NIM : 2190120005
RESUME BUKU
HALAMAN 153-297
Teori dalam disiplin sejarah biasanya dinamakan “kerangka refernsi” atau “skema
pemikiran”. Dalam pengertian lebih luas, teori adalah perangkat kaidah yang memandu
sejarawan dalam penelitiannya, dalam menyusun bahan-bahan (data) yang diperolehnya dari
analisis sumber, dan dalam mengevaluasi hasil penemuannya (Alfian, 1992:362).
Karakteristik teori dalam ilmu sejarah pada dasarnya tidak berbeda dengan teeori-teori
ilmiah (saintifik) pada umumnya. Menurut Persy S. Cohen (1969) dalam Ibrahim Alfian
(Basis, 1992:363), definisi teori saintifik adalah sebagai berikut.
Hakikat teori sejarah adalah gerak yang tumbuh dan berkembang secara evolusi karena
menggambarkan peristiwa sejarah masa lampau secara kronologis. Urutan secara kronologis
merupakan pokok teori untuk menggambarkan gerak sejarah.
Teori adalah hulu atau kepala sumber suatu proposisi ilmiah. Caranya adalah melalui
prosedur penelitian dengan menggunakan hipotesis-hipotesis kemudian dibuktikan dengan
data-data yang dikumpulkan. Jika uji hipotesis benar, teori dipertahankan. Jika hipotesis
tidak terbukti, diciptakan teori baru. Setiap teori sejarah dapat dibuktikan dengan
mengumpulkan contoh-contoh yang menguatkan untuk diselaraskan dengan pola-pola yang
diterapkan dalam membuktikan kebenaran dari teori sejarah. Sejarawan di dalam kasus yang
serupa boleh menerima atau menyanggah pernyataannya dengan mengacu pada penguasaan
dari tori dan tempat mendapatkan sumber data, tetapi di sana selalu tertinggal suatu yang
trsisa dari hasil riset atau bukti pendukung dan penilaian pribadi yang lahir dari teori yang
telah dilahirkan. Pembaca yang cerdas akan melihat dari narasi sejarah melalui pengarang
sebagai seorang sejarawan, menuliskan dengan bukti/fakta disertai teori sejarah yang
disepakati, dalam hal apapun. Inilah salah satu jalan yang dijadikan bkti terhadap kebenaran
sejarah.
Teori sejarah yang menjadi pokok uraian dari tulisan ini, akan mmbahas tentang teori-
teori lainnya dari sejarah. Akan tetapi sebelum akan dibahas sekilas beberapa teori sejarah
yang umumnya dikenal.
Untuk memudahkan memahami atau membuat cerita sjarah yang ilmiah dan dapa
dipertanggungjawabkan kebenarannya diperlukan teori-teori sejarah. Ada beberapa teori
yang telah diciptakan oleh ilmuwan sejarah kenamaan, diantaranya hukum fatum, teori
progressif linear Ibn Khaldun, Giambatista Vico, teori sejarah penyelamatan St Agustinus,
teori challenge and response, dari Arnold J Toynbee, teroti sejarah menurut William H
Frederick, teori sejarah Mutadha Muthahari, teori Hegel, teori Karl Marx, heolothic theory,
cultural revolution theory, cultural change theory, Oswald Spengler, Patirim Sorokin.
Pada tahun 1919, Popper yang terksan pada Eisntein, membuat pernyataan penting
bahwa sikap ilmiah adalah sikap kritis yang tidak mencari pembenaran, tetapi dengan suatu
pengujian yang dapat menyangkal teori yang diujinya.
Popper mengkritik empirisme logis, dan kritikannya banyak dituangkan dalam salah satu
karyanya, The Logic of Scientific Discovery, tetapi pandangannya justru memperkuat
empirisme logis. Secara garis besar, pokok-pokok pemikiran Popper dapat dijelaskan sebagai
berikut:
Pertama, Popper tidak setuju dengan pembedaan antara ungkapan yang bermakna
(meaningfull) dan tidak bermakna (meaningless) dengan verifikasi sebagai kriterium.
Kedua, sehubungan dnga falsifikasi, ia menolak pembenaran maslah induksi yang
ditawarkan oleh Neopositivisme. Ketiga, struktur logis ilmiah Popper sama dengan
empirisme logis dalam siklus empiris. Keempat, epistimologi Popper dijuluki epistimologi
pemecatan masalah. Bagi Popper, pengetahuan atau penelitian akan diawali dengan masalah
Kelima, Popper beranggapan bahwa suatu baru yang akan muncul dan diterima apabila
meruntuhkan teori lama yang telah ada sebelumnya. Keenam, Popper berbicara ilmu bahwa
ilmu harus dibebaskan dari nilai. Ketujuh, dalam The Open Society its Enemies, Popper
menekankan bahwa metode kritis dapat digeneralisasikan menjadi sikap kritis atau rasional.
Berdasarkan beberapa pemikiran Popper tersebut, berikut ini akan dianalisis lebih lanjut
tentang epistimologi problem solving dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu sejarah.
Jika perkembangan pengetahuan menurut Thomas Kuhn dapat dilihat menurut siklus historis
dengan tahapan-tahapan pra-paradigmatis, paradigmatis, krisis, dan revolusi, kemudian
paradigma baru dan seterusnya, pertumbuhan pengetahuan berdasarkan epistimologi
problem solving mengikuti skema berikut:
P1 – TT – EE – P2
C. Strukturisme dalam Ilmu Sejarah
Ada perbedaan antara metodelogi yang didsarkan pada epistimologi idealis dan
epistimologi realis. Menurut Christopher Lloyed (1993:96-127) dalam bukunya The
Structures of History, pada epistimologi idealis, seperti pendekatan individu (intention) atau
post modernisme antara kenyataan dan teori tidak terdapat kaitan apa-apa. Teori hanyalah
gagasan yang memudahkan dalam mengintegrasikan data.
Selain epistimologi, realisme dalam ilmu sejarah juga mempunyai ontologinya, yaitu pra-
anggapan tentang masyarakat dan mekanisme perubahannya, atau dengan kata lain
perkembangan sejarah. Seperti dikemukakan oleh Christopher Lloyed yang menyusun
prosedur strukturis dalam ilmu sejarah, beberapa konsep yang menyangkut ontologi adalah
struktur sosial yang longgar, agency, dan mentality. Penjelasan Christopher Lloyed
mengenai konsep-konsep tersebut adalah sebagai berikut (Lloyed:89-100) yaitu struktur
sosial, agency, mentalis, hipotesis, epistemic access, dan teori.
Clifford Geertz dalam karyanya yang berjudul Negara The Theatre State in Nineteenth
Century Bali, telah memberikan penjelasan mengenai konsepsi kekuasaan kerajaan
tradisional di Bali pada abad kesembilan belas, yaitu Kerajaan Tabanan, Badung,
Klungkung, Gianyar, Karangasem, Bangli, dan Mengwi.
Dari uraian di atas terlihat bahwa strukturisme model realisme simbolik dalam eksplanasi
sejarah berusaha menjelaskan tindakan dari agency, mellui simbol-simbol karena tindakan
simbolik merupakan realitas yang melalui realitas itu, orang berusaha mencapai sesuatu
dengan cara yang mereka miliki.
Menurut Crane Brinton, revolusi adalah peristiwa perubahan yang terjadi secara besar-
besaran dalam waktu yang sangat singkat. Perubahan itu dapat meliputi aspek politik,
ekonomi, sosial, dan budaya. Ia memberikan contoh mengenai revolusi dari beberapa
peristiwa revolusi di dunia, seperti Revolusi Inggris, Revolusi Amerika, Revolusi Prancis,
dan Revolusi Rusia. Setelah melakukan analisis secara mendalam mengenai keempat
peristiwa itu, ditemukan gambaran mengenai anatomi sebuah revolusi. Dengan melihat
anatomi revolusi kita dapat melakukan eksplanasi mengnai causal mechanism yang telah
menggerakkan sebuah revolusi.
Dalam pandangan Crane Brinton revolusi terjadi karena digerakkan oleh orang atau
sekelompok orang yang revolusioner yang mempunyai interest yang sama. Gerakan revolusi
pada umumnya dipusatkan pada penggantian orang atau kelompok pemegang kekuasaan oleh
orang atau kelompok oposisi yang menjadi lawan dari penguasa. Pergantian kekuasaan
melalui revolusi biasanya dilakukan dengan cara kekerasan , teror, atau pemberontakan.
Dari keempat revolusi yang pernah terjadi di dunia, baik Revolusi Inggris, Revolusi
Prancis, Revolusi Amerika, maupun Revolusi Rusia, berdasarkan analisis Crane Brinton
dapat diidentifikasi bahwa causal mechanism dari revolusi-revolusi besdar tersebut di
antaranya adalah faktor ekonomi, politik, sosial, dan pemikiran kaum intelektual.
Model kedua, kebangkrutan ekonomi tidak dialami oleh masyarakat, tetapi dialami oleh
pemerintah yang berkuasa. Hal ini ditandai dengan terjadinya kekosongan dan kebangkrutan
kas negara. Sementara itu, masyarakat mempunyai kemajuan ekonomi yang cukup bagus,
teruama bagi mereka yang dogolongkan sebagai kaum borjuis. Ketika negara dalam keadaan
bangkrut, merek menuntut hak-hak istimewa, terutama dalam bidang ekonomi.
Buruknya perekonomian dan keuangan negara berimplikasi pada persoalan politil. Hal
ini karena kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi akan mempengaruhi pula kebijakan-
kebijakan dalam bidang politik. Ekonomi dan politik dalam pengurusan negara merupakan
dua persoalan yang tidak dipisahkan. Menurut Crane Brinton, kebangkrutan ekonomi suatu
negara akan membawa implikasi terhadap jungkir baliknya tatanan politik negara tersebut.
Selain faktor ekonomi dan politik, penggerak mesin revolusi adalah kaum cendikiawan atau
intelektual. Kelompok intelek teual yang jadi penggerak revolusi tergolong kelompok oposisi
atau penekan. Mereka melakukan proses penyadaran kepada masyarakat untuk melakukan
penekanan terhadap pemerintah.
Dari beberapa revolusi besar yang pernah terjadi, baik revolusi di Inggris, Prancis,
Amerika mapupun Rusia, secara garis besar dapat dilihat langkah-langkah untuk mencapai
revolusi.
Menurut Crane Brinton, tahap awal menuju revolusi ditandai dengan munculnya
berbagai kecaman yang sangat gencar dan keras terhadap tindakan kesewenang-wenangan
pemerintah yang berkuasa. Revolusi menurut Crane Brinton muncul dengan dua cara.
Pertama, revolusi muncul dengn spontanityas atau tidak direncanakan. Kedua muncul karena
direncanakan.
Menurut Crane Brinton, kaum revolusioner mempunyai beberapa karakter. Salah satu
karakter dari kaum revolusioner adalah idealis. Mereka mempunyai konsep mengenai cara
mengubah atau mengambil alih kekuasaan pemerintah melalui gerakan revolusi. Biasanya
mereka berasal dari kalngan intelektual terpelajar dan merupakan kelompok pemikir dari
kaum revolusioner untuk membuat konsep mengani rvolusi guna merebut kekuasaan.
Kelompok ini merupkan kelompok minoritas dan banyak bermin di balik lyar. Adapun tipe
lainnya adalah revolusioner yang idealis dan ralis, dalam arti merka bukan hanya sebagai
pemikir atau konseptor mengnai apa dan bagaimana sebuha revolusi melainkan juaga lebih
realis melihat kenyataan di lapangan dengan terjun langsung memimpin gerakan revolusi.
Menurut perspektif sosiologis, gerakan revolusi dapat dikategorikan sebagaik aksi sosial.
Aksi ini dibedakan dalam empat bentuk. Pertama, personal interaction (interaksi
perseorangan), yaitu interaksi pribadi dalam situasi kelompok kecil dan berlangsung singkat.
Keud, collective action (aksi kolektif), yaitu aksi bersama dalam kelompok untuk mencapai
kepentingan individual atau bersama. Ketiga, patterned action (aksi berpola), yaotu individu-
individu yang melakukan aksi mengikuti pola atau rutinitas tertentu untuk mencapai tujuan
tertentu. Keempat political action (aksi politik) yaitu aksi politik yang sengaja dilakukan
dengan tujuan mencapai perubahan struktural, pola kemasyarakatan, dan budaya.
Berdasarkan kategori ini, gerakan revolusi dapat dikategorikan dalam collective action.
Charles Tilly dalam teorinya mengenai collective action, mengatakan bahwa collective
action (aksi kolektif) terdiri atas lima komponen. Pertama, Common interest (kepentingan
bersama), yaitu keuntungan yang diperoleh karena adanya interaksi dengan kelompok lain.
Kedua, Organization, yaitu struktur kelompok yang secara lansgung berkaitan dengan
kemampuan untuk melakukan aksi. Ketiga, Mobilization (mobilisasi), yaitu kontrol yang
dilakukan oleh kelompok atas sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan aksi.
Keempat Opportunity (kesempatan), yaitu hubungan antara kelompok dengan dunia
sekitarnya. Kesempatan terdiri atas tiga elemen, yaitu power, repression, dan opportunity
(threat). Kelima Collective action, yaitu tindakan yang dilakukan orang-orang secara
bersama-sama untuk mencapai kepentingan bersama.
E. Analisis Sosiologi dalam Penelitian Sejarah
Sekalipun sejarah sosial merupakan gejala baru dalam penulisan sejarah sejak sebelum
Perang Dunia II, anggapan sebagai gerakan yang penting baru terjadi sekitar tahun 1950-an.
Di Perancis aliran penulisan sejarah annales yang dipelopori oleh Lucien Pebvre dan March
Bloch menjadi modal bagi generasi baru penulisan sejarah sosial yang semakin kuat
kedudukannya dalam dunia penulisan sejarah (Kuntowijoyo, 2003:39)
Seperti yang kita ketahui bahwa sosiologi adalah kajian ilmiah tentang kehidupan sosial.
Karakteristik ilmu yang paling distingktif adalah pendekatannya yang bersifat empiris. Para
ilmuwan menuntut agar semua pernyataan yang diklaim sebagai kebenaran tunduk pada
pengujian yang cermat dan fakta yang diperoleh melalui observasi ilmiah, bukan karena
mempunyai alasan yang secara intuitif masuk akal atau karena disampiakan oleh seseorang
atau sekelompok orang yang terhormat atau memiliki otoritas. Klaim atas kebenaran
dikatakan valid selama sesuai dengan fakta yang sudah diketahui.
Ada beberapa strategi dalam sosiologi makro yang berkembang pada masa kontemporer,
yaitu strategi idealis, strategi materialis, dan strategi teoretis (fungsionalisme).
Para sosiolog telah lama berdebat tentang kelebihan relatif pendekatan idealis versus
materialis dalam mengkaji kehidupan sosial manusia. Pendekatan idealis berusaha
menjelaskan ciri dasar kehidupan sosial dengan merujuk pada daya kreatif pikiran manusia.
Pendukung pendekatn ini percaya bahwa manusia memberikan makna simbolis bagi tindakan
mereka. Manusia menciptakan rangkaian gagasan dan cita-cita yang terperinci dan
menggunakan konstruksi mental dalam mengarahkan pola perilaku mereka. Akan tetapi,
mereka melihat berbagai pola karakteristik perilaku yang berbeda-bea dalam masyarakat
yang berbeda sebagai hasil serangkaian gagasan dan cita-cita yang berbeda pada saat pertama
kali. Inilah kelemahan teori-teori mereka (Stephen:2005)
Para materialis mnolak keras berbgai jenis teori yang diungkapkan dalam strategi idealis.
Mereka memberikan prioritas pada gagasan dan cita-cita sebagai sebab atas suatu tindakan.
Mereka mencoba menjelaskn ciri-ciri dasar kehidupan masyarakat dalam kitnnya dengan
kondisi praktis material dari eksistensi manusia. Kondis-kondisi ini meliputi sifat lingkungan
fisik, tingkat teknologi, dan sistem ekonomi. Para materialis melihat berbagai faktor ini
sebagai pembentuk pra syarat dasar eksistensi manusia. Bagian terpenting dari kehiudpan
manusia adalah adaptsi terhadap lingkungan fisik. Hal ini harus dilakukan dengan
menciptakan teknologi dan sistem ekonomi. Sekali teknologi dan sistem ekonomi diciptakan,
maka akan menemukan sifat pola-pola sosial lain yang dilahirkan masyarakat manusia. Jenis
teknologi dan sistem ekonomi yang berbeda akan melahirkan jenis pola-pola sosial yang
diciptakan sebelumnya. Sebagaimana para idealis, merka juga mengakui kapasitas kreatif
pikiran manusia. Mereka berpendapat bahwa gagasan dan cita-cita buka sesuatu yang lahir
dengan sendirinya, melainkan lahir sebagai respons terhadap berbagai kondisi materiel dan
sosial yang telah mapan (Stephen, 2000:7).
Strategi teoretis yang dikenal dengan fungsionalisme muncul menjadi bagian dari
analisis sosiologis pada tahun 1940-an. Strategi teoretis mencapai masa kejayaannya pada
tahun 1950-an. Pada saat itu fungsionalisme menjadi strategi teoretis standar yang diikuti
mayoritas sosiolog, dan hanya sebagian kecil yang menentangnya. Mulai tahun 1960-an,
dominasi teoretis fungsionalisme mendapat tntangan keras dn adekuasi teoritisnya semakin
dipertanyakan. Strategi teoretis segera memasuki masa kerontokannya. Akan tetapi meskipun
mayoritas sosiolog saat ini tampak tidak menganjurkan pendekatan fungsionalis dalam
mengkaji kehidupan sosial, fungsionalisme masih tetap didukung secara serius oleh
kelompok minoritas yang signifikan secara sosiologis (Stephen, 2000:9).
Sebagaimana yang terkandung dalam namanya antara sejarah dan sosiologi, sejarah
sosial mengkaji sejarah masyarakat (atau kemasyarakatan). Perkembangannya tidak sama di
setiap negara. Di kalangan para sejarawan sosial terdapat dua golongan besar karena latar
belakang yang berbeda. Pertama, sejarawan sosial empiris, yaitu mereka yang menganggap
diri lebih utama sebagai sejarawan. Kedua, para pakar sosiologi sejarah (historical sociology)
yang menganggap diri lebih utama sebagai ahli-ahli ilmu sosial (sosiologi). Sejarawan sosial
empiris bermaksud menegakkan kebenaran-kebenaran khusus, sedangkan pakar sosiologi
sejarah menegakkan kebenaran-kebenaran umum. Akan tetapi, adapula sejumlah sejarawan
sosial yang merupakan gabungan dari keduanta. Mereka dilengkapi dengan pengetahuan
metodologi dan teori secukupnya sehingga dapat menghasilkan karya-karya sejarah yang
baik.
Untuk itu, lebih baik jika sejarawan dan ahli sosiologi menggabungkan kedua
metodologi mereka sehingga penjelasan-penjelasan mengenai peristiwa dan proses sosial
tertentu pada masa lalu dan sekarang akan lebih baik. Baik sejarawan sosial maupun ahli
sosiologi sejarah mempunyai objek kajian yang sama, yaitu menjelaskan sejarah masyarakat.
(Lloyd, 1988:15).
Menurut W.J. Cahnmann dan A. Boskoff, tugas yang dibebankan pada seorang peneliti
sosiologi adalah memperoleh wawasan mengenai interaksi antara orang per orang yang
mewujudkan pola jaringan masyarakat yang dilembagakan dan mengalami perubahan.
Individu tidak dilihat sebagai pencipta, tetapi hasil daya masyarakat. Wawasan sosiologi yang
diperoleh, secara ideal dituangkan dalam bentuk hipotesis atau teori yang mengadakan
kaitan-kaitan antara berbagai segi dalam perbuatan manusia. Adapun segi-segi itu
didefinisikan secermat mungkin. Kaitan tersebut dapat dibedakan menurut taraf mikro dan
makro (Ankersmit, 1987:264)
Contoh mengenai teori mikro adalah hubungan antara motivasi kerja dan absensi kerja
atau pengaruh iklan-iklan terhadap kelakuan konsumen sebagai calon pembeli. Karya P.
Sorokin, seorang ahli sosiologi Amerika yang berasal dari Rusia (1889-1968), meneliti
evolusi dalam berbagai masyarakat. Ia menyimpulkan bahwa mentalitas yang meliputi suatu
masyarakat merupakan faktor penentu yang paling penting. Ia membedakan tiga macam
mentalitas, yaitu ideational, sensate, dan idealistic.
Konsep pokok yang dibicarakan di sini adalah membahas peralatan konseptual ciptaan
para teoretisi sosial, yang telah dipakai oleh para sejarawan, atau setidaknya konsep yang
penting saja seperti peranan sosial, seks, dan gender, keluarha dan kekerabatan, komunitas
dan identitas, kelas, status, dan mobilitas sosial.
Sejarawan sering menuduh bahwa bahasan dan tulisan teoritis sosial hanya berisi jargon
yang tidak bisa dimengerti. Dalam kasus ini, jargon artinya sedikit berbeda dari konsep
buatan orang lain. Kita asumsikan bahwa setiap perbedaan dari bahasa yang biasa dipakai
membtuhkan justifikasi, sebab bahasa yang lain akan mempersulit komunikasi dengan
pembaca umum.
Psikologi berasal dari bahasa Yunani, psyche yang artinya jiwa, dan logos yang artinya
ilmu pengetahuan. Jadi secara etimologi psikologi artinya ilmu yang mempelajari jiwa, baik
gejala, proses maupun latar belakangnya. Singkatnya disebut dengan ilmu jiwa.
Berbicara tentang jiwa, kita harus dapat membedakan antara nyawa dengan jiwa. Nyawa
adalah daya jasmaniah yang keberadaannya bergantung pada hidup jasmani dan
menimbulkan perbuatan badaniah organic behavior, yaitu perbuatan yang ditimbulkan oleh
proses belajar. Mislanya, insting, refleks, nafsu, dan sebagainya. Jika jasmani mati, nyawa
pun mati.
Adapun jiwa adalah daya hidup rohaniah yang bersifat abstrak yang meliputi penggerak
dan pengatur bagi seluruh perbuatan pribdi dari hewan tingkat tinggi dan manusia. Perbuatan
pribadi adalah perbuatan sebagai hasil proses belajar yang dimungkinkan oleh keadaan
jasmani, rohaniah, emosional, dan lingkungan (Ahmadi, 1998:1)
Secara umum, psikologi diartikan ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia, atau
ilmu yang mempelajari gejala-gejala jiwa manusia. Karena para ahli jiwa mempunyai
penekanan yang berbeda, definis yang dikemukakan pun berbeda.
Ada spekulasi historis yang menyebutkan bahwa kata “hermeneutika” merujuk pada
nama dewa Yunani Kuno, Hermes, yang tugasnya menyampaikan berita dari Sang Maha
Dewa kepada manusia. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di
Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dipahami manusia. Fungsi Hermes dipandang
penting karena ia harus mampu menunterpretasikan sebuah pesan ke dalam bahasa yang
digunakan pendengarnya. Sejak itulah, tokoh mitologi Yunani ini menjadi simbol, sebagai
duta penentu keberhasilan penyampaian pesan (Sumaryono, 1993:23-23). Berdasarkan hal
tersebut dapat dipahami bahwa pemakaian istilah hermeneutika berkaitan dengan interpretasi.
Untuk memahami hermeneutika kita tidak bisa lepas dari sejarahnya karena manusi
sepanjang sejarah selalu terlibat dalam petualangan intelektual yang didorong oleh rasa
ketidaktahuan pada satu sisi dan keingintahuan pada sisi lain. Perjuangan ini melahirkan
dinamika sejarah yang bditandai dengan trial and error, selalu mencoba dan menggali hal-hal
baru serta siap untuk menerima kegagalan. Setiap generasi yang lahir meneruskan
kegelisahan intelektual generasi selanjutnya. Sehingga horizon pengetahuan dan pengalaman
manusia selalu melebar dari zaman ke zaman atau disebur research. Riset demi riset
berlangsung terus, sehingga tradisi dan pengetahuan manusia selalu tumbuh. Pertumbuhan
pengetahuan dan tradisi manusia mempengaruhi pemahaman terhadap hermeneutika. Hal ini
karena sejak awal istilah hermeneutika muncul dan dipakai dalam tradisi intelektual, dari
masa ke masa terjadi perkembangan pemahaman.
Ada banyak tokoh hermeneutika dalam ilmu kemanusiaan yaitu F.D.E Schleiermacher,
Wilhelm Dilthey, Hans George Gadamer, Jurgen Habermas, Paul Ricoeur, Jacques Derrida,
Peter Winch, George Hencirk von Wright, dan sebaginya. Akan tetapi berkaitan dengan
keterangan historis tokoh hermeneutika yang banyak membahas sejaarah adalah Wilhelm
Dilthey (1833-1911), Hans George Gadamer (1900-2002), dan R.G. Collingwood (1889-
1943).