Disusun Oleh:
Kelompok 1
Dosen Pengampu:
H. Raymon Dantes, Lc., M.Ag
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATAPENGANTAR.........................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..........................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................1
C. Tujuan Penulisan......................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Fiqh Muqaran ........................................................3
B. Tujuan dan Manfaat Mempelajari Fiqh Muqaran.....................5
C. Mengamalkan Hasil Fiqh Muqaran..........................................8
D. Ketentuan dalam Mempelajari Fiqh Muqaran..........................11
E. Penyesuaian dan Pembinaan Pendapat yang berbeda ..............13
F. Proses dan Teknik Fiqh Muqaran ............................................15
G. Sistematika Fiqh Muqaran........................................................17
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...............................................................................19
B. Saran.........................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................21
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kajian dalam muqaranah mazahib (perbandingan mazhab) dalam
fiqih tentu sangat luas cakupannya dalam aspek kehidupan seorang
muslim khususnya dan bagi umat Islam secara umum. Munculnya
perbedaan mazhab di kalangan para ulama tentu juga membawa perbedaan
pandangan di kalangan umat Islam saat ini. Oleh karena itu, kajian
perbandingan mazhab sangat urgen di tengah keragaman furu’iyyah
masyarakat muslim, khususnya di indonesia. Namun, jika dilakukan
dengan pendekatan keilmuan yang kurang tepat justru akan bertentangan
dengan nilai Islami yang melihat perbedaan sebagai rahmat. Sebagaimana
dalam hadis yang disampaikan Rasulullah SAW, bahwa beliau bersabda :
“Diriwayatkan dari Amr bin Ash, bahwa ia mendengar Rasulullah SAW,
bersabda : “Apabila seorang hakim berijtihad dengan benar, maka ia
akan mendapat dua pahala, dan apabila salah ia mendapat satu pahala.”
(H.R Al-Bukhari)
Dalam makalah ini akan membahas mengenai pengertian fiqih
muqaran, tujuan dan manfaat mempelajari fiqh muqaran hingga
sistematika dari fiqh muqaran itu sendiri yang akan menambah ilmu dan
wawasan bagi kita semua.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan fiqh muqaran?
2. Apa tujuan dan manfaat mempelajari fiqh muqaran?
3. Bagaimana hukum mengamalkan hasil fiqh muqaran?
4. Apa saja ketentuan dalam mempelajari fiqh muqaran?
5. Bagaimana penyesuaian dan pembinaan pendapat yang berbeda?
6. Bagimana proses dan teknik fiqh muqaran?
iv
7. Bagaimana sistematika fiqh muqaran?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mendeskripsikan pengertian dari fiqh muqaran
2. Untuk memaparkan tujuan dan manfaat mempelajari fiqh muqaran
3. Uuntuk menjelaskan hukum mengamalkan hasil fiqh muqaran
4. Untuk memaparkan ketentuan dan dalam mempelajari fiqh
muqaran
5. Untuk menjelaskan penyesuaian dan pembinaan pendapat yang
berbeda
6. Untuk menjelaskan proses dan teknik fiqh muqaran
7. Untuk menjelaskan sistematika fiqh muqaran
v
BAB II
PEMBAHASAN
1
Ramli, Fiqh Muqaran, (Yogyakarta: Nuta Media, 2020), hlm. 1
2
Abdussami’ Ahmad Imam, Pengantar studi perbandingan Mazhab, (Jakarta Timur: Pustaka Al-
Kautsar, 2016), hlm 2-3
vi
istilah tersebut. Berikut dikekemukan pengertian muqaranah al-madzahib
dan fiqh muqaran oleh para ahli:
1. Wahab Afif, mengartikan perbandingan mazhab adalah “ilmu
pengetahuan yang membahas pendapat-pendapat fuqaha beerta
dalil-dalilnya mengenai masalah-masalah baik yang disepakati
maupun yang diperselisihkan dengan membandingkan dalil
masing-masing pendapat yang paling kuat”.
2. Abdurrahman mengartikan bahwa perbandngan mazhab adalah
“ilmu yang memperbandingkan satu mazhab dengan mazhab
lainnya. Karena diantara mazhab-mazhab tersebut terdapat
perbedaan”.
3. Huzaemah Tahido Yanggo mendefinisikan perbandingan mzhab
sebagai ilmu pengetahuan yang membahas pendapat-pendapat
fuqaha (mujtahidin) beserta dalil-dalilnya mengenai berbagai
masalah, baik yang disepakati (ijma’), maupun yang
diperselisihkan (ikhtilaf) dengan membandingkan dalil masing-
masing, yaitu dengan cara mendiskusikan dalil-dalil yang
dikekemukakan oleh mujtahidin untuk menemukan pendapat
fuqaha yang paling kuat.
4. Syaikh Mahmoud Syaltout menjelaskan bahwa istilah
perbandingan mazhab adalah identik dengan istilah fiqh muqaran,
yaitu “ mengumpulkan pendapat para imam mujtahid berikut dalil-
dalilnya tentang suatu masalah yang diperselisihkan dan
membandingkan serta mendiskusikan dalil-dalil tersebut untuk
menemukan pendapat yang paling kuat dalilnya.”
5. Muslim Ibrahim juga menyamakan antara muqaranah al-madzahib
dengan istilah fiqh muqaran. Ia mendefinisikannya sebagai “ suatu
ilmu yang mengmpulkan pendapat-pendapat suatu masalah
iktilafiyyah fiqih, mengumpulkan, meneliti, da mengkaji serta
mendiskusikan dalil masing-masing pendapat secara objektif,
untuk dapat mengetahui pendapat yang terkuat, yaitu pendapat
vii
yang di dukung oleh dalil-dalil yang terkuat, dan paling sesuai
dengan jiwa, dasar dan prinsip umum syariat Islam”.3
Dapat diketahui bahwa perbandingan mazhab atau muqaran ialah
membandingkan satu mazhab dengan mazhab lainnya. Hal itu berarti
bahwa di antara mazhab-mazhab tersebut terdapat perbedaan. Sebab, tidak
akan digunakan kata perbandingan, kecuali terhadap barang-barang atau
hal-hal yang satu sama lainnya. Justru untuk mengetahui perbedaan-
perbedaan itu perlu diadakan suatu perbandingan.4
3
Hasbiyallah, Perbandingan Madzhab, (Jakarta Pusat: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Kementrian Agama, 2012), hlm. 6
4
Syaikhu dan Norwili, Perbandingan Mazhab Fiqh, Penyesuaian Pendapat di Kalangan Imam
Mazhab, (Yogyakarta: K-Media, 2019), hlm. 7
5
Ibid., hlm. 10
6
Ramli, Op.,cit, hlm. 4
viii
adalah tujuan yang berguna pada perkembangan ilmiah, penelitian
dan pembentukan hukum.
Tujuan praktis penyajian perbandingan mazhab antara lain
sebagai berikut:
a. Mempelajari dalil-dalil ulama dalam menyampaikan suatu
masalah fiqhiyyah (ijtihadiyyah) seorang muqarin
mendapat keuntungan ilmu pengetahuan secara sadar dan
meyakinkan akan ajaran agamanya.
b. Menimbulkan rasa puas dalam mengamalkan suatu hukum
sebagai hasil dari perbandingan berbagai pendapat dari
imam mazhab.
c. Menimbulkan rasa saling menghormati dan menghargai
atas perbedaan pendapat. Perbedaan yang ada bukan
dijadikan ajang permusuhan dan perselisihan, tetapi sebagai
tawaran alternatif untuk memberikan kemudahan dan
menyelesaikan persoalan dan realitas hidup.
d. Memberikan kesadaran pada masyarakat bahwa perbedaan
adalah sunnatullah yang tidak bisa dihindari di mana pun.
7
Hasbiyallah, Op., cit. Hlm. 7-8
ix
2. Manfaat
Orang yang mempelajari perbandingan fiqih Islam akan
mendapatkan manfaat-manfaat bagi dirinya sendiri maupun orang
lain yaitu masyarakat. Sebagian dari manfaat-manfaat terseburt
adalah sebagai berikut
a. Orang yang mempelajari salah satu bagian dari ilmu fiqh
ini akan dikelilingi oleh banyak sekali permasalahan yang
menjadi perselisihan pendapat para ulama. Oleh karena itu,
ia dapat memilih sesuai dengan kebutuhan ketika timbul
permasalahan. Dia dapat memilih pendapat-pendapat ulama
yang lebih sesuai dengan kondisi dan kebutuhan
masyarakat sehingga ia memberikan fatwa sesuai
kebutuhan.
b. Manfaat-manfaat yang lainnya adalah dapat mengetahui
pendapat-pendapat para imam yang berijtihad dalam
permasalahan-permasalahan yang perselisihkan kemudian
membandingkan pendapat-pendapattersebut disertai dalil-
dalilnya. Orang yang mempelajari perbandingan mazhab,
setelah mengetahui hal tersebut akan memiliki pengerahuan
yang mendalam terhadap urusan agamanya dan ia akan
keluar dari lingkaran orang-orang yang taklid secara murni.
Sedangkan orang yang mampu meneliti dalil-dalil tetapi
tetap bertaklid adalah tercela.
c. Ketika melihat kepada dalil-dalil yang dijadikan sandaran
para imam akan diketahui bahwa semuanya merujuk
kepada nash-nash yang ada dalam Kitabullah atau sunnah
Rasulullah Saw. Ada pula yang merujuik kepada qiyas atau
kaidah-kaidah umum dalam kaidah syariah. Oleh karena
itu, tidak benar persangkan orang yang mengatakan bahwa
para ahli fiqih dalam ilmu syariah telah mengambil
sebagian hukum dari undang-undang Romawi atau undang-
x
undang lainnya yang berasal dari agama buatan manusia
atau agama samawi yang terdahulu.
d. Orang yang mempelajari fiqih muqaran akan mengetahui
ushul-ushul dan kaidah-kaidah yang dijadikan pegangan
para imam dalam pengambilan hukum dari dalil-dalil yang
ada. Dengan demikian, ia akan memiliki kemampuan dalam
menganalisa setiap dalil dan mampu untuk mencari jalan
pengambilan hukum. Sehingga jika terjadi peristiwa baru
maka ia akan mampu memberikan hukum yang sesuai.
e. Manfaat lainnya adalah tampak betapa usaha keras dan
kesulitan yang telah dikerahkan para imam dalam meng-
istinbath suatu hukum dari dalil-dalilnya. Dengan
demikian, sudah sepantasnya kita menghargai seluruh
imam-imam yang ada tanpa membeda-bedakan atau fanatik
kepada salah satu di antara imam-imam tersebut.8
8
Abdussami’ Ahmad Imam, Op.,cit, hlm. 33-34
xi
orang-orang yang sudah mampu demikian wajib pula
mengamalkan hasilnya.
Kelompok pertama ini juga ditinjau secara umum dapat
dikuatkan oleh kesepakatan hasil ijtihad sahabat yang memutuskan
akan kewajiban beramal dengan menggunakan salah satu dari dua
dugaan yang paling kuat bukan yang paling lemah. Selain itu,
secara akal logis juga membenarkan terhadap kewajiban seseorang
untuk mengamalkan pendapat yang paling kuat karena pada
dasarnya syariat itu serasi dengan akal.
Sebagai ilustrasi, dapat dipahami bahwa orang yang
mengamalkan hukum hasil perbandingan berarti memanfaatkan
sesuatu yang bekualitas sebaliknya orang yang meniolak
penggunaannya berarti merasa cukup dengan menggunakan
sesuatu yang kurang berkualitas.
Inti dari penjelasan di atas terkait keharusan untuk
mengamalkan hasil perbandingan pada puncaknya adalah untuk
memperoleh kebenaran dan kebaikan serta menghindari was-was
yang kesemuanya itu dapat berbuah kepada ketenangan jiwa.
xii
Kelompok ini berkesimpulan bahwa seseorang yang sudah
bertaqlid kepada mazhab tertentu, maka harus tetap pada mazhab
itu dan tidak boleh berpindah kepada mazhab lain dalam beberapa
masalah kecuali memenuhi persyaratan yang sudah ditentukan.
Kelompok ini pun diperkuat oleh pendapat ulama yang cukup
mengikat yang mengatakan bahwa “tidak dibenarkan bagi ulama
mutaakhirin untuk mengkaji dan mentarjih masalah yang telah
dibahas dan ditarjih oleh ulama terdahulu, kecuali mengkuti apa
yang telah dihasilkan oleh ulama terdahulu tersebut.”
Alasan yang diajukan oleh sabagian ulama mutaakhirin di
atas dinilai lemah karena tidak didasari oleh dalil yang kuat. Al-
Qur’an dan Sunnah terdapat di dalamnya larangan untuk berpindah
mazhab atau talfiq. Mereka dapat digolongkan sebagai penganut
mazhab yang ekstrem yang tercela karena menganggap mazhab
mereka dijamin tidak mungkin salah dan para pendirinya dianggap
manusia-manusia suci tanpa kesalahan, sehingga wajib bertaqlid
kepada mereka.9
Orang yang enggan mengamalkan hukum dengan hasil
muqaranah atau perbandingan, bagai orang yang enggan memakan
buah yang lebih bergizi karena belum terbiasa, padahal ia
membutuhkannya. Dalam kehidupan sekarang ini, masalah taklifi
sudah tidak bisa dihindari lagi, karena secara realita sudah
dilaksanakan, bahkan sudah melembaga di kalangan masyarakat,
sekalipun mereka tidak menyadarinya. Misalnya telah lama dalam
menetapkan berbagai ketentuan hukum, seperti menganai waris
dan wasiat, banyak keluar dari mazhab Hanafi, padahal Mesir
adalah salah satu negara yang menganut mazhab Abu Hanifah.
Di Indonesia sendiri, kebutuhan akan hal tersebut nampak
jelas, seperti terasa dalam menyusun undang-undang perkawinan
(UU. No. 1 Tahun 1974): antara lain mengambil ketentuan di luar
9
Sapiudin Shidiq, Perbandingan Mazhab dalam Fikih, (Jakarta: Kencana, 2021), hlm. 38-43
xiii
mazhab Syafi’i, yakni mengenai batasan umur untuk menikah, 18
tahun uuntuk wanita dan 21 tahun untuk laki-laki. Undang-undang
tersebut tidak mengenai wali mujbir yang dianut mazhab Syafi’i.
Demikian pula dalam hukum waris, misalnya warisan dzawil
arham, bagian cucu dari harta kekayaan kakeknya dalam kasus si
ayah meninggal lebih dahulu sebelum kakeknya, dalam kompilasi
hukum Islam disebutkan bahwa cucu tersebut dijadikan sebagai
ahli waris pengganti.10
10
Syaikhu dan Norwili, Op.,cit, hlm. 15-16
xiv
boleh perbandingan berdasarkan untuk menguatkan mazhab
tertentu karena adanya fanatisme dan membenci terhadap mazhab
yang lain. Peristiwa seperti ini terjadi pada sebagian generasi akhir
yang mereka fanatik terhadap pendapat imamnya dan berusaha
membela mati-matian mazhabnya bahkan mencela kepribadian dari
ulama mazhab yang berbeda dengannya. Hal ini tentunya bukanlah
sifat dari ulama yang adil. Bahkan perbuatan ini termasuk
perbuatan yang tercela menurut syariat. Dengan demikian, yang
harus menjadi tujuan dari membandingkan mazhab adalah untuk
mengetahui pendapat yang paling kuat, paling dekat dengan ruh
syariat, dan selaras dengan kaidah-kaidah umum.
2. Adapun akhlak yang harus menjadi perhiasan diri seorang
pembanding mazhab adalah haruslah ia memiliki kesiapan dalam
membandingkan mazhab. Secara umum, ia harus memiliki
pengetahuan yang luas, senantiasa memiliki kesadaran penuh,
terpercaya dalam menukil pendapat, dan bersifat adil dalam
memutuskan hukum. Hal itu bisa dilakukan dengan menjaga
beberapa hal berikut ini:
a. Berusaha untuk melakukan penukilan secara otentik dari
kitab-kitab para ulama yang sudah diakui secara valid
penisbatannya. Berusaha untuk menukil pendapat paling
kuat menurut mazhab yang akan dibandingkan. Artinya,
tidak boleh untuk menukil pendapat yang tidak kuat
sehingga menyebabkan akan mudah uuntuk ditolak.
b. Setelah menukil pendapat yang paling kuat, maka wajib
untuk mendasarkan pada yang paling kuat dalilnya, dan
tidak boleh hanya mendasarkan pada dalil yang secara
zhahirnya dhaif sehingga mudah untuk dibantah.
c. Mengetahui ushu-ushul yang dijadikan dasar setiap imam
dalam meng-istinbath hukum yaitu para imam yang akan
dibandingkan pendapatnya dalam suatu masalah.
xv
Tujuannya supaya mengetahui cara pandang mereka dalam
meng-istinbath-kan hukum dari dalil-dalinya, juga supaya
diketahui siapa saja yang berjalan di atas kaidah-kaidah
yang dijadikan sebagai dasar dan pendapat mana saja yang
menyelisihinya.
d. Membandingkan dalil-dalil yang ada setelah mengetahui
metode pengambilan dalilnya. Membandingkan tersebut
dengan cara mengujinya dengan kaidah-kaidah ilmiah yang
sudah diakui keabsahannya. Misalnya, tidak boleh
mengatakan dhaif terhadap suatu hadis yang sudah
dishahihkan oleh para imam, atau sebaliknya mengatakan
shahih, hadits yang tidak shahih. Bahkan harus senantiasa
mengikuti kaidah-kaidah yang sudah diakui keabsahannya
dalam menguji setiap dalil sehingga pengujian tersebut
benar dan dapat diterima.
e. Merajihkan pendapat setelah menguji dalil-dalil yang
dianggap kuat, yaitu dalil yang selamat dari pertentangan
atau bisa untuk menjawab setiap bantahan yang ada dengan
mendaustenarkan pada persangkaan. Selain itu, tidak
terpengaruh dengan mazhab tertentu sehingga bisa
memberikan keputusan yang adil dan terlepas dari segala
macam oengaruh melainkan semata-mata yntuk membela
kebenaran.11
11
Abdussami’ Ahmad Imam, Op., cit, hlm.30-32
xvi
saling menghargai dan mampu menghargai pendapat orang lain yang
berbeda dengan kita. Sikap-sikap seperti ini hanya mampu dilakukan oleh
orang-orang yang berjiwa benar, tasamuhnya menonjol dan tinggi.
Mempertajam persilisihan dalam masalah-masalah ijtihad tidak
diperbolehkan. Diriwayatkan bahwa imam Syafi’I pernah melakukan
shalat subuh tanpa mambaca qunut ketika beliau kerkunjung ke Baghdad
tempat tinggal Abu Hanifah dan murid-muridnya. Hal ini ia lakukan demi
menjaga perasaan mereka. Inilah contoh tentang adab orang-orang besar.
Sikap ta’shub (fanatik) mazhab dan sikap pengingkaran terhadap
orang-orang yang tidak sependapat dengannya, dalam masalah-masalah
ijtihad seperti ini, bukanlah sikap ahli ilmu dan ahli tahqiq dan bukan pula
cermin akhlak para ulama salaf.
Menjaga persatuan adalah hak. Seperti dalam membaca basmalah,
maka adakalanya perlu mengeraskan basmalah demi kemashalatan yang
lebih kuat, dan boleh pula meninggalkan yang lebih utama, demi menjaga
persatuan hati. Kalau melihat lebih jauh kebelakang, bahwa dibelakang
sahabat, tabi’in dan orang-orang sesudah mereka ada yang membaca
basmalah adapula yang tidak membacanya, namun sebagian mereka mau
melaksanakan shalat dibeakang yang lainnya.
Abu Yusuf pernah shalat dibelakang kalifah Harun ar-Rasyid
seteleh ia (kahalifah) berbekam, karena imam Maliak pernah berfatwa
bahwa orang yan berbekam tidak perlu memperbaharui wudhunya. Oleh
sebab itu, Abu Yusuf tetap shalat dibelakang khalifah dan tidak
mengulangi shalatnya. Sedangkan imam Ahmad bin Hambali, seseorang
yang berbekam atau mimisan harus berwudhu lagi.
Dalam usaha pembinaan terhadap perbedaan pendapat yang
berkembang di masyarakat. Maka para ulama, da’i, dan ustadz, jangan
hendaknya mengiringi jamaah yang dibinanya hanya karena faham yang
dianutnya saja dan jangan pula hendaknya memandang salah orang lain
yang berbeda dengan kita.
xvii
Harus menyadari benar, bahwa anggota masyarakat yang dihadapi
sangan heterogen. Maka setiap jawaban jangan memihak sepenuhnya
kepada suatu mazhab. Disamping itu harus ada pertimbangan, apakah
anggota masyarakat yang kita hadapi orang awam, atau orang yang
berpendidikan.
Orang awam, biarkan saja mereka beramal menurut paham yang
mereka yakini yang merka dapat dari guru-guru mereka, asal saja tidak
bertentangan dengan asal pokok ajara Islam. Orang awam jangan diajak
berpikir dan disuruh membanding-banding pendapat yang berkembang
dalam masyarakat, termasuk pendapat para imam mujatahid, karena
mereka tidak mampu memilih dan memilah-milah mana yang paling tepat
untuk diamalkan.
Tugas para ulama, da’i, dan ustadz, mencoba meluruskan sekiranya
orang itu berpaham syafiiyah, luruskan pahamnya menurut syafiiyah,
demikian yang lain. Tugas selanjutnya adalah diharapkan para ulama, da’i,
dan ustadz, membimbing dan membina umat agar tidak pecah dan tenang
mengamalkan segala ibadah.12
12
Syaikhu dan Norwili, Op.,cit, hlm. 37-39
xviii
pembanding tidak boleh memindahkan pendapat dari kitab yang ditulis
oleh fuqaha yang oleh mazhabnya tidak diakui sebagai seorang mujtahid
dalam mazhabnya. Dan apabila terdapat beberapa pendapat dalam suatu
mazhab mengenai suatu maslah maka pembanding harus memilih
pendapat yang terkuat dan tidak boleh mengambil pendapat yang lemah.
Kedua, kemudian sesudah mendapat pindahkan, dicantumkan lagi
dalil baik dari al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas atau kaidah hukum yang
lainnya yang dipergunakan oleh mazhab itu dalam mempertahankan
pendapatnya. Dana dalam memindahkan dalil juga hendakny dalil yang
dipindahkan adalah dalil yang terkuat, tidak boleh mengambil dalil yang
lemah dalam mazhab itu.
Ketiga, sesudah pendapat dan dalil dipindahkan haruslah mencri
faktor apa yang menyababkan terjadinya perbedaan pendapat yang
mungkin saja perbedaan itu disebabkan faktor bahasa, baik dalam al-
Qur,an ataupun sunnah yang kurang jelas pengertiannya. Atau mungkin
pula disebabkan oleh faktor sunnah, umpamanya mazhab Hanafi menolak
hadits Ahad sebagai dalil, atau mazhab Hambali mempergunakan hadits
dhaif sebagai dalil. Mungkin ada suatu hadist sampai ketangan seorang
mujtahid tetapi tidak sampai ketangan mujtahid yang lain, dan juga
perbedaan menilai hadits baik segi kekuatan matan dan sanadnya. Maka
inilah yang mungkin dapat menimbulkan perbedaan pendapat. Ijma’ juga
menimbulkan perbedaan pendapat. Dikalangan mazhab yang empat juga
terjadi perbedaan pendapat tentang pemekaian qiyas sebagai sumber fiqih,
ada sangat luas mempergunakannya tetapi ada juga yang terbatas.
Keempat, kemudian baru dikemukakan kritik dari berbagai
pendapat terhadap pendapat yang lain untuk mengetahui kuat lemahnya
dalil yang dikemukakan. Dalam mengemukakan kritik dan menilai kritik
yang dikemukakan oleh berbagai pihak si pembanding hendaknya bersikap
sebagai seorang wasit, karena itu ia harus melepaskan kecendrungannya
kepada suatu pendapat. Pada saat membanding seolah-olah pembanding
berada diatas semua mazhab maka dengan cara itu akan lahirlah rasa
xix
kejujuran dalam menilai dan akan sampai kepada suatu kesimpulan yang
objektif.
Kelima, terkhir barulah pembanding mengambil kesimpulan yang
merupakan tarjih dan sekian pendapat untuk memperoleh pendapat mana
yang lebih kuat dalilnya atau pendapat mana yang lebih praktis dan lebih
sesuai dengan kemaslahatan amat pada suatu tempat dan suatu waktu.
Inilah proses yang harus dilalui oleh pembanding dalam
mengambil kesimpulan atau keputusannya, yang dilandasi dengan penuh
kejujuran dan ketelitian agar hasil bandingnya betul-betul mendekati
kepada kebenaran (qath’i) yang tentunya menjadi kewajiban bagi
pembanding melaksanakan untuk dirinya sendiri hasil perbandingannya,
namun ini tidak boleh memaksakan orang lain untuk menerimanya namun
kalau ada yang mengakui pendapatnya diperbolehkan.13
13
Ibid, hlm. 33-35
xx
5. Menganalisis dalil dan mendiskusikan jihat dilalahnya, untuk
mengetahui apakah dalil-dalil itu telah tepat digunakan pada
tempatnya dan dilalahnya memang menunjukkan pada hukum
yang dimaksud, atau kah ada kemungkinan atau alternatif yang
lain.
6. Menelusuri hikmah-hikmah yang terkandung di belakang
perbedaan itu, untuk dimanfaatkan sebagai rahmat Allah SWT.
7. Untuk mengevaluasi kebenaran-kebenaran pendapat yang
terpilih itu, perlu dikaji sebab-sebab terjadinya pendapat yang
ada prinsipnya tidak keluar dari empat imam mazhab.14
14
Hasbiyallah, Op.,cit, hlm. 10-11
xxi
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fiqh Muqaran sebagai Fiqh yang mengumpulkan pendapat-
pendapat para imam beserta dalil-dalilnya, kemudian membandingkannya
satu sama lain. Sedangkan menurut istilah adalah mengumpulkan
pendapat-pendapat yang berbeda-beda dari para ulama dalam hukum
syariat atas satu permasalahan yang bersifat furu’ beserta dalil-dalilnya,
kemudian membandingkannya satu sama lain. Tujuan fiqh Muqaran
adalah Menimbulkan rasa puas dalam mengamalkan suatu hukum sebagai
hasil dari perbandingan berbagai pendapat dari imam mazhab. Fiqh
Muqaran terdapat dua kelompok dalam mengamalkan Mazhab antara lain,
Kelompok yang menerima berpendapat bahwa mengamalkan hasil
perbandingan mazhab yang tentunya didukung oleh dalil-dalil yang lebih
kuat itu hukumnya wajib. Sedangkan, Kelompok ini berkesimpulan
bahwa seseorang yang sudah bertaqlid kepada mazhab tertentu, maka
harus tetap pada mazhab itu dan tidak boleh berpindah kepada mazhab lain
dalam beberapa masalah kecuali memenuhi persyaratan yang sudah
ditentukan. Untuk mengamalkan dengan sempurna, maka perlu untuk
menumbuhkan sikap saling mengharga dan mampu menghargai pendapat
orang lain yang berbeda dengan kita. perbandingan mazhab ini lebih
dahulu melalui beberapa proses diantaranya:
1. Pertama, pembanding memindahkan pendapat fuqaha dari berbagai
mazhab pada masalah yang mereka perselisihkan.
2. sesudah mendapat pindahkan, dicantumkan lagi dalil baik dari al-
Qur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas atau kaidah hukum yang lainnya
yang dipergunakan oleh mazhab itu dalam mempertahankan
pendapatnya
3. sesudah pendapat dan dalil dipindahkan haruslah mencri faktor apa
yang menyababkan terjadinya perbedaan pendapat yang mungkin
xxii
saja perbedaan itu disebabkan faktor bahasa, baik dalam al-Qur,an
ataupun sunnah yang kurang jelas pengertiannya.
4. dikemukakan kritik dari berbagai pendapat terhadap pendapat yang
lain untuk mengetahui kuat lemahnya dalil
5. pembanding mengambil kesimpulan yang merupakan tarjih dan
sekian pendapat untuk memperoleh pendapat mana yang lebih kuat
B. Saran
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, masih banyak terdapat
kekurangan, baik dalam penulisan maupun keefektifan kalimat. Oleh
karena itu, bagi pembaca harap memberi saran ataupun komentar yang
membangun untuk dapat memperbaiki kekurangan pada makalah ini.
xxiii
tDAFTAR PUSTAKA
xxiv