Anda di halaman 1dari 17

JURNAL

KEHIDUPAN SOSIAL RELIGI DI KAMPUNG MAHMUD

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah


Pendekatan Studi Islam

Oleh :
Hafiz Fadhlan
NIM : 2190120005

PROGRAM PASCASARJANA SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2019
KEHIDUPAN SOSIAL RELIGI DI KAMPUNG MAHMUD

Hafiz Fadhlan
NIM 2190120005

Program Pascasarjana Sejarah Peradaban Islam


Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

Abstrak

Dalam penelitian ini peneliti mendeskripsikan mengenai kehidupan sosial religi di


Kampung Mahmud. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian
kualitatif, dan metode pendekatan metode studi kasus. Hasil penelitian menunjukan
bahwa proses pewarisan tradisi nilai-nilai budaya dari tokoh adat terhadap generasi
muda dalam mengkonstruksi nilai-nilai budaya berdasarkan keyakinan yang kuat
terhadap agama Islam sebagai dasar dari tumbuh berkembangnya menjadi budaya
yang mewarnai segala aspek kehidupan di Kampung Mahmud. Kepercayaan
mereka terhadap keberadaan nenek moyang yang dinamakan karuhun, masih ada
sampai dengan sekarang. Masyarakat Kampung Mahmud sekarang lebih dinamis
dalam memaknai kehidupannya juga dalam hubungannya dengan masyarakat satu
sama lain. Pola komunikasi tokoh adat terhadap generasi muda dalam melestarikan
nilai-nilai budaya terjadi dalam dua jenis komunikasi yaitu komunikasi verbal dan
komunikasi non-verbal. Interpretasi tokoh adat dan generasi muda dalam
memaknai perkembangan zaman terhadap nilai-nilai budaya mengalami perubahan
dari fase ke fase. Ini berlangsung secara situasional. Perkembangan teknologi dan
perubahan kondisi geografis memaksa untuk menginterpretasikan kembali hal
yang tabu menjadi tidak tabu. Secara fisik kehidupan tatanan sosial masyarakat
Kampung Mahmud telah berubah karena pengaruh budaya luar, tetapi secara
substansi nilai-nilai budaya masih bertahan walaupun zaman terus berkembang.

Kata Kunci : Komunikasi Budaya, Masyarakat Adat, Kampung Mahmud

1
PENDAHULUAN

Kampung Mahmud adalah salah satu daerah yang wilayahnya termasuk Desa
Mekarrahayu Kecamatan Margaasih Kabupaten Bandung. Jaraknya kurang lebih 6 km dari
ibu kota Kabupaten Bandung (Soreang). Letaknya cukup strategis, sebab berada ditengah-
tengah antara Kota Bandung dan Soreang. kondisi alamnya cukup baik berada di pinggir
Sungan Citarum dan dikelilingi oleh tanah pesawahan. transportasi menuju ke Kampung
Adat Mahmud sangat mudah sebab sudah banyak kendaraan baik kendaraan umum
maupun kendaraan pribadi, tidak sulit untuk ditempuh.
Jumlah penduduknya kurang lebih 1200 orang. Mata pencaharian masyarakat di
Kampung Mahmud umumnya petani, tetapi ada juga yang berprofesi lainnya seperti
pedagang, sopir dan pegawai, baik negeri maupun swasta.
Kekhasan daerah adap istiadat tersebut selain unsur ciri khas dan tata cara
kehidupan juga memelihara tingkat religius yang cukup kuat. sehingga proses
perubahannya, walaupun sudah ada tetapi masih kecil.

HASIL DAN PEMBAHASAN


SISTEM RELIGI KAMPUNG ADAT MAHMUD

Dalan suatu agama selalu ada dua hal pokok yang dapat diamati, yaitu apa yang
harus dipercayai oleh penganutnya dan apa yang harus dikerjakan oleh penganutnya,
sehubungan dengan yang dipercayainya. Masyarakat Kampung Mahmud dalam hal
agama, tampak penekanannya kepada apa yang harus mereka percayai, bukan kepada apa
yang harus mereka kerjakan.
Ketaatan masyarakat Kampung Mahmud dalam beragama, tercermin pula dalam
hasrat mereka yang ingin menunaaikan rukun islam yang kelima, yaitu ibadah haji ke
Tanah Suci. Terkadang mereka mengorbankan harta yang ada, dengan menjual kekayaan
untuk memenuhi niat tersebut. Dengan pula halnya dengan status haji, di Kampung
Mahmud status tersebut mempunyai kedudukan tinggi dan terhormat. Orang yang telah

2
menunaikan ibadah haji, berganti panggilan menjadi ibu haji atau bapak haji, walau missal
nama sebelumnya Ibu Zainal atau Bapak Zainal.
Pola kehidupan beragama pada masyarakat Kampung Mahmud tercermin pula
dalam kebiasaan memuliakan bulan yang bertalian dengan agama islam, misalnya bulan
Maulud, bulan Ramadhan, bulan Muharam, dan Idul Fitri. Peringatan hari-hari besar islam
itu ditandai dengan hajat, saling mengirim makanan berupa nasi dan lauk pauknya,
terutama diperuntukan kepada orang tua, mertua, dan tetangga. Terlebih lagi sebelum dan
saat Idul Fitri tampak orang-orang membawa susunan rantang yang berisikan nasi dan
lauk pauk, yang kualitasnya lebih baik dari makanan sehari-hari, menuju orang tua dan
kerabat lainnya.
Pada hakekatnya, walaupun masyarakat Kampung Mahmud itu taat beragama
Islam, namun kepercayaan kepada karuhun atau leluhurnya masih melekat dalam
kehidupan. Kepercayaan kepada Tuhan yang maha Esa membaur dengan kepercayaan
terhadap karuhun. Situasi demikian berpengaruh pula pada masyarakat luar di
sekelilingnya. Hal itu tampak pada banyaknya pendatang yang bermaksud ziarah, bahkan
ada yang bermalam samapai beberapa hari. Mereka selain berdoa dan bersyukur kepada
Tuhan, diiringi pula dengan ucapan-ucapan kepada leluhur. Tujuan mereka macam-
macam, biasanya meminta berkah keselamatan pula dari leluhurnya.

MAKAM LELUHUR MASYARAKAT KAMPUNG MAHMUD

Peninggalan berupa makam karomah di Kampung Mahmud terdapat tiga lokasi,


yaitu:
1. Makam Eyang Abdul Manaf
2. Makam Sembah Eyang Dalem Abdullah Gedug
3. Makam SembahAgung Zaenal RIF.

Tata tertib pengunjung yang masuk ke dalam makam karomah ini haruslah dalam
keadaan bersih dan suci dengan melakukan wudlu, pakaian harus menutupi aurat (sopan),
dan setelah mengikuti doa yang dipandu oleh kuncen, diserahkan kepada pengunjung
sendiri untuk melaksanakan doa masing-masing. Dulu, para penziarah sangat

3
menghormati makam karomah. Bahkan untuk memasukli wilayah makam pun, tepatnya
di dekat masjid, sandal dan sepatu mereka telah dibuka. Mereka tidak berani
memakainya. Adapun sekarang, sandal dan sepatu cukup dibuka ketika memasuki
bangunan makam karomah saja.
Masyarakat Kampung Mahmud sudah biasa setiap saat menziarahi leluhurnya,
hanya pada hari Jumat sebagai hari ibadah, mereka tidak melalukaknnya. Setiap bangunan
makam karomah dijaga oleh kuncen yang berbeda. Di dalam masing-masing bangunan
tersebut telah disediakan tempat untuk sembahyang/tafakur dan berwudlu. Diantara ktiga
bangunan tersebut, bangunan Eyang Abdul manaflah yang terbesar. Di dalamnya ada
semacam bangsal yang mengitari makam, dan berderet bangunan berupa bale untuk
sembahyang/wiridan.

REFLEKSI KEHIDUPAN MASYARAKAT KAMPUNG MAHMUD

Mengenai tatacara kehidupan masyarakat Kampung Mahmud, baik yang


berhubungan dengan adat istiadat maupun dengan keyakinan akan agama, tidak banyak
perbedaan dengan masyarakat lainnya. Oleh karena masyarakatnya selain tidak banyak
dipengaruhi oleh dunia luar, taat juga dalam menjalankan ajaran agamanya, yakni agama
Islam. Hal itu jelas beralasan, karena di Kampung Mahmud tersebut, dahulunya memiliki
tokoh agama yang kuat, bahkan sampai sekarang makamnya selalu banyak diziarahi oleh
orang, baik oleh masyarakat disekitarnya, maupun masyarakat luar. Sebagai pedoman
hidup dan sistem nilai dalam kehidupan masyarakat Kampung Mahmud adalah ajaran
Islam. Norma-norma keislamanlah yang dijadikan patokan dalam menentukan hidup
mereka, hal ini terlihat dari kebiasaan sehari-hari yang selalu dilakukannya.
Masalah yang berhubungan dengan adat istiadat, pada umumnya memiliki
kesamaan dengan masyarakat lainnya, hanya beberapa hal yang mungkin dianggap
berbeda dengan masyarakat lainnya di daerah Jawa Barat. Masalah adat ini dapat
dikatakan cirri yang membedakannya atau merupakan suatu keistimewaan masyarakat
Kampung Mahmud. Adapun adat kebiasaan yang sampai sekarang diyakini dan belum
berani dilanggar adalah ; tidak boleh membuat rumah dari tembok, tidak boleh ada kaca.
Tidak boleh menabuh goong, tidak boleh beternak angsa, tidak boleh membuat sumur.

4
Walaupun terdapat adat kebiasaan yang menurut anggapan masyarakat Kampung Mahmud
tabu, hal itu terlepas dari konsep islamnya. Jadi tetap pandangan mereka terhadap adat
istiadat, hanya semata-mata adat istiadat bukan merupakan ajaran yang berdasar pada Al-
quran dan Sunah Rosul.
Kebiasaan lainnya masyarakat Kampung Mahmud pada perempuan hamil dan bayi
yang telah dilahirkan, pada prinsipnya tidak ada perbedaan dengan masyarakat lainnya,
dalam arti tidak ada keistimewaan. Anggapan mereka, sepanjang adat istiadat tidak
bertentangan dengan ajarannya atau hal yang telah diyakininya, boleh dilaksanakan.
Perempuan yang mengandung usia 2 atau 3 bulan belum disebut hamil masih disebut
ngidam. Setelah lewat 3 bulan baru disebut hamil. Upacara kehamilan 3 bulan
diselenggarakan jika kandungan sudah berusia 3 bulan atau 100 hari. Upacara Tingkeban
diselenggarakan jika usia kandungan mencapai 7 bulan. Waktunya dipilih pada tanggal
yang ada angka tujuh, yaitu 7, 17, 27. biasanya upacara itu diselenggrakan pada tanggal
27, pada pagi hari, pukul 07.00 atau pada petang hari. Tingkeban artinya tutup. Sejak itu
sampai 40 hari sesudah melahirkan harus ditutup, tidak boleh dibuka sampai waktunya
tiba. Jadi semacam peringatan atau pemeberitahuan, baik kepada istri ( perempuan yang
sedang hamil), maupun kepada suaminya. Mereka berdua tidak boleh bercampur sejak
melakukan upacara tingkeban samapai dengan 40 hari setelah melahirkan.
Upacara mencukur rambut bayi atau cukuran dilaksanakan ketika sudah berumur
40 hari. Pada saat itu biasanya diadakan marhabaan yaitu membaca berzanji. Adapula
yang menyebutnya Asrakat. Setelah tamu berkumpul, dimulaialah marhaba. Bayi
digendong dengan diiringi orang yang membawa bejana yang berisi : air, uang logam,
gunting, dan perhiasan dari emas. Orang pertama yang menggunting rambut bayi adalah
orang yang tertua atau yang ternama diantara hadirin ( Kyai ). Setelah semua undangan
mendapat giliran menggunting sdikit rambut bayi itu, marhaba pun selesai dan dilanjutkan
dengan makan dan minum.
Sesuai dengan pedoman yang dijadikan ketentuan oleh masyarakat Kampung
Mahmud, yaitu Al-quran dan Sunah Rosul. Dalam masalah pemberian nama bagi bayi
yang baru lahir pun tidak lepas dari ketentuan tersebut. Kebiasaan memberi nama yang
didasarkan pada perhitungan hari baik dan naktu, kurang begitu diyakini, walaupun ada
juga yang melaksanakan tetapi tidak banyak karena bukan merupakan kebiasaan. Sesuai

5
dengan keterangan, bahwa kebiasaan pemberian nama selalu bertitik tolak pada ajaran
rosul, sehingga umumnya masyarakat tersebut banyak yang bernafaskan keislaman,
misalnya Amin, Zainal, dan sebagainya. Memang ada juga nama-nama yang sesuai
dengan kebiasaan orang sunda seperti : Dadang, Asep, tetapi dibelakangnya selalu ada
nama yang bernafaskan keislaman.
Masalah perkawinan pada masyarakat Kampung Mahmud, memang agak berbeda
dengan daerah lainnya, sebab umumnya perkawinan di sna terjadi dengan pasangan
pengantinnya berasal dari sekitar itu juga, tetapi itu pun bukan kebiasaan yang diharuskan,
hanya umumnya begitu. Dalam menuju perkawinan, terdapat masa pacaran yang biasanya
tidak berlangsung lama. Kebiasan semacam itu mempunyai alas an, agar mereka terhindar
dari segala keaiban dan hal-hal yang tidak sesuai dengant tuntunan ajaran agama islam.
Ketika seorang gadis dan seorang pemuda telah melewati masa pacaran dan
bersepakat untuk bersatu, maka pihak keluarga laki-laki bersiap-siap untuk melamar. Pada
waktu melamar, orang tua laki-laki datang ke rumah orang tua perempuan uantuk
mengutarakan maksudnya. Jika diterima biasanya dilanjutkan dengan penentuan waktu
pernikahan atas kesepakatan bersama. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, maka proses
perkawinan pun berlangsung.
Dalam adat perkawinan ini, tidak ada peraturan yang mengikat, maksudnya
masyarakat Kampung Mahmud boleh mencari calon istri itu dari daerah kampung itu
sendiri atau dari luar. Kebiasaan mencari calon oleh orang tua memang ada, tetapi ini pun
tidak mutlak harus. Pada prisipnya, perkawinan itu didasarkan pada suka sama suka,
bukan karena orang tua. Adapun adat yang biasa dilakukan dalam upacara perkawinan,
seperti Ngeuyeuk Seureuh, Meuleum harupat, Nincak Endog, Sawer jarang dilakukan oleh
masyarakat Kampung Mahmud.
Adat lainnya yaitu upacara kematian. Upacara yang dilaksanakan ketika salah
seorang anggota masyarakat ada yang meninggal adalah dengan tata cara islam. Dalam
upacara ini ada tata cara yang dilaksanakan yaitu ;pertama tata cara pemeliharaan mayat
sebelum dikuburkan, kedua pemakaman, ketiga tata cara sesudah dimakamkan. Dalam tata
cara pemakaman mayat ini biasanya diawali dengan pemandian mayat yang dilaksanakan
oleh salah seorang tokoh masyarakat. setelah dimandikan lalu mayat dibungkus dengan
kain kafan dan dibawa ke mesjid untuk disembahyangkan. Selanjutnya mayat dikuburkan

6
seperti lazimnya dalam tata cara islam. Ketika dibacakan telekin, hal itu merupakan
nasihat kepada mayat, juga mengingatkan kepada yang masih hidup.
Setelah jenazah dikuburkan biasanya pada malam harinya dan malam selanjutnya
diadakan pembacaan tahlil sehingga tujuh hari lamanya. Dari tujuh hari tiu ada istilah
tileman atau hari ketiga dan ada tujuhna yaitu hari ketujuh. Selanjutnya terdapat upacara
matang puluh, yaitu hari keempat pulu dan natus atau hari keseratus.

BENTUK RUMAH MASYARAKAT ADAT KAMPUNG MAHMUD

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, masayarakat di Kampung Mahmud


mempunyai kebiasaan ( adat istiadat ) yang berbeda dengan daerah lainnya, khususnya
dalam hal membangun rumah. Hal ini disebabkan berdasar pada suatu tradisi yang erat
hubungannya dengan sikap perilaku kehidupan sehari-hari, atau dengan kata lain segala
aspek kehidupannya disandarkan pada adat istiadat dan kepercayaan ( sistem religi ) yang
dianutnya dan dipercayainya. Bentuk rumah masyarakat Kampung Mahmud memiliki ciri
khas yang sangat menonjol jika dibandingkan dengan daerah lainnya. Adapun perbedaan
itu terlihat dari material yang dipergunakan sebagai bahan bangunan dan tata cara dalam
mendirikan sebuah rumah. Sikap demikian itu sangat dipelihara, karena apabila melanggar
adat dalam mendirikan rumah, baik dalam tata cara maupun penggunaan bahan
bangunannya akan menimbulkan petaka bagi dirinya maupun keluarga yang mendirikan
rumah tersebut. Salah satu contioh adalah jika hal tersebut dilanggar maka akan adanya
keretakan rumah tangga atau kecelakaan yang menimpa salah satu anggota keluarga.
Akan tetapi bila kita amati dari struktur tanah yang ada di daerah Kampung
Mahmud, merupakan suatu bentukan endapan rawa dari sungai citarum yang
mengelilinginya. Sehingga apabila masyarakat setempat dapat mempercayai, bahwa
dengan tidak diperkenankannya membangun rumah permanen, karena kondisi struktur
tanah demikian akan mengakibatkan sebuah petaka. Walaupun mereka telah
menghubungkannya lebih dulu dengan mitos yang tersebar disekitarnya, keseluruhan
rumah yang ada di dalam lingkungan masyarakat Kampung Mahmud ini merupakan
sekumpulan Imah Panggung „ rumah panggung „, yang mengelompok dalam satu areal.

7
Hal itu sangat mereka patuhi sejak pendiri pertama perkampungan Mahmud, yaitu
Embah Dalem Haji Abdul Manaf. Akan teatpi baru lima tahun terakhir ini, sesepuh
Kampung Mahmud, Bapak H. Amin mencoba membangun mesjid dengan material
tembok ( permanen ), memasukan listrik ke daerahnya, memasukan alat elektronika seperti
radio dan TV, juga mencoba membuat sumur untuk keperluan sehari-hari. Menurut bapak
H. Amin ( Alm ), ia membuka terobosan semacam itu dengan jalan tawasulan terlebih
dahulu selama 40 hari 40 malam kepada karuhunnya agar dalam pembagunannya tidak
berdampak negatif atau menimbulkan petaka. Akhirnya semua dapat selamat, tidak ada
masalah, sumur berair, radio dan TV sampai kini dapat menyala dengan baik.
Dalam membangun rumah, penduduk selalau mempersiapkan bahan bangunan,
baik kayu maupun bamboo untuk bilik. Pemilihan banhan bangunan dari kayu sangat
diperhatikan dalam hal kekuatannya, disamping adanya kepercayaan bahwa sebuah kayu
akan memberikan kekuatan magis. Akan tetapi bagi kebanyakan penduduk, hal itu tidak
menjadi kendala, mereka dapat saja membangun rumahnya dengan bahan dari albasiah
(tanpa ada kayu yang mengandung magis). Alasan demikian karena adanya tawasul
sesuatu yang terjadi akan dapat ditangkal.
Pada umumnya rumah yang ada di daerah Kampung Mahmud adalah rumah yang
berbentuk manjang atau suhunan panjang, yaitu rumah berbentuk “ persegi panjang “. Hal
ini dimungkinkan untuk menunjang jumlah anggota keluarga yang banyak. Apabila dilihat
dari luasnya, bangunan di daerah Kampung Mahmud rata-rata sangat besar, yaitu dari
yang terkecil 4x8 meter sampai yang berukuran 10x20 meter, dengan halaman yang luas.
Bagi penduduk Kampung Mahmud sudah merupakan kebiasaan apabila dalam
segala pekerjaan selalau mengadakan tawasul kepada karuhun. Tawasul ini juga dapat
dilaksanakan seperti dalam pembangunan atau mendirikan rumah. Tujuan tawasul ini
yakni meminta izin dan berkah kepada karuhun yang telah membangun daerahnya agar
memperoleh keselamatan dalam melakukan pekerjaan, sehingga pembangunan rumah
dapat terselenggara dengan baik dan keluarga yang akan mendiami rumah tersebut
selamat.
Biasanya tawasulan diadakan di atas sebidang tanah yang akan didirikan rumah,
waktu melaksanakannya pada saat “peletakan batu pertama”. Penyelenggara tawasul ini
dilakukan oleh keluarga yang akan membangun rumah. Keluarga tersebut mengundang

8
tetangga di sekitarnya dan para pekerja untuk berdoa dan memohon keselamatan.
Tawasulan dipimpin oleh seorang sesepuh kampung. Selesai berdoa, acara diakhiri dengan
makan tumpeng bersama, yang telah disediakan tuan rumah.
Upacara ritual ketika sedang berlangsungnya pembangunan rumah, yaitu pada
waktu membuat suhunan rumah. Biasanya diadakan semacam upacara kecil, yaitu
menyediakan tumpeng dan menyembelih ayam. Disamping itu, disediakan pula bendera
merah putih, yang nantinya dipasang/dikibarkan di tengah-tengah suhunan rumah. Maksud
dan tujuannya agar “ memerdekakan “ rumah tersebut. Pelaksanaanya adalah, ketika
suhunan‟ atap bangunan „ akan dipasang, maka diadakan tawasulan dengan cara
menyembelih ayam dan darah ayam tersebut dioles-oleskan keseluruh tiang suhunan
tersebut. Mereka mempercayainya, bahwa dengan cara semacam itu, rumah akan kuat dan
kokoh. Ayam yang disembelih dianggap sebagai tumbal atau panolak bala.
Setelah selesai pembangunan rumah diadakan upacara lagi yang dinamakan
salametan. Acara ini disebut salametan, karena telah selesai membangun rumah dan
selamat dari hal-hal yang tidak diinginkan. Biasanya upacara salametan disediakan
tumpeng dan makanan kecil lainnya. Jalan dan tata cara upacar salametan sama dengan
tawasulan sebelum mendirikan rumah, dalam upacara tersebut dipimpin oleh
sesepuh/kuncen Kampung Mahmud dan dihadiri oleh para tetangga dekatnya.

POLA DAN JENIS KOMUNIKASI TOKOH ADAT TERHADAP GENERASI


MUDA DALAM MELESTARIKAN NILAI-NILAI BUDAYA

Dalam penelitian ini peneliti mengurai proses komunikasi berdasarkan model-model


yang telah menjadi dasar dalam pembelajaran ilmu komunikasi. Berangkat dari model
komunikasi lasswell melalui model who, says what, in which channel, to whom, with what
effect untuk mengurai bagaimana proses komunikasi ini berlangsung dari tokoh adat ke
generasi muda terkait pewarisan nilai-nilai budaya. Peneliti berusaha mengurai pewarisan
budaya dari tokoh adat ke generasi muda sebagai proses. Penggunaan komunikasi verbal
dan non-verbal melalui tindakan, ataupun simbol-simbol komunikasi yang yang terjadi di
Kampung Mahmud. Budaya yang telah terbentuk diuraikan dalam proses pewarisan nilai-
nilai budaya melalui proses komunikasi sehingga merangsang respon baik berpengaruh

9
terhadap pengetahuan dan pemahaman tokoh adat dalam memahami nilai-nilai budaya
sebagai warisan leluhur ataupun cara merangsang kembali kesadaran keberlangsungan
nilai-nilai budaya yang telah berlaku di Kampung Mahmud terhadap generasi muda.
Berangkat dari model lasswell proses pewarisan budaya dilakukan oleh tokoh adat
(who), mengajari dan mengatakan apa yang dipahami tokoh adat mengenai pentingnya nilai-
nilai budaya yang telah terbentuk dalam bentuk komunikasi verbal dan non-verbal (say what),
melalui media komunikasi dalam interaksi secara langsung (in which channel), proses
komunikasi ini disampaikan kepada masyarakat untuk mengingatkan betapa pentingnya nilai-
nilai budaya ini dijaga dan dilestarikan sebagai warisan dari karuhun dan juga termasuk
generasi muda Kampung Mahmud sebagai penerus keberlangsungan nilai-nilai budaya (in
which channel), dan terakhir masyarakat dan generasi muda di kampung mahmud secara
sadar akan pentingnya menjaga dan mewariskan nilai-nilai budaya yang telah terkonstruksi
secara situasional yang disampaikan terus-menerus oleh tokoh adat melalui komunikasi
verbal dan non-verbal, ataupun pengetahuan masyarakat berdasarkan history tentang
Kampung Mahmud sebagai kampung adat yang memegang teguh ajaran tentang
nilai sebagai warisan dari karuhun yang harus dijaga dan dilestarikan keberadaannya
walaupun pemahaman ini dipahami oleh masyarakat dan generasi muda mempunyai
interpretasi lain dalam beberapa hal, memahami nilai-nilai dalam konteks pewarisan nilai-
nilai budaya (with what effect). Kampung Mahmud dalam mewarisi budaya karuhun
berangkat dari apa yang dipahaminya yang secara langsung ataupun tidak telah
mempengaruhi pemahaman, pengetahuan tokoh adat sebagai warisan dari karuhun. Dalam
pendekatan model ini tokoh adat melakukan dua jenis komunikasi, yaitu; komunikasi verbal
dan non-verbal.
Pertama, komunikasi verbal dengan cara mengingatkan masyarakat dan generasi muda
dalam pengajian rutin dan juga setelah shalat magrib, juga menggunakan momentum acara-
acara besar adat untuk memperlihatkan bahwa apa yang diajarkan oleh karuhun masih berlaku.
Disisi lain juga ajaran agama islam sebagai benang merah dari ajaran karuhun sangat kental
dan menjadi inti dari ajaran-ajaran moral yang diajarkan oleh karuhun di Kampung Mahmud.
Seperti yang dikatakan RO, mengatakan bahwa:

10
“...jelas atuh ari etamah da dina pangajian sepuh ge pan ngomentar, ka anak-anak muda
saleresna tos pada apal ajaran-ajaran nu diajarkeun sesepuh teh dina hal agama kedah
jadi pegangan...” (wawancara)

Terjemahan:

(jelas kalau itu dari pengajian orang tua juga mengomentar, ke anak-anak muda sebetulnya
sudah pada tahu ajaran-ajaran yang diajarkan oleh leluhur dari hal agama harus jadi pegangan)

Jadi ajaran karuhun dalam hal agama islam telah melekat kuat dimasyarakat dan
ajaran itu senantiasa dilakukan secara kontinyu sebagai keberlangsungannya nilai-nilai
budaya yang berlaku di Kampung Mahmud. Masyarakat Kampung Mahmud dan Generasi
mudanya telah menyadari tentang ajaran yang diajarkan oleh karuhun itu harus senantiasa
berlanjut secara estafet tanpa terputus, sebagai penghargaan atas nilai-nilai budaya/adat,
juga generasi muda berperan aktif dalam mewariskan nilai-nilai budaya leluhurnya secara
kontinyu. Kedua, komunikasi non-verbal dilakukan dalam mewariskan budaya karuhun
dari tokoh adat ke generasi muda. Seperti yang dikatakan RO; “...janten boh secara lisan
boh tina sikap sesepuh saleresna anak-anak muda teh teu dipeupeujeuhkeun deui ge tos
sadar sendiri lah...”. Ini menandai bahwa tokoh adat mengajarkan kepada generasi muda
sebagai penerus senantiasa ditunjukan dengan sikap dan perilaku-nya dalam kehidupan
sehari-hari

Selanjutna RO mengatakan:
“...teras tina segi lingkungan sapertos acara keagamaan eta saleresna tos spontan...”,
Dari sini jelas menandakan bahwa sikap dan perilaku tokoh adat terhadap generasi
muda serta masyarakat Kampung Mahmud telah mengetahui dan sadar untuk menjalankan
apa yang diwariskan karuhun dalam menjalankan perintah agama Islam yang kemudian
yang menjadi nilai-nilai budaya/adat yang berkembang di Kampung Mahmud.
Proses interaksi yang dilakukan oleh tokoh adat terhadap generasi muda dalam
mewariskan nilai-nilai budaya karuhun dengan cara yang telah terbentuk situasional nilai-
nilai budaya/adat di Kampung Mahmud. Selain efektif cara ini juga sebenarnya secara tidak

11
sadar telah mengkonstruksi generasi muda dan mayarakat Kampung Mahmud untuk senantiasa
menjalankan apa yang telah dijalankan karuhun atau leluhurnya. SY mengatakan bahwa:

“...ajaran mah pokonamah pangaosan we, patin muludan 12 mulud, rajaban 27 rajab
memperemut Isra Mi’raj, khaol-khaolan eyang minggu kadua saba’da Iedul Fitri di
makom. Pasuroan 10 muharam, tolak bala, rebo kasan, rebo terakhir bulan sabat. Aya
keneh didieumah, sakumaha terus-terus ti luhurna we, teu dipiceun, terutami
pangaosan...” (wawancara)

Terjemahan:

(ajaran yang jelas pengajian aja, patinan, muludan 12 mulud, rajaban 27 rajab, mengingat
Isra Mi’raj, khaol-khaolan eyang minggu kedua setelah Idul Fitri di makam. Pasuroan 10
muharam, tolak bala rebo kasan, rabu terakhir bulan sabat. Masih ada disini, apa yang
diajarkan leluhur, belum dibuang, terutama pengajian)

Jadi momentum yang paling efektif untuk mewarisi nilai-nilai budaya karuhun dari
tokoh adat terhadap generasi muda yaitu mengajarkannya dalam memperingati acara-acara
besar adat dalam hal yang berkaitan dengan keagamaan. Proses interaksi ini secara sadar
ataupun tidak telah membentuk pola pikir generasi muda untuk terus menjaga dan menjalankan
apa yang telah dijalani karuhun atau leluhurnya. Karena ini seperti amanat yang diberikan
leluhur agar nilai-nilai budaya di Kampung Mahmud tidak hilang ditelan jaman, dan pewarisan
nilai-nilai budaya ini disadari betul oleh generasi muda untuk terus menjalankannya.

BEBERAPA PERUBAHAN TATA CARA KEHIDUPAN MASYARAKAT ADAT


KAMPUNG MAHMUD

Walaupun secara umum pantangan atau tabu ini dapat dikelompokan ke dalam
lingkup adat istiadat, namun selain mempunyai sipat-sipat yang lebih khusus juga lebih
tepat kalau dimasukan ke dalam system kepercayaan. Tabu berarti suatu usaha untuk
menghindarkan diri dari suatu perbuatan tertentu, sebab kalau perbuatan itu dilakukan
akan mempunyai akibat yang kurang baik atau tidak baik. Pantangan atau tabu merupakan

12
hukum tertua di dalam kehidupan manusia, dan dengan menaati pantangan itu pulalah
masyarakat dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya (Singgih Wibisono : 1972 :
13). Dalam kehidupan masyarakat Sunda, pantangan atau tabu ini dikenal dengan sebutan
cadu atau pacaduan dan khususnya bagi masyarakat Kampung Mahmud pacaduan ini
masih sangat dipercayai dan dipatuhi.
Pantangan adalah hukum sosial yang dipaksakan secara sakral, serta mempunyai
sangsi dalam kehidupan masyarakat bila terjadi pelanggaran. Agar pantangan tersebut
tetap dikenal dan dipatuhi oleh segenap warga masyarakatnya, maka harus ada petugas
yang cukup berwibawa dan dihormati oleh sekuruh warga masyarakat sebagai pemegang
otoritas. Di Kampung Mahmud pemegang otoritas itu dipegang oleh sesepuh kampung
atau kuncen. Oleh karena itu tabu atau pantangan tersebut merupakan salah satu wujud
dari system religi dan biasanya bersumber dari system kepercayaan masyarakat, sehingga
kekuatan tabu atau pantangan tersebut terletak di dalam kesakralannya.
Dalam masalah pertabuan ini, Kampung Mahmud memiliki keistimewaan atau
perbedaan dengan daerah lain. Menurut para informan, hal itu memang tidak dikaitkan
dengan ajaran agamanya, melainkan dengan perkataan yang pernah diucapkan leluhur
dulu, yaitu Eyang Abdul Manaf. Dari perkataan tersebut ada rasional, ada juga yang yang
tidak memiliki alas an atau latar belakangnya. Ada beberapa tabu atau pantangan yang
adapat diakatakan tabu khusus Kampung Mahmud yaitu ; tidak boleh membuat rumah dari
bahan tembok ; tidak boleh membuat rumah dengan menggunakan kaca ; tidak boleh
menabuh goong ; tidak boleh memelihara atau beternak angsa ; tidak boleh membuat
sumur.
Pertabuan kesatu, kedua dan kelima tidak ada keterangan bagaimana latar
belakangnya. Adapun untuk butir tiga dan empat, latar belakangnya didasari, bahwa
dulunya Kampung Mahmud merupakan tempat persembunyian sekelompok masyarakat
pada jaman penjajahan Belanda, sehingga tempat itu harus terhindar dari keberisikan. Jadi
gong dan beternak angsa dianggapa akan mengganggu ketentramanan. Dengan adanya
larangan tersebut, Kampung Mahmud belum pernah terinjak oleh penjajah.
Sampai sekarang amanat berupa larangan dari leluhur mereka tersebut dipegang
teguh oleh masyarakatnya. Mereka tidak berani melanggarnya. Terbukti rumah-rumah
tidak ada yang bertembok dan berkaca, mereka tidak memelihara angsa, juga tak pernah

13
membunyikan gong besar, baik yang telah dikemas dalam bentuk kesenian (wayang golek
dan degung) maupun tidak. Konon, jika ada yang melanggar akan trejadi musibah yang
menimpa, baik berupa kebakaran atau suatu kejadian yang menimpa anggota keluarga.
Bahkan sebelum tahun 1960-an, barang elektronik seperti radio, telaevisi tidak ada. Pernah
terjadi peristiwa, radio ketika dinyalakan menjadi hancur. kondisi lingkungan Kampung
Mahmud sekarang ini sudah banyak berubah, air sungai citarum yang awalnya menjadi
salah satu sumber kehidupan, airnya sudah banyak trecemar limbah, kondisinya sudah
tidak jernih lagi dan tidak dapat digunakan untuk keperluan hidupsehari-hari. Sumur
kembali berair, hingga sekarang hampir disetiap rumah terdapat sumur. Umtuk membuat
sumur sebelumnya mereka memohon petunju-Nya dan mengirim doa kepada leluhur.
Demikian pula dengan alat elektronik, sekarang hampir disetiap rumah ada. Adapun
mengenai bangunan rumah, binatang peliharaan angsa, dan gong besar, masyarakat tidak
berani dan enggan melanggarnya.
Sekitar tahun 1987, Haji Amin (Alm), melakukan terobosan dengan mencoba
membuat Mesjid yang bertembok dan berkaca. Sebelumnya ia menajalani puasa dan
berdoa selama 40 hari, meminta izin kepada leluhur. Ternyata pembangunan mesjid daoat
berjalan dengan lancar dan ia bersama keluarganya tidak mengalami musibah apa-apa.
Akan tetapi untuk rumah pribadi, ia tetap tidak berani melanggar amanat leluhur.
Satu hal yang membuat aneh masyarakat lain bahkan pihak pemerintah dan para
ilmuwan, adalah ketika Sungai Citarum banjir besar dan menggenangi beberapa daerah,
wilayah Kampungh Mahmud selamat tidak terkena banjir. Padahal dilihat dari ketinggian
datarannya, Kampung Mahmud saat itu pasti sudah habis tergenang banjir. Hal itu dilihat
dari sudut ilmu pngetahuan dan segi logikanya. Akan tetapi jika dilihat dari sudut
keimanan, hal itu mungkin saja jika yang Maha Kuasa berkehendak.

SIMPULAN

Budaya Kampung Mahmud memang masih bersifat tradisional, adat istiadat masih
berlaku merupakan hasil dari konstruksi pemahaman, pengetahuan dan ide pendiri
Kampung Mahmud. Dalam perkembangannya itu situasi Kampung Mahmud tidaklah
statis, kondisi sosial budaya Kampung Mahmud senantiasa berubah seiring dengan

14
perkembangan zaman. Dalam perilaku kehidupan keseharian, masyarakat telah mengalami
perubahan dari yang sifatnya tradisional menjadi masyarakat yang modern. Terjadi
semacam transisi budaya, melalui fase ini walaupun sebetulnya belum menjadi masyarakat
yang modern seutuhnya. Tetapi benturan budaya modernitas berusaha membuat budaya
yang telah terbentuk dalam aturan keseharian Kampung Mahmud menjadi bias, seperti
dalam penggunaan teknologi, perkembangan pola pikir, kehidupan ekonomi dan pola
home industri yang mendekati cir-ciri menuju masyarakat modern. Ciri-ciri itu telah
masuk sebagai pengaruh dari perilaku masyarakat modern dalam menjalankan kehidupan
keseharian.
Pada akhirnya ajaran-ajaran moral itu mempunyai makna baik itu secara simbolik
yang secara tidak langsung mengikat anggota masyarakatnya untuk menjadi bagian dan
menaati serta berkewajiban untuk melestarikan ajaran moral yang di ajarkan karuhun
untuk senantiasa dipegang teguh sebagai pedoman hidup anggota masyarakat itu
(internalisasi).
Proses transisi budaya masyarakat Kampung Mahmud menuju masyarakat modern
terjadi sebagai ekses dari benturan modernitas. Interpretasi tokoh adat mempengaruhi pola
pikir masyarakat dalam memaknai kehidupannya terhadap keadaan geografis yang
berubah, ini berlangsung secara situasional. Budaya Kampung Mahmud memang masih
bersifat tradisional, adat istiadat masih berlaku merupakan hasil dari konstruksi
pemahaman, pengetahuan dan ide pendiri Kampung Mahmud.
Dalam perkembangannya itu situasi Kampung Mahmud tidaklah statis, kondisi
sosial budaya Kampung Mahmud senantiasa berubah seiring dengan perkembangan
zaman. Dalam perilaku kehidupan keseharian, masyarakat telah mengalami perubahan dari
yang sifatnya tradisional menjadi masyarakat yang modern. Terjadi semacam transisi
budaya, melalui fase ini walaupun sebetulnya belum menjadi masyarakat yang modern
seutuhnya. Konstruksi nilai-nilai budaya diwariskan leluhur untuk menjadi sebuah esensi
dari nilai-nilai budaya yang kemudian dilestarikan keberadaannya. Tetapi benturan
kemajuan teknologi yang terus berkembang dari berbagai lini kemudian berpengaruh
terhadap kelangsungan nilai-nilai budaya yang dijalani.

15
DAFTAR PUSTAKA

Ardianto, Elvinaro & Bambang Q- Anees. Filsafat Ilmu Komunikasi. Simbiosa Rekatama
Media. 2007.

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Barat. Kampung Adat dan Rumah Adat
Di Jawa Barat. 2002.

Gaus, F. Gerald & Chandran Kukhatas. Handbook Teori Politik. Nusa Media: Bandung.
2012.

Hardiman, F. Budi. Menuju Masyarakat Komunikatif. Kanisius: Yogyakarta. 2009.

Hardiman, F. Budi. Robertus Robet. A. Setyo Wibowo. Thomas Hidya Utama. Empat
Essai Etika Politik.: Jakarta. 2011.

Haryoto Kunto. Wajah Bandoeng Tempo Doeloe. Bandung : Granesia. 1984.

Jakob Sumardjo. Arkeologi Budaya Indonesia Pelacakan Hermeneutis – Historis


terhadap Artefak – artefak Kebudayaan Indonesia Yogyakarta: Qalam. 2002.

Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta: Djambatan. 2002.

M, S., Aloliliweri. Gatra-Gatra Komunikasi Antar Budaya. Pustaka Pelajar:


Yogyakarta. 2011.

Morissan, Andy Corry Wardhany. Teori Komunikasi. Ghalia Indonesia: Jakarta. 2009.

Mulyana, Deddy. Metode Penelitian Kualitatif. Rosda Karya: Bandung. 2008.

Mulyana, Deddy & Solatun. Metode Penelitian Komunikasi. Rosda Karya: Bandung.
2008.

Samovar, Larry A. Richard E. Porter. Edwin R. McDaniel. Komunikasi Lintas Budaya:


Communication Between Cultures ed:7. Salemba Humanika: Jakarta. 2010.

Schutz, Alfred. On Phenomenology and Social Relation. Chicago: The University of


Chicago Press. 1970.

Suseno, Frans Magnis. Etika Politik. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. 2003.

Soepandi B.A, Atik. Khasanah Kesenian Daerah Jawa Barat. Bandung : Pelita Masa. 1977

16

Anda mungkin juga menyukai