Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PERBEDAAN KAIDAH FIQIH, KAIDAH USHUL FIQH,

DAN FURU’ AL FIQHIYYAH

Dosn pengampu :

Muh. Zamroni. MHI

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 3

1. M. FIZYAN MUKHTIMUL HAZANI (210202155)


2. DIMAS HILMANSYAH ( 210202127)

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kita berbagai macam
nikmat, sehingga aktifitas hidup yang kita jalani ini akan selalu membawa keberkahan, baik
kehidupan di alam dunia ini, lebih-lebih lagi pada kehidupan akhirat kelak, sehingga semua cita-
cita serta harapan yang ingin kita capai menjadi lebih mudah dan penuh manfaat.

Terimakasih sebelumny dan sesudahnya kami ucapkan kepada dosen serta teman- teman
sekalian yang telah membantu, baik bantuan, sehingga makalah ini terselesaikan dalam waktu
yang telah ditentukan.

Kami menyadari, bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata kesempurnaan
serta banyak kekurangan – kekuranganya, yang kadang hanya menuruti ego pribadi, untuk itu
harapan kami jika ada kritik dan saran yang membangun untuk lebih menyempurnakan makalah-
makalah kami di lain waktu.

Harapan kami dalam menyusun makalah ini ialah, semoga bermanfaat bagi pembaca,
pendengar serta orang lain yang ingin menyempurnakan makalah kami yang berjudul “
Perbedaan kaidah fiqih, kaidah ushul fiqh dan furu' Al fiqhiyyah”

Mataram, 31 mei 2022

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................................................

KATA PENGANTAR ................................................................................................................

DAFTAR ISI ...............................................................................................................................

BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................................................

A. Latar Belakang Masalah ...............................................................................................


B. Rumusan Masalah ..........................................................................................................

BAB II : PEMBAHASAN ..........................................................................................................

A. Pengertian Kaidah Fiqhiyah..........................................................................................


B. Macam-macam Kaidah Fiqhiyyah...............................................................................
C. Perbedaan Antara Kaidah Fiqhiyyah dan Kaidah Ushuliyah....................................
D. Kaidah Assasiyah dan Kaidah Far’iyah.......................................................................
E. Kaidah Fiqqih Furu’ iyah pada ...................................................................................

BAB III : PENUTUP ..................................................................................................................

A. Kesimpulan......................................................................................................................

DAFTARPUSTAKA...................................................................................................................

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Apa sih kaidah fiqih itu? Ada berapa macam-macanya? Dan baaimana perbedaannya
dengan kaidah ushuliyyah?. Dalam sebuah alinea kitab al-Madkhal al-Fiqhi, karya Dr. Musthafa
al-Zarqa` (w. 1375 H) menulis: “seandainya kaidah fiqih tidak ada, maka hukum-hukum fiqih
akan tetap menjadi cecaran-cecaran hukum yang secara lahir saling bertentangan satu sama lain.”

Mustafa az-Zarqa benar, sebab apabila kita terus-menerus berkutat mempelajari


hukukm-hukum fiqih secara parsial (sepotong-sepotong), maka kita akan merasakan adanya
kontradiksi antara satu hukum dengan hukum lainnya. Kita sering dibuat bingung saat
mempelajari persoalan-persoalan hukum yang karakternya sama tetapi ketentuan hukumnya
berbeda.

Nah, salah satu solusi untuk mengurangi benang kusut itu adalah dengan
mengetahui substansi dan esensi hukum-hukum syari’at. Jadi, selain kita mempelajari hukum-
hukum yang sudah jadi, kita juga dituntut untuk menguasai pangkal persoalan atau substanti
hukumnya. Caranya adalah degan mempelajari kaidah fiqih, baik kaidah ushuliyah maupun
kaidah fiqhiyyah. Dengan kedua kaidah tersebut nilai-niai esensial syari’at terurai dengan sangat
lugas, logis, tuntas, dan rasional

B. Rumusan Masalah
Apa Pengertian kaidah-kaidah fiqhiyah?
2. Apa saja macam-macam kaidah fiqhiyah?
3. Apa perbedaan antara kaidah fiqhiyah dan kaidah ushuliyah?
4. Apa saja yang termasuk kaidah assasiyah dan kaidah fariyah?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui dan memahami pengertian kaidah fiqhiyah.

4
2. Mengetahui dan memahami macam-macam kaidah fiqhiyah.
3. Mengetahui dan memahami perbedaan kaidah fiqhiyah an fariyah.
4. Mengetahui dan memahami kaidah assasiyah dan kaidah fariyah.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kaidah Fiqhiyah


Kata Qai’dah fiqhiyah terdiri dari dua kata yakni qa’idah dan fiqhiyyah. Qa’idah kata
mufrad yang jama’nya qawa’id menurut bahasa berarti dasar atau asas. Dan kata fiqhiyyah
berasal dari kata fiqh, yang berarti faham, yang menurut istilah berarti kumpulan hukum-hukum
syara’ yang berkaitan dengan perbuatan mukalaf, yang dikeluarkan dari dalil-dalil yang
terperinci.
Pengertian Qa’idah fiqhiyyah menurut Dr. Musthafa Ahmad az-Zarqa ialah:
ْ ‫ث الَّتِى ت‬
َ‫ذ ُخ ُل تَحْ ت‬FFَ ِ ‫ َوا ِد‬FF‫ ِر ْي ِعيَّةً عَا َّمةً فِى ْال َح‬FF‫ا ت َْش‬FF‫ َمنُ َأحْ َكا ًم‬FF‫َض‬
ْ ‫تُوْ ِريَّ ٍة ت‬FF‫وْ ِج َز ٍة د ُْس‬FF‫ص ُم‬ ِ ٌ‫وْ ٌل فِ ْق ِهيَّةٌ ُكلِّيَّة‬FF‫ص‬
ُ ُ‫فى ن‬
ٍ ْ‫و‬FF‫ص‬ ُ ُ‫ا‬
‫َموْ ضُوْ ِعهَا‬
“Dasar-dasar yang bertalian dengan hukum syara’ yang bersifat mencangkup (sebagian
besar bagian-bagiannya) dalam bentuk teks-teks perundang-undangan yang ringkas (singkat
padat) yang mengandung penetapan hukum-hukum yang umum pada pristiwa-pristiwa yang
dapat dimasukkan pada permasalahannya.”
Menurut Prof. Hasbi Ash-Shiddieqy, qa’idah fiqhiyyah itu ialah:
“qa’idah-qa’idah yang bersifat kully dan dari maksud-maksud syara’ menetapkan
hukum (maqashidusy syar’i) pada mukalaf serta dari memahami rahasia tasyri’ dan hikmah-
hikmahnya.”
B. Macam-macam Kaidah Fiqhiyyah
Kaidah fiqhiyyah dibagi menjadi 3 macam yaitu:
1. Lima kaidah dasar yang mempunyai skala cakupan menyeluruh, lima kaidah ini
memiliki ruang lingkup Furi’iyyah yang sangat luas, komprehensif, dan unversal, sehingga
hampir menyentuh semua elemen hukum fiqih.

5
2. Kaidah-kaidah yang mempunyai cangkupan furu’ cukup banyak, tetapi tak seluas
yang pertama, kaidah ini biasa disebut sebagai al-qawa’id al-aghlabiyah.
3. Kaidah yang mempunyai cangkupan terbatas (al-qawa’id al-qaliliyah) bahkan
cendrung sangat sedikit.[3]

C. Perbedaan Antara Kaidah Fiqhiyyah dan Kaidah Ushuliyah


Perbedaan antara keduanya adalah sebagi berikut:
1. Kaidah ushul pada hakikatnya adalah qa’idah istidlaliyah yang
menjadi wasilah para mujtahid dalam istinbath (pengambilan) sebuah
hukum syar’iyah amaliah. Kaidah ini menjadi alat yang membantu para
mujtahid dalam menentukan suatu hukum. Dengan kata lain, kita bisa
memahami, bahwa kaidah ushul bukanlah suatu hukum, ia hanyalah
sebuah alat atau wasilah kepada kesimpulan suatu hukum syar’i.
Sedangkan, kaidah fiqih adalah suatu susunan lafadz yang mengandung
makna hukum syar’iyyah aghlabiyyah yang mencakup di bawahnya
banyak furu’. Sehingga kita bisa memahami bahwa kaidah fiqih adalah
hukum syar’i. Dan kaidah ini digunakan sebagai istihdhar
(menghadirkan) hukum bukan istinbath (mengambil) hukum (layaknya
kaidah ushul). Misalnya, kaidah ushul “al-aslu fil amri lil wujub” bahwa
asal dalam perintah menunjukan wajib. Kaidah ini tidaklah mengandung
suatu hukum syar’i. Tetapi dari kaidah ini kita bisa mengambil hukum,
bahwa setiap dalil (baik Qur’an maupun Hadits) yang bermakna perintah
menunjukan wajib. Berbeda dengan kaidah fiqih “al-dharar yuzal”
bahwa kemudharatan mesti dihilangkan. Dalam kaidah ini mengandung
hukum syar’I, bahwa kemudharatan wajib dihilangkan.
2. Kaidah ushul dalam teksnya tidak mengandung asrarus syar’I (rahasia-
rahasia syar’i) tidak pula mengandung hikmah syar’i. Sedangkan kaidah
fiqih dari teksnya terkandung kedua hal tersebut.
3. Kaidah ushul kaidah yang menyeluruh (kaidah kulliyah) dan mencakup
seluruh furu’ di bawahnya. Sehingga istitsna’iyyah (pengecualian) hanya
ada sedikit sekali atau bahkan tidak ada sama sekali. Berbeda dengan

6
kaidah fiqih yang banyak terdapat istitsna’iyyah, karena itu kaidahnya
kaidah aghlabiyyah (kaidah umum).
4. Perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqih pun bisa dilihat dari
maudhu’nya (objek). Jika Kaidah ushul maudhu’nya dalil-dalil
sam’iyyah. Sedangkan kaidah fiqih maudhu’nya perbuatan mukallaf,
baik itu pekerjaan atau perkataan. Seperti sholat, zakat dan lain-lain.
5. Kaidah-kaidah ushul jauh lebih sedikit dari kaidah-kaidah fiqh.
6. Kaidah-kaidah ushul lebih kuat dari kaidah-kaidah fiqh. Seluruh ulama
sepakat bahwa kaidah-kaidah ushul adalah hujjah dan mayoritas
dibangun diatas dalil yang qot’i. Adapun kaidah-kaidah fiqh ulama
berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa kaidah-kaidah fiqh
bukan hujjah secara mutlaq, sebagian mengatakan hujjah bagi mujtahid
‘alim dan bukank hujjah bagi selainnya, sebagian yang lain mengatakan
bahwa kaidah-kaidah tersebut hujjah secara mutlak.
7. Kaidah-kaidah ushul lebih umum dari kaidah-kaidah fiqh.
8. Kaidah Ushuliyah diperoleh secara deduktif, sedangkan fiqhiyah secara
induktif. Kaidah ushuliyah merupakan mediator untuk meng-istinbath-
kan hukum syara’ amaliyah, sedangkan kaidah fiqhiyah adalah
kumpulan hukum-hukum yang serupa diikat oleh kesamaan ‘illat atau
kaidah fiqhiyah yang mencakupnya dan tujuannya taqribu al-masa’il –
alfiqhiyawa tashiliha.
D. Kaidah Assasiyah dan Kaidah Far’iyah .
1. ‫( االمـور بـمـقـاصـده‬Segala sesuatu bergantung pada tujuannya)

Contoh: kalau kita sholat kita pasti bertemu dengan yang namanya niat,
kalau kita tidak bertemu dengan yang namanya niat berarti kita tidak pernah
sholat.begitu juga dengan yang lainnya, seperti puasa, zakat, haji dll. Kita
pasti bertemu dengan yang namnya niat.[5]

Dasar kaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an yang berbunyi:

‫اآلخ َر ِة نُْؤ تِ ِه ِم ْنهَا‬


ِ ‫اب‬ َ ‫اب ال ُّد ْنيَا نُْؤ تِ ِه ِم ْنهَا َو َم ْن ي ُِر ْد ثَ َو‬
َ ‫…… َو َم ْن ي ُِر ْد ثَ َو‬..

7
Artinya:
”Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala
dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya
pahala akhirat.”(QS. Ali-Imran: 145)
Cabang-cabangnnya antara lain sebagai berikut:
· Kaidah
ُ َ‫ص ْيالً اِ َذا َعيَّنَهُ َواَ ْخطََأ لَ ْم ي‬
‫ض َّر‬ ِ ‫َما الَ يُ ْشتَ َرطُ التَّ َعرُّ ضُ لَهُ ُج ْملَةً َو تَ ْف‬
“ suatu amal yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan, baik secara global maupun secara
terperinci, bila dipastikan dan ternyata salah, kesalahannya itu tidak membhayakan
(membatalkan).”
· Kaidah
‫َو َما يُ ْشتَ َرطُ فِ ْي ِه التَّ َعرُّ ضُ فَ ْال َخطَُأ فِ ْي ِه ُم ْب ِط ٌل‬
“suatu amal yang disyaratkan penjelasannya maka kesalahannya membatalkan
perbuatan tersebut.”
· Kaidah
َ ‫ص ْيالً اِ َذا َعيَّنَهُ فَا َ ْخطََأ‬
ٌّ‫ضر‬ ِ ‫َو َما يَ ِجبُ التَّ َعرُّ ضُ لَهُ ُج ْملَةً َو الَ يُ ْشتَ َرطُ تَ ْعيِ ْينُهُ تَ ْف‬
“suatu amal yang harus dijelaskan secara global dan tidak disyaratkan secara terperinci,
karena apabila disebut secara terprinci dan ternyata salah, kesalahannya itu dapat
membahayakan.”
· Kaidah
ُّ‫فى ْاليَ ِمي ِْن تُ َخصِّ صُ اللَّ ْفظَ ْال َع ِام َوالَ تَ ُع ُّم ْالخاص‬
ِ ُ‫النِّبَة‬
“niat dalam sumpah mengkhususkan lafadz umum dan tidak pula menjadikan umum
pada lafadz yang khusus.”
Kaidah
ِ ‫اضى فَاِنَّهَا َعلَى نِيَ ِة ْالقَا‬
‫ضى‬ ِ َ‫ض ٍع َوا ِح ٍد َوهُ َو ْاليَ ِميْنُ ِع ْن َد ْالق‬
ِ ْ‫َمقَاصُ اللَّ ْف ِظ َعلَى نِيَ ِة ااَّل فِ ِظ ِااَّل فِى َمو‬
“maksud dari suatu lafadz adalah menerut niat orang yang mengucapkannya, kecuali
dalam satu tempat, yang dalam sumpah dihadapan hakim. Dalam keadaan demikian, maksud
lafadz menurut niat hakim.”[6]
· kaidah
‫اظ َو ْال َم َعانِى‬
ِ َ‫اص ُد َو ْال َم َعانِى اَل ِلَأْل ْلف‬
ِ َ‫ْال ِعبَ َرةُ فِى ْال ُعقُوْ ِد ْال َمق‬

8
“yang dimaksud dalam akad adalah maksud atau makna bukan lafadz atau bentuk
perkataan.”
2. ‫( الضرر يـزال‬Kemudharatan harus dihilangkan)
Contoh: kalau misalkan ada pohon besar dengan buah yang banyak yang mana buah
tersebut sering jatuh dan sering mengenai kepala orang yang lewat dibawahnya hingga ada yang
harus dibawa ke rumah sakit, maka dengan beracuan pada kaidah ini pohon tersebut harus di
tebang.
Dasar kaidah ini beracuan pada nash Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 56:
Artinya:
“jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta
berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”
Ada perbedaan antara al-adah dengan ‘urf. Adat (al-adah) adalah perbuatan yang terus
menerus dilakukan oleh manusia yang kebenarannya logis, tapi tidak semuanya menjadi hukum.
Sedangkan ‘urf, jika jika mengacu pada “al-ma’ruf”, berarti kebiasaan yang normatif dan
semuanya dapat dijadikan hokum, karena tidak ada yang bertentangan dengan al-quran atau
hadits.
Cabang-cabangnnya antara lain sebagai berikut:
· Kaidah
‫اَل يُ ْن َك ُر تَ ْغيِ ْي ُر اأْل حْ َك ِام بِتَ ْغيِي ِْر اَأْل ْز ِمنَ ِة َواَأْل ْم ِكنَ ِة‬
“tidak diingkari perubahan hukum disebaban perubahan zaman dan tempat.”
· Kaidah
‫ْال َم ْعرُوْ فُ عُرْ فًا َك ْال َم ْش ُر ِط شَرْ طًا‬
“yang baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat.”
· Kaidah
ِ ْ‫ت بِ ْال َم ْعرُو‬
ِّ‫ف َكالثَّابِ ِة بِالنَّص‬ ُ ِ‫الثَّاب‬
“yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash.[8]
3. ‫( اليزال بالشـك اليـقـين‬Keyakinan tidak dapat hilang karena adanya keraguan)
Contoh: kalau misalkan kita mau melakukan sholat, tapi kita masih ragu apakah kita
masih punya wudhu’ atau tidak, maka kita harus berwudhu’ kembali, akan tetapi kalau kita yakin
kita masih punya wudhu’, kita langsung sholat saja itu sah, meski pada kenyataannya wudhu’
kita telah batal.

9
Cabang-cabangnnya antara lain sebagai berikut:
· Kaidah
َ‫اَألصْ ُل بَقَا ُء َما َكانَ َعلَى َما َكان‬
“asal itu tetap sebagaimana semula bagaimanapun keberadaannya.”
· Kaidah
‫اَأْلصْ ُل بَ َرا َءةٌ ال ِّذ َّم ِة‬
“asal itu bebas dari tangugan.”
· Kaidah
‫اَأْلصْ ُل ْال َع َد ُم‬
“asal itu tidak ada”
· Kaidah
ِ ‫ث تُقَ ِد ُرهُ بَِأ ْق َر‬
ِ ‫ب ال َّز َم‬
‫ان‬ ٍ ‫اَأْلصْ ُل فِى ُك ِّل َح ِد ْي‬
“asal dalam setiap keadaan dilihat dari waktunya yang terdekat.”
· Kaidah
َ َ‫اَأْلصْ ُل فِى اَأْل ْشيَا ِء اَِإْل ب‬
ٌ‫احة‬
“asal dari sesuatu adalah kebolehan”
· Kaidah
‫اَأْلصْ ُل فَى اإْل بَا َح ِة التَّحْ ر ْي ُم‬
“asal dari kemubahan adalah keharaman.”[9]

4. ‫( المـشـقة تـجـلب التـيسـير‬Kesukaran mendatangkan kemudahan)


Contoh: apabila kita melakukan perjalanan yang mana perjalana tersebut sudah sampai
pada batas diperbolehkannya mengqasar sholat, maka kita boleh mengqasar sholat tersebut,
karena apa bila kita tidak mengqsar shoalat kemungkinan besar kita tidak akan punya waktu
yang cukup untuk shalat pada waktunya. Karena seseorang yang melakukan perjalanan pastilah
akan dikejar waktu untuk agar cepat sampai pada tujuan, dan itu termasuk pada pekerjaan yang
sulit di lakukan apabila harus melakukan sholat pada waktu sholat tersebut.
Qaidah ini berdasarkan pada ayat Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 185:
‫ي ُِري ُد هَّللا ُ بِ ُك ُم ْاليُ ْس َر َوال ي ُِري ُد بِ ُك ُم ْال ُعس َْر‬

10
Artinya:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”
Surat An-Nisa’ ayat 28:
Artinya:
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat
lemah.”
Cabang-cabangnnya antara lain sebagai berikut:
· Kaidah
‫ق‬ َ ‫ق اَّأل ْم ُر ِإتَّ َس َع َوِإ َذا اتَّ َس َع اَأْل ْم ُر‬
َ ‫ضا‬ َ ‫ِإ َذا‬
َ ‫ضا‬
“apabila suatu peerkara itu sempit, hkumnya menjadi luas, sebaliknya, jika suatu
perkara itu luas, huumnya menjadi sempit.”
· Kaidah
َ ‫ُكلُّ َما تَ َجا َو َز َح ُّدهُ إ ْن َع َك‬
ِ ‫س ِإلَى‬
‫ض ِّد ِه‬
“semua yang melampaui batas, hukumnya berbalik mejadi keblikannya,”
· Kaidah
ِ ‫الر َّْخصُ اَل تُنَطُ بِال َم َعا‬
‫صى‬
“rukhsah-rukhsah itu tidak boleh dihubungkan dengan kemaksiatan.”
· Kaidah
ِّ ‫الر َّْخصُ اَل تُنَطُ بِال َّش‬
‫ك‬
“rukhsah itu tidak dapat di sangkut pautkan dengan keraguan.”
E. Kaidah Fiqqih Furu’ iyah pada ‫األمور بمقاصدها‬

Kaidah furu’iyah yang berada dalam lingkup kaidah pokok ini cukup banyak, dalam Kitab al
Sadlani disebutkan berjumlah 18 buah kaidah. Di antara kaidah tersebut adalah:

1 ‫من استعجل شيئا قبل أوانه عوقب بحرمانه‬.

‘Siapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya, maka menanggung akibat tidak
mendapat sesuatu tersebut.’

Sebagai contoh apabila seorang ahli waris membunuh pewarisnya karena ingin segera
mendapatkan harta warisan, maka dia dihukum tidak akan mendapatkan bagian dari harta
warisan tersebut. Demikian pula dalam hal ibadah yang pelaksanaannya berkaitan dengan

11
waku tertentu, seperti shalat, puasa dan haji. Orang yang melaksanakan di luar waktu, baik
sebelum ataupun sesudah, ibadah yang dilakukannya tidak sah.

2 ‫األلفاظ اذا كانت نصوصها فى شئ لم تحتاج الى النية‬.

‘Lafaz-lafaz yang bentuk teksnya menunjukkan sesuatu tidak membutuhkan niat.’

Lafadz yang jelas yang tertuju pada satu bentuk perbuatan seperti lafadz jual, beli, sewa,
nikah, hibah, dan talak tidak diperlukan niat untuk melakukannya. Seperti jika mengatakan
saya jual barang ini. Cukup dengan kata itu saja. Sebab kata itu telah menentukan dan jelas
maksud dan tujuannya. .3 ‫صالح العمل بصالح النية وفساده بفسادها‬

‘Kebaikan sebuah perbuatan tergantung pada kebaikan niatnya.’

Kaidah ini menunjukkan, bahwa rusaknya sebuah perbuatan disebabkan rusaknya niat dalam
melakukannya dan demikian pula sebaliknya, baiknya sebuah perbuatan sangat tergantung
dengan kebaikan niatnya. Dengan demikian tanggung jawab atau beban perbuatan itu masih
ada pada seseorang meskipun telah dilakukannya jika disertai niat

12
BAB III

SIMPULAN

Dilihat dari tata bahasa (Arab), rangkaian kata Ushul dan kata Fiqh tersebut dinamakan
dengan tarkib idlafah, sehingga dari rangkaian dua buah kata itu memberi pengertian ushul bagi
fiqh. Kata Ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl yang menurut bahasa, berarti sesuatu yang
dijadikan dasar bagi yang lain.

Qawaidul fiqhiyah adalah suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada
semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-
hukum cabang itu.

Qawaid ushuliyah adalah hukum kulli (umum) yang dibentuk dengan bentuk yang akurat yang
menjadi perantara dalam pengambilan kesimpulan fiqh dari dalil-dalil, dan cara penggunaan dalil
serta kondisi pengguna dalil.

13
Dengan berpegang kepada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah
dalam menginstinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah
yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.

DAFTAR PUSTAKA

Burhanuddin, “Fiqih Ibadah”, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hal, 249.


Haq, Abdul dkk, “Formulasi Nalar Fiqih”, Surabaya: Santri Salaf, 2009.
Kurdi, Muliadi, Ushul Fiqh Sebuah Pengenalan Awal, cet.1, Lembaga Kajian Agama dan Sosial
(LKAS), Banda Aceh: 2011, hal. 4
Mu’in, A. dkk, “Ushul Fiqih 1”, Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama
Islam, 1986, hal, 181.

14
15

Anda mungkin juga menyukai