Anda di halaman 1dari 7

PERDEBATAN TENTANG SAINS

Jakarta, 31 Mei 2020


Oleh Goenawan Mohamad
(Jawaban untuk A.S. Laksana )

SAINS DAN MASALAH-MASALAHNYA, SULAK DAN DUA


KESALAHANNYA

*
Saya senang membaca A.S. Laksana menulis sebuah esei untuk saya: sebuah kritik
atas pandangan saya tentang sains. Saya juga senang membaca dua kesalahannya di
situ — plus satu kekurangan yang penting.
*
Kesalahan pertama: A.S. Laksana (selanjutnya saya sebut lebih akrab: “Sulak”)
mengatakan bahwa “Goenawan Mohamad…lebih berkidmat pada Hegel dan
Heidegger dan para romantik Jerman”.
Saya yakin Sulak menggunakan kata “berkhidmat” sebagai ucapan hiperbolis. Itu
boleh saja, meskipun harus segera saya katakan bahwa Hegel dan Heidegger dua orang
filosof, yang dihormati dengan sedikit berbeda dari bintang film: apresiasi saya tak
pernah berdasarkan orangnya, melainkan karyanya — bahkan karyanya yang tertentu
saja. Jika saya misalnya menyukai pemikiran Heidegger tentang lukisan Paul Klee,
Cezanne, atau puisi Hölderlin, juga kritiknya atas sains, tak berarti saya akan
menyetujui, apalagi berkhidmat, kepada seluruh pandangannya yang sering tak mudah
saya pahami.
Yang pasti: saya tak cocok dengan pemikiran Hegel. Entah dari Google mana Sulak
menemukan informasi bahwa saya “[lebih] berkhidmat pada Hegel”. Sebab, dalam
pelbagai soal, saya seorang “anti-Hegelian”, meskipun tidak galak.
Marxisme, terutama, melalui pemikiran Adorno, membuat saya menolak sepenuhnya
idealisme pemikir abad ke-19 yang menulis “Phänomenologie des Geistes” ini. Hegel,
misalnya, mengatakan bahwa semua yang aktual, yang ada, “wirklich”, adalah
rasional. Saya sepakat dengan Adorno bahwa ini sejenis sudut pandang totaliter yang
tak memungkinkan yang beda, yang ganjil, yang tak disangka-sangka.
Lalu bagaimana saya disebut “berkhidmat pada Hegel”, apalagi dalam pembicaraan
tentang sains? Saya tahu sedikit pandangan Hegel tentang agama dan seni, tapi sama
sekali tak tahu bagaimana ia memandang sains.
*
Kesalahan kedua: Sulak mengira saya orang yang percaya bahwa sains menjanjikan
kepastian. Di sini, ia telah sangat salah membaca.
Sebab inilah yang saya tulis dalam Catatan Pinggir (yang juga dikutip Sulak): “Ilmu
pengetahuan selalu menjanjikan jawab yang meyakinkan, tapi bersamaan dengan itu
juga hidup dari pertanyaan dan perdebatan“.
Bagi Sulak, kalimat ini “pernyataan sewenang-wenang tentang ilmu pengetahuan”.
Padahal yang saya maksudkan adalah sebuah paradoks: di satu pihak ilmu pengetahuan
menjanjikan jawab yang meyakinkan (catat: saya tak memakai kata ‘kepastian’), di
lain pihak ia tidak akan hidup tanpa pertanyaan dan perdebatan. Dengan kata lain, bagi
saya, pertanyaan dan perdebatan adalah sesuatu yang esensial dalam kehidupan sains.
.
Dalam hal ini, saya rada Popperian. Meskipun prinsip falsifikasi Popper bisa
diperdebatkan cocoknya buat semua cabang ilmu, tapi dengan itu tokoh filsasfat ilmu
ini menuntut sains berkembang dengan “rigour” yang tanpa kompromi: dengan
“rasionalisme kritis”, para ilmuwan harus siap membantah theori mereka sendiri.
Theori ilmiah bagi Popper selalu berada dalam keadaan “belum dibantah”. Penemuan
ilmu selalu bersifat “provisional”. Kepastian bukan tujuannya. Tulisan saya di halaman
Facebook saya 17 Mei yang lalu bahkan saya awali dengan kutipan dari Popper:
“Tujuan ilmu adalah kebenaran, bukan kepastian”.
Jika Sulak sempat membaca buah pikiran Popper barang sedikit, ia akan menemukan
kalimat-kalimat yang sejajar penuh dengan pandangan saya:
“Despite my admiration for scientific knowledge, I am not an adherent of scientism.
For scientism dogmatically asserts the authority of scientific knowledge; whereas I do
not believe in any authority and have always resisted dogmatism; and I continue to
resist it, especially in science. I am opposed to the thesis that the scientist must believe
in his theory…”
*
Pandangan Popper ini diperlukan kini, sebagai “caveat” kepada sains. Ketika sains
menjadi panglima — ketika masyarakat menonjolkan (“asserts”) otoritas pengetahuan
ilmiah untuk menjelaskan pelbagai hal — sains akan terdorong mengedepankan
kepastian, bukan masuk ke dalam proses pencarian kebenaran. Otoritas tanpa kepastian
sama dengan hakim garis tanpa garis.
Seperti dalam usaha mengatasi epidemi sekarang: otoritas, bahkan supremasi,
epidemologi akan membuat dia tidak diharapkan memaklumkan, seraya mengutip
Popper, bahwa sainsnya sebenarnya ” the art of systematic over-simplification”.Dalam
posisi sebagai sumber utama, ilmu ini mau tak mau didorong “mengistirahatkan”
prosesnya sendiri. Ia tak bisa berpanjang-panjang melakukan riset — dan berbantah —
untuk misalnya menentukan sifat virus yang jadi biang keladi epidemi.
Tapi tendensi mempromosikan kepastian itu sebenarnya telah lama terjadi di dunia
sains, dengan atau tanpa Covid-19. Dewasa ini, dengan beberapa perkecualian,
perkembangan ilmu makin diterjemahkan sebagai perkembangan riset dan inovasi,
sebagaimana diukur GII (Global Innovation Index). Dalam persaingan modal dan
kekuatan politik yang terus menerus, investasi dalam bidang riset & pengembangan —
yang dijadikan landasan teknologi baru dan pertumbuhan ekonomi — makin
mendorong sains bukan lagi sebuah metode menafsirkan dunia, melainkan sebagai
pendukung teknologi. Kepastian, kegunaan, hasil temuan untuk diterapkan —itulah
yang kini menggerakkan lembaga-lembaga riset dan pendanaannya. Bukan kebetulan
jika kini theori relativitas Einstein, misalnya — yang pada awalnya dikagumi tapi tak
jelas “untuk apa” — makin diberi arti dalam kaitannya dengan, misalnya, navigasi
GPS.
Sebuah gejala yang perlu disimak: kata “Wissenschaft,” yang pernah lazim dalam
theori ilmu pengetahuan di Jerman, yang berakar pada kata “wissen” (mengetahui),
kini tergeser pengertian “sains”. Kata “sains” yang masuk ke dalam bahasa Indonesia,
mungkin melalui Malaysia, adalah salinan dari istilah yang dipakai dalam risalah-
risalah Anglo-Saxon, “science”. Berasal dari kata Latin “scientia”, (dengan kata dasar
“sciens”), yang berarti mempunyai pengetahuan, sains memang berakar dari pengertian
yang tak berbeda dengan “Wissenschaft”. Tapi sains makin lama makin hanya diwakili
ilmu-ilmu alam, atau ilmu dengan riset yang didukung kuantifikasi.
*
Kini ijinkan saya menunjukkan kekurangan Sulak dalam tulisannya, “Sains dan Hal-
Hal Baiknya”.
Pertama-tama, ia keliru jika mengaitkan pandangan saya dengan “ketidaksukaan
pribadi” terhadap sains. Dasar pandangan saya kepada sains akan saya jelaskan dalam
beberapa paragraf mendatang, dan pasti bukan karena sains pernah menolak cinta saya
hingga saya tak tergila-gila `kepadanya.
Sekarang kritik saya kepada kritik Sulak: dalam mengedepankan “hal-hal baik” sains,
Sulak membandingkannya— bahkan mengkonfrontasikannya — dengan keyakinan
agama. Bagi saya, ini mirip menggebuki memedi sawah; kita merasa jadi kuat karena
bisa mengalahkan sesuatu yang hanya seram dalam khayalan orang.
Celakanya, Sulak hanya mengulang apa yang sudah sering dipakai sebagai penggebuk.
Kita yang pernah dengan asyik membaca novel Umberto Eco, “Il nome de la rosa”
(“The Name of the Rose”), sudah tahu bagaimana cerita fiktif yang seru dengan latar
Eropa abad ke-12 ini berakhir. Jorge, rahib tua yang mengharamkan humor dan
mencurigai pemikiran terbuka, kalah. Kita bertepuk. Kita lebih senang lagi William of
Baskerville menang. Tokoh ini personifikasi dari semangat keilmuan, orang yang
bekerja dengan pembuktian empiris; ia datang dari Inggris, dari mana empirisme
berkumandang lima abad kemudian. Nama “Baskerville” mengingatkan kita akan
salah satu cerita Sherlock Holmes, detektif yang memecahkan misteri kejahatan
dengan cara seorang virolog menemukan penyebab pilek jenis baru. Dengan kata lain,
thema “sains versus dogma” atau “sains versus agama” sudah lama dimamah biak, dan
kita umumnya setuju siapa yang harus diberi aplaus.
Sebab itu ketika saya mengemukakan pandangan kritis atas sains, saya sesungguhnya
(dan ini yang tak dipahami Sulak) ingin meletakkan perdebatan di dalam kancah
pemikiran yang jauh dari “Jorge-isme”. Kesempatan kali ini akan saya pakai dengan
mengundang Husserl.
Edmund Husserl (1859-1938), kita tahu, pelopor fenomenologi dengan pengaruh yang
luas dan panjang. Saya ikut mencicipi pengaruhnya sedikit ketika saya sebentar kuliah
di Fakultas Psikologi UI, di mana, waktu itu, fenomenologi membantu menjelaskan
banyak masalah psikologi sebagai ilmu.
Dalam karya besarnya terakhir, “Die Krisis der europaischen Wissenschaften und die
transzendentale Phänomenologie”, Husserl membahas krisis ilmu pengetahuan Eropa
dan peran fenomenologi transendental. Ia menunjukkan krisis itu menyangkut fondasi
ilmu-ilmu itu sendiri. Ia menyebut Galileo, yang oleh Einstein disebut sebagai “bapak
sains modern” sebagai seorang penemu besar dengan dua efek. Galielo, kata Husserl,
adalah “ein entdeckender und verdeckender Genius”, (“jenius yang menemukan dan
sekaligus menyembunyikan”).
Terobosan Galileo terbesar bukan dalam dunia astronomi, tapi, kata Husserl, dalam
merumuskan ide ilmu-ilmu alam sebagai sesuatu yang matematis, suatu pendekatan
yang di abad ke-7 sama sekali baru. Orang Italia yang dicurigai Gereja ini memang
terkenal dengan kesimpulannya bahwa alam semesta, “ditulis dalam bahasa
matematika, dan hurufnya adalah segitiga, lingkaran, dan bentuk-bentuk geometris
lain”.
Dengan pandangan itu, menurut Husserl, ilmu-ilmu alam memproduksi
“Geschlossenheit”, kerangka abstraksi yang tertutup bagi — dan menjauh dari — apa
yang kongkrit dan unik dalam pengalaman. Dengan sains modern yang dasarnya
diletakkan Galileo, dunia yang tercerap indra diselimuti “jubah idea”, “Ideenkleid”,
dan diberi makna baru. Keberhasilan perspektif ilmiah modern ini dahsyat, dan telah
mengubah bukan saja pengetahuan manusia tentang dunia, tapi juga manusia sebagai
subyek yang mengetahui. Bahkan mengubah arti rasionalitas itu sendiri.
Husserl memang tak membahas pemikiran Galileo seutuhnya, tapi kritiknya kepada
sains adalah alasan dasar yang kuat bagi fenomenologi sebagai pendekatan alternatif.
Dengan kritik Husserl kita bisa melihat bagaimana dunia yang diletakkan dalam
kerangka matematis merepresentasikan “Lebenswelt”, dunia kehidupan, dengan
mereduksinya — atau untuk memakai istilah Husserl, “menyembunyikan”-nya.
Memang dengan demikian sains bisa berkembang pesat, tapi ia lebih berperan sebagai
si pengubah dunia, bukan si penafsir — untuk meminjam dikotomi Marx tentang tugas
filsafat. Sains, dengan kecanggihan eksperimennya, dengan kapasitas mengkalkulasi
dan mengukurnya, makin berkembang menjadi “techne”, atau cara yang efektif dan
efisien mencapai hasil yang ditargetkan. Bersama itu, rasionalitas hanya berarti
“Zweckrationalität”, pengertian termashur yang diperkenalkan Weber; “akal
instrumental” ini mendominasi dunia modern dengan segala dampak negatifnya.
Dalam hubungan itulah Heidegger mengatakan bahwa “sains tidak berfikir”. Ucapan
kontroversial ini tak berarti ingin mengatakan bahwa sains adalah dunia kebodohan.
Bagi Heidegger — ia mengembangkan serta meradikalisir kritik Husserl — berfikir
berarti bukan (semata-mata) berfikir kalkulatif.
Dalam risalahnya, “Die Frage nach dem Ding”, Heidegger menguraikan lebih lanjut
keterbatasan sains dengan sifatnya yang matematis. Ia menjelaskannya dengan
merujuk makna yang tersirat dalam kata “ta mathemata”. Arti kata Yunani itu, menurut
Heidegger, “apa yang kita ketahui tentang hal ihwal lebih dulu”. Sains bersifat
matematis karena ia tidak menangkap realitas sebagai sesuatu yang langsung, tanpa
mediasi, tapi sudah terlebih dahulu diposisikan dalam kerangka. Jika Husserl
menyebut “Geschlossenheit”, Heidegger memperkenalkan istilahnya yang lebih
beredar, “Gestell”. Sains “membaca” realitas dalam bentuk sudah dalam pigura, dan
dengan itulah ia menangkap dan mengendalikan realitas. Menangkap dan
mengendalikan itu penting: dalam tatapan sains, dunia hadir sebagai reservoir, bahan
yang dicadangkan untuk sewaktu-waktu dipergunakan — yang menunjukkan, seperti
disinggung Heidegger, hubungan asali antara sains dan teknologi.
Dunia, tentu saja, tidak sekedar yang ada dalam ukuran itu. Sayangnya, para ilmuwan
sering tak sadar akan itu. Gaston Bachelard, yang bertentangan dengan Heidegger
dalam pandangannya tentang sains, mengakui: “Para saintis lebih meyakini realisme
pengukurannya ketimbang kenyataan obyeknya.”
Sebab itu para penganjur yang meyakini sains sebagai pemandu kehidupan di dunia
yang kongkrit dan sebab itu rumit — para penganut “scientiesm” yang disebut Popper
— hanya memperlihatkan pandangan yang sempit, tapi pongah. Setidaknya mereka tak
mengenal kritik atas sains yang berkembang dalam dunia pemikiran modern — bukan
dalam dunia ustad Felix Siauw.
Saya bisa mengerti jika Sulak punya harapan besar (jangan-jangan berlebihan?) ketika
ia terpesona mengikuti prestasi sains selama beberapa masa terakhir. Daya ilmu-ilmu
modern yang sejak Galileo didukung keampuhan matematis memang menyilaukan.
Tapi saya ingin mengingatkan, seorang matematikawan besar pernah menyebut
hubungan matematika dengan kekecewaan: ilmu ini sungguh muskil, dan kita gegabah
untuk begitu saja menggunakannya menerjemahkan semesta.
“We are told that by its aid the stars are weighed and the billions of molecules in a
drop of water are counted. Yet, like the ghost of Hamlet's father, this great science
eludes the efforts of our mental weapons to grasp it.” — Alfred North Whitehead,
dalam “An ntroduction to Mathematics”.
*
Demikianlah, Bung, jawaban dan penjelasan saya. Jika saya banyak menyebut nama-
nama yang keren, itu buat menunjukkan saya bukan sendirian — bukan pula punya
alasan pribadi —untuk tak memandang sains dengan mata berbinar-binar.

Anda mungkin juga menyukai