Dosen pengampu
Amirul Husen
Choirunisa Maksudi
Khorul Anwar
Citra Amelia
Pani Afandi
Ahmad Fauzi
PERBANDINGAN MAZHAB
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Qawaid Fiqhiyah Dapat
terselesaikan tepat waktu.
Sholawat beriring salam mari kita junjungkan kepada nabi tercinta, nabi Muhammad
SAW yang kita tunggu syafaatnya di Yaumul Qiyamah nanti, Aamin. Kami penulis dari
kelompok empat mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Qawaid
Fiqhiyah oleh Dr. H. Abd. Rahman, M.A. yang telah memberikan pengajaran saat kuliah.
Serta teman-teman saya yang ikut serta membantu dalam pembuatan makalah ini.
Semoga makalah ini bisa bermanfaat buat semuanya. Dan kami mohon maaf apabila masih ada
kekurangan di makalah ini. Semoga kami bisa membuat makalah yang lebih baik lagi
KATA PENGANTAR..........................................................
DAFTAR ISI........................................................................
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang...........................................................................................................
Rumusan Masalah.....................................................................................................
Tujuan Masalah.........................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
Kesimpulan............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..........................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam hukum Islam dikenal istilah Fiqh, Ushul Fiqh, Qawa‟id Fiqhiyah, dan lain-lain.
Adapun Fiqh adalah produk yang dihasilkan oleh Ushul Fiqh atau pun Qawa‟id Fiqhiyah. adapun
pengertian lain dari fiqih dikemukakan oleh al-Jurjani al-Hanafi: ”ilmu yang menerangkan
hukum hukum syara yang amaliyah ang diambil dari dalil-dalilnya yang tafsily dan diistinbatkan
melalui ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan.
Adapun pengertian dari Qawa‟id Fiqhiyah yaitu Qawa‟id Fikhiyah (kaidah-kaidah fikih)
secara etimologi adalah dasar-dasar atau asas-asas yangbertalian denga masalah-masalah atau
jenis-jenis fikih. Bahwa kaidah itu bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam
artibisa diterapkan kepada juz‟iyat-nya (bagian-bagiannya).
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
Syihab al-Din al-Qarafi adalah ulama yang pertama kali membedakan antara qaidah
ushuliyyah dan qaidah fiqhiyyah. Perbedaan qawaid fiqhiyyah dan qaidah ushul fiqh secara lebih
terperinci dapat diketahui dalam uraian di bawah ini:
1. Qawaid ushuliyyah adalah qaidah-qaidah bersifat umum yang dapat diterapkan pada
semua bagian bagian objeknya. sedangkan qawaid fiqhiyyah adalah himpunan hukum-
hukum yang dapat diterapkan kepada mayoritas bagian-bagiannya. Namun terkadang
pengecualian dari kebiasaan yang berlaku umum tersebut.
4. Adapun persamaan dari keduanya merupakan kaidah yang menjelaskan dan terkandung
di dalamnya perkara-perkara atau masalah yang bersifat juz‟i dan terperinci.
1
Faturahaman Azhari, qawaid fiqiyah muamalah, cet 1, LPKU, Banjarmasin, 2015 hlm 13.
2
Faturahaman Azhari, qawaid fiqiyah muamalah, cet 1, LPKU, Banjarmasin, 2015 hlm 14.
Fungsi qawaid fiqiyah
Para Imam Madzhab dalam mengistinbathkan suatu hukum memiliki pola pikir tertentu
yang dapat dijadikan aturan pokok, sehingga hasil istinbath-nya dapat dievaluasi secara objektif
oleh para pengikutnya. Kaidah-kaidah dasar merupakan acuan dalam beristinbath. Dengan
demikian pada dataran epistemology, kaidah fiqhiyyah berfungsi sebagai alat untuk mengetahui
dan menelusuri pola dan kerangka berpikir para imam dalam beristinbath, sekaligus dapat
diketahui titik relevansi antara ijtihad yang satu dengan yang lain. Akhirnya dapat diketahui
metode yang digunakan oleh para imam madzhab dalam beristinbath hukum.
2. Dari qawaid al-fiqhiyyah adalah agar para mujtahid dapat mengistinbathkan hukum-
hukum syara dengan baik dan benar, orang tidak akan dapat menetapkan hukum dengan
baik apabila tidak mengetahui kaidah fiqih.
3. Qawaidh al-fiqhiyyah berfungsi untuk membina hukum Islam. Hal ini ditegaskan oleh
Hasbi As-Shiddiqie, yang menyatakan bahwa qawaid al-fiqhiyyah berfungsi untuk
memelihara ruh Islam dalam membina hukum, mewujudkan ide-ide yang tinggi, baik
mengenai hak keadilan persamaan, maupun dalam memeliharamaslahat,
menolak mafsadat serta memperhatikan keadaan dan suasana.
4. Qawaid fiqhiyyah yang bersifat kulli itu akan mengikat atau mengekang furu‟ yang
bermacam-macam, dan meletakkan furu‟ itu dalam satu kandungan umum yang lengkap,
karena hakikat qawaidh al-fiqhiyyah adalah himpunan hukum-hukum syara yang serupa
atau sejenis, lantaran adanya titik persamaan atau adanya ketetapan fiqih yang
merangkaikan kaidah tersebut.3
3
Syahrul Anwar, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010, h 125-127
Kaidah-kaidah hukum mempunyai peran utama dalam mengelompokkan aturan-
aturannya (dalam suatu urutan), dimana keberagaman dan bagian-bagian yang bercerai dalam
fiqih disatukan dalam satu konsep. Jadi, fungsi utama dari (ilmu) Qawaid Fiqiyyah adalah
mengelompokkan dan mengkonsolidasikan ketentuan-ketentuan fiqih yang identik dibawah
4
aturan-aturan yang universal dan menyeluruh.
Al-Juwaini dari mazhab Syafi`i dalam kitabnya al-Ghayatsi berpendapat bahwa tujuan
akhir dari qawâ`id fiqhiyyah adalah untuk memberi isyarat dalam rangka mengidentifikasi
metode yang dipakainya terdahulu, bukan untuk beristidlâl dengannya. Ini sebagai indikator
bahwa bagi al-Juwaini, qawâ`id fiqhiyyah tidak dapat dijadikan hujjah, tapi hanya sebagai sarana
untuk mengenal metode ijtihad dalam mazhab Syafi`i.
Senada dengan itu, alZarkasyi dengan lebih moderat berpendapat bahwa qawâ`id
fiqhiyyah dapat dijadikan semacam instrumen bagi seorang faqîh (pakar hukum Islam) dalam
mengidentifikasi ushul al-madzhab dan menyingkap dasar-dasar fiqh. Hal ini bisa dimaklumi,
sebab pada dasarnya masing-masing mazhab fiqh memiliki qawâ`id fiqhiyyah yang beragam
yang diciptakan oleh para ulama mereka dengan berpatokan pada ushul mazhabnya. Walaupun
begitu, bukan berarti seluruh ulama mazhab Syafi`i menolak qawâ`id fiqhiyyah untuk dijadikan
sebagai hujjah.5
Al-Bannani, “menurut mazhab Syafi`i, qawâ`id fiqhiyyah dapat dijadikan hujjah dan
sangat penting keberadaannya dalam fiqh. Begitu juga al-Suyuthi yang menjelaskan bahwa ilmu
al-Asybâh wa al-Nazhâ‟ir adalah ilmu yang agung, dapat menyingkap hakikat, dasar-dasar dan
rahasia fiqh, mempertajam analisa fiqh serta mampu membekali seseorang untuk mampu
mengidentifikasi berbagai persoalan yang tak terhingga banyaknya sepanjang masa dengan cara
al-ilhâq dan al-takhrîj. Oleh sebab itu, al-Suyuthi menyimpulkan bahwa qawâ`id fiqhiyyah dapat
dijadikan sebagai hujjah.
4
Hendri Tanjung,Kaidah-Kaidah Fiqih (Keuangan dan Transaksi Bisnis), Bandung: Ulil Albab Institute, 2010, h 6-7
5
Toha Andiko, pemberdayaan qawaid fiqiyah dalam penyelesaian masalah fikih siyasah modern. IAIN Bengkulu, al-
adalaah vol. XXI, 2014. Hlm 108
Dalam mazhab Hanafipun tidak ada kesepakatan di antara para ulama mereka terhadap
boleh tidaknya berfatwa atau berhujjah dengan menggunakan qawâ`id fiqhiyyah. Mereka yang
tidak setuju, beralasan bahwa qaidah itu bersifat aghlabiya (mayoritas), tidak bersifat kulliyyah
(universal menyeluruh). 6
Sedangkan dalam mazhab Maliki, para ulama mereka menempatkan qawâ`id fiqhiyyah
sejajar dengan ushûl al-fiqh, sebab kaedah-kaedah fiqh itu termasuk bagian syari`at yang dapat
memperjelas metodologi berfatwa. Bagi mereka, setiap putusan hukum yang bertentangan
dengan dalil dan kaedah yang disepakati oleh para ulama, maka putusan tersebut batal. AlQarafi
memperkuat pendapat ini dengan mendudukkan qawâ`id fiqhiyyah yang disepakati dalam posisi
yang kuat hampir seperti nash, ijmâ`, dan qiyâs jaliy.7
Begitu juga Ibn Farhun dalam kitabnya Tabshirat alHukkâm yang menjadikan qawâ`id
fiqhiyyah sebagai hujjah. Bahkan secara tegas alBannani menyatakan bahwa qâ`idah yang
menjadi pijakan fiqh, kedudukannya menyerupai dalil-dalil. Dengan demikian, bagi mazhab
Maliki, qawâ`id fiqhiyyah dapat dijadikan sebagai dalil sumber hukum Islam.
Adapun dalam mazhab Hanbali, ulama mereka tampaknya sepakat menjadikan qawâ`id
fiqhiyyah sebagai hujjah (dalil hukum). Hal ini terlacak dari pendapat beberapa tokohnya yang
populer seperti Ibnu Taimiyah dalam kitabnya al-Qawâ`id al-Nûrâniyyah, ibnu Qayyim al-
Jauziyah dalam kitabnya I`lâm al-Muwaqqi`în, ibnu Rajab dalam kitabnya Qawâ`id fi al-Fiqh al-
Islâmi, dan ibnu al-Najjar dalam kitabnya al-Kaukab al-Munîr.
6
Toha Andiko, pemberdayaan qawaid fiqiyah dalam penyelesaian masalah fikih siyasah modern. IAIN Bengkulu, al-
adalaah vol. XXI, 2014. Hlm 109
7
Toha Andiko, pemberdayaan qawaid fiqiyah dalam penyelesaian masalah fikih siyasah modern. IAIN Bengkulu, al-
adalaah vol. XXI, 2014. Hlm 109
Keempat tokoh di atas kiranya telah mewakili sikap mazhab Hanbali terhadap status
qawâ`id fiqhiyyah. Mereka semua sependapat untuk menjadikan qawâ`id fiqhiyyah sebagai
hujjah atau dalil istinbath hukum Islam, terutama pada kasus-kasus yang tidak dijelaskan
hukumnya oleh nash (Alquran dan hadis mutawatir). Walaupun begitu, dalam stratifikasi
praksisnya, mazhab Hambali ini cenderung tetap mendahulukan hadis dha`îf daripada qawâ`id
fiqhiyyah sesuai dengan pedoman ijtihad yang dibangun oleh imam mazhabnya. 8
8
Toha Andiko, pemberdayaan qawaid fiqiyah dalam penyelesaian masalah fikih siyasah modern. IAIN Bengkulu, al-
adalaah vol. XXI, 2014. Hlm 109
DAFTAR PUSTAKA
Toha Andiko, pemberdayaan qawaid fiqiyah dalam penyelesaian masalah fikih siyasah modern.
IAIN Bengkulu, al-adalaah vol. XXI, 2014.
Syahrul Anwar, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010
Syamsul Hilal, qawaid fiqiyah furuiyah sebagai sumber hukum islam, IAIN Raden Intan
Lampung, Bandar Lampun, 2013
Toha Andiko, ilmu qawaid fiqiyah, cet 1, penerbit teras, Yogyakarta, 2011
Ibrahim, Duski. 2008. Metode Penetapan Hukum Islam: Membongkar Konsep al-Istiqra` al-
Ma‟nawi, (Jogyakarta: ar-Ruzz Media).