Disusun oleh :
Zamzam Mumtaz
Jalaalul Musthofa
A. Pendahuluan
Ilmu pengetahuan atau yang dalam Bahasa Inggris disebut dengan Science, telah
mengalami berbagai perkembangan hingga saat ini. Perkembangan ini sifatnya
berkelanjutan, dan akan terus terlaksana sampai waktu yang tidak ditentukan. Dorongan
keingintahuan manusialah yang mendorong terjadinya perkembangan ini. Kreatifitas
akal manusia, menyebabkan munculnya berbagai perubahan dan peningkatan dalam
lingkup ilmu pengetahuan. Salah satu bukti dari perkembangan ilmu pengetahuan
adalah munculnya berbagai aliran-aliran pemikiran yang masing-masing dari mereka,
menawarkan konsep dan metodologinya sendiri. Konsep dan metodologi yang
ditawarkan oleh aliran-aliran tersebut, dibangun diatas fondasi paradigmanya masing-
masing. Hal ini menjadi bukti bahwa cara berfikir manusia bersifat variatif, dan
kreatifitas akal akan terus berkembang dan memunculkan konsep-konsep baru yang
akan menambah keberagaman dalam lingkup ilmu pengetahuan. Keberagaman ini di
satu sisi, menunjukan adanya upaya penggalian yang mendalam terhadap sesuatu yang
disebut dengan kebenaran. Namun, di sisi lain keberagaman dan perbedaan-perbedaan
ini malah memicu terjadinya permasalahan dalam kerangka intelektual. Lebih buruknya
lagi bahkan, konflik fisik pun kadang tidak dapat terhindarkan, sehingga banyak yang
menjadi korban dari perkembangan ilmu pengetahuan saat ini. Sebut saja konflik
antara gereja dan para saintis yang terjadi sejak sebelum masa pencerahan sampai pada
awal masa titik balik ilmu pengetahuan.
Pada abad ke-20 perkembangan ilmu pengetahuan mencapai tahap yang lebih
kompleks. Pada masa ini sistem ilmu pengetahuan didominasi oleh para saintis
berpaham positivisme. Aliran positivisme yang biasa disebut dengan Empirisme-Logis
ini berkembang dan menyebar secara cepat di tengah para saintis. Mereka terdiri atas
para ahli filsafat dan saintis yang menunjukkan kecenderungan sikap yang anti terhadap
metafisik, anti terhadap spekulatif, realistis, materialistis, dan kritis, serta skeptis. Aliran
pemikiran ini pertama kali diperkenalkan oleh Auguste Comte, melalui bukunya yakni
Cours de Philosophie Phositive (Somantri, 2007). Sistem ilmu pengetahuan dari aliran
pemikiran inilah yang kemudian akan dikritisi oleh Karl Popper.
Dominasi aliran positivisme terus berlanjut sepanjang abad ke-20. Utamanya saat
kehadiran Lingkar Wina (Vienna Circle) yang pada saat itu dikenal sebagai pusat
intelektual, dengan para anggotanya yang merupakan saintis-saintis terkenal. Lingkar
Wina, sangat berperan besar dalam menyuburkan paradigma positivistik dalam sistem
ilmu pengetahuan. Salah satu masalah yang dibahas dalam lingkar ini adalah
permasalahan demarkasi, yaitu permasalahan garis pemisah ilmu pengetahuan. Dimana
mereka mencoba merumuskan standar tetap untuk menentukan apakah suatu ilmu dapat
dikategorikan sebagai Science atau Pseudo-Science, atau dengan kata lain, Meaningless
atau Meaningfull (Popper, 1962). Kesimpulan yang dikemukakan oleh para saintis di
Lingkar Wina adalah bahwa verifikasi-lah yang menjadi standar dari demarkasi ini.
Untuk itu sesuatu dapat dikatakan Science ketika sesuatu tersebut dapat diverifikasi
melalui observasi terhadap objek dan fakta yang ada. Hal inilah yang menjadi salah satu
sasaran kritik Popper.
Kehadiran Popper sebagai seorang filsuf sekaligus seorang saintis yang kemudian
mengkritisi Lingkar Wina beserta dengan sistem positifistiknya yang cukup
kontroversial pada saat itu. Namun, dari kritiknya inilah kemudian ilmu pengetahuan
dapat bertransformasi menjadi lebih kompleks dan kokoh pada masa sekarang ini. Karl
Popper dengan aliran Rasionalisme-Kritis-nya, sangat besar pengaruhnya pada abad ke-
20 (Chatton, 2004). Teori falsifikasi yang dikemukakannya terbukti lebih dapat diterima
dan lebih kuat dasarnya, ketimbang prinsip verifikasi induktif yang ditawarkan oleh
positivis.
B. Pembahasan
Konsep Verifikasi
Fungsi filsafat menurut pandangan Ayer dalam (Na’im, 2021) itu melulu
bersifat kritik. Kritik-kritik yang dilancarkan oleh filsafat itu memang berguna untuk
mengantar kita kearah pintu gerbang ilmiah, namun itu bukan berarti filsafat
merupakan suatu jenis “Super Sciences” (ilmu pengetahuan tertinggi), sebab tugas
filsafat bukanlah menetapkan perandaian-perandaian bagi ilmu pengetahuan. Filsafat
tidak mengandung tugas positif seperti yang di miliki ilmu-ilmu pengetahuan
empirik.
Karl Raimund Popper dilahirkan pada tahun 28 Juli 1902 di Wina. Ibunya menanamkan
ketertarikannya pada musik hingga ia sempat ingin mengambil karir di bidang ini.
Kemudian, kecintaannya terhadap music menjadi kekuatan inspiratif dalam
membangun pemikiran dan originalitas interpretasi antara dogmatis dan pemikiran
kritis. Popper dilahirkan ditengah keluarga Yahudi, sebelum kemudian mereka beralih
agama ke Protestan dengan mengikuti denominasi Lutheranisme (Parvin, 2010).
Ayahnya Dr. Simond Siegmund Karl Popper bekerja sebagai pengacara profesional.
Dalam karya otobiografinya, Popper menjelaskan bahwa ayahnya lebih sebagai seorang
cendekiawan, ketimbang sebagai seorang pengacara. Ayahnya memiliki ketertarikan
yang besar kepada sastra, sejarah, dan juga filsafat. Dalam perpustakaan pribadi di
dalam apartemennya terdapat sekitar 14.000 karya, termasuk karyanya Plato, Francis
Bacon, Descartes, Spinoza, Nietzsche, John Locke, Kant, dan John Stuart Mill (Popper,
1974).
Pada usianya yang masih muda, yakni 16 tahun (1918), Popper memutuskan untuk
melawan sistem yang diberlakukan oleh pemerintah pada masanya. Ini dikarenakan
sikap pemerintah yang mempolitisasi para pemuda melalui sistem pendidikan yang
dilaksanakan. Perlawanannya ini terus berlanjut. Salah satu bentuk perlawanannya
adalah dengan memutuskan untuk keluar dari sekolahnya, meskipun hal tersebut tidak
sesuai dengan keinginan kedua orang tuanya. Mulai dari saat itu, Popper memilih untuk
mendaftar sebagai pendengar bebas Universitas Wina. Setelah 4 tahun menjadi
pendengar bebas, pada tahun 1922 barulah Popper resmi menjadi mahasiswa di
Universitas Wina. Sebelum itu, Popper sudah melewati pengujian Matrikulasi terlebih
dahulu.
Pada masanya ini, Popper menjadi seorang simpatisan Marxis, dan bahkan dapat
dikatakan sebagai seorang Marxis pula. Dia dan pemuda di masanya percaya, bahwa
dengan Komunisme lah, konflik yang terjadi dapat diatasi (Parvin, 2010). Namun
simpatinya ini tidak bertahan lama. Pada usianya yang tepat berumur 17 tahun ia
menjadi anti Marxis karena kekecewaannya pada pendapat yang menghalalkan segala
cara dalam melakukan revolusi termasuk pengorbanan jiwa. Dorongan lain yang juga
sangat kuat untuk membuatnya berubah menjadi seorang anti Marxis, adalah karena
terjadinya tragedy demonstrasi dan pemberontakan mahasiswa, yang berujung pada
banyaknya korban. Utamanya dari pihak mahasiswa yang ditembak dan dibunuh oleh
polisi ditempat kejadian.
Adapun riwayat hidup Popper, termasuk juga riwayat ilmu dan filsafatnya, ditandai
dengan kebencian akan segala usaha untuk memutlakkan sesuatu yang telah menggores
pribadinya, baik karena pengalamannya maupun akibat kekejian dari pengamukan
ideologi Hitler dan kaum Nazi yang mengakibatkan terjadinya pembantaian pemuda
yang beraliran sosialis dan komunis dan banyak dari teman-temannya yang terbunuh.
Maka sejak saat itu pun perkembangan macam-macam ideologi dalam rangka sejarah
filsafat Barat mulai dikecam Popper. Sebagaimana halnya dalam ilmu alam segala teori
yang bercorak dogmatis itu di tolaknya, demikian pun dalam filsafat sosial dan ilmu
masyarakat. Terutama ajaran Plato, Hegel dan Marx oleh Popper dicurigai sebagai
ideologi yang menjadi musuh utama dari “open society“ yang diidam-idamkannya
(Driyakara, 1977).
Dalam aliran-aliran filsafat, Popper termasuk dalam aliran Rasionalisme Kritis, bahkan
merupakan perintis aliran tersebut. Meskipun berkenalan dengan beberapa tokoh dalam
lingkaran Wina, namun ia tidak pernah menjadi anggota lingkaran Wina. Bahkan ia
jengkel, kalau pandangan-pandangannya dikaitkan dengan positivisme logis. Adapun
Tokoh yang cukup berpengaruh pada Popper yang berkaitan dengan perkembangan
pemikiran filsafatnya adalah Karl Buhler, seorang professor psikologi di Universitas
Wina. Buhler memperkenalkan pada Popper tentang 3 tingkatan fungsi bahasa, yaitu
fungsi ekspresif, fungsi stimulatif, dan fungsi deskriptif. Dua fungsi pertama selalu
hadir pada bahasa manusia dan binatang sedangkan fungsi ketiga khas pada bahasa
manusia dan bahkan tidak selalu hadir. Pada perkembangannya Popper menambahkan
fungsi keempat yaitu fungsi argumentatif, yang dianggapnya terpenting karena
merupakan basis pemikiran kritis. Selain itu, Popper juga banyak menarik perhatian
melalui pemikiran-pemikirannya. Beberapa diantaranya yang paling menarik adalah
falsifikasi, kritiknya terhadap induksi, teori politiknya yakni The Open Society.
Popper meninggal dunia pada tanggal 17 September 1994 di London Selatan akibat
penyakit jantung. Adapun beberapa karya tulisnya yang terbesar antara lain sebagai
berikut: The Poverty of Historicism (1945), The Open Society and Its Enemies I dan II
(1945), The Logic of Scientific Discovery (1959), Conjectures and Refutations: The
Growth of Scientific Knowledge An Evolutionary Approach (1963), The Philosophy of
Karl Popper (1974), Unended Quest, dan The Self and Its Brain.
Melalui biografinya tersebut kita dapat melihat perkembangan pemikirannya. Mulai dari
keraguan-keraguan yang menghampirinya, sampai dengan terbentuknya pemikiran
utuhnya yang kompleks. Susunan pemikirannya yang kompleks ini kemudian
terangkum dalam alirannya yakni Rasionalisme-Kritis.
Rasionalisme-kritis Popper
Aliran pemikiran yang dipelopori dan dibangun oleh Popper disebut olehnya dengan
terima Rasionalisme- Kritis. Dalam satu terma tersebut, terkandung dua terma yang
berbeda, yakni Rasionalisme dan Kritis. Untuk mengkaji lebih dalam mengenai
Rasionalisme Kritis, akan lebih baik apabila diawali dengan membahas makna dari
kedua terma tersebut.
Rasionalisme adalah paham atau aliran pemikiran yang menekankan bahwa ilmu
pengetahuan selalu berkaitan erat dengan akal. Dalam arti sempit, rasionalisme dapat
diartikan sebagai paham yang menganggap dan menekankan bahwa pengetahuan
dibentuk oleh akal. Ini berarti bahwa sumbangan akal lebih besar dari pada sumbangan
indera. Berkenaan mengenai ilmu, rasionalisme berpandangan bahwa mustahil untuk
dapat membentuk ilmu hanya berdasarkan fakta, data empiris, atau pengamatan
terhadap fakta (Peursen, 1989). Aliran ini dipelopori oleh Rene Descartes. Rene
Descartes adalah seorang filsuf yang juga dikenal sebagai bapak filsafat modern. Salah
satu yang paling terkenal dari Descartes adalah pernyataannya, yakni Cogito Ergo Sum
yang berarti “Aku berfikir, maka aku ada”. Pernyataan inilah yang kemudian menjadi
dasar dari aliran Rasionalisme dalam membangun sistem berpikirnya.
Sedangkan terma kritis dalam Rasionalisme kritis dapat dimaknai sebagai kata sifat,
yang mensifati kata Rasionalisme. Terma ini dapat juga dihubungkan dengan aliran
pemikiran Kritisisme yang juga merupakan salah satu aliran besar disamping
Rasionalisme dan Empirisme. Aliran pemikiran Kritisisme merupakan bentuk
penyelesaian dari permasalahan yang terjadi antara Rasionalisme dan Empirisme. Aliran
ini mengakui peranan akal dan keharusan empiris. Kemudian dicobanya untuk
mengadakan sintesis. Walaupun semua pengetahuan bersumber pada akal
(Rasionalisme), tetapi ada pengertian timbal balik dari objek atau benda (empirisme)
jadi metode berpikir ini disebut metode kritis (Ahmadi, 1995).
Rasionalisme Kritis, pada dasarnya terambil dari tradisi, yang tergambarkan di Yunani,
yakni kegiatan diskusi terbuka yang mendiskusikan teori-teori dengan maksud untuk
menemukan kelemahan dari suatu teori, agar selanjutnya teori tersebut dapat
dikembangkan dan ditingkatkan (Parvin, 2010). Menurut Popper dalam diskusi
semacam itu, para pesertanya harus memiliki sikap yang siap untuk menyimak
argumen kritis dan belajar dari pengalaman (Popper, 1962). Dalam pengertian yang
lebih fundamental namun sederhana, Rasionalisme Kritis dapat dimaknai sebagai sikap
yang mengakui bahwa; ”I may be wrong, and you may be right, and by an effort we may
get nearer to the truth” (Popper, 1945).
Induksi, demarkasi maupun verifikasi pada dasarnya saling berkaitan satu sama lain,
dan sulit untuk dipisahkan. Dalam konsepnya verifikasi dibangun di atas bangunan
induksi, kemudian demarkasi pun bergantung pada verifikasi sebagai standarnya.
Dalam hal induksi, Popper menolak adanya generalisasi. Keabsahan generalisasi inilah
yang digugat oleh Popper dalam prinsip atau metode induksi. Oleh karena itu, baginya
induksi beserta dengan prinsip generalisasinya tidak dapat dijadikan sebagai dasar
pembenaran suatu pengetahuan ilmiah (Popper, 1965). Sangat tidak benar menurut
Popper, untuk memberikan prediksi yang sama kepada semua A, setelah mengobservasi
beberapa atau bahkan sebagian besar A saja (Chalmers, 1983). Generalisasi,
sebagaimana yang dicontohkan di atas menunjukkan adanya pemberlakuan hukum
umum, melalui pengamatan partikular. Dengan kata lain, dalam setiap generalisasi
terkandung spekulasi. Dari titik inilah Popper memulai kritiknya terhadap para saintis
yang menganut prinsip verifikasi- induktif.
Bagi kaum positivis, induksi semacam inilah yang bisa dijadikan sebagai prinsip
verifikasi. Lalu, verifikasi lah yang dijadikan dasar atau patokan keilmiahan suatu ilmu
pengetahuan. Mereka menuntut adanya observasi, induksi, dan verifikasi agar suatu
ilmu dapat dikategorikan bermakna (Meaningful), ataupun tak bermakna (Meaningless).
Hal ini yang dimaksud dengan demarkasi, adanya pemisahan antara science yang
bermakna dan pseudo-science yang tidak bermakna. Sekurang-kurangnya seperti itulah
cara kerja sains positivistik yang berlandaskan pada prinsip verifikasi-induktif.
Kemudian, implikasi langsung dari cara kerja yang semacam ini ialah sirnanya
kemungkinan metafisika dan ilmu-ilmu agama termasuk Islam untuk menjadi bermakna
ataupun ilmiah.
Popper dalam upayanya mengkritisi induksi, dengan verifikasi dan demarkasi tidak
sekedar melakukan penyalahan, melainkan juga memberikan solusi. Popper
menghadirkan prinsip atau teori falsifikasi untuk dijadikan sebagai solusi dari
permasalahan-permasalahan. Prinsip falsifikasi ini berlaku sebagai sistem pembuktian
salah atau penyangkalan dari suatu teori atau hipotesa. Berbeda dengan verifikasi yang
mencoba membuktikan benarnya suatu teori atau hipotesa. Menurut Popper sesuatu
dapat dikatakan ilmiah, apabila sesuatu tersebut secara prinsipil terdapat kemungkinan
untuk menyatakan salahnya (Falsifiable) (Nur, 2012).
Jadi suatu teori tidak dipandang bersifat ilmiah hanya karena bisa dibuktikan
kebenarannya melalui verifikasi seperti anggapan positivis, melainkan karena dapat
diuji, melalui berbagai percobaan sistematis untuk menyalahkannya. Kemudian apabila
suatu hipotesa atau teori dapat bertahan melawan segala penyangkalan, maka kebenaran
hipotesa atau teori tersebut semakin diperkokoh, atau yang oleh Popper disebut
corroboration (Popper, 1965). Dalam keseluruhan teori Popper tidak ada yang disebut
sebagai kebenaran final atau kebenaran mutlak, yang ada hanyalah corroboration, yang
bermakna diperkuat keilmiahannya. Sehingga keseluruhan teori yang ada dalam ilmu
pengetahuan adalah sekadar hipotesis dan yang masih bersifat mungkin benar.
Kemudian, prinsip falsifikasi ini pulalah yang dijadikan oleh Popper sebagai standar
dari demarkasi ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, suatu teori dapat dikatakan sebagai
Science apabila dapat dikritisi, atau masih berkemungkinan ditemukan salahnya.
Sedangkan teori yang tidak dapat dikritisi atau tidak berkemungkinan ditemukan
salahnya, maka teori tersebut dikategorikan sebagai Pseudo-Science (Parvin, 2010).
Contoh cara kerja falsifikasi adalah ketika suatu teori diajukan, maka akan ada
pengujian kesalahan, ketika teori tersebut mungkin untuk dikritisi atau disangkal
(Falsifiable) oleh para saintis lain, maka teori tersebut dikatakan ilmiah. Kemudian
apabila teori tersebut mampu bertahan dari setiap kritik tersebut, maka teori tersebut
dapat dikatakan diperkokoh atau diperkuat (Corroboration). Hal ini sejalan dengan
prinsip dari aliran Rasionalisme-Kritis, yakni ”I may be wrong, and you may be right,
and by an effort we may get nearer to the truth”. Melalui prinsip dasar ini maka cara
kerja sains yang dirumuskan Popper pun dapat dibangun. Sedikitnya, seperti itulah
prinsip falsifikasi Popper beserta dengan keseluruhan pemikirannya.
Popper mencoba merumuskan sebuah langkah dalam falsifikasi yang menjadi alternatif
dalam pembuktian ilmiah, menurut Popper terdapat empat langkah untuk menguji
sebuah teori, semua langkah ini harus dilakukan dari tahap demi tahap, langkah-langkah
yang dimaksud dijelaskan oleh Popper sebagai berikut :
C. Penutup
Karl Raimund Popper telah berhasil menggerakkan ilmu pengetahuan ke arah yang
lebih kompleks dan lebih baik. Kehadirannya dalam dunia keilmuan modern,
memberikan warna baru bagi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Pemikirannya telah menghantarkan ilmu pengetahuan pada kondisi yang lebih terbuka.
Dan pengaruhnya pun masih kuat sampai dengan masa sekarang ini. Rasionalisme
Kritis yang merupakan aliran pemikiran yang dibangun atas dasar pemikiran Popper,
menganggap bahwa kritik adalah usaha terbaik untuk meningkatkan kualitas dari suatu
teori. Oleh karena itu, pengetahuan ilmiah atau science haruslah selalu terbuka dengan
kritik.
Hal lain yang juga menarik dari Popper adalah, keberaniannya untuk menolak
kemutlakan kebenaran ilmu pengetahuan, dengan menyatakan bahwa semua teori ilmu
pengetahuan adalah hipotesa dan bersifat sementara. Selain itu juga, yang menarik
adalah kritiknya terhadap induksi dengan menolak prinsip generalisasi karena memang
tidaklah sesuai dengan kaidah kebenaran logis. Untuk itu, Popper menawarkan
falsifikasi sebagai solusinya. Dimana menurutnya melalui penyangkalan (Falsificate),
maka suatu ilmu dapat mendekati kebenaran dan diketahui keilmiahannya. Dengan kata
lain, teori dapat dikatakan ilmiah hanya apabila memiliki kemungkinan untuk dapat
disalahkan (Falsifiable). Prinsip falsifikasi inilah yang kemudian dijadikan sebagai garis
batas demarkasi dan menggantikan verifikasi. Kemudian, metafisika dan ilmu-ilmu
agama di dalamnya terdapat teori-teori yang dapat disangkal dan mengalami
pengembangan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, maka dari itu metafisika dan
ilmu-ilmu agama pun dapat dikategorikan ilmiah, menurut prinsip falsifikasi Karl
Popper.
D. Daftar Referensi
Ahmadi, Asmoro. 1995. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Badan Penerbit IAIN Walisongo
Press.
Anwar, Andi Saefulloh, Nanat Fatah Natsir, and Erni Haryanti. “Kajian Kritis Terhadap
Epistemologi Ilmu: Konsep Hypothetic-Deductive, Verifikasi Dan Falsifikasi”. JIIP -
Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan 5, no. 2 (February 1, 2022): 387-394. Accessed April 17,
2022. http://jiip.stkipyapisdompu.ac.id/jiip/index.php/JIIP/article/view/436.
Chalmers A.F. 1983. Apa yang dimaksud dengan Ilmu?. Alih Bahasa: Redaksi Hasta
Karya. Jakarta: Hasta Karya.
Chatton, Philip, dan Graham Macdonald (ed.). 2004. Karl Popper, Critical appraisals,.
New York: Routledge.
Peursen, C.A. Van. 1989. Fakta, Nilai, Peristiwa: Tentang hubungan Ilmu Pengetahuan
dan Etika, diterjemahkan J. Drost. Jakarta: Gramedia.
Popper, Karl. 1945. The Open Society and Its Enemies 2: Hegel and Marx. London:
Routledge.
Popper, Karl. 1962. Conjectures and Refutation. New York: Basic Book.
Popper, Karl. 1965. Logic of Scientific Discovery. New York: Harper and Row, Harper
Torchbooks.
Seri Driyarkara, Dosen STF. 1977. Sebuah bunga Rampai Dari Sudut–Sudut Filsafat.
Jakarta: Yayasan Kanisius.
Sumantri, Emma Dysmala. 2007. Kritik Terhadap Paradigma Positivis, dalam Jurnal
Wawasan Hukum. Bandung: Vol. 28 No. 01.