Rujukan
Kuhn, T.S. (1970) The Structure of Scientific Revolutions (2 nd Edition). Chicago:
The University of Chicago Press.
Kuhn, T.S. / Surjaman, T. (1989) Peran paradigma dalam Revolusi Sains.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Perceraian Sains dan Filsafat
Bencana Intelektual di Zaman Modern
Teori saintifik pada hakikatnya merupakan model bagi dunia nyata, dan ide-
ide sains berkenaan dengan model tersebut, bukan dengan dunia nyata.
Istilah penemuan (discovery), misalnya, merujuk pada hubungan
matematika yang berhasil diungkap. Penemuan itu sendiri perlu didasarkan
pada pengamatan terhadap fenomena alam, dan penalaran induktif.
Berdasarkan data-data khusus, saintis berusaha membangun teori yang
umum melalui proses penyimpulan induktif tersebut.
Di awal abad 20, Karl Popper (1902-1949) mengkritik metoda induktif yang
digunakan sains. Ia sepakat dengan pendukung moetoda empiris David
Hume (1711-1776) bahwa terdapat masalah serius dengan induksi. Seluruh
bukti induktif adalah terbatas: kita tidak mengamati Alam Semesta di semua
waktu dan di seluruh tempat. Karena itu kita tidak bisa memperoleh
pengesahan dalam membuat kaidah umum dari pengamatan-pengamatan
khusus.
Kita telah melihat dua permasalahan besar sains di penghujung abad 20 ini.
Pertama, rapuhnya bangunan ide tentang materi itu sendiri. Dan kedua,
keterbatasan atau, meminjam istilah kosmolog Indonesia Karlina Leksono,
ketercakrawalaan metoda saintifik yang empirik dan induktif tersebut.
ketercakrawalaan ini hendak didongkrak oleh para reformis metoda saintifik
seperti Popper, Kuhn dan Feyerbend, walaupun tidak menghasilkan
kesimpulan yang pasti. Kedua permasalahan ini menunjukkan bahwa
materialisme sains dan metoda saintifik tidak mampu mengukuhkan
keabsahan dirinya sendiri. Khususnya, metoda saintifik tidak berhasil
mengantarkan para saintis mencapai misi utama sains: pencerahan pikiran
manusia mengenai Alam Semesta.
Selanjutnya kita akan melihat permasalahan sains dari sudut pandang yang
lain, yang tak kalah pentingnya.
Di zaman Yunani Kuno, para pemikira ketika itu menyakini betul kekuatan
pencerah dari sains. Mereka memberi penghargaan yang tinggi terhadap
sains karena kemampuannya dalam menjelaskan tentang realitas. Sains,
yang di masa itu diberi nama filsafat alam, merupakan sumber penting bagi
pengetahuan dan kebijaksanaan manusia. filsafat alam dan filsafat tidak
hidup terpisah. Ketika itu, para ekonomi dari sains tidak terlalu mendapat
perhatian. Di zaman Islam, sejarah menunjukkan adanya penghargaan
yang tinggi terhadap sains sebagai bagian dari pengetahuan relijius
mereka. Sains, sebagaimana juga seni dan ilmu-ilmu sosial, memperoleh
posisi yang tinggi dalam kehidupan masyarakat ketika itu. Sains dipelajari
secara terpadu dan harmonis dengan filsafat dan agama. Bahkan agama
itulah yang menjadi sumber inspirasi upaya-upaya saintifik ketika itu.
Melihat itu semua, jelas bahwa sains itu memiliki nilai yang luhur dan
senantiasa memiliki peran yang penting di berbagai peradaban manusia.
Maka kurang tepatlah kalau kita mengesampingkan atau meninggalkan
sains dengan segala buahnya. Juga keliru kalau kita merendahkan sains
sehingga hanya bernilai ekonomi. Kita perlu optimis untuk bisa
mengembalikan sains pada tempatnya yang tinggi dan luhur: sebagai
pencerah manusia akan realitas Alam Semesta.
2. Tuduhan bahwa agama itu hanya berisi kumpulan doktrin irasional dan
mitos, dan bahwa filsafat itu tidak memiliki bangunan pemikiran yang
bertumpu pada realitas perlu ditinjau kembali. Selama ini, sering kali para
pendukung sains empirik mengesampingkan peran filsafat dan agama
berdasarkan tuduhan-tuduhan terburu-buru seperti itu. Namun, mereka
kurang memperhatikan pernyataan-pernyataan dari para tokoh yang
kompeten di filsafat dan agama. sikap pra duga demikian perlu ditinjau
kembali, agar rasa saling mempercayai bisa tumbuh.
3. Di masa depan, yang penting bukannya siapa yang paling sah atau
paling layak untuk berperan. Melainkan, kita perlu mengakui dan memberi
peran pada masing-masing sumber pengetahuan ini pada tempatnya,
sesuai dengan kelebihan, keabsahan dan kompetensinya. Sikap mutually
exclusive dan keinginan memonopoli dunia pengetahuan perlu dibuang
jauh-jauh. Sebagai gantinya, sikap saling mempercayai, menghargai dan
menghormati perlu ditumbuh-kembangkan. Berdasarkan sikap ini kemudia
dilaksanakan dialog-dialog antara sumber-sumber pengetahuan yang ada.
Sains yang empirik dan induktif berada di Barat, sementara filsafat rasional
yang deduktif, dan agama, hidup di Timur. Dengan dialog seperti inilah kita
bisa memasuki lembaran sejarah masa depan dengan penuh optimisme,
semangat dan harapan.[]
Abstrak
Pengantar
digma penelitian ini adalah terjadinya perubahan yang mendasar terhadap cara
pandang (ontologi), epistemologi serta metodologi yang digunakan oleh ketiga
paradigma tersebut.
Arsitektur atau kota pada dasarnya adalah merupakan produk budaya dari
masyarkat dan oleh sebab itu setiap studi tentang arsitektur atau kota
sebenarnya terkait erat dengan upaya-upaya pemahaman terhadap makna
obyek atau tanda-tanda yang membentuk arsitektur atau kota tersebut terhadap
masyarakatnya.
Pada dasarnya untuk memahami makna arsitektur atau kota tersebut, diperlukan
kegiatan interpretasi yang dapat memberikan dan memperkaya jawaban
sebenarnya tentang hal tersebut.
Kegunaan metode hermeneutik atau interpretasi dalam studi ini adalah untuk
memahami obyek dalam kon-teks ruang dan waktu dimana obyek tersebut
berada, terkait didalamnya keseluruhan aspek kondisi sosial, ekonomi, budaya,
pandangan hidup maupun sejarahnya.
Metode interpretasi ini diperlukan ba-gi studi tentang arsitektur maupun kota
yang diciptakan dalam konteks lokal pada masa yang lalu, agar arsi-tektur atau
kota asli tersebut mem-punyai makna dan relevansi bagi perkembangan identitas
arsitektur dan kota pada masa kini dan menda-tang serta bagi perkembangan
masya-rakatnya. Jadi ada semacam kesinam-bungan memori didalam
perubahan yang terjadi.
Sejauh ini pengertian ilmu meliputi berbagai macam pemahaman dan mengikuti
beberapa aliran pemikiran (filsafat) yang berkembang sepanjang sejarah, seperti
rasionalisme, empi-risme, fenomenologi, eksistensialis-me maupun yang lebih
kontemporer seperti dekonstruksi dan sebagainya. Sesungguhnya kondisi ini
hanyalah merupakan perbedaan interpretasi terhadap realitas atau fenomena-
feno-mena yang terjadi. Kuhn (1993) me-nyatakan bahwa sebenarnya rasional-
isme itu lebih merupakan interpretasi dan persuasi dari kenyataan obyektif, atau
dalam pernyataan lainnya Kuhn mengatakan bahwa segala yang dika-takan oleh
ilmu tentang dunia dan kenyataannya sebetulnya erat terkait pada paradigma
atau model ataupun skema interpretasi tertentu yang di-gunakan oleh
ilmuwannya. Bila aliran rasionalisme menitik beratkan ilmu pada kekuatan
penalaran akal budi atau rasio dalam pencarian kebenaran atas kenyataan.
Descartes, berpen-dapat bahwa melalui akal budilah manusia dapat mengerti
tentang du-nianya serta dapat mengatur hidup-nya.
Filsafat Hermeneutik
Pada masa ini semakin banyak filsuf (Dilthey, Heidegger, Gadamer, Ricour dan
sebagainya) yang beralih kearah filsafat hermeneutik, yaitu upaya menafsirkan
teks Kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani her-meneuein, yang berarti
menafsirkan. Sebagai kata benda hermeneia dapat diartikan sebagai penafsiran
atau interpretasi. Sebenarnya kata ini, menurut spekulasi historis, merujuk pada
nama dewa dalam mitologi Yunani yaitu Dewa Hermes yang bertugas untuk
menyampaikan pe-san-pesan Dewa Tertinggi di langit (gunung Olympia) kepada
manusia di bumi melalui bahasa yang di-mengerti oleh manusia. Dengan tugas
tersebut maka dewa hermes harus mampu untuk menginterpretasikan a-tau
menyadur pesan-pesan tersebut kedalam bahasa yang dipergunakan oleh
pendengarnya, sehingga pesan-pesan tersebut dapat dipahami maknanya. Oleh
sebab itu secara umum hermeneutik diartikan sebagai proses mengubah
sesuatu atau situasi ketidak tahuan menjadi mengerti (Palmer dalam
Sumaryono, 1993). Pada awalnya hermeneutik diposi-sikan sebagai bagian dari
ilmu filologi, dan baru pada abad 16 memperoleh perhatian akademis se-telah
para ilmuwan gereja meng-gunakannya sebagai metode pema-haman dan
interpretasi Kitab Suci Bi-bel. Sejak saat itu posisi hermeneutik mulai
berkembang menjadi metode kritik historiografi. Pada abad 18, ketika
masyarakat Eropa sedang bangkit penghargaan dan apresiasi terhadap seni
klasik, maka peran hermeneutik menjadi semakin pen-ting dan dibutuhkan.
Karena yang menjadi obyek kajian adalah pema-haman tentang makna dan
pesan yang terkandung dalam karya seni klasik yang merupakan karya cipta
masa lalu, maka faktor pencipta, proses penciptaan dan karya cipta menjadi
sangat penting untuk dike-tahui. Ketiga faktor ini membentuk suatu segitiga yang
tidak bisa dipi-sahkan jika ingin memahami makna suatu suatu karya cipta.
Dalam kondisi ini hermeneutik memerankan dirinya sebagai sebuah metode
yang menafsirkan atau menginterpretasi-kan realitas lain yang tidak hadir, baik
karena telah berlalu dalam ruang maupun waktu yang cukup jauh ja-raknya,
sementara realitas tersebut hadir pada kita saat ini melalui atau diwakili oleh teks
atau tanda-tanda lainnya.
Pada dasarnya hermeneutik berhu-bungan erat dengan bahasa. Yang dimaksud
bahasa ini tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi atau perantara dalam
menyampaikan suatu maksud, namun juga meru-pakan proses berfikir,
berbicara, menulis maupun berkarya, baik yang diwujudkan dalam bentuk teks
mau-pun tanda-tanda lainnya. Disini baha-sa menjadi way-of-being-nya manu-
sia. Jadi bila pengalaman manusia yang diungkapkan melalui bahasa tersebut
tampak asing bagi pembaca pada generasi berikutnya, maka disini peran
hermeneutik untuk menafsirkan/menginterpretasikan se-cara benar teks atau
tanda-tanda tersebut menjadi sangat penting.
Salah satu contoh yang sangat jelas adalah pesan-pesan yang terdapat da-lam
kitab suci, yang dipercaya me-rupakan perwujudan literal dari fir-man Tuhan
pada masa yang lalu, akan sangat membutuhkan penaf-siran atau
penginterpretasian bila ingin dipelajari atau dipahami makna hakiki pesan-pesan
tersebut pada masa kini.
Metode Hermeneutik
Menurut telaah singkat diatas, maka yang dimaksud metode hermeneutik adalah
cara-cara untuk menfsirkan simbol-simbol yang terwujud dalam teks atau bentuk-
bentuk lainnya. Pada awalnya metode hermeneutik digunakan untuk
menafsirkan kitab suci saja, namun semenjak Dilthey (1833-1911) metode ini
mulai diper-gunakan untuk ilmu-ilmu kema-nusiaan seperti bidang sejarah, psiko-
logi, hukum, sastra, seni dan seba-gainya. Menurut Dilthey, dalam bi-dang ilmu-
ilmu tersebut metode pe-nafsiran sangat membantu untuk memahami makna
dari hal-hal yang dihasilkan oleh kegiatan manusia, karena sepanjang kegiatan
manusia selalu terdapat kegiatan yang bersifat metaforik atau simbolik yang
sering-kali merupakan perwujudan sesuatu yang lain atau sesuatu diluar dari
yang diwujudkan. Meminjam dari istilah semiotik atau semiologi ada yang disebut
penanda (signifier) dan yang ditandai (signified). Geertz (1992) juga sependapat
bahwa untuk memahami dunia manusia yang sarat makna, tidak cukup dengan
mengan-dalkan logika positivisme tetapi juga
Validitas
Kekerasan Struktural:
NeoMarxisme: dari Revolusi Kelas menuju Revolusi Berpikir, opini Lutfi Lb,
techno4
Namun kembali ke awal tulisan, ini tahun 2000: gerakan politik marxis telah
bangkrut di mana-mana, dunia telah menjadi pikun dengan Karl Marx, orang-
orang lebih menyukai George Soros atau Rupert Murdoch sebagai messias baru.
Mungkin benar kata-kata Herbert Marcuse, Keruntuhan Marxisme mengingatkan
pada kita tentang berakhirnya ideologi, karena, setelah keruntuhan ideologi
pemikiran antitesis kapitalisme itu, proyek emansipasi kemanusiaan apa lagi
yang dapat dihadirkan di sebuah dunia yang masih penuh penghisapan,
kesewenang-wenangan, dan penindasan ini ? Masih bisakah kita memperbaiki
dan membentuk kembali hidup yang adil dengan sepenuhnya berdasar
kesadaran kita sebagai subyek otonom, seraya tetap menyadari bahwa Hidup
itu jauh dari jangkauan teoriku dan teorimu yang tidak becus!, sebagaimana
makian Dr. Zhivago, tokoh novel Boris Pasternak itu ?
Kita tahu apa yang terjadi pada Marxisme, salah satu dari teori yang oleh
Zhivago dianggap tidak becus itu.
Keruntuhan Marxisme dimulai dari kegagalannya mengatasi paradoks
modernitas: bahwa rasionalisasi dalam makna mewabahnya rasionalitas pada
kehidupan, yang dalam Auffklarung (pencerahan) dianggap sebagai kemajuan, di
saat yang sama juga memunculkan apa yang disebut Marx sebagai
verdinglichung, semacam alienasi, yaitu keterasingan yang meluas dan terjadi
dalam masyarakat kapitalis dan ekonomi pasar yang maju. Keterasingan
manusia inilah yang menjadi basis eksploitasi terhadap manusia oleh bangunan
sosial kapitalistik. Exploitation l homme part l homme, eksploitasi manusia
pemilik modal terhadap manusia bukan pemilik modal, eksploitasi kapitalis
terhadap buruh. Marxisme punya optimisme di kepalanya, dan padanya ada
spirit emansipasi yang kuat. Bagi Marx, kita tahu, sebuah masyarakat tak
berkelas akan lahir setelah kapitalisme runtuh dan manusia terbebas dari
keadaan ketika milik, hubungan, dan tindakan manusia yang mandiri dari
manusia, bahkan mengatur hidup manusia, berubah menjadi milik, hubungan,
dan tindakan dari hal-hal yang dihasilkan manusia. Dengan kata lain,
pembebasan manusia dari verdinglichung, atau keterasingan.
Fundamentalisme
dalam Kacamata Seorang Fundamentalis
Lima tahun yang lalu, saya memperoleh suatu pengalaman indah yang
mendorong
saya menempuh suatu jalan yang akhirnya membawa saya kepada penulisan
buku
ini. Saya tengah duduk di tepi laut pada suatu petang menjelang musim
gugur, memandang gelombang yang datang bergulung-gulung dan merasakan
irama
nafas saya, ketika tiba-tiba saya menyadari seluruh lingkungan saya
seolah-olah terlibat dalam suatu tarian kosmik raksasa. Sebagai seorang
ilmuwan fisika, saya tahu bahwa pasir, batu karang, air, dan udara di
sekitar saya terdiri dari molekul-molekul dan atom-atom yang bergetar, dan
atom-atom ini terdiri partikel-partikel yang saling berinteraksi satu sama
lain dengan jalan menciptakan dan memusnahkan partikel-partikel lain. Saya
juga tahu bahwa atmosfir bumi terus-menerus dihujani oleh 'sinar-sinar
kosmik', yakni partikel-partikel berenergi tinggi yang mengalami tabrakan
berkali-kali sementara mereka menerobos masuk ke udara. Semua ini saya
akrabi dalam riset saya di bidang fisika energi-tinggi, tetapi sampai saat
itu saya hanya mengalaminya melalui grafik-grafik, diagram-diagram, dan
teori-teori matematis. Selagi saya duduk di pantai, pengalaman-pengalaman
saya di masa lampau itu menjadi hidup. Saya "melihat" curahan energi
menerpa dari angkasa luar, yang di situ partikel-partikel tercipta dan
musnah dalam pulsa-pulsa yang ritmik. Saya "melihat" atom-atom dari
unsur-unsur kimia dan atom-atom dari tubuh saya berpartisipasi dalam tarian
energi kosmik ini. Saya merasakan iramanya dan saya "mendengar" suaranya,
dan seketika itu saya _sadar_ bahwa inilah Tarian Syiwa, Dewa Para Penari,
yang dipuja oleh orang Hindu.
Saya menerima pendidikan yang lama di bidang fisika teoretis, dan telah
melakukan riset selama beberapa tahun. Pada saat yang sama, saya tertarik
kepada mistisisme Timur, dan mulai melihat berbagai keparalelan dengan
fisika modern. Khususnya saya tertarik kepada aspek-aspek Zen yang penuh
teka-teki, yang mengingatkan saya akan teka-teki dari teori kuantum. Namun,
pada mulanya, menghubungkan kedua hal itu merupakan kegiatan intelektual
semata-mata. Upaya menjembatani jurang antara pemikiran rasional dan
analitis dengan pengalaman meditatif akan kebenaran mistis adalah terlalu
sukar bagi saya, sampai sekarang pun.
Belakangan datanglah pengalaman Tarian Syiwa itu, yang saya coba tangkap
dalam fotomontase pada Gambar 7. Pengalaman itu diikuti oleh banyak
pengalaman lain yang mirip, yang membantu saya berangsur-angsur menyadari
bahwa suatu pandangan yang konsisten tentang alam semesta kini tengah
muncul dari fisika modern, yang selaras dengan kearifan kuno dari Timur.
Saya membuat banyak catatan selama bertahun-tahun, dan menulis beberapa
makalah tentang berbagai keparalelan yang terus-menerus saya temukan,
sampai akhirnya saya merangkum dan meringkas pengalaman-pengalaman
saya itu
dalam buku ini.
Buku ini dimaksudkan untuk sidang pembaca umum yang berminat pada
mistisisme Timur dan tidak perlu memiliki pengetahuan tentang fisika. Saya
berupaya menyajikan konsep-konsep dan teori-teori pokok dari fisika modern
tanpa menggunakan matematika dan dalam bahasa nonteknis, sekalipun
beberapa
paragraf mungkin masih dirasakan sukar bagi orang awam ketika membacanya
pertama kali. Istilah-istilah teknis yang mau tidak mau harus saya gunakan
semuanya didefinisikan ketika pertama kali muncul, dan didaftarkan dalam
indeks pada akhir buku ini.
Saya juga berharap menemukan di antara pembaca saya banyak ilmuwan fisika
yang berminat pada aspek-aspek filosofis fisika, yang belum pernah kontak
dengan filsafat keagamaan dari Timur. Mereka akan menemukan, bahwa
mistisisme Timur memberikan kerangka filosofis yang konsisten dan indah
yang dapat mengakomodasikan teori-teori kita yang paling canggih di dunia
fisika.
Selama penulisan buku ini, pemahaman saya sendiri akan pemikiran Timur
bertambah dalam cukup banyak. Untuk itu saya berhutang budi kepada dua
orang yang datang dari Timur. Saya sangat berterima kasih kepada Phiroz
Mehta, yang membuka mata saya terhadap banyak aspek dari mistisisme India,
dan kepada guru T'ai Chi saya, Liu Hsiu Ch'i, yang telah memperkenalkan
saya kepada Taoisme yang hidup.
Keberhasilan buku *The Tao of Physics* memberikan dampak yang kuat dalam
hidup saya. Selama tahun-tahun terakhir, saya banyak bepergian, berbicara
di forum para profesional dan kaum awam, dan mendiskusikan
implikasi-implikasi dari "ilmu fisika baru" bersama banyak orang, pria dan
wanita, dari segala lapisan masyarakat. Diskusi-diskusi ini amat banyak
membantu saya memahami konteks budaya yang lebih luas dari minat kuat
terhadap mistisisme Timur yang muncul di Barat selama dua puluh tahun
terakhir. Saya sekarang melihat minat ini sebagai bagian dari suatu 'trend'
yang jauh lebih besar, yang berupaya menyeimbangkan kembali
ketidakseimbangan yang mendalam dalam budaya kita -- dalam pemikiran dan
perasaan kita, dalam tata nilai dan sikap kita, dan dalam struktur sosial
dan politik kita. Saya mendapati istilah Cina 'yin' dan 'yang' sangat
bermanfaat untuk menggambarkan ketidakseimbangan kultural ini. Budaya kita
secara konsisten telah mengutamakan tata nilai dan sikap 'yang', yang
maskulin, dan mengabaikan pasangan-pasangan pelengkapnya 'yin', yang
feminin.
Namun demikian, pada saat yang sama, kita tengah menyaksikan awal dari
suatu gerakan evolusioner mahabesar, yang tampaknya menggambarkan
pepatah
Cina kuno, bahwa "'yang', setelah mencapai puncaknya, akan mundur dan
memberi jalan kepada 'yin'." Dasawarsa 1960-an dan 1970-an telah
menghasilkan serangkaian gerakan sosial yang semuanya tampak berjalan
menuju arah yang sama. Keprihatinan yang meningkat mengenai ekologi, minat
kuat terhadap mistisisme, tumbuhnya kesadaran feminisme, dan penemuan
kembali pendekatan holistik terhadap kesehatan dan penyembuhan, semuanya
adalah manifestasi dari 'trend' evolusioner itu. Mereka semuanya
mengimbangi penekanan berlebihan pada tata nilai dan sikap yang rasional
dan maskulin, dan mencoba memperoleh kembali keseimbangan antara sisi
maskulin dan sisi feminin dari kemanusiaan. Dengan demikian, kesadaran akan
keselarasan yang mendalam antara pandangan-dunia ilmu fisika modern dengan
pandangan-pandangan mistisisme Timur sekarang tampak sebagai bagian
integral dari transformasi budaya yang jauh lebih besar, yang akan
melahirkan suatu visi baru dari realitas, yang menuntut perubahan
fundamental dalam pikiran, persepsi dan tata nilai kita. Dalam buku saya
yang kedua, *The Turning Point*, saya telah menjelajahi berbagai aspek dan
implikasi dari transformasi budaya ini.
Dari sudut pandang ini, kaitan antara ilmu fisika dengan mistisisme bukan
saja sangat menarik, tetapi juga sangat penting. Hal itu memperlihatkan
bahwa hasil-hasil ilmu fisika modern telah membuka jalan yang bercabang
menjadi dua jalan yang sangat berbeda yang dapat ditempuh oleh para
ilmuwan. Jalan-jalan itu dapat membawa kita kepada -- dengan menggunakan
dua istilah ekstrem -- Buddha atau Bom [nuklir], dan terserah kepada
masing-masing ilmuwan untuk memilih jalan mana yang akan ditempuhnya.
Saya
melihat, bahwa ketika hampir separuh jumlah ilmuwan dan insinyur bekerja
untuk militer, menghamburkan sejumlah besar potensi kreativitas dan
ingenuitas manusia untuk membuat alat-alat penghancur massal yang makin
canggih, jalan Buddha, "jalan yang mempunyai hati", harus terus-menerus
ditekankan.
Edisi kedua dari buku ini telah diperbarui dengan memasukkan hasil-hasil
riset terbaru di bidang fisika subatomik. Saya telah melakukannya dengan
sedikit mengubah bagian-bagian tertentu dari teks agar lebih konsisten
dengan hasil riset terbaru, dan dengan menambahkan bagian baru pada akhir
buku ini, "Ilmu Fisika Baru Ditinjau Ulang", yang di situ
perkembangan-perkembangan baru yang paling penting di bidang fisika
subatomik diuraikan secara lebih mendetail. Saya merasa sangat bersyukur
bahwa tidak satu pun dari perkembangan-perkembangan terbaru ini
membatalkan
apa yang saya tulis tujuh tahun lalu. Sesungguhnya, malah kebanyakan dari
hasil-hasil terbaru itu telah diantisipasi dalam edisi pertama. Ini telah
memperkuat lagi keyakinan saya yang telah memotivasi saya untuk menulis
buku ini -- bahwa tema-tema dasar yang saya gunakan dalam pembandingan
ilmu
fisika dan mistisisme akan diperkuat, bukan dibatalkan, oleh riset-riset di
masa depan.
Selanjutnya, sekarang saya merasa berdiri di tanah yang lebih kokoh dengan
tesis saya, oleh karena keparalelan-keparalelan dengan mistisisme Timur itu
bermunculan bukan hanya di bidang ilmu fisika, tetapi juga di bidang
biologi, psikologi dan sains-sains yang lain. Di dalam mengkaji hubungan
antara fisika dengan sains-sains itu, saya mendapati bahwa perluasan yang
alamiah dari konsep-konsep fisika modern kepada cabang-cabang sains yang
lain disediakan oleh kerangka teori sistem. Pengkajian konsep-konsep sistem
dalam biologi, kedokteran, psikologi, dan ilmu-ilmu sosial, yang telah saya
lakukan dalam buku *The Turning Point*, telah memperlihatkan kepada saya
bahwa pendekatan sistem sangat memperkuat keparalelan antara fisika modern
dengan mistisisme Timur. Sebagai tambahan, ilmu-ilmu biologi sistem dan
psikologi sistem yang baru memperlihatkan kemiripan-kemiripan lain dengan
pemikiran mistik yang terletak di luar lingkup ilmu fisika. Hal-hal yang
dibicarakan dalam buku kedua saya mencakup ide-ide tertentu tentang
kehendak bebas, kematian dan kelahiran, hakikat kehidupan, jiwa, kesadaran,
dan evolusi. Keselarasan yang mendalam di antara konsep-konsep ini,
sebagaimana dikemukakan dalam bahasa sistem, dengan ide-ide yang paralel
dalam mistisisme Timur, adalah petunjuk yang mengesankan akan klaim saya,
bahwa filsafat tradisi mistik, yang juga dikenal dengan nama 'filsafat
perenial', memberikan latar belakang filosofis yang paling konsisten bagi
teori-teori ilmiah modern kita.
Setiap jalan hanyalah jalan, dan bukanlah suatu penghinaan -- terhadap diri
sendiri atau orang lain -- bila jalan itu ditinggalkan, jika itulah yang
dikatakan oleh hatimu ... Pandanglah setiap jalan dengan teliti dan penuh
perhatian. Cobalah sebanyak kaurasa perlu. Lalu tanyalah dirimu sendiri,
dan dirimu semata-mata, satu pertanyaan. ... Apakah jalan ini mempunyai
hati? Jika ya, jalan ini bagus; jika tidak, jalan ini tidak ada gunanya.
[Carlos Castaneda, *The Teachings of Don Juan*]
Ilmu fisika modern telah memberikan pengaruh mendalam pada hampir semua
aspek masyarakat manusia. Ia menjadi dasar sains alamiah; dan paduan sains
alamiah dan sains teknis telah mengubah secara fundamental lingkungan hidup
di bumi kita, baik secara menguntungkan maupun merugikan. Pada dewasa ini,
hampir tidak ada industri yang tidak menggunakan hasil-hasil dari fisika
atom, dan pengaruhnya terhadap struktur politik dunia melalui penerapan
dalam persenjataan nuklir sudah diketahui luas. Namun, pengaruh ilmu fisika
modern jauh melampaui sekadar teknologi. Ia meluas merambah alam pikiran
dan budaya, yang di situ ia memimpin suatu revisi mendalam dalam konsep
kita tentang alam semesta serta hubungan kita dengannya. Penjelajahan dunia
atomik dan subatomik pada abad ke-20 telah mengungkapkan suatu
keterbatasan
yang tak terduga dari ide-ide klasik, dan mengharuskan revisi radikal
terhadap banyak konsep-konsep dasar kita. Misalnya, konsep tentang materi
dalam ilmu fisika subatomik sama sekali lain daripada ide tradisional
tentang substansi material dalam ilmu fisika klasik. Begitu pula untuk
konsep-konsep seperti ruang, waktu, atau sebab dan akibat. Karena
konsep-konsep ini adalah fundamental bagi pandangan kita mengenai alam di
sekitar kita, maka dengan perubahan radikal itu seluruh pandangan-dunia
kita mulai berubah.
Untuk mencari keparalelan dengan pelajaran dari teori atomik ... [kita
harus berpaling] kepada problem epistemologis yang telah dihadapi oleh para
perenung seperti Buddha dan Lao Tzu, ketika berupaya menyelaraskan
kedudukan kita sebagai penonton dan pelaku dalam drama besar eksistensi.
[Niels Bohr]
Sumbangan ilmiah besar di bidang ilmu fisika teoretis yang datang dari
Jepang sejak perang terakhir dapat menjadi petunjuk akan adanya hubungan
tertentu antara ide-ide filosofis dalam tradisi Timur Jauh dengan isi
filosofis dari teori kuantum. [Werner Heisenberg]
Tujuan buku ini adalah untuk menjelajahi konsep-konsep ilmu fisika modern
dengan ide-ide dasar dari tradisi-tradisi filosofis dan religius dari Timur
Jauh. Kita akan melihat bagaimana kedua landasan ilmu fisika abad ke-20 --
yakni teori kuantum dan teori relativitas -- kedua-duanya memaksa kita
melihat alam semesta dengan cara yang banyak persamaannya dengan yang
dilihat oleh seorang Hindu, Buddhis atau Taois, dan bagaimana kemiripan ini
semakin kuat ketika kita menyimak upaya-upaya terakhir untuk memadukan
kedua teori tersebut untuk menjelaskan fenomena di alam subatomik: yakni
sifat-sifat dan interaksi-interaksi di antara partikel-partikel subatomik
yang membentuk segenap materi di alam semesta. Di sini keparalelan antara
ilmu fisika modern dan mistisisme Timur paling menonjol, dan kita akan
sering bertemu dengan pernyataan-pernyataan yang hampir mustahil dibedakan
apakah dilontarkan oleh para ilmuwan fisika atau oleh para ahli mistik
Timur.
Kalau saya mengacu pada "mistisisme Timur", yang saya maksudkan adalah
filsafat-filsafat religius dari Hinduisme, Buddhisme dan Taoisme. Sekalipun
mereka ini terdiri dari banyak sekali disiplin spiritual dan sistem
filosofis yang jalin-menjalin secara halus, corak-corak dasar dari
pandangan-dunia mereka sama. Pandangan ini tidak terbatas pada dunia Timur,
melainkan dapat pula ditemukan sampai taraf tertentu di dalam semua
filsafat yang berorientasi mistik. Jadi argumen buku ini dapat dirumuskan
secara lebih umum dengan mengatakan bahwa ilmu fisika modern membawa
kita
pada suatu pandangan-dunia yang amat mirip dengan pandangan-pandangan
yang
dianut oleh para ahli mistik dari segala zaman dan tradisi. Tradisi mistik
terdapat di dalam semua agama, dan unsur-unsur mistis dapat ditemukan di
dalam banyak aliran filsafat Barat. Berbagai keparalelan dengan ilmu fisika
modern terdapat bukan hanya didalam 'Weda-Weda' Hinduisme, di dalam *I
Ching*, atau di dalam 'sutra-sutra' Buddhis, tetapi juga di dalam
penggalan-penggalan Heraklitus, di dalam Sufisme Ibn Arabi, atau di dalam
ajaran-ajaran dukun suku Yaqui, Don Juan. Perbedaan antara mistisisme Timur
dan Barat adalah bahwa di Barat aliran-aliran mistik selalu berada di
pinggiran, sedangkan aliran mistik merupakan 'arus pokok' dalam pemikiran
filsafat dan religius Timur. Oleh karena itu, demi penyederhanaan, saya
akan berbicara tentang "pandangan-dunia Timur" dan hanya kadang-kadang
saja
menyebutkan sumber-sumber lain dari pemikiran mistik.
Jika pada dewasa ini ilmu fisika membawa kita pada pandangan-dunia yang
pada dasarnya bersifat mistis, maka dapat dikatakan ilmu fisika kembali
kepada asal mulanya, 2.500 tahun lalu. Menarik untuk mengikuti perkembangan
sains Barat melalui jalannya yang berputar seperti spiral, mulai dari
filsafat mistik orang Yunani kuno, muncul dan terbuka dalam perkembangan
pemikiran intelektual yang mengesankan, yang makin lama makin berpaling
dari sumber mistiknya, dan mengembangkan suatu pandangan-dunia yang
bertentangan secara tajam dari pandangan Timur Jauh. Dalam berbagai
perkembangan yang paling baru, sains Barat akhirnya mengatasi
pandangan-dunia ini dan kembali kepada pandangan Yuhani kuno dan
filsafat-filsafat Timur. Namun, kali ini pandangan ini bukan hanya
didasarkan pada intuisi, tetapi juga pada eksperimen yang mempunyai
ketelitian dan kecanggihan tinggi, dan pada formulasi matematis yang ketat
dan konsisten.
Akar dari ilmu fisika, sebagaimana juga semua sains Barat, ditemukan dalam
periode pertama filsafat Yunani pada abad ke-6 SM, dalam suatu budaya yang
di situ sains, filsafat dan agama tidak terpisah. Para orang arif dari
aliran Milesia di Ionia tidak membuat pembedaan seperti itu. Tujuan mereka
adalah menemukan hakikat esensial, atau pembentuk nyata, dari hal-hal yang
mereka sebut "physis". Istilah "fisika" berasal dari kata Yunani ini, dan
oleh karena itu pada mulanya berarti upaya untuk melihat hakihat esensial
dari segala sesuatu.
Sudah tentu, ini juga tujuan sentral dari semua ahli mistik, dan filsafat
aliran Milesia memang memiliki nuansa mistik yang kental. Kaum Milesia
dinamakan oleh orang Yunani belakangan "hylozoit", atau "orang yang
menganggap materi hidup", oleh karena mereka tidak membedakan antara
benda
hidup dan benda mati, roh dan jasad. Sesungguhnya, mereka tidak punya
istilah untuk materi, oleh karena mereka melihat segala wujud eksistensi
sebagai manifestasi "physis", yang memiliki kehidupan dan spiritualitas.
Demikianlah Thales menyatakan bahwa segala sesuatu penuh dengan dewa,
dan
Anaksimander melihat alam semesta sebagai semacam organisme yang
didukung
oleh "pneuma", nafas kosmik, dengan cara sama seperti tubuh manusia
didukung oleh udara.
Pandangan monistik dan organik dari kaum Milesia ini amat dekat dengan
filsafat India dan Cina kuno, dan berbagai keparalelan dengan pemikiran
Timur semakin kuat dalam filsafat Heraklitus dari Efesus. Heraklitus
percaya akan alam semesta yang terus-menerus berubah, proses 'Becoming'
[menjadi] yang abadi. Bagi dia, semua 'Being' [keberadaan] yang statis
disebabkan oleh cara pandang yang keliru, dan prinsip universalnya adalah
api; simbol dari aliran dan perubahan terus-menerus dari segala sesuatu.
Heraklitus mengajarkan bahwa segala perubahan di alam semesta terjadi oleh
saling interaksi secara dinamis dan siklis dari pasangan-pasangan yang
saling bertentangan, dan ia melihat setiap pasangan hal-hal yang berlawanan
sebagai kesatuan. Kesatuan ini, yang meliputi dan mentransendensikan semua
kekuatan yang bertentangan, dinamakannya Logos.
Pecahnya kesatuan ini mulai dengan aliran Elea, yang menganggap ada suatu
Prinsip Ilahi yang berdiri di atas semua dewa dan manusia. Prinsip ini
mula-mula diidentifikasikan dengan kesatuan alam semesta, tetapi belakangan
dilihat sebagai Tuhan yang berpribadi dan mempunyai kecerdasan yang berdiri
di atas alam semesta dan mengaturnya. Dengan demikian mulailah suatu
'trend' pemikiran yang pada akhirnya membawa pada pemisahan roh dan jasad
dan pada dualisme yang khas dalam filsafat Barat.
Suatu langkah drastis ke arah ini diambil oleh Parmenides dari Elea, yang
sangat menentang Heraklitus. Ia menamakan prinsip dasarnya 'Being' [Ada],
dan menganggap prinsip itu unik dan tak berubah. Dia menganggap tidak
mungkin ada perubahan, dan menganggap perubahan yang kita lihat di alam
semesta sebagai sekadar ilusi pancaindra. Konsep tentang suatu substansi
yang tak mungkin musnah sebagai subjek yang memiliki berbagai sifat muncul
dari filsafat ini dan menjadi salah satu konsep dasar pemikiran Barat.
Pada abad ke-5 SM, para filsuf Yunani mencoba mengatasi kontras yang tajam
antara pandangan Parmenides dan Heraklitus. Untuk memadukan ide tentang
"Ada" [Being] yang tak berubah (dari Parmenides) dengan ide tentang "Proses
Menjadi" [Becoming] yang abadi (dari Heraklitus), mereka menganggap bahwa
'Being' itu terwujud dalam zat-zat tertentu yang tak berubah, yang
pencampurannya dan pemisahannya menimbulkan perubahan di alam semesta.
Ini
membawa pada konsep tentang atom, yakni unit materi terkecil yang tak dapat
dibagi lagi, yang paling jelas diuraikan di dalam filsafat Lesipus dan
Demokritus. Para atomis [penganut faham atom] di Yunani menarik garis tegas
antara roh dan materi, sedangkan materi dianggap terbentuk dari beberapa
"batu dasar". Batu-batu pembentuk ini sepenuhnya pasif dan merupakan
partikel-partikel mati yang bergerak di ruang hampa. Penyebab gerakan
mereka tidak dijelaskan, tetapi sering dikaitkan dengan kekuatan-kekuatan
luar yang dianggap bersifat spiritual dan secara fundamental berbeda dari
materi. Pada abad-abad berikutnya, gambaran ini menjadi unsur dasar dari
pemikiran Barat, dari dualisme antara jiwa dan jasad, antara tubuh dan roh.
Setelah ide tentang pemisahan roh dan materi itu berakar, kaum filsuf
memalingkan perhatian mereka kepada dunia spiritual, bukan dunia material,
kepada roh manusia dan masalah-masalah etika. Masalah-masalah ini
memenuhi
pemikiran Barat selama lebih dari 2000 tahun sejak puncak sains dan budaya
Yunani pada abad 5 - 4 SM. Pengetahuan ilmiah di zaman kuno
disistematisasikan dan disusun oleh Aristoteles, yang menciptakan skema
yang akan menjadi dasar pandangan-dunia Barat selama dua ribu tahun. Tetapi
Aristoteles sendiri berpendapat bahwa masalah-masalah yang menyangkut roh
manusia dan perenungan terhadap kesempurnaan Tuhan jauh lebih penting
daripada penyelidikan alam material. Alasan yang menyebabkan model alam
semesta dari Aristoteles ini tetap tak tersaingi begitu lama adalah justru
karena tidak adanya minat pada alam material, serta cengkeraman kuat dari
gereja Kristen yang mendukung ajaran-ajaran Aristoteles sepanjang Zaman
Pertengahan.
Filsafat Descartes bukan saja penting bagi perkembangan ilmu fisika klasik,
tetapi juga sangat berpengaruh dalam cara berpikir Barat pada umumnya
sampai sekarang. Kalimat Descartes yang terkenal, "Cogito ergo sum" --"Aku
berpikir, karena itu aku ada" -- telah membuat orang Barat melihat jatidiri
mereka dalam pikiran [jiwa, mind] mereka, alih-alih dalam seluruh organisme
diri mereka. Sebagai akibat dari pembagian Cartesian [mengikuti Descartes]
ini, kebanyakan orang menyadari diri mereka sebagai 'ego' yang
terisolasikan dan terkungkung "di dalam" jasad. Jiwa [mind] dipisahkan dari
tubuh, dan diberi tugas sia-sia untuk mengendalikannya, dengan demikian
menimbulkan konflik yang tampak seolah-olah ada antara 'kehendak yang
sadar' dan 'instink yang tak dikehendaki'. Masing-masing individu
dipecah-pecah lebih lanjut ke dalam sejumlah besar kompartemen yang
terpisah, sesuai dengan kegiatan, bakat, perasaan, kepercayaan, dsb, yang
terlibat dalam berbagai konflik tak berkeputusan, dan menghasilkan
kekacauan dan frustrasi metafisikal yang terus-menerus.
Fragmentasi di dalam ini mencerminkan pandangan kita terhadap dunia "luar",
yang dilihat sebagai kumpulan obyek dan peristiwa yang terpisah-pisah.
Lingkungan alam dilihat sebagai terdiri dari bagian-bagian yang terpisah
yang boleh dieksploitir oleh kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda.
Pandangan yang terpecah-belah ini lebih lanjut diperluas kepada masyarakat,
yang terpecah dalam berbagai bangsa, ras, agama dan kelompok politik.
Kepercayaan bahwa semua fragmen-fragmen ini -- dalam diri kita, dalam
lingkungan kita, dan dalam masyarakat kita -- sungguh terpisah-pisah dapat
dipandang sebagai sebab esensial dari serangkaian krisis sosial, ekologis,
kultural pada dewasa ini. Kepercayaan ini telah menjauhkan kita dari alam
dan dari sesama manusia. Ia telah mengakibatkan distribusi yang sangat
tidak adil dari sumberdaya alamiah, menciptakan kekacauan ekonomis dan
politis; gelombang kekerasan yang makin meningkat, baik yang spontan maupun
yang melembaga, dan suatu lingkungan yang buruk dan terpolusi, yang di
dalamnya kehidupan sering kali menjadi tidak sehat secara fisik dan secara
mental.
Bila batin guncang, keanekaragaman benda muncul, tetapi bila batin tenang,
keanekaragaman benda lenyap. [Ashvaghosha, *The Awakening of Faith of
Mahayana*]
Dia yang berdiam dalam segala sesuatu, Namun lain dari segala sesuatu, Yang
tidak diketahui oleh segala sesuatu, Yang segala sesuatu merupakan
tubuhnya, Yang mengatur segala sesuatu dari dalam -- Dialah Ruhmu, Pengatur
di Dalam, Yang Abadi. [Brihad-aranyaka Upanishad, 3.7.15]
Buku ini bertujuan memperbaiki citra sains dengan memperlihatkan bahwa ada
keselarasan esensial antara semangat kearifan Timur dengan sains Barat. Ia
mencoba menampilkan bahwa ilmu fisika modern telah melangkah jauh
melampaui
sekadar teknologi -- bahwa jalan -- Tao -- dari ilmu fisika bisa merupakan
jalan dengan hati, jalan menuju pengetahuan spiritual dan realisasi-diri.
Dari yang tak nyata tuntunlah aku menuju ke yang nyata! Dari kegelapan
tuntunlah aku menuju ke cahaya! Dari kematian tuntunlah aku menuju ke
kehidupan abadi!
Brihad-aranyaka Upanishad
Di Timur, nilai yang diberikan kepada kedua jenis pengetahuan itu sering
kali terlihat dari istilah-istilah yang digunakan untuk itu. Misalnya,
kitab *Upanishad*, berbicara tentang 'pengetahuan yang tinggi' dan
'pengetahuan yang rendah', dan dengan 'pengetahuan yang rendah'
dimaksudkan
berbagai bidang ilmu, sedangkan 'pengetahuan yang tinggi' adalah kesadaran
religius. Kaum Buddhis bicara tentang 'pengetahuan relatif' dan
'pengetahuan absolut', atau tentang 'kebenaran kondisional' dan 'kebenaran
transendental'. Di lain pihak, filsafat Cina selalu menekankan sifat saling
melengkapi dari yang intuitif dan yang rasional, dan melambangkannya dengan
pasangan arketipal 'yin' dan 'yang', yang membentuk landasan dari pemikiran
Cina. Dengan demikian, dua tradisi filosofis yang saling melengkapi --
Taoisme dan Konfusianisme -- berkembang di Cina kuno untuk menggarap
kedua
jenis pengetahuan ini.
Di lain pihak, alam natural adalah penuh dengan beraneka ragam hal dan
kerumitan, suatu alam multidimensional yang tidak mengandung garis lurus
atau wujud yang teratur seluruhnya, yang di situ hal-hal tidak terjadi
dalam urutan, melainkan terjadi serentak. Suatu dunia yang --sebagaimana
diungkapkan oleh ilmu fisika modern-- bahkan ruang hampa pun melengkung.
Jelas bahwa sistem abstrak dari cara berpikir konseptual kita tidak pernah
dapat menguraikan atau memahami realitas ini sepenuhnya. Dalam berpikir
tentang alam ini, kita menghadapi masalah yang sama seperti yang dihadapi
seorang kartografer [pembuat peta] yang mencoba meliput permukaan bumi
yang
melengkung dengan sederetan peta-peta datar. Dari prosedur seperti itu,
kita hanya bisa berharap memperoleh pendekatan [approximation] yang
mewakili realitas, sehingga dengan demikian semua pengetahuan rasional
niscaya terbatas.
Bagi kebanyakan dari kita amat sukar untuk terus-menerus sadar akan
keterbatasan dan relativitas pengetahuan konseptual. Karena gambaran
realitas yang kita miliki jauh lebih mudah ditangkap daripada realitas itu
sendiri, kita cenderung mengacaukan keduanya dan menganggap konsep-
konsep
dan simbol-simbol kita sebagai realitas itu sendiri. Salah satu tujuan
mistisisme Timur adalah membebaskan kita dari kekacauan seperti itu. Kaum
Buddhis Zen mengatakan, diperlukan sebuah jari untuk menunjuk kepada
rembulan, tetapi kita tidak perlu repot dengan jari itu bila rembulan telah
dilihat. Orang arif Taois, Chuang Tzu, menulis:
Di Barat, ahli semantik Alfred Korzybski menyatakan hal yang sama dengan
slogan kuatnya, "Peta bukanlah wilayahnya."
Yang diminati oleh para ahli mistik Timur adalah pengalaman realitas secara
langsung, yang mengatasi bukan hanya pemikiran intelektual, melainkan juga
persepsi indrawi. Menurut istilah *Upanishad*:
Apa yang tanpa suara, tanpa rabaan, tanpa wujud, tak dapat musnah,
Begitu pula tanpa citarasa, tetap ada, tanpa bau, Tanpa awal, tanpa
akhir, lebih tinggi daripada yang agung, mantap -- Dengan melihat Itu,
orang terbebas dari cengkeraman maut. [Katha-upanishad, 3.15]
Pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman seperti itu oleh kaum Buddhis
disebut "pengetahuan absolut", oleh karena pengetahuan itu tidak bergantung
pada pembedaan, abstraksi, dan klasifikasi intelektual, yang seperti sudah
kita lihat, selalu bersifat relatif dan kira-kira. Menurut kaum Buddhis,
itu adalah pengalaman langsung akan "Itu" [suchness] yang tak terbedakan,
tak terbagi, tak tertentu. Penglihatan sempurna terhadap "Itu" ini bukan
hanya intisari mistisisme Timur, melainkan juga sifat pokok semua
pengalaman mistik.
Ke situ mata tidak dapat pergi, Ucapan tidak dapat pergi, tidak juga
pikiran. Kita tidak tahu, kita tidak mengerti Bagaimana orang akan
mengajarkannya.
Lao Tzu, yang menyebut realitas ini 'Tao', menyatakan hal yang sama dalam
baris pertama karyanya, *Tao Te Ching*: ""Tao' yang dapat diungkapkan
bukanlah 'Tao' yang abadi." Fakta --yang jelas terlihat kalau kita membaca
surat kabar-- bahwa umat manusia tidak bertambah arif dalam dua ribu tahun
terakhir, meskipun terdapat peningkatan luar biasa pengetahuan rasional,
merupakan bukti cukup tentang kemustahilan mengkomunikasikan pengetahuan
absolut dengan kata-kata. Seperti kata Chuang Tzu: "Kalau bisa
diperbincangkan, setiap orang pasti akan memberitahukan saudaranya."
Sudah tentu, dalam prakteknya ketiga tahap ini tidak terpisah rapi dan
tidak selalu berlangsung menurut urutan yang sama. Misalnya, seorang ahli
fisika mungkin mengembangkan suatu model tertentu berdasarkan suatu
kepercayaan filosofis yang dianutnya, yang tetap dipercayanya, sekalipun
belakangan diperoleh bukti-bukti eksperimental yang menentangnya. Di situ
ia akan mencoba --dan ini sangat sering terjadi-- memodifikasikan modelnya
sehingga dapat menjelaskan hasil eksperimen yang baru. Tetapi jika
bukti-bukti eksperimental masih terus menentang modelnya, pada akhirnya ia
akan terpaksa meninggalkan model itu.
Pengetahuan rasional dan upaya rasional jelas merupakan bagian utama dari
penelitian ilmiah, tetapi itu bukan semuanya. Bagian rasional dari
penelitian sesungguhnya akan sia-sia apabila tidak dilengkapi dengan
intuisi yang memberikan pemahaman-seketika [insight] kepada para ilmuwan
dan membuat mereka kreatif. Pemahaman seperti ini cenderung untuk datang
secara tiba-tiba, dan yang khas, bukan pada waktu duduk di belakang meja
mengutak-ngutik persamaan-persamaan matematis, melainkan ketika rileks di
kamar mandi, ketika berjalan-jalan di hutan, atau di pantai, dsb. Dalam
periode relaksasi setelah suatu kegiatan intelektual yang penuh konsentrasi
inilah, batin intuitif tampak mengambil-alih peran dan dapat menghasilkan
pemahaman mendadak yang bersifat menjelaskan, yang memberikan perasaan
sukacita dan gembira begitu besar bagi penelitian ilmiah.
Namun, pemahaman intuitif tidak berguna bagi ilmu fisika kecuali dapat
dirumuskan dalam kerangka matematis yang konsisten, dan didukung penafsiran
dalam bahasa sehari-hari. Abstraksi [penyaringan] adalah sifat krusial dari
kerangka ini. Seperti disebutkan di atas, ini terdiri dari suatu sistem
konsep-konsep dan simbol-simbol yang membentuk suatu peta realitas. Peta
ini hanya mewakili beberapa ciri saja dari realitas; kita tidak tahu pasti
bagian yang mana, karena kita mulai menyusun peta kita secara
berangsur-angsur dan tanpa analisis kritis sejak masa kanak-kanak. Dengan
demikian, kata-kata dalam bahasa kita tidak terlalu ketat definisinya.
Kata-kata itu mempunyai beberapa makna, banyak di antaranya melintas
samar-samar di pikiran kita, dan sebagian besar berada di bawah kesadaran
ketika kita mendengarnya.
Ketidakakuratan dan ambiguitas bahasa kita adalah penting bagi para
penyair, yang sebagian besar bekerja dengan lapisan-lapisan dan
asosiasi-asosiasi bawah sadar. Sebaliknya, sains bertujuan memperoleh
definisi-definisi yang jelas dan hubungan-hubungan yang tidak ambigu; oleh
karena itu, sains mengabstraksikan bahasa lebih jauh dengan membatasi makna
kata-kata dan menstandardisasikan strukturnya, sesuai dengan aturan-aturan
logika. Abstraksi yang tertinggi terjadi dalam matematika, yang di situ
kata-kata digantikan oleh simbol-simbol, dan operasi-operasi yang
menghubungkan simbol-simbol itu dirumuskan secara ketat. Dengan cara ini,
para ilmuwan dapat meringkas informasi ke dalam satu persamaan, yakni satu
baris simbol-simbol, yang untuk menjelaskannya mereka mungkin membutuhkan
beberapa halaman tulisan biasa.
8. Kuasa
9. Kurniawan
II
Realita seperti ini, pada kurun waktu yang telah lewat, mungkin
belum menjadi persoalan yang berarti. Tapi pada masa ini,
permasalahan tersebut menjadi polemik yang berarti, sehingga
tidak mengherankan lagi bila terdengar asumsi-asumsi negatif
seperti yang diutarakan oleh Emmanuel Levinas diatas. Hal senada
juga diungkapkan oleh Michel Foucault, yang pada kelanjutannya
asumsi-asumsi itu membawanya pada sebuah karya
monumentalnya, Larcheologie du savoir (Archeology of
Knowladge) sebuah tema yang selama ini mendasari metodologi
penyingkapan-penyingkapan dalam kajian-kajiannya dan mempu
menghasilkan karya-karyanya seperti Les Mots et les choses (kata-
kata dan sesuatu); kajian dalam bahasa, Birth of Clinic (terjemah
Perancis); kajian dalam kedokteran. Dalam buku-buku tersebut,
bak seorang ahli purbakala ia berusaha menyingkap debu-debu
yang menutupi hakikat sejarah.
III
Telah menjadi suatu yang laik, bila sebuah analisa didasarkan pada
realita diskursus, maka korelasinya erat dengan kaedah-kaedah
yang disepakati tumbuhnya diskursus, dan juga diskursus lain yang
memenuhi syarat tersebut. Namun, deskripsi peristiwa yang
membentuk diskursus melontarkan pertanyaan yang berbeda:
mengapa muncul sebuah diskursus, tapi tidak dengan yang
lainnya? Padahal dengan kumpulan diskursus-diskursus tersebut,
bangunan dalam sejarah dapat tergambar dengan jelas.
IV
VI
Catatan Kaki:
Daftar Pustaka:
''Tuhan yang satu tak terjangkau oleh pikiran manusia, namun Dia dipersepsi
secara berbeda-beda oleh berbagai kelompok manusia sepanjang sejarah.''
Demikian salah satu untaian pemikiran Karen Armstrong dalam bukunya,
Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan Orang-Orang Yahudi,
Kristen, dan Islam selama 4.000 Tahun.
Nama Karen Armstrong makin akrab di telinga publik Indonesia sejak buku-buku
yang lahir dari penanya diterjemahkan dan diterbitkan penerbit kondang di
Indonesia. Selain Sejarah Tuhan, buku-bukunya, Berperang Demi Tuhan dan
Biografi Nabi Muhammad SAW laris manis di pasaran. Armstrong yang berasal
dari keluarga Katolik Roma berhasil menguraikan pernik-pernik perdebatan
filosofis dan mistis seputar ketuhanan dalam ketiga agama monoteis.
Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) edisi ini mengangkat fenomena Karen Armstrong
dan korelasinya dengan dialog antaragama. Untuk mengupas sisi menarik
Armstrong, Ulil Abshar-Abdalla mewawancarai Budhy Munawar-Rachman, dosen
Universitas Paramadina. Wawancara ini berlangsung di Radio 68H pada Kamis,
2 Mei 2002 lalu. Berikut petikannya:
Ulil: Berbicara pengertian antaragama, kita tidak bisa melupakan sosok Karen
Armstrong. Mantan biarawati asal Inggris ini dikenal sebagai sarjana yang
menulis tentang abrahamic religions (Yahudi, Nasrani, dan Islam). Seolah-olah,
Armstrong menjadi jembatan pengertian antaragama saat ini. Sebagai pembaca
serius karya-karya Armstrong, bagaimana kesan Anda tentang Armstrong ini?
Menurut saya, Armstrong adalah penulis yang menjadi perhatian dunia. Lebih
dari itu, beliau memberi kita pemahaman yang baik tentang masalah teologi dan
sejarah. Kekuatan buku-bukunya, saya kira, terletak pada perspektif sejarah
yang mendalam.
Ini dapat kita lihat dari keberaniannya memberikan judul bukunya, History of God
(Sejarah Tuhan). Dalam buku itu, dia menguraikan panjang lebar bahwa masalah
ketuhanan akhirnya adalah perspektif kita mengenai Tuhan. Atau, bisa juga
disebut sebagai kepercayaan menurut istilah para sufi. Selain itu, Armstrong
menulis dengan cara yang simpatik. Penulisannya tentang Islam, misalnya,
sangat simpatik. Banyak orang yang sudah membaca karyanya, kemudian
berkomentar bahwa seharusnya Armstrong lebih kritis lagi.
Armstrong malah lebih kritis menulis tentang agama Kristen. Misalnya, ketika dia
membahas mengenai sejarah Trinitas. Dengan sangat kritis, dia merujuk uraian
sejarah yang dalam sekali mengenai konflik-konflik kepentingan yang ada kala
itu. Jadi, membaca buku-buku Armstrong memang membangkitkan kesadaran
kita bahwa agama itu ada dalam sejarah. Artinya, agama selalu terlibat dalam
pergumulan-pergumulan, berwujud kepentingan-kepentingan, konflik ide, dan
lain-lain.
Ulil: Secara ringkas, apa yang ingin Armstrong katakan dalam buku Sejarah
Tuhan itu?
Kalau dalam buku Sejarah Tuhan, dia ingin menegaskan bahwa dewasa ini
kepercayaan mengenai ''Tuhan personal'' sudah tidak cocok lagi. Dan itu
sebenarnya sudah lama disadari agama Yahudi, Islam, dan Kristen Ortodoks.
Lebih kurang, sudah terjadi seribu tahun pergulatan antara para teolog dan para
mistikus yang mengkritik Tuhan personal. Meski demikian, di kalangan Kristen
Barat, kesadaran ini baru muncul belakangan, terutama sejak Nietzcszhe yang
mengatakan Tuhan sudah mati (God is death). Sekarang terjadi perdebatan
kembali apakah konsep Tuhan personal itu masih bisa dipertahankan atau tidak.
Ulil: Yang menarik, Armstrong adalah seorang Katolik dan mantan biarawati yang
giat belajar agama di luar Katolik. Lalu, dia mencoba menarik benang merah
antaragama dan berusaha simpatik pada semua agama. Apa yang bisa
dipelajari dari sikap simpatik ini?
Saya kira, itu menyangkut kesadaran bahwa dalam semua agama selalu ada
masalah. Yang relevan untuk menggambarkan itu adalah buku The Battle for
God, Berperang demi Tuhan.
Dalam buku itu, kita akan dapatkan bahwa agama tidak hanya berisi yang tinggi,
yang baik, dan luhur, atau gambaran yang indah-indah saja tentang agama.
Ternyata, agama juga terlibat dalam kekerasan, pembenaran untuk membunuh
sesama, bahkan terkadang agama terlibat dalam terorisme.
Armstrong menguraikan itu dalam perspektif sejarah yang cukup panjang. Yakni
dimulai sejak pemberangusan kelompok Yahudi di Eropa yang diikuti fenomena
hijrahnya Yahudi ke kawasan Dinasti Utsmani waktu itu. Mereka menjadi
minoritas tertindas.
Ulil: Dalam setiap agama selalu saja ada salah paham dan prasangka atas
agama lain. Menurut Anda, bagaimana tiga agama (Yahudi, Kristen, dan Islam)
yang bersumber dari bapak monoteis yang sama, yaitu Nabi Ibrahim, dalam
kenyataan sejarah justru paling sering terlibat kekerasan?
Inilah yang menjadi pertanyaan besar. Sebab, tiga agama ini lahir dengan etos
profetik, agama kenabian. Ini merupakan penyebab utama kebingungan itu. Tapi,
dalam perjalanan sejarah, ada istilah sosiologi yang disebut priestly religion,
agama yang bersifat kependetaan.
Ulil: Ada kekhawatiran, bila membaca konsep ketuhanan Armstrong yang njlimet,
itu bisa menggiring pada ateisme. Komentar Anda bagaimana?
Saya kira, tidak perlu khawatir akan menjadi ateis. Hemat saya, membaca buku
Armstrong justru akan menambah keimanan. Itu yang saya rasakan. Kalau
membaca buku Berperang demi Tuhan, mungkin akan timbul kesan lain lagi.
Dari buku itu, kita akan merasakan banyaknya bahaya yang muncul bila agama
terlibat dalam kepentingan-kepentingan, politik, dan kekerasan. Hemat saya,
buku Sejarah Tuhan jangan dibaca sebagai buku teologi, namun lebih sebagai
buku sejarah
II
III
Fakta-fakta obyektif tak lebih dari alat dominasi yang dihasilkan dari
relasi kuasa. Generalisasi-generalisasi ilmiah adalah bentuk dari
positivisme. Karena itu harus digugat. Dimata pendukung
posmodernisme, dunia yang sebenarnya adalah subyektifitas yang
mencerminkan kesamaan dan persamaan antarbudaya, terlepas
dari konsep pinggir-pusat. Konsep pusat (center) dan pinggir
(pheri-pheri) telah melahirkan Pihak Lain (The Other). Rasionalitas
(dalam hal ini maksudnya Barat) adalah pusat (center), sementara
selain Barat dianggap irrasional, tak beradab, karena itu mereka
adalah The Other (pheri-pheri). Inilah yang menjadi dasar legitimasi
kolonialisme. Karena itu, rasionalitas positivistik adalah
kolonialisme dan, sebaliknya.
Banyak kesalahan dalam rasionalitas. Terbukti, sains yang
dibangun atas dasar rasionalitas tak mampu menjawab tantangan
zaman. Kemiskinan, peperangan dan kerusakan lingkungan hidup
adalah sedikit contoh kegagalan sains. Karena itu, rasionalitas
modernisme tak lebih dari rasionalisasi, yang menghasilkan
Kebenaran (dengan K besar) dan bersifat transkultural. Sementara
posmodernisme hanya mengakui kebenaran (dengan k kecil) yang
bersifat lokal dan subyektif; artinya, ada pluralitas kebenaran.
Disini, posmodernisme adalah sejenis histeria subyektifitas yang
mendestruksi segala bentuk obyektifitas (baca: Kebenaran).
IV
VI
VII
VIII
Daftar Pustaka:
Kriminalisasi politik
Kekerasan semacam itu ada batasnya. Tetapi, batas itu justru dipakai sebagai
alat pembenaran. Betapa kasarnya suatu kekerasan politik, ia tetap
membutuhkan legitimasi. Kekerasan tidak akan operasional bila sama sekali
lepas dari hukum: kerusuhan masih dipakai sebagai sebagai sarana karena
pelaku tidak ditindak keras, bahkan menikmati impunity; intimidasi dan teror
digunakan karena sulit dibuktikan secara hukum dan para saksi tidak berani
membuka mulut. Dengan kata lain, kekerasan politik bisa berjalan karena
memperhitungkan aspek hukum itu, dengan memberi alibi. Terorisme juga butuh
pembenaran.
Pembenaran biasanya bertitik tolak dari tindakan rasional dalam pengertian Max
Weber: tujuan menentukan pemilihan sarana. Prinsip rasionalitas tindakan ini
membawa ke pembenaran antara pandangan pakar dan politik itu sendiri. Politik
mendasarkan pada komitmen terhadap nilai-nilai yang diyakini, sedangkan
analisa rasional tindakan adalah masalah koherensi tujuan, penyesuaian sarana
yang efektif, akibat-akibat yang dapat diperhitungkan. Bila yang dikehendaki
dipisahkan dari sarana untuk mencapainya, tujuan dengan mudah melegitimasi
sarana apapun yang dipakai. Kurban diabaikan karena yang penting tujuan bisa
tercapai. Lebih sadis lagi kurban dianggap sebagai ukuran keberhasilan atau
bagian sasaran strategi. Maka kekerasan dianggap sebagai salah satu dari
sarana-sarana itu seperti tidak ada pembedaan normatif.
Rasionalitas berhenti di pintu masuk ke keputusan. Hal ini jelas dari kritik Jurgen
Habermas (1968) atas analisa weberian tentang rasionalisasi keputusan. Dia
menangkap analisa Max Weber justru menunjukkan kecenderungan untuk
sewenang-wenang dalam pengambil keputusan, karena ruang lingkup keputusan
dipersempit analisa metodologis. Sedangkan keputusan itu sendiri menjadi
irasional. Irasionalitas itu tampak ketika masalah pilihan nilai-nilai diabaikan
seperti dalam rumusan "tujuan menghalalkan cara". Penalaran ini menolak
konfrontasi teoritis, debat ideologis, diskusi tentang prioritas, berarti menutup diri
terhadap diskusi tentang legitimasi tindakan.
Rasionalitas instrumental
Etika diskursus
Ada prinsip "tujuan menghalalkan cara" yang bisa diterima dari sudut pandang
etika. Misalnya, menyiksa satu orang untuk menyelamatkan seribu orang. Dalam
etika, kasus ini masuk dalam kategori konflik kewajiban. Tetapi perlu catatan.
Ketika orang berusaha melegitimasi sarana melalui tujuannya, entah sarana
yang dipilih itu berupa kekerasan atau yang lain, harus terbuka terhadap
evaluasi. Dengan kata lain, pilihan sarana harus terbuka bagi perdebatan,
termasuk kritik dan bukan hanya berhenti pada keyakinan. Etika hendaknya tidak
hanya mendasarkan pada keyakinan, tetapi etika tanggung jawab yang terasah
melalui diskursus. Selain itu, proporsionalisme bisa juga menolong menjawab
kasus itu.
Kebudayaan Postmodern
Menurut Jean Baudrillard
[1] Pendahuluan
[2] Modernisme dan Postmodernisme
[3] Kebudayaan Postmodern Jean Baudrillard
[4] Seni Populer dalam Era Postmodernisme
[5] Beberapa Catatan Kritis
Pendahuluan
Tepat pukul 15.30, tanggal 15 Juli 1972, kompleks bangunan perumahan Pruitt
Igoe St. Louis, Missouri, diledakkan. Kompleks bangunan yang dirancang
dengan konsep arsitektur modern ortodoks oleh arsitek Jepang, Minoru
Yamasaki pada tahun 1950 itu diledakkan karena dianggap sudah tidak lagi
fungsional. Kerusakan konstruksi, pencurian listrik dan air, tunggakan
kontrakan yang besar, vandalisme graffiti, wall painting dan pornographic
painting yang dilakukan para penghuninya dianggap sudah kelewat batas.
Hancurnya bangunan Pruitt Igoe yang merepresentasikan konsep arsitektur
modern dengan karakter ruang isotropis, homogen, monoton, anti-ornamen,
anti-metafor, anti-humor, mono-simbolik, dan berestetika mesin sekaligus
menandai kematian era arsitektur modern dan segera lahirnya sebuah era
baru: era arsitektur postmodern. Arsitektur postmodern, yang disuarakan
oleh Charles Jenks, Heinrich Klotz dan Robert Venturi, hanyalah salah satu
interpretasi wacana estetis-filosofis yang saat itu sedang membentuk
dirinya: postmodernisme. Postmodernisme adalah wacana kesadaran yang
mencoba mempertanyakan kembali batas-batas, implikasi dan realisasi
asumsi-asumsi modernisme; kegairahan untuk memperluas cakrawala estetika,
tanda dan kode seni modern; wacana kebudayaan yang ditandai dengan
kejayaan
kapitalisme, penyebaran informasi dan teknologi secara massif, meledaknya
konsumerisme, lahirnya realitas semu, dunia hiperrealitas dan simulasi,
serta tumbangnya nilai-guna dan nilai-tukar oleh nilai-tanda dan
nilai-simbol. Serangkaian kesadaran dan keyakinan baru ini mencakup
berbagai bidang kehidupan. Dalam dunia seni misalnya, terdapat nama Marcel
Duchamp dengan readymade art dan Andy Warhol dengan seni pop kaleng sup.
Dalam dunia arsitektur terdapat nama Charles Jenks dengan karya teoritisnya
The Language of Postmodern Architecture (1984) dan Robert Venturi dengan
Complexity and Contradiction in Architecture (1962) yang memproklamirkan
semboyan less is bore (mengejek semboyan less is more dalam arsitektur
modern yang dikumandangkan oleh Mies van der Rohe, salah seorang
penggagas
awal arsitektur modern) (Andy Siswanto, 1994: 36). Dalam dunia drama
terdapat nama Bertold Brecht dengan konsep pengasingan dan Antonin Artaud
dengan teater absurd. Dalam dunia musik terdapat nama Nicholas Cage dengan
musik alam dan Stockhausen dengan oriental music. Dalam dunia sinema
terdapat nama David Lynch dengan Blue Velvet dan Quentin Tarantino dengan
serangkaian film generasi baru (Denzin, 1988: 461). Dalam dunia sastra
muncul nama Burroughs dengan cerita cut up dan Gabriel Marquez dengan
novel
realisme magis One Hundred Year of Solitude (1976). Dalam disiplin
antropologi terdapat nama S.A Tyler, M.J Fischer dan kelompok Rice Circle
dengan experimental ethnography. Dalam disiplin sosiologi terdapat nama
Norman Denzin dengan kajian film dan Pierre Bordieu dengan theatrum
politicum. Dan dalam wilayah filsafat terdapat nama Jean Francois Lyotard
dengan konsep paralogi, disensus dan delegitimasi, Jacques Derrida dengan
dekonstruksi, Michel Foucault dengan kajian tentang arkeologi pengetahuan,
genealogi sejarah seksualitas dan teknologi kekuasaan, serta Jean
Baudrillard dengan kajian budaya tentang dunia simulasi, hiperrealitas,
simulacra dan dominasi nilai-tanda dan nilai-simbol dalam realitas
kebudayaan dewasa ini (Featherstone, 1988: 196).
B. Tujuan Penelitian
C. Tinjauan Pustaka
Miletos, kota kecil di gugusan kepulauan Yunani abad ke-6 SM adalah tempat
bermulanya cerita besar tentang penaklukan alam oleh manusia. Di kota
itulah sebermula runtuhnya mitos-mitos arkhaik tentang alam yang berupa
dongeng, fabel ataupun kepercayaan. Sejak saat itu manusia serta-merta
memberontak dari kungkungan kebudayaan mitologis dan berusaha
menggunakan
akalnya untuk menjelaskan dunia. . Sejarah penaklukan alam dibawah tatapan
akal pikiran kemudian bergulir. Sokrates, filsuf besar Yunani, mempertegas
usaha ini dengan semboyannya yang sangat terkenal, Kenalilah dirimu
sendiri. Salah seorang murid Sokrates, Plato, seraya menggemakan pemikiran
sang guru, menarik garis lebih tajam mengenai konsep manusia. Menurut
Plato, manusia terdiri dari 3 tingkatan fungsi yakni, tubuh (epithymia),
kehendak (thymos) dan rasio (logos). Rasio adalah tingkatan tertinggi,
sekaligus mengatur dan melingkupi fungsi-fungsi yang lain. Pandangan Plato
tentang manusia ini membawanya pada konsepsi negara ideal yang analog
dengan tingkatan fungsi dalam diri manusia. Pertama, para pemimpin (analog
dengan rasio). Kedua, para prajurit (analog dengan kehendak). Ketiga, para
petani dan tukang (analog dengan tubuh) (Harun Hadiwijono, 1994: 43-44).
Dengan konsepsi seperti ini Plato memperteguh keyakinan subjektivitas
manusia dengan konstruksi kebudayaan (negara) yang berpijak pada rasio.
Sejarah filsafat berikutnya bergulir sampai pada satu titik yang memiliki
makna penting bagi kelahiran era modernitas. Dipicu oleh gerakan humanisme
Italia abad ke-14 M, Renaisans lahir sebagai jawaban terhadap kejumudan dan
kebekuan pemikiran abad pertengahan. Renaisans yang berarti kelahiran
kembali, membawa semangat pembebasan dari dogma agama yang beku
selama abad
pertengahan; keberanian menerima dan menghadapi dunia nyata; keyakinan
menemukan kebenaran dengan kemampuan sendiri; kebangkitan mempelajari
kembali sastra dan budaya klasik; serta keinginan mengangkat harkat dan
martabat manusia (Harun Hadiwijono, 1994: 11-12). Makna penting Renaisans
dalam sejarah filsafat Barat adalah peranannya sebagai tempat persemaian
benih Pencerahan abad ke-18 M yang menjadi embrio kebudayaan modern.
Seorang filsuf besar yang menjejakkan pengaruhnya pada masa ini adalah Rene
Descartes, Bapak Rasionalisme, sekaligus arsitek utama filsafat modern.
Dengan mengadopsi dan mensintesakan pemikiran filsuf-filsuf sebelumnya,
Descartes berambisi membangun metode pengetahuan yang berlaku untuk
setiap
bentuk pengetahuan. Menurutnya, kepastian kebenaran dapat diperoleh melalui
strategi kesangsian metodis. Dengan meragukan segala sesuatu, Descartes
ingin menemukan adanya hal yang tetap yang tidak dapat diragukan. Itulah
kepastian bahwa Aku sedang ragu-ragu tentang segala sesuatu. Rumusan
terkenal dari pemikiran Descartes ini adalah diktum, Cogito ergo sum, Aku
berpikir maka aku ada. Dengan diktum ini, rasio sekali lagi diyakini mampu
mengatasi kekuatan metafisis dan transendental. Kemampuan rasio inilah yang
menjadi kunci kebenaran pengetahuan dan kebudayaan modern. Sejarah
kematangan kebudayaan modern selanjutnya ditunjukkan oleh pemikiran dua
filsuf Jerman, Immanuel Kant dan Frederich Hegel. Melalui kedua pemikir
inilah nilai-nilai modernisme ditancapkan dalam alur sejarah dunia. Kant
dengan ide-ide absolut yang sudah terberi (kategori). Hegel dengan filsafat
identitas (idealisme absolut) (Ahmad Sahal, 1994: 13). Konstruksi
kebudayaan modern kemudian tegak berdiri dengan prinsip-prinsip rasio,
subjek, identitas, ego, totalitas, ide-ide absolut, kemajuan linear,
objektivitas, otonomi, emansipasi serta oposisi biner.
Sejarah pemikiran dan kebudayaan yang dibangun di atas prinsip-prinsip
modernitas selanjutnya merasuk ke berbagai bidang kehidupan. Seni modern
hadir sebagai kekuatan emansipatoris yang menghantar manusia pada realitas
baru. (Awuy, 1995: 41). Sementara itu dalam dunia ilmu dan kebudayaan,
modernitas ditandai dengan berkembangnya teknologi yang sangat pesat,
penemuan teori-teori fisika kontemporer, kejayaan kapitalisme lanjut,
konsumerisme, merebaknya budaya massa, budaya populer, maraknya industri
informasi televisi, koran, iklan, film, internet berkembangnya konsep
nation-state (negara-bangsa), demokratisasi dan pluralisme.
Dari arah berbeda dengan fokus filsafat bahasa Jacques Derrida, seorang
filsuf Perancis yang lain, bersepakat dengan Lyotard. Derrida mengajukan
strategi pemeriksaan asumsi-asumsi modernisme yang seolah-olah sudah
terberi itu dengan dekonstruksi. Dekonstruksi adalah strategi untuk
memeriksa struktur-struktur yang terbentuk dalam paradigma modernisme yang
senantiasa dimapankan batas-batasnya dan ditunggalkan pengertiannya (Ahmad
Sahal, 1994: 21). Dengan dekonstruksi, cerita-cerita besar modernitas
dipertanyakan, dirongrong dan disingkap sifat paradoksnya. Lebih jauh
dekonstruksi hendak memunculkan dimensi-dimensi yang tertindas di bawah
totalitas modernisme. Implikasi logis strategi ini adalah melumernya
batas-batas yang selama ini dipertahankan antara konsep-metafor,
kebenaran-fiksi, filsafat-puisi, serta keseriusan-permainan. Wacana-wacana
yang sebelumnya tertindas: kelompok etnis, kaum feminis, dunia ketiga, ras
kulit hitam, kelompok gay, hippies, punk, atau gerakan peduli lingkungan
kini mulai diperhatikan. Dengan dekonstruksi, sejarah modernisme hendak
ditampilkan tanpa kedok, apa adanya.
Strategi yang sarat emansipasi ini pula yang mendorong seorang filsuf
sejarawan Perancis Michel Foucault untuk menyingkap mistifikasi hubungan
pengetahuan dan kekuasaan yang disodorkan modernisme. Berbeda dengan
pandangan modernisme yang menyatakan adanya distingsi antara pengetahuan
murni dan pengetahuan ideologis, Foucault menyatakan pengetahuan dan
kekuasaan adalah dua sisi mata uang yang sama. Tidak ada pengetahuan tanpa
kekuasaan vice versa. Selanjutnya menurut Foucault kekuasaan tidaklah
seperti yang dipahami kaum Weberian atau Marxian. Kaum Weberian
memahami
kekuasaan sebagai kemampuan subjektif untuk mempengaruhi orang lain.
Sementara kaum Marxian memahami kekuasaan sebagai artefak material yang
bisa dikuasai dan digunakan untuk menindas kelas lain. Secara cerdas
Foucault menyatakan bahwa di era yang dihidupi oleh perkembangan ilmu dan
teknologi seperti saat ini, kekuasaan bukan lagi institusi, struktur atau
kekuatan yang menundukkan. Kekuasaan tidak dimiliki, tidak memiliki,
melainkan merupakan relasi kompleks yang menyebar dan hadir di mana-mana
(Ahmad Sahal, 1994: 17). Pandangan tentang kuasa/pengetahuan yang tidak
berpusat, tidak mendominasi dan menyebar ini kemudian membawa Foucault
untuk menolak asumsi rasio-kritis yang universal ala Kantian. Baginya rasio
tidak universal, karena seperti disuarakan Charles Baudelaire, seorang
penyair Perancis ada tanggapan lain terhadap modernisme yakni: ironi.
Karenanya Foucault sama sekali tidak berambisi membangun teori-teori yang
universal. Ia memilih membaca realitas pada ukuran mikro. Tema-tema tak
jamak semisal penjara, orang gila, rumah sakit, barak-barak tentara,
pabrik, seks, pasien dan kriminal adalah pilihan yang disadarinya. Dan
dengan pilihan ini, sekali lagi Foucault meneguhkan semangat emansipasi
kaum tertindas yang telah diawali oleh Lyotard dan Derrida.
Berangkat dari analisa Marx diatas, serta dengan membaca kondisi masyarakat
Barat dewasa ini, Baudrillard menyatakan bahwa dalam masyarakat
kapitalisme-lanjut (late capitalism) dewasa ini, nilai-guna dan nilai-tukar
telah dikalahkan oleh sebuah nilai baru, yakni nilai-tanda dan
nilai-simbol. Nilai-tanda dan nilai-simbol, yang lahir bersamaan dengan
semakin meningkatnya taraf ekonomi masyarakat Barat, lebih memandang
makna
simbolik sebuah objek ketimbang manfaat atau harganya. Fenomena kelahiran
nilai-tanda dan nilai-simbol ini mendorong Baudrillard untuk menyatakan
bahwa analisa komoditi Marx sudah tidak dapat dipakai untuk memandang
masyarakat Barat dewasa ini. Hal ini karena dalam masyarakat
kapitalisme-lanjut Barat, perhatian utama lebih ditujukan kepada simbol,
citra, sistem tanda dan bukan lagi pada manfaat dan harga komoditi.
Lebih lanjut Baudrillard menyatakan kebudayaan postmodern memiliki
beberapa ciri menonjol. Pertama, kebudayaan postmodern adalah kebudayaan
uang, excremental culture. Uang mendapatkan peran yang sangat penting
dalam masyarakat postmodern. Berbeda dengan masa-masa sebelumnya,
fungsi
dan makna uang dalam budaya postmodern tidaklah sekedar sebagai
alat-tukar, melainkan lebih dari itu merupakan simbol, tanda dan motif
utama berlangsungnya kebudayaan. Kedua, kebudayaan postmodern lebih
mengutamakan penanda (signifier) ketimbang petanda (signified), media
(medium) ketimbang pesan (message), fiksi (fiction) ketimbang fakta
(fact), sistem tanda (system of signs) ketimbang sistem objek (system of
objects), serta estetika (aesthetic) ketimbang etika (ethic). Ketiga,
kebudayaan postmodern adalah sebuah dunia simulasi, yakni dunia yang
terbangun dengan pengaturan tanda, citra dan fakta melalui produksi maupun
reproduksi secara tumpang tindih dan berjalin kelindan. Keempat, sebagai
konsekuensi logis karakter simulasi, budaya postmodern ditandai dengan
sifat hiperrealitas, dimana citra dan fakta bertubrukan dalam satu ruang
kesadaran yang sama, dan lebih jauh lagi realitas semu (citra) mengalahkan
realitas yang sesungguhnya (fakta). Kelima, kebudayaan postmodern ditandai
dengan meledaknya budaya massa, budaya populer serta budaya media
massa.
Kapitalisme lanjut yang bergandengan tangan dengan pesatnya perkembangan
teknologi, telah memberikan peranan penting kepada pasar dan konsumen
sebagai institusi kekuasaan baru menggantikan peran negara, militer dan
parlemen (Harvey, 1989: 102).
D. Landasan Teori
Ricardo Contreras, seorang penulis Meksiko, pada tahun 1888 mencatat mulai
munculnya referensi pertama istilah modernisme dalam sejarah kebudayaan
masyarakat Barat (Smart. 1990: 18). Menurut Contreras, istilah modernisme
atau modernismo dalam bahasa Spanyol saat itu merupakan sebutan bagi
gerakan-gerakan kebudayaan lokal di Amerika Latin yang memperjuangkan
emansipasi dan otonomi budaya baru untuk melepaskan diri dari cengkeraman
hegemoni kebudayaan Spanyol. Istilah modernisme saat itu tentu belum
merupakan epoch sejarah baru yang bermaksud memutuskan diri dari realitas
sejarah sebelumnya. Ia baru muncul sebagai istilah kebudayaan yang
menghendaki sesuatu yang baru, yang berbeda, seperti halnya arti kata
modern yang diadopsi dari bahasa Latin tersebut. Namun semenjak saat itu
istilah modern dan modernisme beserta kata-kata turunannya: modernitas dan
modernisasi telah mulai kerap digunakan sebagai kata kunci untuk
menjelaskan telah lahirnya cahaya baru kebudayaan dan realitas sosial
masyarakat Barat.
Istilah modern sendiri, yang berarti zaman baru, berasal dari bahasa Latin
modernus, yang telah digunakan pada abad ke-5 M untuk menunjuk batas
antara
era kekuasaan agama Kristen dan era Paganisme Romawi (Smart, 1990: 15).
Istilah ini kemudian berkembang menjadi beberapa istilah turunan yang
kesemuanya menunjuk pada suatu kurun sejarah setelah era Abad Pertengahan.
Beberapa istilah tersebut adalah modernitas, modernisasi dan modernisme.
Dalam penggunaannya, seringkali terjadi tumpang tindih dan simplifikasi
pengertian diantara berbagai istilah ini. Meskipun demikian, diterima suatu
kenyataan bahwa yang diacu oleh istilah-istilah ini adalah suatu era
kebudayaan baru yang ditegakkan oleh rasio, subjek dan wacana
antropomorfisme. Istilah modernitas diartikan sebagai kondisi sosial
budaya masyarakat modern. Ia juga menyiratkan adanya perubahan paradigma
yang diperoleh dengan jalan pintas, dari bentuk lama ke bentuk baru.
Istilah ini sekaligus menggambarkan hubungan antara masa kini dan masa
silam yang tampil dalam bentuknya yang baru dengan jasa Renaisans abad
ke-16 M dan Pencerahan abad ke-18 M sebagai kurun sejarah yang berbeda
dan
superior dalam alur sejarah kebudayaan masyarakat Barat. Modernitas inilah
merujuk Calinescu yang merupakan era yang lebih dewasa, lebih utuh dan
mendasar dalam aspek-aspek rasio, religi dan estetika dibanding era
sebelumnya (Smart, 1990: 16). Modernitas sekaligus juga menjadi titik awal
baru lantaran ia menawarkan hal-hal baru seperti: pengetahuan, moral, ilmu,
kebudayaan, politik serta seni.
Padahal, sebagaimana diungkap Michel Foucault, pada waktu itu terdapat pula
tanggapan menyimpang terutama dari kalangan seniman yang bernada ironi
terhadap modernisme. Ironi adalah semacam keberanian, yang disertai
kegetiran, untuk terlibat secara aktif dalam dunia kini dan disini
(lokal-historis) tanpa harus menggantungkan diri pada kebenaran-kebenaran
di luar diri manusia. Ironi juga berarti menjalani hidup tanpa dibebani
oleh prinsip-prinsip baku dan tidak berpretensi untuk menjadi juru selamat.
Membaca modernisme dengan sikap ironi ini berarti menolak anggapan bahwa
modernitas membawa nilai-nilai universal (Ahmad Sahal, 1994: 16). Terdapat
pelbagai nilai, keyakinan, realitas dan praktek-praktek sosial yang
ternyata menyimpang dari rasionalitas era modern. Penyair Perancis Charles
Baudelaire misalnya, adalah salah seorang pembaca modernisme dengan cara
demikian.
Cara membaca seperti diwakili Baudelaire inilah yang kini mulai menyingkap
paradoks modernitas. Suara-suara minoritas modernisme : subkultur, hippies,
punk, skin head, masyarakat terasing, dunia ketiga, kaum gay, gerakan
lingkungan hidup, kaum feminis, budaya tanding mulai menggugat
kesombongan
modernisme yang dianggap gagal merampungkan proyek heroisme Pencerahan
untuk membangun sebuah masa depan yang lebih baik. Setidaknya terdapat
enam
alasan ekses negatif proyek modernisme yang kini sedang digugat dan
dipertanyakan. Pertama, lantaran pandangan dualistiknya yang membagi
seluruh kenyataan menjadi subjek-objek, spiritual-material, manusia-dunia,
dan lain-lain, telah mengakibatkan objektivasi alam secara berlebihan dan
eksploitasi alam secara semena-mena. Kedua, pandangan modern yang
cenderung
objektivistik dan instrumentalis-positivistik akhirnya jatuh pada
pembendaan (reifikasi) manusia dan masyarakat. Sebagai akibatnya
modernisme
yang dahulu emansipatif kini justru bersifat dehuman. Ketiga, dominasi
ilmu-ilmu empiris-positivistik terhadap nilai moral dan religi menyebabkan
meningkatnya tindak kekerasan fisik maupun kesadaran keterasingan dan
pelbagai bentuk depresi mental. Keempat, merebaknya pandangan
materialisme,
yakni prinsip hidup yang memandang materi dan segala strategi pemuasannya
sebagai satu-satunya tujuan. Kelima, berkembangnya militerisme karena moral
dan agama tidak lagi memiliki kekuatan disiplin dan regulasi. Keenam,
bangkitnya kembali tribalisme, semangat rasisme dan diskriminasi, yang
merupakan konsekuensi logis hukum survival of the fittest Charles Darwin
(I. Bambang Sugiharto, 1996: 29-30). Dampak negatif modernisme ini
sekaligus menjadi senjata para seniman dan kelompok marjinal lainnya untuk
menyerang dan mendesak dipikirkannya kembali Proyek Modernisme.
Sementara itu dalam dunia seni, konsep seni modernisme pun perlahan-lahan
mulai menemui kondisi krisis. Merujuk Featherstone, seni modernisme
memiliki beberapa ciri utama yakni: kesadaran dan refleksi estetis yang
cukup tinggi, penolakan terhadap struktur narasi realitas dan penerimaan
terhadap konsep simultanisme dan montase, eksplorasi terhadap hakekat
realitas yang paradoks, ambigu, dan terbuka, serta penolakan terhadap
gagasan kepribadian yang utuh sembari merayakan gagasan subjek yang
dehuman
dan terbelah (Featherstone, 1988: 202). Pandangan modernis demikian mulai
digugat karena tendensi universalisme dan kebenaran estetis yang
seolah-olah merupakan sebuah keniscayaan. Para seniman dan kritikus seni
mulai malas berbicara tentang seni modern yang beku, kelelahan dan kering.
Gagasan seni populer, seni massa, seni fashion yang merangkum pastiche,
parodi, kitsch dan camp, serta perpetual art, seni perpetual, sebaliknya,
mulai banyak dibicarakan. Kondisi yang sama terjadi dalam wilayah kehidupan
dan disiplin ilmu yang lain: sastra, arsitektur, sosiologi, antropologi,
sejarah, politik dan ekonomi.
Panorama modernisme yang terjebak heroisme inilah yang menurut Daniel Bell,
salah seorang pembicara awal postmodernisme, yang merupakan benih krisis
modernitas. Ditambah oleh perkembangan kapitalisme lanjut yang luar biasa
dahsyat, sebagaimana diungkap Fredric Jameson dalam bukunya
Postmodernism
or The Cultural Logic of Late Capitalism (1984), maka menjadi wajarlah
gugatan, kejenuhan dan kekecewaan terhadap semangat modernisme.
Semenjak awal paruh kedua abad ke-20 M, tepatnya pada kisaran tahun
1960-an, postmodernisme telah muncul sebagai diskursus kebudayaan yang
banyak menarik perhatian. Berbagai bidang kehidupan dan disiplin ilmu
seperti: seni, arsitektur, sastra, sosiologi, sejarah, antropologi, politik
dan filsafat hampir secara bersamaan memberikan tanggapan terhadap tema
postmodernisme. Meskipun tidak mudah atau malah hampir tidak ada cara baku
untuk mendefinisikan postmodernisme, namun tema ini bukanlah lahir tanpa
sejarah. Postmodernisme hadir setelah melalui perjalanan sejarah yang
membentuknya hingga sampai pada keadaannya saat ini. Inilah postmodernisme
yang menggugat watak modernisme lanjut yang monoton, positivistik,
rasionalistik dan teknosentris; modernisme yang yakin secara fanatik pada
kemajuan sejarah yang linear, kebenaran ilmiah yang mutlak, kecanggihan
rekayasa masyarakat yang diidealkan, serta pembakuan secara ketat tata
pengetahuan dan sistem produksi; modernisme yang kehilangan semangat
emansipasi dan terperangkap dalam sistem yang tertutup; dan modernisme yang
tak lagi peka pada perbedaan dan keunikan (Ariel Heryanto, 1994: 80).
Sebaliknya, postmodernisme menawarkan ciri-ciri yang bertolak belakang
dengan watak era pendahulunya, yakni: menekankan emosi ketimbang rasio,
media ketimbang isi, tanda ketimbang makna, kemajemukan ketimbang
penunggalan, kemungkinan ketimbang kepastian, permainan ketimbang
keseriusan, keterbukaan ketimbang pemusatan, yang lokal ketimbang yang
universal, fiksi ketimbang fakta, estetika ketimbang etika dan narasi
ketimbang teori (Ariel Heryanto, 1994: 80). Karakter yang sering disuarakan
postmodernisme antara lain adalah pluralisme, heterodoks, eklektisisme,
keacakan, pemberontakan, deformasi, dekreasi, disintegrasi, dekonstruksi,
pemencaran, perbedaan, diskontinuitas, dekomposisi, de-definisi,
demistifikasi, delegitimasi serta demistifikasi (Bertens, 1995: 44).
Modernisme Postmodernisme
------------------------------------------------------------------------
Romantis/Simbolis Parafisik/Dadisme
Bentuk/Berhubungan/Tertutup Anti Bentuk/Tak Berhubungan/Terbuka
Tujuan Permainan
Desain Kesempatan
Hierarki Anarki
Master/Logos Kejenuhan/Kediaman
Objek Seni/Karya Proses/Penampilan/Happening
Berjarak Partisipasi
Kreasi/Totalisasi/Sintesis Dekreasi/Dekonstruksi/Anti Sintesis
Kehadiran Ketidakhadiran i
Pemusatan Tersebar
Genre/Batas Teks/Interteks
Semantik Retorik
Paradigma Sintagma
Hipotaksis Parataksis
Metafor Metonimi
Seleksi Kombinasi
Akar/Kedalaman Rhizoma/Permukaan
Interpretasi/Pembacaan Melawan-Interpretasi/Kesalahbacaan
Petanda Penanda
Terlihat/Terbaca Tercatat/Tertulis
Narasi/Narasi Besar Anti-Narasi/Narasi Kecil
Tanda Idiolek
Simtom Hasrat
Jenis Mutan
Genital/Phalik Polimorphi/Androgini
Paranoia Schizophrenia
Asli/Sebab Perbedaan/Jejak
Tuhan Setan
Metafisik Ironi
Determinasi Indeterminasi
Transenden Imanen
Modernisme Postmodernisme
------------------------------------------------------------------------
Dalam Politik: Dalam Politik:
Negara (nation-state) Relagion
Totalitarian Demokratis
Konsensus Konsensus yang Dipertanyakan
Friksi Kelas Isu Agenda Baru
Dengan titik perhatian yang berbeda namun sampai pada kesimpulan yang
sama,
Michel Foucault, seorang filsuf poststrukturalis Perancis, mencatat
beberapa karakter khas kebudayaan postmodern. Berangkat dari Kant, Foucault
bersepakat bahwa Era Pencerahan adalah saat dimana rasio mendapatkan
tempat
istimewa dalam sejarah perkembangan kebudayaan. Namun ia menolak
anggapan
Kant bahwa rasio berlaku universal. Baginya rasio hanyalah salah satu cara
untuk menanggapi situasi zaman saat itu. Menurutnya terdapat tanggapan lain
terhadap Pencerahan seperti diwakili Baudelaire yaitu ironi. Ironi adalah
keberanian, yang disertai kegetiran, untuk terlibat secara aktif dengan
situasi kini dan disini, historis dan lokal (locally determined), tanpa
harus mencantolkan diri pada status-status khusus dari kebenaran-kebenaran
absolut, di luar diri manusia, baik atas nama Tuhan, logos, atau yang
lainnya. Ironi juga berarti menjalani kehidupan tanpa dibebani oleh prinsip
baku, yang sudah terpatok sebelumnya (Ahmad Sahal, 1994: 16). Dengan ironi,
Foucault menerima keyakinan bahwa sejarah modernitas bukanlah sejarah
tunggal, dengan narasi besar yang monolog: rasionalitas. Lebih jauh ia
menyingkapkan bahwa narasi-narasi besar modernisme hanyalah mistifikasi
yang bersifat ideologis dan semu. Ia misalnya, menolak pandangan para
filsuf Pencerahan yang mengatakan bahwa manusia adalah subjek otonom,
mandiri dan mampu menentukan dirinya sendiri. Sebaliknya menurut Foucault,
manusia modern sebagai subjek ataupun objek sebenarnya tidak lebih dari
individu yang lahir dan diciptakan oleh multiplisitas kekuasaan melalui
disiplin, normalisasi dan regulasi, pengakuan dan penguasaan diri (Ahmad
Sahal, 1994: 16-17). Kekuasaan dalam pandangan Foucault ini berbeda sama
sekali dengan yang dipahami oleh kaum Weberian dan Marxian. Bagi kaum
Weberian, kekuasaan adalah kemampuan subjektif untuk mempengaruhi orang
lain. Sementara bagi kaum Marxian, kekuasaan adalah artefak material yang
bisa dikuasai dan digunakan untuk mendominasi dan menekan kelas lain.
Menurut Foucault, kekuasaan bukanlah kekuatan, institusi atau struktur yang
bersifat menundukkan. Kekuasaan adalah label nominal bagi relasi strategis
yang kompleks dalam masyarakat. Ia menyebar dan hadir di mana-mana,
dimiliki oleh siapa saja. Untuk itu, ketimbang berusaha mengimami gagasan
besar yang cenderung manipulatif, Foucault lebih memilih untuk menyibuki
persoalan-persoalan kecil dan lokal yang seringkali tak jamak dibicarakan.
Tema-tema seperti rumah sakit, penjara, barak-barak tentara, sekolah,
pabrik, pasien, seks, orang gila dan para kriminal menjadi titik perhatian
utama selama karir kefilsafatannya. Dengan upaya ini, Foucault memberikan
dua sumbangan besar terhadap postmodernisme. Pertama, keberhasilannya
menyingkap mitos-mitos modernisme yang menampilkan dirinya sebagai
kebenaran absolut, yang universal, namun sebenarnya palsu. Kedua,
pemihakannya terhadap persoalan-persoalan yang selama ini ditindas oleh
rasionalitas modern, tersisih, marjinal dan dikucilkan agar lebih didengar
dan diperhatikan.
Pada tahun ini juga diterbitkan In The Shadow of Silent Majorities (1983),
oleh penerbit Semiotext. Sementara melalui karyanya The Ecstasy of
Communication (1987), Baudrillard menyatakan bahwa dengan transparansi
makna dan informasi, masyarakat Barat dewasa ini telah melampaui ambang
batas menuju keadaan permanent ecstasy: ekstasi sosial (massa), ekstasi
tubuh (kegemukan), ekstasi seks (kecabulan), ekstasi kekerasan (teror), dan
ekstasi informasi (simulasi) (Baudrillard, 1987: 82). Saat ini, hampir
seluruh dimensi kehidupan masyarakat Barat dituntun oleh logika ekonomi
kapitalis yang menawarkan keterbukaan, kebaruan, perubahan dan percepatan
konstan. Dalam keadaan demikian, persoalan gaya hidup, mode dan penampilan
menjadi nilai baru yang menggantikan nilai kebijaksanaan, kearifan dan
kesederhanaan. Karya-karya utamanya yang lain kemudian berturut-turut
diterbitkan seperti: Forget Foucault (1987), The Evil Demon of Images
(1987), America (1989), Cool Memories (1990), Seduction (1990), Fatal
Strategies (1990), Revenge of Crystal (1990), Cool Memories II (1991), The
Transparency of Evil (1992), Symbolic Exchange and Death (1993), serta The
Illusion of The End (1994). Tahun 1989, terbit karyanya, Simulacra and
Simulacrum (1989), yang merupakan kelanjutan karya monumentalnya
Simulations (1983), dalam edisi bahasa Inggris. Dalam karyanya tersebut,
Baudrillard mengembangkan gagasannya tentang masyarakat hiperrealitas.
Dengan menganalisa masyarakat dan kebudayaan Amerika, Baudrillard
menyatakan bahwa dalam wacana simulasi realitas yang sesungguhnya (fakta)
tidak hanya bercampur dengan realitas semu (citra), namun bahkan telah
dikalahkan oleh citra. Lebih jauh, citra lebih dipercaya ketimbang fakta.
Inilah era hiperrealitas, dimana realitas asli dikalahkan oleh realitas
buatan.
Dalam bukunya For a Critique of The Political Economy of The Sign (1981),
Baudrillard menggabungkan semiologi Barthes, pemikiran ekonomi politik
Marx, pemikiran Mauss dan Bataille tentang sifat non-utilitarian aktivitas
konsumsi manusia, serta konsep the society of spectacle Guy Debord, untuk
menyatakan bahwa konsep nilai-guna dan nilai-tukar yang disarankan Marx,
kini telah digantikan oleh nilai-tanda dan nilai-simbol. Namun sebelum
sampai kesana, Baudrillard terlebih dahulu mengkaji kondisi masyarakat
Barat yang tengah memasuki era masyarakat konsumer.
What is sociologically significant for us, and what marks our era under the
sign of consumption, is precisely the generalized reorganization of this
primary level in a system of signs which appears to be a particular mode of
transition from nature to culture, perhaps the specific mode of our era
(Baudrillard, 1970: 47).
(Apa yang secara sosiologis penting bagi kita, dan apa yang menjadi tanda
zaman bahwa kita tengah berada dalam era konsumsi, sebenarnya adalah
sebuah
fenomena umum tentang pengaturan kembali faktor konsumsi sebagai aspek
primer dalam suatu sistem penandaan, yang kemudian tampil sebagai fenomena
perubahan dari yang Alamiah (nature) menjadi produk Budaya (culture), yang
mungkin merupakan wajah khas zaman kita sekarang).
We dont realize, how much of the current indoctrination into systematic and
organized consumption is the equivalent and the extension, in the twentieth
century, of the great indoctrination of rural populations into industrial
labor, which occurred throughout the nineteenth century (Baudrillard, 1970:
50).
With money, one can possess various human qualities. That which exists for
me through the medium of money, that which I can pay for, which money can
buy, that am I, the possessor of money. The extent of the power of money is
the extent of my power. Moneys properties are my properties and essential
powers the properties and powers of its possessor (Kellner, 1994: 44)
(Maka siapa saya dan apa keahlian saya tidaklah ditentukan oleh
individualitas saya. Saya bertampang jelek, namun saya bisa membeli wanita
tercantik yang saya inginkan. Saya kini tidak lagi jelek, karena efek
kejelekan tersebut sebagai faktor determinan telah dihapuskan oleh uang.
Dalam masyarakat dimana manusia telah berubah menjadi benda, maka benda
pulalah (uang) yang akan menggantikan kekuasaan manusia. Segala sesuatu
yang anda tidak dapat lakukan, uang anda bisa melakukannya. Dan sebaliknya,
apa yang uang tidak dapat melakukannya, maka ia juga tidak dapat
dilakukan).
Guy Debord menjelaskan bahwa jika Marx menyatakan adanya degradasi prinsip
ada (being) menjadi memiliki (having), dimana tindakan-tindakan kreatif
direduksi sekedar menjadi hasrat kepemilikan atas objek-objek, sementara
perasaan direduksi sekedar menjadi sifat tamak, maka kini telah terjadi
degradasi dari prinsip memiliki (having) menjadi penampakan (appearing).
Dengan prinsip ini segala sesuatu direduksi sekedar menjadi tanda dan
citra-citra penampakan. Penampakan yang berupa tontonan adalah ciri dominan
era ini (Kellner, 1994: 48). Dalam masyarakat yang mengedepankan
penampakan
ketimbang kedalaman maka segala sesuatu ditampilkan sebagai citra-citra
yang bahkan nampak lebih real dibanding realitas sebenarnya. Inilah awal
lahirnya masyarakat hiperrealitas, dimana tanda dan citra mengambil peran
penting untuk membentuk struktur dunia.
Dalam dunia penampakan tanda menjadi prinsip utama realitas. Dengan latar
belakang demikian, Baudrillard menyatakan bahwa nilai-guna dan nilai-tukar,
seperti dijelaskan Marx, kini telah digantikan oleh nilai tanda. Komoditi,
di era masyarakat konsumer, kini tak lebih dari permainan tanda-tanda.
Komoditi diperjualbelikan karena makna yang ditanamkan di dalamnya, bukan
karena manfaat atau kegunaannya. Dalam ungkapan Baudrillard,
The referential world of the commodity needs, use-value and labor was
only a historical passageway of a radical semiurgy which aims at the
liquidation of society and the real, their displacement through structural
codes and signs. All the repressive and reductive strategies of power
systems are already present in the internal logic of the sign (Baudrillard,
1981: 70).
All that is solid melts into air (Karl Marx) All that is solid melts into
glass (Charles Jencks) All that is real becomes simulation (Jean
Baudrillard)
The end of labor. The end of production. The end of political economy. The
end of the dialectic signifier/signified which permitted an accumulation of
knowledge and meaning, and of a linear syntagma of cumulative discourse.
The end of simultaneously of the dialectic of exchange value/use value
which alone previously made possible capital accumulation and social
production. The end of linear discourse. The end of linear merchandising.
The end of the classic era of the sign. The end of the era of production
(Baudrillard, 1983: 20).
(Era kematian pekerja. Era kematian produksi. Era kematian ekonomi politik.
Era kematian dialektika penanda/petanda yang memproduksi akumulasi
pengetahuan dan makna, dan sintakma linear serangkaian diskursus. Era
kematian dialektika simultan antara nilai tukar/nilai guna yang
memungkinkan proses akumulasi kapital dan produksi. Era kematian diskursus
linear. Era kematian mekanisme perdagangan linear. Era kematian era klasik
imperium tanda. Era kematian era produksi).
One is not the simulacrum and the other the reality. What we now have is
the disappearance of the referent. There are only simulacra (Baudrillard,
1983: 86)
(Bukan yang satu simulacrum dan yang lain realitas. Apa yang kita alami
sekarang adalah hilangnya acuan segala sesuatu. Yang ada hanyalah
simulacra).
Berbeda dengan Simulacra Orde Kedua yang ditopang oleh teknologi mekanik,
dalam Simulacra Orde Ketiga ini, mekanisme simulasi terbangun melalui
proses reproduksi objek dengan bantuan teknologi digital model-biner.
Model-biner digital yang paling sering ditemui adalah kode-kode yang hanya
dapat dibaca menggunakan komputer, dengan acuan oposisi biner antara 0 dan
1. Dengan model oposisi biner seperti ini, semua realitas ditransformasikan
ke dalam realitas kode digital dalam komputer.
All historical developments passed through three phases. The first is the
undifferentiated unity of manifold elements. The second is the
differentiated articulation of these elements, that have become alienated
from one another. The third is a new unity, the harmonious interpenetration
of the elements that have been preserved, however, in their specific
characters (Simmel, 1968: 11).
Dalam kaitannya dengan teori Orde Simulacra sebagai suatu proses penandaan
(semiologi), maka dapat dinyatakan secara ringkas bahwa terdapat hubungan
erat diantara keduanya. Orde alamiah (proses imitasi) dalam orde simulacra,
menggambarkan relasi hubungan langsung antara penanda-petanda dalam teori
semiologi. Orde komoditi (proses produksi) dalam orde simulacra,
menggambarkan hubungan tak langsung antara penanda-petanda. Dan orde
struktural (proses simulasi) dalam orde simulacra, menggambarkan hubungan
diantara penanda-penanda, tanpa petanda. Inilah era simulasi.
Simulasi menyandarkan diri pada prinsip ketiadaan dan negasi, dengan cara
mengaburkan bahkan menghilangkan referensi, realitas dan kebenaran, serta
mengedepankan penampakan sebagai prinsip kebenaran ontologis. Dalam
ungkapan Baudrillard,
Dalam realitas simulasi seperti ini, manusia tak lebih sebagai sekumpulan
massa mayoritas yang diam, yang menerima segala apa yang diberikan
padanya.
Dalam bukunya In The Shadow of Silent Majorities (1988), Baudrillard
menganalogikan kumpulan massa yang diam ini sebagai lubang hitam, black
hole, dimana berbagai hal informasi, sejarah, kebenaran, nilai moral,
nilai agama terserap ke dalamnya tanpa meninggalkan bekas apapun juga.
Berbagai informasi yang disampaikan kepada massa yang diam seperti ini,
pada akhirnya justru tidak lagi berfungsi sebagai informasi. Ia kini
kehilangan nilai informasinya dan justru sebaliknya menimbulkan
keterasingan sosial. Dalam ungkapannya Baudrillard mengatakan,
Mengikuti alur pemikiran ini, maka ide sosial saat ini sebenarnya bisa
dikatakan telah hilang, karena tidak ada lagi referensi sosial klasik
rakyat, kelas, individu, proletar, borjuis atau bahkan kondisi objektif
kecuali massa yang bersifat pasif. Satu-satunya referensi yang masih
berfungsi kini adalah the silent majorities itu sendiri, yang tidak bisa
direpresentasikan karena ia memang tak berkaitan dengan prinsip
representasi.
Disneyland is there to conceal the fact that it is the real country, of all
real America, which is Disneyland (just as prison are there to conceal the
fact it is the social in its entirety, in its banal omnipresence, which is
carceal). Disneyland is presented as imaginary in order to make us believe
that the rest is real, when in fact all of Los Angeles and the America
surrounding it are no longer real, but of the order of the hyperreal and of
simulations. It is no longer a question of a false representation of
reality (ideology), but of concealing the fact that the real is no longer
real, and thus of saving the reality principle (Baudrillard, 1983: 25)
(Disneyland hadir untuk menyembunyikan kenyataan bahwa ia adalah real,
Amerika yang paling real (seperti halnya penjara hadir untuk menyembunyikan
kenyataan bahwa ia bersifat sosial dalam hubungan dengan lingkungan
sekitarnya). Disneyland hadir sebagai suatu imajinasi untuk menanamkan
kepercayaan kepada kita bahwa keberadaannya benar-benar nyata, sementara
dalam kenyataan, Los Angeles dan seluruh Amerika justru tidak lagi nyata,
melainkan hiperreal dan merupakan produk mekanisme simulasi. Disneyland
tidak berkaitan dengan persoalan representasi realitas yang keliru
(ideologi), melainkan persoalan bagaimana menyembunyikan kenyataan bahwa
yang real kini tidak lagi real, dan dengan demikian berkaitan dengan
persoalan penyelamatan prinsip-prinsip realitas).
Dengan kata lain, Disneyland merupakan realitas buatan yang tampil sebagai
realitas baru, yang lebih real dari realitas yang sebenarnya. Sebagai
konsekuensinya, realitas nyata menjadi kehilangan daya tarik dan bahkan
sebaliknya dianggap bukan lagi realitas.
Realitas simulasi lain yang menonjol adalah dunia shopping mall. Bersamaan
dengan merebaknya konsumerisme, budaya belanja menjadi salah satu ciri
masyarakat dewasa ini. Dalam konteks inilah, shopping mall hadir sebagai
pusat gravitasi baru aktivitas masyarakat konsumer. Namun lebih dari
sekedar tempat belanja, shopping mall adalah sebuah dunia simulasi yang
menampilkan realitas-realitas buatan yang bersifat semu, dimana justru
dalam kesemuannya itulah ia lebih menyenangkan dibanding realitas
sebenarnya (Piliang, 1998: 238). Dalam dunia shopping mall, segala sesuatu
direduksi, dimanipulasi dan disimulasi demi kenyamanan dan kesenangan
belanja. Toko, restoran, bank, salon, bioskop, biro perjalanan dan
objek-objek lain dalam shopping mall semuanya disuntik dengan tema-tema,
seperti eksklusif, eksekutif, jiwa muda, kosmopolitan, natural atau citra
country. Dalam dunia shopping mall kita diajak bertamasya di dalam suatu
sirkuit, dari satu lingkungan tema ke lingkungan tema yang lain, di dalam
suatu ekologi fantasi yang nyata namun dangkal, yang semakin menjauhkan
kita dari makna-makna luhur (Piliang, 1998: 239).
The true belligerents are those who thrive on the ideology of the truth of
this war, despite the fact that the war itself exerts its ravages on
another level, through faking, through hyperreality, the simulacrum,
through all those strategies of psychological deterrence that make play
with facts and images, with the precession of the virtual over the real, of
virtual time over real time, and inexorable confusion between the two
(Baudrillard, 1991: 193).
(Negara sebagai aktor perang yang sejati adalah mereka yang berjuang di
atas kebenaran perang ini, meskipun faktanya bahwa perang itu sendiri
mengakibatkan kehancuran, melalui penipudayaan, hiperrealitas, simulacra,
semua strategi psikologis yang mempermainkan fakta dan citra, dengan
prioritas realitas virtual di atas yang nyata, waktu virtual di atas waktu
yang nyata, suatu pencampuradukkan diantara keduanya).
Ketika boneka Barbie pertama kali masuk ke Indonesia pada dekade tahun
delapan puluhan, beberapa pihak menyebut hal ini sebagai simbol awal
terseretnya Indonesia ke dalam arena masyarakat konsumerisme dunia.
Sebuah
boneka, yang tak lebih dari sekedar mainan anak-anak, sebuah kebutuhan
kesekian (tersier), tiba-tiba menjadi rebutan dan bahan perbincangan yang
ramai, tidak hanya bagi anak-anak namun bahkan orang dewasa. Hasrat
membeli dan mengkonsumsi boneka Barbie kemudian dapat dibaca sebagai
suatu
gejala kebiasaan baru, membeli sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu
dibutuhkan. Nilai-guna digantikan nilai-tanda. Lebih dari itu, boneka
Barbie sebenarnya juga menggemakan sebuah fenomena baru dalam
masyarakat
konsumerisme dan simulasi, yakni fenomena hiperrealitas. Hiperrealitas
adalah sebuah gejala di mana banyak bertebaran realitas-realitas buatan
yang bahkan nampak lebih real dibanding realitas sebenarnya.
Boneka Barbie, yang telah diproduksi dan terus diproduksi oleh Mattel Toys
sejak tahun 1959, adalah contoh nyata hiperrealitas, ketika suatu realitas
buatan telah melampaui realitas yang sebenarnya. Dibuat tanpa referensi
proporsi tubuh dan kecantikan yang wajar, Barbie tampil sebagai boneka
dengan kecantikan dan kesempurnaan tubuh yang melebihi gambaran
kecantikan
manusia. Barbie juga melampaui ukuran kehidupan manusia dengan peran-
peran
yang ditanamkan padanya sebagai wanita karier, fotomodel, guru taman
kanak-kanak, bintang film, duta kehormatan PBB, aktivis lingkungan hidup
dan lain sebagainya pada saat yang sama. Singkat kata, ia adalah figur
manusia sempurna. Makna-makna yang ditanamkan ke dalam sosok Barbie ini
merupakan silang-sengkarut tanda, citra dan kode-kode yang sengaja
diciptakan untuk menjaga eksistensinya sebagai simbol wanita modern. Dengan
representasi seperti ini Barbie seolah lahir sebagai Barbie yang real,
Barbie yang hidup, Barbie yang benar-benar ada dengan segala
keleluarbiasaannya. Ia bahkan lebih jauh menjadi model bagi manusia untuk
menentukan dan membentuk ukuran kecantikan dan kesempurnaan penampilan
tubuhnya.
Perkembangan ilmu dan teknologi dewasa ini dengan micro processor, memory
bank, remote control, telecard, laser disc dan internet menurut pandangan
Baudrillard, tidak saja dapat memperpanjang badan atau pusat sistem syaraf
manusia, namun bahkan lebih fantastis lagi, mampu mereproduksi realitas,
masa lalu dan nostalgia; menciptakan realitas baru dengan citra-citra
buatan; menyulap fantasi, ilusi bahkan halusinasi menjadi kenyataan; serta
melipat realitas sehingga tak lebih dari sebuah layar kaca televisi, disket
ataupun internet (Piliang, 1998: 197). Robot misalnya, yang pada awalnya
diciptakan sebagai perpanjangan badan dan sistem syaraf manusia, kini telah
menjelma menjadi pesaing manusia (misalnya dalam bidang lapangan kerja,
olahraga catur dan lomba kecerdasan).
Lebih jauh, realitas yang dihasilkan teknologi baru ini telah mengalahkan
realitas yang sesungguhnya dan bahkan menjadi model acuan yang baru bagi
masyarakat. Citra lebih meyakinkan ketimbang fakta dan mimpi lebih
dipercaya ketimbang kenyataan sehari-hari. Inilah dunia hiperrealitas:
realitas yang lebih nyata dari yang nyata, semu dan meledak-ledak. Dalam
dunia hiperrealitas, objek-objek asli yang merupakan hasil produksi
bergumul menjadi satu dengan objek-objek hiperreal yang merupakan hasil
reproduksi. Realitas-realitas hiper, seperti media massa, Disneyland,
shopping mall dan televisi nampak lebih real daripada kenyataan yang
sebenarnya, dimana model, citra-citra dan kode hiperrealitas bermetamoforsa
sebagai pengontrol pikiran dan tindak-tanduk manusia (Kellner, 1994: 8).
Dengan televisi dan media massa misalnya, realitas buatan (citra-citra)
seolah lebih real dibanding realitas aslinya. Lebih jauh, realitas buatan
(citra-citra) kini tidak lagi memiliki asal-usul, referensi ataupun
kedalaman makna. Tokoh Rambo, boneka Barbie, Jurrasic Park, atau Star Trek
Voyager yang merupakan citra-citra buatan adalah realitas tanpa
referensi, namun nampak lebih dekat dan nyata dibanding keberadaan tetangga
kita sendiri. Dalam kondisi seperti ini, realitas, kebenaran, fakta dan
objektivitas kehilangan eksistensinya. Hiperrealitas adalah realitas itu
sendiri (Baudrillard, 1983: 183). Yakni, era yang dituntun oleh model-model
realitas tanpa asal-usul dan referensi (Baudrillard, 1983: 2). Dimana, yang
nyata tidak sekedar dapat direproduksi, namun selalu dan selalu
direproduksi (Baudrillard, 1983: 146). Dalam bukunya yang sudah menjadi
klasik, Simulations (1983), Baudrillard menjelaskan lebih detail kondisi
hiperrealitas ini sebagai:
No more mirror of being and appearances, of the real and its concept. No
more imaginary coextensity: rather, genetic miniaturization is the
dimension of simulation. The real is produced from miniaturized units, from
matrices, memory banks and command models and with these it can be
reproduced an infinite numbers of times. It no longer has to be rational,
since it is no longer measured against some ideal or negative instance. It
is nothing more than operational. In fact, since it is no longer enveloped
by an imaginary, it is no longer real at all. It is a hyperreal, the
product of an irradiating synthesis of combinatory models in a hyperspace
without atmosphere (Baudrillard, 1983: 3).
(Tak ada lagi cermin diri, penampakan, kenyataan dan konsep-konsep yang
dikandungnya. Tak ada lagi pengembaraan imajiner: lebih dari itu, yang ada
adalah miniaturisasi genetik sebagai ciri dimensi simulasi. Kenyataan kini
dibentuk dari unit-unit miniatur, dari matriks, memory bank dan model-model
acuan dan dengannya kenyataan dapat direproduksi sampai jumlah yang tak
terhingga. Kenyataan pun kini tak lagi harus rasional, karena ia tak lagi
dapat diukur dengan ukuran-ukuran ideal. Kenyataan kini tak lebih dari apa
yang beroperasi. Dan karena ia tak lagi dibungkus oleh imajinasi-imajinasi,
maka kenyataan pun kini tak lagi real sama sekali. Kenyataan adalah
hiperrealitas itu sendiri, produk sintesa model-model gabungan dalam ruang
hiperspace tanpa atmosfer).
Pasasi diatas, yang dikutip dari esai Bryan S. Turner, Cruising America
(1993), ditulis oleh seorang wanita sastrawan Inggris, Rainer Maria Rilke,
yang kecewa melihat wajah kebudayaan modern Eropa yang semakin kering dan
teknosentris. Dengan menyebut Amerika sebagai the simulated life, Rilke
menganggap Eropa saat ini mulai tertular kebudayaan dominan Amerika yang
kosong, artifisial dan memperdaya tersebut. Televisi kabel, jaringan media
global, perusahaan multinasional, bursa efek, internet, entertainment,
konsumerisme, masakan fast food dan film Hollywood, menyerbu dengan cepat
di seluruh sudut kehidupan Eropa. Americans Dream, impian Amerika,
begitulah fantasi yang kerap didengung-dengungkan lewat berbagai cara untuk
menjadikan Amerika sebagai kiblat baru tempat mata diarahkan, tempat kaki
diayunkan, tempat cita-cita, harapan dan impian digantungkan.
Namun dimata Rainer Maria Rilke dan sejumlah kritikus Eropa yang lain
Amerika menjadi semacam kesalahan besar. Amerika adalah kiblat yang keliru
untuk diikuti karena utopia yang ditawarkannya hanyalah kepura-puraan,
kekosongan dan kehampaan. Mitos impian Amerika adalah harapan semu
belaka.
Dengan nada yang hampir sama, Umberto Eco, melalui bukunya Travels in
Hyperreality (1983), bercerita tentang Amerika. Melalui bukunya tersebut
Eco menyatakan bahwa Amerika kini tengah berada di ambang erosi, ambang
kebangkrutan budaya yang otentik. Bagi Eco, dengan kecanggihan ilmu dan
teknologi yang dimilikinya, Amerika ternyata tidak mampu membangun suatu
kebudayaan baru yang unggul dan otentik. Sebaliknya, dengan berbagai
kelebihannya, secara ironis Amerika justru terjebak ke dalam kedangkalan,
kepura-puraan dan penampakan semata (Rojek, 1993: 53). Kebudayaan
Amerika,
menurut Eco, tak lebih sebagai dunia yang kehilangan referensi, sebuah
replika budaya yang sempurna, peniruan yang nyata, dan representasi yang
otentik dari kebudayaan Eropa. Lebih jauh, Amerika bahkan seolah nampak
lebih nyata dan otentik dibanding Eropa yang ditirunya. Inilah wajah
hiperrealitas Amerika. Dalam kebudayaan Amerika, batas-batas antara benar
dan salah, fakta dan citra, realitas dan fantasi, otentik dan tiruan,
produksi dan reproduksi secara perlahan-lahan meluruh.
Dengan titik berangkat yang hampir sama, Baudrillard melanjutkan upaya
membaca realitas simulasi dan hiperrealitas Amerika dengan gayanya yang
khas. Melalui bukunya, America (1988), yang merupakan laporan perjalanan
sebuah travellogue ke Amerika, Baudrillard menyatakan bahwa Amerika adalah
contoh yang paling meyakinkan dari realitas simulasi dan hiperrealitas.
My hunting grounds are the deserts, the mountains, Los Angeles, the
freeway, the safeways, the ghost towns or the downtowns, not lectures at
the university (Baudrillard, 1988: 63).
I get to know more about the concrete social life of American from the
desert than I ever would from official or intellectual gatherings. American
culture is heir to the desert, but the deserts here are not part of a
Nature defined by contrast with the town. Rather they denote the emptiness,
the radical nudity that is the background to every human institutions as a
metaphor of that emptiness and the work of man as the continuity of the
deserts, culture as a mirage and as the perpetuity of simulacrum
(Baudrillard, 1988: 63).
(Saya ingin tahu lebih banyak tentang kehidupan sosial Amerika yang
sebenarnya dari gurun, bukan dari mimbar pengkajian intelektual. Kebudayaan
Amerika kini nampaknya sedang diwariskan ke sebuah gurun, bukan gurun yang
merupakan bagian alam yang bisa dibedakan dengan kota. Lebih dari itu,
gurun disini menyiratkan suatu kekosongan, sebuah kondisi transparan
radikal yang menjadi latar belakang setiap institusi manusia sebagai
kelanjutan dari gurun, yakni kebudayaan sebagai sebuah khayalan dan
pengulangan simulacra).
Bagi Baudrillard, Amerika adalah sebuah gurun: asing, hampa, sunyi sepi,
tanpa sejarah, tanpa referensi, hanya hamparan ruang kosong tak berbatas,
sebuah ruang semu, ruang simulasi. Gurun adalah simbol metafisik tentang
Yang Lain sebagai ekses proses penandaan, intensi dan pretensi dalam
kebudayaan. Dengan bahasa aforismenya yang khas selanjutnya Baudrillard
menggambarkan Amerika sebagai,
(Di Eropa kita dikungkung oleh kebiasaan lama pemujaan terhadap perbedaan;
hal ini menjadi rintangan besar bagi kita ketika Eropa hendak melangkah
menuju era modernitas radikal, era yang kehilangan watak perbedaan. Dengan
sangat segan kita akhirnya menjadi modern dan sekaligus acuh tak acuh.
Inilah mengapa pemahaman kita menjadi kehilangan semangat modernitas. Kita
bahkan tidak pernah memiliki evil genius modernitas, karakter yang dapat
mendorong lahirnya inovasi-inovasi ke arah sifat kebebasan dan
keluarbiasaan).
Watak dasar Eropa inilah yang menurut Baudrillard menyebabkan Eropa kini
tengah berada dalam krisis besar. Eropa tertinggal jauh mengikuti gerak
zaman yang melaju cepat tanpa mengenal kompromi.
America is neither dream nor reality, this is a world that has shown genius
in its irrepressible developmnet of equality, banality, and indifference,
the desert is a sublime form that banishes all socially, all
sentimentality, all sexuality, all the myths of modernity are American
(Baudrillard, 1989: 87),
Salah satu fenomena penting yang menandai lahirnya era postmodern adalah
tumbuhnya budaya massa dan budaya populer. Dalam realitas kebudayaan
dimana
konsumsi mengalahkan produksi, nilai-tanda dan nilai-simbol mengalahkan
nilai-guna dan nilai-tukar, penampilan menjadi tujuan, tuntutan mengejar
keuntungan adalah satu-satunya pegangan, maka tak pelak, budaya massa dan
budaya populer adalah jawaban bagi masyarakat yang demikian. Sebagai
semangat zaman baru, budaya massa dan budaya populer pun membawakan
nilai-nilai baru, kegairahan baru dan etos kerja baru. Lebih dari era-era
sebelumnya, era postmodern adalah kurun sejarah yang memuja bentuk dan
penampakan ketimbang kedalaman, merayakan kebebasan, permainan dan
kenikmatan ketimbang kekhusukan, serta mengejar keuntungan ketimbang
kemanfaatan. Tak heran bila dalam masyarakat yang dihidupi budaya massa dan
budaya populer masyarakat konsumer tumbuh simbol-simbol dan aktivitas
kebudayaan baru. Televisi, iklan, shopping mall, video game, kartun, komik,
pusat kebugaran, kursus kecantikan, cat rambut, operasi plastik, alis
palsu, facial cream, body building, salon mobil sampai senam seks dan
sederet ikon gaya hidup adalah kosakata baru budaya massa dan budaya
populer.
Lahirnya budaya massa dan budaya populer sendiri sebenarnya telah melalui
sebuah proses sejarah yang panjang. Merujuk Leo Lowenthal seorang tokoh
mahzab Frankfurt generasi kedua yang dikutip Dominic Strinati dalam
bukunya An Introduction to Theories of Popular Culture (1995), sejarah
budaya massa dan budaya populer setidaknya dapat dilacak semenjak era "Roti
dan Sirkus" dalam masa kekaisaran Romawi. Budaya massa dan budaya
populer
pada saat itu muncul dalam bentuk pelbagai permainan, olahraga dan pesta
rakyat yang diselenggarakan setiap tahun untuk seluruh penduduk Roma. Ia
bersifat massal dan populer karena tidak hanya terbatas bagi kalangan
keluarga kekaisaran Romawi. Budaya massa dan budaya populer kemudian
semakin berkembang dengan awal kebangkitan era ekonomi pasar pada abad
ke-17 M. Dalam kurun ini, budaya massa dan budaya populer telah menjadi
bagian ekonomi politik kapitalisme yang dituntun oleh prinsip kemajuan,
keuntungan dan perluasan produksi. Prinsip-prinsip seperti mass production
(produksi massal), minimization of cost (pembiayaan yang rendah),
standarization (standarisasi), homogenization of taste (penyeragaman selera
dan citarasa), differenziation (diferensiasi) dan constan acceleration
(percepatan konstan) menjadi hukum baru proses produksi (Ibrahim, 1997:
19). Dengan prinsip-prinsip ini budaya massa dan budaya populer seolah
memperoleh pembenaran untuk hidup dan berkembang. Kini segala sesuatu
disulap menjadi budaya massa dan budaya populer demi tujuan memperbesar
keuntungan. Dalam pengertian ini, budaya massa dipahami sebagai budaya
populer yang diproduksi melalui teknik produksi massal dan diproduksi demi
keuntungan. Budaya massa adalah budaya komersial, produk massal untuk
pasar
massal. Budaya massa, dengan demikian tidak lain dari metamoforsa komoditi
dalam bentuknya yang lebih canggih, lebih halus dan lebih memikat
(Strinati, 1995: 10). Sementara itu budaya populer adalah sebuah kategori
bagi budaya rendah (lowbrow culture) yang biasa dibedakan dengan budaya
tinggi (highbrow culture). Budaya populer, atau dalam pengertian awalnya
biasa disebut budaya rakyat (folk culture), lahir dari bawah, dari rakyat
kebanyakan, sementara budaya tinggi, dibentuk dari atas, dari kalangan
aristokrat. Budaya populer ditandai oleh sifatnya yang massal, terbuka
untuk siapapun dan lebih mengakar kepada khalayak pemiliknya. Sementara
budaya tinggi dicirikan oleh sifatnya yang khusus dan tertutup, terbatas
bagi kalangan tertentu dan tidak mengakar ke bawah (Strinati, 1995: 10).
Dalam kaitan antara ketiga bentuk kebudayaan ini, MacDonald salah seorang
teoritisi awal budaya massa dan budaya populer memberi batasan sebagai
berikut,
(Budaya rakyat tumbuh dari bawah. Ia adalah ekspresi otonom dan spontan
rakyat yang dibuat oleh mereka sendiri, tanpa pengaruh budaya tinggi, untuk
memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Budaya massa sebenarnya ditumbuhkan
dari
atas. Ia diproduksi oleh tenaga-tenaga teknis yang dipekerjakan oleh
produsen; khalayaknya adalah konsumer-konsumer pasif, dimana partisipasi
mereka terbatas pada pilihan membeli atau tidak membeli. Budaya rakyat
adalah milik rakyat sendiri, kebun mungil pribadi mereka yang dipisahkan
dari kebun besar Budaya Tinggi. Namun budaya massa merobohkan dinding
pemisah ini, menyatukan massa ke dalam budaya tinggi yang telah diturunkan
statusnya dan kemudian menjelma menjadi instrumen dominasi politik).
Pernyataan MacDonald ini merujuk budaya massa dan budaya populer sebagai
bagian ekonomi politik kapitalisme, yang sekaligus menandai lahirnya era
postmodernisme, yang mengaburkan batas-batas pengertian antara
budaya-tinggi dan budaya-populer ke dalam satu karakter budaya massa. Dalam
realitas kebudayaan dewasa ini, tak ada lagi budaya-tinggi yang murni,
agung dan luhur, sebagaimana tak ada lagi budaya-rendah pinggiran dan
inferior. Budaya-tinggi kini telah berubah menjadi komoditi, produk budaya
yang dikomersialkan. Sementara budaya populer kini ternyata semakin wajar
diterima dan dihargai (Shuker, 1994: 5). Perbedaan hirarkis yang ketat
demikian kini tak lebih sebagai nostalgia masa lampau yang borjuis-feodal.
Realitas kebudayaan dewasa ini adalah realitas kebudayaan yang tunduk pada
hukum ekonomi kapitalisme, dalam bentuk budaya massa dan budaya populer.
Merebaknya budaya massa dan budaya populer ini selanjutnya didukung oleh
perkembangan kapitalisme lanjut yang mengintegrasikan ilmu dan teknologi
sebagai tulang punggungnya serta peran pendidikan dan demokrasi.
(Strinati,1995: 7). Menarik dicatat bahwa demokrasi dianggap sebagai
pendorong merebaknya budaya massa dan budaya populer. Demokrasi
dipandang
berjasa dalam merobohkan hierarki tradisional mengenai kelas, citarasa dan
budaya dengan memberi tempat kepada massa untuk menentukan
keputusan-keputusan politik. Sementara lewat pendidikan, semakin banyak
anggota masyarakat yang memiliki kemampuan baca tulis untuk mendapat lebih
banyak informasi tanpa harus tergantung kepada lembaga-lembaga tradisional.
Maka kini budaya massa dan budaya populer pun menjadi institusi baru yang
menggantikan peran lembaga-lembaga tradisional. Dalam kerangka kapitalisme
lanjut, tujuan utama budaya massa, tentu saja adalah untuk kepentingan
memperoleh keuntungan. Budaya massa merupakan salah satu strategi budaya
yang disodorkan kapitalisme untuk menciptakan produk-produk massal, melalui
industri produksi massal untuk konsumer yang massal pula. Lewat
produk-produk budaya massa, kapitalisme berusaha memperbesar margin
keuntungannya sampai batas yang tak terhingga. Semakin luas jangkauan
penyebaran budaya massa dan budaya populer, maka semakin besar kapital
yang
dapat dikeruknya.
Karakter budaya massa dicirikan oleh sifatnya yang baku, standar, merupakan
hasil duplikasi dan reproduksi. Budaya massa merayakan kesenangan yang
dangkal, sepele dan sentimental, sembari menolak nilai-nilai yang otentik,
luhur dan sakral. Mengutip kembali MacDonald, budaya massa adalah,
It is a debased, trivial culture that voids both the deep realities (sex,
death, failure, tragedy) and also the simple, spontaneous pleasures, since
the realities would be too real and the pleasures too lively to induce. A
narcotized acceptance of Mass Culture and of the commodities it sells as a
substitute for the unsettling and unpredictable (hence unstable) joy,
tragedy, wit, change, originality and beauty of real life. The masses,
debauched by several generations of this sort of thing, in turn come to
demand trivial and comfortable cultural products (MacDonald, 1957: 71).
Maka budaya massa adalah budaya yang miskin rangsangan dan tantangan
intelektual, namun kaya fantasi dan ilusi kesenangan. Ia adalah kebudayaan
yang kehilangan semangat pemikiran dan penciptaan yang otentik, namun
sebaliknya membawakan semangat pluralitas dan demokrasi. Maka budaya
massa
adalah,
As masses, they lose their human identity and quality. For the masses in
historical time are what a crowd is in space: a large quantity of people
unable to express themselves as human beings because they are related to
one another neither as individuals nor as members of communities indeed,
they are not related to each other at all, but only to something distant,
abstract, nonhuman: a football game or bargain sale in the case of crowd,
a system of industrial production, a party or a state in the case of
masses. The mass man is a solitary atom, uniform with and undifferentiated
from thousands and millions of other atoms who go to make up the lonely
crowd as David Reisman well calls American society (MacDonald, 1957: 69).
Dalam wacana televisi, film dan video game mengikuti Baudrillard bergumul
pelbagai unsur: fiksi dan fakta, realitas dan ilusi, kebenaran dan
kepalsuan, yang direkayasa, disimulasi sehingga seolah-olah nyata. Ketiga
artefak budaya massa tersebut juga sekaligus mencampur-baurkan masa
lampau,
masa kini dan masa depan dalam konteks kekinian yang juga semu. Realitas
dalam televisi, film dan video game pada gilirannya menjadi realitas
simulasi: realitas buatan yang dihasilkan melalui proses produksi dan
reproduksi pelbagai unsur sehingga tidak mungkin lagi diketahui mana yang
real dan mana yang palsu, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang
asli dan mana yang tiruan. Lebih jauh, dengan realitas-realitas buatan
semacam Disneyland, Universal Studio ataupun shopping mall yang sekaligus
menjadi simbol paling tepat bagi budaya massa dan budaya populer realitas
yang sebenarnya kini telah dikalahkan oleh realitas-realitas buatan.
Disneyland dengan tokoh-tokoh fiktifnya Mickey Mouse, Donald Duck ataupun
Guffi, Universal Studio dengan miniatur kota-kota buatan, dan shopping mall
dengan dunia belanja yang menawarkan pelbagai macam tema bahkan seolah
lebih nyata dan hidup ketimbang tokoh-tokoh pahlawan dalam buku-buku
sejarah.
Lebih jauh, mengutip Baudrillard, melalui budaya massa dan budaya populer
inilah lahir suatu prinsip komunikasi baru yang disebutnya sebagai prinsip
bujuk-rayu (seduction). Bila sebelumnya proses komunikasi dipahami sebagai
proses penyampaian pesan dari pemberi pesan (addressee) kepada penerima
pesan (address) untuk diperoleh suatu makna tertentu, maka kini komunikasi
dipahami sebagai proses bujuk-rayu objek (konsumen) oleh subjek (produsen)
untuk mengkonsumsi produk-produk yang ditawarkan. Melalui iklan, kampanye,
tayangan talk show, dan gempuran pelbagai informasi melalui media massa,
konsumen dirayu untuk mengkonsumsi lebih dan lebih banyak lagi. Dalam
mekanisme komunikasi seperti ini, tak ada lagi pesan, tak ada lagi makna,
kecuali semata dorongan memikat untuk mengkonsumsi apa yang ditawarkan.
Konsumen adalah, mengutip Baudrillard, "mayoritas yang diam" (the silent
majorities), yang pasif menerima segala apapun yang masuk ke dalam tubuh
dan pikirannya, menelannya mentah-mentah tanpa pernah mampu
merefleksikannya kembali dalam kehidupan yang sebenarnya, dan bahkan
hanyut
dalam gelombang deras budaya massa dan budaya populer yang menghadang
tepat
di depannya.
Sejarah estetika seni modern pada dasarnya adalah sejarah tentang kemajuan
(progress) dan keotentikan (authenticity). Dalam wacana estetika seni
modern, sebuah karya disebut otentik bila menyiratkan adanya kemunculan
sesuatu yang baru dan keterputusannya dengan yang lama. Tanda yang
mencolok
dari prinsip estetika seni modern, mengutip Habermas dalam karyanya
Modernity: An Incomplete Project (1988), adalah prinsip "sesuatu yang
baru". Inilah prinsip yang mencerminkan kerinduan manusia modern terhadap
keindahan dan keotentikan (Piliang, 1998: 279).
Namun, sejarah kemajuan dan keotentikan seni modern, yang memang tidak
pernah membawa manusia ke batas keindahan absolut, tengah mengalami
semacam
kebekuan dalam tiga dekade terakhir ini. Ketika bidang di dalam bingkai
gambar telah dijelajahi sampai ke sudut terakhirnya, bahkan ketika seni
telah menyeberang jauh di luar bingkai seni di luar medium yang biasa, di
luar norma dan prinsip seni yang ada maka seni telah sampai pada satu
titik dimana kebaruan dalam seni tidak lagi merupakan shock of the new.
Penjelajahan artistik modernitas ke masa depan yang bersifat progresif,
utopis dan tanpa batas telah berakhir dengan sebuah jalan buntu: tidak ada
lagi daerah baru untuk dijelajahi, tak ada lagi ruang baru untuk dikuasai,
tak ada lagi kebaruan yang lebih baru.
Sementara itu realitas kebudayaan modern yang didominasi oleh budaya massa
dan budaya populer mendesakkan kesadaran yang sama akan kemajuan dan
kebaruan. Keharusan selalu beralih dari satu komoditi ke komoditi yang lain
dalam proses konsumsi merupakan manifestasi paling sederhana dari sistem
kapitalisme. Kehendak untuk selalu tampil baru, tampil menawan dan berbeda
dalam wacana budaya massa mendapatkan jawabannya dengan mekanisme
daur-ulang fashion. Dalam fashion, setiap orang merasa perlu memperbarui
dirinya setiap tahun, setiap bulan atau setiap musim, melalui barang-barang
baru. Bila ini tidak dilakukan, maka seseorang dianggap belum dapat menjadi
anggota masyarakat konsumer yang sejati. Namun, wacana semacam ini
sebenarnya bukanlah satu bentuk kemajuan, sebab fashion senantiasa berubah,
berganti-ganti, berputar dan tidak menambah apa-apa pada nilai seorang
individu. Dengan kata lain, wacana fashion adalah wacana kemajuan semu.
Dalam pandangan Adorno, seni modern kini juga tengah terseret dalam
mekanisme fashion. Dengan model daur-ulang fashion, maka seni dapat
diproduksi secara massal dan kontinyu sesuai kehendak produsen. Segala
bentuk seni, bahkan budaya, menjadi komoditi industri. Pada titik inilah
terjadi apa yang disebut Adorno sebagai proses industrialisasi budaya (the
culture industry), ketika segala sesuatu dipandang dalam kacamata komoditi,
dengan daur-ulang fashion sebagai model penciptaan produk-produk budaya
(Strinati, 1995: 61). Ketika seluruh sudut bingkai seni telah dijelajahi,
ketika tak ada lagi yang dapat dikatakan sebagai sesuatu yang baru, dan
ketika dalam penjelajahan itu yang ditemukan tak lain adalah jalan buntu,
maka yang dapat dilakukan kini hanyalah mengkombinasikan kembali dan
bermain-main dengan bentuk-bentuk seni yang sudah ada, yang sudah dibuat,
yang sudah diwariskan. Semacam dialog dengan masa lalu (Piliang, 1998:
281).
Pengembaraan estetika ke masa lalu ini pulalah yang menjadi tawaran seni
postmodern untuk menjawab kebutuhan masyarakat konsumer akan kebaruan,
penampilan dan fashion. Dalam dialog dengan masa lalu ini, setidaknya
terdapat tiga model wacana seni postmodern yang dominan yakni: model
dialogisme dan intertekstualitas, model perversitas dan abnormalitas, serta
model simulasi dan hiperrealitas (Piliang, 1998: 303-305)
Prinsip perversi dalam wacana seksual ini ternyata berkembang dalam model
yang serupa di dalam dunia seni, yakni dalam bentuk prinsip abnormalitas.
Di dalam ruang perversi-abnormalitas seni, pemutarbalikan bahasa,
pembajakan tanda, pembalikan norma, pelanggaran tabu, penopengan makna,
menjadi seakan-akan normal disebabkan absennya hukum atau kode-kode yang
ada. Di dalam estetika perversi-abnormalitas, perusakan kode-kode yang ada
sedikit berbeda dengan surealisme adalah melalui pembajakan,
penyalahgunaan, atau penopengan tanda. Di dalam ruang perversi, dunia seni
ditandai oleh objek-objek semu, seolah-olah, atau palsu: feminin palsu,
seolah-olah klasik, maskulin semu objek-objek yang disebut sebagai
objek-objek postmodern.
(Dengan lukisan iklan galeri komersial karya Simon Linke yang dikopi
langsung dari halaman majalah Artforum, kita kini tidak lagi tahu apakah
ini sebentuk kritisisme radikal ataukah sekedar kloning yang mencerahkan.
Dinyatakan dengan sifat keterbukaannya yang tanpa batas, karyanya memikat
kita dengan aura keacuhannya; sang seniman secara terbuka mengadopsi
gaya-sikap keculasan, semacam proses yang tidak hendak membawa kita keluar
dari tempat dimana kita berada, namun menikmati praktek-praktek budaya yang
mungkin bagi zaman kita, yang dalam kata-kata Baudrillard, "adalah semacam
kesempatan, semacam labirin, permainan manipulasi tanda tanpa makna").
Terdapat dua esai yang secara eksplisit membahas seni dan praktek-praktek
dalam dunia seni yang ditulis Baudrillard dalam karyanya For a Critique of
The Political Economy of The Sign (1981). Esai yang pertama, Gesture and
Signature: The Semiurgy of Contemporary Art, memaparkan bagaimana seni
bekerja sebagaimana bentuk-bentuk gaya yang unik menggunakan nilai-tanda
yang diterjemahkan dalam seni baik secara komersial maupun semiotik.
Sementara seni modern berhasrat menjadi sesuatu yang baru menentang
bentuk-bentuk seni yang sudah ada, papar Baudrillard, saat ini seni tidak
lagi dituntut untuk mengambil peran demikian. Seni bukan lagi ungkapan
radikal penciptaan bebas dalam bentuk karya-karya kreatif. Saat ini, seni
tak lebih dari sekedar variasi, dari gaya, isyarat dan tema-tema yang
berbeda yang mendapatkan maknanya, nilai-nilainya dan identitasnya dari
pengulangan produk-produk seni itu sendiri (Baudrillard, 1981: 110). Dalam
esai yang kedua, The Art Auction: Sign Exchange and Sumptuary Value,
Baurillard memaparkan bagaimana kompetisi percepatan dan kemewahan dalam
dunia seni telah mengubah ekonomi politik nilai dengan menciptakan ekonomi
nilai-nilai kemewahan. Penguasaan proses pertandaan dalam aktivitas lelang
seni, menurut Baudrillard mengakibatkan dominasi pemaknaan nilai seni oleh
sekelompok kelas yang dominan terhadap kelas yang lain. Bagi Baudrillard,
hal ini merupakan awal merebaknya nilai-tanda dan nilai-simbol dalam
bentuk nilai kemewahan dalam dunia seni dewasa ini (Baudrillard, 1981:
117).
Wacana estetika postmodern, lebih jauh menurut Baudrillard, kini tak lebih
sebagai sebuah wacana, di mana realitas telah kehilangan dimensi
rahasianya; sebatang tubuh telah kehilangan dimensi seksualnya: sebuah
informasi telah kehilangan dimensi maknanya; dan sebuah karya seni telah
kehilangan dimensi auranya. Segala wacana termasuk wacana seni kini
tengah berupaya mencari jalannya sendiri-sendiri untuk menghindarkan diri
dari dialektika makna, dari dialektika komunikasi dan proses sosialisasi.
Wacana estetik seni kini menceburkan dirinya ke dalam hutan rimba
citra-citra dan tanda-tanda yang tanpa batas, dengan cara menghancurkan
makna-makna, mengikuti batas ekstrimnya, atau dengan menyajikan
dimensi-dimensi yang selama ini tabu, kecabulan dan imoralitasnya. Estetika
dalam wacana postmodern tidak lagi membedakan mana yang indah, mana
yang
jelek; mana yang bermoral, mana yang amoral. Secara ekstrim, dapat
dikatakan bahwa wacana estetika postmodern kini justru mencari yang
terjelek diantara yang jelek. Estetika postmodern juga tidak lagi
membedakan mana yang kelihatan, mana yang tersembunyi. Estetika
postmodern
mencari yang lebih tersembunyi diantara yang paling tersembunyi
(Baudrillard, 1988: 185).
Dalam kaitannya dengan model wacana seni postmodern inilah pada gilirannya
berkembang bahasa estetik postmodernisme yang khas dan unik. Bahasa
estetika seni postmodern yang tampil dalam tanda-tanda dan makna-makna
seni bersifat tidak stabil, mendua dan plural, disebabkan oleh
diutamakannya permainan tanda, keterpesonaan pada penampakan dan
diferensiasi, ketimbang makna-makna ideologis yang bersifat stabil dan
abadi. Berikut ini akan dipaparkan beberapa bentuk bahasa estetika seni
postmodernisme yang dominan dalam praktek-praktek penciptaan karya seni
dewasa ini (Piliang, 1998: 307).
Pastiche. Pastiche adalah karya sastra, seni atau arsitektur yang disusun
dari elemen-elemen yang dipinjam dari pelbagai sumber, pengarang, seniman,
atau arsitek dari masa lalu. Sebagai karya yang mengandung unsur-unsur
pinjaman, pastiche mempunyai konotasi negatif sebagai praktek penciptaan
yang miskin orisinalitas. Pastiche adalah salah satu bentuk imitasi yang
tanpa beban kritik. Pastiche mengimitasi karya masa lalu dalam kerangka
menghargai dan mengapresiasinya. Menurut Linda Hutcheon, pastiche adalah
satu bentuk imitasi murni, tanpa pretensi politis seperti parodi. Pastiche
mengambil pelbagai gaya dan bentuk dari pelbagai keping sejarah, mencabut
dari semangat zamannya dan menempatkannya dalam konteks masa kini.
Pastiche, mengutip Baudrillard, adalah titik balik sejarah. Sementara
Fredrich Jameson secara metaforis menyebut pastiche sebagai penggunaan
topeng sejarah, pengungkapan dalam bahasa yang telah mati. Pastiche adalah
perang menentang kemajuan dan sejarah, sebab sejarah tak dapat diulangi
namun sejarah harus dibuat.
Parodi. Parodi adalah sebuah komposisi dalam karya sastra, seni atau
arsitektur yang di dalamnya kecenderungan pemikiran dan ungkapan khas
dalam
diri seorang pengarang, seniman atau arsitektur, atau gaya tertentu
diimitasi sedemikian rupa untuk membuatnya bersifat humoristik atau bahkan
absurd. Efek-efek kelucuan atau absurditas biasanya dihasilkan dari
distorsi atau plesetan ungkapan yang ada. Peniruan ini bersifat ironis dan
kritis, bahkan bermuatan politis dan ideologis. Parodi merupakan sebuah
relasi bentuk atau struktur antara dua teks. Sebuah teks baru dihasilkan
dalam kaitan politisnya dengan teks rujukan yang bersifat serius. Parodi,
menurut Mikhel Bakhtin, merupakan satu bentuk dialogisme tekstual, yaitu
dua teks atau lebih bertemu dan berinteraksi satu sama lain dalam bentuk
dialog: debat, kritik, humor. Dengan demikian, parodi selalu mengambil
keuntungan dari bentuk, gaya atau karya yang menjadi sasarannya
(kelemahannya, kekurangannya, keseriusannya atau kemasyhurannya). Sebagai
satu bentuk wacana, parodi juga selalu memperalat wacana pihak lain. Parodi
dalam postmodernisme, mengutip Linda Hutcheon, merupakan suatu wacana
untuk
mempertanyakan kembali subjek pencipta sebagai satu-satunya sumber makna.
Ia menyiratkan suatu upaya dialog dengan sejarah dan membangun masa kini
dengan merujuk pada seperangkat tanda dengan pretensi ideologis. Hutcheon
menyebut bentuk wacana intertekstual seni semacam ini sebagai neologism
atau transkontekstualism.
1. Membaca Film
It seems that postmodern individuals want films like Blue Velvet for in
them they can have their sex, their myths, their violence and their
politics, all at the same time (Denzin, 1988: 472).
Dalam derap gemuruh budaya massa dan budaya populer dewasa ini tak ayal
televisi adalah artefak simbolis postmodernisme paling representatif dan
berpengaruh. Televisi memuat segala karakter dunia postmodernisme:
reproduksi, manipulasi, simulasi, simulacra, bujuk-rayu (seduction) dan
hiperrealitas, dalam penampilannya yang paling menawan dan menggiurkan.
Televisi sekaligus menjadi ruang praksis meleburnya berbagai macam tanda,
citra, impian dan kenyataan. Dalam televisi, realitas dikemas dan dijadikan
komoditi (tontotan), ruang dan waktu dilipat dalam satu dimensi (kekinian),
serta etika dan moralitas dibaurkan dengan kecabulan dan brutalitas: sebuah
dunia postmodern. Mengutip Bryan S. Turner,
Dalam ruang semu televisi dengan tayangan berkedok informasi dan hiburan
penonton tidak lagi sadar bahwa dirinya tengah menjadi objek indoktrinasi.
Bahkan, proses indoktrinasi nilai, tema dan identitas diri itu sendiri
dirasakan dan dialami sebagai sebuah kenikmatan. Sifat simulasi dalam media
televisi telah mampu menyuntikkan makna-makna yang seolah-olah ada pada
pada kehidupan nyata, meskipun sebenarnya hanyalah sebuah fantasi, sebuah
realisme semu. Film, berita, telenovela, videoclip, iklan, tayangan
olahraga, talk show ataupun tayangan kesenian tradisional, dialami sebagai
tontonan yang semata untuk dinikmati tanpa harus bersusah payah berpikir
kritis. Dalam ruang semu televisi, penonton seolah didaulat sebagai subjek
otonom yang dapat memilih, memindah atau menyeleksi suguhan apa yang akan
ditontonnya. Ia dapat memindah-memindah dan menciptakan realitas dari
tayangan yang satu ke tayangan yang lain tanpa adanya referensi tunggal
yang saling berkaitan. Dari berita politik tentang Pemilu di Rusia, ke
telenovela Meksiko, berpindah lagi ke film drama Inggris yang bersetting
abad ke-18 M, kemudian ke tayangan videoclip Michael Jackson, lalu
kelaparan di Irian Jaya dan seterusnya. Ruang dan waktu seolah terlipat
dalam sebuah kotak kaca yang bernama televisi. Sifat fragmentasi dalam
dunia semu televisi inilah dunia yang terpotong-potong, pendek-pendek,
berubah dan berpindah yang menjadikan para penontonnya terbuai oleh mitos
tentang subjek yang otonom. Padahal, menurut Baudrillard, semua ini
hanyalah mistifikasi yang dijejalkan ideologi kapitalisme demi produksi dan
konsumsi. Kebenaran yang sesungguhnya, bahwa pilihan dan otonomi penonton
televisi sebenarnya tak lebih dari pilihan semu. Otonomi yang dibatasi dan
diatur oleh pilihan yang sudah ada (Baudrillard, 1987: 16). Penonton, dalam
wacana televisi, tak lebih dari objek mengalirnya berbagai fakta, citra,
impian dan fantasi, tanpa memiliki jati diri yang hakiki, sebuah terminal
pelbagai jaringan tanda-tanda.
Dalam wacana televisi, penonton dengan demikian tak lebih dari sekumpulan
mayoritas yang diam (Baudrillard, 1983: 19). Itulah mengapa tayangan siaran
langsung sepakbola misalnya, tetap ditunggu dan ditonton meskipun harus
menunggu hingga tengah malam. Menurut Baudrillard, hal ini karena televisi
samasekali tidak berpretensi menawarkan makna luhur atau transenden,
kecuali ecstasy dan kedangkalan ritual. Dalam tayangan sepakbola, yang
dicari bukanlah makna, melainkan fetishisme bintang, fetishisme gol atau
fetishisme kostum. Lebih jauh, tontonan televisi yang berkarakter simulasi
dan hiperrealitas dengan kemampuan menyuguhkan simulacrum kekerasan,
kriminalitas dan seksualitas yang bahkan lebih keras, lebih kriminal dan
lebih seksual dari yang dapat dibayangkan akal sehat telah membentuk
penonton-penonton yang lebih banyak hidup dalam kepanikan massal, yang
semakin menjauhkannya dari makna-makna luhur (Piliang, 1998: 237). Itulah
kepanikan seks (misal, film Gigolo and The Murder), kepanikan uang (misal,
kasus mega-korupsi Bapindo), kepanikan ekstase (misal, merebaknya pil
ecstasy) (Pilliang, 1998: 202). Massa yang panik ini menyerap segala energi
sosial, akan tetapi tak mampu merefleksikannya kembali. Khalayak penonton
televisi menyerap setiap tanda dan makna, akan tetapi tak mampu lagi
memantulkannya. Mereka menyerap semuanya dan hanya mampu
memamahnya
mentah-mentah. Dengan bahasanya yang khas Baudrillard menyatakan,
3. Membaca Iklan
Iklan memainkan peran dominan dalam kehidupan kita dewasa ini. Sebagai anak
cucu kapitalisme, iklan hadir kapanpun dan dimanapun dan menjadi
kebutuhan kita sehari-hari. Melalui televisi, radio, film, billboard, media
cetak, spanduk sampai internet, iklan mengepung dan menguasai kesadaran
kita. Ia merayu, membius dan memaksa kita untuk mengkonsumsi. Tanpa sadar
kita pun hanyut dalam sebuah dunia dengan budaya baru: budaya konsumer.
Dalam masyarakat konsumer seperti ini, konsumsi menjadi sebuah kosakata
baru yang dominan dan mengambil alih kedudukan produksi. Kita pun terpukau
dengan godaan ideologi iklan yang selalu menyerbu Beli lebih banyak, miliki
lebih banyak dan nikmati lebih banyak (Ewen, 1989: 57). Iklan, mengutip Sut
Jhally dalam tulisannya, Advertising as Religion: The Dialectic of
Technology and Magic (1989), bahkan telah menggeser peran agama dalam
memberi pengertian tentang kebahagiaan dan kehormatan diri. Dengan iklan
kita dihibur, diberi semangat, harapan dan identitas diri. Dengan iklan
pula kita didorong atau dilarang untuk berbuat sesuatu. Singkat kata, iklan
benar-benar telah menjadi legislator yang menghalalkan dan mengharamkan
sesuatu, fungsi yang pada awalnya dibawakan agama (Jhally, 1989: 225).
Dalam masyarakat konsumer, individu dinilai dari apa yang ia miliki.
Seseorang dipandang berhasil, bernilai dan berkualitas dari kemampuannya
mengkonsumsi. Semakin banyak ia mengkonsumsi, semakin tinggi
kedudukannya
dalam masyarakat konsumer. Pada titik inilah iklan mengambil peran sebagai
media informasi pelbagai kebutuhan konsumsi. Dengan kemampuan
membangun
citra melalui tanda, idiom, simbol dan kode produk komoditi yang
bersilang-sengkarut, iklan menggoda kita untuk mengkonsumsi.
Lebih dari masa-masa sebelumnya, iklan kini tidak lagi berfungsi sekedar
sebagai media aktivitas konsumsi, penyampai pesan tentang produk-produk,
namun bahkan lebih jauh berperan sebagai pencipta dan pembentuk realitas.
Inilah saat ketika iklan hidup dalam realitas kebudayaan baru, era
postmodern. Iklan bersama televisi, sebagai representasi ruang simulacra
dan hiperrealitas kini telah menjadi acuan dan model citra diri, gaya
hidup dan struktur masyarakat (Baudrillard, 1983: 61). Dengan kata lain,
iklan dan televisilah yang membentuk realitas dan bukan sebaliknya.
Iklan postmodern juga memanfaatkan pelbagai citra dan tanda sebagai acuan
dunia yang dibangunnya. Iklan adalah dunia retorika citra (rhetoric of the
image), dalam istilah Barthes. Merujuk Roland Barthes, hubungan
penanda-penanda iklan dengan tema-tema yang dibangunnya kesuksesan,
kemewahan, kehormatan, kecantikan, kemudaan telah melalui sebuah proses
yang disebutnya glamorisasi. Glamorisasi adalah proses pelepasan suatu
objek dari konteksnya. Seorang wanita yang memerankan sosok wanita karir
dalam iklan terkena proses glamorisasi keanggunan dan keaktifan dunia
bisnis modern. Melalui upaya eksplorasi wacana estetika seni postmodern
kitsch, pastiche, parodi, camp dan skizofrenia proses glamorisasi menjadi
semakin berkembang. Dengan glamorisasi, objek-objek tersebut seolah-olah
disihir menjadi ide-ide otonom bagi dirinya sendiri. Di sini, seperti
dikatakan Baudrillard, objek-objek asli menjadi tidak lebih penting dari
citra yang dibentuk atas dirinya. Bahkan, citra hasil proses glamorisasi
ini menjadi lebih nyata dan real ketimbang objek aslinya. Iklan menjadi
sebuah dunia hiperrealitas. Tayangan iklan di televisi misalnya, seringkali
kita anggap sebagai bagian dari kenyataan. Kita lupa bahwa citra-citra yang
ditawarkan iklan hanyalah hasil rekayasa teknologi media. Kita juga
seringkali kehilangan kontrol untuk menyadari bahwa dunia iklan adalah
dunia citra yang sengaja diciptakan untuk merayu dan menggoda. Inilah dunia
yang dibangun di atas prinsip komunikasi bujuk-rayu (seduction), seperti
dipaparkan Baudrillard (Baudrillard, 1990: 78). Prinsip komunikasi dalam
iklan, bukanlah untuk mencapai makna atau pesan yang disampaikan pengirim
pesan (addressee) kepada penerima pesan (address), melainkan untuk
membujuk
dan merayu penerima pesan (address) agar mengkonsumsi citra-citra yang
berupa produk komoditi dari pengirim pesan (addresee).
Its not postmodern. I dont know what one means by that. But Im no longer
part of modernity, not in the sense where modernity implies a kind of
critical distance of judgement and argumentation. There is a sense of
positive and negative, a kind of dialectic in modernity. My way of
reflecting on things is not dialectic. Rather its provocative, reversible,
its a way of raising things to their N power, rather than a way of
dialectizing them. Its a way of following through the extremes to see what
happens. Its a bit like a theory-fiction. Theres a little theoretical
science fiction in it (Gane, 1993: 82).
(Ini bukan postmodern. Saya tidak tahu apa yang dimaksud orang dengan
istilah itu. Tapi yang pasti saya juga bukan lagi bagian era modern, tidak
dalam pengertian dimana modernitas dipandang sebagai suatu bentuk
argumentasi dan penilaian kritis, namun modernitas dalam pengertian
dialektis: positif dan negatif. Karena cara saya merefleksikan segala
sesuatu tidaklah bersifat dialektis. Melainkan lebih bersifat provokasi,
pemutarbalikan, suatu cara membawa segala sesuatu sampai pada tingkat
kekuatan "N" mereka, ketimbang menghadapkannya sebagai dialektika positif
dan negatif. Ini adalah suatu cara dengan mengikuti sampai ke titik ekstrem
untuk melihat apa yang terjadi. Ini sedikit mirip dengan teori-fiksi.
Dimana terdapat sedikit unsur teori sains-fiksi di dalamnya).
Its not really an aesthetic, its not a philosophy, its not a sociology, its
a little volatile. Perhaps this corresponds to a certain kind of floating
instability with more in common with the contemporary imagination than with
any real philosophy. The form of my language is almost more important than
what I have to say it. Its not a question of ideas there are already too
many ideas (Gane, 1993: 166).
(Tidak terlalu tepat bila disebut estetika, atau filsafat, atau mungkin
sosiologi. Ini adalah teori yang sedikit-sedikit berubah. Mungkin ini ada
hubungannya dengan semacam ketidakstabilan mengambang dalam pengertian
imajinasi kontemporer, bukan dalam pengertian filsafat yang sesungguhnya.
Bentuk pengucapan saya lebih penting ketimbang apa yang saya ungkapkan.
Dan
ini bukan berupa gagasan-gagasan. Sudah terlampau banyak gagasan-gagasan
yang ada).
Dengan suara senada, Robert Hughes seorang kritikus seni majalah Time
dengan berapi-api menggugat sosok Baudrillard sebagai sekedar
pencari-sensasi murahan, yang memikat namun dibutakan oleh gelombang
deras
budaya massa (Rojek, 1993: xi). Gaya tulisannya aneh sekaligus memusingkan
mereka yang terbiasa dengan teks-teks modern deklaratif, aforistik,
metaforistik, hiperbolik, puitik, repetitif, bombastik, anti-sistem,
anti-struktur dan penuh dengan kta-kata tak jamak. Dalam Cool Memories
(1990), misalnya, terdapat penyataan puitis sebagai berikut,
Dying is nothing. All you have to know is how to disappear. The ultimate
achievement is to live beyond the end, by any means whatever. Living is
everything. All you have to know is how to appear. The ultimate end is to
live beyond achievement, by any means whatever (Baudrillard, 1990: 34).
(Kematian bukanlah apa-apa. Yang perlu kau tahu adalah bagaimana cara untuk
menghilang. Pencapaian tertinggi adalah untuk hidup setelah akhir
segalanya, dengan cara apa saja. Hidup adalah segalanya. Yang perlu kau
tahu adalah bagaimana cara untuk terlihat. Akhir yang tertinggi adalah
untuk hidup dibalik segala pencapaian, dengan cara apa saja).
Suara kritis lain yang lebih sistematis dikemukakan oleh Mark Poster. Dalam
salah satu tulisannya yang mencoba membandingkan pemikiran Baudrillard dan
Habermas, Poster mencatat setidaknya terdapat lima kelemahan pemikiran
Baudrillard (Kellner, 1994: 83). Pertama, Baudrillard dianggap tidak mampu
menjelaskan pengertian istilah-istilah kunci yang ada dalam karya-karyanya,
terutama istilah kode. Kadangkala ia menggunakan istilah kode-model dan
binari-digital dalam pengertian yang sama secara bergantian tanpa pernah
merumuskan pengertian yang sesungguhnya. Kali yang lain, ia menyamakan
istilah kode dengan tanda dan citra sebagai istilah-istilah khusus
semiotika. Hal ini mengakibatkan kekaburan pemahaman akan gagasan-
gagasan
orisinal yang dikemukakannya. Kedua, hampir sama dengan Gane dan Hughes
Poster memandang gaya menulis Baudrillard yang aneh dan ganjil seringkali
tidak dibarengi dengan argumentasi yang sistematik dan logis. Kelemahan
ini, dengan sendirinya, menjadikan pemikiran-pemikiran Baudrillard
kehilangan dasar argumentasi yang rasional. Karya-karyanya menjadi tak
lebih sebagai cerita fiksi kehidupan yang bersemangat dan penuh warna,
namun tak masuk akal. Ketiga, Baudrillard terkesan hendak mentotalisasikan
ide-ide pemikirannya, dan menolak untuk mengubah atau membatasi
pemikirannya. Ia menulis tentang pengalaman- pengalaman khusus, seperti
dunia televisi, dunia simulasi, hiperrealitas dan konsumsi, seperti
seolah-olah tidak ada hal yang lain dalam realitas sosial dewasa ini. Juga
pendapatnya bahwa Perang Teluk sebenarnya tidak pernah terjadi meskipun
kenyataan membuktikan perang itu sungguh-sungguh terjadi tetap
dipertahankannya, bahkan sampai perang itu sendiri usai. Keempat,
Baudrillard menafikan kenyataan bahwa terdapat keuntungan-keuntungan dari
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Televisi, media massa dan
internet dalam tampilannya yang positif juga memberikan manfaat seperti
misalnya mempercepat penyebaran informasi tentang pendidikan, HAM dan
lingkungan, menyampaikan berita peristiwa-peristiwa aktual yang tengah
terjadi dan lebih membuka pemahaman akan sifat pluralisme dan humanisme
kebudayaan dewasa ini. Kelima, sikap fatalis dan nihilis yang secara sadar
dipilihnya, menjadikan pemikiran-pemikiran Baudrillard jauh dari
nilai-nilai moral dan agama. Pendapatnya bahwa tak ada lagi jalan kembali,
bahwa hidup haruslah dijalani begitu saja dengan sikap acuh tak acuh, tak
ada lagi kebenaran, kesucian, serta nilai-nilai transendental, pada
gilirannya membawa Baudrillard jatuh ke dalam jurang pesimisme-ekstrim. Ia
tidak mampu melihat moralitas dan agama sebagai sumber acuan nilai dan
prinsip kehidupan. Singkat kata, mengutip Rojek, dari banyak kelemahan
tersebut, Baudrillard lebih banyak salah ketimbang benar.
Daftar Pustaka
Ahmed, Akbar, S., 1992, Postmodernism and Islam, Routledge, New York.
Awuy, Tommy, F., 1995, Wacana Tragedi dan Dekonstruksi Kebudayaan, Jentera
Wacana Publika, Yogyakarta.
Foster, Hal, 1983, Postmodernism: A Preface, dalam Foster, Hal, (ed), The
Anti-Aesthetic, Essay on Postmodern Culture, Bay Press, Washington.
Gablik, Suzi, 1988, Dancing with Baudrillard, dalam Jurnal Art in America,
New York.
Ibrahim, Idi, Subandi, 1997, Ecstasy Gaya Hidup, dalam Idi Subandi Ibrahim,
(ed), Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas
Indonesia, Mizan, Bandung.
MacDonald, Dwight, 1957, A Theory of Mass Culture, dalam Rosenberg, Ben and
White, Dennis, (ed), Mass Culture, Free Press, Glencoe.
Piliang, Yasraf, Amir, 1998, Sebuah Dunia Yang Dilipat: Realitas Kebudayaan
Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Postmodernisme, Mizan, Bandung.
Rojek, Chris and Turner, Bryan, S., (ed), 1993, Forget Baudrillard,
Routledge, London.
Stauth, Georg and Turner, Bryan, S., 1988, Nostalgia, Postmodernism and
TheCritique of Mass Culture, dalam Theory, Culture and Society Vol. 5,
Sage, London.
Turner, Bryan, S., 1990, Periodization and Politic in The Postmodern, dalam
Turner, Bryan, S,. (ed), Theories of Modernity and Postmodernity, Sage,
London.
Istilah "Posmodernisme" bisa menunjuk pada berbagai arti yang berbeda, bisa
berarti : aliran pemikiran filsafati; pembabakan sejarah (erat terkait pada
pergeseran paradigma); ataupun sikap dasar/ etos tertentu. Masing-masing
membawa konsekuensi logis yang berbeda, meskipun bisa saling berkaitan juga.
Apabila yang kita maksudkan adalah aliran fllsafat, maka ia menunjuk terutama
pada gagasan-gagasan J.F. Lyotard, yang paling eksplisit menggunakan istilah
itu. Namun bila yang kita maksud adalah babakan sejarah baru yang
meninggalkan kerangka berpikir modern ("Pos" modern), maka mereka yang
paling sibuk memetakannya adalah Charles Jeneks, Andreas Huysen, David
Harvey dll. Di sini orang bisa berdebat dengan sangat nyinyir kapan persisnya
terjadi pergeseran paradigma besar-besaran dan apa persis yang bergeser itu
sehingga bisa menyebut zaman ini "post"-modern. Jangan-jangan segala
pergeseran itu justru radikalisasi dan segala kecenderungan modern sendiri,
sehingga alih-alih "post", semua gelagat itu mesti disebut "most" : most-modern.
Pada titik inilah kita mesti mendudukan berbagai wacana dan orang-orang
macam Habermas, Anthony Giddens, Ernest Geliner dsb. Akan tetapi, bila
Posmodernisme kita artikan dalam arti luas, yakni sebagai segala bentuk "sikap
dasar" (etos) yang mencoba kritis terhadap pola pikir dan prinsip-prinsip
modernisme, maka tiba-tiba "Posmodernisme" mencakup wilayah isi, aliran
filsafat dan tokoh yang amat luas. Ia menjadi istilah-payung yang memayungi
demikian beragam gelagat di berbagai bidang, bahkan yang saling bertentangan
sekalipun. Celakanya, karena bisa berisi apa pun orang lantas juga menganggap
istilah itu kosong tanpa isi. Dan istilah "posmo" menjadi bahan olok-olok untuk
apa pun yang tidak lazim, ganjil, bahkan tidak senonoh. Ia menjadi karikatur.
Maka tak usah heran bila tiba-tiba "Posmo" menjadi nama sebuah tabloid kienik.
Dan bisa saja ada warung bakso atau situs porno yang bernama "Posmo" juga.
Tulisan ini cenderung berbicara tentang arti yang ketiga itu, yakni
posmodernisme sebagai segala bentuk sikap kritis terhadap pola pikir dan
prinsip-prinsip modernisme. Saya kira sulitlah disangkal bahwa hari-hari ini
memang bermunculan demikian banyak kecenderungan kritis baru, yang pada
titik-titik tertentu toh memaksa kita memahami kemodernan secara berbeda. Dan
ini tidak hanya mencakup satu dua aliran pemikiran. Ia mencakup demikian
banyak gejala yang sangat kompleks di segala bidang. Menganggap segala
istilah "the end" yang heboh bermunculan dalam begitu banyak bidang hari-hari
ini (The end of philosophy, of ideology,of science, of histoiy, of art, of nation-
state, etc.etc.) sekadar sebagai kelatahan modis belaka rasanya terlalu simplistik
dan menunjukkan kekurangpekaan yang serius.
Sebagai istilah-payung memang posmodernisme dalam arti luas ini bisa terasa
kosong, bisa diisi apapun juga. Akan tetapi barangkali ia mesti dilihat ibarat
keranjang besar, kosong, meskipun keranjangnya ada. Dan itu sebetulnya sama
saja dengan istilah "modern" sendiri, yang juga bisa diisi apapun juga.
Berikutnya
Orang bisa menyebut teknologi modern, pola pikir modern, pesantren modern,
bahkan gaya cukuran modern atau gudeg modern,dst. Dan orang bahkan bisa
menyebut berbagai aliran filsafat yang satu sama lain saling bertentangan
macam rasionalisme, empirisme, materialisme dan idealisme, semua sebagai
filsafat "modern", alias berada dalam satu keranjang yang sama. Artinya,
keranjangnya toh ada. Ada kecenderungan-kecenderungan dasar yang sama.
(2) skeptis terhadap segala bentuk keyakinan tentang "substansi" objektif (meski
tidak selalu menentang konsep tentang universalitas);
(3) realitas bisa ditangkap dan dikelola dengan banyak cara dan sistem
(pluralisme);
(4) paham tentang "sistem" sendiri dengan konotasi otonom dan tertutupnya
cenderung dianggap kurang relevan, diganti dengan "jaringan", "relasionalitas"
ataupun "proses" yang senantiasa saling-silang dan bergerak dinamis;
(5) dengan begitu cara pandang yang melihat segala sesuatu dan sudut oposisi
biner pun (either-or) dianggap tak lagi memuaskan; segala unsur ikut saling
menentukan dalam interaksi jaringan dan proses (maka istilah "postmodernisme"
sendiri pun mesti dimengerti dalam interrelasinya dengan "modernisme", alih-alih
melihatnya sebagai oposisi);
Foucault Posmodern
Bila dalam paradigma modern, kesadaran dan objektivitas adalah dua unsur
yang membentuk subjek rasional-otonom, bagi Foucault konsep diri manusia
sebenarnya hanyalah produk bentukan diskursus, praktik-praktik, institusi,
hukum ataupun sistem-sistem administrasi belaka, yang anonim dan impersonal
namun sangat kuat mengontrol (Madness and Civilization; The Order of Things
dan The Archeology of Knowledge). Bahkan, Iebih dalam lagi, Foucault seperti
ingin membongkar keterkaitan yang biasanya dianggap niscaya antara
kesadaran, refleksi-diri dan kebebasan. Skeptisisme epistemologis yang ekstrim
telah membuat Foucault menyejajarkan pengetahuan, subjektivitas dengan
kekuasaan, dan karenanya menganggap segala bentuk kemajuan/ pencerahan
entah di bidang psikiatri, perilaku seksual atau pun pembaharuan hukum - selalu
saja sebagai tanda-tanda kian meningkatnya bentuk kontrol atas kesadaran dan
perilaku individu. Bukan oleh agen atau rezim tertentu, melainkan oleh jaringan
relasi-relasi semiotis, diskursif dan administratif, yang sebetulnya anonim-
impersonal tadi.
Salah satu hal yang paling inspiratif bagi Posmodernisme adalah memang
sikapnya dalam memahami fenomena modern yang bernama "pengetahuan" itu,
terutama Pengetahuan Sosial. Ia memperkarakan tentang "Apa itu pengetahuan"
secara genealogis dan arkeologis; artinya, dengan melacak bagaimana
pengetahuan itu telah beroperasi dan mengembangkan diri selama ini Kategori-
kategon konseptual macam "kegilaan", "seksualitas", "manusia", dan sebagainya
yang biasanya dianggap "natural" itu sebetulnya adalah situs-situs produksi
pengetahuan, yang membawa mekanisme-mekanisme dan aparatus kekuasaan;
kekuasaan untuk "mendefinisikan" siapa kita. Ilmu-ilmu sosial dan ilmu
kemanusiaan adalah agen-agen kekuasaan itu. Dan kendati kekuasaan itu tidak
selalu negatif-repressif melainkan juga positif-produktif (menciptakan
kemampuan dan peluang baru), toh secara umum ia memaksa kita memahami
kemodernan bukan lagi sebagai pembebasan, melainkan sebagai proses kian
intensif dan ekstensifnya pengawasan (surveillance), lewat "penormalan",
regulasi dan disiplin (I, Pierre Riviere...; Discipline and Punish; Power/
Knowledge).
Hal menarik yang membuat Foucault sering dimanfaatkan oleh para jurubicara
"posmo" adalah pengertiannya yang spesifik tentang "kekuasaan" itu. Baginya
kekuasaan bukanlah soal intensi individu, rezim ataupun kelas sosial tertentu,
bukan pula soal relasi produksi dan eksploitasi, melainkan jaringan relasi yang
anonim dan terbuka. Sebenamya Foucault nyaris tidak mencanangkan sebuah
teori ontologis tentang kekuasaan, sebab ia lebih berfokus pada partikularitas
relasi-relasi (penjara, rumah sakit, rumah sakit jiwa, sekolah dan sebagainya.).
Berikutnya
Dengan begitu terlihat pula bahwa bagi Foucault perjalanan sejarah pun
kehilangan unsur teleologis. Sejarah adalah permainan dominasi dan resistensi
yang bergeser-geser, grouping dan regrouping. Dalam sejarah itu misalnya,
manusia memang sempat terbebas dan rantai kontrol eksteral-fisik, tetapi hanya
untuk dibelenggu oleh rantai kontrol internal-mental oleh diri sendiri ( Madness
and Civilization). Maka istilah-istilah macam kesederajatan, kebebasan, keadilan,
dan sebagainya hanyalah alat-alat bagi permainan relasi kekuasaan macam itu
saja. Ini tentu berjajaran dengan pola pikir Nietzschean, yang misalnya melihat
tuntutan orang tertindas terhadap keadilan semata-mata sebagai dalih mereka
untuk mendapatkan kekuasaan. Dalam kerangka macam ini sejarah sebagai
proses sinambung ke arah emansipasi bagi Foucault adalah semacam fantasi
saja.
Demikian seperti halnya Derrida, yang juga tidak melihat arah akhir sejarah
sebagai satu dan pasti, Foucault menguatkan kecenderungan pluralisme
pemaknaan sejarah di kalangan postmodernis. Bagi kaum Pos-strukturalis
"makna" memang bukan sesuatu yang mengandung keniscayaan.
Korespondensi antara sistem semiotik/ diskursif dengan realitas bukanlah satu
banding satu. Ia selalu membawa banyak kemungkinan dan mudah berubah.
Akhirnya perlu disebut jasa lain dari Foucault bagi Posmodernisme adalah: ia
menampilkan Otherness secara lebih konkrit dan grafis, dengan analisis-
analisisnya atas pihak-pihak yang dalam modernitas biasanya dianggap tidak
normal dan tidak lazim, yakni kaum homoseksual, orang gila, tubuh, rumah sakit,
dan sebagainya. Dan dengan begitu membukakan wilayah-wilayah wacana baru.
Foucault Modern
Langgam dasar dari karya-karya Foucault dari sudut tertentu sebetulnya juga
mirip dengan berbagai kritik atas modernisme seperti yang dilayangkan oleh
Weber dan bergema pada sekolah Frankfurt (Adorno, Horkheimer). Misalnya,
bahwa modernitas itu menekankan rasionalitas instrumental, berfokus hanya
pada cara/ sarana (means) dan bukan pada tujuan (end); bahwa rationalitas ini
mewujud dalam rasionalitas ilmiah, dsb. Bagi Foucault pun ilmu, yang lewat
kecenderungan reifikasinya mengakibatkan keterlepasan dari misteri tujuan dan
nilai hidup ( disenchantment) , adalah mitos baru. ilmu bicara banyak tentang
siasat-siasat teknis, tetapi tak mengerti apa-apa tentang nilai dan tujuan hidup.
Hal lain lagi adalah bahwa baginya sosok kekuasaan modernisme yang
dominatif itu tidak lagi individual ataupun berupa kelas-kelas sosial, melainkan
berupa mesin administratif "netral" dan impersonal bagai sosok Panopticon, dan
bekerja berdasarkan aturan-aturan abstrak ( Discipline and Punish). Dan ini
sebetulnya nyaris berjajaran juga dengan analisis Weber atas birokrasi atau
proses kerja dalam pola organisasi kapitalisme, yang melihat pergeseran pola
dominasi dari pola "tradisional" ke "legal-rasional".
Akan tetapi cara dan sasaran pembacaan ala Pos-strukturalisme pada umumnya
atas modernisme memang berbeda juga dari kritik modernisme ala Sekolah
Frankfurt. Barangkali akar perbedaannya terutama terletak pada perbedaan
pengertian tentang konsep "modernisme" itu sendiri. Bagi Habermas, misalnya,
seperti halnya bagi tokoh Frankfurt Iainnya, "modern" itu berarti tradisi
Pencerahan dan supremasi rasionalitas, yang hendak mereka selamatkan
Itu pula sebabnya kata kunci dalam kritik modernisme versi Pos-strukturalisme
misalnya bukanlah "anxiety", "alienasi" ataupun "negativitas", melainkan
"transgressi", "tekstualitas", "presensi", "jouissance", dan sebagainya. Kalau teori
kritis beraroma melankolis, murung dan muram, maka pos-strukturalisme lebih
diwarnai kebermainan gembira yang liar bagai merayakan anarkisme dan
nihilisme. Istilah "gay science" dari Nietzsche bagus bila dikenakan pada
perilaku kaum Pos-strukturalis.
Dalam kerangka itu sangatlah menarik artikel pendek Foucault yang berjudul
What is Enlightenment. Secara eksplisit di sana ia menolak mengambil sikap pro
ataupun kontra terhadap Pencerahan, sebab pemosisian terhadap altematif
macam itu baginya totaliter dan simplistik, terasa bagai tindakan "pemerasan"
(blackmail). Ia juga menganggap tidak penting istilah "pra-modern","modern"
ataupun "posmodern" yang menunjukkan babakan-babakan sejarah. Sikap
"dialektis" ataupun melihat segalanya dalam kerangka both-and ( "ini" sekaligus
"itu") baginya juga bukan jalan keluar. Yang dicanangkannya adalah sikap
realistis yang melihat kenyataan bahwa dari sudut tertentu kita memang telah
dibentuk oleh Pencerahan itu, namun ini tidak berarti kita mesti
mempertahankannya dengan mencari dasar kesahihan baru bagi prinsip-prinsip
universal Pencerahan yang telah ditancapkan oleh Kant. Alih-alih mencari
kembali batas-batas pengetahuan dalam rupa struktur formal yang niscaya dan
universal ala Kant, katanya, justru perlulah kita keluar dari batasan-batasan
macam itu; mencoba kemungkinan-kemungkinan baru yang mendobrak
anggapan tentang keniscayaan-keniscayaan macam itu. Yang diperlukan adalah:
transgressi. Kalau Kant terobsesi oleh prinsip-prinsip universal, maka kita perlu
bertanya mengapa tidak ada tempat yang cukup berarti bagi yang partikular dan
kontingen, misalnya.
Segala kritik Foucault atas "diri subjek" modern agaknya mesti diletakkan dalam
kerangka "Ontologi kritis atas diri" itu. Pada titik ini terlihat makin jelas ambiguitas
sikap Foucault terhadap kemodernan. Di balik segala omongannya yang sangat
berbau "antihumanistik" atau "anti-Subjek", sebetulnya ia toh tidak naif, ia masih
melihat manusia sebagai subjek tertentu. Hanya saja cara memandangnya
memang khas. Maka Foucault sebetulnya masih membela modernisme dan
modernitas, namun dengan perspektif dan caranya sendiri. Berikutnya...
Daftar Pustaka