Anda di halaman 1dari 16

ANTI-POSITIVISME POPPER DAN KUHN

Ilmu pengetahuan seringkali diperdebatkan oleh para ahli, mulai dari definisi,
metode, dan kebenarannya. Pandangan positivisme mengatakan bahwa ilmu
pengetahuan sosial harus menggunakan pengalaman dan bukti empiris sebagai basis
dari ilmu pengetahuan dan penelitian (Tharakan, 2006). Pada pendeketan ini, apabila
seseorang melakukan penelitian harus menganalisa fakta-fakta dan data-data empiris
untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya sesuatu hal.
Berpikir positivististik artinya berpikir spesifik, empiris, dan logis. Paham ini menolak
adanya doktrin nilai yang subjektif, artinya harus ada fakta yang bisa diamati dan
penggunaan metode untuk membangun ilmu pengetahuan sehingga hal ini
menimbulkan perdebatan apakah ilmu pengetahuan sosial harus “diilimiahkan” atau
tidak karena metode kualitatif yang digunakan dalam penelitian sosial tidak
menemukan ketepatan dan sulit untuk dibuktikan secara empiris.
Anti positivisme mengkritik akan penggunaan kaidah dan fakta yang kaku
dalam penelitian sosial. Salah seorang tokoh yaitu Max Weber merupakan filsuf yang
memperkenalkan istilah antipositivisme. Menurut cara pandang ini, penelitian sosial
harus menggunakan metode dan alat bantu yang khusus dan menitikberatkan pada
nilai-nilai budaya dan kemanusiaan. Hal ini mengakibatkan kontroversi tentang
bagaimana membedakan antara penelitian subyektif dan obyektif. Untuk lebih
memahami tentang hal-hal tersebut kita akan mempelajari mengenai Falsifikasi dan
Paradigma Sains berdasarkan Popper dan Kuhn.

1. Paradigma Karl Raimund Popper


Karl Raimund Popper lahir pada tanggal 28 Juli 1902 di daerah Himmelhof,
wina, Austria dan meninggal pada tahun 1994. Ayahnya adalah seorang pengacara
profesional yang bernama Dr. Simon Siegmund Carl Popper, selain sebagai pengacara,
ayahnya tersebut juga memiliki ketertarikan akan karya-karya sastra dan membuat
Popper tumbuh di lingkungan yang gemar membaca buku. Popper sudah memiliki
ketertarikan dengan dunia keilmuan sejak ia masih berusia muda sedangkan ibunya
tertarik dengan musik. Ketertarikan ibunya dengan musik membuat Popper menjadi

1
orang yang memiliki pemikiran yang originalitas interpretasi antara dogmatis dan
pemikiran kritis, sehingga memiliki kekuatan dalam membedakan objektifitas dan
subyektifitas, selain itu Popper memiliki sikap melawan terhadap histrorisisme.
Pada usia 16 tahun Popper meninggalkan sekolah Realgymnasium yang
ditempuhnya, hal ini dikarenakan ia tidak senang dan bosan dengan pengajarannya dan
pada umur ke 17 Popper berhenti menjadi seorang komunis karena merasa sebagai
komunis seseorang tidak dibentuk untuk memiliki sikap yang kritis karena hanya
menerima dogma-dogma yang diberikan. Pada tahun 1918 Karl Raimund Popper
memutuskan untuk masuk ke University of Wina, namun Popper tidak mendaftar
secara resmi. Ia baru diterima masuk di university tersebut pada usia 20 tahun. Popper
mengikuti perkuliahan dengan berbagai mata pelajaran mulai dari sains hingga sosial
seperti psikologi namun dia berhenti dan fokus pada matematika serta fisika yang
dianggapnya logis.
Pada masa belajarnya di universitas, perang dunia I sedang berlangsung.
Hongaria dan Austria mengalami kekalahan, sehingga membuat perekonomiannya
memburuk yang mengakibatkan terjadi kelaparan dan kerusuhan di setiap daerah. Saat
itu terjadi Popper sempat mengikuti perkumpulan pelajar sosialis dan pengagum
marxisme, tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama karena selang beberapa saat
kemudian Popper mengalami kekecewaan terhadap kelompok tersebut. Hal ini
dikarenakan banyak terjadi pembataian dan penindasan pemuda yang beraliran sosialis
dan komunis, kejadian ini juga membuat teman-teman Popper banyak yang terbunuh.
Berdasarkan pengalaman yang tidak menyenangkan tersebut Popper mengakui
ungkapan yang diberikan Socrates mengenai ketidaktahuan. Selain itu Popper juga
menemukan teori psikoanalisis dari freud dan adler. Namun hal tersebut tidak
berlangsung lama, sebab banyaknya pihak yang melakukan kritik terhadap teori-teori
yang sudah diyakini Popper, sehingga membuat Popper melakukan pemikiran ulang
terhadap teori para ahli tersebut agar teori tersebut bisa di falsifikasi (Bertens, 1985)

Salah satu peristiwa yang mempengaruhi perkembangan intelektual Popper


dalam filsafatnya adalah dengan tumbangnya teori Newton dengan munculnya Teori

2
tentang gaya berat dan kosmologi baru yang dikemukakan oleh Einstein. Popper
terkesan dengan ungkapan Einstein yang mengatakan bahwa teorinya tak dapat
dipertahankan kalau gagal dalm tes tertentu, dan ini sangat berlainan sekali dengan
sikap kaum Marxis yang dogmatis dan selalu mencari verifikasi terhadap teori-teori
kesayangannya. Dari peristiwa ini Popper menyimpulkan bahwa sikap ilmiah adalah
sikap kritis yang tidak mencari pembenaran-pembenaran melainkan tes yang krusial
berupa pengujian yang dapat menyangkal teori yang diujinya, meskipun tak pernah
dapat meneguhkannya.
Pada perkembangan selanjutnya ia banyak menulis buku-buku yang berkaitan
dengan ilmu pengetahuan dan epistemology dan sampai pada bukunya yang berjudul
Logik der Forschung, ia mengatakan bahwa pengetahuan tumbuh lewat percobaan dan
pembuangan kesalahan, karyanya terus berkembang sampai karyanya yang berjudul
The Open Society and Its Enemies, dalam karyanya ini Popper mengungkapkan bahwa
arti terbaik “akal” dan “masuk akal” adalah keterbukaan terhadap kritik, kesediaan
untuk dikritik, dan keinginan untuk mengkritik diri sendiri (Bertens, 1985).
Popper menarik kesimpulan bahwa menghadapkan teori-teori pada fakta-fakta
yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya adalah satu-satunya cara yang tepat untuk
mengujinya dan juga satu-satunya cara yang menungkinkan ilmu pengetahuan bisa
berkembang terus menerus, dengan adanya kemungkinan untuk menguji teori tentang
ketidakbenarannya berarti teori itu terbuka untuk di kritik dan ia memunculkan apa
yang dinamakan Rasionalisme kritis. Karya-karyanya yang berpengaruh dalam ilmu
filsafat diantaranya:

1. The Logic of Scientific Discovery (1959), yang sebelumnya sudah terbit dalam
seri yang dipimpin oleh beberapa anggota Vienna Circle pada tahun 1934 berjudul
Logik der Forschung (Logika Penelitian). Buku ini disambut baik sehingga menjadikan
Popper sebagai seorang filsuf ternama.

2. The Open Society and its Enemies dan The Poverty of Historicism (1945). Pada
buku pertama, Open Society and its Enemies, Popper memberikan analisa dan kritik
pada tiga tokoh, yaitu Plato, Hegel dan Marx. Di buku kedua, The Poverty of

3
Historicism, ia menunjukkan bahwa ketiga pemikiran tersebut pada dasarnya adalah
ramalan sejarah, dia menyebutnya sebagai historisisme, yang berubah menjadi ideologi
dan cenderung bersifat totaliter (tidak bisa/mau dikritisi apalagi disalahkan). Dalam
buku ini juga ia mencoba untuk menerapkan gagasan-gagasannya tentang metode
ilmiah pada ilmu pengetahuan sosial.

a. Historisisme
Popper, sebagaimana tertulis dalam bukunya The Poverty of Historicism,
menjelaskan “historisisme” dengan pengertian: suatu pendekatan ilmu-ilmu sosial
yang mengasumsikan bahwa prediksi sejarah adalah tujuan utama; dan mengasumsikan
bahwa tujuan tersebut dapat dicapai dengan menemukan “ritme”, “pola”, “hukum”,
atau “tren” yang mendasari evolusi arah sejarah. Ia mengkritik historisisme karena
dianggap sebagai teori yang deterministik, utopis, dan terjebak pada totalitarianisme.
Popper mengatakan, tidak ada teori pengetahuan/epistemologi yang bersifat
tunggal, melainkan bersifat evolutif dan berkompetisi juga bersifat hipotesis dan
konjektural sehingga teori pengetahuan tidak bisa menjadi sebuah dogma yang berlaku
sepanjang sejarah, karena harus bisa dikritisi dan bahkan disalahkan. Teori Popper
yang membahas hal tersebut adalah falsifikasi, yaitu sebuah penemuan atau teori
bersifat ilmiah karena dapat diuji (testable). Jika teori itu diuji dengan bukti empiris
yang lemah, maka teori pengetahuan lama justru diperkokoh atau diperkuat
kebenarannya (corroboration), namun jika diuji dengan bukti empiris yang lebih kuat,
maka teori pengetahuan lama otomatis terbukti salah. Dengan prinsip inilah ilmu
pengetahuan berkembang dan terhindar dari pembakuan yang bisa menjatuhkan ilmu
menjadi mitos dan idelogi.
Melalui logika epistemologi inilah kemudian Popper mengkritik para imam
historisisme, seperti Hegel dan Marx. Menurut Popper, jelas tidak mungkin bagi kita
menentukan keniscayaan masa depan sejarah. Selain terlalu utopis, ide Hegel tentang
sejarah masyarakat, kata Popper, bersifat totalitarianistik, dan ide Marx juga terasa
deterministik. Tindakan individu atau suatu reaksi tidak dapat diprediksi secara pasti,
oleh karenanya sejarah masa lalu selalu memiliki keunikan tersendiri begitupun

4
peristiwa masa depan juga akan memiliki keunikan tersendiri. Keduanya hanya dapat
diprediksi, namun tidak dapat ditentukan. Jadi, kaum historisisme secara mendasar
telah secara terang mengabaikan konstribusi, tanggung jawab, dan kebebasan individu
dalam gerak evolusi sejarah.
Memang benar dalam gerak sejarah selalu terdapat pola dan tren yang tak
terelakkan. Namun, satu kelemahan mendasar ide historisisme Hegel dan Marx kata
Popper adalah terlalu terburu-buru menentukan akhir sejarah. Mereka lupa bahwa
sejarah seluruh masyarakat tidak mungkin diungkap secara utuh. Pasalnya, deskripsi
sebagai media pengungkapan selalu bersifat terbatas. Apabila pengungkapan terhadap
sejarah itu terbatas, maka manusia tidak dapat mengetahui apalagi menentukan
bagaimana masa depan sejarah itu sendiri.
Satu lagi kealpaan historisisme adalah hasrat yang kuat untuk selalu
mewujudkan akhir sejarah masyarakat sesuai dengan yang dicita-citakan dalam “tren”
sejarah yang dipahami. Padahal, menurut Popper, tujuan masyarakat dapat lebih
berguna apabila dianggap sebagai masalah “pilihan” bagi masyarakat tersebut, bukan
ditentukan berdasarkan hal yang telah “ditentukan”.

b. Falsifikasi
Dalam bahasa latin kata Falsifikasi berarti falsus, yaitu palsu atau tidak benar
dan facere adalah membuat, sehingga Falsifikasi adalah cara mengkonfirmasi suatu
teori mengunakan data-data yang berlawanan dengan teori tersebut. Data-data tersebut
diambil dari hasil eksperimen yang tidak membuktikan hasil dari teori tersebut,
mekipun hasilnya berasal dari observasi.
Berdasarkan hal tersebut Popper melawan penjelasan dari kaum neopositivisme dengan
prinsip falsifikasi. Ia mengemukakan bahwa hal tersebut bukan untuk menyatakan
kebenaran dari sebuah pernyataan ilmiah, namun hal tersebut hanya sebuah teori untuk
membedakan suatu metode tersebut ilmiah atau tidak ilmiah. Sedangkan kata isme
berdasarkan kamus adalah suatu paham atau aliran. Sehingga istilah
Falsifikasionalisme memiliki arti suatu metodologi yang digunakan untuk
membuktikan kebenaran dari keilmuan itu sendiri melalui pencarian data yang salah.

5
Kebenaran dari suatu ilmu pengetahuan merupakan suatu aspek yang mendasar
dari sebuah pemikiran kefilsafatan dan dunia keilmuan yang pada akhirnya
melahirkan aliran rasionalisme dan empirisme serta melahirkan aliran kritisisme
sebagai penengah dari kedua aliran tersebut. Hingga kemudian munculah aliran
positivisme dan neo positivisme sebagai jawaban dari dunia keilmuan. Namun di
tengah itu semua, pada akhirnya Popper muncul dengan alirannya, yaitu
Falsifikasionalisme yang berlandasan mengenai epistimologis rasionalisme kritis dan
empirisme kritis. Falsifikasionalisme yang dikemukakan Popper didasari oleh
pemikiran dari hasil observasi, eksperimen, dan komparasi suatu kajian ilmiah.
Falsifikasi diciptakan oleh Popper untuk membantu keluar dari suatu demarkasi
(pemisah) ilmu pengetahuan yang dibanggakan oleh kaum positivism karena mereka
membatasi ilmu pada bidang ilmiah saja dan mengesampingkan ilmu sosial. Secara
singkat, falsifikasi digunakan sebagai pembatas ruang keilmiahan suatu teori.
Popper berpikir bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia tersebut bukanlah
hasil dari pemikiran manusia itu sendiri melainkan dari adanya suatu kewajiban yang
harus dijalani olehnya. Kewajiban yang harus diselesaikan oleh manusia sendiri
merupakan sebuah ungkapan untuk menuntut manusia tersebut untuk memiliki
kemampuan untuk menghadapi suatu hal berdasarkan pengalamannya namun selalu
bersifat tentative, yaitu kebenaran selalu bersifat sementara yang dikarenakan bahwa
suatu kebenaran harus dibuktikan dengan berbagai pengujian ketat namun masih
berdiri diatas landasan raionalisme dan empirisme kritis. Konteks inilah yang
mendorong Popper membangun logikanya sendiri dalam studi ilmiah, yang terdiri
dari dua prinsip utama yaitu testability dan falsifiability. Dengan prinsip yang
pertama, Popper menyatakan bahwa sebuah pernyataan ilmiah harus bisa diuji
kebenarannya (testable) melalui suatu metode empiris. Pengujian ini dilakukan untuk
melihat kemungkinan apakah pernyataan tersebut bisa dibuktikan kesalahannya atau
tidak (falsifiable).
Namun sebenarnya pemosisian verifikasi dan falsifikasi secara binner juga
tidak tepat karena melalui metode falsifikasi ini tidak memiliki kaitan dengan makna
sebuah pernyataan melainkan demi membuat sebuah batasan-batasan keilmiahan

6
suatu teori. Bila sebuah teori terbukti tidak ilmiah karena tidak lulus uji falsifikasi
atau bersifat metafisis, hal itu tidak kemudian mengandaikan bahwa teori tersebut
tidak bermakna (meaningless, nonsensical).
Teori psiko-analisis Freud misalnya, mungkin telah memberikan sumbangsih
tertentu yang membawa kemajuan dalam bidang psikologi. Namun sayangnya teori
itu, walaupun telah diracik sedemikian mungkin dari sebuah penelitian tertentu, tetap
saja tidak dapat memperoleh status ilmiah. Tidak seperti Positivisme, Popper masih
memperhitungkan pseudo-sciences sebagai salah satu sumber pengetahuan dan tetap
bermakna dalam lingkaran studi masing-masing. Oleh Karena itu, pemosisian
verifikasi vis a vis falsifikasi yang telah dilakukan angota Lingkaran Wina telah
membuat kontribusi Popper menjadi tidak bermakna. “It was not I who introduced
them into the theory of meaning.” (Popper, 1968). Sebagai pemikir yang terlahir di
kota Wina, di mana Positivisme Logis berdiri, diakui atau tidak, Popper banyak
dipengaruhi oleh teori-teori positivistik, hal ini terlihat dari pemaparan sebelumnya
bahwa Popper mensyaratkan testability dan falsifiability sebagai tolok ukur apakah
sebuah pernyataan bisa disebut ilmiah atau tidak. Dua syarat ini dijadikan sebagai
prinsip dari sebuah prosedur ilmiah yang dilakukan secara empiris. Dengan kata lain,
pengalaman empiris tetap menjadi menjadi syarat keilmiahan suatu pernyataan. Di
sinilah kita menemukan bahwa, di satu sisi, falsifikasi menjadi tali penghubung antara
pemikiran Popper dan para pemikir dari aliran Positivisme dan Empirisme. Jika
dilihat dari sisi yang berbeda, falsifikasi juga menunjukkan karakter khas yang
membedakan Popper dari para pemikir di Lingkungan Wina. Para pemikir di
Lingkungan Wina berfokus pada makna dari suatu pernyataan atau teori karena
verifikasi sebagai tolok ukurnya, sementara Popper mencoba membangun sebuah
tembok pemisah antara teori ilmiah dan dan yang non-ilmiah, disinilah falsifikasi
menjadi identitas yang khas pada Popper.
Istilah verifikasi berasal dari bahasa latin, Verus (benar), facere (membuat).
Verifikasi merupakan salah satu metode untuk memastikan apakah suatu pernyataan
(proposisi) benar atau salah dengan menggunakan metode empirik. Istilah ini
digunakan oleh Kelompok Wina yang menganut Positivisme Logis yang meyakini

7
bahwa suatu pernyataan dianggap bermakna bila dapat dibuktikan dengan data-data
inderawi, dan dikatakan benar bila data tersebut membenarkannya. Diyakini di sini
bahwa kebenaran suatu teori bergantung pada pembuktian empiris yang menyokong
keabsahan teori tersebut. Metode ini dijalankan secara induktif. Artinya, seorang
pengkaji melakukan observasi dengan mengumpulkan data-data empiris yang
berkenaan dengan teori yang sedang dikaji. Hasil observasi ini nantinya yang akan
‘menghitam-atau-putihkan’ teori tersebut (Bagus, 2002)
Contoh dari verifikasi yang paling terkena adalah mengenai pembuktian
tentang Angsa adalah unggas yang berwarna putih. Untuk membuktikan kebenaran
statemen ini, peneliti mengadakan penelitian untuk menemukan dan mengumpulkan
data empiris yang bisa mengkonfirmasi kebenaran ungkapan tersebut, dengan metode
ini, status ‘benar’ bagi suatu teori memang diperoleh melalui uji verifikasi yang ketat
dan terjamin namun proses verifikasi hanya diwarnai dengan usaha pencarian
pembenaran bagi teori yang sedang diteliti. Hal ini berkenaan dengan metode induksi
yang diadopsi dalam praktik verifikasi. Masalah ini akan dikupas pada pembahasan
berikutnya.
Uji verifikasi yang hanya berfokus pada pencarian data yang akan
membuktikan kebenaran suatu teori, adalah proses yang mudah dilakukan dan karena
itu tidak layak dijadikan patokan. Usaha mengkonfirmasi suatu teori mestinya
dilakukan dengan mencari data yang bertentangan dengan teori tersebut, sebab teori
yang bagus bukanlah teori yang hanya dihiasi dengan pembenaran-pembenaran,
melainkan teori yang mampu untuk tetap tegak di hadapan data-data yang
menyangkalnya (Popper, Conjectures and Refutations; The Growth of Scientific
Knowledge, 1963, pp. 51-53)

Popper menyebut aliran filsafatnya dengan nama rasionalisme kritis, dari kata
“rasio” dan “kritik”. Menurutnya salah satu cara terbaik untuk mempraktekkan sikap
rasional adalah dengan selalu rela menerima kritik dan senantiasa mengkritik diri

8
sendiri. Dengan begitu ilmu pengetahuan akan semakin mendekati kebenaran dan
mengalami kemajuan.
Buku Popper yang berjudul The Open Society and Its Enemies, selain
mengandung butir-butir perenungan mendalam terhadap realitas sosial politik pada
zamannya, juga berisi catatan kritis Popper tentang pemikiran beberapa filsuf klasik
maupun modern. Catatan kritis tersebut sekaligus dimaksudkan sebagai respon Popper
terhadap sosial politik pada zaman itu.
Istilah “masyarakat terbuka” (open society) kali pertama diperkenalkan oleh
Henri Bergson dalam bukunya Two Sources of Religion and Morality yang terbit pada
1932. Popper meneruskan ide Bergson sekaligus menegaskan bahwa “masyarakat
terbuka” memberi ruang lebih luas bagi sisi kemanusiaan yang fundamental. Gagasan
“masyarakat terbuka” Popper kontradiktif dengan iklim sosial politik dan budaya
masyarakat tertutup yang mengidolakn totaliarinisme, heteronomistik, otoritarianisme,
dan feodalisme yang memang selama ini ditentang dalam pemikiran-pemikirannya.
Menurut Popper, bentuk pemerintahan yang dari sudut logis dan ilmiah tata negara
yang paling cocok adalah masyarakat terbuka atau demokratis, karena warga negara
diberikan kesempatan untuk mengemukakan kritik dan mengusulkan solusi-solusi bagi
masalah yang dihadapi, dan politik pemerintah dapat menggunakan solusi tersebut
untuk menyelesaikan permasalahan. Sama halnya dengan filsafat ilmu pengetahuan
yang dikemukakannya, ia juga menganggap kritik sebagai jalan yang paling tepat untuk
menghasilkan susunan kemasyarakatan yang memadai, dimana kebebasan terjamin
secara optimal.

2. Paradigma Thomas Kuhn


Dalam buku Filsafat Ilmu Pengetahuan, Dua menjelaskan bahwa teori Kuhn
memuat dua tesis utama. Yang pertama menyatakan bahwa setiap ilmu pengetahuan
selalu memiliki pandangan dasar atau paradigma, yang terdiri dari unsur-unsur teori,
pengembangan hipotesis ad hoc, serta kerangka metodologinya, sebagai hasil dari
prestasi komunitas ilmiah. Menurut Dua, Kuhn sendiri kesulitan ketika diminta
penjelasan mengenai arti paradigma. Namun intinya dia menjelaskan bahwa dalam

9
kenyataannya setiap komunitas ilmiah akan selalu memegang teguh suatu paradigma,
karena paradigma tersebut menawarkan kepada para ilmuwan apa yang menjadi
masalah pokok ilmu dan bagaimana harus memecahkannya. Jadi Kuhn ingin
menyatakan bahwa paradigma tersebut dapat menerangkan kepada ilmuwan hal-hal
mendasar yang membentuk dan memberi makna dan pemahaman kita tentang dunia.
Selain itu, paradigma juga dapat menunjukkan kepada kita apa yang seharusnya
menjadi objek penelitian serta menyajikan kerangka penjelasan teorietis atas data-data
yang ada di hadapan ilmuwan (Dua, 2001)

Berikut ini adalah beberapa konsep penting dalam teori Kuhn yang didasarkan
pada sejarah perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.

1.Ilmu Pengetahuan dan Sejarah Ilmu


Menurut Kuhn dalam teori barunya, ia lebih tertarik untuk terlebih dahulu
mengacu pada proses perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri ketimbang pada
produk yang dihasilkannya. Jadi apa yang dilakukan Kuhn adalah mencoba menggeser
subyek ilmu pengetahuan kepada aktivitas ilmu pengetahuan. Dengan demikian, ia
menggeser analisis logis dan eksplanasi ilmu pengetahuan sebagai suatu produk yang
telah mapan kepada suatu eksplanasi natural atau historis dari proses saintifik itu
sendiri. Menurut pandangan tradisional, ilmu adalah sejumlah akumulasi fakta yang
ditemukan oleh individu tertentu dalam suatu periode tertentu dalam sejarah. Dengan
demikian menurut Kuhn, sebaiknya beberapa teks dan dokumen ilmu pengetahuan
dibaca dalam konteks sejarah masing masing untuk mempertahankan integritas
mereka. Kuhn mengambil contoh, dalam Copernican Revolution, bahwa penemuan
Coprenicus sejatinya tidak lebih observasional ketimbang penemuan Ptolemy. Tentu
saja jika keduanya dibaca dalam konteks sejarah masing masing. Revolusi
historiografis inilah yang menjadi acuan Khun dalam merumuskan teori struktur
revolusi saintifik-nya. Historiografi baru akan membentuk suatu cara pandang baru
dalam menjawab pertanyaan tentang bagaimana ilmu pengetahuan dipahami secara
filosofis (Musadad, 2017).

10
2. Paradigma
Menurut Dua, ilmu pengetahuan normal merupakan suatu penelitian yang
memiliki hubungannya dengan paradigma sebagai prestasi dari suatu masyarakat
ilmiah pada suatu periode tertentu. Paradigma tersebut menentukan mana yang pantas
dan mana yang tidak pantas untuk diselidiki. Karena itu, paradigma memungkinkan
dan mengarahkan penelitian yang semakin lama semakin mendalam jadi teori ilmiah
baru yang muncul sebagai hasil dari penelitian atas fakta sudah dapat diterima, tidak
karena pengujian yang ketat menurut prinsip falsifikasi. Selain itu, Khun memberikan
prioritas terhadap paradigma dibandingkan terhadap logika dan aturan-aturan
metodologi ilmiah. Ia mengakui bahwa paradigma, meskipun tidak begitu jelas dan
pasti, lebih mudah diidentifikasi dibandingkan dengan usaha untuk menemukan auran
ilmiah (Dua, 2001).
Menurut Dua, dalam hal ini Kuhn dicap mengabaikan aturan ilmiah dengan
memberikan prioritas pada paradigma. Kuhn menjawab kritik tersebut dengan
menyatakan bahwa kita tidak bisa menjelaskan nama suatu benda hanya dengan
menyebut ciri-cirinya, sebab ciri-ciri yang eksplisit tidak dapat menjelaskan apa yang
kita pahami tentang benda tersebut. Namun menurut Kuhn, nama suatu benda dapat
dipahami dalam suatu konteks tertentu. Maksudnya, Kuhn mencoba menjelaskan
bahwa ilmuwan selalu bekerja menurut suatu kerangka paradigmatis yang sudah dia
peroleh mealui proses pembelajaran dan kegiatan penelitian yang ia lakukan (Dua,
2001).
Beberapa argumentasi Kuhn untuk menunjukkan bahwa paradigma lebih mengikat dan
bahkan lebih lengkap dari aturan adalah sebagai berikut:
a. Menemukan aturan lebih sulit daripada menemukan paradigma
b. Ilmuwan tidak pernah secara abstrak mempelajari konsep, aturan dan teori.
Setiap teori selalu ditemukan pada saat bersamaan dengan pemakaian teori
tesebut dalam bidang-bidang tertentu.
c. Paradigmalah yang memimpin penelitian secara langsung. Ilmu pengetahuan
berjalan normal sejauh kita berada dalam sebuah paradigma: dalam suatu

11
diskusi yang luas dan mendalam tentang metode, masalah dan pemecahannya.
Ilmu pengatahuan normal berjalan dalam rambu-rmbu suatu paradigma
tertentu.
d. Kemungkinan untuk terjadinya revolusi paradigma masih terbuka luas di masa
mendatang karena ilmu pengetahuan normal bukanlah suatu kegiatan yang
monolitis dan tertutup. Sebaliknya, melalui paradigma, keanekaragaman
bidang-bidang ilmu pengetahuan akan mudah dipahami (Dua, 2001).

3.Revolusi Ilmu Pengetahuan


Menurut Kuhn, ilmu pengetahuan berkembang secara revolusioner dari
satu paradigma ke paradigma yang lainnya. Setiap ilmuwan jaman dulu menggunakan
paradigmanya masing-masing sesuai kemajuan konteks jaman itu dan telah memiliki
pencapaian-pencapaian tertentu. Namun hal ini berbeda dengan pandangan tradisional
yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan itu sendiri seluruhnya berisi tentang
tahapan tahapan revolusi saintifik yang dimaksud oleh Kuhn. Berikut ini akan disajikan
beberapa perkembangan fase paradigma seperti yang digagas oleh Kuhn.

Fase Pra-Paradigma.
Menurut Kuhn, fase ini disebut juga dengan fase ketidakmatangan ilmu. Fase
ini merupakan sebuah periode yang memakan waktu lama. Di sini penelitian-penelitian
keilmuan mengenai hal-hal tertentu dilakukan tanpa arah dan tujuan tertentu. Pada
periode ini muncul para tokoh ilmu pengetahuan yang masing-masing membawa
pandangannya sendiri tentang apa itu sain. Menurut Kuhn, pada fase ini belum ada
usaha yang serius dan sistematis untuk mengevaluasi teori tersebut. Dalam hal ini,
belum ditemui adanya suatu paradigma tunggal yang secara langsung mendefinisikan
ilmu pengetahuan dan mengatur praktek ilmiahnya (Musadad, 2017).

Fase Sains Normal.


Kuhn menulis bahwa untuk menjadi sebuah ilmu pengetahuan, sebuah disiplin
ilmu harus mencapai suatu kesepakatan bersama dan tinggal dalam payung paradigma

12
yang sama. Dari antara berbagai sains yang berkembang pada fase pra-paradigma,
kemudian akan muncul salah satu aliran pemikiran atau teori yang kemudian
mendominasi disiplin-disiplin teori atau ilmu lainnya.
Aliran-aliran pemikiran filsafat lainnya mengakui superioritas aliran pemikiran
yang dominan ini. Dalam hal ini, ia menjanjikan pemecahan masalah yang lebih akurat
dan masa depan penelitian yang lebih maju sehingga ia lebih dominan dibanding
pesaingnya. Ketika suatu konsensus telah dicapai, Kuhn mengklaim bahwa para saintis
telah mulai menyentuh sains normal. Prasyarat sains normal adalah adanya suatu
komitmen terhadap adanya suatu paradigma bersama yang akan menentukan aturan
main dan seluruh tolok ukur standar dalam praktek ilmiah. Saintis “normal” (normal
scientis) tidak akan membuat penemuan-penemuan baru di luar paradigma yang
berlaku. Pengakuan terhadap paradigma tersebut akan mengundang para ilmuwan
untuk menggunakan paradigm tersebut (Musadad, 2017).

Fase Anomali dan Krisis


Kuhn menulis bahwa pada masa ini, ilmu pengetahuan, baik dalam contoh
praktik ilmiah maupun matriks-matriks disipliner tidak dapat lagi diandalkan dalam
memecahkan persoalan yang muncul. Munculnya masalah yang sangat krusial dan tak
terpecahkan, tidak hanya membuat para ilmuwan menjadi kebingungan, namun ia juga
melahirkan krisis dalam suat komunitas ilmiah. Mulai saat itulah mereka mulai
mempertanyakan paradigma yang berlaku selama ini. Kuhn mengistilahkan hal ini
sebagai “kekerasan alamiah” yang akan mengguncang ekspektasi paradigma yang
sedang berlaku di suatu komunitas ilmiah selama masa praktis sains normal. Itu tidak
berarti bahwa anomali pada dasarnya tidak memfalsifikasi paradigma, ia hanya sebatas
meragukan ekspektasinya dalam menjawab persoalan ilmiah yang muncul. Setelah
bermunculan banyak anomali, dalam komunitas ilmiah akan bermunculan kelompok-
kelompok ilmuwan yang saling bersaing untuk memecahkan masalah penelitian
masing-masing. Di sini terjadi persaingan dan pertimbangan yang serius. Dalam hali
ini, siapa yang menang menentukan keberlakuan suatu paradigma. Masa inilah yang
disebut Kuhn sebagai periode kekacauan profesional atau dalam kata lain disebut juga

13
dengan masa krisis. Krisis tersebut merupakan hasil hasil dari rusaknya paradigma dan
ketidakmampuannya untuk memberikan penyelesaian terhadap seluruh atau sebagian
teka-teki ilmiah. Masyarakat ilmiah kemudian akan mempertenyakan kredibilitas
sebuah paradigma dalam membimbing penelitian ilmiah. Selain itu Marcum juga
menyatakan, kakteristik utama dalam masa krisis ini ditandai dengan adanya proliferasi
teori. Namun sekali lagi, Kuhn menekankan bahwa respon masyarakat pada masa krisis
ini tidak sampai pada titik meninggalkan paradigma. Melainkan berusaha mencari
solusi untuk mengatasi anomali yang ada dalam rangka mempertahankan penggunaan
paradigma yang berlaku (Musadad, 2017)

Fase Munculnya Paradigma Baru


Kuhn berpendapat bahwa salah satu aliran pemikiran yang muncul akan bisa
mengatasi masalah-masalah sains dan kemudian mampu menggeneralisasi serta
menjanjikan masa depan penelitian ilmiah yang lebih baik. Dalam tahap ini, segala
yang disebut simpangan paradigm justru akan dipandang sebagai ilmu pnegetahuan
yang normal. Perubahan tersebut merupakan titik klimaks dari revolusi ilmu
pengetahuan Kuhn. Ia sendiri menjelaskan hal tersebut sebagi "episode perkembangan
non-kumulatif di mana sebuah paradigma yang lebih tua diganti secara keseluruhan
atau sebagian oleh paradigma baru yang lebih tepat.
Awalnya tidak semua komunitas ilmiah segera menerima paradigma baru.
Meskipun demikian, mereka secara diam-diam menerapkan metode-metode, prinsip-
prinsip teoretis, asumsi-asumsi metafisis, dan standarstandar evaluasi yang dibawa oleh
paradigma baru dalam memecahkan masalah. Akhirnya, perlahan-lahan anggota
komunitas ilmiah menerima paradigma baru tersebut. Mereka yang tidak menerima
paradigma baru ini kemungkinan dikeluarkan dari komunitas ilmiah. Kuhn memberi
contoh dari sejarah ilmu di masa lalu, dimulai ketika terjadi pergeseran dari geosentris
menuju heliosentris dan revolusi minor seperti penemuan sinar-X atau oksigen.
Contoh-contoh itu memperlihatkan situasi yang memunculkan suatu paradigma baru
yang berhasil mengatasi anomali pada masa krisis. Salah satu dampak utama dari
revolusi tersebut adalah perubahan pandangan dunia yang menaungi para ilmuwan

14
dalam seluruh aktivitas ilmiah mereka. Akhirnya akan didapatkan pergantian
paradigma yang menyebabkan para ilmuwan melihat dunia mereka secara berbeda.
Kuhn menyimpulkan bahwa paradigma baru ini menjadi fase sains normal hingga tiba
pada kemajuan ilmu pengetahuan tahap berikut, yang memiliki cara pandang lebih baru
lagi sehingga menghasilkan paradigma baru (Musadad, 2017).

15
Daftar Pustaka

Bagus, L. (2002). Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.

Bertens. (1985). Pengantar Filsafat Jilid 1. Jakarta: Gramedia.

Dua, M. (2001). Filsafat Ilmu Pengetahuan. Maumere: Ledalero.

Popper, K. (1963). Conjectures and Refutations; The Growth of Scientific Knowledge.

Popper, K. (1968). The Logic of Scientific Discovery. Hutchinson.

Tharakan, K. (2006). Methodology of Social Sciences: Positivism, Anti-Positivism,


and the Phenomenological Mediation. . The Indian Journal Of Social Work,
Volume 67, Issue 1, January–April.

Musadad, A. (2017, September 14). Retrieved from


https://www.academia.edu/10100788/THOMAS_KUHN_DAN_REVOLUSI_
PENGETAHUAN ?auto=download: https://www.academia.edu

16

Anda mungkin juga menyukai