Anda di halaman 1dari 11

ANARKISME EPISTEMOLOGIS FEYERABEND

Oleh :
Risalatul Hukmi

FAKULTAS FILSAFAT
UNIVERSITAS GADJAH MADA (UGM) YOGYAKARTA

2014
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan baru filsafat ilmu pada ke-20 merupakan reaksi
terhadap pandangan-pandangan neopositivisme dari Lingkaran Wina (Vina
Circle) yang dianggap tidak memuaskan. Salah satu tesis sentral mereka ialah
tentang demarkasi (pemisahan) antara pernyataan-pernyataan yang bermakna
dan yang tak bermakna. Hanya pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh
sains, yaitu mengenai data-data yang dapat diobservasi, dapat dimasukkan ke
dalam wilayah hal-hal yang bermakna. Sementara itu, semua pernyataan yang
tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris melalui verifikasi yaitu
pernyataan-pernyataan yang tidak mengenai data inderawi, dimasukkan ke
dalam wilayah non-sense. Termasuk ke dalamnya adalah estetika, moral, dan
metafisika.
Dalam perkembangannya positivisme dan neo-positivisme ini
mengalami banyak sekali pertentangan. Diantaranya dari tokoh-tokoh pemikir
Eksakta yang merasa bahwa teori-tori positivistik menghegemoni pemikiran
mereka dan membuat ilmu pengetahuan menjadi stagnan. Diantara para
Fisikawan yang melawan dan mengkritik dari positivisme ini adalah: Thomas
Khun dengan Revolusi paradigmanya, Karl Pooper dengan teori falsifikasinya,
kemudian juga Feyerabend dengan Anti metodenya dan masih banyak lagi
tokoh yang mengkritik habis-habisan berkenaan dengan teori positivistik ini
(Maksum, 2011:274).
Penolakan-penolakan terhadap aliran positivisme ini banyak
diungkapkan dengan anggapan bahwa positivisme tidak menyisakan ruang
bernafas sedikit pun bagi pengetahuan nonsains. Monopoli kesahihan
pengetahuan oleh sains inilah yang mengundang banyaknya kritik dari kaum
antipositivis. Feyerabend adalah salah satu penggagas antipositivisme
tersebut. Melanjutkan kritik Popper atas metode induksi sains, Feyerabend
menawarkan sesuatu yang lebih radikal, yakni anarkisme metodologi
pengetahuan yang merayakan format pengetahuan manusia (Maksum,
2011:275).
Bisa dikatakan, dominasi pemikiran positivistik masih melingkupi
ilmu pengetahuan saat ini. Namun, faktisitas yang ada menunjukkan bahwa
banyak sekali permasalahan kehidupan dalam masyarakat tidak semuanya
dapat diatasi dengan satu sudut pemikiran saja. Hal ini menjadi sangat
menarik sekali untuk mengkaji lebih jauh lagi pemikiran anarkisme
epistemologis Feyerabend yang agaknya akan memberi suatu pandangan yang
sangat luas mengenai ilmu pengetahuan.

B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
beberapa rumusan masalah yang bertujuan untuk membatasi pembahasan yang
terlalu luas dalam makalah ini. Beberapa permasalahan tersebut dapat kami
rumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana teori Feyerabend tentang ilmu dalam rangka kritiknya
terhadap kaum positivistik?
2. Metode apa yang ditawarkan Feyerabend untuk menjawab
kritiknya tersebut?
3. Sikap ilmiah apa yang diambil Feyerabend dalam pemikirannya?
BAB II

FEYERABEND DAN PEMIKIRANNYA

A. Biografi Singkat dan Latar Belakang Pemikiran

Paul Karl Feyerabend dilahirkan pada tahun 1924 di Wina, Austria.


Tahun 1945 ia belajar seni theater dan sejarah theater di Institute for
Production of Theater, The Methodological Reform of the German Theater di
Waimar. Sepanjang hidupnya ia menyukai drama dan kesenian. Hal ini
tampak dalam karya-karyanya, di mana ia memasukan contoh-contoh dari
dunia seni untuk menjelaskan pemikiran ilmiahnya (Santoso, 2006: 149-150).

Ia mempelajari Astronomi, Matematika, Sejarah, Filsafat dan


memperoleh gelar Doktor dalam bidang Fisika di Wina, Austria. Pada tahun
50-an, ia mengikuti seminar-seminar filsafat dari Karl Popper di London.
Pada tahun 1958, ia menjadi guru besar Universitas California di Berkeley
dan berkenalan dengan Carl Freither van Weizsacker, seorang ahli
matematika kuantum. Berkat perkenalannya dengan Weizsacker inilah
pemikiran anarkisme ilmu pengetahuan Feyerabend mencapai puncak. Puncak
pemikiran anarkisnya tertuang dalam Against Method yang terbit pada tahun
1970 (Mudhofir, 2001:164).

Pemikiran Feyerabend tentang anarkisme ilmu pengetahuan dilatar


belakangi oleh dominasi paradigma pemikiran positivistik yang telah dimulai
pada abad ke-19. August Comte sebagai pencetus paradigma positivisme
terpengaruh Descartes yang menyatakan ilmu yang mendasari segala macam
ilmu adalah matematika, astronomika, kimia, fisika, biologi dan puncaknya
adalah fisika sosial (Sosiologi). Comte menyatakan, bahwa baru setelah
manusia mencapai penyelidikan-penyelidikan ilmiah, manusia akan
mendapatkan temuan-temuan yang bermanfaat. Ilmu-ilmu pengetahuan non-
alam akan kesulitan mendapatkan legitimasi karena akan berhadapan dengan
kesulitan-kesulitan. Kesulitan-kesulitan itu berkaitan dengan tafsiran-tafsiran
yang tidak eksak, sehingga kurang memberikan kemanfaatan bagi manusia
modern (Santoso, 2006:150).

Pada masa Feyerabend masyarakat yang cenderung positivis


menempatkan ilmu pengetahuan dengan metode mereka sama dengan agama
bahkan di atasnya. Dalam lingkungan masyarakat tertentu pada waktu itu,
seseorang boleh memilih agama apa saja tapi tidak bisa memilih mempelajari
ilmu pengetahuan atau tidak. Ilmu pengetahuan tidak lagi berfungsi
membebaskan manusia, tapi justru menguasai dan memperbudak manusia.
Kedudukan ilmu penggetahuan seolah agama di abad pertengahan dengan
hegemoni pemikitan positivis. Oleh karena itu, Feyerabend sangat
menekankan kebebasan individu sebagaimana diperjuangkan John Stuart Mill
dalam karyanya On Liberty. Dia melihat kemajuan ilmu pengetahuan dalam
pengembangan kebebasan manusia dan terbebasnya ilmu pengetahuan dari
hegemoni para positivis (Verhak, 1995:167).

B. Anarkisme Epistemologis Karl Feyerabend

Anarkisme yang dimaksud oleh Feyerabend bukan anarkisme seperti


dalam politik melainkan anarkisme epistemologis. Anarkisme Epistemologis
dipertentangkan dengan anarkisme politis atau religius. Dikatakannya, apabila
anarkisme politis berarti suatu perlawanan terhadap segala bentuk
kemampuan (kekuasaan Negara, institusi - institusi, dan ideologi - ideologi
yang menopangnya), mungkin anarkisme epistemologis tidak selalu punya
loyalitas ataupun permusuhan terhadap institusi-institusi itu. Seorang anarkis
di bidang ini ibarat seorang dadais. Sebagai seorang dadais, ia adalah dadais
dan sekaligus dadais (Mudhofir, 2001,164).

Dadais merupakan gerakan para seniman yang menentang frame atas


seni yang mencitrakan seni sebagai sesuatu yang elit. Para dadais
menganggap bahwa seni ialah suatu kebebasan ekspresi untuk semua
kalangan. Maksud dari Feyerabend tentang seorang dadais ialah dadais
sekaligus antidadais dapat dijelaskan dengan logika himpunan yang
bersinggungan. Seperti halnya logika paradoks Russel tentang seorang tukang
potong rambut bahwa ada himpunan yang menjadi anggota dari himpunan itu
sendiri.

Dalam bangununan epistemologinya yang anarkis, ada beberapa hal


yang diperjuangkan oleh Paul Karl Feyerabend sebagai berikut:

1. Prinsip Apa Saja Boleh

Secara harfiah, prinsip apa saja boleh berarti membiarkan segala


sesuatu berlangsung, berjalan tanpa banyak aturan. Prinsip ini
mengimplikasikan suatu perlawanan terhadap segala aturan atau hukum.
Jika kita ingin rasional, dalam situasi-situasi konkrit prinsip apa saja boleh
membebaskan kita dari keharusan untuk bertindak di bawah keberlakuan
hukum dan metode yang dipakai untuk meramalkan sesuatu. Setiap orang
boleh mengikuti kecenderungannya sebagai usaha kritis (Mudhofir,
2001:165).
Feyerabend mengklaim dengan keras bahwa tidak ada metodologi
ilmu yang pernah dikemukakan selama ini mencapai sukses. Cara utama,
walaupun bukan satu-satunya, yang ia gunakan untuk mendukung
klaimnya ialah memperlihatkan bagaimana metodologi-metodologi tidak
sejalan atau tidak bisa cocok dengan sejarah fisika. Feyerabend secara
meyakinkan mengemukakan bahwa metodologi-metodologi ilmu telah
gagal menyediakan hukum-hukum yang memadai untuk membimbing
aktivitas para ilmuwan. Menurut Feyerabend paling tidak masuk akal
untuk mengharapkan bahwa ilmu dapat diterangkan hanya atas dasar
beberapa hukum-hukum metodologi yang sederhana (Chalmers,
1983:142).
Dihadapkan dengan kompleksitasnya situasi yang realistis di dalam
ilmu dan masa depan yang tidak dapat diramalkan dalam rangka
perkembangan ilmu, maka tidaklah masuk akal mengharapkan metodologi
dapat mendikte seorang ilmuan. Misalnya dalam situasi tertentu harus
menerima teori A, dan menolak teori B, atau lebih menyukai teori A
daripada teori B. Hukum seperti menerima teori yang mendapat paling
banyak dukungan induktif dari fakta-fakta yang diterima baik, dan
menolak teori yang tidak sesuai dengan fakta yang telah diterima umum,
tidaklah sejalan dengan fase perkembangan ilmu yang umumnya dianggap
sebagai fase progresif. Maka ilmuwan-ilmuwan harus tidak terikat oleh
hukum-hukum metodologi. Dalam pengertian inilah yang dimaksud
dengan prinsip “apa saja boleh” (Chalmers, 1983:143).
Dalam prinsip ini, Feyerabend tidak memberikan pengertian bahwa
dalam mengembangkan suatu ilmu seseorang bisa berangkat dari titik
mana saja dalam artian buta terhadap ilmu yang dikembangkan tersebut.
Artinya adalah jika kita misalkan dengan seorang fisika yang hendak
memberi sumbangsih kepada fisika, ia tidak perlu sebelumnya mengenal
meotodologi-metodologi ilmu kontemporer, tetapi ia memang perlu
mengenal sesuatu tentang fisika. Tidaklah cukup hanya dengan mengikuti
ulah angin-anginan dan kecenderungan seseorang yang tidak ada artinya
apa-apa (Chalmers, 1983:144-145).

2. Kritik atas Ilmu sebagai Sikap Ilmiah


Kritik atas ilmu oleh Feyerabend merupakan suatu bangunan
epistemologi yang didasarkan pada pemikirannya mengenai kebebasan
individu. Feyerabend membela apa yang disebut sebagai “sikap
kemanusiawian”. Menurut sikap ini, manusia individual harus bebas dan
memiliki kebebasan kurang lebih seperti di dalam pengertian Joh Stuart
Mill yang membelanya dalam esai “On Liberty”. Dari sudut pandangan
kemanusiawian ini, pandangan anarkis Feyerabend tentang ilmu
mendapatkan dukungan, karena di dalam ilmu ia meningkatkan kebebasan
individu dengan memacu penyingkiran segala macam kungkungan
metodologis. Dalam konteks yang lebih luas, ia memberi kebebasan bagi
para individu untuk memilih antara ilmu dan bentuk-bentuk pengetahuan
lain (Chalmers, 1983:151).
Atas nama kebebasan individu tersebut, Feyerabend menyusun
kritiknya atas ilmu yang didasarkan dari dua sisi. Pertama, mengkritik
tubuh ilmu pengetahuan, yakni metodenya. Kritik ini diberi nama anti-
metode. Kedua, mengkritik praktek ilmiah dan fungsi serta kedudukan
ilmu dalam masyarakat. Kritik ini disebut anti-ilmu pengetahuan
(Mudhofir, 2001:164-165).
a. Anti-metode: ilmu tidak bisa diukur dengan standar yang sama
Anti metode merupakan sikap ilmiah Feyerabend dalam rangka
kritiknya terhadao tubuh ilmu pengetahuan. Sikap anti-metode ini
masih terkait dengan prinsip “apa saja boleh” yang menekankan
bahwa tidak ada metodologi ilmu yang dikemukakan selama ini
mencapai kesuksesan. Hal tersebut terkait dengan analisanya bahwa
ilmu tidak bisa diukur dengan standar yang sama. Pendeknya, sebuah
metode yang dianggap benar dalam suatu studi ilmu tertentu, belum
tentu benar jika dipakai dalam studi ilmu yang lain.
Dari kenyataan bahwa sepasang teori rival tidak dapat saling
diukur, tidaklah berarti bahwa mereka tidak bisa diperbandingkan
dengan cara apapun. Salah satu cara memperbandingkan sepasang
teori ialah dengan mengkonfrontasi mereka masing-masing pada
serangkaian situasi yang dapat diobservasi. Lalu kita catat seberapa
jauh derajat masing-masing itu bisa sejalan dengan situasi-situasi tadi,
diinterpretasikan menurut kondisi masing-masing. Feyerabend
menyebutkan cara lain membandingkan teori-teori dengan melibatkan
pertimbangan pertimbangan apakah merekaitu linear atau non-linear,
koheren atau inkoheren, apakah mereka itu merupakan pendekatan
yang berani atau yang aman, dan sebagainya (Chalmers, 1983:146-
147).
b. Anti ilmu pengetahuan: ilmu tidak harus mengungguli bidang-
bidang lain
Anti ilmu pengetahuan tidak berarti anti terhadap ilmu
pengetahuan itu sendiri, melainkan anti terhadap kekuasaan ilmu
pengetahuan yang sering melampaui maksud utamanya. Dengan sikap
ini Feyerabend hendak melawan ilmu pengetahuan yang oleh para
ilmuwan dianggap lebih unggul daripada bentuk-bentuk pengetahuan
lain seperti sihir, magi, voodoo, mitos (Mudhofir, 2001:164).
Dalam kritiknya atas ilmu pengetahuan, Feyerabend
mengemukakan bahwa banyak kaum metodologis sudah menganggap
benar, tanpa argumentasi, bahwa ilmu (atau mungkin fisika)
membentuk paradigma rasionalitas. Beginilah Feyerabend menulis
tentang Lakatos:
“setelah menyelesaikan ‘rekonstruksi’nya tentang ilmu modern,
ia (Lakatos) mengalihkannya ke bidang-bidang lain seolah-olah
telah mapan bahwa ilmu modern lebih unggul daripada sihir
atau ilmu Aristotelian, dan bahwa ia tidak mempunyai hasil-
hasil ilusif. Namun, tidak ada secuil pun argumentasi yang
dikemukakan. ‘Rekonstruksi rasional’ menganggap ‘kearifan
ilmiah’ sudah benar, tetapi tidak dibuktikan bahwa ia lebih baik
daripada ‘kearifan’ para ahli sihir dan tukang-tukang sulap”
(Chalmers, 1983:149).

Feyerabend tidak bersedia menerima keharusan superioritas


ilmu atas bentuk-bentuk pengetahuan lain. Tidak ada suatu argumen
yang logis untuk menjelaskan bahwa suatu ilmu tertentu lebih baik
dari ilmu yang lain. Hal tersebut menunjukkan keterkaitannya dengan
anti-metode yang dinyatakan bahwa ilmu tidak bisa diukur dengan
standar yang sama. Artinya adalah ketika suatu ilmu dikatakan lebih
baik atau lebih unggul dari ilmu yang lain, maka harus ada standar
yang sama dalam pengukuran kedua ilmu yang diperbandingkan
tersebut. Disinilah letak koherensi pemikiran Feyerabend tentang
kritiknya atas ilmu.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dari pembahasan pada bab sebelumnya dan untuk


mejawab beberapa permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, maka
dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Teori Feyerabend tentang ilmu tertuang dalam pemikirannya mengenai


anarchisme epistemologis. Teori anarkistis memberi satu pengertian
mengenai perlawanan terhadap ilmu-ilmu yang berkembang dan
menguasai bentuk-bentuk pengetahuan lain. Berbeda dengan anarkisme
politis, teori ini tidak sepenuhnya menentang ilmu-ilmu tersebut, namun
Feyerabend memberikan suatu penjelasan dengan analogi ‘seorang dadais
adalah dadais dan sekaligus antidadais’.
2. Feyerabend menawarkan satu metode yakni anything goes method (metode
apa saja boleh). Prinsip tersebut merupakan implikasi dari sikap anti-
metode yang ia gunakan sebagi kritik atas ilmu. Dengan prinsip tersebut ia
menekankan bahwa tidak ada metode yang sama sekali benar untuk semua
bentuk pengetahuan. Hal itu didasarkan pada anggapannya bahwa ilmu
tidak dapat diukur dengan standar yang sama dan ilmu tidak harus
mengungguli bidang-bidang lain.
3. Menggunakan asas kebebasan individu, Feyerabend mengambil sebuah
sikap ilmiah sebagai seorang anti-metode dan anti ilmu pengetahuan.
Sikap tersebut bukan berarti ia secara membuat mainstream sendiri sebagai
musuh, namun ia hanya terfokus pada kritiknya atas kungkungan
metodologis.
B. Saran
Sebuah kewajaran jika banyak kekurangan dari makalah ini. Maka
diharapkan adanya suatu kajian lebih lanjut yang lebih komprehensif
mengenai anarkisme epistemologis Feyerabend.
DAFTAR PUSTAKA

Chalmers, A.F. 1983. Apa itu yang dinamakan Ilmu? Suatu Penilaian tentang
Watak dan Status Ilmu serta Metodenya. Jakarta: Hasta Mitra.

C. Verhak. 1995. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka


Utama.

Maksum, Ali. 2008. Pengantar Filsafat: dari Masa Klasik hingga


Postmodernisme. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Mudhofir, Ali. 2001. Kamus Filsuf Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Santoso, Listiyono. 2006. Seri Pemikiran Tokoh: Epistemologi Kiri. Yogyakarta:


Ar-Ruzz Media.

Anda mungkin juga menyukai