ibid.
14 Ibid.
15 Ibid
hal tersebut hanya sebagai syarat, bukan rukun. Di sana tidak disebutkan
shighad (akad) dan mahar. Ini boleh jadi menurut mereka sebagai rukun,
bukan syarat.16

Dari pendapat-pendapat para ulama madzhab terebut di atas,


terutama terkait kedudukan wali wali nikah dalam pernikahan, dapat
diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) pendapat: Pertama, ulama yang
berpendapat bahwa wali nikah adalah sebagai rukun nikah diantaranya
adalah ulama dari kalangan Madzhab Malikiyah dan Madzhab Syafi’iyah.
Kedua, ulama yang berpendapat bahwa wali nikah sebagai syarat nikah
yaitu ulama madzhab Hanabilah. Ketiga, ulama yang tidak memasukkan
sebagai rukun dan syarat nikah yaitu pendapat madzhab Hanafiyah.

3. Alasan Ulama Madzhab Berbeda Pendapat Tentang Wali Nikah.

Telah dijelaskan diatas, bahwa ada tiga pendapat terkait kedudukan


wali nikah dalam pernikahan, pertama sebagai rukun nikah, kedua sebagai
syarat nikah, dan ketiga tidak termasuk rukun dan syarat nikah.
Perbedaan para ulama tersebut tentunya mempunyai alasan dan dasar
hokum diantaranya:

3.1. Madzhab Maliky dan Madzhab Syafi’y

Adapun dasar ataupun dalil yang mendasari para ulama


Malikiyah dan ulama Syafi’iyh berpendapat bahwa wali nikah dalam
pernikahan itu adalah merupakan rukun nikah antara lain:
Al-Quran
a. Q.s. al-Nur [24]: 32, sebagai berikut:
ِ ِ ِ ِ ِِ‫الصاِل‬ ِ ِ
َ ‫ني م ْن عبَاد ُك ْم َوإِمائ ُك ْم إِن يَ ُكونُواْ فُ َق َر‬
‫آء‬ َ َّ ‫َوأَنْك ُحواْ األ َََي َمى م ْن ُك ْم َو‬
.‫يم‬ِ ِ َّ ‫ضلِ ِه و‬ ِ َّ ‫ي غْنِ ِهم‬
ٌ ‫اَّللُ َواس ٌع َعل‬ َ ْ َ‫اَّللُ من ف‬ ُ ُ
Artinya: Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang
diantara kamu, dan juga orang_orang yang layak (menikah)
dari hamba_hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan.

16 Ibid, h.23
Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada
mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-
Nya), Maha Mengetahui.17
b. Q.s. al-Baqarah [2]: 221, sebagai berikut;

‫ات َح ََّّت يُ ْؤِم َّن َوأل ََمةٌ ُّم ْؤِمنَةٌ َخ ْْيٌ ِمن ُّم ْش ِرَك ٍة َولَ ْو أَ ْع َجبَ ْت ُك ْم‬ِ ‫والَ تَ ْن ِكحواْ الْم ْش ِرَك‬
ُ ُ َ
‫ني َح ََّّت يُ ْؤِمنُواْ َولَ َع ْب ٌد ُّم ْؤِم ٌن َخ ْْيٌ ِمن ُّم ْش ِر ٍك َولَ ْو أَ ْع َجبَ ُك ْم‬ ِ ِ ِ
َ ‫َوالَ تُ ْنك ُحواْ ال ُْمش ِرك‬
ِ ‫آَيتِِه لِلن‬
‫َّاس‬ َ ‫ني‬
ِ ِِ ِ
ُ َِ‫اَّللُ يَ ْدعُواْ إِ ََل ا ْْلَنَّة َوال َْمغْف َرة ِبِِ ْذنِه َويُب‬
َّ ‫ك يَ ْدعُو َن إِ ََل النَّا ِر َو‬ َ ِ‫أ ُْوَالئ‬
.‫لَ َعلَّ ُه ْم يَتَ َذَّك ُرو َن‬
Artinya: Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik,
sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya yang
beriman lebih baik dari pada perempuan musyrik, meskipun dia
menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan (laki-laki)
musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka
beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih
baik dari perempuan musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. Allah menerangkan ayat_ayat-
Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.18

Kedua ayat ini dijadikan dalil oleh ulama fiqih Madzhab


Syafi’I dan Hambali, bahwa sesungguhnya kedua ayat tersebut
tidak ditujukan untuk memberikan kelayakan bagi seorang
perempuan melakukan akad nikah sendiri, karena tidak ada
ta’abir yang menunjukkan bahwa khithab dari ayat tersebut
adalah perempuan, melainkan khithab yang sebenarnya dari
ayat tersebut adalah laki-laki. Selain itu, jika memang
diperbolehkan seorang perempuan dapat menikahkan dirinya
sendiri, maka akan gugur hak perwalian terhadap wali

17 _____________ Al-Mujib Alquran dan terjemahnya, Bandung: Al-Mizan Publishing House, Cetakan ke-3,
Tahun 2012, h. 355.
18 _____________ Al-Mujib Alquran dan terjemahnya, Bandung: Al-Mizan Publishing House, Cetakan ke-3,

Tahun 2012, h. 36.


perempuan tersebut, karena sesungguhnya pernikahan
tersebut memiliki banyak tujuan dan wanita sering tunduk
pada aturan emosi (perasaan) sehingga tidak pantas untuk
dapat menentukan pilihan, oleh karenanya perkara ini
diserahkan kepada walinya untuk memastikan tujuan-tujuan
perkawinan dapat tercapai dengan sempurna.19

Pendapat ini juga disetujui oleh ulama lainnya termasuk


ulama Malikiyah, kecuali pendapat para ulama Hanafiyah.20

c. Q.s. al-Baqarah [2]: 232;


ٍ ‫وف أَو س ِرحوه َّن ِِبَعر‬
‫وف‬ ٍ ‫وإِ َذا طَلَّ ْقتم النِسآء فَ ب لَغْن أَجلَه َّن فَأَم ِس ُكوه َّن ِِبَعر‬
ُْ ُ ُ َ ْ ُْ ُ ْ ُ َ َ َ َ َ ُُ َ
ِ
ْ‫ك فَ َق ْد ظَلَ َم نَ ْف َسهُ َوالَ تَ تَّخ ُذوا‬ ِ ِ ِ
َ ‫وه َّن ض َراراً لتَ ْعتَ ُدواْ َوَمن يَ ْف َع ْل َذل‬ ِ
ُ ‫َوالَ ُتُْس ُك‬
ِ ‫اَّلل َعلَي ُكم ومآ أَنز َل َعلَي ُكم ِمن ال‬
ِ َ‫ْكت‬ ِ َ ‫اَّلل هزواً واذْ ُكرواْ نِعم‬ ِ ِ
‫اب‬ َ ْ ْ َ َ َ ْ ْ َّ ‫ت‬ َ ْ ُ َ ُ ُ َّ ‫آَيت‬ َ
ِ ٍ َّ ْ‫َوا ِْلِ ْك َم ِة يَِعظُ ُك ْم بِ ِه َواتَّ ُقوا‬
ٌ ‫اَّللَ بِ ُك ِل َش ْيء َعل‬
.‫يم‬ َّ ‫اَّللَ َوا ْعلَ ُمواْ أ‬
َّ ‫َن‬
Artinya: Apabila kamu menceraikan isteri-isteri (kamu), lalu
sampai idahnya, Maka jangan kamu halangi mereka menikah
lagi dengan calon suaminya, apabila terjalin kecocokan di
antara mereka dengan cara yang baik. Itulah yang dinasehatkan
orang-orang di antara kamu yang beriman kepada Allah dan
hari akhir, itu lebih suci bagimu dan lebih bersih. Dan Allah
mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.21

Imam Syafi’I berkata: bahwa ayat ini adalah paling nyata


menjelaskan bahwa tidak ada seorang wanita yang menikah
tanpa dengan izin walinya. Kemudian Imam Syafi’I
melanjutkan perkataannya bahwa sebagaian ulama berpenapat
bahwa sebab diturunkannya ayat tersebut adalah tatkala
sahabat Ma’qil bin Yasar RA. menikahkan saudaranya dengan

19 Muhammad Ali al-Shabuni, Rawaihu Al-Bayaan : Tafsiiru Aayati Al-Ahkam, (Beirut: Daaru Al-Fikr)
tahun 2001, Jilid 2, hal. 151 (
20 Abdurrahman Al-Jaziri, Kitaab al-Fiqhi ‘Ala al-Mazaahib al-Arba’ah, hal. 47.
21 _____________ Al-Mujib Alquran dan terjemahnya, Bandung: Al-Mizan Publishing House, Cetakan ke-3,

Tahun 2012, h. 38.


seorang laki-laki, kemudian laki-laki tersebut menceraikan
saudaranya Ma’qil, sampai pada akhirnya habis masa iddah,
kemudian laki-laki itu hendak menikah kembali dengan
saudaranya Ma’qil dan saudara Ma’kilpun setuju, kemudian
Ma’qil berkata :”Aku menikahkan saudariku kepadamu, bukan
dengan selain kamu, lalu kamu menceraikannya, oleh karena
itu aku tidak akan menikahkanmu lagi kepada saudariku
selama-lama, lalu turunlah ayat ini”. 22

Hadits.
Di samping ayat-ayat Alquran di atas ulama Syafi’îyah juga
beralasan dengan hadist, diantaranya:
a. Hadits Ikrimah dan Ibn Abbas yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmâd al-Tirmidzi, Ibn Majah, dan Abi Dawud.

‫ ويف حدي عائشة‬.‫قال رسول اللم صلى هللا عليه وسلم ال نكاح اال بويل‬
.‫والسلطان ويل من ال ويل له‬
Artinya: Nabi saw bersabda: “Tidak sah nikah me_lainkan
dengan wali” dan dalam hadis dari Aisyah ra bahwa sultan
merupakan wali bagi seseorang yang tidak memiliki wali. (Ibn
Majah)

Hadist Ibn Abbas ini pada zhahir-nya (meniadakan) akad


nikah yang berlangsung tanpa wali, Imam al-Syafi’i
mengartikan hadis di atas tidak sah nikah tanpa wali. Jadi
beliau mengartikan (la-shahha) meniadakan hukum sah nikah
tanpa wali bukan meniadakan kesempurnannya me nikah
tanpa wali.23

Kemudian Hadits Aisyah

22 Abi Al-Hasan Aliyyi Ibni Muhammad bin Habib al-Mawardi Al-Bashri, Al-Haawi Al-Kabiir Fi Fiqhi
Madzhabi Al-Imam Al-Syafi’I Radhiya Allau ‘Anhu, Beirut: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Cet. Pertama
Tahun 1994. Hal. 37
23 Abû Dawud, Sunan Abi Dawud, Juz V, (Bayrût: Dâr al-Fikr, 2003), h. 477.
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ْ ‫أَُُّّيَا ْام َرأ ٍَة نُ ِك َح‬
‫اح َها‬
ُ ‫اح َها ََبط ٌل فَن َك‬ ُ ‫ت بِغَ ٍْْي إِ ْذن َم َوال َيها فَن َك‬
ُ ‫اح َها ََبط ٌل فَن َك‬
… ‫ََب ِط ٌل‬
Artinya: Dari Aisyah berkata, berkata Rasulullah saw: Siapa saja
perempuan yang menikah tanpa seiizin walinya maka
pernikahannya batal, pernikahannya batal, pernikahannya
batal.

Menurut ulama syâfi’îyah hadis ini menunjukan dengan


jelas bahwa wanita tidak boleh menikahkan dirinya dan
menjadi wali nikah bagi orang lain karena wanita sendiri
membutuhkan wali dalam pernikahannya.24

3.2. Madzhab Hanabilah.

Ulama Hanabilah tidak menggunakan istilah rukun dalam


pelaksanaan akad nikah, melainkan syarat. Namun demikian Ulama
Hanabilah tetap memposisikan wali sebagai kompenen utama dalam
pernikahan. Madzhab ini berpendapat bahwa tidak ada pernikahan
tanpa ada wali. Oleh karenanya pendapatnya termasuk ke dalam
pendapat jumhur ulama.

Dasar hokum dalil yang dipakai dalam hal wali nikah, hamper
sama dengan dasar hokum atau dalil yang digunakan oleh madzhab
Syafi’I dan Madzhab Maliki.25 Namun Madzhab ini memasukkan wali
sebagai syarat sah nikah. Sedangkan rukun nikah telah dicukupkan
dengan adanya ijab dan kabul.

3.3. Madzhab Hanafiyah.

Berbeda dengan jumhur ulama, ulama Hanafiyah berpendapat


bahwa wali nikah bukanlah rukun atau syarat nikah kecuali dalam
hal pernikahan anak, atau orang yang hilang akal (gila). Adapun

24Imam Syafi’i, al-Umm, Juz V, (Mesir: Maktabah al_Halabi, tt.), h. 16


25Muhammad Ali al-Shabuni, Rawaihu Al-Bayaan : Tafsiiru Aayati Al-Ahkam, (Beirut: Daaru Al-Fikr)
tahun 2001, Jilid 2, hal. 151
argumentasi yang dibangun oleh Ulama Hanafiyah adalah sebagai
berikut:

Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan tidak mutlak


harus memakai wali, sebab wali nikah hanya dibutuhkan bagi wanita
yang masih kecil atau sudah dewasa tetapi akalnya tidak sempurna
(dungu atau gila). Wanita yang merdeka dan sudah dewasa tidak
membutuhkan wali nikah bahkan wanita yang sudah dewasa bisa
menikahkan dirinya. Dengan kata lain perkawinan yang diucapkan
oleh wanita yang dewasa dan berakal adalah secara mutlak adalah
sah.26

Seorang perempuan yang bertindak sebagai wali pernikahan


atas dirinya sementara ia masih memiliki wali nasab disyaratkan
harus kafa’ah dan pemberian maharnya tidak kurang dari mahar
mitsl. Jika pernikahan itu tidak sekufu maka walinya memiliki hak
untuk menolak perkawinan itu itu atau mengajukan permohonan
fasakh kepada hakim. Hak penolakan perkawinan atau fasakh bagi
wali ini berlaku jika wali mengetahui tidak kafa’ah itu sebelum
terjadinya kehamilan atau melahirkan. Jika mengetahuinya setelah
terjadinya kehamilan atau melahirkan, maka hak fasakh atau
menolak perkawinan itu menjadi gugur dengan pertimbangan untuk
kemaslahat pendidikan anak.27

Menurut Madzhab ini, Al-Qur’an telah menisbatkan pernikahan


kepada seorang wanita, dan penisbatan Al-Qur’an kepadanya adalah
dalil bahwa ia berhak untuk menikahkan dirinya.28 Di antara dalil
yang dimaksud adalah:

a. Q.s. al-Baqarah [2]: 230:

26 Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuh, (Syiria: Dâr al-Fikr, 2004), h. 6699.
27 Ibid. hal.6698
28 Abdul Aziz Asy-Syinawi, Biografi Empat Imam Mazhab, (Jakarta: Ummu Qura, 2013), hlm. 162
ِ َّ ‫فَِإن طَلََّقها فَالَ ََِت ُّل لَهُ ِمن ب ْع ُد ح‬
َ َ‫َّت تَنك َح َزْو ًجا غَ َْْيهُ فَِإن طَلَّ َق َها فَالَ ُجن‬
‫اح‬ َ َ َ َ
ٍ‫اَّلل ي ب يِن ها لِ َقوم‬
ِ ُ ‫ْك ح ُد‬ ِ َِّ ‫ود‬ ِ
ْ َ ُ َُ َّ ‫ود‬ ُ َ ‫اَّلل َوتل‬ َ ‫اج َعا إِن ظَنَّا أَن يُق‬
َ ‫يما ُح ُد‬ َ ‫َعلَْي ِه َما أَن يَ َََت‬
.‫يَ ْعلَ ُمو َن‬
Artinya: Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak
yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya
hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami
yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi
keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin
kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Itulah hokum-hukum Allah, diterangkan-
Nya kepada kaum yang (mau) Mengetahui.

b. Q.s. al-Baqarah [2]: 232

ٍ ‫وف أَو س ِرحوه َّن ِِبَعر‬


‫وف‬ ٍ ‫وإِذَا طَلَّ ْقتم النِسآء فَ ب لَغْن أَجلَه َّن فَأَم ِس ُكوه َّن ِِبَعر‬
ُْ ُ ُ َ ْ ُْ ُ ْ ُ َ َ َ َ َ ُُ َ
ْ‫َّخ ُذوا‬ َ َ َ َ ِ‫ض َراراً لِتَ ْعتَ ُدواْ َوَمن يَ ْف َع ْل ذَل‬
ِ ‫ك فَ َق ْد ظَلَم نَ ْفسهُ والَ تَ ت‬ ِ ‫وه َّن‬ ِ
ُ ‫َوالَ ُتُْس ُك‬
ِ ‫اَّلل َعلَي ُكم ومآ أَنز َل َعلَي ُكم ِمن ال‬
ِ َ‫ْكت‬ ِ َ ‫اَّلل هزواً واذْ ُكرواْ نِعم‬ ِ ِ
‫اب‬ َ ْ ْ َ َ َ ْ ْ َّ ‫ت‬ َ ْ ُ َ ُ ُ َّ ‫آَيت‬ َ
ِ ٍ َّ ْ‫َوا ِْلِ ْك َم ِة يَِعظُ ُك ْم بِ ِه َواتَّ ُقوا‬
ٌ ‫اَّللَ بِ ُك ِل َش ْيء َعل‬
.‫يم‬ َّ ‫َن‬َّ ‫اَّللَ َوا ْعلَ ُمواْ أ‬
Artinya: Apabila kamu menceraikan isteri-isteri (kamu), lalu
sampai idahnya, Maka jangan kamu halangi mereka menikah
lagi dengan calon suaminya, apabila terjalin kecocokan di
antara mereka dengan cara yang baik. Itulah yang dinasehatkan
orang-orang di antara kamu yang beriman kepada Allah dan
hari akhir, itu lebih suci bagimu dan lebih bersih. Dan Allah
mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.

c. Q.s. al-Baqarah [2]: 234

‫ص َن ِِبَن ُف ِس ِه َّن أ َْربَ َع َة أَ ْش ُه ٍر َو َع ْش ًرا‬ ِ ِ َّ


ً ‫ين يُتَ َوفَّ ْو َن من ُك ْم َويَ َذ ُرو َن أَ ْزَو‬
ْ َّ‫اجا يَ َََتب‬ َ ‫َوالذ‬
‫اَّللُ ِِبَا‬ ِ ‫فَِإذَا ب لَغْن أَجلَه َّن فَالَ جنَاح َعلَي ُكم فِيما فَ علْن ِيف أَن ُف ِس ِه َّن َِبلْمعر‬
َّ ‫وف َو‬ ُْ َ َ َ َ ْ ْ َ ُ ُ َ َ َ
.ٌ‫تَ ْع َملُو َن َخبِْي‬
Artinya: Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu
dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu)
menangguhkan dirinya (ber’idah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila Telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa
bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat.

Ayat 230 dan juga ayat 232 terdapat kata-kata tankihna


dan yankihna yang terjemahannya menikah, di sini pelakunya
adalah wanita bekas istri itu tadi. Secara makna hakiki (asli)
perkerjaan itu semestinya dikerjakan langsung oleh pelaku
aslinya, jelas tidak dikerjaklan oleh orang lain (wali)
sebagaimana halnya pada makna majazi (kiasan). Demikian
juga dapat dilihat dalam Q.s. al-Baqarah [2]: 234 terdapat kata
kerja “fa’alna” yang artinya mengerjakan perbuatan pelakunya
(fa’il_nya) adalah wanita-wanita yang kematian suaminya.

Alquran surah al-Baqarah [2]: 234 bahwa nikah yang


dilakakan oleh wanita segala sesatu yang dikerjakan tanpa
menggantungkannya kepada wali atau izinnya wali. Jadi wanita
mempunyai hak penuh terhadap urusan dirinya termasuk
menikah tanpa bantuan wali.

d. Hadits yang digunakan oleh Abu Hanifah dalam mendukung


pendapatnya tentang kebebasan wanita dalam menikahkan
dirinya dengan orang yang sepadan, diantaranya, “wanita yang
tidak bersuami lebih berhak atas dirinya dari pada walinya”,
Dalam Hadits lain dijelaskan, “seorang wali tidak punya hak
atas seorang janda”, Kedua Hadits ini tanpa diragukan lagi
menunjukkan, pernikahan yang dilakukan seorang janda
adalah pernikahan yang sah menurut syari’at dan andai
pernikahannya hanya sah dengan wali tentu walinya masih
punya hak atasnya, dan ini tentu saja bertentangan dengan
Hadits ini.29

4. Analisis Perbedaan Pendapat Para Ulama Madzhab Tentang Wali


Nikah.

4.1. Makna Rukun dan Syarat

Sebelum menganalisa perbedaan pendapat dari pada ulama


imam madzhab terkait wali nikah, penting kiranya memahami
terlebih dahulu tentang makna rukun dan syarat dalam hukum
Islam.

Wahbah Al-Zuhaili menyebutkan bahwa adanya suatu ibadah


tergantung pada rukun dan syarat. Kecuali ada perbedaannya pada
rukun, dimama rukun tergantung adanya suatu ibadah padanya dan
merupakan bagian dari hakikat ibadah tersebut. Misalnya, Ruku’
adalah rukun dalam shalat, karena ruku’ bagian dari hakikat shalat
itu sendiri. Membaca surah al-fatihah dalam shalat adalah rukun,
karena dia merupakan bagian dari hakikat shalat. Ijab dan qabul
keduanya merupakan rukun dalam akad, karena keduanya bagian
dari hakikat akad tersebut.30

Adapun syarat, maka yaitu sesuatu yang bergantung adanya


suatu ibadah padanya dan dia berada di luar dari hakikat ibadah
tersebut. Misalnya, bersuci syarat untuk melaksanakan shalat,
sedangkan dia perkara yang berada di luar dari hakikat shalat.
Adapun kehadiran dua saksi dalam pernikahan, tertentu barang
yang akan ditransaksikan dalam jual beli, keduannya merupakan
syarat, bukan bagian dari hakikat kedua akad tersebut. 31

Perbedaan antara Rukun dan Syarat. Rukun adalah bagian


hakikat ibadah itu sendiri, sedangkat syarat adalah perkara di luar

29 Wahbah al-Zuhaylî, Al-Fiqh al-Islami, h. 6699.


30 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islamy, Beirut: Darul Kutub, Cet. I, jil. 1, hal. 100.
31 ibid
ibadah dan tidak termasuk dari bagian ibadah itu sendiri. Contohnya
Rukuk adalah rukun dari shalat, karena rukuk adalah bagian dari
shalat itu sendiri. Sedangkan contoh syarat adalah, bersesuci adalah
syarat ketika hendak mendirikan shalat, karena bersesuci adalah
perbuatan di luar pekerjaan sholat.32

Dengan kata lain, perbedaan antara syarat dan rukun bahwa


sesuatu menjadi syarat karena tidak berada dalam hakikat ibadah,
tetapi berada diluar. Sementara, sesuatu yang menjadi rukun karena
dengannyalah terbentuk sebuah ibadah, dan karena berada dalam
ibadah itu sendiri.

4.2. Analisis Syarat dan Rukun Dalam Akad Nikah

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa, ulama yang


menggunakan istilah rukun terhadap wali nikah adalah ulama
madzhab Maliky dan madzhab Syafi’I sedangkan yang menggunakan
istrilah syarat terhadap wali nikah adalah madzhab Hanabilah, akan
tetapi berbeda dengan ulama Hanafiyah yang tidak memasukkan wali
sebagai syarat ataupun rukun nikah kecuali terhadap anak kecil dan
orang dewasa yang hilang akalnya.

Jika diteliti lebih lanjut, berdasarkan pemahaman makna teori


rukun dan syarat yang telah disebutkan di atas, syarat nikah yang
dimaksudkan oleh madzhab Hanabilah dan Madzhab Hanafiyah
adalah rukun itu sendiri, karena menurut pandangan ulama ini, akad
nikah dianggap tidak ada jika tidak memenuhi syarat-syarat nikah
tersebut, sehingga syarat-syarat tersebut adalah merupakan bagian
dari pernikahan itu sendiri.

Jika digambarkan dalam sebuah matrix, maka rukun dan syarat


nikah tersebut akan tergambar sebagai berikut:
NO MADZHAB RUKUN NIKAH SYARAT SAH NIKAH

32Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Al-Qahirah: Maktabah Al-Da’wah Al-Islamiyah, tahun 1956, h.
119.
1 Malikiyah 1. Wali dari wanita Masing-masing rukun ada
2. Mahar syaratnya-syaratnya. Saksi
3. Suami tidak sedang ihram
4. Isteri tidak sedang ihram
dan tidak sedang
5. Shighat
2 Syafi’iyah 1. Suami Sebagian syarat-syarat
2. Isteri berhubungan dengan sighat,
3. Wali wali, suami, isteri dan saksi.
4. Dua saksi
5. Sighat
3 Hanabilah 1. Tertentu suami dan isteri Dalam shighat harus
2. Kemauan sendiri dan menyebutkan siapa anak
ridha siapa. Dan syarat yang lain
3. Wali terdapat ketentuan tersendiri.
4. Saksi
4. Hanafiyah 1. Shighat Syarat-syarat sebagiannya
2. Dua pihak yang berakad berhubungan dengan shighat,
(wali dan suami) dua pihak yang berakad, dan
3. Saksi saksi.

4.3. Sebab-Sebab Perbedaan Pendapat Imam Madzhab Tentang Wali


Nikah.

Dari pemaparan tentang pendapat ulama terkait wali nikah


dalam sebuah pernikahan, jika dikelompokkan akan terbagi menjadi
2 (dua) kelompok, pertama kelompok Jumhur yakni mayoritas
ulama dari kalangan ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah.
Meskipun istilah yang dipakai oleh Ulama Hanabilah terhadap wali
nikah adalah syarat bukan rukun sebagaimana pendapat Ulama
Syafi’iyah dan Malikiyah, namun Ulama Hanabilah menyatakan
bahwa pernikahan tanpa adanya wali tidaklah sah. Kelompok kedua
adalah Ulama Hanafiyah yang tidak memasukkan wali nikah sebagai
rukun ataupun syarat sah nikah, wali dalam pernikahan hanya
diperuntukkan bagi anak kecil dan orang yang sedang hilang akal
(gila).

Adapun sebab berbedanya pendapat kedua kelompok tersebut


adalah masing-masing kelompok dalam menginterpretasikan teks-
teks al-Quran yang terkait dengan wali nikah sangatlah berbeda.
Perbedaannya terletak pada hubungan ayat al-quran yang dijadikan
dasar pokok dengan hadits penjelas ataupun pengiring.

Jumhur Ulama menyandingkan dalil-dalil al-Quran Q.s. al-Nur


[24]: 32, Q.s. al-Baqarah [2]: 232, Q.s. al-Baqarah [2]: 221 dengan
hadits “Tidak sah nikah me_lainkan dengan wali” dan “dalam hadis
dari Aisyah ra bahwa sultan merupakan wali bagi seseorang yang
tidak memiliki wali” dan “Siapa saja perempuan yang menikah tanpa
seiizin walinya maka pernikahannya batal, pernikahannya batal,
pernikahannya batal” dan mengambil kesimpulan hukum melalui
pendekatan linguistic yakni memaknai “laa nikaha” dengan “laa
shahha nikaha” yakni tidak sah pernikahan seseorang tanpa ada
wali. Selain menggunakan metode linguistic, Jumhur Ulama yang
dimotori oleh Madzhab Sayafi’iyah juga menggunakan pendekatan
antropologi dengan menyandingkan asbabun nuzul ayat-ayat
tersebut yakni cerita Ma’qil bin Yasar sehingga menghasilkan
istimbatul hukmi yang menyatakan bahwa tidak sah pernikahan
sesorang tanpa adanya wali.

Sedangkan Madzhab Hanafiyah lebih menggunakan qiyas atau


analogy yang menyatakan bahwa jika yang dimaksudkan
kewenangan menikahkan dalam Surat al-Baqarah [2]: ayat 230, 232,
234 adalah seorang wali, maka sangat bertentangan dengan Hadits
kemerdekaan seorang janda untuk menikahkan dirinya sendiri
(“wanita yang tidak bersuami lebih berhak atas dirinya dari pada
walinya”, dan “seorang wali tidak punya hak atas seorang janda”),
sehingga tidak relevan menyatakan bahwa pernikahan seorang
perempuan tergantung dengan adanya wali, oleh karenanya
Madzhab Hanafiyah tidak memasukkan Wali Nikah sebagai rukun
ataupun syarat sahnya nikah.

Terhadap hal ini, penulis lebih cenderung dengan pendapat


Jumhur Ulama yang dimotori oleh Madzhab Syafi’iyah, karena
pendekatan yang dipakai adalah pendekatan lunguistik dan
antropologi sehingga lebih mendekatkan kepada kebenaran makna
teks dan kebenaran aplikasinya.

D. Penutup.

Dari pemaparan tersebut diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pendapat Ulama tentang wali nikah dalam pernikahan terbagi menjadi 2


(dua) kelompok: pertama, kelompok Jumhur yakni mayoritas ulama dari
kalangan ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah menyatakan bahwa
pernikahan tanpa adanya wali tidaklah sah. Kedua adalah Ulama Hanafiyah
pernikahan tanpa adanya wali nikah adalah sah, kecuali pernikahan yang
dilakukan oleh anak kecil dan orang yang sedang hilang akal (gila).

2. Sebab berbedanya pendapat adalah karena adanya perbedaan pendekatan,


Jumhur Ulama menggunakan pendekatan linguistic dan antropogi,
sedangkan Madzhab Hanafiyah menggunakan pendekatan linguistic dan
qiyas (analogy).

3. Pendapat Jumhur Ulama kebenaran makna teks dan kebenaran aplikasinya.


DAFTAR PUSTAKA

Maradingin, H. Pengantar Perbandingan Mazhab, (Sukabumi: Farha Pustaka, 2020)


Hasbiyallah, H. Perbandingan Mazhab, (Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Kementrian Agama Tahun 2012)
H. Syaikhu dan Norwili, Perbandingan Madzhab Fiqih, (Yogyakarta: K. Media, 2019)
Summa, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2005)
Soemiyati, Hukum Perkawinan dan Undang-Undang Perkawinan, (Undang-undang No.
1 tahun 1974 tentang Perkawian), (Yogyakarta: liberty, 1986)
Zahra, Muhammad Abu, Al-Ahwal Al-Syakhsiyah, (Mesir : Daar al-Fikrh, 1957)
Al-Jaziri, Abdurrahman, Kitaab al-Fiqhi ‘Ala al-Mazaahib al-Arba’ah, Beirut: Darul
Kutub al-Ilmiah, tahun 2003
_____________ Al-Mujib Alquran dan terjemahnya, Bandung: Al-Mizan Publishing House,
Cetakan ke-3, Tahun 2012,
Muhammad Ali al-Shabuni, Rawaihu Al-Bayaan : Tafsiiru Aayati Al-Ahkam, (Beirut:
Daaru Al-Fikr) tahun 2001
Al-Bashri, Abi Al-Hasan Aliyyi Ibni Muhammad bin Habib al-Mawardi, Al-Haawi Al-
Kabiir Fi Fiqhi Madzhabi Al-Imam Al-Syafi’I Radhiya Allau ‘Anhu, Beirut: Daar Al-
Kutub Al-Ilmiyah, Cet. Pertama Tahun 1994
Abû Dawud, Sunan Abi Dawud, Juz V, (Bayrût: Dâr al-Fikr, 2003)
Imam Syafi’i, al-Umm, Juz V, (Mesir: Maktabah al_Halabi, tt.
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuh, (Syiria: Dâr al-Fikr, 2004)
Abdul Aziz Asy-Syinawi, Biografi Empat Imam Mazhab, (Jakarta: Ummu Qura, 2013)
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Al-Qahirah: Maktabah Al-Da’wah Al-Islamiyah,
tahun 1956

Anda mungkin juga menyukai