Anda di halaman 1dari 6

Nama : HAFIZ FADHLAN

Kelas/Prodi : B / PAI

NIM : 2.215.3.056

Tugas : UTS Sejarah Peradaban dan Pemikiran Islam (SPPI)

1. Pemikiran Tokoh Lokal (Drs. Lili Suherli, M.Si)


2. Pemikiran Tokoh Internasional (Recep Tayyip Erdogan)

Pemikiran Drs. Lili Suherli, M.Si.

Drs. Lili Suherli, M.Si. atau selanjutnya disebut Pak Lili ada seorang guru PAI di
SMK Negeri 6 Bandung. Beliau kini berdomisili di Desa Cangkuang, Rancaekek. Di tempat
tinggalnya, beliau menjadi tokoh masyarakat yang disegani masyarakat sekitar. Salah satu
jasa beliau dalam memajukan masyarakat sekitar tempat tinggalnya adalah mendirikan
sebuah Raudhatul Athfal (RA) sejenis Taman Kanak-Kanak (TK).

Asal mula berdirinya RA ini adalah rasa syukur Pak Lili kepada Allah atas yang telah
diberikan-Nya selama hidup Pak Lili. Akhirnya beliau mendirikan sebuah RA. Adapun ayat
al-Qur’an yang mendasari pendirian RA tersebut adalah ayat dalam surat Al-Baqarah ayat
152 yang berbunyi “Fadzkuruni adzkurkum, wasykuruli wala takfurun”.

Ternyata rencana Pak Lili mendirikan RA, disambut baik oleh masyarakat. Apalagi di
daerah tersebut tidak terdapat RA. Sehingga ide Pak Lili memang dibutuhkan oleh
masyarakat sekitar.
Saat awal pendirian RA pada tahun 2008, RA masih menumpang di Mesjid setempat.
Berbekal izin dari DKM, akhirnya pembelajaran bisa dilakukan di Mesjid tersebut. Selang 3
bulan kemudian, pembelajaran pun dipindahkan ke tempat resmi RA tersebut. Sebab saat
awal pendirian, Pak Lili sudah membeli tanah untuk ruang kelas belajar.

RA yang bernama Adz Dzikri ini kini telah memiliki 5 guru dan 5 rombongan belajar
tiap tahunnya. Sebuah perjalanan yang tidak mudah untuk mencapai kesuksesan. Tapi hal
tersebut adalah hal yang bisa diraih dengan penuh doa dan kerja keras.

Pemikiran Recep Tayyip Erdogan

Salah satu tokoh Islam kontemporer dan berpengaruh di abad 21 ini, yang menarik
untuk kita amati dan kaji adalah  Recep Tayyeb Erdogan selaku mantan Perdana Menteri
yang kini naik jabatan menjadi Presiden Turki, yang disegani kawan maupun lawan, bahkan
di tingkat internasional. Ia telah berupaya memperjuangkan nilai-nilai Islam secara persuasif,
di tengah budaya kehidupan dan sistem pemerintahan yang menganut paham sekularisme.
Semenjak “diracuni” oleh Mustafa Kemal Ataturk, dengan menggantikan sistem kekhilafahan
Turki Ustmani dengan sistem sekuler pada tahun 1924. Semenjak itu, sistem pemerintahan
Islam yang menguasai tiga perempat dunia menjadi terpecah belah, bak “macan ompong” . 
Terkait dengan Erdogan, banyak para pengamat yang menilai, perkembangan Islam
dan politik di Turki menjadi fenomena yang sangat menarik akhir-akhir ini. Keberhasilan
kelompok Islam untuk mempengaruhi proses politik nasional setelah mewujud dalam partai
politik yang dominan, perlu mendapatkan perhatian khusus. Bukan saja karena kehadiran
para aktivis Islam yang tergabung dalam Partai Keadilan dan Pembangunan (Adelet ve
Kalkinma Partisi/AKP) ini mampu mengurai persoalan pelik hubungan Islam dan negara,
tetapi lebih dari itu, proses panjang gerakan Islam mampu masuk dalam mainstream politik
Turki dengan ideologi sekuler  paling kuat di dunia ini juga patut menjadi bahan diskusi1.
Dengan king maker-nya, Erdogan selaku Perdana Menteri Turki, Pendiri Partai Keadilan dan
Pembangunan.
Diantara bukti komitmen keislaman dan seruan dakwah Erdogan adalah
keberaniannya ketika membacakan kutipan bait-bait puisi seorang penyair Ziya Gokalp, yang
disampaikan dengan penuh semangat dan suara lantang di sela-sela konferensi Umum Partai
Refah di Kota Sard, Tenggara Anatolia;
“Masjid adalah barak kami, kubah adalah penutup kepala kami, menara adalah
bayonet kami, orang-orang beriman adalah tentara kami, tentara ini yang menjaga agama
kami”.2
Sehingga dengan alasan itu pengadilan intelijen Negara di Diyarbakir tahun
1998,  memutuskan Erdogan selama 10 bulan penjara dan melarangnya dari aktvitas politik.
Karena dianggap telah memprovokasi rakyat untuk membangkitkan rasa keberagamaan. Pada
hari penjatuhan vonis pengadilan, massa mendatangi rumahnya untuk mengucapkan
perpisahan dan menunaikan shalat Jumat bersamanya di Masjid Muhammad Al-Fatih. Seusai
shalat, ia menuju penjara dengan diiringi 500 mobil pendukungnya. Lalu ia menyampaikan
pidatonya yang terkenal, pidato yang bisa dijadikan teladan bagi sesama. Ia mengata,
“Seorang mukmin kebahagiaannya akan tampak diwajahnya, dan kesedihannya ada dalam
hatinya”. Lalu ia menegaskan:3 
“Selamat tinggal, wahai para pendukungku. Aku ucapkan selamat Hari Raya Idul
Adha kepada penduduk Istanbul, masyarakat Turki dan seluruh dunia Islam. Aku tidak
pernah merasa keberatan dan aku tidak akan dendam untuk menentang negaraku. Aku akan
menghabiskan waktu beberapa bulan ini untuk mempelajari jalan-jalan yang dapat mengantar
negeri ini pada era millennium ketiga, insyaAllah itu adalah masa-masa yang indah. Aku
akan bekerja sungguh-sungguh dipenjara. Sementara kalian yang berada di luar penjara,
berbuatlah sesuai dengan batas kemampuan kalian….aku titipkan kalian kepada Allah,
mohon maafkan aku, doakan aku agar bisa bersabar dan diberi kekuatan. Sebagaimana aku
berharap kalian tidak mengeluarkan protes apapun terhadap partai-partai lain. Hendaknya
kalian menjalani semuanya ini dengan penuh kewibawaan dan ketenangan, tanpa ada

1 http://www.sabili.co.id/resensi/kebangkitan-pos-islamisme-analisis-strategi-dan-kebijakan-akp-turki-
memenangkan-pemilu
2 Syarif Taghian, Erdogan Muadzin Istanbul Penakluk Sekularisme Turki, Jakarta: Al-Kautsar, 2012, Cet. 1,  Hal.29
3 Syarif Taghian, Ibid., hal. 28-29
tindakan protes dan teriakan penentangan sebagai ungkapan rasa sakit kalian. Tunjukkan
kecintaan kalian pada kotak-kotak suara pada pemilu yang akan datang”.
Pepatah mengatakan, “Banyak sekali kesengsaraan yang membawa kenikmatan”.
Empat bulan di penjara memberikan pengaruh yang baik bagi Erdogan. Beliau keluar dari
penjara dengan ide-ide reformasi dan cara-cara moderat, tanpa ada ucapan yang keras,
berdasarkan prinsip, “jangan engkau menjadi keras sehingga engkau bisa pecah, dan jangan
engkau menjadi lembek sehingga engkau bisa diperas”. Langsung saat keluar dari penjara,
Erdogan mengumumkan bahwa ia telah mengganti pakaian politiknya. Hanya saja, partai
oposisi sekular menganggapnya sebagai kepura-puraan belaka. Pada saat itu, Erdogan
bermaksud menguasai aparatur negara untuk mengubah aturan dan mengganti paham
sekularisme. Kebenaran ini masih belum bisa diterima secara nalar oleh kaum sekular,
dimana Erdogan sangat mempercayainya dan telah dijelaskan dalam berbagai kesempatan4.
Bersama sahabat perjuangannya, Abdullah Gul, ia memikirkan cara baru untuk
merealisasikan ide-ide reformasi mereka yang bertentangan dengan pemikiran pemimpin
sekaligus guru mereka, yaitu Necmettin Erbakan. Perbedaan pendapat sangat jelas di antara
kelompok orang-orang yang ingin mempertahankan kepemimpinan Erbakan dan kelompok
reformis yang dipimpin oleh Erdogan dan Gul, di mana keduannya memiliki pemikiran
bahwa Partai Refah berda dalam kesalahan fatal selama masih berseteru dengan Negara dan
menggunakn semboyan-semboyan keagamaan dalam masalah politik, sebagaimana
pengobaran semangat pasukan yang melestarikan sekularisme Attaturk. Maka kudeta pun
terjadi secara diam-diam, dan pemerintah Erbakan dijatuhkan serta adanya larangan terhadap
Partai Refah. Bahkan Partai Fadhilah penjelmaan baru Partai Refah pun dibubarkan.5
Maka akhirnya kelompok pembaharu, Erdogan dan Gul mendirikan Partai Keadilan
dan Pembangunan (AKP), di bawah pimpinan Erdogan pada 14 Agustus 2001. Prediksi
Erdogan terealisasikan, lalu Partai AKP berhasil mengikuti pemilu yang diselenggarakan
pada tahun 2002. Selain itu partai ini berhasil mangantarkan 323 wakil-wakilnya di parlemen.
Ini adalah kemengan yang gemilang, di mana pemerintah bisa mengatur pemerintahan
sekarang6. Dalam  politik moderatnya, Erdogan selalu menjaga hubungan dengan berbagai
kelompok didasari pada kecerdasan politik yang dimilikinya. Ia bekerja berdasarkan
keteguhan semangat politiknya yang jauh dari ektrimisme keagamaan,
apalagi background Islami yang menjadi ciri khasnya. Beberapa factor Erdogan disukai

4 Syarif Taghian, Ibid., hal. 31
5 Syarif Taghian, Ibid., hal. 31-32
6 Syarif Taghian, Ibid., hal. 32 dan 34
rakyat adalah reputasi baik dan kewibawaannya, tidak punya cacat dan tidak suka
mengumbar janji-janji kosong7.
Partai AKP bukan hanya partai moderat, tapi ia parta Islami yang memadukan nilai-
nilai keagamaan dan kehidupan politik. Berdasarkan keyakinan bahwa partai Islam adalah
partai yang mampu memposisikan ajaran Al-Quran dan Hadits dalam bentuk prinsip-prinsip
dasar yang cakap dalam mengatur Negara dan masyarakat. Inilah yang ditunaikan oleh partai
AKP, dimana ia berjuang demi menegakkan keadilan social dan menghormati nilai-nilai
keagamaan, mengakui nilai-nilai keagamaan, memenuhi kesejahteraan masyaraat, menjamin
kebutuhan meraka terhadap pendidikan dan kesehatan, serta mendorong potensi
negaranya8. Walau masih tidak terang-terangan menyatakan menegakkan syariat Islam di
Turki, Erdogan dan partainya sudah berhasil meyakinkan masyarakat Turki yang sudah
sekian puluh tahun terkungkung dalam topeng sukuler Turki kepada pembangunan nilai-nilai
Islam yang universal9. Hingga akhirnya mengantarkan Abdullah Gul sebagai Presiden dan
Erdogan sebagai Perdana Menteri Turki.
Politik merupakan seni menjalan kekuasaan dan mengatur rakyat yang dipimpinnya.
Ketika kekuasaan sudah di tangan, maka identitas harus lebih ditegaskan. Inilah yang
dilakukan oleh Recep Tayyib Erdogan, seorang politisi Islam Turki yang dijuluki sebagai
“Muadzin Penumbang Seklarisme Turki”. Erdogan berhasil meyakinkan rakyat Turki, bahwa
sekularisme yang pernah menggurita dan ekstrem pada masa Mustafa Kamal Attaturk, yang
menihilkan nilai-nilai Islam, adalah masa kegelapan yang membuat negeri indah ini berada
dalam kendali otoritarian dan pemimpin yang mabuk dalam kekuasaan. Erdogan meyakinkan
rakyatnya, bahwa dengan identitas Islam, Turki bisa mengembalikan kejayaan Kekhalifahan
Utsmani, kekhalifahan yang tidak hanya kuat dari segi pertahanan, tapi juga dalam
perekonomian. Pada masa lalu, kekuasaan Khilafah Utsmaniyah mampu membuka jalur-jalur
perdagangan ke berbagai belahan dunia, bahkan sampai ke Indonesia10.
  Dengan keyakinan bahwa “Islam adalah Solusi” (Al-Islama huwa al-hal), Erdogan yang
dibesarkan dalam lingkungan keislaman, mampu menunjukkan kesantunan dan
kepiawaiannya dalam berpolitik, sehingga berhasil menumbangkan “berhala sekularisme
Attaturk” tanpa melakukan kudeta dan melesatkan peluru sebutir pun. Sekularisme yang
disucikan militer, dan dijaga oleh kekuatan senjata, mampu ditumbangkan dengan kudeta
tanpa senjata. Siapa mengira, symbol-simbol keislaman yang pada masa lalu dilarang dan

7 Syarif Taghian, Ibid., hal. 36
8 Syarif Taghian, Ibid., hal. 51
9 http://www.eramuslim.com, /berita/silaturrahim/erdogan-dan-dakwah-islam-di-turki, loc.Cit.,
10 Syarif Taghian, Op.Cit., hal. v
diganti dengan hukum Swiss (Swiss Code) oleh dictator Kemal Attaturk, seperti jilbab dan
lain-lain, kini bisa bebas dan kembali menjadi identitas muslimah Turki di jalan-jalan.
Bahkan tak ada yang menduga, dengan “kudeta tanpa senjata” pengunaan yang tabu dalam
lembaga-lembaga pemerintahan, kini mendapat kebebasan. Jilbab bahkan masuk istana dan
menghiasi acara-acara kenegaraan, dengan tampilnya Nyonya Erdogan sebagai ibu Negara11.
            Erdogan merupakan contoh politisi dan pemimpin yang tidak larut dalam kekuasaan,
sehingga melupakan identitas keislamannya. Jejak rekamnya dalam membela kaum muslimin
yang tertindas, terutama di Palestina, sudah tidak diragukan lagi. Begitu pun kritik-kritiknya
terhadap Barat, terutama yang tergabung dalam Uni Eropa, terkait persoalan hak-hak asasi
umat Islam yang terkadang mendapatkan perlakuan zalim12.
Sehingga dengan yang demikian, banyak pengamat –Turki dan Barat- menilai  bahwa
kebijakan luar negeri Turki telah bergeser ke sumbu "baru” yaitu fokus ke arah Timur  yang
“terlalu Islami” dan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang ditetapkan oleh Attaturk.
Namun Erdogan dan Partai AKP membantah pandangan tersebut13.
           

11 Syarif Taghian, Ibid., hal. vi-vii


12 Syarif Taghian, Ibid., hal. vii
13 Zeyno Baran, Torn Country Turkey Between Scularism & Islamism,  California United State of Amerika; Hoover Institution
Press Pub lication, 2010

Anda mungkin juga menyukai