Anda di halaman 1dari 178

FALSAFAH SAINS MODEN ALTERNATIF

Adakah sains usaha objektif atau subjektif?


Apakah paradigma?
Apakah anjakan paradigma?
Contoh revolusi sains/anjakan paradigma
ADAKAH SAINS USAHA OBJEKTIF ATAU SUBJEKTIF?
Sekiranya sains adalah suatu usaha objektif dan logik yang
sepenuhnya, corak kemajuan sains sepatutnya licin.

Menurut Thomas Kuhn (The Structure of Scientific Revolutions),


setakat suatu takat tertentu, kebenaran dan pengetahuan sains adalah
binaan pemikiran yang subjektif berlandaskan paradigma.
Menurut Kuhn, sains maju secara tidak licin mengikut revolusi:
APAKAH PARADIGMA?
Paradigma ialah hukum, teori, aplikasi dan instrumentasi dan simen
yang mengikat komuniti ahli sains.
Paradigma umpama jendela alam yang mengawal pemerhatian & analisis
kita, sebagai analogi:

Piala atau dua kepala dalam profail? Itik atau arnab?

Perempuan tua yang hodoh atau gadis muda yang jelita?

Terpaksa kita menghadkan pemerhatian kita berasaskan satu jendela


alam/paradigma (principle of incommensurability).
Pendek kata paradigma ialah postulat sains yang asas yang
mencadangkan kebenaran sejagat.

APAKAH ANJAKAN PARADIGMA?


Definisi: peralihan dalam pengetahuan sains berasaskan suatu paradigma
dominan ke suatu paradigma dominan baru.
Kemajuan sains melalui fasa2 normal & krisis secara berterusan.
Anjakan paradigma dibahagi kepada 3 fasa:
1. Fasa normal berasaskan paradigma dominan; diikuti dengan

2. Fasa krisis tiada paradigma dominan dan muncul banyak paradigma


alternatif; dan diakhiri dengan

3. Fasa normal baru berasaskan paradigma dominan baru.

Fasa normal disifatkan dengan penerimaan paradigma dominan.


Fasa krisis kebolehan paradigma dominan menyelesaikan maslaah
alamiah menurun, jurang antara teori & ramalan bertambah.
Anjakan paradigma setakat tertentu melibatkan pertarungan kuasa politik
di dalam dan di luar komuniti sains.
Bertambahnya paradigma alternatif dalam fasa krisis.
Revolusi sains lengkap apabila paradigma baru menggulingkan
paradigma lama.
Anjakan paradigma setakat tertentu melibatkan pertarungan kuasa politik
di dalam dan di luar komuniti sains.

CONTOH REVOLUSI SAINS/ANJAKAN PARADIGMA


Menurut Kuhn, anjakan paradigma pertama ialah Revolusi Copernicus
yang menghasilkan anjakan dari model astronomi yang memusatkan bumi
kepada model yang memusatkan suria.
Anjakan paradigma setakat suatu tahap tertentu melibatkan pertarungan
kuasa politik di dalam dan di luar komuniti sains.
Contoh lain: Revolusi alam mekanik klasik (Newton), Prinsip
Ketidakpastian (Heisenberg), Teori Evolusi (Darwin)

Rujukan
Kuhn, T.S. (1970) The Structure of Scientific Revolutions (2 nd Edition). Chicago:
The University of Chicago Press.
Kuhn, T.S. / Surjaman, T. (1989) Peran paradigma dalam Revolusi Sains.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Perceraian Sains dan Filsafat
Bencana Intelektual di Zaman Modern

DR. Sony Yuliar


Metoda Saintifik
Hukum Newton, teori relativitas Einstein dan teori kuantum merupakan teori
saintifik. Maksudnya, mereka merupakan bangunan konsep atau ide
tentang fenomena fisika yang disusun berdasarkan cara atau proses
tertentu. Cara atau proses ini disebut metoda saintifik. Metoda saintifik
inilah satu-satunya tumpuan para saintis dalam berupaya menghampiri dan
mengenali realitas fisik, serta membangun teori tentangnya.

Teori saintifik pada hakikatnya merupakan model bagi dunia nyata, dan ide-
ide sains berkenaan dengan model tersebut, bukan dengan dunia nyata.
Istilah penemuan (discovery), misalnya, merujuk pada hubungan
matematika yang berhasil diungkap. Penemuan itu sendiri perlu didasarkan
pada pengamatan terhadap fenomena alam, dan penalaran induktif.
Berdasarkan data-data khusus, saintis berusaha membangun teori yang
umum melalui proses penyimpulan induktif tersebut.

Memang terdapat jurang pemisah antara sebuah model dengan realitas


yang diwakili model ini. Saintis bahkan tidak pernah tahu, sebarapa tepat
model itu menggambarkan realitas. Namun, sepanjang model itu cukup
bersesuaian dengan hasil pengamatan eksperimental, kita bisa cukup yakin
akan keabsahan model tersebut.

Dari Popper sampai Feyerabend

Di awal abad 20, Karl Popper (1902-1949) mengkritik metoda induktif yang
digunakan sains. Ia sepakat dengan pendukung moetoda empiris David
Hume (1711-1776) bahwa terdapat masalah serius dengan induksi. Seluruh
bukti induktif adalah terbatas: kita tidak mengamati Alam Semesta di semua
waktu dan di seluruh tempat. Karena itu kita tidak bisa memperoleh
pengesahan dalam membuat kaidah umum dari pengamatan-pengamatan
khusus.

Popper memberikan contoh berikut. Bangsa Eropa selama ribuan tahun


telah mengamati adanya angsa putih. Berdasarkan induksi, kita bisa
membuat teori bahwa angsa berwarna putih. Namun, penjelajahan di
Asutralasia memperkenalkan angsa hitam pada bangsa Eropa. Pernyataan
Popper adalah: tak jadi soal berapa pun banyaknya pengamatan telah
dilakukan untuk mendukung sebuah teori, selalu ada peluang bahwa
pengamatan di masa depan akan mengingkari teori ini. Induksi tidak
mampu menghasilkan kepastian.

Popper mengusulkan metoda saintifik yang didasarkan pada falsifikasi atua


penyangkalan. Betapa pun banyaknya kasus-kasus yang mendukung
sebuah teori hanya diperlukan satu pengamatan untuk menyangkalnya.
Hanya satu angsa hitam diperlukan untuk meruntuhkan teori bahwa seluruh
angsa berwarna putih. Sains mengalami kemajuan hanya jika sebuah teori
terbukti salah dan sebuah teori baru yang bisa menjelaskan dengan lebih
baik tampil. Bagi Popper, saintis harus berusaha untuk menyangkal
teorinya, alih-alih terus-menerus berusaha membuktikan kebenarannya.
Memang Popper tetap berpendapat bahwa sains bisa membantu kita
menghampiri kebenaran. Tetapi kita tidak akan pernah bisa bahwa kita telah
memiliki penjelasan final.

Thomas Kuhn (1922 - ) bersikap kritis terhadap gambaran mendangkal


yang dilukiskan para pemikir sains. Kuhn menengok pada sejarah sains dan
berargumen bahwa sains tidak maju hanya berdasarkan pengamatan-
pengamatan. Seperti halnya Popper, ia setuju bahwa seluruh pengamatan
itu diwarnai oleh pengatahuan sang pengamat. Dengan kata lain, Kuhn
mengakui peran subyek dalam membangun teori saintifik, dan menolak ide
tentang obyektifitas murni.

Saintis memiliki sebuah pandangan dunia atau paradigma. Paradigma Alam


Semesta mekanistik Newton berbeda dengan paradigma Alam Semesta
relativistik Eistein. Masing-masing merupakan suatu penafsiran tentang
dunia, bukannya penjelasan obyektif. Menurut Kuhn sejarah sains diwarnai
oleh revolusi dalam paradigma saintifik. Saintis menerima paradigma yang
dominan sampai suatu kejanggalan muncul. Saintis kemudian mulai
mempertanyakan basis paradigma itu. Teori-teori baru bermunculan dan
menantang paradigma dominan tersebut sampai akhirnya teori-teori baru ini
diterima sebagai paradigma yang baru.

Paul Feyerabend berpendapat bahwa tidak seharusnya kita


mengasumsikan superioritas dari metoda saintifik modern. Ia berargumen
bagi pendekatan yang anarki: kita tidak bisa memprediksi seperti apa
pengetahuan di amsa denapan akan berbentuk, karena itu kita tidak perlu
membatasi diri hanya pada satu metoda untuk meraih pengetahuan.
Feyerabend setuju dengan Kuhn bahwa sejarahs ains menghimpun
sejumlah pandangan dunia yang berbeda. dan bagi Feyerabend, ini berarti
bahwa yang akan menjadi pengetahuan di masa depan bisa jadi
paradigma-paradigma yang kita tidak tahu sama sekali saat ini. Karena kita
tidak dapat mengetahuinya sekarang, kita tidak boleh melarang upaya-
upaya intelektual masa depan dengan membatasi hanya pada satu
paradigma sempit menggunakan model-model fisika.

Dalam abad 20, teori relativitas Einstein membuang paradigma Newton


yang telah dominan sejak zaman Pencerahan. Perubahan paradigma ini
menyadarkan para pemikir sains bahwa prinsip-prinsip fundamental sains
tidaklah merupakan kumpulan hukum-hukum alam yang statik. Melainkan,
paradigma-paradigma itu merupakan penafsiran yang dibuat manusia yang
dipengaruhi oleh komunitas yang melingkupinya. Penjelasan saintifik tidak
lagi bisa dipandang obyektif dan nentral. Pada dinding-dinding batas sains,
paradigma-paradigma baru muncul untuk menantang pandangan ortodoks
yang ada. Bagaimana sains di abad 21 akan berkembang merupakan
pertanyaan yang terbuka lebar.

Perceraian sains dan filsafat

Kita telah melihat dua permasalahan besar sains di penghujung abad 20 ini.
Pertama, rapuhnya bangunan ide tentang materi itu sendiri. Dan kedua,
keterbatasan atau, meminjam istilah kosmolog Indonesia Karlina Leksono,
ketercakrawalaan metoda saintifik yang empirik dan induktif tersebut.
ketercakrawalaan ini hendak didongkrak oleh para reformis metoda saintifik
seperti Popper, Kuhn dan Feyerbend, walaupun tidak menghasilkan
kesimpulan yang pasti. Kedua permasalahan ini menunjukkan bahwa
materialisme sains dan metoda saintifik tidak mampu mengukuhkan
keabsahan dirinya sendiri. Khususnya, metoda saintifik tidak berhasil
mengantarkan para saintis mencapai misi utama sains: pencerahan pikiran
manusia mengenai Alam Semesta.

Selanjutnya kita akan melihat permasalahan sains dari sudut pandang yang
lain, yang tak kalah pentingnya.

Sejarah pengetahuan manusia menunjukkan bahwa terdapat dua sumber


utama bagi pengembangan pengetahuan manusia: (1) pengetahuan dan
niscaya rasional dan (2) pengetahuan empirik melalui pengamatan
inderawi. Pengetahuan niscaya rasional merupakan pengetahuan yang
kebenarannya telah jelas dengan sendirinya, sehingga tidak memerlukan
bukti apa pun. Misalnya, prinsip non-kontradiksi. Yaitu bahwa pembenaran
sesuatu dan pembantahan sesuatu tersebut tidak mungkin terjadi sekaligus.
Sebagai ilustrasi, kalau seorang penguasa berwatak korup dan tiran, tidak
mungkin ia peduli terhadap keadilan sosial. Sebab, tiran dan adil adalah
dua hal yang berlawanan. Prinsip rasional lain misalnya adalah prinsip
sebab-akibat dan prinsip bahwa sebagian itu lebih kecil dari keseluruhan.
Pengetahuan niscaya rasional inilah yang merupakan tumpuan dari
bangunan filsafat. Sedangkan, pengetahuan empirik diperoleh melalui data
pengamatan inderawi. Teori-teori dalam sains bertumpu pada pengetahuan
jenis ini. Baik sains maupun filsafat keduanya merupakan 'alat-alat' manusia
untuk melihat Alam Semesta, fenomena sosial dan dirinya sendiri.
Perbedaan antara sains dan filsafat terletak pada sumber-sumber pokok
pengetahuan yang dijadikan tumpuan mereka. Sains bertumpu pada hasil
pengamatan eksperimental, sementara filsafat bersandar pada prinsip-
prinsip niscaya rasional yang kebenarannya tidak bergantung pada
pengamatan inderawi manusia. karena itu, keduanya bersifat saling
melengkapi dan sesungguhnya tidak perlu dipertentangkan. Sains dan
filsafat bahkan pernah menjalin hubungan yang serasi di era Yunani Kuno
(abad 5 SM sampai sekitar abad 5 M) dan di era Islam (sekitar 750 M
sampai 1100 M). namun hubungan ini mulai retak ketika di abad 17 M sains
menafikan (atau menolak mentah-mentah) filsafat secara total.

Penafian (penolakan mentah-mentah) terhadap filsafat diawali sekitar tiga


abad yang lalu ketika para perintis empirisme seperti John Locke (1632-
1704), Berkeley (168-1753) dan David Hume (1711-1776)
memproklamasikan hak monopoli pengalaman inderawi dalam membangun
pengetahuan manusia. penafian ini kemudian dipertajam belakangan oleh
positivisme, yang ditokohi oleh Alfred Ayer (1910 - ). Ayer menegaskan
bahwa sebuah pernyataan itu bisa bermakna, hanya jika ia dapat
dibenarkan atau disalahkan melalui eksperimental inderawi. Empirisme ini
membangun landasan epistemologis bagi paham materialisme. Di sisi lain,
Fisika Newton memberikan landasan hukum empirik yang mekanistik bagi
materialisme. Dengan empirisme dan fisika materialistik Newton maka
tegaklah fondasi materialisme. Dan dengan kukuhnya materialisme ini,
resmilah perceraian antara sains dan filsafat.

Perceraian antara sains dan filsafat merupakan karakter utama dari


peradaban Barat semenjak zaman Renaisans di abad 17. Sejak perceraian
itu sains mengambil alih posisi filsafat dan berperan sebagai penguasa
tunggal dalam pengembangan pengetahuan manusia, baik tentang
fenomena fisika, sosial maupun tentang diri manusia itu sendiri. Hal inilah
yang bisa berdampak bencana besar bagi pemikiran manusia itu sendiri.
Sebab, dengan dikesampingkannya filsafat dan sumber pengetahuan
rasional, perkembangan pengetahuan itu sendiri menjadi sangat terbatasi.
Sains, yang salah satu misi utamanya adalah mencerahkan manusia
dengan cahaya pengetahuan tentang Alam Semesta, menjadi berkurang
atau bahkan kehilangan daya pencerahannya. Perceraian sains dan filsafat
juga berdampak sekularisasi, yakni pemisahan antara sains dan agama.
Sebab, bangunan agama, sebagai sumber pengetahuan dan ajaran yang
universal, tidak bertumpu pada metoda saintifik. Karena itu sains dan
agama tidak mungkin bertemu, selama perceraian antara sains dengan
filsafat masih terjadi. Selain itu semua, ketika sains memegang hak
monopoli dalam pengetahuan, ia menjadi bersifat tertutup, tidak transparan
dan otoriter. Dalam situasi demikian, kekeliruan atau penyimpangan yang
dilakukan oleh sains tersebut tidak bisa terkoreksi.

Memasuki abad 21 dengan dialog Barat-Timur

Di zaman Yunani Kuno, para pemikira ketika itu menyakini betul kekuatan
pencerah dari sains. Mereka memberi penghargaan yang tinggi terhadap
sains karena kemampuannya dalam menjelaskan tentang realitas. Sains,
yang di masa itu diberi nama filsafat alam, merupakan sumber penting bagi
pengetahuan dan kebijaksanaan manusia. filsafat alam dan filsafat tidak
hidup terpisah. Ketika itu, para ekonomi dari sains tidak terlalu mendapat
perhatian. Di zaman Islam, sejarah menunjukkan adanya penghargaan
yang tinggi terhadap sains sebagai bagian dari pengetahuan relijius
mereka. Sains, sebagaimana juga seni dan ilmu-ilmu sosial, memperoleh
posisi yang tinggi dalam kehidupan masyarakat ketika itu. Sains dipelajari
secara terpadu dan harmonis dengan filsafat dan agama. Bahkan agama
itulah yang menjadi sumber inspirasi upaya-upaya saintifik ketika itu.

Melihat itu semua, jelas bahwa sains itu memiliki nilai yang luhur dan
senantiasa memiliki peran yang penting di berbagai peradaban manusia.
Maka kurang tepatlah kalau kita mengesampingkan atau meninggalkan
sains dengan segala buahnya. Juga keliru kalau kita merendahkan sains
sehingga hanya bernilai ekonomi. Kita perlu optimis untuk bisa
mengembalikan sains pada tempatnya yang tinggi dan luhur: sebagai
pencerah manusia akan realitas Alam Semesta.

Namun, berdasarkan kelemahan-kelemahan sains yang telah diungkapkan


oleh para saintis berkompeten itu sendiri, terdapat beberapa hal yang
penting untuk diperhatikan.

1. Pertama, kita perlu memberikan tempat yang seluas-luasnya pada


sumber-sumber pengetahuan lain seperti filsafat rasional dan agama.
Sejarah menunjukkan bahwa filsafat dan agama memainkan peran yang
sentral dalam membangun pengetahuan manusia tentang realitas alam dan
dirinya sendiri. Feyerabend telah mengisyaratkan perlunya keterbukaan
demikian. Isyarat ini tampaknya perlu ditanggapi secara serius dan lebih
meluas di berbagai kalangan intelektual.

2. Tuduhan bahwa agama itu hanya berisi kumpulan doktrin irasional dan
mitos, dan bahwa filsafat itu tidak memiliki bangunan pemikiran yang
bertumpu pada realitas perlu ditinjau kembali. Selama ini, sering kali para
pendukung sains empirik mengesampingkan peran filsafat dan agama
berdasarkan tuduhan-tuduhan terburu-buru seperti itu. Namun, mereka
kurang memperhatikan pernyataan-pernyataan dari para tokoh yang
kompeten di filsafat dan agama. sikap pra duga demikian perlu ditinjau
kembali, agar rasa saling mempercayai bisa tumbuh.

3. Di masa depan, yang penting bukannya siapa yang paling sah atau
paling layak untuk berperan. Melainkan, kita perlu mengakui dan memberi
peran pada masing-masing sumber pengetahuan ini pada tempatnya,
sesuai dengan kelebihan, keabsahan dan kompetensinya. Sikap mutually
exclusive dan keinginan memonopoli dunia pengetahuan perlu dibuang
jauh-jauh. Sebagai gantinya, sikap saling mempercayai, menghargai dan
menghormati perlu ditumbuh-kembangkan. Berdasarkan sikap ini kemudia
dilaksanakan dialog-dialog antara sumber-sumber pengetahuan yang ada.
Sains yang empirik dan induktif berada di Barat, sementara filsafat rasional
yang deduktif, dan agama, hidup di Timur. Dengan dialog seperti inilah kita
bisa memasuki lembaran sejarah masa depan dengan penuh optimisme,
semangat dan harapan.[]

MEMAHAMI METODE HERMENEUTIK DALAM


STUDI ARSITEKTUR dan KOTA
Moh. Ali Topan*)

Abstrak

Architecture as a human creation must be understood in the social, cultural and


historical context. How is its relevance for today and the future, one must
understand and interpret the meaning of architecture for the community.
Hermeneutic methodology can help us understand correctly, but it must be
carefully applied because it tends to be of subjectively biased and has
questionable validity.

Pengantar

Perkembangan paradigma penelitian menurut Guba (1991) dalam The Paradigm


Dialog telah memunculkan tiga alternatif baru sebagai pengganti dari paradigma
lama positivis, yaitu paradigma pasca-positivis (postposi-tivism), teori kritik
(critical theory) dan konstruktivis (constructivism). Apa yang menarik dari wacana
para-

digma penelitian ini adalah terjadinya perubahan yang mendasar terhadap cara
pandang (ontologi), epistemologi serta metodologi yang digunakan oleh ketiga
paradigma tersebut.

Kajian ini diharapkan mampu men-jawab pertanyaan apa, mengapa dan


bagaimana metode ini digunakan ser-ta keabsahan penggunaan metode
tersebut dalam studi arsitektur/kota.

Arsitektur atau kota pada dasarnya adalah merupakan produk budaya dari
masyarkat dan oleh sebab itu setiap studi tentang arsitektur atau kota
sebenarnya terkait erat dengan upaya-upaya pemahaman terhadap makna
obyek atau tanda-tanda yang membentuk arsitektur atau kota tersebut terhadap
masyarakatnya.

Pada dasarnya untuk memahami makna arsitektur atau kota tersebut, diperlukan
kegiatan interpretasi yang dapat memberikan dan memperkaya jawaban
sebenarnya tentang hal tersebut.
Kegunaan metode hermeneutik atau interpretasi dalam studi ini adalah untuk
memahami obyek dalam kon-teks ruang dan waktu dimana obyek tersebut
berada, terkait didalamnya keseluruhan aspek kondisi sosial, ekonomi, budaya,
pandangan hidup maupun sejarahnya.

Metode interpretasi ini diperlukan ba-gi studi tentang arsitektur maupun kota
yang diciptakan dalam konteks lokal pada masa yang lalu, agar arsi-tektur atau
kota asli tersebut mem-punyai makna dan relevansi bagi perkembangan identitas
arsitektur dan kota pada masa kini dan menda-tang serta bagi perkembangan
masya-rakatnya. Jadi ada semacam kesinam-bungan memori didalam
perubahan yang terjadi.

Konflik Paradigma Merupakan Masalah Interpretasi

Sejauh ini pengertian ilmu meliputi berbagai macam pemahaman dan mengikuti
beberapa aliran pemikiran (filsafat) yang berkembang sepanjang sejarah, seperti
rasionalisme, empi-risme, fenomenologi, eksistensialis-me maupun yang lebih
kontemporer seperti dekonstruksi dan sebagainya. Sesungguhnya kondisi ini
hanyalah merupakan perbedaan interpretasi terhadap realitas atau fenomena-
feno-mena yang terjadi. Kuhn (1993) me-nyatakan bahwa sebenarnya rasional-
isme itu lebih merupakan interpretasi dan persuasi dari kenyataan obyektif, atau
dalam pernyataan lainnya Kuhn mengatakan bahwa segala yang dika-takan oleh
ilmu tentang dunia dan kenyataannya sebetulnya erat terkait pada paradigma
atau model ataupun skema interpretasi tertentu yang di-gunakan oleh
ilmuwannya. Bila aliran rasionalisme menitik beratkan ilmu pada kekuatan
penalaran akal budi atau rasio dalam pencarian kebenaran atas kenyataan.
Descartes, berpen-dapat bahwa melalui akal budilah manusia dapat mengerti
tentang du-nianya serta dapat mengatur hidup-nya.

Sementara itu melalui pengaruh F. Bacon (Bertens, 1996; Poedjawijatna, 1992)


penganut aliran empirisme yang tumbuh lebih belakangan ber-pendapat bahwa
suatu teori tidak hanya dibenarkan sejauh ia dapat dibuktikan dengan fakta-fakta
yang diperoleh melalui observasi (penga-laman inderawi).

Kemunculan Kant dengan kritiknya terhadap aliran rasionalisme dan empirisme


serta pemikirannya ten-tang ilmu yang seharusnya meru-pakan proses sintesis a
priori, yaitu perlunya menggabungkan proses pencarian pengetahuan melalui
pena-laran akal budi (rasio) dan penga-laman inderawi (empiri), telah me-
nimbulkan kegoyahan kepercayaan terhadap aliran rasionalisme dan alir-an
empirisme serta menimbulkan konflik, yang berlangsung terus hing-ga sampai
saat ini. Dalam pada itu aliran fenomenologi muncul dengan keyakinannya untuk
kembali ke benda-bendanya sendiri dalam meng-ungkap pengetahuan (Husserl
dalam Sugiharto, 1996) serta menolak pemi-sahan subyek-obyek dalam mencari
hakikat suatu obyek atau fenomena, sebagaimana dilakukan oleh aliran
rasionalisme maupun empirisme. Pe-nganut aliran ini berpendapat bahwa
pengetahuan atau ilmu itu pada ke-nyataannya adalah merupakan kehi-dupan
langsung yang belum dire-fleksikan (Husserl dalam Sumaryono, 1993),

sehingga segala bentuk konstruk ilmiah hanyalah merupakan ideali-sasi,


abstraksi dan penafsiran tentang kehidupan dunia ini.

Dengan demikian dasar-dasar konflik yang terjadi antar paradigma tersebut


adalah bertitik tolak pada perbedaan interpretasi tentang kenyataan atau
fenomena-fenomena, lebih-lebih un-tuk ilmu-ilmu kemanusiaan (Dilthey dalam
Sumaryono, 1993), atau oleh Kurokawa (1991) disebut sebagai In-terpretasi
Copenhagen.

Filsafat Hermeneutik

Pada masa ini semakin banyak filsuf (Dilthey, Heidegger, Gadamer, Ricour dan
sebagainya) yang beralih kearah filsafat hermeneutik, yaitu upaya menafsirkan
teks Kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani her-meneuein, yang berarti
menafsirkan. Sebagai kata benda hermeneia dapat diartikan sebagai penafsiran
atau interpretasi. Sebenarnya kata ini, menurut spekulasi historis, merujuk pada
nama dewa dalam mitologi Yunani yaitu Dewa Hermes yang bertugas untuk
menyampaikan pe-san-pesan Dewa Tertinggi di langit (gunung Olympia) kepada
manusia di bumi melalui bahasa yang di-mengerti oleh manusia. Dengan tugas
tersebut maka dewa hermes harus mampu untuk menginterpretasikan a-tau
menyadur pesan-pesan tersebut kedalam bahasa yang dipergunakan oleh
pendengarnya, sehingga pesan-pesan tersebut dapat dipahami maknanya. Oleh
sebab itu secara umum hermeneutik diartikan sebagai proses mengubah
sesuatu atau situasi ketidak tahuan menjadi mengerti (Palmer dalam
Sumaryono, 1993). Pada awalnya hermeneutik diposi-sikan sebagai bagian dari
ilmu filologi, dan baru pada abad 16 memperoleh perhatian akademis se-telah
para ilmuwan gereja meng-gunakannya sebagai metode pema-haman dan
interpretasi Kitab Suci Bi-bel. Sejak saat itu posisi hermeneutik mulai
berkembang menjadi metode kritik historiografi. Pada abad 18, ketika
masyarakat Eropa sedang bangkit penghargaan dan apresiasi terhadap seni
klasik, maka peran hermeneutik menjadi semakin pen-ting dan dibutuhkan.
Karena yang menjadi obyek kajian adalah pema-haman tentang makna dan
pesan yang terkandung dalam karya seni klasik yang merupakan karya cipta
masa lalu, maka faktor pencipta, proses penciptaan dan karya cipta menjadi
sangat penting untuk dike-tahui. Ketiga faktor ini membentuk suatu segitiga yang
tidak bisa dipi-sahkan jika ingin memahami makna suatu suatu karya cipta.
Dalam kondisi ini hermeneutik memerankan dirinya sebagai sebuah metode
yang menafsirkan atau menginterpretasi-kan realitas lain yang tidak hadir, baik
karena telah berlalu dalam ruang maupun waktu yang cukup jauh ja-raknya,
sementara realitas tersebut hadir pada kita saat ini melalui atau diwakili oleh teks
atau tanda-tanda lainnya.
Pada dasarnya hermeneutik berhu-bungan erat dengan bahasa. Yang dimaksud
bahasa ini tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi atau perantara dalam
menyampaikan suatu maksud, namun juga meru-pakan proses berfikir,
berbicara, menulis maupun berkarya, baik yang diwujudkan dalam bentuk teks
mau-pun tanda-tanda lainnya. Disini baha-sa menjadi way-of-being-nya manu-
sia. Jadi bila pengalaman manusia yang diungkapkan melalui bahasa tersebut
tampak asing bagi pembaca pada generasi berikutnya, maka disini peran
hermeneutik untuk menafsirkan/menginterpretasikan se-cara benar teks atau
tanda-tanda tersebut menjadi sangat penting.

Salah satu contoh yang sangat jelas adalah pesan-pesan yang terdapat da-lam
kitab suci, yang dipercaya me-rupakan perwujudan literal dari fir-man Tuhan
pada masa yang lalu, akan sangat membutuhkan penaf-siran atau
penginterpretasian bila ingin dipelajari atau dipahami makna hakiki pesan-pesan
tersebut pada masa kini.

Metode Hermeneutik

Menurut telaah singkat diatas, maka yang dimaksud metode hermeneutik adalah
cara-cara untuk menfsirkan simbol-simbol yang terwujud dalam teks atau bentuk-
bentuk lainnya. Pada awalnya metode hermeneutik digunakan untuk
menafsirkan kitab suci saja, namun semenjak Dilthey (1833-1911) metode ini
mulai diper-gunakan untuk ilmu-ilmu kema-nusiaan seperti bidang sejarah, psiko-
logi, hukum, sastra, seni dan seba-gainya. Menurut Dilthey, dalam bi-dang ilmu-
ilmu tersebut metode pe-nafsiran sangat membantu untuk memahami makna
dari hal-hal yang dihasilkan oleh kegiatan manusia, karena sepanjang kegiatan
manusia selalu terdapat kegiatan yang bersifat metaforik atau simbolik yang
sering-kali merupakan perwujudan sesuatu yang lain atau sesuatu diluar dari
yang diwujudkan. Meminjam dari istilah semiotik atau semiologi ada yang disebut
penanda (signifier) dan yang ditandai (signified). Geertz (1992) juga sependapat
bahwa untuk memahami dunia manusia yang sarat makna, tidak cukup dengan
mengan-dalkan logika positivisme tetapi juga

harus melibatkan metode penafsiran atas motivasi aktor penciptanya serta


berbagai komponen yang turut mem-bentuk jaringan makna dimana aktor
tersebut merupakan bagian tak ter-pisahkan dari komunitasnya.

Menurut Schleiermacher, proses pe-mahaman menurut metode herme-neutik


menuntut agar pembaca atau penafsir berusaha untuk "reliving and rethinking
the thought and feeling of the author", agar pembaca atau pe-nafsir atau
penginterpretasi dapat menempatkan diri pada posisi kehi-dupan, pemikiran dan
perasaan dari sang penciptanya sehingga dapat memperoleh gambaran yang
lebih utuh terhadap obyek yang dikajinya. Pendapat Schleiermacher ini men-
dorong tumbuhnya teori fenome-nologi hermeneutik. Hal ini sepen-dapat dengan
Gadamer yang menga-takan bahwa untuk memahami se-buah obyek sosial
yang menyangkut makna hidup tidak bisa tanpa adanya atau melalui partisipasi
dan dialog dengan tradisi yang hidup ditengah masyarakat tempat obyek sosial
itu berada. Lebih lanjut Gadamer menya-takan bahwa untuk dapat melakukan
dialog yang produktif, hanya bisa terjadi bila antara subyek dan obyek melebur
dan menjadi tidak terpisah-kan (the fusion of horizons), artinya memahami dunia
manusia hanya bisa diperoleh secara benar dan otentik ke-tika yang
bersangkutan menga-lami sendiri serta lebur didalam peristiwa kehidupan
tersebut.

Menurut Komaruddin (1996) dan Soemaryono (1993), metode herme-neutik


mengunakan pendekatan secara abduksi, yaitu proses mendekati data (dalam
hal ini teks atau tanda-tanda lain) melalui berbagai asumsi dan kemungkinan
sehingga muncul sekian wajah ke-benaran. Proses ini sering disebut sebagai
proses hermeneutical circle, yaitu proses dinamis dalam menaf-sirkan teks atau
tanda-tanda berda-sarkan asumsi-asumsi, pengalaman serta terjadinya saling
menafsirkan antara sesama teks atas teks yang kemudian melahirkan jaringan
dan lingkaran interteks. Dalam proses ini peran prakonsepsi dan pradisposisi
penafsir dalam memahami teks atau tanda-tanda mempunyai andil yang besar
dalam membangun makna. Sebuah teks atau tanda menawarkan kepada
pembaca/penafsirnya berba-gai kemungkinan penafsiran berda-sarkan sudut
pan-dang serta teori yang dipilih oleh penafsirnya. Namun demikian hal ini bukan
berarti bahwa hermeneutik terjebak dalam relativisme , tetapi justru hendak
mencari pemahaman yang benar dan utuh atas makna sebuah teks atau tanda.
Memahami disini sama halnya dengan melakukan interogasi-dialog terhadap
sesuatu yang asing, yang sama sekali belum dikenal. Oleh sebab itu dalam
setiap proses penafsiran perlu dikem-bangkan sikap curiga (Geertz, 1993;
Komaruddin, 1996) baik kedalam diri penafsirnya sendiri maupun kepada
pencipta teks atau tanda-tanda terse-but, agar tidak tertipu oleh sistem tanda
yang ada dipermukaan sehing-ga dapat mengaburkan makna yang lebih dalam.

Sebenarnya, menurut pendapat Ko-maruddin (1996), terdapat dua aliran dalam


hermeneutik yaitu:

1. Hermeneutik Transendental yang berpandangan bahwa untuk me-


nemukan kebenaran dalam teks atau tanda-tanda tidak harus mengaitkan
dengan sang penga-rang atau penciptanya karena se-buah kebenaran
dapat berdiri sendiri (otonom) ketika tampil dalam teks atau tanda-tanda
ter-sebut;
2. Hermeneutik Historis-Psikologis yang berpendapat bahwa teks atau
tanda-tanda hanya merupa-kan eksposisi eksternal dan tem-porer saja
dari sang penga-rangnya, sementara kebenaran ti-dak mungkin terwadahi
secara utuh atau representatif dalam teks atau tanda-tanda yang ada
tersebut.

Menurut Amina (penulis dari Malay-sia yang melakukan penelitian ten-tang


penerapan metode hermeneutik dalam penafsiran atau penginter-pretasian ayat-
ayat Al Quran, khusus-nya berkenaan dengan masalah wa-nita), terdapat tiga
aspek yang perlu diperhatikan dalam penafsiran yaitu:

1. Dalam konteks apa teks/ayat-/tanda atau yang dapat dikate-gorikan


dengan teks, ditulis atau diciptakan;
2. Bagaimana komposisi bentuk dan struktur teks;
3. Bagaimana keseluruhan teks ter-sebut dan kondisi pandangan hi-dup
yang berkembang saat itu.

Relevansi Terhadap Studi Arsitek-tur/Kota Filsafat Hermeneutik sangat relevan


karena menawarkan suatu perspektif baru mengenai cara me-mahami makna
arsitektur atau kota seperti :

1. Mengakui adanya pengaruh fak-tor-faktor non-fisik, selain faktor-faktor


fisik didalam pencipta-an arsitektur/kota
2. Memberi peluang pemahaman terhadap karya-karya arsitektur kota,
khususnya terhadap karya-karya tradisional, dengan demi-kian
memperkaya pemahaman a-tas makna arsitektur atau kota dalam
hubungan dengan masya-rakat penghuninya.
3. Menciptakan dan mendorong ter-bentuknya arsitektur dan kota yang
bermakna (meaningful life), yang terkait dengan warisan bu-daya
masyarakat.
4. Memberi peluang arsitektur/kota tidak bermakna tunggal, sehingga
keunikan local tetap dapat tergali.
5. Meningkatkan kesadaran atau sensitifitas akan perbedaan-per-bedaan
dalam karya arsitektur dan kota
6. Mengakui keberadaan arsitektur atau kota tradisional dengan un-sur-
unsur metaforis, simbolik maupun unsur mistiknya

Validitas

Salah satu problem dalam penelitian kualitatif (metode hermeneutik digo-longkan


dalam pendekatan ini) yang sampai sekarang masih sering men-jadi perdebatan,
khususnya bila diha-dapkan dengan ilmu-ilmu alam, ada-lah tentang validitas.
Untuk menang-gapi masalah tersebut, maka dikem-bangkan suatu sikap curiga
(Geertz, 1992; Komaruddin, 1996) terhadap setiap data, khususnya yang berasal
dari variabel aktor pencipta, ter-masuk sikap curiga terhadap diri pe-neliti sendiri,
sekaligus untuk me-ngurangi subyektifas penelitian. Menurut Geertz (1992) dan
Koma-ruddin (1996), sikap curiga tersebut didasarkan atas pendapat tiga orang
filsuf yang mengingatkan bahwa su-byektifitas dapat terjadi karena adanya
pengaruh faktor libido (Sig-mund Freud), pengaruh faktor kuasa (Friedrich
Nietzsche) ataupun penga-ruh dari faktor ekonomi (Karl Marx) yang akan dapat
mengaburkan mak-na terdalam dari obyek studi. Di-samping mengembangkan
sikap ter-sebut, juga dikembangkan prakon-sepsi dan pradisposisi guna mem-
bantu memandu dalam membangun dan memahami makna dari obyek yang
sedang diteliti.
Daftar Bacaan

1. Bertens,K., Filsafat Barat Abad XX, Jilid 2: Prancis, Penerbit PT.


Gramedia Pustaka Utama, Jakar-ta, 1996.
2. Geertz, Clifford, Tafsir Kebuda-yaan, Penerbit Kanisius, Yogya-karta,
1992.
3. Hamersma, Harry, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, Penerbit PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992.
4. Hidayat, Komaruddin, Memaha-mi Bahasa Agama, Sebuah Ka-jian
Hermeneutik, Penerbit Para-madina, Jakarta, 1996.
5. Kurokawa, Kisho, Intercultural Architecture, The Philosophy of
Symbiosis, Academy Edition, Great Britain, 1991.
6. Kuhn, Thomas S., Peran Paradig-ma dalam Revolusi Sains, terje-
mahan, Penerbit PT. Remaja Ros-dakarya, Bandung, 1993.
7. Newton, KM., Menafsirkan Teks, Pengantar Kritis kepada Teori dan
Praktek Penafsiran Sastra, terjemahan, Harvester, Wheat-sheaf,
London, 1990.
8. Poedjawijatna, Prof., Pembim-bing Kearah Alam Filsafat, Pe-nerbit
Rineka Cipta, Jakarta, 1994.
9. Sudjiman, Panuti, dan Zoest, Aart Van, penyunting, Serba-Serbi Se-
miotika, Penerbit Gramedia Pus-taka Utama, Jakarta, 1992.
10. Sugiharto, I. Bambang, Post-Mo-dernisme, Tantangan bagi Filsa-fat,
Penerbit Kanisius, Yogyakar-ta, 1996.
11. Sumaryono, E., Hermeneutik, Se-buah Metode Filsafat, Pene

Kekerasan Struktural:

Upaya Membelenggu Pikiran

Nyatanya wacana kekerasan tak melulu bicara


soal menghancurkan kemampuan somatis atau
menghilangkan kesehatan belaka dengan
pembunuhan sebagai bentuk ekstrimnya oleh
seorang pelaku yang memang sengaja melakukannya. Tak
selamanya kekerasan berdimensi satu saja, yakni harus ada
person atau pelaku konkret, digunakannya alat atau sarana untuk
melukai fisik, efeknya menyangkut kehilangan kesehatan atau
bahkan nyawa.

ika kita kembali ke gagasan awal pemikiran tentang kekerasan,


maka selama ada unsur-unsur pemaksaan, destruksi, dan
pengingkaran sebagian atau seluruh kebebasan, dan tidak menjadi
soal siapa pelakunya, di sinilah terjadi kekerasan! Dimensi yang
luas dan multi ini dengan demikian memperluas makna kekerasan
sebagai bukan sekedar anti-perdamaian, tetapi juga pengingkaran
kebebasan, peniadaan kesempatan yang sama, seperti kata ibarat
burung dalam sangkar emas: segalanya terpenuhi tetapi
kebebasannya diminimalkan. Paralel dengan kehidupan manusia,
berarti free of will individu manusialah yang dikebiri habis-habisan
oleh sangkar emas tersebut.

Dalam state vis a vis society atau hubungan negara dengan


masyarakat, individu berperan sebagai bagian dari negara yang
harus diatur lewat berbagai kesepakatan normatif. Negara
berkewajiban untuk menciptakan keteraturan, law and order.
Otoritas ini dalam pemikiran Max Weber dan juga Trotsky
mensahihkan negara melakukan proses legitimasi kekuasaannya
lewat pemaksaan kehendak, misalnya dengan cara-cara
kekerasan. Negara harus mengedepan di hadapan masyarakat. Ia
memberi perangkat untuk menentukan mana yang baik dan yang
buruk, sekaligus menjadi hakim yang paling sempurna dalam
urusan soal keadilan. Hukuman penjara, kerja paksa, hukuman
mati merupakan produk-produk yang melegitimasi kekerasan yang
disponsori oleh negara. Pada taraf ini, kekerasan terlihat sebagai
suatu perilaku sistemik dengan implementasi pada struktur dan
kelembagaannya. Kekerasan itu bisa dibangun atas jargon-jargon,
semisal jargon "pembangunan", "stabilitas nasional", "persatuan
dan kesatuan", "anti-subversi" dan lain-lain. Alhasil, manusia
seolah-olah tidak mampu melepaskan diri dari tindak kekerasan
yang dilakukan negara, sebagai sangkar emas yang mengebiri
kebebasan individu tanpa ampun, bahkan dianggap sebagai suatu
keharusan atau sebagai pilihan tanpa alternatif. Ya, ibarat lingkaran
setan saja, pada akhirnya kekerasan akan semakin mengikat dan
kian inheren di dalam setiap perilaku manusia, komunitas dan
bangsa-bangsa.
Kondisi ini menyebabkan kekerasan di satu sisi tampil sebagai
suatu tindakan yang dibenci sehingga harus diberantas, namun di
lain sisi dipuja-puja tak habis-habisnya. Yang terakhir ini
memandang kekerasan sebagai suatu fenomena normal dalam
hubungan sosial, baik itu antara negara dan masyarakat, atau
antara kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok
masyarakat yang lain. Bak udara di sekitar kita, kekerasan
merupakan konsekuensi logis dari hubungan tersebut, yang dapat
saja berwujud upaya penyaluran aspirasi semata-mata demi
perjuangan kepentingan politik. Negara menggunakan kekerasan
agar proses legitimasinya lancar dan supaya ia bisa menjalankan
fungsi hegemoni tanpa penolakan. Sebaliknya, masyarakat dapat
menggunakan kekerasan untuk mengkontra hegemoni yang
hendak dibangun negara. Justru akan menjadi pertanyaan apabila
kekerasan tidak terjadi sesering yang seharusnya diperkirakan.
Lalu, pilihan menggunakan kekerasan atau tidak semata-mata
adalah persoalan taktik, yang tak lebih tak kurang menyangkut
perhitungan untung-rugi saja. Di sini jelas-jelas memperlihatkan
kekerasan ditampilkan sebagai suatu tindakan rasional.

Kekerasan yang disengaja ini tentu saja membantah argumen


serba kebetulan yang dipicu oleh sifat agresif manusia yang
dibahasakan Thomas Hobbes dengan homo homini lupus. Apabila
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pada akhirnya menekan
masyarakat, apakah di dalamnya terjadi kekerasan? Apakah
penggusuran tanah "atas nama pembangunan" dengan ganti rugi
yang tak sepadan, lalu bila penduduk lokal menolak dikerahkanlah
militer untuk menghalau mereka, merupakan tindakan yang serba
kebetulan? Bagaimana misalnya, dengan kemiskinan yang
semakin menjadi-jadi di Indonesia padahal negeri ini sangatlah
kaya dan berdaya? Bagaimana dengan perlakukan diskriminatif
terhadap warga negara dengan kelas pembeda antara pribumi dan
non-pribumi? Kita yakin di sini terjadi kekerasan juga! Kekerasan
yang tak tampak, tetapi tetap memiliki daya untuk menghilangkan
sebagian kebebasan ataupun seluruhnya, mempunyai unsur
pemaksaan kehendak, dengan pelaku yang tak cuma satu individu
saja.

Barangkali ini yang dimaksud Mudji Sutrisno (Kompas, 1997)


dengan istilah kekerasan struktural, yaitu kekerasan yang
digunakan oleh struktur kekuasaan yang dapat berupa aparat,
tentara, pemerintah dan atau birokrasi. Karena kekuasaan terjadi
dalam pola-pola relasi antar manusia atau negara yang tidak
seimbang, yang eksploitatif dan represi, maka terjadi
ketidakseimbangan relasi sosial yang berujung pada kekerasan
sebagai jenis kekuasaan yang merusak relasi harmoni sosial yang
seharusnya.

Dengan perspektif yang jauh lebih luas, Johan Galtung (1969)


menilai kekerasan telah terjadi bila manusia dipengaruhi
sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya
berada di bawah realisasi potensialnya. Yang dimaksud realisasi
potensial adalah apa yang memang mungkin direalisasikan sesuai
dengan tingkat wawasan, sumber daya dan kemajuan yang sudah
dicapai pada zamannya. Ted Gurr (1970) menilai bila ada
kesenjangan antara apa yang seharusnya dan apa yang
senyatanya, di sini terjadi deprivasi relatif atau nuansa
ketidakadilan dan ketidakmerataan. Nah, apabila ada
penyalahgunaan sumber-sumber daya dan pemanfaatan hasil-hasil
perkembangan atau pembangunan untuk "tujuan lain" atau
"dimonopoli" oleh segelintir orang atau kelompok saja, maka terjadi
kekerasan dalam sistem ini. Membiarkan penderitaan, penyakit,
kemiskinan, rasisme atau bencana yang diderita sebagian besar
rakyat bawah, padahal sebenarnya bisa diatasi, adalah kekerasan
struktural. Lebih lanjut, Galtung menyatakan kekerasan struktural
sifatnya statis, memperlihatkan stabilitas tertentu dan tidak tampak.
Tipologi di balik kekerasan struktural adalah ketidaksamaan,
terutama dalam hal distribusi kekuasaan.

Galtung menyebut enam faktor yang mendukung pembagian tidak


egaliter yang selanjutnya disebut sebagai mekanisme kekerasan
struktural, yaitu: urutan kedudukan linear, pola interaksi yang tidak
siklis, korelasi antara kedudukan dan sentralitas, persesuaian
antarsistem, keselarasan antarkedudukan, dan perangkapan yang
tinggi antartingkat. Sistem-sistem sosial akan cenderung
mengembangkan keenam mekanisme ini yang akhirnya
memperbesar ketidaksamaan. Lalu dalam struktur ketidaksamaan
akan terjadi begitu rupa sehingga pelaku yang berkedudukan
paling rendah tidak hanya relatif terhalangi dimensi potensialnya,
tetapi juga sungguh-sungguh berada di bawah dan mutlak berada
dalam kondisi subsistensi yang minimum. Struktur tidak
memungkinkan mereka untuk membangun kekuatan,
mengorganisir dan mewujudkan kekuasaannya berhadapan
dengan "pihak yang kuat". Apa sebabnya? Karena, menurut
Galtung, mereka terpecah belah, kurang integrasi dan kurang
mempunyai kemandirian, dan otonomi yang cukup untuk
menghadapi pihak yang kuat.

Lalu, siapa yang punya kepentingan untuk melakukan kekerasan


struktural? Meskipun sulit untuk menemukan pelaku manusia
konkret, namun marilah dilihat siapakah yang diuntungkan dengan
berkelanjutannya kekerasan struktural. Di dalam negara dimana
kekerasan sudah menjadi bagian dari struktur dan melembaga
sebagai kekuasaan tidak seimbang yang menyebabkan peluang
hidup tidak sama antara mereka yang memiliki akses ke kekuasaan
dengan mereka yang tidak, tentunya mereka yang meraup
keuntungan, baik itu kemenangan politik maupun finansial, yang
berupaya keras agar tidak terjadi perubahan berarti. Ketimpangan
yang merajalela dalam hal sumber daya, pendapatan, kepandaian,
pendidikan, serta wewenang untuk mengambil keputusan
mengenai distribusi sumber daya hendak terus dipertahankan.
Selagi kekuasaan untuk memutuskan hanya dimonopoli oleh
sekelompok orang saja, mereka berupaya untuk mempertahankan
status quo itu sedapat mungkin. Ideologi dan subyektifitas
seringkali menjadi alasan pembenaran atau justifikasi legitimasi
untuk menindak keras pihak yang ingin mengganggu dan mencoba
mengutak-utik status quo. Orde keteraturan diterapkan dan
disokong dari semua lini yang dimiliki negara, merangsek ke
seluruh elemen kehidupan, memiliterisasi sipil sedemikian rupa
sehingga korporatisme negara mengebiri masyarakat.

Orde Baru merupakan perwujudan korporatisme negara yang


sedikit banyak mempraktekkan kekerasan struktural dalam
hubungan negara dengan masyarakat. Perimbangan anggaran
antara daerah-pusat dengan komposisi 30%-70% menimbulkan
kesenjangan. Kebijakan yang Jakarta-sentris itu mengakibatkan
daerah tumbuh sangat perlahan dengan prasarana dan
infrastruktur yang serba minim. Kalimantan Timur merupakan
daerah paling kaya di Asia Tenggara dengan GDP per kapita US$
3.319, namun kemampuan daya beli masyarakatnya atau konsumsi
per kapita hanya 17% terhadap PDRB. Begitu pula Aceh, dengan
GDP per kapita US$ 1.300 dan kontribusi PDRB per kapita Rp
3.765.409, namun kemampuan konsumsi per kapita hanya 12%.
Sementara GDP Jakarta cuma US$1.220, dengan kontribusi PDRB
per kapita Rp 8.871.546, tapi kemampuan konsumsi per kapitanya
mencapai 45%. Ini berarti kehidupan per kapita di Jakarta jauh
lebih makmur ketimbang mereka yang ada di daerah. Baru setelah
Soeharto jatuh, komposisi perimbangan anggaran pusat-daerah
dipertimbangkan kembali.

Begitu pula dengan pembangunan di Indonesia yang justru


melahirkan sejumlah paradoks, antara lain semakin membesarnya
kemiskinan. Struktur dan sistem sosial menekan sedemikian rupa
sehingga lahan kerja bagi mereka yang lemah diartikan tidak
memiliki akses ke kekuasaan berkurang dan tertutup.
Diskriminasi melingkupi kesempatan mendapatkan hak-hak yang
sudah seharusnya diterima oleh masyarakat, entah dia pejabat
ataupun rakyat kere. Birokrasi begitu menekan rakyat kecil dengan
beban-beban biaya pemerintahan termasuk pajak, sementara
mereka yang dekat dengan kekuasaan terbebas dari beban pajak
atau pungutan lainnya. Militerisasi sipil pun merembes, melahirkan
suatu budaya yang menajiskan pluralisme, perbedaan pendapat
dan tuntutan rasa keadilan. Semua ini dirancang para pemegang
kekuasaan untuk mempertahankan status quo yang terlalu banyak
menguntungkan mereka selama ini.

Kekerasan struktural itu akan nampak semakin jelas menjelang


pemilu. Contohnya pemilu 1997 lalu, dari 36 kasus kekerasan yang
terjadi, lebih 41% di antaranya dipicu oleh kekerasan struktural,
terutama sikap oknum aparat yang dinilai kurang adil, seperti dalam
kasus penurunan bendera OPP dan sebagainya. Pada waktu itu
juga, rezim Orde Baru sebagai pemegang kekuasaan kurang adil
dalam mengelola berbagai konflik dan sumber kekuasaan yang
ada. Sikap dan cara penanganan pemerintah terhadap konflik di
tubuh PDI yang condong memihak ke boneka Soerjadi. Begitu
juga aturan kampanye yang dianggap memberatkan OPP tertentu,
termasuk ketidakmampuan para pendukung OPP tertentu
menyelenggarakan kampanye, sementara Golkar dengan leluasa
melakukan "kampanye" selama lima tahun.

Yang justru agak mencemaskan, prospek kekerasan struktural di


masa datang. Para penyokong kekerasan struktural yang dulu ada
di bawah satu komando kini carut-marut, di satu sisi mereka
terancam akan digusur seiring dengan tergusurnya patron mereka,
tapi ada juga yang melawan dengan memainkan kekerasan lebih
vulgar. Orde yang dulu melindungi mereka, ibarat rumah kartu yang
roboh tak lagi mampu menjadi pilar kekuasaan menyebabkan
mereka tersebar. Bagaimana pun juga, hendaknya tetap diingat
potensi kekerasan struktural akan selalu ada, apalagi dalam waktu
dekat ini menjelang pemilihan umum Juni 1999.

Mereka yang kini dekat dengan kekuasaan akan berupaya


menciptakan kebijakan yang sedikit banyak akan melanggengkan
status quo perpanjangan tangan Orde Baru di bawah Dr. Habibie.
Upaya Golkar untuk mempertahankan pegawai negeri sipil sebagai
pejabat atau pengurus parpol merupakan sinyalemen kehendak
untuk menggunakan struktur yang berpihak pada kekuasaan.
Begitu pula dengan kehendak untuk menempatkan sebanyak
mungkin anggota ABRI di dalam DPR di tepian kita lihat
perdebatan seru tentang jumlah anggota ABRI di DPR juga
dalam kerangka serupa. Keberpihakan kebijakan ekonomi oleh
kaum Nasionalis Populis menciptakan diskriminasi dan
kesenjangan sosial yang dalam pandangan Ivan Illich justru
membiarkan, menelantarkan sebagian besar rakyat yang
kekurangan makan, kurang pendidikan, tiadanya sandang dan
papan yang memadai serta kesehatan yang jelek dan mengalihkan
dana pembangunan yang seharusnya lebih ditujukan untuk
memperbaiki kualitas hidup mereka untuk sektor-sektor yang hanya
menguntungkan sekelompok orang.

Demokrasi merupakan satu-satunya yang menjadi tumpuan untuk


mengurangi kekerasan struktural yang menjadi-jadi dan
menggerogoti struktur negara dan perangkatnya. Formula yang
semoga manjur ini hendaknya terlahir dari proses pemilihan umum
yang menelurkan pemerintah yang bersih, jujur dan menghormati
asas hak-hak asasi manusia sepenuhnya. Apabila masyarakat
semakin kuat, dapatlah dipastikan korporatisme negara itu akan
runtuh dengan sendirinya

NeoMarxisme: dari Revolusi Kelas menuju Revolusi Berpikir, opini Lutfi Lb,
techno4

Bagi siapapun yang mencoba mengidealisasi kesadaran kelas proletariat:


Marxisme adalah harapan, mimpi, sekaligus keyakinan penting sekurangnya
selama satu setengah abad. Sesuatu yang semula dikira demikian dahsyat,
namun ternyata -dalam bentuknya yang coba diterjemahkan secara praksis
emansipatoris dalam perubahan sosial- cepat merapuh. Kini, hampir 150 tahun
setelah Marx menggumpalkan optimisme di kepala buruh-buruh miskin dunia
melalui tesis-tesis materialismenya, Marxisme justru berubah menjadi bahan
olok-olok yang konyol dan memalukan: termasuk diubahnya Kantor Partai
Komunis Polandia menjadi bursa saham di Warsawa dan Katowice, atau report
berlebihan pers barat mengenai anak-anak kekurangan gizi di Angola, Kuba,
atau Korea Utara -negeri-negeri yang masih setia pada impian Marx.

Bersamaan bangkrutnya gerakan politik sayap kiri, marxis terkubur dalam


sejarah, dan digantikan kapitalisme yang menggiring manusia pada sikap hidup
pragmatik: kerja yang tak mengedepankan persoalan benar atau tidak menurut
suatu doktrin atau azas, baik atau tidak menurut suatu ajaran atau keyakinan,
namun sepenuhnya berdasarkan hasil dan produktivitas. Konvensi
pengesahannya mutlak terukur menurut performativitas individu, dan -tentu saja-
pasar ! Dalam pelbagai penisbahannya, sesungguhnya yang terjadi sekarang ini
semacam pemborjuisan dunia: sebuah bangunan sosial yang berpilar
rasionalitas seperti yang tertulis dalam buku-buku teks sejarah, ketika borjuasi
Eropa berdasar kekuasaannya atas alat-alat produksi ekonomi -merebut
dominasinya untuk merubah kehidupan di muka bumi sesuai dengan citranya.
Dengan kata lain, modernitas ditahbiskan sebagai pemodelan struktur sosial di
mana rasionalitas semakin berperan, dalam arti bebas dari segala ilusi dan
tradisionalisme, serta meluasnya desakralisasi lingkungan alam dan konstruksi
sosial.
Namun tentu saja tidak semuanya indah dan membebaskan hati semua orang:
rasionalitas yang menopang modernitas borjuasi semacam itu hanyalah
sekedar apa yang disebut Max Weber sebagai Zweckrationaliteit, akal
instrumentalis: sejenis rasionalitas yang hanya berlaku ketika kita harus memilih
cara paling efisien ke arah tujuan yang telah ditentukan lebih dulu. Rasio
semacam inilah yang mengambil peran penting dalam proses efisiensi ekonomik
dan administratif, negara maupun publik. Rasio ini yang juga memaksakan
bangunan sosial yang sistematis, mengatasi segala hiruk-pikuk keyakinan dan
centang-perenangnya pelbagai macam identitas sosial, modus tradisi, dan
pengalaman kultural. Maka lahirlah birokrasi modern, konsep-konsep
perencanaan dan kontrol masyarakat, juga penertiban atas segala imajinasi dan
kehidupan simbolik individu, yang terkadang semakin semrawut.

Pesimisme terhadap rasio instrumentalis yang melembagakan dirinya dalam


pelbagai kategori hidup manusia ini atau yang disebut modernitas, bukan cuma
milik Weber tentunya. Tidak sedikit pemikir dan penyair yang memperdengarkan
duka dan kecewanya, seperti kata-kata sedih Walter Benjamin, Berbicara
tentang kemajuan, kepada dunia yang tenggelam dalam kematian. Kematian !
Kematian manusia yang gagal menjadi subyek otonom, ketika subyek
dimaknai menurut konsepsi subyektivitas yang tidak dialogis, yang merupakan
tematik penting pemikiran barat sejak Rene Descartes: dunia yang dihadirkan
pada subyek adalah sebuah jalan ke arah tujuan yang dikehendakinya, dan
nalarnya dikembangkan dalam kerangka hubungan cara dan tujuan.
Selain Weber dan Jurgen Habermas yang terang-terangan menyerang
modernitas, beberapa puluh tahun belakangan ini, kritik tajam terhadap
modernitas dan kapitalisme datang dari dua filusuf marxis dari Madzhab
Frankfurt yang terkemuka, Teodore W. Adorno dan Max Horkheimer. Ini semua
menempatkan Marxisme sebagai kritik utama terhadap modernisasi yang
nampak di Eropa sejak dua abad lalu, setelah Revolusi industri menemukan
momentumnya pada penemuan mesin uap oleh James Watt. Meski marxis juga
obyektif mengakui, modernisasi membawa perubahan sistem produksi, yaitu
berubahnya cara produksi dan memperkenalkan teknologi.

Namun kembali ke awal tulisan, ini tahun 2000: gerakan politik marxis telah
bangkrut di mana-mana, dunia telah menjadi pikun dengan Karl Marx, orang-
orang lebih menyukai George Soros atau Rupert Murdoch sebagai messias baru.
Mungkin benar kata-kata Herbert Marcuse, Keruntuhan Marxisme mengingatkan
pada kita tentang berakhirnya ideologi, karena, setelah keruntuhan ideologi
pemikiran antitesis kapitalisme itu, proyek emansipasi kemanusiaan apa lagi
yang dapat dihadirkan di sebuah dunia yang masih penuh penghisapan,
kesewenang-wenangan, dan penindasan ini ? Masih bisakah kita memperbaiki
dan membentuk kembali hidup yang adil dengan sepenuhnya berdasar
kesadaran kita sebagai subyek otonom, seraya tetap menyadari bahwa Hidup
itu jauh dari jangkauan teoriku dan teorimu yang tidak becus!, sebagaimana
makian Dr. Zhivago, tokoh novel Boris Pasternak itu ?

Kita tahu apa yang terjadi pada Marxisme, salah satu dari teori yang oleh
Zhivago dianggap tidak becus itu.
Keruntuhan Marxisme dimulai dari kegagalannya mengatasi paradoks
modernitas: bahwa rasionalisasi dalam makna mewabahnya rasionalitas pada
kehidupan, yang dalam Auffklarung (pencerahan) dianggap sebagai kemajuan, di
saat yang sama juga memunculkan apa yang disebut Marx sebagai
verdinglichung, semacam alienasi, yaitu keterasingan yang meluas dan terjadi
dalam masyarakat kapitalis dan ekonomi pasar yang maju. Keterasingan
manusia inilah yang menjadi basis eksploitasi terhadap manusia oleh bangunan
sosial kapitalistik. Exploitation l homme part l homme, eksploitasi manusia
pemilik modal terhadap manusia bukan pemilik modal, eksploitasi kapitalis
terhadap buruh. Marxisme punya optimisme di kepalanya, dan padanya ada
spirit emansipasi yang kuat. Bagi Marx, kita tahu, sebuah masyarakat tak
berkelas akan lahir setelah kapitalisme runtuh dan manusia terbebas dari
keadaan ketika milik, hubungan, dan tindakan manusia yang mandiri dari
manusia, bahkan mengatur hidup manusia, berubah menjadi milik, hubungan,
dan tindakan dari hal-hal yang dihasilkan manusia. Dengan kata lain,
pembebasan manusia dari verdinglichung, atau keterasingan.

Marx meyakini verelendung (keruntuhan) kapitalisme sebagai awal dari


pembebasan manusia dari keterasingan yang diproduksi sistem sosial kapital.
Tepat pada titik keruntuhan itulah para buruh (proletar) akan memimpin revolusi
pekerja untuk merubah secara mendasar struktur sosial kapital, dan
memperjuangkan manusia menjadi subyek-subyek yang otonom. Individu-
individu otonom inilah basis pembentukan masyarakat tanpa kelas: masyarakat
tanpa penghisapan, penindasan, dan eksploitasi terstruktur. Inilah konsepsi
masyarakat proletariat, sebuah masyarakat komunal tanpa kelas dan
penindasan.
Marx meyakini hal ini, namun tidak dengan penerusnya. Dua pemikir Marxis
aliran Frankfurt, Teodore Adorno dan Horkheimer tampil dengan argumentasi
dan kesimpulan yang berbeda dengan Marx secara mendasar. Mereka,
sekaligus merevisi Marx, melihat logika kapital itu dalam dirinya sendiri tidaklah
menuju suatu keruntuhan (verelendung), melainkan membentuk rasio
instrumental dan administratif tertutup. Horkheimer melihat persoalan akal
instrumental dari kapital ini sebagai sesuatu yang melintasi sejarah yang
spesifik. Rasio semacam inilah yang membangun mekanisme yang
menghasilkan keterasingan kesadaran ke dalam dasar antropologis dari sejarah
makhluk hidup, yaitu ke dalam kenyataan bahwa ada kebutuhan makhluk hidup
untuk mereproduksi di alam ini. Tesis ini, sebagaimana juga disepakati
Habermas, menumbuhkan suatu tendensi yang tidak terkait dengan waktu dan
tempat. Suatu tendensi untuk mendominasi manusia lain dan alam, yang
menemukan momentumnya pada saat kapital mencapai taraf lanjut.
Pada tingkatan lebih lanjut, seperti kita ketahui dari sosiologi-kritik, tendensi ini
lantas memproduksi kodrat berpikir yang menghasilkan konsep (regriff), yang
selanjutnya merupakan basis rasionalisasi yang mau atau tidak -segera
menisbahkan berkuasanya zweckrationaliteit, rasio instrumental. Dari sini kita
menjadi jelas, bagaimana kronologi sejarah terbangunnya sosiologi penguasaan
yang sepenuhnya dirasionalkan dan dihabisinya subyek otonom.
Beda dengan Marx yang meyakini revolusi buruh sebagai
Pembebasan manusia....
pembebasan manusia dari kekuasaan kapital, Horkeimer menawarkan sebuah
transformasi sosial: revolusi yang mengarah pada terbebasnya nalar yang
benar, yang emfatik, dalam kehidupan. Orang-orang Frankfurt ini, dengan tetap
mencoba membawa optimisme Marxis, menerangkan jalan keluar dari
belenggu ini dengan melepasbebaskan potensi dalam peradaban manusia
yang selama ini tersembunyi, dengan cara mengubah masyarakat melalui
tindakan menyusupkan rasio instrumental di bawah rasio estetik. Dengan
demikian rasio estetik menjadi basis proses berpikir. Ide tentang nalar yang
benar, yang tidak menyempitkan otonomi manusia, yang emfatik, bagi Adorno
bukan sekedar khayalan belaka.
Dalam suasana revolusi pekerja perlu dikoreksi ulang karena kegagalan
beruntun: dari revolusi proletar di Jerman 1920-1921 sampai bangkrutnya
revolusi Bholsjevik Rusia 1917-1991, dan politik sayap kiri yang lumpuh di mana-
mana, revolusi berpikir model neoMarxian ini mengirim angin segar bagi orang-
orang kiri, untuk menguak lagi optimisme di kepala, setelah mimpi pembebasan
yang terus menguap menjadi bianglala.

Kita mengerti, revolusi buruh bangkrut di mana-mana, karena verelendung,


keruntuhan kapital, tidak kunjung terjadi. Sehingga revolusi proletariat tidak
pernah menemukan peluangnya merubah struktur sosial. Kita ingat kata-kata
frustasi Eduardz Bernstein, filusuf sekaligus pimpinan Sosialis Jerman menjelang
kematiannya di pengasingannya di Thuringen, Kapital tidak tenggelam, kelas
menengah dan borjuis tidak menghilang, dan krisis tidak berkembang terus
menjadi lebih besar. Bernstein, salah satu Sosialis yang pesimis revolusi
proletariat menemukan peluangnya mengubah dunia. Bahkan melewati 1950,
banyak pemikir Marxis, termasuk generasi Sekolah Frankfurt, mulai meletakkan
harapan: bahwa perubahan sosial bukan lagi melalui proletar....
Maka tidak heran jika revolusi berpikir kini menjadi tematik penting wacana
Marxis baru, neoMarxian. Revolusi pemikiran, dalam hubungan dialektiknya yang
sepenuhnya radikal, akan menjadi pemantik revolusi budaya, yang menuju
perubahan struktur sosial secara mendasar. Senyampang itu, revolusi pemikiran
yang mengarah pada tumbuhnya kesadaran subyek-subyek otonom, lebih
memberi harapan dalam mengikis habis feodalisme, mentalitas budak, dan
instrumentalisasi yang bertanggung-jawab menguatkan hegemoni kapital dalam
membentuk bangunan sosial kapitalistik sekarang ini.
Revolusi berpikir, mengembalikan Marxisme sebagai angan-angan yang
terjangkau

Fundamentalisme
dalam Kacamata Seorang Fundamentalis

Judul : Berperang Demi Tuhan; Fundamentalisme dalam Islam, Kristen, dan


Yahudi
Judul Asli : The Battle for God
Penulis : Karen Armstrong
Penerbit : Serambi dan Mizan
Cetakan : I, Agustus 2001
Tebal : xx + 641 halaman

Karen Armstrong merupakan salah seorang pengkaji agama terkemuka asal


Inggris. Setelah mengabdi selama tujuh tahun sebagai biarawati Katolik Roma
yang pada akhirnya gagal menemukan "Tuhan" dalam kesalehan sistem Papal,
Armstrong meninggalkan gereja tahun 1969 dan meneruskan studi di universitas
Oxford. Beberapa karyanya tercatat sebagai best seller versi New York Times. Di
antaranya: The Gospel According to Woman (1987), Holy War (1991),
Muhammad; A Biography of the Prophet (1992), dan A History of God (1993).
The Battle for God (Berperang Demi Tuhan) adalah kelanjutan dari karya
Armstrong sebelumnya: A History of God (Sejarah Tuhan). Kedua karya ini saling
memiliki keterkaitan. Dalam Sejarah Tuhan, Armstrong mencoba
mendeskripsikan usaha pencarian Tuhan oleh para pemeluk agama sawami
selama lebih dari 4.000 tahun. Sedangkan Berperang Demi Tuhan memaparkan
fenomena fundamentalisme dalam tiga agama monoteistik: Kristen, Yahudi, dan
Islam. Penelusuran Armstrong terhadap sejarah ketiga agama besar ini
sepanjang perubahan yang dimulai dari masa pencerahan Eropa (renaissance,
Aufkl rung) menunjukkan bagaimana fundamentalisme pada akhirnya muncul
sebagai reaksi logis yang melawan ide-ide modernisme.
Belakangan ini, banyak sekali peristiwa yang dikaitkan dengan aktifitas gerakan
kelompok fundamentalis. Berbagai media dipenuhi oleh kejadian-kejadian yang
mencerminkan hal tersebut. Pembunuhan perdana menteri Yitzak Rabin, tragedi
11 September di Amerika, bom bunuh diri yang mewarnai konflik Israel-Palestina
adalah contoh dari sekian banyak reaksi berbahaya kelompok fundamentalis
terhadap dunia modern. Meskipun para pelakunya datang dari beragam
kepercayaan, mereka memiliki satu karakteristik umum: over fanatism in
religious faith. Ketaatan yang berlebihan dalam beragama.
Fundamentalisme merupakan salah satu fenomena abad 20 yang paling banyak
dibicarakan. Fundamentalisme selalu muncul di dalam setiap agama besar
dunia. Tidak hanya Kristen dan Islam, fundamentalisme juga terdapat pada
agama Hindu, Budha, Yahudi, Konfusianisme.
Belum ada definisi yang jelas mengenai istilah "fundamentalisme". Pada
mulanya, istilah ini dipakai oleh kaum protestan Amerika awal tahun 1900-an
untuk membedakan diri dari kaum protestan yang lebih liberal. Sajak saat itu,
istilah "fundamentalisme" dipakai secara bebas untuk menyebut gerakan-
gerakan purifikasi (pemurnian ajaran) yang terjadi di berbagai agama dunia.
Kendati demikian, semua gerakan fundamentalisme memiliki pola-pola tertentu.
Fundamentalisme merupakan mekanisme pertahanan (defense mechanism)
yang muncul sebagai reaksi atas krisis yang mengancam (Martin E. Marty dan R.
Scott Appleby, 1991)
***
Karakter utama buku ini adalah klasifikasi Armstrong atas dunia ke dalam dua
dikotomi: mitos-logos dan konservatif-modern.
Manusia mengembangkan dua cara berpikir dan memperoleh pengetahuan.
Dalam buku Devotional Language, Johannes Sloek menyebutnya dengan mitos
dan logos. Mitos adalah pengetahuan yang bersifat mistis, memiliki obyek
abstrak-supralogis, tidak berdasarkan fakta, dan ukuran kebenarannya
ditentukan oleh rasa. Mitos tidak bisa ditunjukkan dengan bukti-bukti rasional.
Sedangkan logos sebaliknya. Ia adalah pemikiran rasional, pragmatis, dan
ilmiah. Logos terkait dengan fakta-fakta dan realitas eksternal sehingga dapat
dibuktikan secara empirik.
Menurut Armstrong, dahulu agama menggunakan kedua elemen, baik mitos
maupun logos untuk menciptakan struktur sosial kehidupan masyarakat yang
lengkap. Mitos dan logos sama-sama penting. Tidak ada yang lebih dominan dari
dua hal yang saling melengkapi ini. Logos ada dalam hukum dan
kepemerintahan, sementara mitos memenuhi tiap sudut relung jiwa manusia.
Kendati demikian, mitos dianggap lebih utama karena berkaitan dengan sesuatu
yang abadi.
Tapi, semenjak renaissance, logos mulai mendominasi mitos. Pencapaian
luarbiasa dalam bidang sains dan teknologi merubah pikiran orang-orang Eropa.
Euforia kesuksesan sains menyingkirkan mitos dan menjadikannya hanya
sebagai takhayul belaka. Pada akhirnya rasionalitas menjadi satu-satunya
sarana mencapai kebenaran.
Dengan kematian mitos, agama menjadi tak bermakna. Dan para agamawan
tenggelam dalam kehampaan spiritualitas. Ruang kosong yang ditinggalkan
mitos melahirkan fundamentalisme yang notabene adalah pemberontakan
"hantu" mitos terhadap agresivitas tanpa kenal batas yang dilakukan logos.
Dikotomi kedua, konservatif versus modern. Kesimpulan menarik diungkapkan
oleh Issa J. Boullata. Menurutnya, kekuatan tradisi, atau "semangat
konservatisme" dalam bahasa Karen Armstrong, berorientasi ke arah masa
lampau dengan mengacu kepada model internal. Kejayaan bagi kaum
konservatif dapat diraih jika mengambil uswatun hasanah (preseden baik) dari
pengalaman terdahulu karena masa lalu memberikan jaminan kesuksesan yang
telah terbukti.
Di lain pihak, kekuatan modernitas yang berorientasi ke arah masa depan,
menggunakan model eksternal sebagai rujukannya. Kemajuan diraih melalui
upaya kreativitas dan progresivitas yang dilandaskan pada nilai-nilai rasional.
***
Kim Allen mencatat, kesalahan paling fatal dari dikotomi Armstrong terletak pada
logika yang ia gunakan. Armstrong menyimpulkan sains sebagai murni logos,
murni modern. Ia memuji orientasi ke depan sains dan penerimaannya akan ide-
ide baru. Pada tahap ini, Armstrong benar. Tapi, hanya seorang peneliti yang
naiflah yang mengabaikan kenyataan bahwa sains memiliki komponen
konservatif yang kuat, yaitu pandangan adanya kebenaran mutlak yang abadi,
tak berubah, dan telah sempurna semenjak awal penciptaan (Kim Allen, 2000).
Sains bersandar kepada aturan-aturan matematis yang kaku dan tidak dapat
diinterpretasikan kembali seiring perjalanan waktu.
Armstrong memaksa sains memainkan peran stereotipikal yang secara diametris
bersifat oposan terhadap agama. Sebelumnya, agama dan sains merupakan dua
komponen utama yang tak terpisahkan dalam kepercayaan masyarakat. Baru
beberapa abad kemudian, orang-orang mulai mengklaim bahwa sains dan
agama bertentanganyang menurut sebagian orang, pernyataan seperti itu
adalah salah kaprah.
Dikotomi Armstrong sendiri menempatkannya pada posisi dilematis. Armstrong
menjelaskan bahwa pencerahan Eropa melatarbelakangi perpindahan
paradigma dari konservatif ke modern sekaligus menghapus mitos dari sistem
sosial masyarakat Barat. Dengan membagi dunia ke dalam dua dikotomi,
Armstrong menghabiskan berlembar-lembar halaman bukunya hanya untuk
"mengeksploitasi" sejarah agar sesuai dengan asumsinya semula. Maka tidak
mengherankan jika penjabaran Armstrong terkesan "terlalu dipaksakan".
Menyingkirkan sebagian besar fakta sejarah dengan tujuan untuk mendukung
pendapatnya tentang dikotomi mitos-logos dan konservatif-modern.
Usaha Armstrong ini justru menunjukkan bahwa dirinya sendiri adalah seorang
fundamentalis. Tidak ada seorang fundamentalis yang tidak tertarik kepada
dikotomi seperti ini. Problemnya bukan pada dunia, melainkan terletak pada
kategorisasi Armstrong. Agama dan sains adalah dua hal yang sangat kompleks.
Meskipun dalam beberapa aspek terdapat perbedaan, keduanya sama-sama
merupakan sesuatu yang terlalu sederhana jika dibandingkan antara satu
dengan yang lainnya.
***
Dalam komentarnya, An Ex-Nun in Search of God; but Biblically Non The
Wisher, profesor Arthur Noble mengkritik sikap tidak fair Armstrong. Pemikiran
Armstrong cenderung bias meskipun telah melepaskan statusnya sebagai
seorang biarawati. Kontribusi terakhirnya dalam perdebatan keagamaan ini,
Berperang Demi Tuhan, justru mendukung image tentang infalibilitas (ke-
mashum-an, kondisi tidak bisa bersalah) Gereja Katolik Roma. Keberhati-
hatiannya ketika menjelaskan bagaimana fundamentalisme berakar dan
berkembang pesat dalam banyak agama besar dunia tidak disertai dengan
usaha mengkritik infalibilitas kelompok fundamentalis Katolik Roma.
Armstrong memang mengutuk kaum fundamentalisme Kristen di Amerika yang
melontarkan makian sangat tajam terhadap Gereja Katolik Roma. Secara
khusus, Ia menyorot gerakan fundamentalisme "televangelis", kelompok puritan,
dan calvinisme, tetapi mengapa ia justru mengabaikan sejarah kelam gerejanya
sendiri dan bahkan melukiskan image tentang almamater-nya itu (Gereja Katolik
Roma) dengan gambaran yang positif sepanjang buku ini.
***
Terlepas dari kekurangan yang terdapat didalamnya, Berperang Demi Tuhan
layak untuk kita apresiasi. Tema besar fundamentalisme yang diusungnya
memakai semangat dan sudut pandang baru. Secara cermat dan brilian, Karen
Armstrong menunjukkan kepada kita bagaimana dan mengapa kelompok-
kelompok fundamentalis muncul dalam berbagai agama dunia, serta apa
sesungguhnya tujuan mereka.
Dengan begitu kita bisa mencoba bersikap lebih obyektif terhadap kaum
fundamentalis. Tidak sekedar melihat mereka sebagai gerakan ortodoksi,
puritan, atau revivalis an sich, melainkan memberi penilaian sebagaimana
Armstrong lakukan. Fundamentalisme ternyata merupakan gerakan yang
kompleks, inovatif, dan modern.
Jakarta, 21 Maret 2002

THE TAO OF PHYSICS

By: Fritjof Capra

PENDAHULUAN EDISI PERTAMA

Lima tahun yang lalu, saya memperoleh suatu pengalaman indah yang
mendorong
saya menempuh suatu jalan yang akhirnya membawa saya kepada penulisan
buku
ini. Saya tengah duduk di tepi laut pada suatu petang menjelang musim
gugur, memandang gelombang yang datang bergulung-gulung dan merasakan
irama
nafas saya, ketika tiba-tiba saya menyadari seluruh lingkungan saya
seolah-olah terlibat dalam suatu tarian kosmik raksasa. Sebagai seorang
ilmuwan fisika, saya tahu bahwa pasir, batu karang, air, dan udara di
sekitar saya terdiri dari molekul-molekul dan atom-atom yang bergetar, dan
atom-atom ini terdiri partikel-partikel yang saling berinteraksi satu sama
lain dengan jalan menciptakan dan memusnahkan partikel-partikel lain. Saya
juga tahu bahwa atmosfir bumi terus-menerus dihujani oleh 'sinar-sinar
kosmik', yakni partikel-partikel berenergi tinggi yang mengalami tabrakan
berkali-kali sementara mereka menerobos masuk ke udara. Semua ini saya
akrabi dalam riset saya di bidang fisika energi-tinggi, tetapi sampai saat
itu saya hanya mengalaminya melalui grafik-grafik, diagram-diagram, dan
teori-teori matematis. Selagi saya duduk di pantai, pengalaman-pengalaman
saya di masa lampau itu menjadi hidup. Saya "melihat" curahan energi
menerpa dari angkasa luar, yang di situ partikel-partikel tercipta dan
musnah dalam pulsa-pulsa yang ritmik. Saya "melihat" atom-atom dari
unsur-unsur kimia dan atom-atom dari tubuh saya berpartisipasi dalam tarian
energi kosmik ini. Saya merasakan iramanya dan saya "mendengar" suaranya,
dan seketika itu saya _sadar_ bahwa inilah Tarian Syiwa, Dewa Para Penari,
yang dipuja oleh orang Hindu.

Saya menerima pendidikan yang lama di bidang fisika teoretis, dan telah
melakukan riset selama beberapa tahun. Pada saat yang sama, saya tertarik
kepada mistisisme Timur, dan mulai melihat berbagai keparalelan dengan
fisika modern. Khususnya saya tertarik kepada aspek-aspek Zen yang penuh
teka-teki, yang mengingatkan saya akan teka-teki dari teori kuantum. Namun,
pada mulanya, menghubungkan kedua hal itu merupakan kegiatan intelektual
semata-mata. Upaya menjembatani jurang antara pemikiran rasional dan
analitis dengan pengalaman meditatif akan kebenaran mistis adalah terlalu
sukar bagi saya, sampai sekarang pun.

Pada mulanya, saya dibantu dalam perjalanan saya oleh "pusat-pusat


kekuatan" ["power plants" -- kelompok-kelompok yang merintis jalan di
bidang meditasi di AS/hh], yang menunjukkan kepada saya bagaimana
pikiran/batin ini dapat mengalir secara bebas; bagaimana
pemahaman-pemahaman spiritual [spiritual insights] dapat timbul sendiri,
tanpa usaha apa pun, muncul dari lubuk kesadaran. Saya ingat pengalaman
pertama saya seperti itu. Karena muncul setelah bertahun-tahun berpikir
secara analitis, pengalaman itu terasa begitu melanda sehingga air mata
saya bercucuran, dan tidak berbeda dengan Carlos Castaneda, pada saat yang
sama mencurahkan segala kesan yang saya alami pada sehelai kertas.

Belakangan datanglah pengalaman Tarian Syiwa itu, yang saya coba tangkap
dalam fotomontase pada Gambar 7. Pengalaman itu diikuti oleh banyak
pengalaman lain yang mirip, yang membantu saya berangsur-angsur menyadari
bahwa suatu pandangan yang konsisten tentang alam semesta kini tengah
muncul dari fisika modern, yang selaras dengan kearifan kuno dari Timur.
Saya membuat banyak catatan selama bertahun-tahun, dan menulis beberapa
makalah tentang berbagai keparalelan yang terus-menerus saya temukan,
sampai akhirnya saya merangkum dan meringkas pengalaman-pengalaman
saya itu
dalam buku ini.

Buku ini dimaksudkan untuk sidang pembaca umum yang berminat pada
mistisisme Timur dan tidak perlu memiliki pengetahuan tentang fisika. Saya
berupaya menyajikan konsep-konsep dan teori-teori pokok dari fisika modern
tanpa menggunakan matematika dan dalam bahasa nonteknis, sekalipun
beberapa
paragraf mungkin masih dirasakan sukar bagi orang awam ketika membacanya
pertama kali. Istilah-istilah teknis yang mau tidak mau harus saya gunakan
semuanya didefinisikan ketika pertama kali muncul, dan didaftarkan dalam
indeks pada akhir buku ini.

Saya juga berharap menemukan di antara pembaca saya banyak ilmuwan fisika
yang berminat pada aspek-aspek filosofis fisika, yang belum pernah kontak
dengan filsafat keagamaan dari Timur. Mereka akan menemukan, bahwa
mistisisme Timur memberikan kerangka filosofis yang konsisten dan indah
yang dapat mengakomodasikan teori-teori kita yang paling canggih di dunia
fisika.

Tentang isi buku ini sendiri, pembaca mungkin merasakan kurangnya


keseimbangan antara penyajian pemikiran ilmiah dan pemikiran mistik. Dengan
membaca seluruh buku ini, pemahaman pembaca akan fisika akan terus
meningkat, tetapi peningkatan pemahaman akan mistisisme Timur yang
sebanding dengan itu mungkin tidak terjadi. Ini tampaknya tidak dapat
dihindarkan, karena bagaimana pun juga mistisisme adalah suatu pengalaman
yang tidak bisa dipelajari dari buku-buku. Suatu pemahaman yang lebih dalam
akan tradisi mistik apa pun hanya dapat dirasakan apabila orang memutuskan
untuk terlibat secara aktif di dalamnya. Yang bisa saya harapkan adalah
menimbulkan perasaan bahwa keterlibatan seperti itu akan sangat bermanfaat.

Selama penulisan buku ini, pemahaman saya sendiri akan pemikiran Timur
bertambah dalam cukup banyak. Untuk itu saya berhutang budi kepada dua
orang yang datang dari Timur. Saya sangat berterima kasih kepada Phiroz
Mehta, yang membuka mata saya terhadap banyak aspek dari mistisisme India,
dan kepada guru T'ai Chi saya, Liu Hsiu Ch'i, yang telah memperkenalkan
saya kepada Taoisme yang hidup.

Fritjof Capra London, Desember 1974.

PENDAHULUAN EDISI KEDUA


Buku ini pertama kali diterbitkan tujuh tahun lalu, dan ia bermula dari
suatu pengalaman yang diuraikan dalam Pendahuluan Edisi Pertama, dan yang
sudah terjadi lebih dari sepuluh tahun silam. Oleh karena itu, tampaknya
sudah tepat kalau saya sekarang menyampaikan beberapa patah kata kepada
pembaca edisi baru ini tentang banyak hal yang terjadi selama tahun-tahun
itu -- terhadap buku ini, terhadap ilmu fisika, dan terhadap diri saya.

Ketika saya menemukan berbagai keparalelan antara pandangan dunia para


ilmuwan fisika dan para ahli mistik, yang pernah disinggung orang sepintas
lalu tetapi belum pernah dijelajahi secara menyeluruh, saya mempunyai
perasaan kuat bahwa saya sekadar menyingkapkan sesuatu yang sudah
gamblang
dan akan menjadi pengetahuan umum di masa depan; dan kadang-kadang,
selagi
menulis *The Tao of Physics*, saya bahkan merasa buku itu ditulis melalui
saya, dan bukan oleh saya. Peristiwa-peristiwa yang terjadi kemudian telah
membenarkan perasaan ini. Buku ini diterima dengan penuh semangat di
Inggris dan Amerika Serikat. Sekalipun hanya dipromosikan dan diiklankan
sekadarnya, ia cepat menyebar dari mulut ke mulut, dan sekarang dapat
diperoleh, atau tengah diterbitkan, dalam selusin edisi di seluruh dunia.

Reaksi dari kalangan ilmuwan dapat diperkirakan lebih berhati-hati; tetapi


di sana pun, minat terhadap implikasi-implikasi lebih luas dari ilmu fisika
abad ke-20 mulai meningkat. Keengganan para ilmuwan modern untuk
menerima
kemiripan yang mendalam di antara konsep-konsep mereka dengan konsep-
konsep
para ahli mistik tidaklah mengherankan, oleh karena mistisisme --
setidak-tidaknya di Barat -- secara salah telah dikaitkan dengan hal-hal
yang kabur, misterius, dan sangat tidak ilmiah. Syukurlah, sikap ini
sekarang tengah berubah. Sementara pemikiran-pemikiran Timur mulai diminati
oleh semakin banyak orang, dan meditasi tidak lagi dicemoohkan atau
dicurigai, mistisisme dikaji secara serius bahkan di kalangan para ilmuwan.

Keberhasilan buku *The Tao of Physics* memberikan dampak yang kuat dalam
hidup saya. Selama tahun-tahun terakhir, saya banyak bepergian, berbicara
di forum para profesional dan kaum awam, dan mendiskusikan
implikasi-implikasi dari "ilmu fisika baru" bersama banyak orang, pria dan
wanita, dari segala lapisan masyarakat. Diskusi-diskusi ini amat banyak
membantu saya memahami konteks budaya yang lebih luas dari minat kuat
terhadap mistisisme Timur yang muncul di Barat selama dua puluh tahun
terakhir. Saya sekarang melihat minat ini sebagai bagian dari suatu 'trend'
yang jauh lebih besar, yang berupaya menyeimbangkan kembali
ketidakseimbangan yang mendalam dalam budaya kita -- dalam pemikiran dan
perasaan kita, dalam tata nilai dan sikap kita, dan dalam struktur sosial
dan politik kita. Saya mendapati istilah Cina 'yin' dan 'yang' sangat
bermanfaat untuk menggambarkan ketidakseimbangan kultural ini. Budaya kita
secara konsisten telah mengutamakan tata nilai dan sikap 'yang', yang
maskulin, dan mengabaikan pasangan-pasangan pelengkapnya 'yin', yang
feminin.

Kita mengutamakan penonjolan diri [self-assertion] di atas kebersamaan


[integration], analisis di atas sintesis, pengetahuan rasional di atas
kearifan intuitif, sains di atas agama, kompetisi di atas kerja sama,
ekspansi di atas konservasi, dan seterusnya. Perkembangan yang berat
sebelah ini sekarang telah mencapai tahap yang sangat mengkhawatirkan:
suatu krisis yang berdimensi sosial, ekologis, moral dan spiritual.

Namun demikian, pada saat yang sama, kita tengah menyaksikan awal dari
suatu gerakan evolusioner mahabesar, yang tampaknya menggambarkan
pepatah
Cina kuno, bahwa "'yang', setelah mencapai puncaknya, akan mundur dan
memberi jalan kepada 'yin'." Dasawarsa 1960-an dan 1970-an telah
menghasilkan serangkaian gerakan sosial yang semuanya tampak berjalan
menuju arah yang sama. Keprihatinan yang meningkat mengenai ekologi, minat
kuat terhadap mistisisme, tumbuhnya kesadaran feminisme, dan penemuan
kembali pendekatan holistik terhadap kesehatan dan penyembuhan, semuanya
adalah manifestasi dari 'trend' evolusioner itu. Mereka semuanya
mengimbangi penekanan berlebihan pada tata nilai dan sikap yang rasional
dan maskulin, dan mencoba memperoleh kembali keseimbangan antara sisi
maskulin dan sisi feminin dari kemanusiaan. Dengan demikian, kesadaran akan
keselarasan yang mendalam antara pandangan-dunia ilmu fisika modern dengan
pandangan-pandangan mistisisme Timur sekarang tampak sebagai bagian
integral dari transformasi budaya yang jauh lebih besar, yang akan
melahirkan suatu visi baru dari realitas, yang menuntut perubahan
fundamental dalam pikiran, persepsi dan tata nilai kita. Dalam buku saya
yang kedua, *The Turning Point*, saya telah menjelajahi berbagai aspek dan
implikasi dari transformasi budaya ini.

Kenyataan bahwa perubahan-perubahan dalam sistem tata nilai kita yang


tengah terjadi pada dewasa ini akan banyak mempengaruhi sains kita mungkin
tampak mengejutkan bagi mereka yang percaya bahwa sains adalah objektif dan
bebas-nilai. Namun, bagaimana pun juga, itu adalah salah satu implikasi
penting dari ilmu fisika baru. Sumbangan Heisenberg kepada teori kuantum,
yang saya bahas secara sangat mendetail dalam buku ini, dengan jelas
mengimplikasikan bahwa ideal klasik akan suatu objektivitas ilmiah tidak
dapat dipertahankan lagi, dan dengan demikian ilmu fisika modern juga
mempertanyakan mitos tentang sains yang bebas-nilai. Pola-pola yang diamati
oleh para ilmuwan di dalam alam semesta secara intim terkait dengan dengan
pola-pola dari jiwa mereka sendiri -- dengan konsep-konsep, pikiran-pikiran
dan nilai-nilai mereka. Dengan demikian, hasil ilmiah yang mereka peroleh
dan penerapan teknologis yang mereka teliti akan terkondisikan oleh
kerangka pikiran mereka sendiri. Sekalipun banyak dari riset-riset mereka
yang terperinci tidak bergantung secara eksplisit pada tata nilai mereka,
namun kerangka dasar yang di dalamnya riset itu dilakukan tidak pernah
bebas-nilai. Oleh karena itu, para ilmuwan bertanggung jawab atas
riset-riset mereka bukan saja secara intelektual, tetapi juga secara moral.

Dari sudut pandang ini, kaitan antara ilmu fisika dengan mistisisme bukan
saja sangat menarik, tetapi juga sangat penting. Hal itu memperlihatkan
bahwa hasil-hasil ilmu fisika modern telah membuka jalan yang bercabang
menjadi dua jalan yang sangat berbeda yang dapat ditempuh oleh para
ilmuwan. Jalan-jalan itu dapat membawa kita kepada -- dengan menggunakan
dua istilah ekstrem -- Buddha atau Bom [nuklir], dan terserah kepada
masing-masing ilmuwan untuk memilih jalan mana yang akan ditempuhnya.
Saya
melihat, bahwa ketika hampir separuh jumlah ilmuwan dan insinyur bekerja
untuk militer, menghamburkan sejumlah besar potensi kreativitas dan
ingenuitas manusia untuk membuat alat-alat penghancur massal yang makin
canggih, jalan Buddha, "jalan yang mempunyai hati", harus terus-menerus
ditekankan.

Edisi kedua dari buku ini telah diperbarui dengan memasukkan hasil-hasil
riset terbaru di bidang fisika subatomik. Saya telah melakukannya dengan
sedikit mengubah bagian-bagian tertentu dari teks agar lebih konsisten
dengan hasil riset terbaru, dan dengan menambahkan bagian baru pada akhir
buku ini, "Ilmu Fisika Baru Ditinjau Ulang", yang di situ
perkembangan-perkembangan baru yang paling penting di bidang fisika
subatomik diuraikan secara lebih mendetail. Saya merasa sangat bersyukur
bahwa tidak satu pun dari perkembangan-perkembangan terbaru ini
membatalkan
apa yang saya tulis tujuh tahun lalu. Sesungguhnya, malah kebanyakan dari
hasil-hasil terbaru itu telah diantisipasi dalam edisi pertama. Ini telah
memperkuat lagi keyakinan saya yang telah memotivasi saya untuk menulis
buku ini -- bahwa tema-tema dasar yang saya gunakan dalam pembandingan
ilmu
fisika dan mistisisme akan diperkuat, bukan dibatalkan, oleh riset-riset di
masa depan.

Selanjutnya, sekarang saya merasa berdiri di tanah yang lebih kokoh dengan
tesis saya, oleh karena keparalelan-keparalelan dengan mistisisme Timur itu
bermunculan bukan hanya di bidang ilmu fisika, tetapi juga di bidang
biologi, psikologi dan sains-sains yang lain. Di dalam mengkaji hubungan
antara fisika dengan sains-sains itu, saya mendapati bahwa perluasan yang
alamiah dari konsep-konsep fisika modern kepada cabang-cabang sains yang
lain disediakan oleh kerangka teori sistem. Pengkajian konsep-konsep sistem
dalam biologi, kedokteran, psikologi, dan ilmu-ilmu sosial, yang telah saya
lakukan dalam buku *The Turning Point*, telah memperlihatkan kepada saya
bahwa pendekatan sistem sangat memperkuat keparalelan antara fisika modern
dengan mistisisme Timur. Sebagai tambahan, ilmu-ilmu biologi sistem dan
psikologi sistem yang baru memperlihatkan kemiripan-kemiripan lain dengan
pemikiran mistik yang terletak di luar lingkup ilmu fisika. Hal-hal yang
dibicarakan dalam buku kedua saya mencakup ide-ide tertentu tentang
kehendak bebas, kematian dan kelahiran, hakikat kehidupan, jiwa, kesadaran,
dan evolusi. Keselarasan yang mendalam di antara konsep-konsep ini,
sebagaimana dikemukakan dalam bahasa sistem, dengan ide-ide yang paralel
dalam mistisisme Timur, adalah petunjuk yang mengesankan akan klaim saya,
bahwa filsafat tradisi mistik, yang juga dikenal dengan nama 'filsafat
perenial', memberikan latar belakang filosofis yang paling konsisten bagi
teori-teori ilmiah modern kita.

Fritjof Capra Berkeley, Juni 1982.

Bagian I: JALAN ILMU FISIKA


Bab 1: FISIKA MODERN: SEBUAH JALAN DENGAN HATI?

Setiap jalan hanyalah jalan, dan bukanlah suatu penghinaan -- terhadap diri
sendiri atau orang lain -- bila jalan itu ditinggalkan, jika itulah yang
dikatakan oleh hatimu ... Pandanglah setiap jalan dengan teliti dan penuh
perhatian. Cobalah sebanyak kaurasa perlu. Lalu tanyalah dirimu sendiri,
dan dirimu semata-mata, satu pertanyaan. ... Apakah jalan ini mempunyai
hati? Jika ya, jalan ini bagus; jika tidak, jalan ini tidak ada gunanya.
[Carlos Castaneda, *The Teachings of Don Juan*]

Ilmu fisika modern telah memberikan pengaruh mendalam pada hampir semua
aspek masyarakat manusia. Ia menjadi dasar sains alamiah; dan paduan sains
alamiah dan sains teknis telah mengubah secara fundamental lingkungan hidup
di bumi kita, baik secara menguntungkan maupun merugikan. Pada dewasa ini,
hampir tidak ada industri yang tidak menggunakan hasil-hasil dari fisika
atom, dan pengaruhnya terhadap struktur politik dunia melalui penerapan
dalam persenjataan nuklir sudah diketahui luas. Namun, pengaruh ilmu fisika
modern jauh melampaui sekadar teknologi. Ia meluas merambah alam pikiran
dan budaya, yang di situ ia memimpin suatu revisi mendalam dalam konsep
kita tentang alam semesta serta hubungan kita dengannya. Penjelajahan dunia
atomik dan subatomik pada abad ke-20 telah mengungkapkan suatu
keterbatasan
yang tak terduga dari ide-ide klasik, dan mengharuskan revisi radikal
terhadap banyak konsep-konsep dasar kita. Misalnya, konsep tentang materi
dalam ilmu fisika subatomik sama sekali lain daripada ide tradisional
tentang substansi material dalam ilmu fisika klasik. Begitu pula untuk
konsep-konsep seperti ruang, waktu, atau sebab dan akibat. Karena
konsep-konsep ini adalah fundamental bagi pandangan kita mengenai alam di
sekitar kita, maka dengan perubahan radikal itu seluruh pandangan-dunia
kita mulai berubah.

Perubahan-perubahan ini, yang ditimbulkan oleh ilmu fisika modern, telah


dibahas secara luas oleh para ilmuwan fisika dan para filsuf selama
beberapa dasawarsa terakhir. Tetapi sangat jarang disadari bahwa semua
perubahan itu membawa kita ke arah yang sama, yakni menuju suatu
pandangan-dunia yang amat mirip dengan pandangan-pandangan yang dianut
dalam mistisisme Timur. Konsep-konsep ilmu fisika modern sering kali
memperlihatkan keparalelan-keparalelan dengan ide-ide yang diungkapkan
dalam filsafat-filsafat religius dari Timur Jauh. Sekalipun berbagai
keparalelan ini masih belum didiskusikan secara meluas, hal itu telah
dilihat oleh sementara ilmuwan fisika yang besar dari abad kita, ketika
mereka kontak dengan budaya Timur Jauh dalam perjalanan ceramah mereka
ke
India, Cina, dan Jepang. Tiga kutipan berikut merupakan contoh:

Ide-ide umum tentang pemahaman manusia ... yang digambarkan dengan


temuan-temuan di bidang ilmu fisika atomik bukanlah hal-hal yang sama
sekali tidak dikenal, tidak pernah terdengar, atau sesuatu yang baru.
Bahkan di dalam budaya kita sendiri hal-hal itu dapat kita temukan dalam
sejarah, dan di dalam pemikiran Buddhis dan Hindu, hal-hal itu memiliki
tempat yang lebih penting dan sentral. Yang akan kita temukan adalah
contoh, dorongan dan penghalusan dari kearifan tua. [Julius Robert
Oppenheimer]

Untuk mencari keparalelan dengan pelajaran dari teori atomik ... [kita
harus berpaling] kepada problem epistemologis yang telah dihadapi oleh para
perenung seperti Buddha dan Lao Tzu, ketika berupaya menyelaraskan
kedudukan kita sebagai penonton dan pelaku dalam drama besar eksistensi.
[Niels Bohr]

Sumbangan ilmiah besar di bidang ilmu fisika teoretis yang datang dari
Jepang sejak perang terakhir dapat menjadi petunjuk akan adanya hubungan
tertentu antara ide-ide filosofis dalam tradisi Timur Jauh dengan isi
filosofis dari teori kuantum. [Werner Heisenberg]

Tujuan buku ini adalah untuk menjelajahi konsep-konsep ilmu fisika modern
dengan ide-ide dasar dari tradisi-tradisi filosofis dan religius dari Timur
Jauh. Kita akan melihat bagaimana kedua landasan ilmu fisika abad ke-20 --
yakni teori kuantum dan teori relativitas -- kedua-duanya memaksa kita
melihat alam semesta dengan cara yang banyak persamaannya dengan yang
dilihat oleh seorang Hindu, Buddhis atau Taois, dan bagaimana kemiripan ini
semakin kuat ketika kita menyimak upaya-upaya terakhir untuk memadukan
kedua teori tersebut untuk menjelaskan fenomena di alam subatomik: yakni
sifat-sifat dan interaksi-interaksi di antara partikel-partikel subatomik
yang membentuk segenap materi di alam semesta. Di sini keparalelan antara
ilmu fisika modern dan mistisisme Timur paling menonjol, dan kita akan
sering bertemu dengan pernyataan-pernyataan yang hampir mustahil dibedakan
apakah dilontarkan oleh para ilmuwan fisika atau oleh para ahli mistik
Timur.

Kalau saya mengacu pada "mistisisme Timur", yang saya maksudkan adalah
filsafat-filsafat religius dari Hinduisme, Buddhisme dan Taoisme. Sekalipun
mereka ini terdiri dari banyak sekali disiplin spiritual dan sistem
filosofis yang jalin-menjalin secara halus, corak-corak dasar dari
pandangan-dunia mereka sama. Pandangan ini tidak terbatas pada dunia Timur,
melainkan dapat pula ditemukan sampai taraf tertentu di dalam semua
filsafat yang berorientasi mistik. Jadi argumen buku ini dapat dirumuskan
secara lebih umum dengan mengatakan bahwa ilmu fisika modern membawa
kita
pada suatu pandangan-dunia yang amat mirip dengan pandangan-pandangan
yang
dianut oleh para ahli mistik dari segala zaman dan tradisi. Tradisi mistik
terdapat di dalam semua agama, dan unsur-unsur mistis dapat ditemukan di
dalam banyak aliran filsafat Barat. Berbagai keparalelan dengan ilmu fisika
modern terdapat bukan hanya didalam 'Weda-Weda' Hinduisme, di dalam *I
Ching*, atau di dalam 'sutra-sutra' Buddhis, tetapi juga di dalam
penggalan-penggalan Heraklitus, di dalam Sufisme Ibn Arabi, atau di dalam
ajaran-ajaran dukun suku Yaqui, Don Juan. Perbedaan antara mistisisme Timur
dan Barat adalah bahwa di Barat aliran-aliran mistik selalu berada di
pinggiran, sedangkan aliran mistik merupakan 'arus pokok' dalam pemikiran
filsafat dan religius Timur. Oleh karena itu, demi penyederhanaan, saya
akan berbicara tentang "pandangan-dunia Timur" dan hanya kadang-kadang
saja
menyebutkan sumber-sumber lain dari pemikiran mistik.

Jika pada dewasa ini ilmu fisika membawa kita pada pandangan-dunia yang
pada dasarnya bersifat mistis, maka dapat dikatakan ilmu fisika kembali
kepada asal mulanya, 2.500 tahun lalu. Menarik untuk mengikuti perkembangan
sains Barat melalui jalannya yang berputar seperti spiral, mulai dari
filsafat mistik orang Yunani kuno, muncul dan terbuka dalam perkembangan
pemikiran intelektual yang mengesankan, yang makin lama makin berpaling
dari sumber mistiknya, dan mengembangkan suatu pandangan-dunia yang
bertentangan secara tajam dari pandangan Timur Jauh. Dalam berbagai
perkembangan yang paling baru, sains Barat akhirnya mengatasi
pandangan-dunia ini dan kembali kepada pandangan Yuhani kuno dan
filsafat-filsafat Timur. Namun, kali ini pandangan ini bukan hanya
didasarkan pada intuisi, tetapi juga pada eksperimen yang mempunyai
ketelitian dan kecanggihan tinggi, dan pada formulasi matematis yang ketat
dan konsisten.

Akar dari ilmu fisika, sebagaimana juga semua sains Barat, ditemukan dalam
periode pertama filsafat Yunani pada abad ke-6 SM, dalam suatu budaya yang
di situ sains, filsafat dan agama tidak terpisah. Para orang arif dari
aliran Milesia di Ionia tidak membuat pembedaan seperti itu. Tujuan mereka
adalah menemukan hakikat esensial, atau pembentuk nyata, dari hal-hal yang
mereka sebut "physis". Istilah "fisika" berasal dari kata Yunani ini, dan
oleh karena itu pada mulanya berarti upaya untuk melihat hakihat esensial
dari segala sesuatu.

Sudah tentu, ini juga tujuan sentral dari semua ahli mistik, dan filsafat
aliran Milesia memang memiliki nuansa mistik yang kental. Kaum Milesia
dinamakan oleh orang Yunani belakangan "hylozoit", atau "orang yang
menganggap materi hidup", oleh karena mereka tidak membedakan antara
benda
hidup dan benda mati, roh dan jasad. Sesungguhnya, mereka tidak punya
istilah untuk materi, oleh karena mereka melihat segala wujud eksistensi
sebagai manifestasi "physis", yang memiliki kehidupan dan spiritualitas.
Demikianlah Thales menyatakan bahwa segala sesuatu penuh dengan dewa,
dan
Anaksimander melihat alam semesta sebagai semacam organisme yang
didukung
oleh "pneuma", nafas kosmik, dengan cara sama seperti tubuh manusia
didukung oleh udara.

Pandangan monistik dan organik dari kaum Milesia ini amat dekat dengan
filsafat India dan Cina kuno, dan berbagai keparalelan dengan pemikiran
Timur semakin kuat dalam filsafat Heraklitus dari Efesus. Heraklitus
percaya akan alam semesta yang terus-menerus berubah, proses 'Becoming'
[menjadi] yang abadi. Bagi dia, semua 'Being' [keberadaan] yang statis
disebabkan oleh cara pandang yang keliru, dan prinsip universalnya adalah
api; simbol dari aliran dan perubahan terus-menerus dari segala sesuatu.
Heraklitus mengajarkan bahwa segala perubahan di alam semesta terjadi oleh
saling interaksi secara dinamis dan siklis dari pasangan-pasangan yang
saling bertentangan, dan ia melihat setiap pasangan hal-hal yang berlawanan
sebagai kesatuan. Kesatuan ini, yang meliputi dan mentransendensikan semua
kekuatan yang bertentangan, dinamakannya Logos.

Pecahnya kesatuan ini mulai dengan aliran Elea, yang menganggap ada suatu
Prinsip Ilahi yang berdiri di atas semua dewa dan manusia. Prinsip ini
mula-mula diidentifikasikan dengan kesatuan alam semesta, tetapi belakangan
dilihat sebagai Tuhan yang berpribadi dan mempunyai kecerdasan yang berdiri
di atas alam semesta dan mengaturnya. Dengan demikian mulailah suatu
'trend' pemikiran yang pada akhirnya membawa pada pemisahan roh dan jasad
dan pada dualisme yang khas dalam filsafat Barat.

Suatu langkah drastis ke arah ini diambil oleh Parmenides dari Elea, yang
sangat menentang Heraklitus. Ia menamakan prinsip dasarnya 'Being' [Ada],
dan menganggap prinsip itu unik dan tak berubah. Dia menganggap tidak
mungkin ada perubahan, dan menganggap perubahan yang kita lihat di alam
semesta sebagai sekadar ilusi pancaindra. Konsep tentang suatu substansi
yang tak mungkin musnah sebagai subjek yang memiliki berbagai sifat muncul
dari filsafat ini dan menjadi salah satu konsep dasar pemikiran Barat.

Pada abad ke-5 SM, para filsuf Yunani mencoba mengatasi kontras yang tajam
antara pandangan Parmenides dan Heraklitus. Untuk memadukan ide tentang
"Ada" [Being] yang tak berubah (dari Parmenides) dengan ide tentang "Proses
Menjadi" [Becoming] yang abadi (dari Heraklitus), mereka menganggap bahwa
'Being' itu terwujud dalam zat-zat tertentu yang tak berubah, yang
pencampurannya dan pemisahannya menimbulkan perubahan di alam semesta.
Ini
membawa pada konsep tentang atom, yakni unit materi terkecil yang tak dapat
dibagi lagi, yang paling jelas diuraikan di dalam filsafat Lesipus dan
Demokritus. Para atomis [penganut faham atom] di Yunani menarik garis tegas
antara roh dan materi, sedangkan materi dianggap terbentuk dari beberapa
"batu dasar". Batu-batu pembentuk ini sepenuhnya pasif dan merupakan
partikel-partikel mati yang bergerak di ruang hampa. Penyebab gerakan
mereka tidak dijelaskan, tetapi sering dikaitkan dengan kekuatan-kekuatan
luar yang dianggap bersifat spiritual dan secara fundamental berbeda dari
materi. Pada abad-abad berikutnya, gambaran ini menjadi unsur dasar dari
pemikiran Barat, dari dualisme antara jiwa dan jasad, antara tubuh dan roh.

Setelah ide tentang pemisahan roh dan materi itu berakar, kaum filsuf
memalingkan perhatian mereka kepada dunia spiritual, bukan dunia material,
kepada roh manusia dan masalah-masalah etika. Masalah-masalah ini
memenuhi
pemikiran Barat selama lebih dari 2000 tahun sejak puncak sains dan budaya
Yunani pada abad 5 - 4 SM. Pengetahuan ilmiah di zaman kuno
disistematisasikan dan disusun oleh Aristoteles, yang menciptakan skema
yang akan menjadi dasar pandangan-dunia Barat selama dua ribu tahun. Tetapi
Aristoteles sendiri berpendapat bahwa masalah-masalah yang menyangkut roh
manusia dan perenungan terhadap kesempurnaan Tuhan jauh lebih penting
daripada penyelidikan alam material. Alasan yang menyebabkan model alam
semesta dari Aristoteles ini tetap tak tersaingi begitu lama adalah justru
karena tidak adanya minat pada alam material, serta cengkeraman kuat dari
gereja Kristen yang mendukung ajaran-ajaran Aristoteles sepanjang Zaman
Pertengahan.

Perkembangan sains Barat lebih lanjut harus menunggu sampai zaman


Renaisans, ketika manusia mulai membebaskan diri dari pengaruh Aristoteles
serta gereja dan menunjukkan minat baru terhadap alam. Menjelang akhir abad
ke-15, penyelidikan alam dilakukan untuk pertama kali dengan semangat yang
benar-benar ilmiah, dan eksperimen-eksperimen dilakukan untuk menguji
ide-ide spekulatif. Galileo adalah orang pertama yang memadukan pengetahuan
empiris dengan matematika, dan oleh karena itu dianggap sebagai bapak sains
modern.

Lahirnya sains modern didahului dan disertai perkembangan pemikiran


fisolofis yang membawa pada rumusan ekstrem tentang dualisme roh/materi.
Rumusan ini muncul pada abad ke-17 di dalam filsafat Rene Descartes, yang
mendasarkan pandangan-dunianya pada pembagian mendasar dari alam
semesta
menjadi dua alam yang terpisah dan independen: alam jiwa ('res cogitans')
dan alam materi ('res extensa'). Pembagian "Cartesian" [mengikuti
Descartes] ini memungkinkan para ilmuwan untuk memperlakukan materi
sebagai
benda mati dan terpisah sama sekali dari diri mereka [pengamat], dan
melihat alam material ini sebagai kumpulan banyak objek berbeda yang
tersusun menjadi suatu mesin raksasa. Pandangan-dunia yang mekanistik
seperti itu dianut oleh Isaac Newton, yang menyusun ilmu mekanikanya atas
dasar ini dan menjadikannya landasan dari ilmu fisika klasik. Sejak paruh
kedua abad ke-17 hingga akhir abad ke-19, model alam semesta mekanistik
dari Newton ini mendominasi semua pemikiran ilmiah. Pandangan ini
didampingi citra tentang suatu Tuhan bersifat monarkis yang memerintah
dunia dari langit dengan memberlakukan hukum-hukum ilahi terhadap dunia.
Dengan demikian, hukum-hukum alam fundamental yang dicari oleh para
ilmuwan
dilihat sebagai hukum-hukum Tuhan, yang tak berubah dan abadi, yang
menguasai seluruh alam semesta.

Filsafat Descartes bukan saja penting bagi perkembangan ilmu fisika klasik,
tetapi juga sangat berpengaruh dalam cara berpikir Barat pada umumnya
sampai sekarang. Kalimat Descartes yang terkenal, "Cogito ergo sum" --"Aku
berpikir, karena itu aku ada" -- telah membuat orang Barat melihat jatidiri
mereka dalam pikiran [jiwa, mind] mereka, alih-alih dalam seluruh organisme
diri mereka. Sebagai akibat dari pembagian Cartesian [mengikuti Descartes]
ini, kebanyakan orang menyadari diri mereka sebagai 'ego' yang
terisolasikan dan terkungkung "di dalam" jasad. Jiwa [mind] dipisahkan dari
tubuh, dan diberi tugas sia-sia untuk mengendalikannya, dengan demikian
menimbulkan konflik yang tampak seolah-olah ada antara 'kehendak yang
sadar' dan 'instink yang tak dikehendaki'. Masing-masing individu
dipecah-pecah lebih lanjut ke dalam sejumlah besar kompartemen yang
terpisah, sesuai dengan kegiatan, bakat, perasaan, kepercayaan, dsb, yang
terlibat dalam berbagai konflik tak berkeputusan, dan menghasilkan
kekacauan dan frustrasi metafisikal yang terus-menerus.
Fragmentasi di dalam ini mencerminkan pandangan kita terhadap dunia "luar",
yang dilihat sebagai kumpulan obyek dan peristiwa yang terpisah-pisah.
Lingkungan alam dilihat sebagai terdiri dari bagian-bagian yang terpisah
yang boleh dieksploitir oleh kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda.
Pandangan yang terpecah-belah ini lebih lanjut diperluas kepada masyarakat,
yang terpecah dalam berbagai bangsa, ras, agama dan kelompok politik.
Kepercayaan bahwa semua fragmen-fragmen ini -- dalam diri kita, dalam
lingkungan kita, dan dalam masyarakat kita -- sungguh terpisah-pisah dapat
dipandang sebagai sebab esensial dari serangkaian krisis sosial, ekologis,
kultural pada dewasa ini. Kepercayaan ini telah menjauhkan kita dari alam
dan dari sesama manusia. Ia telah mengakibatkan distribusi yang sangat
tidak adil dari sumberdaya alamiah, menciptakan kekacauan ekonomis dan
politis; gelombang kekerasan yang makin meningkat, baik yang spontan maupun
yang melembaga, dan suatu lingkungan yang buruk dan terpolusi, yang di
dalamnya kehidupan sering kali menjadi tidak sehat secara fisik dan secara
mental.

Demikianlah pembagian Cartesian dan pandangan-dunia mekanistik telah


bermanfaat dan sekaligus merugikan. Keduanya amat berhasil dalam
pengembangan ilmu fisika klasik serta teknologi, tetapi menimbulkan banya
konsekuensi yang merugikan bagi peradaban kita. Yang menakjubkan adalah
melihat bagaimana sains abad ke-20, yang bermula dari pemecahan Cartesian
dan dalam pandangan-dunia mekanistik, dan yang sesungguhnya hanya
mungkin
berkembang dari padangan-dunia seperti itu, sekarang tengah mengatasi
perpecahan itu dan membawa kembali kepada ide kesatuan yang pernah
terungkap dalam filsafat Yunani dan filsafat Timur kuno.

Sebagai kontras dari pandangan Barat yang mekanistik, pandangan-dunia Timur


bersifat "organik". Bagi para ahli mistik Timur, semua benda dan peristiwa
yang terlihat oleh pancaindra saling berkaitan, saling berhubungan, dan
merupakan sekadar aspek atau manifestasi yang berbeda dari satu realitas
tertinggi yang sama. Kecenderungan kita untuk membagi-bagi dunia yang
tampak ke dalam benda-benda individual dan terpisah-pisah, dan mengalami
diri kita sebagai 'ego' yang terisolasi dalam dunia ini, dilihat sebagai
suatu ilusi yang datang dari mentalitas kita yang bersifat memilah-milah
dan mengelompok-ngelompokkan. Ini dinamakan 'avydia', atau ketidaktahuan,
dalam filsafat Buddhis, dan dilihat sebagai keadaan batin yang guncang,
yang harus diatasi:

Bila batin guncang, keanekaragaman benda muncul, tetapi bila batin tenang,
keanekaragaman benda lenyap. [Ashvaghosha, *The Awakening of Faith of
Mahayana*]

Sekalipun berbagai aliran mistisisme Timur berbeda dalam banyak detailnya,


semuanya menekankan kesatuan dasar dari alam semesta, yang merupakan ciri
pokok dari ajaran mereka. Tujuan tertinggi bagi para penganut mereka --
baik Hindu, Buddhis atau Taois -- adalah menyadari kesatuan dan
kesalingterkaitan dari segala hal, mengatasi pengertian tentang suatu diri
individual yang terisolasikan, dan melihat kesamaan diri mereka dengan
realitas tertinggi. Munculnya kesadaran ini -- yang disebut 'pencerahan' --
bukan sekadar tindakan intelektual, melainkan suatu pengalaman yang
melibatkan seluruh pribadi dan bersifat religius dalam hakikatnya yang
tertinggi. Oleh karena itu, kebanyakan filsafat Timur pada dasarnya adalah
filsafat religius.

Kemudian, dalam pandangan Timur, pembagian alam semesta menjadi objek-


objek
yang terpisah bukanlah fundamental, dan objek-objek itu sendiri mempunyai
sifat cair dan terus berubah. Oleh karena itu pandangan-dunia Timur secara
intrinsik bersifat dinamik dan mengandung waktu dan perubahan sebagai sifat
esensialnya. Kosmos dilihat sebagai satu realitas yang tak terbagi-bagi --
terus-menerus bergerak, hidup, organik; bersifat spiritual dan material
sekaligus.

Oleh karena gerak dan perubahan adalah sifat-sifat esensial dari


benda-benda, maka kekuatan-kekuatan yang menyebabkan gerak tidak berasal
dari luar objek-objek, sebagaimana menurut pandangan Yunani klasik,
melainkan merupakan sifat intrinsik dari materi. Dengan demikian, citra
Timur tentang Keilahian bukanlah gambaran seorang penguasa yang mengatur
alam semesta dari atas, melainkan suatu prinsip yang mengatur segala
sesuatu dari dalam:

Dia yang berdiam dalam segala sesuatu, Namun lain dari segala sesuatu, Yang
tidak diketahui oleh segala sesuatu, Yang segala sesuatu merupakan
tubuhnya, Yang mengatur segala sesuatu dari dalam -- Dialah Ruhmu, Pengatur
di Dalam, Yang Abadi. [Brihad-aranyaka Upanishad, 3.7.15]

Bab-bab berikutnya akan memperlihatkan bahwa unsur-unsur dasar dari


pandangan-dunia Timur adalah juga unsur-unsur dasar yang muncul dari ilmu
fisika modern. Bab-bab ini dimaksudkan untuk menampilkan bahwa pemikiran
Timur -- dan secara lebih umum, pemikiran mistis -- memberikan latar
belakang filosofis yang konsisten dan relevan bagi teori-teori sains masa
kini; suatu konsepsi tentang alam semesta, yang di situ temuan-temuan
ilmiah dapat selaras sepenuhnya dengan tujuan spiritual dan iman religius.
Dua tema pokok dari konsepsi ini adalah kesatuan dan kesalingterkaitan dari
semua fenomena dan sifat dinamik yang intrinsik dari alam semesta. Makin
dalam kita menembus ke alam submikroskopik, makin kita menyadari bagaimana
para ahli fisika modern, seperti halnya para ahli mistik Timur, melihat
alam ini sebagai suatu sistem yang terdiri dari komponen-komponen yang
tidak terpisah, saling berinteraksi, dan terus bergerak, dengan sang
pengamat merupakan bagian integral dari sistem itu.

Pandangan-dunia organik dan "ekologis" dari filsafat-filsafat Timur ini


tidak diragukan lagi merupakan salah satu alasan utama dari kepopulerannya
yang meluas akhir-akhir ini di Barat, terutama di kalangan anak muda. Di
dalam budaya Barat kita, yang masih didominasi oleh pandangan-dunia
mekanistik yang terpecah-belah, makin banyak orang menyadari justru inilah
alasan yang mendasari ketidakpuasan yang meluas dalam masyarakat kita, dan
banyak orang berpaling ke cara-cara pembebasan Timur. Adalah menarik, dan
mungkin tidak terlalu mengherankan, bahwa mereka yang tertarik kepada
mistisisme Timur, yang meramal dengan *I Ching* dan mempraktekkan Yoga
atau
bentuk-bentuk meditasi lain, pada umumnya mempunyai sikap antiilmiah yang
menonjol. Mereka cenderung melihat sains, dan khususnya ilmu fisika,
sebagai disiplin yang tidak imajinatif dan berpikiran sempit, yang
bertanggung jawab atas semua keburukan tekonologi modern.

Buku ini bertujuan memperbaiki citra sains dengan memperlihatkan bahwa ada
keselarasan esensial antara semangat kearifan Timur dengan sains Barat. Ia
mencoba menampilkan bahwa ilmu fisika modern telah melangkah jauh
melampaui
sekadar teknologi -- bahwa jalan -- Tao -- dari ilmu fisika bisa merupakan
jalan dengan hati, jalan menuju pengetahuan spiritual dan realisasi-diri.

Bab 2: TAHU DAN MELIHAT

Dari yang tak nyata tuntunlah aku menuju ke yang nyata! Dari kegelapan
tuntunlah aku menuju ke cahaya! Dari kematian tuntunlah aku menuju ke
kehidupan abadi!

Brihad-aranyaka Upanishad

Sebelum menelaah keparalelan antara ilmu fisika modern dengan mistisisme


Timur, kita harus menjawab masalah bagaimana kita dapat membandingkan
antara sains yang eksak, yang terungkap dalam bahasa matematika modern
yang
sangat canggih, dengan disiplin-disiplin spiritual yang terutama didasarkan
kepada meditasi, dan menekankan fakta bahwa pencerahan-pencerahan mereka
tidak dapat dikomunikasikan secara verbal.

Yang ingin kita bandingkan ialah pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh


para ilmuwan dan para ahli mistik Timur yang berkaitan dengan pengetahuan
mereka tentang alam semesta. Untuk menegakkan kerangka yang tepat bagi
pembandingan ini, pertama-tama kita harus bertanya kepada diri sendiri,
macam "pengetahuan" apakah yang kita bicarakan? Apakah seorang rahib
Buddhis dari Angkor Wat atau Kyoto memberikan makna yang sama terhadap
istilah "pengetahuan" seperti seorang ahli fisika dari Oxford atau
Berkeley? Kedua, macam pernyataan-pernyataan apakah yang akan kita
bandingkan? Mana-manakah yang akan kita pilih dari antara data,
persamaan-persamaan matematis dan teori-teori eksperimental di satu pihak,
dan dari kitab-kitab suci agama-agama, mitos-mitos kuno, atau karya-karya
filosofis di lain pihak? Bab ini dimaksudkan untuk menjelaskan kedua pokok
ini: seluk-beluk pengetahuan yang dimaksud, dan bahasa yang dipakai untuk
mengungkapkan pengetahuan itu.

Sepanjang sejarah, orang telah mengenal bahwa jiwa manusia mampu


memperoleh
dua jenis pengetahuan, atau dua modus kesadaran, yang sering kali dinamakan
'pengetahuan rasional' dan 'pengetahuan intuitif'. Secara tradisional kedua
jenis pengetahuan itu masing-masing dikaitkan dengan sains dan agama. Di
Barat, jenis pengetahuan intuitif atau religius sering kali direndahkan dan
orang lebih mementingkan pengetahuan rasional, ilmiah; sedangkan sikap
tradisional di Timur pada umumya justru sebaliknya. Dua pernyataan tentang
pengetahuan berikut yang diucapkan oleh pemikir besar dari Barat dan Timur
mencerminkan kedua sikap ini. Sokrates di Yunani membuat pernyataan yang
terkenal, "Saya tahu bahwa saya tidak tahu apa-apa;" sedangkan Lao Tzu di
Cina berkata, "Tidak tahu bahwa kita tahu adalah yang terbaik."

Di Timur, nilai yang diberikan kepada kedua jenis pengetahuan itu sering
kali terlihat dari istilah-istilah yang digunakan untuk itu. Misalnya,
kitab *Upanishad*, berbicara tentang 'pengetahuan yang tinggi' dan
'pengetahuan yang rendah', dan dengan 'pengetahuan yang rendah'
dimaksudkan
berbagai bidang ilmu, sedangkan 'pengetahuan yang tinggi' adalah kesadaran
religius. Kaum Buddhis bicara tentang 'pengetahuan relatif' dan
'pengetahuan absolut', atau tentang 'kebenaran kondisional' dan 'kebenaran
transendental'. Di lain pihak, filsafat Cina selalu menekankan sifat saling
melengkapi dari yang intuitif dan yang rasional, dan melambangkannya dengan
pasangan arketipal 'yin' dan 'yang', yang membentuk landasan dari pemikiran
Cina. Dengan demikian, dua tradisi filosofis yang saling melengkapi --
Taoisme dan Konfusianisme -- berkembang di Cina kuno untuk menggarap
kedua
jenis pengetahuan ini.

Pengetahuan rasional berasal dari pengalaman yang kita peroleh dari


obyek-obyek dan peristiwa-peristiwa dalam lingkungan kita sehari-hari. Ia
termasuk lingkup intelek, yang fungsinya memilah-milah, membagi-bagi,
membandingkan, mengukur dan mengelompokkan. Dengan cara ini, suatu alam
pembedaan intelektual tercipta; terdiri dari pasangan-pasangan dari hal-hal
yang bertentangan, yang hanya ada dalam kaitan satu sama lain; itulah
sebabnya kaum Buddhis menyebut jenis pengetahuan ini "relatif".
Abstraksi adalah suatu sifat penting dari pengetahuan ini. Untuk dapat
membandingkan dan mengelompokkan berbagai ragam bentuk, struktur, dan
fenomena di sekeliling kita yang amat banyak jumlahnya, kita tidak dapat
mempertimbangkan seluruh sifat-sifat mereka, melainkan harus memilih
beberapa sifat yang penting saja. Dengan demikian kita menyusun suatu peta
intelektual dari realitas, yang di dalamnya benda-benda direduksikan
menjadi garis besar yang umum. Oleh karena itu, pengetahuan rasional adalah
suatu sistem terdiri dari konsep-konsep dan simbol-simbol abstrak yang
bercirikan struktur linear dan berurutan, yang adalah khas bagi cara
berpikir dan berbicara kita. Dalam kebanyakan bahasa struktur linear ini
tampak eksplisit dalam penggunaan abjad, yang digunakan untuk
mengkomunikasikan pengalaman dan pikiran dalam deretan huruf-huruf yang
panjang.

Di lain pihak, alam natural adalah penuh dengan beraneka ragam hal dan
kerumitan, suatu alam multidimensional yang tidak mengandung garis lurus
atau wujud yang teratur seluruhnya, yang di situ hal-hal tidak terjadi
dalam urutan, melainkan terjadi serentak. Suatu dunia yang --sebagaimana
diungkapkan oleh ilmu fisika modern-- bahkan ruang hampa pun melengkung.
Jelas bahwa sistem abstrak dari cara berpikir konseptual kita tidak pernah
dapat menguraikan atau memahami realitas ini sepenuhnya. Dalam berpikir
tentang alam ini, kita menghadapi masalah yang sama seperti yang dihadapi
seorang kartografer [pembuat peta] yang mencoba meliput permukaan bumi
yang
melengkung dengan sederetan peta-peta datar. Dari prosedur seperti itu,
kita hanya bisa berharap memperoleh pendekatan [approximation] yang
mewakili realitas, sehingga dengan demikian semua pengetahuan rasional
niscaya terbatas.

Lingkup pengetahuan rasional adalah --tentu saja-- lingkup sains yang


mengukur, mengkuantifikasikan, mengklasifikasikan, dan menganalisis.
Keterbatasan setiap pengetahuan yang diperoleh dengan cara ini makin lama
makin tampak nyata dalam sains modern. Khususnya dalam ilmu fisika modern,
yang mengungkapkan bahwa --seperti diucapkan oleh Werner Heisenberg--
"setiap kata atau konsep, betapa pun tampak jelas, hanya memiliki bentangan
penerapan yang terbatas."

Bagi kebanyakan dari kita amat sukar untuk terus-menerus sadar akan
keterbatasan dan relativitas pengetahuan konseptual. Karena gambaran
realitas yang kita miliki jauh lebih mudah ditangkap daripada realitas itu
sendiri, kita cenderung mengacaukan keduanya dan menganggap konsep-
konsep
dan simbol-simbol kita sebagai realitas itu sendiri. Salah satu tujuan
mistisisme Timur adalah membebaskan kita dari kekacauan seperti itu. Kaum
Buddhis Zen mengatakan, diperlukan sebuah jari untuk menunjuk kepada
rembulan, tetapi kita tidak perlu repot dengan jari itu bila rembulan telah
dilihat. Orang arif Taois, Chuang Tzu, menulis:

Keranjang diperlukan untuk menangkap ikan, tetapi bila ikan sudah


tertangkap, orang melupakan keranjangnya; jerat digunakan untuk
menangkap kelinci, tetapi bila kelinci sudah tertangkap, orang melupakan
jeratnya. Kata-kata digunakan untuk menyampaikan ide, tetapi bila ide
telah terlihat, orang melupakan kata-katanya.

Di Barat, ahli semantik Alfred Korzybski menyatakan hal yang sama dengan
slogan kuatnya, "Peta bukanlah wilayahnya."

Yang diminati oleh para ahli mistik Timur adalah pengalaman realitas secara
langsung, yang mengatasi bukan hanya pemikiran intelektual, melainkan juga
persepsi indrawi. Menurut istilah *Upanishad*:

Apa yang tanpa suara, tanpa rabaan, tanpa wujud, tak dapat musnah,
Begitu pula tanpa citarasa, tetap ada, tanpa bau, Tanpa awal, tanpa
akhir, lebih tinggi daripada yang agung, mantap -- Dengan melihat Itu,
orang terbebas dari cengkeraman maut. [Katha-upanishad, 3.15]

Pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman seperti itu oleh kaum Buddhis
disebut "pengetahuan absolut", oleh karena pengetahuan itu tidak bergantung
pada pembedaan, abstraksi, dan klasifikasi intelektual, yang seperti sudah
kita lihat, selalu bersifat relatif dan kira-kira. Menurut kaum Buddhis,
itu adalah pengalaman langsung akan "Itu" [suchness] yang tak terbedakan,
tak terbagi, tak tertentu. Penglihatan sempurna terhadap "Itu" ini bukan
hanya intisari mistisisme Timur, melainkan juga sifat pokok semua
pengalaman mistik.

Para ahli mistik Timur berulang-ulang menekankan bahwa realitas tertinggi


tidak dapat dijadikan obyek penalaran atau pengetahuan yang dapat
didemonstrasikan. Realitas itu tidak dapat diuraikan dengan kata-kata
secara memadai, oleh karena ia terletak di luar lingkup pancaindra dan
lingkup intelek, yang dari situ kata-kata dan konsep-konsep kita berasal.
Menurut *Upanishad*:

Ke situ mata tidak dapat pergi, Ucapan tidak dapat pergi, tidak juga
pikiran. Kita tidak tahu, kita tidak mengerti Bagaimana orang akan
mengajarkannya.

Lao Tzu, yang menyebut realitas ini 'Tao', menyatakan hal yang sama dalam
baris pertama karyanya, *Tao Te Ching*: ""Tao' yang dapat diungkapkan
bukanlah 'Tao' yang abadi." Fakta --yang jelas terlihat kalau kita membaca
surat kabar-- bahwa umat manusia tidak bertambah arif dalam dua ribu tahun
terakhir, meskipun terdapat peningkatan luar biasa pengetahuan rasional,
merupakan bukti cukup tentang kemustahilan mengkomunikasikan pengetahuan
absolut dengan kata-kata. Seperti kata Chuang Tzu: "Kalau bisa
diperbincangkan, setiap orang pasti akan memberitahukan saudaranya."

Dengan demikian pengetahuan absolut adalah suatu pengalaman yang bersifat


nonintelektual sepenuhnya terhadap realitas, suatu pengalaman yang muncul
di dalam modus kesadaran yang tidak biasa, yang dapat disebut keadaan
'meditatif' atau mistikal. Bahwa modus kesadaran seperti itu memang ada,
bukan saja telah dinyatakan oleh banyak ahli mistik dari Timur maupun
Barat, melainkan juga diisyaratkan oleh penelitian psikologis. Menurut
William James:

Kesadaran jaga kita sehari-hari, yang kita sebut kesadaran rasional,


hanyalah salah satu jenis kesadaran, sedangkan di sekitarnya, terpisah
darinya dengan tabir yang paling tipis, terdapat wujud-wujud potensial
dari kesadaran yang sama sekali lain. [W. James, The Varieties of
Religious Experience, hal.388]

Sekalipun para ahli fisika terutama berkepentingan dengan pengetahuan


rasional, sedangkan para ahli mistik berkepentingan dengan pengetahuan
intuitif, kedua jenis pengetahuan itu sesungguhnya terdapat dalam kedua
bidang itu. Ini tampak bila kita meneliti bagaimana pengetahuan diperoleh
dan bagaimana ia diungkapkan, baik di dalam ilmu fisika maupun di dalam
mistisisme Timur.

Di dalam ilmu fisika, pengetahuan diperoleh melalui proses penelitian


ilmiah, yang dapat dilihat berlangsung dalam tiga tahap. Tahap pertama
adalah pengumpulan data eksperimental tentang fenomena yang ingin
dijelaskan. Dalam tahap kedua, data eksperimental itu dikorelasikan dengan
simbol-simbol matematis, dan sebuah kerangka matematis disusun untuk
menghubungkan simbol-simbol ini secara cermat dan konsisten. Kerangka
demikian disebut 'model matematis', atau --jika lebih komprehensif--
dinamakan 'teori'. Teori ini kemudian digunakan untuk meramalkan hasil dari
eksperimen lebih lanjut, yang dilakukan untuk mengecek seluruh implikasi
teori itu. Pada tahap ini, para pakar fisika mungkin merasa puas bila
mereka telah menemukan suatu kerangka matematis dan tahu bagaimana
menggunakannya untuk memprediksi eksperimen. Tetapi akhirnya, mereka juga
ingin menyampaikan hasil penelitiannya kepada orang awam, dan oleh karena
itu perlu mengungkapkannya dalam dalam bahasa sederhana. Ini berarti mereka
harus merumuskan model itu dalam bahasa sehari-hari yang menafsirkan
kerangka matematis itu. Bahkan bagi para ahli fisika itu sendiri, perumusan
suatu model verbal (bukan matematis) seperti itu, yang merupakan tahap
ketiga penelitian, menjadi suatu kriteria bagi pemahaman yang mereka capai.

Sudah tentu, dalam prakteknya ketiga tahap ini tidak terpisah rapi dan
tidak selalu berlangsung menurut urutan yang sama. Misalnya, seorang ahli
fisika mungkin mengembangkan suatu model tertentu berdasarkan suatu
kepercayaan filosofis yang dianutnya, yang tetap dipercayanya, sekalipun
belakangan diperoleh bukti-bukti eksperimental yang menentangnya. Di situ
ia akan mencoba --dan ini sangat sering terjadi-- memodifikasikan modelnya
sehingga dapat menjelaskan hasil eksperimen yang baru. Tetapi jika
bukti-bukti eksperimental masih terus menentang modelnya, pada akhirnya ia
akan terpaksa meninggalkan model itu.

Tindakan mendasarkan semua teori pada eksperimen ini dikenal sebagai


'metode ilmiah', dan kita akan melihat bahwa ini pun ada padanannya dalam
filsafat Timur. Sebaliknya, filsafat Yunani secara mendasar berbeda dalam
hal ini. Sekalipun para filsuf Yunani mempunyai ide-ide yang sangat pintar
tentang alam yang sering kali sangat mendekati model-model ilmiah modern,
perbedaan sangat besar di antara keduanya adalah sikap empiris dari sains
modern yang pada umumnya asing bagi alam pikiran Yunani. Orang Yunani
memperoleh model-model mereka secara deduktif dari beberapa aksioma atau
prinsip dasar, dan bukan secara induktif dari apa yang teramati. Tentu
saja, sebaliknya, seni Yunani tentang penalaran dan logika deduktif
merupakan unsur penting dalam tahap kedua penelitian ilmiah, yakni
perumusan model matematis yang konsisten, dan dengan demikian menjadi
bagian penting dari sains.

Pengetahuan rasional dan upaya rasional jelas merupakan bagian utama dari
penelitian ilmiah, tetapi itu bukan semuanya. Bagian rasional dari
penelitian sesungguhnya akan sia-sia apabila tidak dilengkapi dengan
intuisi yang memberikan pemahaman-seketika [insight] kepada para ilmuwan
dan membuat mereka kreatif. Pemahaman seperti ini cenderung untuk datang
secara tiba-tiba, dan yang khas, bukan pada waktu duduk di belakang meja
mengutak-ngutik persamaan-persamaan matematis, melainkan ketika rileks di
kamar mandi, ketika berjalan-jalan di hutan, atau di pantai, dsb. Dalam
periode relaksasi setelah suatu kegiatan intelektual yang penuh konsentrasi
inilah, batin intuitif tampak mengambil-alih peran dan dapat menghasilkan
pemahaman mendadak yang bersifat menjelaskan, yang memberikan perasaan
sukacita dan gembira begitu besar bagi penelitian ilmiah.

Namun, pemahaman intuitif tidak berguna bagi ilmu fisika kecuali dapat
dirumuskan dalam kerangka matematis yang konsisten, dan didukung penafsiran
dalam bahasa sehari-hari. Abstraksi [penyaringan] adalah sifat krusial dari
kerangka ini. Seperti disebutkan di atas, ini terdiri dari suatu sistem
konsep-konsep dan simbol-simbol yang membentuk suatu peta realitas. Peta
ini hanya mewakili beberapa ciri saja dari realitas; kita tidak tahu pasti
bagian yang mana, karena kita mulai menyusun peta kita secara
berangsur-angsur dan tanpa analisis kritis sejak masa kanak-kanak. Dengan
demikian, kata-kata dalam bahasa kita tidak terlalu ketat definisinya.
Kata-kata itu mempunyai beberapa makna, banyak di antaranya melintas
samar-samar di pikiran kita, dan sebagian besar berada di bawah kesadaran
ketika kita mendengarnya.
Ketidakakuratan dan ambiguitas bahasa kita adalah penting bagi para
penyair, yang sebagian besar bekerja dengan lapisan-lapisan dan
asosiasi-asosiasi bawah sadar. Sebaliknya, sains bertujuan memperoleh
definisi-definisi yang jelas dan hubungan-hubungan yang tidak ambigu; oleh
karena itu, sains mengabstraksikan bahasa lebih jauh dengan membatasi makna
kata-kata dan menstandardisasikan strukturnya, sesuai dengan aturan-aturan
logika. Abstraksi yang tertinggi terjadi dalam matematika, yang di situ
kata-kata digantikan oleh simbol-simbol, dan operasi-operasi yang
menghubungkan simbol-simbol itu dirumuskan secara ketat. Dengan cara ini,
para ilmuwan dapat meringkas informasi ke dalam satu persamaan, yakni satu
baris simbol-simbol, yang untuk menjelaskannya mereka mungkin membutuhkan
beberapa halaman tulisan biasa.

Pandangan bahwa matematika tidak lain daripada bahasa yang diabstraksikan


dan diringkas secara ekstrim bukan tidak ada penyanggahnya. Malah banyak
pakar matematika berpendapat, matematika bukan sekadar bahasa untuk
menguraikan alam, melainkan terdapat secara inheren di dalam alam itu
sendiri. Orang yang pertama mengemukakan pendapat ini adalah Pythagoras,
yang membuat pernyataan terkenal, "Semua hal adalah bilangan," dan
mengembangkan suatu mistisisme matematis yang sangat khusus. Dengan
demikian, filsafat Pythagoras memasukkan penalaran logis ke dalam domain
agama; menurut Bertrand Russell, perkembangan ini bersifat menentukan bagi
filsafat religius Barat:

Kombinasi matematika dan teologi, yang dimulai dengan Pythagoras,


mewarnai filsafat religius di Yunani, di Zaman Pertengahan, dan di zaman
modern sampai kepada Kant ... Di dalam Plato, St. Augustinus, Thomas
Aquinas, Descartes, Spinoza, dan Leibniz, terdapat perpaduan antara
agama dan penalaran, antara aspirasi moral dan kekaguman logikal
terhadap apa yang di luar waktu, yang datang dari Pythagoras, dan
membedakan teologi yang terintelektualisasikan dari Eropa dengan
mistisisme terang-terangan dari Asia.

Tentu saja, "mistisisme terang-terangan dari Asia" tidak menganut pandangan


Pythagoras tentang matematika. Dalam pandangan Timur, matematika --dengan
strukturnya yang terumuskan dengan baik dan sangat terdiferensiasikan--
harus dilihat sebagai bagian dari peta konseptual kita dan bukan sebagai
corak dari realitas itu sendiri. Realitas, sebagaimana dialami oleh para
ahli mistik, adalah sepenuhnya indeterminate [tak menentu, tak terkirakan]
dan undifferentiated [tak terpilah-pilah].

Wacana Foucault: Mari Berfilsafat Tanpa Hegel


(Tentang Wacana Seksualitas dan Kuasa)
0. Pengantar.
0.0. Tulisan ini barulah sebuah outline, garis besar, yang itu
pun masih kabur, belum selesai, yang saya tulis ketika tertarik
pada pikiran-pikiran Michael Foucault. Tentu saja ada banyak
hal yang seharusnya diuraikan, tapi dorongan untuk
melakukannya belum sampai ke ubun-ubun saya, sehingga
tinggallah tulisan ini masih menganga seperti hendak
memasak rendang tapi bumbunya belum lengkap dan
dagingnya masih berceceran. Kalaupun tulisan ini saya
letakkan di sini semata-mata agar terdokumentasi (ada banyak
coretan-coretan serupa yang tercecer entah di mana) dan saya
harap suatu kali dorongan untuk meneruskannya sampai ke
ubun-ubun dan pena saya angkat.

1. Kalau boleh dibilang, maka Georg Wilhelm Friedrich Hegel


(1770-1831) dan Rene Descartes (1596-1650) adalah dua
monster besar Leviathan dalam tradisi filsafat Prancis. Begitu
besarnya, sehingga banyak yang terseret dalam alur penalaran
mereka, atau sebaliknya berdiri berseberangan. Hal kedua
itulah alasan yang dapat dilihat mengapa Foucault
menegakkan sendi-sendi filsafatnya yang diinspirasikan oleh
pergeseran Jean Hyppolite dan (tentu saja) Ferdinand de
Saussure.

2. Pergeseran yang diajukan Jean Hyppolite yang


menginspirasikan Foucault ada lima pertanyaan:
2.1. Masihkah kita berfilsafat bila Hegel tak mungkin lagi?
2.2. Masih dapatkah sebuah filsafat eksis dan itu bukan
Hegelian?
2.3. Apakah unsur-unsur non-Hegelian di dalam pikiran kita
juga harus non-filosofis?
2.4. Apakah anti-filosofis harus non-Hegelian?
2.5. Jika filsafat harus dimulai sebagai sebuah wacana absolut,
bagaimana dengan sejarah? Dan apakah awalnya ini yang
bermula dengan individu tunggal, dalam sebuah masyarakat,
dalam sebuah kelas sosial, dan dalam kabut perjuangan? (The
Order of Discourse, 1970).

3. Dengan mencoba mereka jawaban-jawaban atas pertanyaan-


pertanyaan itu terbentanglah acuan dari seluruh proyek filsafat
si botak Foucault. Dari sana pulalah akan kita pahami
mengapa sulit memahami seluruh kerangka pemikirannya
(karena kita selalu terjebak pendekatan Hegelian: kategori-
kategori esensi, totalitas, kesadaran, kesinambungan, dan
seterusnya). Saking sulitnya banyak yang terpesona pada
proyek filsafat Foucault yang tak selesai itu (Foucault masih
berhutang banyak terutama dalam proyek Sejarah Seksualitas-
nya).

4. Dengan berdiri berseberangan dari Hegel dan Descartes,


Foucault menciptakan sendiri metode dan filsafatnya yang
menegasikan apa yang dituntut dalam kerangka pikir dua
monster itu. Dia tak hendak misalnya mencari kesinambungan
sejarah (seperti Philosophy of History-nya Hegel) tapi
ketaksinambungan dan sejarah mikro. Dia juga tak mengurai
suatu metode yang ketat (ala Descartes) tapi lunak dan
terpencar.

5. Lantas bagaimana mengawali semua percakapan hari ini?


Saya lebih memilih memulainya dengan Keteraturan Wacana
(The Order of Discourse), sebuah makalah pendek namun
sangat penting (menurut Edward Said, juga saya) tentang
Foucault. The Order of Discourse diberikan pada kuliah
pengantar di College de France, 2 Desember 1970, pada titik
balik pergeseran Foucault dari "arkeologi" (pemikiran tentang
analisa sinkronik dan representasi sejarah pemikiran) ke
"kartografi" (pemetaan langsung pada bentuk-bentuk
kekuasaan yang dijalankan dalam praktek-praktek diskursif
dan yang lainnya).

6. Inilah yang harus pertama-tama diingat oleh para fans berat


filsuf yang mati kena AIDS ini: Foucault selalu bicara tentang
wacana (wacana kuasa, wacana pengetahuan, wacana
seksualitas,...). Berfilsafat dengan mengacu pada wacana
berimplikasi pada penggusuran "filsafat", sehingga yang
tertinggal hanyalah bahasa, suatu proyek yang telah
dijalankan oleh Nietzsche dan Derrida.

7. Beberapa hal tentang wacana (Foucault):

7.1. Wacana atau dicourse (Latin: dis, dalam arah berlawanan,


+ currere, bergerak)

7.2. "Wacana-wacana bukanlah sekali dan selamanya lebih


patuh pada kuasa atau muncul melawannya, daripada
kesunyian itu. Kita harus memberi maaf karena proses yang
kompleks dan tak stabil dimana wacana dapat menjadi baik
instrumen maupun akibat dari kuasa, tapi juga sebuah
gangguan, rintangan, titik perlawanan dan titik awalan bagi
sebuah strategi perlawanan. Wacana mentransmisikan dan
mengeksposnya, membuatnya rapuh dan membuatnya
mungkin untuk menggagalkannya. (History of Sexuality, p.
100-101)"

7.3. "... dalam setiap masyarakat produksi wacana sekaligus


dikontrol, diseleksi, diorganisasi, dan diredistribusi oleh
sejumlah tertentu prosedur yang perannya adalah untuk
menjaga kuasa-kuasa dan bahaya-bahaya, untuk
memenangkan kekuasaan daripada peristiwa kebetulan, untuk
menghindari materialitas yang berat dan menakutkan." (The
Order of Discourse)

7.4. Setelah The Order of Discourse, barulah Foucault memulai


proyek Sejarah Seksualitasnya: History of Sexuality I: An
Introduction (1976) yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris itu. Mengapa sejarah Seksualitas, bukan sejarah TKW
di Saudi Arabia sana? Mengapa Sejarah Seksualitas, bukan
Sebuah Sejarah Seksualitas (seperti The Order of Thing yang
disubtitelnya dengan An Archaeology of Knowledge, Madness
and Civilization: A History of Insanity in the Age of Reason ...)?

8. Kuasa

8.1. Ciri prinsipal kuasa adalah selalu memanifestasikan


dirinya dalam sebuah wacana tentang sesuatu yang lain.

8.2. Seksualitas adalah tempat untuk memahami secara paling


efektif, untuk wacana seksualitas, secara aktif dipromosikan
oleh aparatus kuasa dalam masyarakat Barat, memberi akses
kepada tubuh manusia dan melalui tubuh, kepada kendali
kelompok, spesies, dan akhirnya kehidupan itu sendiri.

8.3. Represi vs. normalisasi, produktif


8.4. Kuasa ada dimana-mana karena dia datang dari segala
arah.
8.5. Kuasa hanya dapat efektif dan ditolerir bila sebagiannya
tersembunyi.
8.6. Konsep kebudayaan menjadi magis, spektral, hayali

9. Kurniawan

Yogyakarta - Jakarta, 30 Oktober 1997

Sejarah Pemikiran dan Pemikiran Sejarah


(Analisis Arkeologis a la Foucault)
Oleh Ghozi M. Ihsan
I

Sejarah adalah pembutaan terhadap Yang-lain, kata Harotunian


mengutip Emmanuel Lavinas, yang berasumsi negatif terhadap
sejarah. Entah bagaimana realitanya, tapi begitulah persepsi yang
berkembang akhir-akhir ini. Perjalanan hidup manusia yang sering
diwarnai konflik yang berlogika menang-kalah, ditindas atau
menindas, dan seterusnya, semakin mengesankan kewajaran
proses tersebut. Terlebih lagi dengan adanya relasi kuasa yang
dilokalisasikan sebagai alat dominasi suatu diskursus atas
diskursus lain, kelompok satu atas kelompok lainnya.

Hal lain lagi, usaha menghubung-hubungkan antara variabel


sejarah dengan variabel sejarah lainnya pada sebuah sentral,
menjadikan sejarah semakin rancu dan mulai kehilangan
identitasnya. Berangkat dari dua hal tersebut, dalam makalah
singkat ini, penulis ingin mengkaji sebuah tawaran yang dilontarkan
oleh seorang pemikir brilian asal perancis; Michel Foucault tentang
sebuah pendekatan baru dalam studi sejarah: analisis arkeologis
dalam sejarah.1

II

Dalam proses hidup manusia, diakui ataupun tidak, faktor alam


bawah sadar manusia sering membuat keputusan-keputusan diluar
alur logika bahkan keluar dari paradigma pemikirannya sendiri. Hal
seperti ini mempunyai frekuensi lebih dalam permasalahan-
permasalahan yang mempunyai sekuensi dan kontinuitas yang
tinggi; seperti sejarah. Sejarah dalam persepsi masyarakat umum
sering dianggap sebagai sebuah kehadiran yang utuh, yang jelas
dapat dipetakan dengan bahasa. Ia seakan-akan sesuatu yang
dapat dirumuskan saat ini dan seterusnya, sehingga ia diketahui
dan selalu dapat dikenali. Dikenal sebagai sejarah A, B, dan
seterusnya. Tapi masih menjadi sebuah pertanyaan mendasar:
bagaimanakah sebenarnya sejarah A dan B tersebut? Apakah ia
sebuah gestalt A dan B? Ataukah ada campur tangan relasi kuasa
yang mengatas namakan A dan B?.

Realita seperti ini, pada kurun waktu yang telah lewat, mungkin
belum menjadi persoalan yang berarti. Tapi pada masa ini,
permasalahan tersebut menjadi polemik yang berarti, sehingga
tidak mengherankan lagi bila terdengar asumsi-asumsi negatif
seperti yang diutarakan oleh Emmanuel Levinas diatas. Hal senada
juga diungkapkan oleh Michel Foucault, yang pada kelanjutannya
asumsi-asumsi itu membawanya pada sebuah karya
monumentalnya, Larcheologie du savoir (Archeology of
Knowladge) sebuah tema yang selama ini mendasari metodologi
penyingkapan-penyingkapan dalam kajian-kajiannya dan mempu
menghasilkan karya-karyanya seperti Les Mots et les choses (kata-
kata dan sesuatu); kajian dalam bahasa, Birth of Clinic (terjemah
Perancis); kajian dalam kedokteran. Dalam buku-buku tersebut,
bak seorang ahli purbakala ia berusaha menyingkap debu-debu
yang menutupi hakikat sejarah.

Dalam kajian ini, Foucault banyak menekankan teorinya pada


bahasa sebagai variabel penting yang menjadi akar dari
problematika wacana (discourse), yang sangat berpengaruh dalam
sejarah. Muncul atau tenggelamnya wacana, sentral ataukah pheri-
heri, dan seterusnya.

III

Dalam kajian Foucault, seperti yang kita singgung diatas, secara


garis besarnya terbagi dalam dua bagian besar, yang saling berkait
erat: pembahasan bahasa sebagai akar diskursus, yang pada
akhirnya melahirkan sejarah. Dan kajian tentang dzat (esensi) yang
jangkauannya mencakup sejarah.

Berangkat dari fenomena Foucault dalam kajian bahasa, banyak


dari kaum intelektual yang mentipologikannya sebagai pemikir
strukturalis terutama bila melihat karyanya The Birth of Clinic
karena melihat konsep-konsep yang selama digunakan dalam
analisa, simbol, indikasi, arti (makna) dan sinkronisme. Foucault
dalam konsep linguistiknya berkonsentrasi pada bentuk dari
bahasa, tidak dalam indikasi, isi dan artinya, sehingga saat
berinteraksi dengan teks, diharapkan lebih dapat menjauhkan diri
dari jeratan faktor psikologis seperti tujuan penulis, proyek yang
menekan dan lain-lain. Konsekuensi lain dari hal tersebut adalah
penundaan penilaian dan klaim dalam diskursus: benar atau salah,
hakikat atau distorsi dan semacamnya.

Meskipun Foucault sering ditipologikan sebagai pemikir strukturalis,


ia sebenarnya mempunyai metode khusus yang berbeda dalam
kajian yang telah ada. Ia yang menekankan peran teks dalam
sejarah, bagaimana teks terlibat dan digunakan, bagimana ia
muncul dan tenggelam, apa relasi yang merangkai antara teks
lampau, kontemporer dan yang akan datang. Sehingga pada
akhirnya melahirkan cara pandang baru dalam kajian bahasa dan
filsafat. Ada dua hasil langsung dari metode ini. Pertama, kajian
tentang permasalahan pengetahuan, kekuasaan dan esensi kajian
yang menganalisa diversitas praktis antara diskursus dan non-
diskurusif. Kedua, dengan metode ini, memungkinkan untuk keluar
dari bidang bahasa dan konsentrasinya dengan diskursus sebagai
praktek yang mempunyai relasi dengan praktek-praktek berbeda
dalam sejarah.2 Seperti yang diutarakan oleh Foucault, Saya yakin
bahwa yang harus menjadi sandaran sebenarnya bukan contoh
bahasa atau indikator-indikatornya, tapi pertarungan sejarah yang
membatasi kita. Bukan relasi makna, karena sejarah tidak punya
makna. Sesuatu yang tidak diperhatikan bahwa, sejarah
mempunyai kehormatan dan penuh pertentangan. Kebalikan dari
itu, sejarah bisa dipahami dan mungkin dianalisa sampai batas
yang terendah dari perincian yang sesuai dengan rasionalitas
pertentangan, strategi dan taktik.

Diskursus dalam kajian Foucault, merupakan gagasan terpenting


yang dikembangkan olehnya. Dalam karyanya, archeology of
knowledge, ia mengkaji sangat dalam tentang formasi dan relasi
diskursus. Misalnya, mungkinkah analisa penyakit kepala Willis
dan klinik Charcot masuk dalam satu diskursus? Atau hanya
sebuah rekomposisi yang menipu ilmu modern, yang
menganggapnya sebagai sekuensi untuknya? Atau ia adalah
sebuah formasi ilmu yang telah sempurna dalam bentuknya yang
paripurna dimasa lalu, kemudian berjalan seiring sang waktu tanpa
adanya perubahan? Dan kemudian, bentuk hubungan seperti apa
yang dapat kita gambarkan dari ekspresi-ekspresi tersebut? Dalam
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, menurut Foucault,
sedikitnya ada tiga asumsi penting tentang relasi diskursus ini.
Asumsi pertama menyatakan bahwa ekspresi-ekspresi yang
berbeda bentuk dan acak dalam suatu masa akan membentuk satu
kumpulan (baca: gestalt), jika dikembalikan pada satu tema.
Pendapat ini yang lebih diunggulkan oleh Foucault. Asumsi kedua
melihat bahwa, untuk membatasi kumpulan relasi dari sejumlah
ekspresi yang ada, harus dikonsentrasikan pada format dan alur
kesinambungan. Sedang asumsi terakhir, melihat bahwa, untuk
mengumpulkan ekspresi-ekspresi itu dalam sebuah kesatuan kita
harus mendeskripsikan sekuensi (kesinambungan) dan sekuensi
deskripsi tersebut, sehingga kesatuan tersebut benar-benar
mengandung gambaran, format dan ketetapan-ketetapannya. Dari
sini terlihat, bahwa Foucault lebih cenderung menerima adanya
diversitas (perbedaan-perbedaan) dalam diskursus kemudian
menyatukannya dalam satu tema yang menyeluruh dan
membentuk gestalt, karena seperti yang telah kita diatas, usaha
menghubung-hubungkan satu permasalahan dengan
permasalahan yang lainnya lebih banyak menimbulkan kerancuan
dan penghapusan identitas. Namun begitu, penentuan tema itu
sendiri juga membutuhkan aturan-aturan tersendiri. Tiga aturan
yang menjadi batasan dibolehkannya tema diskursus adalah: kali
pertama yang harus dilakukan adalah observasi dan monitoring
rentang waktu pertama munculnya tema tersebut, yaitu dengan
mengeksposisi tempat yang diprediksikan munculnya perbedaan
individual yang akan dihasilkan sesuai dengan standar intelektual,
konsep dan teori. Yang bisa menjadi catatan di sini bahwa,
perbedaan rentang waktu eksposisi, tergantung pada perbedaan
masyarakat, masa dan bentuk diskursus. Kedua, Deskripsi dan
batasan tingkat kemampuan dalam menentukan (tayin) atau
menetapkan suatu masalah. Misalnya, kedokteran sebagai
yayasan yang menjadi tempat berkumpul individu-individu, tempat
pengetahuan dan praktek dan tempat administrasi, pada abad 19
M. diakui menjadi yayasan yang diperhitungkan masyarakat, dan
berkompeten dalam menentukan siapa yang bodoh dan tidak,
standar bodoh dan batasannya. Ketiga, analisa sekat-sekat
diverensiasi dan klasifikasi diskursus.

Telah menjadi suatu yang laik, bila sebuah analisa didasarkan pada
realita diskursus, maka korelasinya erat dengan kaedah-kaedah
yang disepakati tumbuhnya diskursus, dan juga diskursus lain yang
memenuhi syarat tersebut. Namun, deskripsi peristiwa yang
membentuk diskursus melontarkan pertanyaan yang berbeda:
mengapa muncul sebuah diskursus, tapi tidak dengan yang
lainnya? Padahal dengan kumpulan diskursus-diskursus tersebut,
bangunan dalam sejarah dapat tergambar dengan jelas.

Menurut Foucault, manusia sering tidak sadar, bahwa dibalik


pembicaraan yang diyakininya independen, terdapat suatu
peraturan yang tersembunyi, yang bekerja sebagai standar dalam
menentukan sebuah penyingkapan. Bentuk yang paling nampak
dalam memori otak kita seperti linguistic, ontologi dan psikoanalitis
baru. Pada setiap masa tersebut, biasanya diskursus mempunyai
karakteristik yang berlainan.Kala itu, kaum intelektual mempunyai
hukum bawah sadar yang mejadi landasan. Hukum yang tidak ada
kecuali pada subyek yang berbeda dalam kesadaran tersebut, dan
hukum yang menciptakan syarat-syarat pemikiran tapi tidak
seorang pun memikirkanya.

Hukum tersebut yang nantinya melahirkan pengetahuan


disebut oleh Foucault dengan Episteme. Jadi, ialah yang menjadi
latar belakang dibalik munculnya pengetahuan dan menjadi struktur
bawah sadar yang membatasi bentuk-bentuk pengetahuan pada
setiap masanya. Menurutnya, ia terbentuk dari hubungan konsepsi
yang mendasari apa yang kita sebut A priori historique (sejarah
awal); atau syarat diterimanya kemungkinan munculnya
pengetahuan-pengetahuan dalam periode sejarah tertentu. Dan ia
tidak berlanjut pada masa yang lain. Episteme pada dasarnya
bukan-sejarah, tapi kumpulan syarat yang menjadikannya
sebagai sejarah, tepatnya sebagai fenomena kedua, fenomena
yang ditundukkan, pinggiran (pheri-pheri). Sebab itu epiesteme
bisa dikatakan sebagai struktur pengetahuan yang besar, yang
berwatak pasti dan menyeluruh, bukan hanya sebagai hukum
penting yang menjadi dasar pengetahuan, bahkan metode, analisa
bahkan menjadi paradigma kaum intelektual.

IV

Setelah bergelut dalam aspek bahasa dan menghasilkan karya


seperti Les Most et les choses, selanjutnya Foucault meneruskan
sebuah proyek yang tidak kalah pentingnya, dan sempat menjadi
kajian serius kaum intelektual Barat maupun Timur seperti
Muhammad bid Al-Jabir. Sebuah karya pikir yang menawarkan
sebuah metode pendekatan sejarah dengan analisis arkeologis.
Pemikiran yang tertuang secara sistematis dalam bukunya
Larcheologie du savoir ini, mendapat sambutan luar biasa dari
kelompok pro dan kontra, bahkan tidak sedikit dari kaum intelektual
yang memberi label penentang sejarah terhadapnya.

Dalam kajian sejarah, Foucault mengkategorikannya menjadi dua.


Sejarah global (globale historie) dan sejarah umum (generale
historie). Dia berpendapat bahwa sejarah global adalah sejarah
yang sesuai dengan konsepsi intelektual yang menyeluruh. Yang
berdasarkan pada ikatan-ikatan dan mengumpukan fenomena-
fenomena (bisa berupa asas, indikasi, spirit masa...) pada satu
sentral. Sedang dalam sejarah umum, Foucault
mengidentifikasikanya sebagai sejarah yang bersifat fragmentaris,
keterputusan (discontinue), acak (dis-arrangement).
Ketidakteraturan (acak) inilah hakikat sejarah umum yang ingin
ditunjukkannya kembali. Melalui sejarah umum ini, yang bercirikan
dengan kumpulan permasalahan, metode pembicaraan,
sistematika-sistematika, manitoring dan observasi yang terekam
dalam dokumen dokumen periode sejarah, Foucault berusaha
membuat dasar-dasar kaedah untuk memilih, memfilter dan
kemudian memberi ketentuan besar-kecilnya hubungan yang
dibolehkan untuk menentukan kumpulan yang lain.
Dalam sejarah baru, teks tidak lagi merupakan memori yang
diucapkan dengan pelbagai interpretasi an sich. Tapi ia berubah
menjadi bagian-bagian arkeologia yang membutuhkan deskripsi
arkeologis sebagai berikut. Pertama, memunculkan keterputusan
dalam sejarah pemikiran dan menyingkap rentang waktu sejarah.
Kedua, mengadakan hubungan, pembatasan dan penentuan batas
elemen-elemen sejarah. Ketiga, menjadikan konsep keterputusan
sebagai konsep sentral dalam praktek sejarah, karena
keterputusan sebenarnya bukan karena problem, atau kurangnya
materi sejarah, tapi lebih hanya merupakan bentuk deskripsi
sejarawan. Sehingga keterputusan bukan lagi menjadi rintangan
bagi sejarawan, justru menjadi karakteristik metodologis yang
sesuai.

Selanjutnya Foucault menjelaskan bahwa deskripsi arkeologis ini


pada dasarnya bukan bahasan tentang masa lampau, bukan
tentang sejarah pemikiran karena arkeologi tidak berlandaskan
interpretasi, bukan geologi yang membatasi diskursus itu sendiri,
bukan kajian tentang perubahan, bukan bahasan yang sedang
menjadi wacana. Arkeologi sama sekali tidak berdasar pada apa
yang telah dipikirkan atau apa yang diinginkan dan ditetapkan, tapi
tujuan darinya hanyalah deskripsi metodologis tentang tema
diskursus dalam kondisi yang berganti-ganti, untuk menyingkap
hubungan-hubungan antara sekumpulan dari bentuk-bentuk
diskursus.

Dengan metode seperti ini, akan hadir konsekuensi yang


menggembirakan bagi yang selama ini dianggap others,
termarginalkan. Karena dengan sengaja atau tidak, pada akhirnya
nanti akan mengangkat hal-hal tersebut sebagai diskursus, bebas
persepsi, kalim dan relasi kuasa.

Setelah berhasil menyingkap pembentukan diskursus (formation of


discourse) dengan analisis arkeologis tersebut, Foucault mencoba
melengkapi dan mengembangkannya dengan pendekatan lain;
pendekatan genealogi. Signifikansi perspektif genealogi dalam
sejarah, tersirat secara implisit bahwa, genealogi berhubungan
secara langsung dengan dokumen dan manuskrip. Dan ia
mempunyai nilai plus dengan keketatan dan kehati-hatian dalam
mendevinisikan peristiwa-peristiwa dengan persyaratannya pada
wawasan yang luas. Tujuan dari genealogi ini tidak jauh berbeda
dengan arkeologi dalam mengkaji dis-kontinuitas, dis-arrangement
(keacakan) sejarah dan hal menyangkut the others.

Jika arkeologis berusaha menyingkap wilayah formasi praktek


diskursusif, maka genealogi lebih mengarah pada usaha-usaha
untuk mendiskripsikan sejarah formasi-formasi sosial, yaitu sejarah
praktek-praktek non-diskurusif. Fokus sentral dari deskripsi
genealogis ini adalah relasi-relasi kekuasaan (power relations)
yang imanen dalam formasi-formasi sosial. Kuasa sebagaimana
yang dipahami Foucault, bukanlah merupakan substansi ataupun
entitas otonom yang given, yang dimiliki sekelompok individu
tertentu, yang dapat dilokalisasikan, maupun dapat dipertukarkan
seperti barang komoditi. Deskripsi genealogis bukan sebuah teori,
tapi merupakan cara pandang, sikap, etos untuk menempatkan
diskursus, praktik sosial, dan diri kita sendiri yang berada dalam
wiyah-wilayah kuasa. Perpaduan antara arkeologi dan genealogi
membentuk kritisisme yang tidak dapat dipraktekkan dalam rangka
mencari struktur-struktur formal dengan nilai universal, tapi lebih
merupakan manivestasi historis terhadap peistiwa-peristiwa yang
telah menuntun kita untuk mengkonstitusi diri kita dan mengenali
diri kita sebagai subyek-subyek dari apa-apa yang kita lakukan, kita
pikirkan dan katakan.

VI

Dan harus diakui, bahwa kesadaran sejarah dalam setiap masa,


selalu menjadi keharusan. Foucault telah melakukan dekontruksi
dalam epistemologi, dengan mengangkat lagi diskursus-diskursus
yang selama termarginalkan, dan tertutup oleh kekuasaan
eksternal, terlebih lagi kekuasaan yang mendominasi dalam alam
bawa sadar manusia. Foucault telah memperingatkan dengan
mengupas relasi-relasi kuasa tersebut, tinggal bagaimana dengan
kita?

Catatan Kaki:

1. Archeology adalah derivasi dari arche, dalam bahasa Yunani


berarti: asas pertama. Terma yang dimaksud Foucault dalam
terma ini, bukan sekedar makna harfyah arkeologi atau
ilmu peninggalan. Tapi maksud darinya adalah makna
metaforis tentang bagian-bagian pengetahuan yang
berperan dan struktur-struktur tersembunyi dibalik praktek
diskursus yang mengatur di dalamnya. Sebab itu, arkeologi
pengetahuan berbeda dengan sejarah klasik pengetahuan,
karena arkeologi pengetahuan menyingkap tentang
sekumpulan kaedah yang berperan di dalam budaya,
sedang sejarah klasik pengetahuan hanya merekam
peristiwa-peristiwa sekaligus artinya.

2. Dia dianggap sebagai penentang sejarah atas dasar


konsepsi barunya tentang sejarah yang kontradiktif dengan
yang telah dipraktekkan khususnya sejarawan pemikiran
dan para filusuf.

Daftar Pustaka:

1. Abd Al-Razq Al-Daway, Mawt al-Insn f Al-Khithb Al-


Falsaf Al-Mushir: Heidger, Levy Strauss, Michel Foucault,
Dar al-Thalah.

2. Fud Zakariy, fq al-Falsafah, Dar al-Saadah.

3. Michel Foucault, Hafriyat al-Marifah (terjemahan dari


bahasa Perancis oleh Slim Yaft), Al-Markaz al-Tsaqafi
al-Arabi.

4. Zaww Baghr, Michel Foucault fi Al-Dirst Al-Arabyah,


dalam Jurnal A-Ashr wa Al-Falsafah, Nahdhah Al-Misriyah.

Konsep Tuhan Personal Sudah Ketinggalan


Oleh Budhi Munawar Rachman

''Tuhan yang satu tak terjangkau oleh pikiran manusia, namun Dia dipersepsi
secara berbeda-beda oleh berbagai kelompok manusia sepanjang sejarah.''
Demikian salah satu untaian pemikiran Karen Armstrong dalam bukunya,
Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan Orang-Orang Yahudi,
Kristen, dan Islam selama 4.000 Tahun.

Nama Karen Armstrong makin akrab di telinga publik Indonesia sejak buku-buku
yang lahir dari penanya diterjemahkan dan diterbitkan penerbit kondang di
Indonesia. Selain Sejarah Tuhan, buku-bukunya, Berperang Demi Tuhan dan
Biografi Nabi Muhammad SAW laris manis di pasaran. Armstrong yang berasal
dari keluarga Katolik Roma berhasil menguraikan pernik-pernik perdebatan
filosofis dan mistis seputar ketuhanan dalam ketiga agama monoteis.
Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) edisi ini mengangkat fenomena Karen Armstrong
dan korelasinya dengan dialog antaragama. Untuk mengupas sisi menarik
Armstrong, Ulil Abshar-Abdalla mewawancarai Budhy Munawar-Rachman, dosen
Universitas Paramadina. Wawancara ini berlangsung di Radio 68H pada Kamis,
2 Mei 2002 lalu. Berikut petikannya:

Ulil: Berbicara pengertian antaragama, kita tidak bisa melupakan sosok Karen
Armstrong. Mantan biarawati asal Inggris ini dikenal sebagai sarjana yang
menulis tentang abrahamic religions (Yahudi, Nasrani, dan Islam). Seolah-olah,
Armstrong menjadi jembatan pengertian antaragama saat ini. Sebagai pembaca
serius karya-karya Armstrong, bagaimana kesan Anda tentang Armstrong ini?

Menurut saya, Armstrong adalah penulis yang menjadi perhatian dunia. Lebih
dari itu, beliau memberi kita pemahaman yang baik tentang masalah teologi dan
sejarah. Kekuatan buku-bukunya, saya kira, terletak pada perspektif sejarah
yang mendalam.

Ini dapat kita lihat dari keberaniannya memberikan judul bukunya, History of God
(Sejarah Tuhan). Dalam buku itu, dia menguraikan panjang lebar bahwa masalah
ketuhanan akhirnya adalah perspektif kita mengenai Tuhan. Atau, bisa juga
disebut sebagai kepercayaan menurut istilah para sufi. Selain itu, Armstrong
menulis dengan cara yang simpatik. Penulisannya tentang Islam, misalnya,
sangat simpatik. Banyak orang yang sudah membaca karyanya, kemudian
berkomentar bahwa seharusnya Armstrong lebih kritis lagi.

Armstrong malah lebih kritis menulis tentang agama Kristen. Misalnya, ketika dia
membahas mengenai sejarah Trinitas. Dengan sangat kritis, dia merujuk uraian
sejarah yang dalam sekali mengenai konflik-konflik kepentingan yang ada kala
itu. Jadi, membaca buku-buku Armstrong memang membangkitkan kesadaran
kita bahwa agama itu ada dalam sejarah. Artinya, agama selalu terlibat dalam
pergumulan-pergumulan, berwujud kepentingan-kepentingan, konflik ide, dan
lain-lain.

Ulil: Secara ringkas, apa yang ingin Armstrong katakan dalam buku Sejarah
Tuhan itu?

Kalau dalam buku Sejarah Tuhan, dia ingin menegaskan bahwa dewasa ini
kepercayaan mengenai ''Tuhan personal'' sudah tidak cocok lagi. Dan itu
sebenarnya sudah lama disadari agama Yahudi, Islam, dan Kristen Ortodoks.
Lebih kurang, sudah terjadi seribu tahun pergulatan antara para teolog dan para
mistikus yang mengkritik Tuhan personal. Meski demikian, di kalangan Kristen
Barat, kesadaran ini baru muncul belakangan, terutama sejak Nietzcszhe yang
mengatakan Tuhan sudah mati (God is death). Sekarang terjadi perdebatan
kembali apakah konsep Tuhan personal itu masih bisa dipertahankan atau tidak.

Ulil: Apa yang dimaksud Tuhan personal?


Tuhan personal adalah penggambaran bahwa Tuhan itu seperti manusia, dalam
arti memiliki pribadi. Jadi, Tuhan bukan prinsip. Menurut perspektif ini, Tuhan
bukan suatu yang berada di balik alam dan meliputi semuanya. Biasanya, lawan
Tuhan personal adalah Tuhan yang apersonal atau impersonal. Dalam sejarah,
Tuhan yang impersonal ini banyak dibicarakan oleh para sufi. Tuhan para
mistikus. Dan, Armstrong mengatakan bahwa masa depan Tuhan adalah
persepsi kita tentang Tuhan. Tidak ada masa depan untuk Tuhan yang personal
ini. Dia menggambarkan panjang lebar pada bab terakhir bukunya mengenai
prediksi masa depan Tuhan.

Menurut dia, sejauh Tuhan masih digambarkan terlalu rasional -sebagaimana


dalam teologi selama ini- selama itu pula kepercayaan kita mengenai Tuhan
akan mengalami krisis dan selalu dipertanyakan kembali.

Ulil: Yang menarik, Armstrong adalah seorang Katolik dan mantan biarawati yang
giat belajar agama di luar Katolik. Lalu, dia mencoba menarik benang merah
antaragama dan berusaha simpatik pada semua agama. Apa yang bisa
dipelajari dari sikap simpatik ini?

Saya kira, itu menyangkut kesadaran bahwa dalam semua agama selalu ada
masalah. Yang relevan untuk menggambarkan itu adalah buku The Battle for
God, Berperang demi Tuhan.

Dalam buku itu, kita akan dapatkan bahwa agama tidak hanya berisi yang tinggi,
yang baik, dan luhur, atau gambaran yang indah-indah saja tentang agama.
Ternyata, agama juga terlibat dalam kekerasan, pembenaran untuk membunuh
sesama, bahkan terkadang agama terlibat dalam terorisme.

Armstrong menguraikan itu dalam perspektif sejarah yang cukup panjang. Yakni
dimulai sejak pemberangusan kelompok Yahudi di Eropa yang diikuti fenomena
hijrahnya Yahudi ke kawasan Dinasti Utsmani waktu itu. Mereka menjadi
minoritas tertindas.

Armstrong membuktikan bahwa agama memiliki potensi penindasan seperti itu.


Karena itu, Armstrong menyimpulkan, selama agama tidak memberikan
perhatian sungguh-sungguh terhadap masalah kemanusiaan, sejauh itu pula
agama akan ditinggalkan dan menjadi tidak relevan.

Ulil: Dalam setiap agama selalu saja ada salah paham dan prasangka atas
agama lain. Menurut Anda, bagaimana tiga agama (Yahudi, Kristen, dan Islam)
yang bersumber dari bapak monoteis yang sama, yaitu Nabi Ibrahim, dalam
kenyataan sejarah justru paling sering terlibat kekerasan?

Inilah yang menjadi pertanyaan besar. Sebab, tiga agama ini lahir dengan etos
profetik, agama kenabian. Ini merupakan penyebab utama kebingungan itu. Tapi,
dalam perjalanan sejarah, ada istilah sosiologi yang disebut priestly religion,
agama yang bersifat kependetaan.

Seiring dengan tumbuh kembangnya organized religion (agama yang


terorganisasi), mulailah ada dogma, penilaian atas yang lain, kategorisasi
kesesatan, anggapan kafir, klaim kebenaran (claim of truth), klaim keselamatan
(claim of salvation), dan lain-lain.Pada masa pramodern, pemikiran tentang
keabsahan yang lain dan kemungkinan adanya persamaan jalan menuju
ketuhanan belum ada. Ini yang menjadi gagasan-gagasan pluralisme. Pluralisme
merupakan gagasan yang sangat baru. Demikian juga paham toleransi. Dalam
sejarah Eropa, toleransi baru muncul seiring dengan keinginan untuk
menciptakan kehidupan harmonis antara orang-orang Kristen. Ini baru muncul
belakangan saja.

Ulil: Ada kekhawatiran, bila membaca konsep ketuhanan Armstrong yang njlimet,
itu bisa menggiring pada ateisme. Komentar Anda bagaimana?

Saya kira, tidak perlu khawatir akan menjadi ateis. Hemat saya, membaca buku
Armstrong justru akan menambah keimanan. Itu yang saya rasakan. Kalau
membaca buku Berperang demi Tuhan, mungkin akan timbul kesan lain lagi.

Dari buku itu, kita akan merasakan banyaknya bahaya yang muncul bila agama
terlibat dalam kepentingan-kepentingan, politik, dan kekerasan. Hemat saya,
buku Sejarah Tuhan jangan dibaca sebagai buku teologi, namun lebih sebagai
buku sejarah

Michel Foucault: Usaha Mengenal 'Yang Lain'


Oleh Andri Rosadi

Banyak pemikiran muncul dan berkembang dilatari oleh kondisi


sosio-kultural tempat sang pemikir hidup. Pemikir adalah anak
zamannya, walaupun pemikirannya nanti menembus ruang dan
waktu. Pemikir dan pemikirannya adalah bagian dari satu gestalt,
bisa berupa sejarah atau peradaban (seperti Barat), bisa juga
agama (seperti Islam). Pemikiran Al-Ghazl bisa dipahami secara
jernih dengan melihat gestalt-nya secara keseluruhan, yakni Islam.
Ia adalah bagian dari gestalt, yang berarti diterangkan oleh gestalt
tersebut. Begitu juga Michel Foucault, Ia adalah bagian dari suatu
gestalt, yakni peradaban Barat, karena itu, Ia diterangkan oleh
gestalt-nya. Memahami Foucault, berarti juga harus memahami
gestalt-nya, sebagai salah satu unsur pembentuk.
Peradaban Barat berada dipersimpangan jalan dengan segala
deviasi dan distorsi dalam moralitas maupun hal-hal yang dianggap
benar (kebenaran). Modernisme adalah ciri peradaban Barat
dengan rasionalitas sebagai penunjuk jalannya. Dewasa ini,
muncul kritik dan gugatan yang kuat terhadap modernismeyang
dibela mati-matian oleh mulai dari Habermas hingga Smith dan
Gellneryang dilakukan oleh para pemikir dari aliran filsafat
kontinental, dimotori oleh pemikir Perancis seperti Derrida,
Foucault, Barthes dan Lyotard. Peradaban Barat dengan
modernismenya, yang melahirkan dominasi ilmu pengetahuan yang
bercorak positivistik, mereka mereka gugat secara tajam, sambil
menawarkan alternatif-altrnatif baru. Gerakan inilah yang disebut
sebagai posmodernisme. Secara relatif, posmodernisme bisa
disebut sabagai gestalt minor(?) dari Foucault. Karena itu,
memahami posmodernisme terlebih dahulu tak bisa dihindari agar
Foucault terlihat lebih utuh, sebagai unsur yang membentuk gestalt
(posmodernisme).

II

Berbicara tentang posmodernisme, berarti masuk dalam wilayah


yang penuh ambiguitas, ketidakpastian dan disensus. Konsep ini
digunakan untuk mencirikan kecenderungan kontemporer dalam
berbagai bidang: sastra, filsafat, arsitektur dan kajian-kajian sosial
(terutama antropologi). Secara pasti, tidak ada kepastian setan
apakah gerangan posmodernisme ini. Bahkan pada tingkat yang
paling jelas-pun, posmodernisme tetap tidak jelas; dalam arti
absurd. Boleh jadi, absurditas telah menjadi trade mark. Aliran ini
muncul dan berkembang ketika manusia (baca: Barat) mencari
kepastian dengan menggugat kepastian lama. Namun kemudian, ia
dikhianati oleh setiap kepastian baru yang dipegangya; ia terjebak
dalam absurditas.

Bapak spiritual posmodernismemenurut sebagianadalah


Nietzsche (1844-1900 M ), filsuf gila kelahiran Jerman; sang
destruktif. Dikalangan pendukung modernisme, Ia dianggap tokoh
yang paling gila, namun, dikalangan pendukung posmodernisme, Ia
adalah inspirator utama. Filsafat Nietzsche penuh dengan nuansa
destruksi, bahkan destruksi itulah inti filsafatnya. Ia menggugat
seluruh jaminan nilai dan makna yang menjanjikan kepastian.
Jaminan kepastian yang utama adalah agama Kristen. Karena itu,
Ia memaklumkan, Tuhan sudah mati! Tuhan terus mati! Kita telah
membunuhnya!. Kemudian, Ia mengucapkan selamat tinggal,
semoga Tuhan beristirahat dalam kedamaian abadi. Tak berhenti
disini, Ia juga menghantam segala model Tuhan seperti ilmu
pengetahuan, prinsip-prinsip logika, rasio, sejarah dan progress.
Tuhan sebagai simbol kepastian dibunuh, maka ketidakpastian
telah berubah menajadi kepastian itu sendiri; manusia terjebak
dalam kepastian nihilisme.

Kematian Tuhan menjelma menjadi kepastian, yang berlanjut pada


runtuhnya seluruh tatanan nilai dan makna. Tuhan disini menunjuk
pada segala bentuk model jaminan kepastian untuk hidup dan
dunia. Suatu ketika nanti, boleh jadi akan muncul jaminan
kepastian baruyang berarti posisinya adalah Tuhan--, ini bisa
berupa pendapat, kebenaran-kebenaran yang diyakini, dan
pandangan-pandangan yang dipertahankan. Namun,
bagaimanakah cara membunuhnya, yang berarti membunuh diri
sendiri? Disinilah letak ambiguitas dan inkonsistensi kalangan
posmodernisme.

III

Modernisme Barat dibangun atas dasar rasionalitas yang bercirikan


positivisme. Dalam hal ini, yang paling bertanggungjawab adalah
cogito-nya Descartes yang menimbulkan implikasi dikotomis
subyek-obyek. Selanjutnya, melahirkan pandangan yang disebut
subyektif-obyektif berdasarkan rasionalitas. Positivisme begitu
mengagungkan obyektifitas; fakta-fakta bisa diamati, diteliti dan
dinilai secara obyektif, dengan kebenaran yang bersifat
transkultural, karena itu, bisa disebut universal. Dengan kata lain,
rasionalitas telah memberikan jaminan kepastian dan totalisasi,
karena itu harus di dekonstruksi. Positivisme, dimata pendukung
posmodernisme tak lebih dari bentuk kolonialisme, atau
kolonialisme adalah bentuk positivisme; atau keduanya benar.

Fakta-fakta obyektif tak lebih dari alat dominasi yang dihasilkan dari
relasi kuasa. Generalisasi-generalisasi ilmiah adalah bentuk dari
positivisme. Karena itu harus digugat. Dimata pendukung
posmodernisme, dunia yang sebenarnya adalah subyektifitas yang
mencerminkan kesamaan dan persamaan antarbudaya, terlepas
dari konsep pinggir-pusat. Konsep pusat (center) dan pinggir
(pheri-pheri) telah melahirkan Pihak Lain (The Other). Rasionalitas
(dalam hal ini maksudnya Barat) adalah pusat (center), sementara
selain Barat dianggap irrasional, tak beradab, karena itu mereka
adalah The Other (pheri-pheri). Inilah yang menjadi dasar legitimasi
kolonialisme. Karena itu, rasionalitas positivistik adalah
kolonialisme dan, sebaliknya.
Banyak kesalahan dalam rasionalitas. Terbukti, sains yang
dibangun atas dasar rasionalitas tak mampu menjawab tantangan
zaman. Kemiskinan, peperangan dan kerusakan lingkungan hidup
adalah sedikit contoh kegagalan sains. Karena itu, rasionalitas
modernisme tak lebih dari rasionalisasi, yang menghasilkan
Kebenaran (dengan K besar) dan bersifat transkultural. Sementara
posmodernisme hanya mengakui kebenaran (dengan k kecil) yang
bersifat lokal dan subyektif; artinya, ada pluralitas kebenaran.
Disini, posmodernisme adalah sejenis histeria subyektifitas yang
mendestruksi segala bentuk obyektifitas (baca: Kebenaran).

IV

Uraian sederhana diatas telah membawa kita untuk masuk lebih


jauh dalam ambiguitas, disensus dan absurditas posmodernisme.
Ada sisi absurditas yang lain: yaitu makna terminologis. Apakah
post disini menyiratkan makna keterputusan (rupture; infishl) atau
ketersambungan (continuity; istimrr) dengan modernisme;
Pemahaman yang lain menyebutkan makna post sebagai kritik dan
reformasi atas modernisme; bahkan ada yang mengkombinasikan
antara rupture dan continuity; yang terakhir mengatakannya
sebagai dialektika antara keduanya. Terlepas dari disensus makna
diatas, yang jelas, hal ini semakin menambah absurditas
pemahaman kita tentang posmodernisme. Semua pakar
memahaminya sesuai dengan persepsi masing-masing. Mana yang
paling benar? Lupakanlah pertanyaan tersebut, karena
posmodernisme tidak membutuhkan klaim kebenaran; ada
pluralitas kebenaran. Semua arti diatas bisa dikatakan
mengandung kebenaran (k kecil), atau, boleh jadi, semuanya tidak
mengandung kebenaran, dan itulah kebenaran yang sebenarnya.

Secara nyata, posmodernisme menolak segala jaminan kepastian,


klaim kebenaran universal yang dibangun atas dasar rasionalitas
dan, apapun namanya yang berlagak universal. Fakta-fakta
bukanlah kesatuan yang utuh yang bisa digeneralisasi, tapi
merupakan fragmentasi yang berdiri sendiri, mengandung
kebenaran lokal dan subyektif. Rasionalitas cenderung pada
totalisasi, karena itu harus ditentang. Sementara fragmentasi
adalah kebenaran, karena menghargai adanya keragaman narasi.

Gugatan ini dilanjutkan dengan dekontruksi, yakni pembongkaran


cara berpikir yang logis, atau cara berpikir yang kita anggap benar
karena rasional. Dekontruksi membongkar unsur-unsur
ketidaksadaran dari proses pemikiransehingga amat terpengaruh
dengan psikoanalisa Freud. Di antara unsur ketidaksadaran
tersebut adalah pengaruh kekuasaan yang muncul dalam
kesadaran. Dekontruksi menolak pemikiran dominan karena tak
lebih produk relasi pengetahuan-kuasa. Selanjutnya, yang dijadikan
pilihan adalah pemikiran-pemikiran marginal; pemikiran tentang
mereka yang ditolak. Dari sinilah kita menemukan posisi pemikiran
Foucault sebagai bagian dari gestalt-nya. Foucault menggugat
konsep kebenaran, pemahaman Barat terhadap sejarah,
obyektifitas dan pemikiran dominan. Ia lebih memilih kegilaan
daripada normalitas, kemudian menawarkan arkeologi dan
genealogi pengetahuan untuk memahami sejarah pemikiran dan,
selanjutnya, mengumumkan kematian manusia sebagai implikasi
lansung matinya Tuhan. Man is an invention of recent date,
katanya. Kematian manusia berarti hilangnya dikotomi subyek-
obyek (dzat-mawdhu). Dikotomi ini adalah produk modernisme
yang melahirkan humanisme (al-nuzah al-insnyah; humanism),
berarati humanisme juga ikut dibunuh. Dalam tulisan berikut,
penulis hanya akan membahas tentang pengertian epistema,
arkeologi, genealogi dan diskursus (wacana) secara ringkas.

Foucault lahir di Poitiers, 15 Oktober 1926. Pendidikan


akademisnya dilalui di Ecole Normale Superiuere (Paris) bidang
filsafat dan psikologi. Tugas akademis yang pernah Ia emban
adalah Direktur Departemen Filsafat di University of Clermont-
Ferrand dan University of Vincennes (1960). Ia juga pernah
menjadi professor bidang Sejarah Sistem Pemikiran di College de
France. Juga pernah mengajar selama bertahun-tahun di negara
Arab Maghrib (terutama Tunisia). Pada 25 Juni 1984, Ia meninggal
dunia di Paris.

Ketika mengikuti pemikiran Foucault, kita akan menemukan


terminologi epistema (episteme). Apa sebenarnya yang dimaksud
dengan epistema tersebut? Sebagaimana ciri khas diskursus
pemikiran kalangan posmodernisme yang dikenal sulit dan berbelit,
pemikiran Foucault juga begitu. Untuk mendefinisikan epistema
memang agak sulit, karena kalangan posmodernisme menolak
segala bentuk definisi. Di mata mereka, definisi memiliki sifat
reduksi yang mengandaikan adanya kebenaran tunggal, sehingga
membatasi interpretasi dan pemahaman.

Secara relatif, bisa dikatakan bahawa epistema adalah sistem.


Dalam satu periode sejarah, hanya terdapat satu epistema.
Epistema disini bisa juga dipahami sebagai korelasi epistemologis
yang dalam, diantara berbagai cabang ilmu pengetahuan yang
berkembang pada masa dan kurun tertentu. Kaitannya dengan
empat abad terakhir sejarah pemikiran Eropa, Foucault
membaginya ke dalam tiga macam epistema, yaitu: epistema Abad
Tengah, epistema Klasik dan epistema Modern. Setiap penggalan
(rupture) dari epistema tesebut memiliki sistem pemikiran tersendiri
yang berbeda satu sama lain, sekurangnya dalam konsep dan
metode. Disinilah lapangan arkeologi pengetahuan; ia bertugas
mengungkap unsur-unsur terdalam dan tersembunyi.

Epistema (boleh jadi) merupakan kumpulan relasi yang


menghubungkan antara praktek-praktek lisan dengan pengetahuan
dalam berbagai bentuknya pada periode sejarah tertentu. Epistema
adalah sitem tersembunyi dibalik pengetahuan yang dominan pada
masa tertentu. Sistem tersembunyi ini dianggap sebagai
pemersatu, dalam realitasnya yang paling dalam, pada peradaban
tertentu dan, periode tertentu. Epistema adalah prasyarat
munculnya pengetahuan dan teori. Jadi, ia adalah latar
tersembunyi dibelakang pengetahuan; epistema adalah struktur
dasar yang berada diluar sejarah. Ringkasnya, ia adalah struktur
pengetahuan global, dengan cirinya yang holistik. Ia dianggap
sebagai jaringan dasar hukum-hukum yang mengatur
pengetahuan, metode, pemahaman, dan metode analisa.

Siapakah yang berbicara (subyek) dalam epistema? Yang jelas,


bukan Tuhan dan manusia. Tuhan telah mati, dan manusia tak
lebih dari mitos; ia hanyalah invention of recent date. Lalu siapa?
Jawabannya adalah bahasa. Melalui dan mengggunakan bahasa,
epistema mengetahui dirinya. Jadi, epistema adalah obyek dan
bahasa adalah subyekwalaupun kalangan posmodernis menolak
pembagian dikotomis ini, namun realitanya, mereka tak bisa
menghindarkan diri. Manusia sebagai subyek sudah ditinggalkan,
karena itu, Foucault selanjutnya mengumumkan kematian manusia,
sebagai implikasi logis kematian Tuhan.

VI

Ada kesamaan antara Foucault dengan J. Lacan berkenaan


dengan bahasa. Foucault mengatakan bahwa yang berbicara
bukanlah subyek, tapi struktur linguistik dan sistem bahasa.
Sementara Lacan menegaskan bahwa jalan yang telah dirintis oleh
Freud tak memiliki makna selain bahwa, alam bawah-sadar adalah
bahasa. Mereka tampaknya memahami bahasa secara luas.
Signifikansi bahasa dalam studi Foucault tampak dalam karyanya
Madness and Civilization, yang meneliti tentang simbol-simbol yang
diciptakan oleh relasi kuasa dengan pengetahuan. Praktek sosial
menyediakan mekanisme yang memungkinkan relasi kuasa
beroperasi. Kuasa ada dimana-mana, karena itu, ia bisa
ditemukan dalam segala bidang interaksi manusia: keluarga, politik,
ekonomi, sosial, agama dan sebagainya. Penelitiannya tentang
sejarah orang-orang gila; yakni tentang mereka yang ditolak,
berhasil mengungkap formasi-formasi bahasa dan diskursus yang
telah menciptakan konsep Pihak Lain. Untuk hal ini, Ia
menggunakan deskripsi genealogis. Genealogi bukanlah teori, tapi
lebih merupakan cara pandang atau model perspektif untuk
menempatkan diskursus, praktek sosial dan diri kita sendiri dalam
wilayah relasi kuasa. Genealogi merupakan kelanjutan dari
arkeologi. Kalau arkeologi lebih difokuskan untuk menyingkap
suatu wilayah praktek diskursusif; untuk menemukan fenomena-
fenomena keterputusan dan keberbedaan, tanpa dikorelasikan
dengan kemajuan, maka genealogi lebih merupakan usaha untuk
mendeskripsikan sejarah formasi-formasi sosial; sejarah tentang
asal suatu pemikiran untuk menemukan titik tolak pemberangkatan,
tanpa menghubungkannya dengan hakekat (substansi) ataupun
identitas-identitas yang hilang. Tujuannya hanyalah untuk
membongkar pemikiran-pemikiran asali, center dan substansi.
Segala sesuatu tidak memiliki mahiyah (inti; substansi). Segala
substansi tak lebih dari buatan manusia, karena itu harus di
dekontruksi dan dikeping-keping. Dengan ini, Foucault mampu
membuktikan bahwa sejarah selama ini adalah sejarah yang
terdistorsi; bukan sejarah bahasa dan makna, tapi sejarah relasi
kuasa.

Lebih jauh tentang arkeologi, Foucault menulis, Aku menggunakan


terminologi arkeologi secara metaforis untuk menunjuk pada
sesuatu yang disebut arsip. Bukan untuk menemukan awal sesuatu
ataupun untuk menghidupkan masa lalu yang telah mati. Lebih
lanjut, Ia menerangkan tentang apa yang di maksud dengan arsip,
apa yang kumaksud dengan arsip bukanlah kumpulan teks-teks
yang dijaga oleh peradaban tertentu, bukan pula kumpulan
peninggalan arkeologis yang mungkin untuk dijaga dari
kehancuran, tapi merupakan kumpulan prinsip-prinsip (aturan-
aturan) yang menentukan bagi muncul dan hilangnya suatu
diskursus; ketersambungan (continuity) ataupun keterputusan
(rupture) diskursus tersebut pada peradaban tertentu. Dengan
arkeologi, ia bermaksud untuk membahas tentang sejarah
pemikiran, membebaskannya dari ikatan-ikatan antropologi,
sekaligus mengungkap bagaimana ikatan-ikatan tesebut terbentuk.
Dengan kata lain, arkeologi hanyalah bertugas untuk menganalisa
formasi konsep tanpa mengkorelasikannya dengan horison
idealitas dan kemajuan empirik suatu pemikiran

Berkenaan dengan sejarah kegilaan, Foucault menunjukkan bahwa


predikat gila bukanlah sekedar masalah empiris atau medis
semata, tapi juga berkenaan dengan norma-norma sosial dan
bentuk-bentuk diskursus tertentu. Dalam arti, pengertian tentang
kegilaan adalah hasil ciptaan manusia. Karena itu kategori gila
terus berubah sesuai dengan zaman. Pada Abad Tengah, orang
gila adalah yang tidak berintegrasi dengan masyarakat. Menurut
versi gereja, orang gila adalah yang tidak memiliki loyalitas pada
gereja. Demikian seterusnya pengertian gila terus berubah
sesuai dengan perspektif dan kepentingan pemegang kuasa.
Dalam proses penciptaan, ikut terlibat para dokter, politisi, ahli
hukum dan unsur-unsur yang dominan dalam masyarakat. Yang
paling dominan peranannya adalah para dokter yang menciptakan
bahasa simbol dan tanda-tanda. Selanjutnya, struktur bahasa inilah
yang sangat berpengaruh dalam menilai gila atau warasnya
seseorang. Analisa genealogis adalah kritik terhadap ilmu
pengetahuan modern, dalam hal ini ilmu pengetahuan sejarah. Ilmu
pengetahuan sejarah modern lebih merupakan pembungkaman
terhadap The Others, sehingga banyak lapisan-lapisan yang
sebenarnya bagian dari wacana ilmiah luput dari perhatian
ilmuwan, apalagi kita. Kegilaan adalah aspek yang terlupakan
(baca: yang terbungkam; yang terpinggirkan), namun sebenarnya
bagian dari wacana ilmiah. Kegilaan sebenarnya banyak
mengandung hikmah dan kebijaksanaan.

Dari penelitiannya, Foucault berhasil menyimpulkan bahwa


kegilaan merupakan kebutuhan masyarakat akan formasi sosial
yang dikehendaki, hingga menjadi kebutuhan sosial tertentu. Dari
sini tercipta mereka Pihak Lain. Kamu gila berarti kamu bukan
golongan kami. Foucault membuktikan bahwa kode-kode
pengetahuan (dalam konteks ini: kedokteran) banyak
mempengaruhi struktur bawah-sadar masyarakat. Dengan
genealogi, Foucault ingin men-delegitimasi masa sekarang dari
masa lampau; ada rupture.

VII

Gagasan lain Foucault yang terpenting, berkenaan dengan


wacana (discourse). Dalam discourse, bahasa adalah mediator.
Wacana adalah ucapan yang dengannya pembicara
menyampaikan segala sesuatu kepada pendengar. Unsur terkecil
dari wacana adalah kalimat. Wacana yang diperkuat dengan tulisan
disebut teks. Wacana merupakan kumpulan pernyataan-
pernyataan (statement) yang berbeda dengan ungkapan
(utterance) maupun proposisi (proposition). Yang dimaksud
Foucault disini bukanlah sekedar perbincangan sehari-hari, tapi
perbincangan yang serius (serious speech-act). Serius tidaknya
suatu perbincangan diukur berdasar intensitas keterlibatan unsur
relasi kuasa dengan pengetahuan yang melahirkan wacana
tersebut. Ungkapan dikalangan mahasiswa bahwa staf KBRI
sering berfoya-foya adalah speech-act, namun belum bisa
dianggap serius karena ketidakmampuannya membentuk makna
dan kebenaran. Namun, ketika yang berbicara adalah pejabat di
Departemen Luar Negeri, hal ini menjadi serious speech-act,
karena Deplu memiliki kuasa, selanjutnya bisa membentuk makna
dan kebenaran.

VIII

Sebagai penutup, mungkin timbul pertanyaan, apa urgensinya


pemikiran-pemikiran Foucault bagi kita? Banyak yang bisa diambil,
diantaranya manfaat analisis arkeologis-genealogis dengan metode
dekontruksi untuk memahami realitas sosial-keagamaan; sejauh
mana relasi-relasi kuasa beroperasi dalam kehidupan umat Islam,
sehingga bisa ditemukan mereka yang lain, mereka yang ditolak,
namun sebenarnya adalah bagian dari umat yang membentuk
suatu gestalt. Bukan untuk menemukan kesatuan diskursus umat
Islam, tapi untuk menemukan keragaman pemahaman dan
kebenaran. Sehingga terjadi proses decentering yang berarti
keterbukaan terhadap yang lain; yang juga berarti runtuhnya
dominasi dalam interpretasi maupun klaim-klaim kebenaran.
Selanjutnya tercipta iklim yang inklusif. Mudah-mudahan.

Daftar Pustaka:

1. 'Abd Al-Razzq Al-Daway, Mawt Al-Insan fi Al-Khithb Al-


Falsaf Al-Mu'shir, Dar Al-Thal'ah, Beirut, cet. I, 1992.

2. Ahmad Sahal, Agama dan Tantangan Pascamodernisme,


dalam Islamika, no. II (Oktober-Desember 1993), Bandung.
3. Al-Zawaw Baghrah, Michel Foucault fi Al-Dirasat
Al-'Arabyah, dalam Falsafah wa al-'Ashr, edisi I, th. 1999,
Al-Majelis Al-A'la li Al-Tsaqfah, Kairo.

4. Ernest Gellner, Menolak Posmodernisme: Antara


Fundamentalisme Nasionalis dan Fundamentalisme
Religius, (terjemah Hendro P. dan Nurul Agustina), Mizan,
Bandung, cet. I, th. 1994.

5. 'Ishm Abdu'lLah, Al-Judzr Al-Nitsywyah li m Ba'da Al-


Hadatsah, dalam Al-Falsafah wa Al-'Ashr, edisi I, th. 1999,
Al-Majlis Al-A'l li Al-Tsaqfah, Kairo.

6. Luthfi Asysyaukanie, Islam Dalam Konteks Pemikiran


Pasca-modernisme: Pendekatan Menuju Kritik Akal Islam,
dalam Ulumul Qur'an, no I, vol. V, th. 1994, LSAF dan ICMI,
Jakarta.

7. Rudy Harisyah Alam, Perspektif Pasca-modernisme Dalam


Kajian Agama, dalam Ulumul Qur'an, no. I, Vol. V, th. 1993.
LSAF dan ICMI, Jakarta.

8. St. Sunardi, Nietzsche, LKiS, Yogyakarta, cet. II, th. 1999

Terorisme, Politik-Porno, dan Etika Keyakinan

Terorisme sering digunakan untuk mengualifikasi tindakan musuh, seperti arti


ideologi menurut Napoleon. Raja Perancis ini mendefinisikan ideologi sebagai
pemikiran musuh-musuh politiknya (Jean Baechler, 1976). Demikian pula yang
dianggap teroris oleh Amerika Serikat (AS), bisa dipuja sebagai pahlawan oleh
yang lain. Tetapi, apapun istilah yang dipakai, siapapun yang menyebut, yang
jelas telah terjadi kekerasan yang meninggalkan kurban. Kebanyakan kurban
tidak bersalah dan dalam posisi lemah.

Politik-porno dan kekerasan

Yves Michaud dalam Violence et Politique (1978) secara sarkastis menyebut


semua bentuk kekerasan politik untuk tujuan tertentu sebagai "politik-porno".
Porno berasal dari bahasa Yunani porneia, berarti hal-hal tidak senonoh. Politik-
porno merupakan manajemen kekerasan sebagai cara/sarana yang efisien dan
andal. Ini bukan ujian ironis, tetapi istilah ini mau menggambarkan betapa kasar
dan tidak senonohnya realitas politik itu sehingga lebih tepat disebut kekejian
dan kepala dingin gangsterisme politik.

Masuk dalam kategori politik-porno ini adalah demonstrasi dengan kekerasan,


penculikan, penyanderaan, perampokan untuk biaya perjuangan politik,
intimidasi, adu domba, pengeboman menciptakan ketegangan atau kerusuhan
untuk destabilisasi situasi, eksekusi peradilan jalanan oleh kelompok tertentu,
dan sebagainya. Politik-porno mengakibatkan kurban yang tidak bersalah dan
teror yang membekas menjadi trauma. Prinsip yang dipegang politik-porno ini
adalah "tujuan menghalalkan segala cara".

Kriminalisasi politik

Ketika tujuan menghalalkan cara, cara bisa semena-mena sehingga sulit


dibedakan dari tujuan. Karena itu, sulit dibedakan antara demonstrasi dengan
kekerasan itu bayaran atau murni aspirasi pendemo; kerusuhan, pembakaran
rumah ibadat, saling bunuh itu konflik agama atau rekayasa. Kriminalisasi politik
menghasilkan politisasi kriminalitas. Situasi seperti ini tidak disia-siakan oleh
para preman dan kelompok yang memiliki kekuatan fisik riil. Mereka inilah yang
diuntungkan.

Kekerasan semacam itu ada batasnya. Tetapi, batas itu justru dipakai sebagai
alat pembenaran. Betapa kasarnya suatu kekerasan politik, ia tetap
membutuhkan legitimasi. Kekerasan tidak akan operasional bila sama sekali
lepas dari hukum: kerusuhan masih dipakai sebagai sebagai sarana karena
pelaku tidak ditindak keras, bahkan menikmati impunity; intimidasi dan teror
digunakan karena sulit dibuktikan secara hukum dan para saksi tidak berani
membuka mulut. Dengan kata lain, kekerasan politik bisa berjalan karena
memperhitungkan aspek hukum itu, dengan memberi alibi. Terorisme juga butuh
pembenaran.

Terorisme, yang merupakan bagian dari politik-porno, sulit mendapat


pembenaran dari segi etika. Terorisme mencerminkan tindakan dengan argumen
keharusan. Argumen keharusan bukan merupakan argumen etika. Etika selalu
merupakan hasil dari suatu pilihan, sedangkan keharusan mengandaikan
tiadanya pilihan lain. Lalu dari perspektif mana kekerasan politik berusaha
mencari pembenaran?

Tujuan menghalalkan cara

Pembenaran biasanya bertitik tolak dari tindakan rasional dalam pengertian Max
Weber: tujuan menentukan pemilihan sarana. Prinsip rasionalitas tindakan ini
membawa ke pembenaran antara pandangan pakar dan politik itu sendiri. Politik
mendasarkan pada komitmen terhadap nilai-nilai yang diyakini, sedangkan
analisa rasional tindakan adalah masalah koherensi tujuan, penyesuaian sarana
yang efektif, akibat-akibat yang dapat diperhitungkan. Bila yang dikehendaki
dipisahkan dari sarana untuk mencapainya, tujuan dengan mudah melegitimasi
sarana apapun yang dipakai. Kurban diabaikan karena yang penting tujuan bisa
tercapai. Lebih sadis lagi kurban dianggap sebagai ukuran keberhasilan atau
bagian sasaran strategi. Maka kekerasan dianggap sebagai salah satu dari
sarana-sarana itu seperti tidak ada pembedaan normatif.

Pemahaman ini memberi peluang masuk ke proses legitimasi kekerasan melalui


prinsip kasuistik (pada kasus tertentu kekerasan dibenarkan). Seakan-akan
orang sudah merasa bertanggung jawab dengan menyeleksi kekerasan sebagai
sarana yang telah teruji atas dasar kriteria efektivitas. Efektivitas adalah prinsip
realisme. Padahal, kebanyakan wacana yang realis ternyata sering mengabaikan
legitimasi tujuan. Pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan dapat dijelaskan
dengan analisa rasional, tetapi tidak ditentukan olehnya.

Rasionalitas berhenti di pintu masuk ke keputusan. Hal ini jelas dari kritik Jurgen
Habermas (1968) atas analisa weberian tentang rasionalisasi keputusan. Dia
menangkap analisa Max Weber justru menunjukkan kecenderungan untuk
sewenang-wenang dalam pengambil keputusan, karena ruang lingkup keputusan
dipersempit analisa metodologis. Sedangkan keputusan itu sendiri menjadi
irasional. Irasionalitas itu tampak ketika masalah pilihan nilai-nilai diabaikan
seperti dalam rumusan "tujuan menghalalkan cara". Penalaran ini menolak
konfrontasi teoritis, debat ideologis, diskusi tentang prioritas, berarti menutup diri
terhadap diskusi tentang legitimasi tindakan.

Rasionalitas instrumental

Dengan mengabaikan masalah pilihan nilai-nilai itu, orang dibawa masuk ke


rasionalitas yang mementingkan sarana. Rasionalitas instrumental ini ditandai
dominasi sarana. Akibatnya, realisme berubah menjadi sikap yang bisa
menghendaki apa saja. Dengan demikian, tindakan rasional bisa direduksi
menjadi hanya masalah penyesuaian tujuan dan sarana-sarana. Dari perspektif
etika, seakan-akan netral. Sedangkan komitmen terhadap nilai-nilai lebih
merupakan masalah keyakinan. Maka tidak mungkin didiskusikan secara
rasional karena lingkup rasionalitas hanya dibatasi bidang sarana atau cara.

Rasionalitas tindakan yang mengklaim bebas nilai ini ternyata menyembunyikan


suatu komitmen terhadap nilai tertentu. Nilai itu hanya mengacu ke satu tujuan,
yaitu kemajuan tindakan rasional sebagai tindakan instrumental yang
mengabaikan semua pertimbangan mengenai tujuan. Kekosongan nilai yang
tercermin dalam prinsip "tujuan menghalalkan cara" memungkinkan kegilaan
nihilisme seperti dilakukan fasisme dan terorisme. Dalam prinsip "tujuan
menghalalkan cara", karena tujuan diabaikan, sarana menjadi mutlak dan
berusaha memberi pembenaran diri. Inilah yang disebut nihilisme: legitimasi
kekerasan dilakukan dengan mengosongkan substansi tujuan dan akhirnya
kekerasan memberi pembenaran diri sebagai sarana yang efektif. Kekerasan
adalah baik karena efektif. Ini menjadi prinsip politik-porno, yang juga prinsip
terorisme.

Etika diskursus

Ada prinsip "tujuan menghalalkan cara" yang bisa diterima dari sudut pandang
etika. Misalnya, menyiksa satu orang untuk menyelamatkan seribu orang. Dalam
etika, kasus ini masuk dalam kategori konflik kewajiban. Tetapi perlu catatan.
Ketika orang berusaha melegitimasi sarana melalui tujuannya, entah sarana
yang dipilih itu berupa kekerasan atau yang lain, harus terbuka terhadap
evaluasi. Dengan kata lain, pilihan sarana harus terbuka bagi perdebatan,
termasuk kritik dan bukan hanya berhenti pada keyakinan. Etika hendaknya tidak
hanya mendasarkan pada keyakinan, tetapi etika tanggung jawab yang terasah
melalui diskursus. Selain itu, proporsionalisme bisa juga menolong menjawab
kasus itu.

Dalam kasus itu, pendekatan proporsionalisme menuntut empat syarat yang


harus dipenuhi agar secara etika bisa diterima. Pertama, tujuan harus baik (mau
menyelamatkan seribu orang). Kedua, hanya akibat yang baik yang benar-benar
dicari dan efek yang jelek tidak diperbolehkan atau hanya ditolerir. Ketiga, ada
alasan proporsional untuk mempertanyakan sebabnya (urgensi pemecahan),
yang dalam kasus itu adalah keselamatan seribu orang. Keempat, perbandingan
harus seimbang antara dua akibat itu (seribu orang diselamatkan, tetapi satu
orang disiksa). Kalau akibat jeleknya lebih besar berarti melawan moralitas.

Memang pendekatan proporsionalisme ini tentu akan ditentang etika deontologis.


Pendekatan yang terakhir ini akan mengatakan, dalam situasi apapun manusia
harus menjadi tujuan bukan sarana bagi tujuan lain. Akan tetapi, dalam situasi
dilematis orang sering terpaksa menggunakan prinsip minus malum, artinya
memilih yang terbaik dari pilihan-pilihan yang lebih jahat. Kekerasan adalah
ungkapan habisnya argumen, tiadanya komunikasi lagi.

Seperti dikatakan H Arendt, "Kekerasan adalah komunikasi bisu par excellence".


Padahal, kekerasan akan memancing kekerasan lain. Meski dengan alasan
untuk menghadapi penindas, kekerasan mampu mengubah siapapun yang
menggunakannya menjadi mirip dengan penindas. Tak seorangpun yang
menggunakan kekerasan akan bisa lepas tanpa ternodai oleh kekerasan itu.

* DR. Haryatmoko, dosen Program Pascasarjana UI, Universitas Sanata


Dharma dan IAIN Sunan Kalijaga

Kebudayaan Postmodern
Menurut Jean Baudrillard

Oleh Medhy Aginta Hidayat

[1] Pendahuluan
[2] Modernisme dan Postmodernisme
[3] Kebudayaan Postmodern Jean Baudrillard
[4] Seni Populer dalam Era Postmodernisme
[5] Beberapa Catatan Kritis

Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Tepat pukul 15.30, tanggal 15 Juli 1972, kompleks bangunan perumahan Pruitt
Igoe St. Louis, Missouri, diledakkan. Kompleks bangunan yang dirancang
dengan konsep arsitektur modern ortodoks oleh arsitek Jepang, Minoru
Yamasaki pada tahun 1950 itu diledakkan karena dianggap sudah tidak lagi
fungsional. Kerusakan konstruksi, pencurian listrik dan air, tunggakan
kontrakan yang besar, vandalisme graffiti, wall painting dan pornographic
painting yang dilakukan para penghuninya dianggap sudah kelewat batas.
Hancurnya bangunan Pruitt Igoe yang merepresentasikan konsep arsitektur
modern dengan karakter ruang isotropis, homogen, monoton, anti-ornamen,
anti-metafor, anti-humor, mono-simbolik, dan berestetika mesin sekaligus
menandai kematian era arsitektur modern dan segera lahirnya sebuah era
baru: era arsitektur postmodern. Arsitektur postmodern, yang disuarakan
oleh Charles Jenks, Heinrich Klotz dan Robert Venturi, hanyalah salah satu
interpretasi wacana estetis-filosofis yang saat itu sedang membentuk
dirinya: postmodernisme. Postmodernisme adalah wacana kesadaran yang
mencoba mempertanyakan kembali batas-batas, implikasi dan realisasi
asumsi-asumsi modernisme; kegairahan untuk memperluas cakrawala estetika,
tanda dan kode seni modern; wacana kebudayaan yang ditandai dengan
kejayaan
kapitalisme, penyebaran informasi dan teknologi secara massif, meledaknya
konsumerisme, lahirnya realitas semu, dunia hiperrealitas dan simulasi,
serta tumbangnya nilai-guna dan nilai-tukar oleh nilai-tanda dan
nilai-simbol. Serangkaian kesadaran dan keyakinan baru ini mencakup
berbagai bidang kehidupan. Dalam dunia seni misalnya, terdapat nama Marcel
Duchamp dengan readymade art dan Andy Warhol dengan seni pop kaleng sup.
Dalam dunia arsitektur terdapat nama Charles Jenks dengan karya teoritisnya
The Language of Postmodern Architecture (1984) dan Robert Venturi dengan
Complexity and Contradiction in Architecture (1962) yang memproklamirkan
semboyan less is bore (mengejek semboyan less is more dalam arsitektur
modern yang dikumandangkan oleh Mies van der Rohe, salah seorang
penggagas
awal arsitektur modern) (Andy Siswanto, 1994: 36). Dalam dunia drama
terdapat nama Bertold Brecht dengan konsep pengasingan dan Antonin Artaud
dengan teater absurd. Dalam dunia musik terdapat nama Nicholas Cage dengan
musik alam dan Stockhausen dengan oriental music. Dalam dunia sinema
terdapat nama David Lynch dengan Blue Velvet dan Quentin Tarantino dengan
serangkaian film generasi baru (Denzin, 1988: 461). Dalam dunia sastra
muncul nama Burroughs dengan cerita cut up dan Gabriel Marquez dengan
novel
realisme magis One Hundred Year of Solitude (1976). Dalam disiplin
antropologi terdapat nama S.A Tyler, M.J Fischer dan kelompok Rice Circle
dengan experimental ethnography. Dalam disiplin sosiologi terdapat nama
Norman Denzin dengan kajian film dan Pierre Bordieu dengan theatrum
politicum. Dan dalam wilayah filsafat terdapat nama Jean Francois Lyotard
dengan konsep paralogi, disensus dan delegitimasi, Jacques Derrida dengan
dekonstruksi, Michel Foucault dengan kajian tentang arkeologi pengetahuan,
genealogi sejarah seksualitas dan teknologi kekuasaan, serta Jean
Baudrillard dengan kajian budaya tentang dunia simulasi, hiperrealitas,
simulacra dan dominasi nilai-tanda dan nilai-simbol dalam realitas
kebudayaan dewasa ini (Featherstone, 1988: 196).

Kesemarakan dan kegairahan kepada tema postmodernisme ini bukanlah tanpa


alasan. Sebagai sebuah pemikiran, postmodernisme pada awalnya lahir sebagai
reaksi kritis dan reflektif terhadap paradigma modernisme yang dipandang
gagal menuntaskan proyek Pencerahan dan menyebabkan munculnya berbagai
patologi modernitas. Pauline M. Rosenau, dalam kajiannya mengenai
postmodernisme dan ilmu-ilmu sosial, mencatat setidaknya lima alasan
penting gugatan postmodernisme terhadap modernisme (Rosenau, 1992: 10).
Pertama, modernisme dipandang gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan ke
arah
masa depan kehidupan yang lebih baik sebagaimana diharapkan oleh para
pendukungnya. Kedua, ilmu pengetahuan modern tidak mampu melepaskan diri
dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas keilmuan demi
kepentingan kekuasaan. Ketiga, terdapat banyak kontradiksi antara teori dan
fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern. Keempat, ada semacam
keyakinan
bahwa ilmu pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan yang
dihadapi manusia. Namun ternyata keyakinan ini keliru dengan munculnya
berbagai patologi sosial. Kelima, ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan
dimensi-dimensi mistis dan metafisis manusia karena terlalu menekankan
atribut fisik individu. Dengan latar belakang demikian, modernisme mulai
kehilangan landasan praksisnya untuk memenuhi janji-janji emansipatoris
yang dahulu lantang disuarakannya. Modernisme yang dulu diagung-agungkan
sebagai pembebas manusia dari belenggu mitos dan berhala kebudayaan abad
pertengahan yang menindas, kini terbukti justru membelenggu manusia dengan
mitos-mitos dan berhala-berhala baru yang bahkan lebih menindas dan
memperbudak.

Pada titik inilah pemikiran tentang kebudayaan postmodern memiliki arti


penting. Perubahan watak dan karakter modernisme dalam tampilannya yang
paling kontemporer, telah mendorong lahirnya tanggapan kritis terhadap
kebudayaan dewasa ini. Pemikiran kebudayaan postmodern Jean Baudrillard,
sebagai salah satu kajian penting paradigma postmodernisme, adalah salah
satu kunci untuk memahami pengertian dan watak postmodernisme.

B. Tujuan Penelitian

Studi ini memiliki beberapa tujuan : pertama, melakukan inventarisasi


pemikiran Baudrillard melalui sumber-sumber pustaka yang ada, baik secara
langsung ataupun tidak, yang berhubungan dengan tema kebudayaan
postmodern.
Kedua, melakukan tinjauan kritis dan sistematis terhadap pemikiran
kebudayaan postmodern Baudrillard agar diperoleh pemahaman yang integral
dan komprehensif pada dataran filsafat. Juga diupayakan pemaparan komentar,
penilaian dan interpretasi, dukungan serta keberatan yang diajukan terhadap
pemikiran Baudrillard. Ketiga, melakukan evaluasi kritis terhadap pemikiran
Baudrillard dengan mengadakan refleksi dan interpretasi pemikiran dan
kritik filsuf atau komentator lain agar didapatkan sebuah pemahaman baru
berupa sintesis menuju dataran praksis yang konsisten.

C. Tinjauan Pustaka

Miletos, kota kecil di gugusan kepulauan Yunani abad ke-6 SM adalah tempat
bermulanya cerita besar tentang penaklukan alam oleh manusia. Di kota
itulah sebermula runtuhnya mitos-mitos arkhaik tentang alam yang berupa
dongeng, fabel ataupun kepercayaan. Sejak saat itu manusia serta-merta
memberontak dari kungkungan kebudayaan mitologis dan berusaha
menggunakan
akalnya untuk menjelaskan dunia. . Sejarah penaklukan alam dibawah tatapan
akal pikiran kemudian bergulir. Sokrates, filsuf besar Yunani, mempertegas
usaha ini dengan semboyannya yang sangat terkenal, Kenalilah dirimu
sendiri. Salah seorang murid Sokrates, Plato, seraya menggemakan pemikiran
sang guru, menarik garis lebih tajam mengenai konsep manusia. Menurut
Plato, manusia terdiri dari 3 tingkatan fungsi yakni, tubuh (epithymia),
kehendak (thymos) dan rasio (logos). Rasio adalah tingkatan tertinggi,
sekaligus mengatur dan melingkupi fungsi-fungsi yang lain. Pandangan Plato
tentang manusia ini membawanya pada konsepsi negara ideal yang analog
dengan tingkatan fungsi dalam diri manusia. Pertama, para pemimpin (analog
dengan rasio). Kedua, para prajurit (analog dengan kehendak). Ketiga, para
petani dan tukang (analog dengan tubuh) (Harun Hadiwijono, 1994: 43-44).
Dengan konsepsi seperti ini Plato memperteguh keyakinan subjektivitas
manusia dengan konstruksi kebudayaan (negara) yang berpijak pada rasio.

Sejarah filsafat berikutnya bergulir sampai pada satu titik yang memiliki
makna penting bagi kelahiran era modernitas. Dipicu oleh gerakan humanisme
Italia abad ke-14 M, Renaisans lahir sebagai jawaban terhadap kejumudan dan
kebekuan pemikiran abad pertengahan. Renaisans yang berarti kelahiran
kembali, membawa semangat pembebasan dari dogma agama yang beku
selama abad
pertengahan; keberanian menerima dan menghadapi dunia nyata; keyakinan
menemukan kebenaran dengan kemampuan sendiri; kebangkitan mempelajari
kembali sastra dan budaya klasik; serta keinginan mengangkat harkat dan
martabat manusia (Harun Hadiwijono, 1994: 11-12). Makna penting Renaisans
dalam sejarah filsafat Barat adalah peranannya sebagai tempat persemaian
benih Pencerahan abad ke-18 M yang menjadi embrio kebudayaan modern.

Seorang filsuf besar yang menjejakkan pengaruhnya pada masa ini adalah Rene
Descartes, Bapak Rasionalisme, sekaligus arsitek utama filsafat modern.
Dengan mengadopsi dan mensintesakan pemikiran filsuf-filsuf sebelumnya,
Descartes berambisi membangun metode pengetahuan yang berlaku untuk
setiap
bentuk pengetahuan. Menurutnya, kepastian kebenaran dapat diperoleh melalui
strategi kesangsian metodis. Dengan meragukan segala sesuatu, Descartes
ingin menemukan adanya hal yang tetap yang tidak dapat diragukan. Itulah
kepastian bahwa Aku sedang ragu-ragu tentang segala sesuatu. Rumusan
terkenal dari pemikiran Descartes ini adalah diktum, Cogito ergo sum, Aku
berpikir maka aku ada. Dengan diktum ini, rasio sekali lagi diyakini mampu
mengatasi kekuatan metafisis dan transendental. Kemampuan rasio inilah yang
menjadi kunci kebenaran pengetahuan dan kebudayaan modern. Sejarah
kematangan kebudayaan modern selanjutnya ditunjukkan oleh pemikiran dua
filsuf Jerman, Immanuel Kant dan Frederich Hegel. Melalui kedua pemikir
inilah nilai-nilai modernisme ditancapkan dalam alur sejarah dunia. Kant
dengan ide-ide absolut yang sudah terberi (kategori). Hegel dengan filsafat
identitas (idealisme absolut) (Ahmad Sahal, 1994: 13). Konstruksi
kebudayaan modern kemudian tegak berdiri dengan prinsip-prinsip rasio,
subjek, identitas, ego, totalitas, ide-ide absolut, kemajuan linear,
objektivitas, otonomi, emansipasi serta oposisi biner.
Sejarah pemikiran dan kebudayaan yang dibangun di atas prinsip-prinsip
modernitas selanjutnya merasuk ke berbagai bidang kehidupan. Seni modern
hadir sebagai kekuatan emansipatoris yang menghantar manusia pada realitas
baru. (Awuy, 1995: 41). Sementara itu dalam dunia ilmu dan kebudayaan,
modernitas ditandai dengan berkembangnya teknologi yang sangat pesat,
penemuan teori-teori fisika kontemporer, kejayaan kapitalisme lanjut,
konsumerisme, merebaknya budaya massa, budaya populer, maraknya industri
informasi televisi, koran, iklan, film, internet berkembangnya konsep
nation-state (negara-bangsa), demokratisasi dan pluralisme.

Namun dalam penampilannya yang mutakhir tersebut, modernisme mulai


menampakkan jati dirinya yang sesungguhnya: penuh kontradiksi, ideologis
dan justru melahirkan berbagai patologi modernisme. Modernisme inilah yang
telah mencapai status hegemonis semenjak kemenangan Amerika dan para
sekutunya dalam Perang Dunia II (Ariel Heryanto, 1994: 80), yakni
modernisme yang tidak lagi kaya watak seperti saat awal kelahirannya, namun
modernisme yang bercorak monoton, positivistik, teknosentris dan
rasionalistik; modernisme yang yakin secara fanatik pada kemajuan sejarah
linear, kebenaran ilmiah yang mutlak, kecanggihan rekayasa masyarakat yang
diidealkan, serta pembakuan secara ketat pengetahuan dan sistem produksi.
Unsur-unsur utama modernisme: rasio, ilmu dan antropomorphisme, justru
menyebabkan reduksi dan totalisasi hakekat manusia. Memang benar, di satu
sisi modernisme telah memberikan sumbangannya terhadap bangunan
kebudayaan
manusia dengan paham otonomi subjek, kemajuan teknologi, industrialisasi,
penyebaran informasi, penegakan HAM serta demokratisasi. Namun di sisi
lain, modernisme juga telah menyebabkan lahirnya berbagai patologi:
dehumanisasi, alienasi, diskriminasi, rasisme, pengangguran, jurang
perbedaan kaya dan miskin, materialisme, konsumerisme, dua kali Perang
Dunia, ancaman nuklir dan hegemoni budaya serta ekonomi. Berbagai patologi
inilah yang menjadi alasan penting gugatan pemikiran postmodernisme
terhadap modernisme.

Jejak-jejak pemikiran yang bernaung di bawah payung postmodernisme dalam


banyak bidang kehidupan: seni, sastra, politik, ekonomi, arsitektur,
sosiologi, antropologi dan filsafat sebenarnya sudah dapat dilacak jauh
ke alur sejarah modernisme sendiri. Lahirnya beragam bentuk realitas baru:
seni bumi, seni avant garde, seni video, sastra marjinal, sastra yang
terdiam, arsitektur dekonstruksi, antropologi kesadaran, paradigma Thomas
Kuhn dan pemberontakan terhadap filsafat modern semenjak Nietzsche,
Husserl, Heidegger, hingga Mahzab Frankfrut adalah benih-benih lahirnya
pemikiran postmodernisme.

Terutama dalam dunia filsafat, postmodernisme mendapatkan pendasaran


ontologis dan epistemologis, melalui pemikiran Jean Francois Lyotard
seorang filsuf Perancis. Lewat bukunya yang merupakan laporan penelitian
kondisi masyarakat komputerisasi di Quebec, Kanada, The Postmodern
Condition: A Report on Knowledge (1984), Lyotard secara radikal menolak ide
dasar filsafat modern semenjak era Renaisans hingga sekarang yang
dilegitimasikan oleh prinsip kesatuan ontologis (Awuy, 1995: 158). Menurut
Lyotard, dalam dunia yang sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi,
prinsip kesatuan ontologis sudah tidak relevan lagi. Kekuasaan telah
dibagi-bagi dan tersebar berkat demokratisasi teknologi. Karena itu prinsip
kesatuan ontologis harus di delegitimasi dengan prinsip paralogi. Paralogi
berarti prinsip yang menerima keberagaman realitas, unsur, permainan dengan
logikanya masing-masing tanpa harus saling menindas atau menguasai (Awuy,
1995: 161). Persis permainan catur, dimana setiap bidak memiliki aturan dan
langkah tersendiri, tanpa harus mengganggu langkah bidak lain. Kondisi ini,
seperti dikatakan Susan Sontag seorang kritikus seni merupakan indikasi
lahirnya sensibilitas baru: yakni sebuah kesadaran akan kemajemukan,
bermain dan menikmati realitas secara bersama-sama, tanpa ngotot untuk
menang atau menaklukan realitas lain (Lash, 1990: 234).

Lebih jauh Lyotard menyatakan prinsip-prinsip yang menegakkan modernisme:


rasio, ego, ide absolut, totalitas, teleologi, oposisi biner, subjek,
kemajuan sejarah linear yang disebutnya Grand Narrative telah kehilangan
legitimasi (Awuy, 1995: 158-161). Cerita-cerita besar modernisme tersebut
tak ayal hanyalah kedok belaka, mistifikasi, yang bersifat ideologis,
eksploitatif, dominatif dan semu.

Dari arah berbeda dengan fokus filsafat bahasa Jacques Derrida, seorang
filsuf Perancis yang lain, bersepakat dengan Lyotard. Derrida mengajukan
strategi pemeriksaan asumsi-asumsi modernisme yang seolah-olah sudah
terberi itu dengan dekonstruksi. Dekonstruksi adalah strategi untuk
memeriksa struktur-struktur yang terbentuk dalam paradigma modernisme yang
senantiasa dimapankan batas-batasnya dan ditunggalkan pengertiannya (Ahmad
Sahal, 1994: 21). Dengan dekonstruksi, cerita-cerita besar modernitas
dipertanyakan, dirongrong dan disingkap sifat paradoksnya. Lebih jauh
dekonstruksi hendak memunculkan dimensi-dimensi yang tertindas di bawah
totalitas modernisme. Implikasi logis strategi ini adalah melumernya
batas-batas yang selama ini dipertahankan antara konsep-metafor,
kebenaran-fiksi, filsafat-puisi, serta keseriusan-permainan. Wacana-wacana
yang sebelumnya tertindas: kelompok etnis, kaum feminis, dunia ketiga, ras
kulit hitam, kelompok gay, hippies, punk, atau gerakan peduli lingkungan
kini mulai diperhatikan. Dengan dekonstruksi, sejarah modernisme hendak
ditampilkan tanpa kedok, apa adanya.

Strategi yang sarat emansipasi ini pula yang mendorong seorang filsuf
sejarawan Perancis Michel Foucault untuk menyingkap mistifikasi hubungan
pengetahuan dan kekuasaan yang disodorkan modernisme. Berbeda dengan
pandangan modernisme yang menyatakan adanya distingsi antara pengetahuan
murni dan pengetahuan ideologis, Foucault menyatakan pengetahuan dan
kekuasaan adalah dua sisi mata uang yang sama. Tidak ada pengetahuan tanpa
kekuasaan vice versa. Selanjutnya menurut Foucault kekuasaan tidaklah
seperti yang dipahami kaum Weberian atau Marxian. Kaum Weberian
memahami
kekuasaan sebagai kemampuan subjektif untuk mempengaruhi orang lain.
Sementara kaum Marxian memahami kekuasaan sebagai artefak material yang
bisa dikuasai dan digunakan untuk menindas kelas lain. Secara cerdas
Foucault menyatakan bahwa di era yang dihidupi oleh perkembangan ilmu dan
teknologi seperti saat ini, kekuasaan bukan lagi institusi, struktur atau
kekuatan yang menundukkan. Kekuasaan tidak dimiliki, tidak memiliki,
melainkan merupakan relasi kompleks yang menyebar dan hadir di mana-mana
(Ahmad Sahal, 1994: 17). Pandangan tentang kuasa/pengetahuan yang tidak
berpusat, tidak mendominasi dan menyebar ini kemudian membawa Foucault
untuk menolak asumsi rasio-kritis yang universal ala Kantian. Baginya rasio
tidak universal, karena seperti disuarakan Charles Baudelaire, seorang
penyair Perancis ada tanggapan lain terhadap modernisme yakni: ironi.
Karenanya Foucault sama sekali tidak berambisi membangun teori-teori yang
universal. Ia memilih membaca realitas pada ukuran mikro. Tema-tema tak
jamak semisal penjara, orang gila, rumah sakit, barak-barak tentara,
pabrik, seks, pasien dan kriminal adalah pilihan yang disadarinya. Dan
dengan pilihan ini, sekali lagi Foucault meneguhkan semangat emansipasi
kaum tertindas yang telah diawali oleh Lyotard dan Derrida.

Akhirnya, sebuah suara lain yang mencoba membaca dan menyingkap


perubahan
watak modernisme adalah Jean Baudrillard. Filsuf Perancis ini mengambil
jalan agak berbeda dengan para pendahulunya. Dengan mengambil alih
pemikiran Marcel Mauss, Georges Bataille, Karl Marx, Roland Barthes dan
Marshal McLuhann Baudrillard memusatkan diri menganalisa modernisme dari
ranah budaya. Bertitik tolak dari itu ia menunjukkan adanya diskontinuitas
budaya dalam realitas masyarakat dewasa ini.

Melalui bukunya Simulations (1983), Baudrillard mengintrodusir karakter


khas masyarakat Barat dewasa ini sebagai masyarakat simulasi. Inilah
masyarakat yang hidup dengan silang-sengkarut kode, tanda, dan model yang
diatur sebagai produksi dan reproduksi dalam sebuah simulacra (Lechte,
1994: 235). Simulacra adalah ruang dimana mekanisme simulasi berlangsung.
Merujuk Baudrillard, terdapat tiga tingkatan simulacra (Baudrillard, 1983:
54-56). Pertama, simulacra yang berlangsung semenjak era Renaisans hingga
permulaan Revolusi Industri. Simulacra pada tingkatan ini merupakan
representasi dari relasi alamiah berbagai unsur kehidupan. Kedua,
simulacra yang berlangsung seiring dengan perkembangan era industrialisasi.
Pada tingkatan ini, telah terjadi pergeseran mekanisme representasi akibat
dampak negatif industrialisasi. Ketiga, simulacra yang lahir sebagai
konsekuensi berkembangnya ilmu dan teknologi informasi. Simulacra pada
tingkatan ini merupakan wujud silang-sengkarut tanda, citra dan kode budaya
yang tidak lagi merujuk pada representasi. Selanjutnya dalam mekanisme
simulasi, manusia dijebak dalam ruang realitas yang dianggapnya nyata,
padahal sesungguhnya semu dan penuh rekayasa. Realitas semu ini merupakan
ruang antitesis dari representasi semacam dekonstruksi representasi dalam
wacana Derrida. Dengan contoh yang gampang Baudrillard menggambarkan
dunia
simulasi dengan analogi peta. Menurutnya, bila dalam ruang nyata, sebuah
peta merupakan representasi dari suatu wilayah, dalam mekanisme simulasi
yang terjadi adalah sebaliknya. Peta mendahului wilayah. Realitas sosial,
budaya, bahkan politik, dibangun berlandaskan model-model yang telah dibuat
sebelumnya. Dalam dunia simulasi, bukan realitas yang menjadi cermin
kenyataan, melainkan model-model (Baudrillard, 1987: 17). Boneka Barbie,
tokoh Rambo, telenovela, iklan televisi, Doraemon atau Mickey Mouse adalah
model-model acuan nilai dan makna sosial budaya masyarakat dewasa ini.
Dalam wacana simulasi, manusia mendiami ruang realitas, dimana perbedaan
antara yang nyata dan fantasi, yang asli dan palsu sangat tipis.
Dunia-dunia buatan semacam Disneyland, Universal Studio, China Town, Las
Vegas atau Beverlly Hills, yang menjadi model realitas-semu Amerika adalah
representasi paling tepat untuk menggambarkan keadaan ini. Lewat televisi,
film dan iklan, dunia simulasi tampil sempurna. Inilah ruang yang tak lagi
peduli dengan kategori-kategori nyata, semu, benar, salah, referensi,
representasi, fakta, citra, produksi atau reproduksi semuanya lebur
menjadi satu dalam silang-sengkarut tanda (Baudrillard, 1987: 33).
Perkembangan ilmu dan teknologi dewasa ini dengan micro processor, memory
bank, remote control, telecard, laser disc, dan internet menurut
Baudrillard tidak saja dapat memperpanjang badan atau sistem syaraf
manusia, namun bahkan lebih fantastis lagi, mampu mereproduksi realitas,
masa lalu dan nostalgia; menciptakan realitas baru dengan citra-citra
buatan; menyulap fantasi, ilusi bahkan halusinasi menjadi kenyataan; serta
melipat realitas ke dalam sebuah disket atau memory bank. Lebih jauh,
realitas yang dihasilkan teknologi baru ini telah mengalahkan realitas yang
sesungguhnya dan menjadi model acuan yang baru bagi masyarakat. Citra lebih
meyakinkan ketimbang fakta. Dan mimpi lebih dipercaya ketimbang kenyataan
sehari-hari. Inilah dunia hiperrealitas: realitas yang berlebih, meledak,
semu. Dengan televisi dan media massa misalnya, realitas buatan
(citra-citra) seolah lebih real dibanding realitas aslinya. Tokoh Rambo,
boneka Barbie, Jurrasic Park, atau Star Trek Voyager yang merupakan
citra-citra buatan nampak lebih dekat dan nyata dibanding keberadaan
tetangga kita sendiri. Dalam kondisi seperti ini, realitas, kebenaran,
fakta dan objektivitas kehilangan eksistensinya. Hiperrealitas adalah
realitas itu sendiri (Baudrillard, 1983: 183). Yakni, era yang dituntun
oleh model-model realitas tanpa asal-usul dan referensi (Baudrillard, 1983:
2). Dimana, yang nyata tidak sekedar dapat direproduksi, namun selalu dan
selalu direproduksi (Baudrillard, 1983: 146).
Sementara itu dalam bukunya Symbolic Exchange and Death (1993) Baudrillard
menyatakan bahwa sejalan dengan perubahan struktur masyarakat simulasi,
telah terjadi pergeseran nilai-tanda dalam masyarakat kontemporer dewasa
ini yakni dari nilai-guna dan nilai-tukar ke nilai-tanda dan nilai-simbol.
Berangkat dari analisa masyarakat produksi Marx dengan konsep-konsep:
nilai-guna (use-value), nilai-tukar (exchange-value), fetishism of
commodity, social class, teori gift (pemberian) Marcell Mauss dan teori
expenditure (belanjaan) Georges Bataille, pemikiran Baudrillard akhirnya
menyempal dari pemikiran sang pendahulunya dan mengambil jalannya sendiri.
Ia menyatakan bahwa dalam masyarakat konsumeristik dewasa ini, nilai-guna
dan nilai-tukar, seperti disarankan Marx, sudah tidak lagi bisa diyakini.
Sementara dari Mauss dan Bataille, Baudrillard bersepakat bahwa aktivitas
konsumsi manusia sebenarnya didasarkan pada prinsip non-utilitarian
(Lechte, 1994: 233). Kini, menurut Baudrillard, adalah era kejayaan
nilai-tanda dan nilai-simbol yang ditopang oleh meledaknya citra dan makna
oleh media massa dan perkembangan teknologi. Sesuatu tidak lagi dinilai
berdasarkan manfaat atau harganya, melainkan berdasarkan prestise dan
makna
simbolisnya (Lechte, 1994: 234). Mengacu Marx, terdapat dua nilai-tanda
dalam sejarah kebudayaan manusia yakni, nilai-guna (use-value) dan
nilai-tukar (exchange-value). Nilai-guna merupakan nilai asali yang secara
alamiah terdapat dalam setiap objek. Berdasarkan manfaatnya, setiap objek
dipandang memiliki guna bagi kepentingan manusia. Nilai inilah yang
mendasari bangunan kebudayaan masyarakat awal. Selanjutnya dengan
perkembangan kapitalisme, lahir nilai baru yakni nilai-tukar. Nilai-tukar
dalam masyarakat kapitalis memiliki kedudukan penting karena dari sanalah
lahir konsep komoditi. Dengan konsep komoditi, segala sesuatu dinilai
berdasarkan nilai-tukarnya.

Sementara itu, menurut Baudrillard, telah terjadi perubahan dalam struktur


masyarakat Barat dewasa ini. Masyarakat Barat dewasa ini adalah masyarakat
konsumer: masyarakat yang haus mengkonsumsi segala sesuatu tidak hanya
objek-real, namun juga objek-tanda. Inilah masyarakat yang hidup dengan
kemudahan dan kesejahteraan yang diberikan oleh perkembangan
kapitalisme-lanjut, kemajuan ilmu dan teknologi, ledakan media dan iklan.
Tanda menjadi salah satu elemen penting masyarakat konsumer. Sejalan
dengan
itu, Baudrillard mengubah periodisasi yang dibuat Marx mengenai tingkat
perkembangan masyarakat dari: masyarakat feodal, masyarakat kapitalis dan
masyarakat komunis, menjadi masyarakat primitif, masyarakat hierarkis dan
masyarakat massa. Menurut Baudrillard, dalam masyarakat primitif, tidak ada
elemen tanda. Objek dipahami secara alamiah dan murni berdasarkan
kegunaannya. Selanjutnya dalam masyarakat hierarkis, terdapat sedikit
sirkulasi elemen tanda dalam suatu budaya simbol yang baru tumbuh. Saat
inilah lahir prinsip nilai-tukar. Akhirnya, dalam masyarakat massa,
sirkulasi tanda mendominasi seluruh segi kehidupan. Dalam masyarakat massa,
media menciptakan ledakan makna yang luar biasa hingga mengalahkan realitas
nyata. Inilah saat ketika objek tidak lagi dilihat manfaat atau
nilai-tukarnya, melainkan makna dan nilai-simbolnya (Baudrillard, 1993:
68-70).

Berangkat dari analisa Marx diatas, serta dengan membaca kondisi masyarakat
Barat dewasa ini, Baudrillard menyatakan bahwa dalam masyarakat
kapitalisme-lanjut (late capitalism) dewasa ini, nilai-guna dan nilai-tukar
telah dikalahkan oleh sebuah nilai baru, yakni nilai-tanda dan
nilai-simbol. Nilai-tanda dan nilai-simbol, yang lahir bersamaan dengan
semakin meningkatnya taraf ekonomi masyarakat Barat, lebih memandang
makna
simbolik sebuah objek ketimbang manfaat atau harganya. Fenomena kelahiran
nilai-tanda dan nilai-simbol ini mendorong Baudrillard untuk menyatakan
bahwa analisa komoditi Marx sudah tidak dapat dipakai untuk memandang
masyarakat Barat dewasa ini. Hal ini karena dalam masyarakat
kapitalisme-lanjut Barat, perhatian utama lebih ditujukan kepada simbol,
citra, sistem tanda dan bukan lagi pada manfaat dan harga komoditi.
Lebih lanjut Baudrillard menyatakan kebudayaan postmodern memiliki
beberapa ciri menonjol. Pertama, kebudayaan postmodern adalah kebudayaan
uang, excremental culture. Uang mendapatkan peran yang sangat penting
dalam masyarakat postmodern. Berbeda dengan masa-masa sebelumnya,
fungsi
dan makna uang dalam budaya postmodern tidaklah sekedar sebagai
alat-tukar, melainkan lebih dari itu merupakan simbol, tanda dan motif
utama berlangsungnya kebudayaan. Kedua, kebudayaan postmodern lebih
mengutamakan penanda (signifier) ketimbang petanda (signified), media
(medium) ketimbang pesan (message), fiksi (fiction) ketimbang fakta
(fact), sistem tanda (system of signs) ketimbang sistem objek (system of
objects), serta estetika (aesthetic) ketimbang etika (ethic). Ketiga,
kebudayaan postmodern adalah sebuah dunia simulasi, yakni dunia yang
terbangun dengan pengaturan tanda, citra dan fakta melalui produksi maupun
reproduksi secara tumpang tindih dan berjalin kelindan. Keempat, sebagai
konsekuensi logis karakter simulasi, budaya postmodern ditandai dengan
sifat hiperrealitas, dimana citra dan fakta bertubrukan dalam satu ruang
kesadaran yang sama, dan lebih jauh lagi realitas semu (citra) mengalahkan
realitas yang sesungguhnya (fakta). Kelima, kebudayaan postmodern ditandai
dengan meledaknya budaya massa, budaya populer serta budaya media
massa.
Kapitalisme lanjut yang bergandengan tangan dengan pesatnya perkembangan
teknologi, telah memberikan peranan penting kepada pasar dan konsumen
sebagai institusi kekuasaan baru menggantikan peran negara, militer dan
parlemen (Harvey, 1989: 102).

Dalam konstruksi kebudayaan seperti inilah artefak-artefak budaya


postmodern menemukan dirinya. Tidak ada lagi mitos Sang Seniman dalam
wacana seni modern yang berpretensi membebaskan dunia. Tidak ada lagi karya
seni, kecuali reproduksi dari berbagai unsur seni yang sudah ada. Tidak ada
lagi perbedaan antara seni rendah dan seni tinggi, seni populer (popular
art) dan seni murni (fine art). Estetika seni postmodern ditandai dengan
prinsip-prinsip pastiche (peminjaman dan penggunaan berbagai sumber seni
masa lalu), parodi (distorsi dan permainan makna), kitsch (reproduksi gaya,
bentuk dan ikon), serta camp (pengelabuhan identitas dan penopengan
(Pilliang, 1998: 109).

D. Landasan Teori

Diskursus kebudayaan postmodern mendapatkan legitimasi


sosio-kultural-filosofisnya justru dari kegamangan era modern dalam
menuntaskan proyek Pencerahan. Proyek modernisme yang dihidupi oleh
semangat Pencerahan ini dengan keyakinan akan prinsip kemajuan sejarah
yang linear, kebenaran ilmiah yang mutlak, keampuhan rekayasa bagi suatu
masyarakat yang diidealkan, serta pembakuan tata pengetahuan dan sistem
produksi yang keras saat ini tengah menghadapi ujian besar dengan
menyebarnya berbagai patologi modernitas.

Postmodernisme mencoba mempertanyakan kembali posisi, batas dan implikasi


asumsi-asumsi modernisme yang kini telah menjelma menjadi mitos baru. Dalam
kerangka kritis itulah Jean Baudrillard mencoba membaca realitas kebudayaan
masyarakat Barat dewasa ini. Dengan mengadopsi dan mengembangkan
pemikiran-pemikiran Karl Marx tentang nilai-guna (use-value) dan
nilai-tukar (exchange-value), semiologi Roland Barthes, society of
spectacle Guy Debord, serta konsep global village dan medium is message
Marshal McLuhan, Baudrillard menyatakan bahwa realitas kebudayaan dewasa
ini menunjukkan adanya karakter khas yang membedakannya dengan realitas
kebudayaan modern masyarakat Barat. Inilah kebudayaan postmodern yang
memiliki ciri-ciri hiperrealitas, simulacra dan simulasi, serta didominasi
oleh nilai-tanda dan nilai-simbol. Inilah wacana kebudayaan yang saat ini
menghidupi dan sekaligus kita hidupi, sebagai sebuah keniscayaan yang tidak
dapat ditolak. Wacana kebudayaan inilah yang menawarkan tantangan sekaligus
peluang bagi kita untuk mulai memperhatikan sisi lain realitas masyarakat
dewasa ini.

Modernisme dan Postmodernisme


A. Runtuhnya Era Modernisme

Ricardo Contreras, seorang penulis Meksiko, pada tahun 1888 mencatat mulai
munculnya referensi pertama istilah modernisme dalam sejarah kebudayaan
masyarakat Barat (Smart. 1990: 18). Menurut Contreras, istilah modernisme
atau modernismo dalam bahasa Spanyol saat itu merupakan sebutan bagi
gerakan-gerakan kebudayaan lokal di Amerika Latin yang memperjuangkan
emansipasi dan otonomi budaya baru untuk melepaskan diri dari cengkeraman
hegemoni kebudayaan Spanyol. Istilah modernisme saat itu tentu belum
merupakan epoch sejarah baru yang bermaksud memutuskan diri dari realitas
sejarah sebelumnya. Ia baru muncul sebagai istilah kebudayaan yang
menghendaki sesuatu yang baru, yang berbeda, seperti halnya arti kata
modern yang diadopsi dari bahasa Latin tersebut. Namun semenjak saat itu
istilah modern dan modernisme beserta kata-kata turunannya: modernitas dan
modernisasi telah mulai kerap digunakan sebagai kata kunci untuk
menjelaskan telah lahirnya cahaya baru kebudayaan dan realitas sosial
masyarakat Barat.

Secara historis, semangat dan jiwa modernisme sendiri sebenarnya bisa


ditelusuri semenjak era Renaisans abad ke-16 M dan Pencerahan abad ke-18 M.
Bahkan Arnold Toynbee, seorang filsuf sejarawan, melalui bukunya A Study of
History (1947), menyatakan bahwa awal Era Modern dalam Sejarah Kebudayaan
Masyarakat Barat terjadi pada paruh kedua abad ke-15 M di daratan Eropa,
dimana saat itu muncul fenomena pharisaisme budaya dan teknologi
penguasaan
samudera secara ekstensif (Smart, 1990: 16). Kedua fenomena sejarah
tersebut, menurut Toynbee, merupakan titik awal kedewasaan dan kematangan
manusia untuk mulai berani menguasai alam dan melepaskan diri dari
dogma-dogma institusi agama. Dengan keberanian inilah manusia menyatakan
telah memasuki era baru, era pasca Abad Pertengahan, yakni era modern. Di
sisi lain, Marshall Berman, dalam kajiannya tentang modernisme, menyatakan
bahwa era modern telah dimulai sejak era Renaisans abad ke-16 M dan
berkembang dalam tiga fase sejarah modernisme. Fase pertama, adalah
modernisme yang berkembang semenjak awal abad ke-16 M hingga akhir abad
ke-18 M, dimana orang baru mulai merasakan pengalaman kehidupan modern.
Modernisme pada tahap ini ditandai oleh mulai diyakininya rasio, keberanian
menghadapi kehidupan secara nyata, memudarnya religiusitas dalam berbagai
segi kehidupan, serta lahirnya pemberontakan kreatif dalam dunia seni. Fase
kedua, adalah modernisme yang ditandai dengan Revolusi Perancis dan
kekacauan sosial, politik dan ekonomi yang seringkali dihubungkan dengan
momentum Gelombang Revolusi Besar 1790. Inilah wajah modernisme yang
mulai
diwarnai oleh benih-benih konflik, perbedaan dan anomali. Lenturnya ikatan
sosial, runtuhnya keyakinan tradisional dan agama, serta pesatnya
perkembangan sosial, telah mendorong munculnya berbagai masalah yang
sebelumnya tidak diperhitungkan. Fase ketiga, adalah modernisme yang
dimulai ketika terjadi proses modernisasi global dan pembentukan kebudayaan
dunia modern secara massal dimana semakin banyak terjadi kekacauan sosial
dan politik, ketidakpastian dan ancaman terhadap realitas dunia yang baru
terbentuk Inilah puncak anomali realitas modern, yang ternyata tidak mampu
mewujudkan impian menciptakan kehidupan yang lebih baik. Dan justru
sebaliknya, menciptakan berbagai masalah besar yang menyengsarakan umat
manusia (Smart, 1990: 16).

Istilah modern sendiri, yang berarti zaman baru, berasal dari bahasa Latin
modernus, yang telah digunakan pada abad ke-5 M untuk menunjuk batas
antara
era kekuasaan agama Kristen dan era Paganisme Romawi (Smart, 1990: 15).
Istilah ini kemudian berkembang menjadi beberapa istilah turunan yang
kesemuanya menunjuk pada suatu kurun sejarah setelah era Abad Pertengahan.
Beberapa istilah tersebut adalah modernitas, modernisasi dan modernisme.
Dalam penggunaannya, seringkali terjadi tumpang tindih dan simplifikasi
pengertian diantara berbagai istilah ini. Meskipun demikian, diterima suatu
kenyataan bahwa yang diacu oleh istilah-istilah ini adalah suatu era
kebudayaan baru yang ditegakkan oleh rasio, subjek dan wacana
antropomorfisme. Istilah modernitas diartikan sebagai kondisi sosial
budaya masyarakat modern. Ia juga menyiratkan adanya perubahan paradigma
yang diperoleh dengan jalan pintas, dari bentuk lama ke bentuk baru.
Istilah ini sekaligus menggambarkan hubungan antara masa kini dan masa
silam yang tampil dalam bentuknya yang baru dengan jasa Renaisans abad
ke-16 M dan Pencerahan abad ke-18 M sebagai kurun sejarah yang berbeda
dan
superior dalam alur sejarah kebudayaan masyarakat Barat. Modernitas inilah
merujuk Calinescu yang merupakan era yang lebih dewasa, lebih utuh dan
mendasar dalam aspek-aspek rasio, religi dan estetika dibanding era
sebelumnya (Smart, 1990: 16). Modernitas sekaligus juga menjadi titik awal
baru lantaran ia menawarkan hal-hal baru seperti: pengetahuan, moral, ilmu,
kebudayaan, politik serta seni.

Modernisasi berarti proses berlangsungnya proyek mencapai kondisi


modernitas yang digerakkan oleh semangat rasionalitas instrumental modern.
Modernisasi mencakup proses pengucilan karya-karya klasik, warisan masa
lampau dan sejarah purbakala, karena modernitas pada hakekatnya mengambil
posisi yang berlawanan dengan hal-hal lama demi terciptanya hal-hal baru.
Dengan demikian, modernisasi adalah pandangan dan sikap hidup yang dianut
untuk menghadapi masa kini, yakni pandangan dan sikap hidup dalam
menghadapi kenyataan hidup masa kini. Modernisasi ditandai oleh pemutusan
hubungan secara tegas terhadap nilai-nilai tradisional; berkembangnya
sistem ekonomi kapitalisme progresif; rasionalisasi administratif; serta
diferensiasi sosial dan budaya (Featherstone, 1988: 197). Kembali merujuk
Berman, realitas modern yang dicapai melalui proses modernisasi ini
memiliki beberapa komponen utama, yakni industrialisasi, urbanisasi, konsep
negara-bangsa (nation-state), struktur birokrasi, pertumbuhan penduduk yang
tinggi, sistem komunikasi dan kekuasaan baru, serta pasar kapitalisme dunia
(Turner, 1990: 137).

Sementara itu modernisme umumnya dilihat sebagai paradigma kebudayaan,


khususnya seni. Ia mengacu pada gaya dan gerakan seni yang mula-mula
muncul
sebagai konsekuensi perlawanan terhadap seni Abad Pertengahan. Tokoh-tokoh
seni yang dianggap mewakili gerakan modernisme misalnya adalah Kafka,
Mann,
dan Gide dalam dunia sastra; Stravinsky, Schoenberg dan Berg dalam musik;
Strindberg, Pirandelo dan Wedehind dalam drama; serta Picasso, Matisse dan
Cezanne dalam seni lukis (Featherstone, 1988: 202). Dalam konteks ini,
modernisme dianggap bermula pada akhir abad ke-19 M (Lash, 1990: 123).
Modernisme merupakan keyakinan yang cenderung mensubordinasikan yang
tradisional di bawah yang baru. Dalam wilayah seni, ia merupakan tindak
diferensiasi terhadap dunia nyata yang bersifat non-referensial dan
anti-realis (Lash, 1990: 124). Akibat praksis tindakan ini bisa terbagi
dua: konservatif dan radikal. Modernisme menjadi konservatif manakala
proses subordinasi yang lama di bawah yang baru justru menyelamatkan yang
lama dari kehancuran. Sebaliknya, modernisme menjadi radikal manakala
proses subordinasi tadi mengambil bentuk pengingkaran bahkan penghapusan
yang tradisional. Modernisme konservatif seringkali terdapat dalam lapangan
agama. Sementara modernisme radikal banyak terdapat pada wilayah
kebudayaan, terutama seni.

Rasionalitas modernisme yang berkembang semenjak era Renaisans abad ke-


16
M ini memiliki dua karakter mendasar. Pertama, sebagai rasionalitas tujuan
(Zweckrationalitat). Kedua, sebagai rasionalitas nilai (Wertrationalitat).
Merujuk Max Weber, sosiolog Jerman yang mengkaji modernisme secara
mendalam, karakter pertama rasionalitas modernisme mengacu pada pengertian
perhitungan yang masuk akal untuk mencapai sasaran berdasarkan
pilihan-pilihan yang masuk akal dan dengan sarana-sarana yang efisien serta
mengacu pada perumusan nilai-nilai tertinggi yang mengarahkan tindakan dan
orientasi-orientasi yang terencana secara konsisten dari pencapaian
nilai-nilai tersebut. Rasionalitas ini berwatak formal, karena hanya
mementingkan cara-cara mencapai tujuan dan tidak mengindahkan nilai-nilai
yang dihayati sebagai intisari kesadaran. Karakter kedua rasionalitas
modernisme mengacu pada kesadaran akan nilai-nilai etis, estetis dan
religius. Rasionalitas ini berwatak substantif, karena lebih mementingkan
komitmen rasional terhadap nilai-nilai yang dihayati secara pribadi. Namun,
diantara kedua bentuk rasionalitas ini yang sangat dominan dalam realitas
dunia modern adalah rasionalitas tujuan.
Dalam kajian pentingnya tentang modernisme tersebut, selanjutnya Weber
menyatakan bahwa pada dasarnya modernitas adalah gagasan yang
menyangkut
persoalan pemisahan bidang-bidang nilai dan tatanan kehidupan. Ia
berpendapat bahwa wilayah-wilayah nilai ekonomi, etika, hukum dan estetika,
yang sebelumnya terstruktur dengan satu prinsip kesatuan dalam wilayah
religius Abad Pertengahan, kemudian mulai dipisahkan oleh rasionalisme
Pencerahan. Landasan utama argumen Weber ini adalah adanya fenomena
otonomisasi wilayah-wilayah nilai terutama wilayah nilai estetis. Dengan
merosotnya agama, lapangan estetika seolah menjadi satu-satunya tempat
pelarian dalam dunia yang sarat beban mencapai rasionalitas tujuan (Lash,
1990: 157). Karakter lain modernitas adalah, ia bukan hanya memutuskan
hubungan dengan seluruh warisan historis masa lampau, namun juga
mendesakkan proses fragmentasi internal yang tak pernah berhenti dalam
dirinya sendiri (Harvey, 1990: 12).

Modernitas, menurut Weber merupakan konsekuensi proses modernisasi,


dimana
realitas sosial berada di bawah bayang-bayang dan dominasi asketisme,
sekularisasi, klaim universalistik tentang rasionalitas instrumental,
diferensiasi bidang-bidang kehidupan, birokratisasi ekonomi,
praktek-praktek politik dan militer, serta tumbuhnya moneterisasi
nilai-nilai. Modernitas lahir bersamaan dengan menyebarnya imperialisme
Barat abad ke-16 M; dominasi kapitalisme Eropa Utara, khususnya di Inggris
dan Belanda; pengakuan dan penerapan metode ilmiah Francis Bacon dan Isac
Newton; institusionalisasi keyakinan dan praktek-praktek Calvinisme di
Eropa Utara; pemisahan konsep keluarga dari kelompok kekerabatan yang
umum;
serta pembentukan konsep negara-bangsa (nation-state) abad ke-19 M (Turner,
1990: 6-10). Modernitas juga menunjuk pada perubahan sosial budaya secara
massif, pemutusan hubungan secara radikal terhadap tradisi dan kemapanan
sosial peradaban yang mandeg. Dengan kata lain, modernitas adalah sejarah
penaklukan nilai-nilai lama Abad Pertengahan oleh nilai-nilai baru
Modernisme (Turner, 1990: 4).

Secara epistemologis, modernitas meliputi empat unsur pokok. Pertama,


subjektivitas yang reflektif, yakni pengakuan akan kekuatan-kekuatan
rasional dalam memecahkan masalah-masalah kehidupan. Kedua, subjektivitas
yang berkaitan dengan kritik atau refleksi, yakni kemampuan untuk
menyingkirkan kendala-kendala kebebasan dari tradisi dan sejarah. Ketiga,
kesadaran historis yang dimunculkan oleh subjek, bahwa waktu berlangsung
secara linear, unik, tak terulangi dengan titik berat pada kekinian sebagai
sumber sejarah. Oleh sebab itu, modernisme memiliki kata-kata kunci:
revolusi, evolusi, transformasi serta progresi. Dengan kata lain,
modernitas mendukung rasio (di atas wahyu), kemajuan (di atas kemapanan)
dan kebaruan (di atas kelampauan). Keempat, universalisme yang mendasari
ketiga unsur sebelumnya. Dengan universalisme dimaksudkan bahwa
elemen-elemen modernitas bersifat normatif untuk masyarakat yang akan
melangsungkan modernisasi. Secara historis, sifat normatif ini
diaktualisasikan dalam gerakan Renaisans abad ke-16 M dan Pencerahan abad
ke-18 M. Dengan modernisasi, kebenaran wahyu diuji di hadapan rasio,
legitimasi kekuasaan digugat melalui kritik dan kesahihan tradisi
dipertanyakan berdasarkan harapan akan masa depan yang lebih baik. Dengan
kata lain, semenjak suatu masyarakat menyatakan diri melaksanakan proses
modernisasi, maka masyarakat tersebut harus siap meninggalkan sikap-sikap
naif, dogmatis dan anti-perubahan, untuk kemudian meleburkan diri dalam
suatu proyek sejarah umat manusia mencapai tujuan tertentu di masa depan.

Sementara itu dalam diskursus filsafat, modernisme mulai dibicarakan dan


menemukan kematangannya melalui filsuf-filsuf Descartes, Immanuel Kant dan
Hegel. Melalui pemikiran tokoh-tokoh inilah modernisme mulai memperkokoh
diri dengan kebenaran-kebenaran ontologis, etis dan epistemologis.
Perkembangan modernisme dalam berbagai wilayah kehidupan lainnya tidak
dapat dipungkiri merupakan implementasi pemikiran filosofis ketiga tokoh
ini.

Rene Descarteslah yang menyadarkan manusia akan kedudukan rasio sebagai


determinan pengetahuan dan pembacaan realitas dengan diktumnya Cogito ergo
sum: aku berpikir maka aku ada. Melalui Kant, hasrat emansipasi ini
selanjutnya dibawa kepada kritisism yang menyarankan kategori-kategori
sebagai batas-batas realitas yang terberi. Dengan kategori-kategori ini
setiap ide, gagasan, pengalaman bahkan khayalan direkonstruksi dalam sebuah
ruang pembacaan baku. Dengannya setiap realitas tidak dapat lolos dari
mekanisme pembacaan ini. Kualitas, kuantitas, ruang, waktu, modalitas,
substansi, kausalitas dan lain-lain, seolah-olah telah ditentukan batas dan
nilainya. Selanjutnya melalui Hegel, realitas modernisme disempurnakan
dengan ide gerak sejarah dialektis yang berpuncak pada rasio. Idealisme
absolut, yang merangkul tese dan antitese ke dalam konsepsi Aufgehoben
suatu filsafat identitas menjadi sebuah narasi utama modernisme. Gerakan
Renaisans, yang mendapat ilham dari semangat Humanisme Italia pada abad
ke-16 M, selanjutnya semakin memperkokoh keyakinan akan segera lahirnya era
baru menggantikan era Abad Pertengahan yang dipandang telah jenuh,
dogmatis
dan beku. Sementara Pencerahan (Aufklarung) abad ke-18 M menjadi landasan
tegaknya era baru, yakni era modern. Modernisme yang rasional, ketat,
serius, sistematis dan tertib inilah wacana dominan yang mengisi diskursus
sejarah filsafat Barat abad ke-18 M hingga sekarang. Semangat emansipasi,
optimisme dan heroisme menghadapi situasi zaman seolah merupakan
satu-satunya tanggapan terhadap proyek sejarah modernisme.

Padahal, sebagaimana diungkap Michel Foucault, pada waktu itu terdapat pula
tanggapan menyimpang terutama dari kalangan seniman yang bernada ironi
terhadap modernisme. Ironi adalah semacam keberanian, yang disertai
kegetiran, untuk terlibat secara aktif dalam dunia kini dan disini
(lokal-historis) tanpa harus menggantungkan diri pada kebenaran-kebenaran
di luar diri manusia. Ironi juga berarti menjalani hidup tanpa dibebani
oleh prinsip-prinsip baku dan tidak berpretensi untuk menjadi juru selamat.
Membaca modernisme dengan sikap ironi ini berarti menolak anggapan bahwa
modernitas membawa nilai-nilai universal (Ahmad Sahal, 1994: 16). Terdapat
pelbagai nilai, keyakinan, realitas dan praktek-praktek sosial yang
ternyata menyimpang dari rasionalitas era modern. Penyair Perancis Charles
Baudelaire misalnya, adalah salah seorang pembaca modernisme dengan cara
demikian.

Cara membaca seperti diwakili Baudelaire inilah yang kini mulai menyingkap
paradoks modernitas. Suara-suara minoritas modernisme : subkultur, hippies,
punk, skin head, masyarakat terasing, dunia ketiga, kaum gay, gerakan
lingkungan hidup, kaum feminis, budaya tanding mulai menggugat
kesombongan
modernisme yang dianggap gagal merampungkan proyek heroisme Pencerahan
untuk membangun sebuah masa depan yang lebih baik. Setidaknya terdapat
enam
alasan ekses negatif proyek modernisme yang kini sedang digugat dan
dipertanyakan. Pertama, lantaran pandangan dualistiknya yang membagi
seluruh kenyataan menjadi subjek-objek, spiritual-material, manusia-dunia,
dan lain-lain, telah mengakibatkan objektivasi alam secara berlebihan dan
eksploitasi alam secara semena-mena. Kedua, pandangan modern yang
cenderung
objektivistik dan instrumentalis-positivistik akhirnya jatuh pada
pembendaan (reifikasi) manusia dan masyarakat. Sebagai akibatnya
modernisme
yang dahulu emansipatif kini justru bersifat dehuman. Ketiga, dominasi
ilmu-ilmu empiris-positivistik terhadap nilai moral dan religi menyebabkan
meningkatnya tindak kekerasan fisik maupun kesadaran keterasingan dan
pelbagai bentuk depresi mental. Keempat, merebaknya pandangan
materialisme,
yakni prinsip hidup yang memandang materi dan segala strategi pemuasannya
sebagai satu-satunya tujuan. Kelima, berkembangnya militerisme karena moral
dan agama tidak lagi memiliki kekuatan disiplin dan regulasi. Keenam,
bangkitnya kembali tribalisme, semangat rasisme dan diskriminasi, yang
merupakan konsekuensi logis hukum survival of the fittest Charles Darwin
(I. Bambang Sugiharto, 1996: 29-30). Dampak negatif modernisme ini
sekaligus menjadi senjata para seniman dan kelompok marjinal lainnya untuk
menyerang dan mendesak dipikirkannya kembali Proyek Modernisme.

Pauline M. Rosenau, dalam kajiannya mengenai postmodernisme dan ilmu-ilmu


sosial, mencatat setidaknya lima alasan penting terjadinya krisis
modernisme (Rosenau, 1992: 10). Pertama, modernisme dipandang gagal
mewujudkan perbaikan-perbaikan ke arah masa depan kehidupan yang lebih
baik
sebagaimana diharapkan oleh para pendukungnya. Kedua, ilmu pengetahuan
modern tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan
penyalahgunaan otoritas keilmuan demi kepentingan kekuasaan. Ketiga,
terdapat banyak kontradiksi antara teori dan fakta dalam perkembangan
ilmu-ilmu modern. Keempat, ada semacam keyakinan bahwa ilmu pengetahuan
modern mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi manusia. Namun
ternyata keyakinan ini keliru dengan munculnya berbagai patologi sosial.
Kelima, ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan
metafisis manusia karena terlalu menekankan atribut fisik individu.

Sementara itu dalam dunia seni, konsep seni modernisme pun perlahan-lahan
mulai menemui kondisi krisis. Merujuk Featherstone, seni modernisme
memiliki beberapa ciri utama yakni: kesadaran dan refleksi estetis yang
cukup tinggi, penolakan terhadap struktur narasi realitas dan penerimaan
terhadap konsep simultanisme dan montase, eksplorasi terhadap hakekat
realitas yang paradoks, ambigu, dan terbuka, serta penolakan terhadap
gagasan kepribadian yang utuh sembari merayakan gagasan subjek yang
dehuman
dan terbelah (Featherstone, 1988: 202). Pandangan modernis demikian mulai
digugat karena tendensi universalisme dan kebenaran estetis yang
seolah-olah merupakan sebuah keniscayaan. Para seniman dan kritikus seni
mulai malas berbicara tentang seni modern yang beku, kelelahan dan kering.
Gagasan seni populer, seni massa, seni fashion yang merangkum pastiche,
parodi, kitsch dan camp, serta perpetual art, seni perpetual, sebaliknya,
mulai banyak dibicarakan. Kondisi yang sama terjadi dalam wilayah kehidupan
dan disiplin ilmu yang lain: sastra, arsitektur, sosiologi, antropologi,
sejarah, politik dan ekonomi.

Panorama modernisme yang terjebak heroisme inilah yang menurut Daniel Bell,
salah seorang pembicara awal postmodernisme, yang merupakan benih krisis
modernitas. Ditambah oleh perkembangan kapitalisme lanjut yang luar biasa
dahsyat, sebagaimana diungkap Fredric Jameson dalam bukunya
Postmodernism
or The Cultural Logic of Late Capitalism (1984), maka menjadi wajarlah
gugatan, kejenuhan dan kekecewaan terhadap semangat modernisme.

B. Postmodernisme dan Beberapa Tokohnya

Semenjak awal paruh kedua abad ke-20 M, tepatnya pada kisaran tahun
1960-an, postmodernisme telah muncul sebagai diskursus kebudayaan yang
banyak menarik perhatian. Berbagai bidang kehidupan dan disiplin ilmu
seperti: seni, arsitektur, sastra, sosiologi, sejarah, antropologi, politik
dan filsafat hampir secara bersamaan memberikan tanggapan terhadap tema
postmodernisme. Meskipun tidak mudah atau malah hampir tidak ada cara baku
untuk mendefinisikan postmodernisme, namun tema ini bukanlah lahir tanpa
sejarah. Postmodernisme hadir setelah melalui perjalanan sejarah yang
membentuknya hingga sampai pada keadaannya saat ini. Inilah postmodernisme
yang menggugat watak modernisme lanjut yang monoton, positivistik,
rasionalistik dan teknosentris; modernisme yang yakin secara fanatik pada
kemajuan sejarah yang linear, kebenaran ilmiah yang mutlak, kecanggihan
rekayasa masyarakat yang diidealkan, serta pembakuan secara ketat tata
pengetahuan dan sistem produksi; modernisme yang kehilangan semangat
emansipasi dan terperangkap dalam sistem yang tertutup; dan modernisme yang
tak lagi peka pada perbedaan dan keunikan (Ariel Heryanto, 1994: 80).
Sebaliknya, postmodernisme menawarkan ciri-ciri yang bertolak belakang
dengan watak era pendahulunya, yakni: menekankan emosi ketimbang rasio,
media ketimbang isi, tanda ketimbang makna, kemajemukan ketimbang
penunggalan, kemungkinan ketimbang kepastian, permainan ketimbang
keseriusan, keterbukaan ketimbang pemusatan, yang lokal ketimbang yang
universal, fiksi ketimbang fakta, estetika ketimbang etika dan narasi
ketimbang teori (Ariel Heryanto, 1994: 80). Karakter yang sering disuarakan
postmodernisme antara lain adalah pluralisme, heterodoks, eklektisisme,
keacakan, pemberontakan, deformasi, dekreasi, disintegrasi, dekonstruksi,
pemencaran, perbedaan, diskontinuitas, dekomposisi, de-definisi,
demistifikasi, delegitimasi serta demistifikasi (Bertens, 1995: 44).

Merujuk Akbar S. Ahmed, dalam bukunya Postmodernism and Islam (1992),


terdapat delapan ciri karakter sosiologis postmodernisme. Pertama,
timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas,
memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden dan semakin
diterimanya pandangan pluralisme-relativisme kebenaran. Kedua, meledaknya
industri media massa, sehingga ia seolah merupakan perpanjangan dari sistem
indera, organ dan syaraf manusia. Kondisi ini pada gilirannya menjadikan
dunia dan ruang realitas kehidupan terasa menyempit. Lebih dari itu,
kekuatan media massa telah menjelma menjadi Agama dan Tuhan baru yang
menentukan kebenaran dan kesalahan perilaku manusia. Ketiga, munculnya
radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul sebagai reaksi
manakala orang semakin meragukan kebenaran ilmu, teknologi dan filsafat
modern yang dinilai gagal memenuhi janji emansipatoris untuk membebaskan
manusia dan menciptakan kehidupan yang lebih baik. Keempat, munculnya
kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta
keterikatan romantisme dengan masa lampau. Kelima, semakin menguatnya
wilayah perkotaan (urban area) sebagai pusat kebudayaan dan sebaliknya,
wilayah pedesaan (rural area) sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga
berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju (Negara Dunia Pertama) atas
negara berkembang (Negara Dunia Ketiga). Keenam, semakin terbukanya
peluang
bagi pelbagai kelas sosial atau kelompok minoritas untuk mengemukakan
pendapat secara lebih bebas dan terbuka. Dengan kata lain, era
postmodernisme telah turut mendorong proses demokratisasi. Ketujuh,
munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya ekletisisme dan pencampuradukan
berbagai diskursus, nilai, keyakinan dan potret serpihan realitas, sehingga
sekarang sulit untuk menempatkan suatu objek budaya secara ketat pada
kelompok budaya tertentu secara eksklusif. Kedelapan, bahasa yang digunakan
dalam diskursus postmodernisme seringkali mengesankan tidak lagi memiliki
kejelasan makna dan konsistensi, sehingga bersifat paradoks (Ahmed, 1992:
143-4).

Istilah postmodernisme, merujuk Ihab Hassan, dipergunakan pertama kali oleh


Federico de Onis, seorang kritikus seni, pada tahun 1930 dalam tulisannya
Antologia de la Poesia Espanola a Hispanoamericana untuk menunjuk kepada
reaksi minor terhadap modernisme yang muncul pada saat itu (Featherstone,
1988: 202). Istilah ini kemudian sangat populer di tahun 1960-an ketika
seniman-seniman muda, penulis dan krikitus seni seperti Hassan,
Rauschenberg, Cage, Barthelme, Fielder dan Sontag menggunakannya sebagai
nama gerakan penolakan terhadap seni modernisme lanjut. Seni postmodern
memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan seni modernisme lanjut, yakni:
hilangnya batas antara seni dan kehidupan sehari-hari, runtuhnya distingsi
antara budaya tinggi dan budaya massa/populer, maraknya gaya eklektis dan
campur aduk, munculnya kitsch, parodi, pastiche, camp dan ironi, merosotnya
kedudukan pencipta seni, serta adanya asumsi seni sebagai pengulangan,
perpetual art (Featherstone, 1988: 202). Penggunaan istilah postmodernisme
selanjutnya perlahan-lahan mulai menyentuh bidang-bidang yang lain. Dalam
bidang arsitektur, istilah postmodernisme mengacu kepada perlawanan
bentuk-bentuk arsitektur modern yang menonjolkan keteraturan, rasionalitas,
objektif, praktis, ruang isotropis dan estetika mesin, dimana prinsip
bentuk mengikuti fungsi menjadi dewa. Arsitektur postmodernisme,
sebaliknya menawarkan konsep bentuk asimetris, ambigu, naratif, simbolik,
terpiuh, penuh kejutan dan variasi, ekuivokal, penuh ornamen, metafor serta
akrab dengan alam (Andy Siswanto, 1994: 36). Doktrin bentuk mengikuti
fungsi dibalik menjadi fungsi mengikuti bentuk.

Jika modernitas dipahami sebagai kurun waktu sejarah yang berkembang


semenjak era Renaisans, maka postmodernitas adalah kurun waktu sejarah
yang
seringkali dikaitkan dengan perubahan realitas dunia seusai Perang Dunia II
(Featherstone, 1988: 197). Postmodernitas ditandai dengan lahirnya
totalitas struktur sosial baru, perkembangan teknologi dan informasi yang
pesat, serta terbentuknya masyarakat komputerisasi, dunia simulasi dan
hiperrealitas.
Merujuk Mike Featherstone, seorang sosiolog dan kritikus kebudayaan,
postmodernisme memiliki tiga ruang pengertian yang berada dalam wilayah
kebudayaan. Pertama, sebagai perubahan bentuk teorisasi, presentasi dan
diseminasi karya seni dan intelektual yang tidak dapat dipisahkan dari
perubahan mikro dalam wilayah kebudayaan. Kedua, sebagai perubahan ruang
budaya yang lebih luas mencakup bentuk-bentuk produksi, konsumsi dan
sirkulasi tanda dan simbol yang dapat dikaitkan dengan perubahan yang lebih
luas pula dalam relasi keseimbangan dan kekuasaan dalam masyarakat. Ketiga,
sebagai perubahan praktek dan pengalaman keseharian berbagai kelompok
yang
menggunakan rezim penandaan (regime of signification) dalam berbagai cara
dan gaya, serta mengembangkan sarana-sarana baru bagi orientasi dan
pembentukan identitas (Featherstone, 1988: 208).

Sementara itu, Daniel Bell, seorang sosiolog, bahkan melihat postmodernisme


sebagai puncak tendensi perlawanan terhadap modernisme, dengan hasrat,
insting dan kegairahan untuk membawa logika modernisme sampai ke titik
terjauh yang mungkin bisa dicapai (Featherstone, 1988: 202). Agak berbeda
dengan Bell, Jean Baudrillard, salah seorang pembicara terdepan
postmodernisme, memandang postmodernisme lebih sebagai strategi
pembacaan
realitas dengan objek sentral prinsip reproduksi tanda-tanda, kapitalisme
multinasional yang membawa akibat perluasan luar biasa dalam dunia sosial
dan meledaknya budaya massa. Postmodernisme dengan demikian adalah
metode
analisa kritis yang mencoba membongkar mitos dan anomali paradigma
modernisme, membuka ironi, intertekstualitas dan paradoks, mencoba
menemukan suatu teori masyarakat postmodern atau postmodernitas, dan
menggambarkannya dalam realitas sosial yang ada dalam masyarakat
kontemporer Barat dewasa ini (Featherstone, 1988: 204).

Untuk memudahkan pemetaan prinsip dan kedudukan modenisme dan


postmodernisme, Ihab Hassan mencoba menyusun sebuah tabel sistematis
yang
menggambarkan perbandingan prinsip kedua paradigma pemikiran tersebut
(Harvey, 1995: 43):

Modernisme Postmodernisme
------------------------------------------------------------------------
Romantis/Simbolis Parafisik/Dadisme
Bentuk/Berhubungan/Tertutup Anti Bentuk/Tak Berhubungan/Terbuka
Tujuan Permainan
Desain Kesempatan
Hierarki Anarki
Master/Logos Kejenuhan/Kediaman
Objek Seni/Karya Proses/Penampilan/Happening
Berjarak Partisipasi
Kreasi/Totalisasi/Sintesis Dekreasi/Dekonstruksi/Anti Sintesis
Kehadiran Ketidakhadiran i
Pemusatan Tersebar
Genre/Batas Teks/Interteks
Semantik Retorik
Paradigma Sintagma
Hipotaksis Parataksis
Metafor Metonimi
Seleksi Kombinasi
Akar/Kedalaman Rhizoma/Permukaan
Interpretasi/Pembacaan Melawan-Interpretasi/Kesalahbacaan
Petanda Penanda
Terlihat/Terbaca Tercatat/Tertulis
Narasi/Narasi Besar Anti-Narasi/Narasi Kecil
Tanda Idiolek
Simtom Hasrat
Jenis Mutan
Genital/Phalik Polimorphi/Androgini
Paranoia Schizophrenia
Asli/Sebab Perbedaan/Jejak
Tuhan Setan
Metafisik Ironi
Determinasi Indeterminasi
Transenden Imanen

Sementara itu Julia I. Suryakusuma, menyusun sebuah sistematika


perbandingan paradigma modernisme dan postmodernisme dalam wilayah-
wilayah
kehidupan sebagai berikut (Suryakusuma, 1994: 47):

Modernisme Postmodernisme
------------------------------------------------------------------------
Dalam Politik: Dalam Politik:
Negara (nation-state) Relagion
Totalitarian Demokratis
Konsensus Konsensus yang Dipertanyakan
Friksi Kelas Isu Agenda Baru

Dalam Ekonomi: Dalam Ekonomi:


Fordisme Pasca-Fordisme
Kapitalisme Monopoli
Kapitalisme Sosialis
Sentralisasi Desentralisasi

Dalam Masyarakat: Dalam Masyarakat:


Pertumbuhan Pesat Kestabilan yang Berkesinambungan
Industrial Pasca-Industrial
Berstruktur Kelas Berkelompok Kecil
Proletariat Kognitariat

Dalam Kebudayaan: Dalam Kebudayaan:


Kemurnian Double Coding
Elitisme Massa
Objektivisme Naturalisme
Dalam Estetika: Dalam Estetika:
Harmoni Sederhana Anti-Harmoni
Estetika Newtonian Estetika Big-Bang
Top-Down Terintegrasi Semiosis
Ahistoris Historis

Dalam Filsafat: Dalam Filsafat:


Monisme Pluralisme
Materialisme Semiotik
Utopian Heterotopian

Dalam Media: Dalam Media:


Dunia Cetak Elektronik
Berubah Cepat Mengubah
Dunia

Dalam Ilmu: Dalam Ilmu:


Mekanistis Mengorganisasi
Linier Non-Linier
Deterministik Indeterministik
Mekanika Newton Mekanika Kuantum

Dalam Agama: Dalam Agama:


Atheisme Panentheisme
Tuhan telah mati Spiritualitas Kreatif
Patriarkis Pasca-Patriarkis
Kekecewaan Terpesona

Dalam Pandangan Hidup Dalam Pandangan Hidup::


Mekanistis Ekologis
Reduktif Holistik
Terpisah Berkaitan
Hierarkis Heterarkis
Kepastian Kebetulan
Antroposentris Kosmologis
Absurditas Manusia Optimisme Tragis

Secara historis, kelahiran postmodernisme dapat dilacak jauh ke alur


sejarah kegagalan modernisme. Benih-benih kekecewaan terhadap modernisme
pertama kali muncul pada tahun 1950-an dalam dunia sastra, ketika Charles
Olson, seorang penyair Amerika, menggunakannya untuk menyebut gerakan
anti-modernisme dan anti-rasionalitas modern dalam dunia puisi kontemporer
Amerika (Bertens, 1995: 20). Gerakan anti-modernisme, yang dipelopori oleh
John Cage, Robert Rauschenberg, Merce Cunningham, ini adalah gerakan yang
mencoba membangun kesadaran untuk keluar dari kungkungan dan kuasa
rasionalitas seni modern. Para seniman dan penyair saat itu mulai merasa
jenuh berada dalam ketertutupan dan kekakuan rasionalitas instrumental
dunia modern. Dalam tulisannya Human Universe (1951), Olson menyatakan
bahwa dunia kebudayaan Barat, karena orientasi ontologisnya yang
membabi-buta terhadap rasionalitas modern, telah menyebabkan hilangnya
otentisitas kehidupan dan kesejatian pengalaman manusia. Sebagai akibatnya
manusia tidak lagi mampu mengalami dan menghayati kekayaan realitas
kehidupan dengan segenap keunikannya masing-masing (Bertens, 1995: 21).
Hal
yang ada hanyalah sebuah realitas tunggal yang monolitik, dogmatis dan
ideologis. Sebaliknya, gerakan anti-modernisme menyatakan sikap penolakan
terhadap pandangan rasionalitas modern yang menjunjung tinggi
universalitas, subjek transenden, ego individual, dan merayakan otentisitas
kehidupan. Gerakan anti-modernisme hendak mencoba melawan keangkuhan
nilai
dan estetika sastra modern.

Perbincangan mengenai postmodernisme selanjutnya berkembang dalam


lapangan
seni. Pada kurun waktu tahun 1960-an, muncul tulisan-tulisan tentang
postmodernisme dengan artikulasi dan pemihakan yang lebih jelas. Dalam
dunia sastra, Ihab Hassan dan Susan Sontag menyatakan mulai bangkitnya
dunia sastra yang terdiam. Sontag juga menyatakan telah lahirnya
sensibilitas baru, yaitu suatu sikap yang lebih terbuka menerima
keberagaman gaya dan bentuk, serta tidak lagi menuntut penghormatan
terhadap seniman dan karya seni.

Selama rentang waktu tahun 1960 sampai 1970-an, perbincangan tentang


postmodernisme mulai masuk ke dunia arsitektur. Diruntuhkannya bangunan
perumahan Pruitt Igoe, St. Louis, Missouri, yang memiliki karakter
arsitektur modern (arus arsitektur International Style yang dipelopori Mies
van der Rohe) menandai lahirnya pemikiran arsitektur postmodernisme.
Arsitektur postmodern membawa tiga prinsip dasar yakni: kontekstualisme,
allusionisme dan ornamental. Prinsip kontekstualisme berarti adanya
pengakuan bahwa gaya arsitektur suatu bangunan selalu merupakan bagian
fragmental dari sebuah gaya arsitektur yang lebih luas. Prinsip
allusionisme berarti adanya keyakinan bahwa arsitektur selalu merupakan
tanggapan terhadap sejarah dan kebudayaan. Sementara prinsip ornamental
berarti pengakuan bahwa bangunan merupakan media pengungkapan makna-
makna
arsitektural.

Adalah Robert Venturi, arsitek sekaligus teoritisi awal konsep arsitektur


postmodern, dalam bukunya Complexity and Contradiction in Architecture
(1966), yang mulai membuka pembicaraan konsep arsitektur postmodern. Ia
memaparkan bahwa arsitektur postmodern adalah konsepsi teoritis arsitektur
yang memiliki beberapa karakter. Menurutnya, arsitektur postmodern lebih
mengutamakan elemen gaya hibrida (ketimbang yang murni), komposisi paduan
(ketimbang yang bersih), bentuk distorsif (ketimbang yang utuh), ambigu
(ketimbang yang tunggal), inkonsisten (ketimbang yang konsisten), serta
kode ekuivokal (ketimbang yang monovokal) (Bertens, 1995: 54).

Sementara itu Charles Jencks, yang diakui sebagai mahaguru arsitektur


postmodern, dalam bukunya The Language of Postmodern Architecture (1977),
menyebut beberapa atribut konsep arsitektur postmodern. Beberapa atribut
tersebut adalah metafora, historisitas, ekletisisme, regionalisme,
adhocism, semantik, perbedaan gaya, pluralisme, sensitivisme, ironisme,
parodi dan tradisionalisme (Bertens, 1995: 58). Lebih lanjut arsitektur
postmodern, menurut Jencks juga memiliki sifat-sifat hibrida, kompleks,
terbuka, kolase, ornamental, simbolis dan humoris. Jencks juga menyatakan
bahwa konsep arsitektur postmodern ditandai oleh suatu ciri yang disebutnya
double coding. Double coding adalah prinsip arsitektur postmodern yang
memuat tanda, kode dan gaya yang berbeda dalam suatu konstruksi bangunan.
Arsitektur postmodern yang menerapkan prinsip double coding selalu
merupakan campuran ekletis antara tradisional/modern, populer/tinggi,
Barat/Timur, atau sederhana/complicated.

Memasuki rentang tahun 1980-an, tema postmodernisme mulai mendapat


perhatian yang lebih serius. Upaya membangun kerangka teoritis terhadap
tema ini terutama berlangsung dalam lapangan filsafat. Dalam bidang
filsafat, istilah postmodernisme kerap dipergunakan dengan acuan yang
sangat beragam. Walaupun karya masterpiece Jean Francois Lyotard, The
Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1984), tetap menjadi acuan
kunci, namun banyak kalangan mengaitkan istilah itu dengan teori
dekonstruksi Derrida, semiologi Barthes, semiotika Eco, poststrukturalisme
Foucault, hermeneutika Gadamer sampai kepada pemikiran holistisisme Capra,
Prigogine dan Whitehead. Istilah postmodernisme juga sering dirujukkan pada
berbagai fenomena realitas masyarakat kontemporer sebagai masyarakat
post-industri (post-industrial society), masyarakat komputer (computer
society), masyarakat konsumer (consumer society), masyarakat media (media
society), masyarakat tontonan (spectacle society) atau masyarakat tanda
(semiurgy society). Sementara kalangan memandang postmodernisme sebagai
bagian dari proyek modernisme yang belum usai (misalnya Juergen Habermas
dan Mahzab Frankfurt generasi kedua), sementara kalangan yang lain
memandang postmodernisme sebagai penolakan radikal terhadap nilai-nilai dan
asumsi-asumsi modernisme (misalnya Lyotard, Derrida, Foucault). Pauline M.
Rosenau, dalam bukunya Postmodernism and Social Sciences (1992),
membedakan
postmodernisme menjadi dua bentuk. Pertama, postmodernisme sebagai
paradigma pemikiran. Sebagai paradigma pemikiran, postmodernisme meliputi
tiga aspek ontologi, epistemologi serta aksiologi. Ketiga aspek dasar ini
menjadi kerangka berpikir dan bertindak penganut postmodernisme bentuk
pertama (misalnya Lyotard, Derrida, Foucault). Kedua, postmodernisme
sebagai metode analisis kebudayaan. Dalam konteks ini, prinsip dan
pemikiran postmodernisme digunakan sebagai lensa membaca realitas sosial
budaya masyarakat kontemporer (misalnya Rortry dan Baudrillard). Dari arah
yang agak berbeda, Frederic Jameson menyatakan bahwa postmodernisme tak
lain adalah konsekuensi logis perkembangan kapitalisme lanjut. Melalui
tulisannya Postmodernism or The Cultural Logic of Late Capitalism (1989),
Jameson meyakinkan resiko tak terelakkan dari dominasi kapitalisme lanjut
yang telah menyempurnakan dirinya, yakni kapitalisme yang telah berubah
watak karena telah banyak belajar dari berbagai rongrongan dan kritik.
Kapitalisme yang titik beratnya bergeser dari industri manufaktur ke
industri jasa dan informasi. Kapitalisme yang, demi kepentingan jangka
panjang, secara cerdas mengakomodasikan tuntutan serikat pekerja,
kelangsungan hidup lingkungan, dan daya kreatif/kritis konsumen.
Kapitalisme yang mengintegrasikan banyak unsur sosialisme ke dalam dirinya.
Kapitalisme yang bekerja dengan prinsip desentralisasi dan deregulasi
karena sistem terpusat tak sigap menghadapi perubahan cepat. Kapitalisme
yang tidak menawarkan keseragaman gaya/citra kultural karena pasar dan
tenaga kerja telah mengalami diversifikasi begitu jauh.

Dengan perkembangan kapitalisme lanjut yang tampil dengan kehadiran


perusahaan multinasional, jaringan informasi global dan teknologi
telekomunikasi, maka whole new type of society pun lahir. Inilah masyarakat
yang dihuni oleh subjek-subjek dengan ciri-ciri terbelah, kehilangan rantai
hubungan pemaknaan, larut dalam citra-citra dan imaji serta gagal memahami
latar belakang sejarah dirinya sendiri (Turner, 1990: 170). Namun untuk
memahami postmodernisme secara mendasar terutama pada dataran ontologis
dan epistemologis adalah mutlak untuk mengetahui asumsi-asumsi dasar serta
argumentasi para penyuara postmodernisme dalam wilayah filsafat.

Jean Francois Lyotard adalah filsuf kelahiran Versailles Perancis yang


mulai meletakkan dasar argumentasi filosofis dalam diskursus
postmodernisme. Melalui bukunya yang segera menjadi klasik, The Condition
of Postmodern: A Report on Knowledge (1984), Lyotard mencatat beberapa ciri
utama kebudayaan postmodern. Menurutnya, kebudayaan postmodern ditandai
oleh beberapa prinsip yakni: lahirnya masyarakat komputerisasi, runtuhnya
narasi-narasi besar modernisme, lahirnya prinsip delegitimasi, disensus,
serta paralogi.

Masyarakat komputerisasi adalah sebutan yang diberikan Lyotard untuk


menunjuk gejala post-industrial masyarakat Barat menuju the information
technology era. Realitas sosial budaya masyarakat dewasa ini seperti yang
ditelitinya secara seksama di Quebec Kanada adalah masyarakat yang hidup
dengan ditopang oleh sarana teknologi informasi, terutama komputer. Dengan
komputerisasi, prinsip-prinsip produksi, konsumsi dan transformasi
mengalami revolusi radikal. Penggunaan tenaga manusia yang semakin terbatas
dalam sektor ekonomi, pelipatan ruang dalam dunia telekomunikasi,
percepatan pengolahan data dan informasi yang mampu mengubah bahkan
memanipulasi realitas, penyebaran pengetahuan dan kekuasaan secara massif,
adalah beberapa konsekuensi perkembangan teknologi (Sarup, 1989: 118).
Dalam masyarakat komputerisasi seperti ini, nilai-nilai serta asumsi dasar
modernisme: rasio, hukum sejarah linear, subjek, ego, narasi besar,
otonomi, identitas tidak lagi mampu menggambarkan realitas. Bahkan,
realitas telah berubah sesuai dengan perubahan karakter masyarakat
postmodernisme. Realitas masyarakat seperti inilah yang menjadi wadah,
arena perjuangan, nilai-nilai baru postmodernisme.

Menggarisbawahi sifat transformatif masyarakat komputerisasi yang lebih


terbuka, majemuk, plural dan demokratis, Lyotard selanjutnya menyatakan
bahwa kebenaran yang dibawa oleh narasi-narasi besar (Grand Narratives)
modernisme sebagai metanarasi kini telah kehilangan legitimasinya. Hal
ini karena dalam masyarakat kontemporer, sumber pengetahuan dan kebenaran
pengetahuan tidak lagi tunggal. Realitas kontemporer tidak lagi homolog
(homo: satu, dan logi: tertib nalar), melainkan paralog (para: beragam, dan
logi: tertib nalar) (Awuy, 1995: 161). Pengetahuan dan kebenaran kini
menyebar dan plural. Konsekuensinya, prinsip legitimasi modernisme harus
dibongkar dengan prinsip delegitimasi. Dengan delegitimasi, berarti diakui
adanya berbagai unsur realitas yang memiliki logikanya sendiri. Dengan
delegitimasi, menurut Lyotard, prinsip lain yakni disensus menjadi lebih
bisa diterima ketimbang prinsip konsensus seperti ditawarkan Juergen
Habermas. Karena disensus adalah prinsip yang mengakui perbedaan dan
keunikan setiap unsur dalam realitas, yang memiliki logika dan hak hidupnya
sendiri.

Dengan titik perhatian yang berbeda namun sampai pada kesimpulan yang
sama,
Michel Foucault, seorang filsuf poststrukturalis Perancis, mencatat
beberapa karakter khas kebudayaan postmodern. Berangkat dari Kant, Foucault
bersepakat bahwa Era Pencerahan adalah saat dimana rasio mendapatkan
tempat
istimewa dalam sejarah perkembangan kebudayaan. Namun ia menolak
anggapan
Kant bahwa rasio berlaku universal. Baginya rasio hanyalah salah satu cara
untuk menanggapi situasi zaman saat itu. Menurutnya terdapat tanggapan lain
terhadap Pencerahan seperti diwakili Baudelaire yaitu ironi. Ironi adalah
keberanian, yang disertai kegetiran, untuk terlibat secara aktif dengan
situasi kini dan disini, historis dan lokal (locally determined), tanpa
harus mencantolkan diri pada status-status khusus dari kebenaran-kebenaran
absolut, di luar diri manusia, baik atas nama Tuhan, logos, atau yang
lainnya. Ironi juga berarti menjalani kehidupan tanpa dibebani oleh prinsip
baku, yang sudah terpatok sebelumnya (Ahmad Sahal, 1994: 16). Dengan ironi,
Foucault menerima keyakinan bahwa sejarah modernitas bukanlah sejarah
tunggal, dengan narasi besar yang monolog: rasionalitas. Lebih jauh ia
menyingkapkan bahwa narasi-narasi besar modernisme hanyalah mistifikasi
yang bersifat ideologis dan semu. Ia misalnya, menolak pandangan para
filsuf Pencerahan yang mengatakan bahwa manusia adalah subjek otonom,
mandiri dan mampu menentukan dirinya sendiri. Sebaliknya menurut Foucault,
manusia modern sebagai subjek ataupun objek sebenarnya tidak lebih dari
individu yang lahir dan diciptakan oleh multiplisitas kekuasaan melalui
disiplin, normalisasi dan regulasi, pengakuan dan penguasaan diri (Ahmad
Sahal, 1994: 16-17). Kekuasaan dalam pandangan Foucault ini berbeda sama
sekali dengan yang dipahami oleh kaum Weberian dan Marxian. Bagi kaum
Weberian, kekuasaan adalah kemampuan subjektif untuk mempengaruhi orang
lain. Sementara bagi kaum Marxian, kekuasaan adalah artefak material yang
bisa dikuasai dan digunakan untuk mendominasi dan menekan kelas lain.
Menurut Foucault, kekuasaan bukanlah kekuatan, institusi atau struktur yang
bersifat menundukkan. Kekuasaan adalah label nominal bagi relasi strategis
yang kompleks dalam masyarakat. Ia menyebar dan hadir di mana-mana,
dimiliki oleh siapa saja. Untuk itu, ketimbang berusaha mengimami gagasan
besar yang cenderung manipulatif, Foucault lebih memilih untuk menyibuki
persoalan-persoalan kecil dan lokal yang seringkali tak jamak dibicarakan.
Tema-tema seperti rumah sakit, penjara, barak-barak tentara, sekolah,
pabrik, pasien, seks, orang gila dan para kriminal menjadi titik perhatian
utama selama karir kefilsafatannya. Dengan upaya ini, Foucault memberikan
dua sumbangan besar terhadap postmodernisme. Pertama, keberhasilannya
menyingkap mitos-mitos modernisme yang menampilkan dirinya sebagai
kebenaran absolut, yang universal, namun sebenarnya palsu. Kedua,
pemihakannya terhadap persoalan-persoalan yang selama ini ditindas oleh
rasionalitas modern, tersisih, marjinal dan dikucilkan agar lebih didengar
dan diperhatikan.

Seorang filsuf lain yang mencoba menyingkap sifat paradoks modernisme


adalah Jacques Derrida. Melalui Derrida terbongkar karakter kekerasan dan
teror yang disebar oleh modernisme semenjak diuarkannya prinsip
logosentrisme. Dalam logosentrisme, salah satu ciri yang menonjol adalah
cara berpikir oposisi biner yang bersifat hierarkis (esensi/eksistensi,
substansi/aksidensi, jiwa/badan, makna/bentuk, transenden/imanen,
positif/negatif, lisan/tulisan, konsep/metafor) dengan anggapan bahwa yang
pertama adalah pusat, sedang yang kedua adalah derivasi, pinggiran. Cara
berpikir ini mendorong sejarah filsafat Barat cenderung bersifat totaliter
karena menganggap bahwa yang bukan pusat, yang pinggiran, yang lain, the
others, harus disubordinasikan ke dalamnya. Mencermati hal itu, Derrida
lantas melakukan strategi dekonstruksi terhadap cara berpikir oposisi
biner. Dekonstruksi adalah strategi untuk memeriksa sejauh mana
struktur-struktur yang terbentuk hendak dimapankan batas-batasnya dan
ditunggalkan pengertiannya, yakni melalui pembalikan hierarki oposisi biner
secara terus-menerus (Ahmad Sahal, 1994: 21). Dengan dekonstruksi hendak
dimunculkan kembali dimensi-dimensi metaforis dan figuratif dari bahasa
yang menjadi pembentuk realitas. Implikasinya adalah mulai melumernya
batas-batas antara konsep dan metafor, antara kebenaran dan fiksi, antara
filsafat dan puisi, dan antara keseriusan dan permainan. Melalui
dekonstruksi Derrida mencoba meletakkan kembali kedudukan struktur dalam
keadaan asalinya, yakni keadaan dimana relasi antara pusat dan pinggiran
belum lagi mengeras. Dengannya diinginkan pluralitas dan heterogenitas
kehidupan yang membeku dan tertindas selama masa modernisme kembali
terhampar.

C. Jean Baudrillard dan Beberapa Karyanya

Salah seorang pemikir postmodernisme yang menaruh perhatian besar pada


persoalan kebudayaan dalam masyarakat kontemporer adalah Jean Baudrillard.
Agak berbeda dengan filsuf-filsuf postmodernisme lainnya yang memusatkan
diri pada metafisika dan epistemologi, Baudrillard lebih memilih kebudayaan
sebagai medan pengkajian. Ia mengambil pilihan itu bukan tanpa tujuan.
Baudrillard ingin mengungkapkan transformasi dan pergeseran yang terjadi
dalam struktur masyarakat Barat dewasa ini yang disebutnya sebagai
masyarakat simulasi dan hiperrealitas.

Jean Baudrillard dilahirkan di kota Riems, Perancis Barat, pada 5 Januari


1929. Kedua orang tuanya berasal dari keluarga petani yang kemudian pindah
ke kota Paris dan bekerja sebagai pegawai di Dinas Pelayanan Masyarakat. Ia
sempat mengalami masa kejayaan dan kebangkrutan Fasisme. Keluarganya
bukanlah keluarga berpendidikan. Bersama saudara-saudaranya yang lain
Baudrillard hidup dalam tradisi keluarga petani urban yang sederhana. Ia
adalah orang pertama dalam keluarganya yang bekerja sebagai ilmuwan secara
serius. Meskipun untuk itu, ia harus berusaha keras untuk mencapai
cita-citanya dengan berkali-kali gagal memperoleh agregation de
philosophie.
Pada tahun 1966 Baudrillard menyelesaikan tesis sosiologinya di Universitas
Nanterre di bawah bimbingan Henry Lefebvre, seorang anti-strukturalis
Perancis kondang saat itu. Ia lulus dengan membawa kebanggaan besar bagi
keluarganya. Selama menjadi mahasiswa, Baudrillard aktif dalam organisasi
mahasiswa Sosialis dan mengakui sebagai pengikut Marxisme. Setahun setelah
lulus, ia kemudian masuk ke Universitas Nanterre, untuk mengajar disana.
Setelah setahun mengajar di Universitas Nanterre, selanjutnya Baudrillard
bergabung dengan Roland Barthes mengajar di Ecole des Hautes Etudes. Ia
mulai terpengaruh pemikiran Barthes, selain tentu saja pemikiran Karl Marx.
Semenjak berada di sanalah Baudrillard mulai aktif menulis disamping sibuk
berpartisipasi dalam praksis gerakan sosialisme Perancis. Pada tahun 1968
ia mulai menulis buku The Object System yang sangat dipengaruhi oleh karya
Barthes The Fashion System (1967) Dalam buku itu yang belum terlihat
minatnya secara serius terhadap persoalan kebudayaan postmodern saat itu
Baudrillard mencoba mengadopsi metode semiologi Barthes untuk membongkar
hubungan dan mistifikasi objek-subjek dalam realitas masyarakat modern.
Setahun berikutnya ia menulis buku Communications (1969), sebuah buku yang
membahas struktur komunikasi tanda dalam masyarakat Barat dewasa ini.

Tulisan-tulisan awal Baudrillard di majalah Calvino dan Les Temps Modernes


milik Jean Paul Sartre, menunjukkan bahwa ia adalah seorang penganut
sekaligus kritikus brillian terhadap pemikiran Karl Marx. Karya-karya
terjemahannya tentang Bertolt Brecht dan Arnold Weiss yang banyak
dipengaruhi Marx, secara jelas juga menunjukkan kekritisannya terhadap
gagasan Marx mengenai nilai-guna dan nilai-tukar. Ia mencoba menggabungkan
pemikiran Marx dengan strukturalisme Perancis. Sedikit berbeda dengan
Lefebvre, Baudrillard tidak menolak sama sekali strukturalisme. Ia masih
meminjam dan mempergunakan beberapa istilah strukturalis dalam
pemikirannya. Ia juga banyak dipengaruhi oleh para pemikir strukturalis.
Selain dari Marx, Baudrillard mengambil alih pemikiran Barthes mengenai
semiologi, Marcel Mauss seorang antropolog strukturalis mengenai gift
atau pemberian, dan Georges Bataille mengenai expenditure atau belanjaan
(Lechte, 1994: 233). Bersepakat dengan dua pemikir terakhir, Baudrillard
menolak prinsip nilai-guna dan nilai-tukar Marx dan menyatakan bahwa
aktivitas konsumsi manusia pada dasarnya merupakan aktivitas
non-utilitarian (Baudrillard, 1993: 68). Ia mengadopsi pendapat Mauss dan
Bataille bahwa dalam institusi semacam Kula dan Potlach dalam masyarakat
primitif, kebiasaan memberi sesuatu dan membelanjakan sesuatu ternyata
didasarkan pada prestise dan kebanggaan simbolik, bukan pada kegunaan.
Inilah prinsip yang kini semakin transparan berlangsung dalam aktivitas
konsumsi masyarakat dewasa ini. Nilai tanda (sign-value) dan nilai-simbol
(symbolic-value) telah menggantikan nilai-guna (use-value) dan nilai-tukar
(exchange-value).

Nama Jean Baudrillard mulai dikenal luas dalam diskursus filsafat


kontemporer ketika tulisannya The Mirror of Production (1975)
dipublikasikan di Amerika. Enam tahun berikutnya, karyanya For a Critique
of The Political Economy of The Sign (1981) diterbitkan oleh Telos Press.
Dalam karyanya ini Baudrillard mengkritik prinsip nilai-guna dan
nilai-tukar Marx yang dianggapnya sudah tidak relevan lagi digunakan
sebagai kerangka memandang realitas masyarakat dewasa ini. Lebih jauh,
Baudrillard kemudian mengajukan prinsip nilai-tanda dan nilai-simbol
sebagai kerangka membaca realitas dewasa ini yang ditegakkan oleh konsumsi
dan reproduksi. Bersamaan dengan itu, perhatian terhadap tema
postmodernisme semakin besar, dan mendorong minat terhadap
pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh postmodernisme, termasuk Baudrillard.
Tahun-tahun berikutnya nama dan gagasan Baudrillard semakin bersinar.
Dengan gaya menulisnya yang khas dan orisinal deklaratif, hiperbolik,
aforistik, skeptis, fatalis, nihilis, namun tajam dan cerdas
karya-karyanya segera memiliki arti tersendiri. Ia banyak diundang
berceramah di dalam maupun di luar negeri, serta menulis di berbagai media,
misalnya di surat kabar Liberation yang secara berkala memuat tulisannya.
Karya-karyanya pun semakin banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.

Tahun 1983, karya magnum opus-nya, Simulations (1983), diterbitkan dalam


edisi bahasa Inggris. Dalam buku yang segera menjadi klasik ini,
Baudrillard mengintrodusir sebuah karakter khas kebudayaan masyarakat Barat
dewasa ini. Menurutnya, kebudayaan Barat dewasa ini adalah sebuah
representasi dari dunia simulasi, yakni dunia yang terbentuk dari hubungan
berbagai tanda dan kode secara acak, tanpa referensi relasional yang jelas.
Hubungan ini melibatkan tanda real (fakta) yang tercipta melalui proses
produksi, serta tanda semu (citra) yang tercipta melalui proses reproduksi.
Dalam kebudayaan simulasi, kedua tanda tersebut saling menumpuk dan
berjalin kelindan membentuk satu kesatuan. Tidak dapat lagi dikenali mana
yang asli, yang real, dan mana yang palsu, yang semu. Semuanya menjadi
bagian realitas yang dijalani dan dihidupi masyarakat Barat dewasa ini.
Kesatuan inilah yang disebut Baudrillard sebagai simulacra atau simulacrum,
sebuah dunia yang terbangun dari sengkarut nilai, fakta, tanda, citra dan
kode. Realitas tak lagi punya refernsi, kecuali simulacra itu sendiri.

Pada tahun ini juga diterbitkan In The Shadow of Silent Majorities (1983),
oleh penerbit Semiotext. Sementara melalui karyanya The Ecstasy of
Communication (1987), Baudrillard menyatakan bahwa dengan transparansi
makna dan informasi, masyarakat Barat dewasa ini telah melampaui ambang
batas menuju keadaan permanent ecstasy: ekstasi sosial (massa), ekstasi
tubuh (kegemukan), ekstasi seks (kecabulan), ekstasi kekerasan (teror), dan
ekstasi informasi (simulasi) (Baudrillard, 1987: 82). Saat ini, hampir
seluruh dimensi kehidupan masyarakat Barat dituntun oleh logika ekonomi
kapitalis yang menawarkan keterbukaan, kebaruan, perubahan dan percepatan
konstan. Dalam keadaan demikian, persoalan gaya hidup, mode dan penampilan
menjadi nilai baru yang menggantikan nilai kebijaksanaan, kearifan dan
kesederhanaan. Karya-karya utamanya yang lain kemudian berturut-turut
diterbitkan seperti: Forget Foucault (1987), The Evil Demon of Images
(1987), America (1989), Cool Memories (1990), Seduction (1990), Fatal
Strategies (1990), Revenge of Crystal (1990), Cool Memories II (1991), The
Transparency of Evil (1992), Symbolic Exchange and Death (1993), serta The
Illusion of The End (1994). Tahun 1989, terbit karyanya, Simulacra and
Simulacrum (1989), yang merupakan kelanjutan karya monumentalnya
Simulations (1983), dalam edisi bahasa Inggris. Dalam karyanya tersebut,
Baudrillard mengembangkan gagasannya tentang masyarakat hiperrealitas.
Dengan menganalisa masyarakat dan kebudayaan Amerika, Baudrillard
menyatakan bahwa dalam wacana simulasi realitas yang sesungguhnya (fakta)
tidak hanya bercampur dengan realitas semu (citra), namun bahkan telah
dikalahkan oleh citra. Lebih jauh, citra lebih dipercaya ketimbang fakta.
Inilah era hiperrealitas, dimana realitas asli dikalahkan oleh realitas
buatan.

Sementara itu tanggapan serius terhadap pemikiran-pemikiran Baudrillard pun


semakin besar dengan ditandai oleh terbitnya buku-buku kajian kritis
seperti: Baudrillard Live, Selected Interviews (1993) oleh Routledge,
Selected Writing (1989) oleh Cambridge Press, Baudrillard: Critical and
Fatal Theory (1991) oleh Routledge, Baudrillards Bestiary, Baudrillard and
Culture (1991) oleh Routledge, Jean Baudrillard: From Marxisme to
Postmodernism and Beyond (1989) oleh Cambridge Press, serta Baudrillard
Reader (1993) oleh Routledge.

Selain menulis buku, Baudrillard juga kerap menulis artikel di berbagai


jurnal ilmiah baik yang berbahasa Perancis maupun Inggris dan media massa
umum. Ia sering mengisi kolom di surat kabar harian Liberation dan
Guardian, serta menulis di jurnal-jurnal semisal Spring, October, Art and
Text, New Literary History, On The Beach, Calvino serta Les Temps Modernes,
jurnal milik filsuf eksistensialis Perancis Jean Paul Sartre.

Kebudayaan Postmodern Jean Baudrillard

A. Nilai Tanda dan Nilai Simbol

Signs, signs ? Is that all you have to say


(Tanda, tanda ? Apakah cuma itu yang ingin kau katakan ?)

Perkembangan kapitalisme lanjut semenjak tahun 1920-an menunjukkan


perubahan dramatis karakter produksi dan konsumsi dalam masyarakat
konsumer. Bila dalam era kapitalisme awal, produksi menjadi faktor dominan
yang membentuk pasar kapitalisme kompetitif, maka dalam era kapitalisme
lanjut, konsumsi adalah determinan pasar kapitalisme yang juga berubah
semakin bersifat monopoli. Sejak tahun 1960-an, kedudukan dominan faktor
konsumsi bahkan tidak hanya dalam kawasan ekonomi. Lebih dari era-era
sebelumnya, kini konsumsi menjadi motif utama dan penggerak realitas
sosial, budaya bahkan politik (Kellner, 1994: 3). Dalam era ini, segala
upaya ditujukan pada penciptaan dan peningkatan kapasitas konsumsi melalui
pemassalan produk, diferensiasi produk dan manajemen pemasaran. Iklan,
teknologi kemasan, pameran, media massa dan shopping mall merupakan ujung
tombak strategi baru era konsumsi. Inilah awal lahirnya masyarakat
konsumer, masyarakat yang dibentuk dan dihidupi oleh konsumsi, yang
menjadikan konsumsi sebagai pusat aktivitas kehidupan, dengan hasrat selalu
dan selalu mengkonsumsi. Dalam masyarakat konsumer, objek-objek konsumsi
yang berupa komoditi tidak lagi sekedar memiliki manfaat (nilai-guna) dan
harga (nilai-tukar) seperti dijelaskan Marx. Namun lebih dari itu ia kini
menandakan status, prestise dan kehormatan (nilai-tanda dan nilai-simbol).
Nilai-tanda dan nilai-simbol, yang berupa status, prestise, ekspresi gaya
dan gaya hidup, kemewahan dan kehormatan adalah motif utama aktivitas
konsumsi masyarakat konsumer. Pergeseran nilai yang terjadi seiring dengan
perubahan karakter masyarakat postmodern inilah yang kemudian menarik
perhatian Baudrillard untuk mengkajinya secara lebih mendalam.

Dalam bukunya For a Critique of The Political Economy of The Sign (1981),
Baudrillard menggabungkan semiologi Barthes, pemikiran ekonomi politik
Marx, pemikiran Mauss dan Bataille tentang sifat non-utilitarian aktivitas
konsumsi manusia, serta konsep the society of spectacle Guy Debord, untuk
menyatakan bahwa konsep nilai-guna dan nilai-tukar yang disarankan Marx,
kini telah digantikan oleh nilai-tanda dan nilai-simbol. Namun sebelum
sampai kesana, Baudrillard terlebih dahulu mengkaji kondisi masyarakat
Barat yang tengah memasuki era masyarakat konsumer.

Baudrillard memulai proyek genealogi masyarakat konsumer ini dengan dua


bukunya yang pertama, The System of Objects (1968) dan Consumer Society
(1970). Dalam bukunya yang pertama yang terinspirasi oleh buku Roland
Barthes, The System of Fashion (1967) Baudrillard menyatakan bahwa di
bawah kejayaan era kapitalisme lanjut, mode of production kini telah
digantikan oleh mode of consumption (Bertens, 1995: 146). Konsumsi inilah
yang kemudian menjadikan seluruh aspek kehidupan tak lebih sebagai objek,
yakni objek konsumsi yang berupa komoditi. Sistem-sistem objek, yang
merupakan judul buku Baudrillard, adalah sebuah sistem klasifikasi yang
membentuk makna dalam kehidupan masyarakat kapitalisme lanjut. Melalui
objek-objek atau komoditi-komoditi itulah seseorang dalam masyarakat
konsumer menemukan makna dan eksistensi dirinya. Menurut Baudrillard,
fungsi utama objek-objek konsumer bukanlah pada kegunaan atau manfaatnya,
melainkan lebih pada fungsi sebagai nilai-tanda atau nilai-simbol yang
disebarluaskan melalui iklan-iklan gaya hidup berbagai media (Baudrillard,
1969: 19). Apa yang kita beli, tidak lebih dari tanda-tanda yang ditanamkan
ke dalam objek-objek konsumsi, yang membedakan pilihan pribadi orang yang
satu dengan yang lainnya. Tema-tema gaya hidup tertentu, kelas dan prestise
tertentu adalah makna-makna yang jamak ditanamkan ke dalam objek-objek
konsumsi. Dengan kata lain, objek-objek konsumsi kini telah menjelma
menjadi seperangkat sistem klasifikasi status, prestise bahkan tingkah laku
masyarakat.

Selanjutnya dalam Consumer Society (1970), Baudrillard mengembangkan lebih


jauh gagasannya tentang kedudukan konsumsi dalam masyarakat konsumer.
Menurutnya, konsumsi kini telah menjadi faktor fundamental dalam ekologi
spesies manusia (Baudrillard, 1970: 29). Sambil menyanggah pendapat
Galbraith yang menyatakan bahwa manusia adalah homo psychoeconomicus,
Baudrillard menyatakan bahwa mekanisme sistem konsumsi pada dasarnya
berangkat dari sistem nilai-tanda dan nilai-simbol, dan bukan karena
kebutuhan atau hasrat mendapat kenikmatan (Baudrillard, 1970: 47). Dengan
pernyataan ini Baudrillard samasekali tidak bermaksud menafikan pentingnya
kebutuhan. Ia hanya ingin mengatakan bahwa dalam masyarakat konsumer,
konsumsi sebagai sistem pemaknaan tidak lagi diatur oleh faktor kebutuhan
atau hasrat mendapat kenikmatan, namun oleh seperangkat hasrat untuk
mendapat kehormatan, prestise, status dan identitas melalui sebuah
mekanisme penandaan. Dalam bukunya Baudrillard menjelaskan:

What is sociologically significant for us, and what marks our era under the
sign of consumption, is precisely the generalized reorganization of this
primary level in a system of signs which appears to be a particular mode of
transition from nature to culture, perhaps the specific mode of our era
(Baudrillard, 1970: 47).

(Apa yang secara sosiologis penting bagi kita, dan apa yang menjadi tanda
zaman bahwa kita tengah berada dalam era konsumsi, sebenarnya adalah
sebuah
fenomena umum tentang pengaturan kembali faktor konsumsi sebagai aspek
primer dalam suatu sistem penandaan, yang kemudian tampil sebagai fenomena
perubahan dari yang Alamiah (nature) menjadi produk Budaya (culture), yang
mungkin merupakan wajah khas zaman kita sekarang).

Lebih lanjut Baudrillard menyatakan,

We dont realize, how much of the current indoctrination into systematic and
organized consumption is the equivalent and the extension, in the twentieth
century, of the great indoctrination of rural populations into industrial
labor, which occurred throughout the nineteenth century (Baudrillard, 1970:
50).

(Kita tidak menyadari bagaimana proses indoktrinasi konsumsi yang


sistematik dan terorganisir di abad keduapuluh ini sebenarnya adalah sama
dan sekaligus merupakan perluasan, dari proses indoktrinasi masyarakat
pedesaan sebagai buruh-buruh industri, yang berlangsung pada abad
kesembilan belas).

Masyarakat konsumer yang berkembang saat ini adalah masyarakat yang


menjalankan logika sosial konsumsi, dimana kegunaan dan pelayanan bukanlah
motif terakhir tindakan konsumsi. Melainkan lebih kepada produksi dan
manipulasi penanda-penanda sosial. Individu menerima identitas mereka dalam
hubungannya dengan orang lain bukan dari siapa dan apa yang dilakukannya,
namun dari tanda dan makna yang mereka konsumsi, miliki dan tampilkan dalam
interaksi sosial. Dalam masyarakat konsumer, tanda adalah cerminan
aktualisasi diri individu paling meyakinkan.

Pemikiran tentang fenomena masyarakat konsumer dan kemenangan nilai-tanda


serta nilai-simbol ini selanjutnya mencapai titik kematangannya pada For a
Critique of the Political Economy of the Sign (1981). Dalam bukunya ini
Baudrillard memisahkan diri dari Marx dengan menyatakan bahwa dalam
masyarakat konsumer dewasa ini, nilai-guna dan nilai-tukar, sebagaimana
disarankan Marx, sudah tidak bisa lagi digunakan sebagai sarana analisa
kondisi sosial masyarakat. Kini, menurut Baudrillard, adalah era kejayaan
nilai-tanda dan nilai-simbol yang ditopang oleh meledaknya makna serta
citra oleh perkembangan teknologi dan media massa (Lechte, 1994: 234).

Mengacu Marx, bersamaan dengan perubahan prinsip masyarakat feodal


menuju
masyarakat kapitalis, muncul konsep komoditi yang merupakan konsekuensi
logis dominannya logika produksi dalam era kapitalisme. Komoditi adalah
objek produksi yang didalamnya memuat dua nilai dasar yakni, nilai-guna
(use-value) dan nilai-tukar (exchange-value). Nilai-guna, menurut Marx,
adalah nilai yang secara alamiah terdapat dalam setiap objek. Berdasarkan
manfaatnya, setiap objek dianggap memiliki manfaat atau kegunaan bagi
kepentingan manusia. Nilai-guna menjadi prinsip interaksi sosial, ekonomi,
budaya dan politik masyarakat feodal. Sementara itu seiring dengan
perkembangan struktur masyarakat feodal menuju masyarakat kapitalis, lahir
nilai baru yang menyertai konsep komoditi, yakni nilai-tukar. Nilai tukar
adalah nilai yang diberikan kepada objek-objek produksi berdasarkan ukuran
nilai-gunanya. Dalam masyarakat kapitalis, menurut Marx, setiap objek
adalah komoditi, yang memiliki kedua nilai dasar tersebut. Dengan konsep
komoditi, barang yang memiliki manfaat berbeda, tidak mustahil memiliki
nilai-tukar yang sama. Seekor sapi misalnya, bukan tidak mungkin memiliki
nilai-tukar yang sama dengan sebuah mobil, meskipun keduanya barangkali
memiliki nilai-guna yang berbeda (Lechte, 1994:235). Dengan hadirnya konsep
komoditi, maka uang sebagai alat tukar pun semakin mendapat tempat penting
dalam aktivitas ekonomi masyarakat kapitalis. Lebih jauh, Marx menyatakan
bahwa bila dalam era kapitalisme awal, uang hanyalah sarana tukar pemenuhan
kebutuhan, maka dalam era kapitalisme lanjut, uang adalah tujuan akhir
dengan komoditi sebagai sarananya (Kellner, 1994: 43). Dengan kata lain,
nilai-tukar menjadi lebih penting dibanding nilai-guna. Dan komoditi
diciptakan bukan untuk nilai-gunanya, melainkan demi nilai tukar yang
berupa uang. Perkembangan kapitalisme lanjut kemudian menempatkan
kedudukan uang (sebagai alat tukar) sebagai satu-satunya sarana penilaian
komoditi yang bersifat independen. Uang menjadi bahasa baru yang membentuk
dan memberi makna realitas. Dengan uang misalnya, seseorang dapat membeli
dan memiliki berbagai kualitas hidup manusia yang diinginkannya. Dalam
bahasa Marx, seperti yang dikutip Kellner,

With money, one can possess various human qualities. That which exists for
me through the medium of money, that which I can pay for, which money can
buy, that am I, the possessor of money. The extent of the power of money is
the extent of my power. Moneys properties are my properties and essential
powers the properties and powers of its possessor (Kellner, 1994: 44)

Thus, what I am and am capable of is by no means determined by my


individuality. I am ugly, but I can buy for myself the most beautiful of
women. Therefore, I am not ugly, for the effect of ugliness its
determinant power is nullified by money. In a society where human beings
are things, things (money) take on human powers. All the things which you
cannot do, your money can do. And conversely, what money cannot do,
seemingly cannot be done (Kellner, 1994: 45).

(Dengan uang, seseorang dapat memiliki berbagai kualitas hidup manusia.


Bahwa apa yang bisa saya miliki dengan sarana uang, saya bisa bayar, dan
uang bisa membelinya, itulah saya, si pemilik uang tersebut. Bertambah
besarnya kekuasaan uang adalah bertambah besarnya kekuasaan saya. Apa
yang
bisa dimiliki uang adalah milik dan kekuasaan utama saya si pemilik uang).

(Maka siapa saya dan apa keahlian saya tidaklah ditentukan oleh
individualitas saya. Saya bertampang jelek, namun saya bisa membeli wanita
tercantik yang saya inginkan. Saya kini tidak lagi jelek, karena efek
kejelekan tersebut sebagai faktor determinan telah dihapuskan oleh uang.
Dalam masyarakat dimana manusia telah berubah menjadi benda, maka benda
pulalah (uang) yang akan menggantikan kekuasaan manusia. Segala sesuatu
yang anda tidak dapat lakukan, uang anda bisa melakukannya. Dan sebaliknya,
apa yang uang tidak dapat melakukannya, maka ia juga tidak dapat
dilakukan).

Dengan penjelasan demikian, Marx hendak menyatakan bahwa nilai-tukar


(exchange-value) kini telah mengalahkan nilai-guna (use-value). Uang
sebagai ukuran nilai-tukar adalah segala-galanya.
Berangkat dari kerangka analisa komoditi Marx ini, selanjutnya Guy Debord
mencoba membaca realitas masyarakat dewasa ini. Bersama kelompoknya
Situasionist International Debord menyatakan bahwa telah terjadi
pergeseran dalam struktur sosial masyarakat, dari masyarakat komoditi
(commodity society) ke masyarakat tontonan (society of spectacle).
Masyarakat tontonan adalah masyarakat yang hampir di segala aspek
kehidupannya dipenuhi oleh berbagai bentuk tontonan, dan menjadikannya
sebagai rujukan nilai dan tujuan hidup. Tontonan adalah juga komoditi,
namun dalam bentuknya yang lebih sublim dan abstrak. Tontonan memanipulasi
dan mengeksploitasi nilai-guna dan kebutuhan manusia sebagai sarana
memperbesar keuntungan dan kontrol ideologis atas manusia. Televisi, iklan
dan fashion misalnya, adalah aparat-aparat ideologis masyarakat tontonan
yang paling representatif. Lebih jauh, dalam masyarakat tontonan, segala
sesuatu kebudayaan, pendidikan, olahraga, politik bahkan agama dikemas
sebagai tontonan pula. Dengan tontonan komoditi ditampilkan secara lebih
halus dan menyenangkan.

Guy Debord menjelaskan bahwa jika Marx menyatakan adanya degradasi prinsip
ada (being) menjadi memiliki (having), dimana tindakan-tindakan kreatif
direduksi sekedar menjadi hasrat kepemilikan atas objek-objek, sementara
perasaan direduksi sekedar menjadi sifat tamak, maka kini telah terjadi
degradasi dari prinsip memiliki (having) menjadi penampakan (appearing).
Dengan prinsip ini segala sesuatu direduksi sekedar menjadi tanda dan
citra-citra penampakan. Penampakan yang berupa tontonan adalah ciri dominan
era ini (Kellner, 1994: 48). Dalam masyarakat yang mengedepankan
penampakan
ketimbang kedalaman maka segala sesuatu ditampilkan sebagai citra-citra
yang bahkan nampak lebih real dibanding realitas sebenarnya. Inilah awal
lahirnya masyarakat hiperrealitas, dimana tanda dan citra mengambil peran
penting untuk membentuk struktur dunia.

Baudrillard menarik garis lebih jauh pemikiran kedua tokoh pendahulunya


tersebut. Dengan menambahkan semiologi sebagai pisau analisa baru,
Baudrillard mencoba menunjukkan bahwa telah lahir nilai baru , yakni
nilai-tanda (sign-value) dan nilai-simbol (symbolic-value) dalam struktur
masyarakat dewasa ini.

Dengan membandingkan konsep komoditi Marx dan konsep penandaan


Saussure,
Baudrillard menyatakan terdapat kesamaan diantara keduanya. Komoditi,
merujuk Marx, memiliki nilai-guna dan nilai-tukar. Sementara semiologi
memandang tanda terdiri dari penanda (signifier) dan petanda (signified).
Bagi Baudrillard, nilai-guna memiliki kesamaan dengan petanda (signified).
Keduanya merupakan nilai yang terdapat di dalam objek. Dan nilai-tukar
memiliki kesamaan dengan penanda (signifier), sebagai nilai yang ditanamkan
di dalam objek-objek (Kellner, 1994: 78).
Dalam perkembangan kapitalisme lanjut, seperti dijelaskan Marx, nilai-tukar
kemudian mendominasi nilai-guna. Melalui komoditi dan uang, segala sesuatu
dalam realitas masyarakat dewasa ini berfungsi sebagai nilai-tukar untuk
memperoleh keuntungan. Kejayaan nilai-tukar ini, sejalan dengan pemikiran
semiologi, adalah juga berarti kejayaan penanda (signifier) atas petanda
(signified). Lebih jauh bahkan menurut Debord, penanda telah tampil sebagai
elemen independen dalam bentuk tontonan. Tontonan yang mengedepankan
penampakan, mutlak membutuhkan sistem penanda sebagai prinsip
pendukungnya.
Dalam kata-kata Debord sendiri,

Considered in its own terms, the spectacle is affirmation of appearance and


affirmation of all human life, namely social life, as mere appearance
(Kellner, 1994 50)

(Berdasarkan pengertiannya, tontonan berarti pengakuan akan penampakan dan


pengakuan terhadap seluruh aspek kehidupan manusia, yakni kehidupan sosial,
sebagai sekedar penampakan belaka).

Dalam dunia penampakan tanda menjadi prinsip utama realitas. Dengan latar
belakang demikian, Baudrillard menyatakan bahwa nilai-guna dan nilai-tukar,
seperti dijelaskan Marx, kini telah digantikan oleh nilai tanda. Komoditi,
di era masyarakat konsumer, kini tak lebih dari permainan tanda-tanda.
Komoditi diperjualbelikan karena makna yang ditanamkan di dalamnya, bukan
karena manfaat atau kegunaannya. Dalam ungkapan Baudrillard,

The referential world of the commodity needs, use-value and labor was
only a historical passageway of a radical semiurgy which aims at the
liquidation of society and the real, their displacement through structural
codes and signs. All the repressive and reductive strategies of power
systems are already present in the internal logic of the sign (Baudrillard,
1981: 70).

(Dunia referensial komoditi kebutuhan, nilai-guna dan pekerja hanyalah


jalan sejarah menuju kondisi semiurgi radikal yang bertujuan menghilangkan
konsep masyarakat dan realitas, dan menuju susunan kode-kode dan
tanda-tanda. Semua strategi sistem kekuasaan yang represif dan reduktif
kini tampil dalam lingkaran logika tanda).

Kelahiran nilai-tanda selanjutnya diikuti oleh nilai simbol. Dengan merujuk


Marcel Mauss, Baudrillard menerima pendapat bahwa aktivitas konsumsi pada
dasarnya bukan dilakukan karena alasan kebutuhan, namun lebih kepada alasan
simbolis: kehormatan, status dan prestise. Lebih jauh, dalam masyarakat
konsumer yang mengkonsumsi tanda, nilai-simbol menjadi motif utama
aktivitas konsumsi. Objek komoditi dibeli karena makna simbolik yang ada di
dalamnya, dan bukan karena harga atau manfaatnya (Lechte, 1994: 236).
Sebuah mobil Porsche atau BMW misalnya, dinilai bukan karena manfaatnya
sebagai alat transportasi atau harganya yang mahal, melainkan karena ia
menjadi simbol gaya hidup, prestise, kemewahan dan status sosial
pemiliknya.

Sejalan dengan pemikirannya tentang perubahan prinsip dari nilai-guna dan


nilai-tukar ke nilai-tanda dan nilai-simbol, Baudrillard kemudian mengubah
pula periodisasi sejarah masyarakat yang dibuat Marx. Menurut Marx,
terdapat tiga tahap struktur masyarakat, yakni masyarakat feodal,
masyarakat kapitalis dan masyarakat komunis. Masyarakat feodal, merujuk
Marx, adalah konstruksi masyarakat yang berlangsung semenjak zaman Yunani
hingga Renaisans. Dalam masyarakat feodal beroperasi prinsip Kesatuan
berbagai unsur kehidupan. Dalam era ini belum terbentuk pembagian kerja
dan kelas berdasarkan struktur produksi masyarakat. Selanjutnya dalam era
masyarakat kapitalis, mulai terjadi pembagian kerja dan kelas bersamaan
dengan munculnya konsep hak milik. Masyarakat kapitalis melahirkan dua
kelas besar yakni kelas kapitalis (pemilik) dan kelas proletar (buruh) yang
senantiasa berada dalam situasi konflik. Menurut Marx, konflik
berkepanjangan antara kelas kapitalis dan proletar ini pada akhirnya akan
menimbulkan krisis yang memungkinkan terjadinya revolusi menuju era
masyarakat baru, yakni masyarakat komunis. Masyarakat komunis, menurut
Marx, adalah masyarakat yang tidak lagi mengenal kelas, kecuali
komune-komune dengan kedudukan yang sama, dengan seluruh alat produksi
dikuasai oleh masyarakat yang diwakili oleh negara. Dalam masyarakat yang
diidealkan oleh Marx inilah diharapkan tercapai kesejahteraan dan
kebahagiaan yang sejati (Harun Hadiwijono, 1993: 122).

Berangkat dari kerangka ini, Baudrillard mengajukan periodisasi perubahan


struktur masyarakat, yakni dari masyarakat primitif, masyarakat hierarkis
dan masyarakat massa (Lechte, 1994: 238). Berbeda dengan Marx yang
mempergunakan pisau analisa ekonomi politik, Baudrillard memanfaatkan
semiologi sebagai alat analisa. Menurut Baudrillard, masyarakat primitif
ditandai dengan tidak adanya elemen tanda dalam interaksi seluruh aspek
kehidupan masyarakatnya. Objek dipahami secara murni dan alamiah
berdasarkan kegunaannya. Selanjutnya dalam masyarakat hierarkis, lahir
elemen tanda yang beroperasi masih dalam lingkup yang terbatas. Tanda
dipahami sebagai makna yang ditanamkan oleh segolongan kelas kepada kelas
yang lain. Tanda juga mulai menggantikan kedudukan objek murni, yang kini
memiliki nilai-tukar. Akhirnya, pada tahapnya yang tertinggi, terbentuklah
masyarakat massa. Dalam masyarakat massa, tanda mendominasi seluruh
aspek
kehidupan. Tidak ada lagi objek murni, kecuali objek tanda. Individu dalam
masyarakat massa berperan sebagai konsumen tanda tanpa memiliki status
kelas tertentu.
B. Simulacra/Simulacrum dan Simulasi

All that is solid melts into air (Karl Marx) All that is solid melts into
glass (Charles Jencks) All that is real becomes simulation (Jean
Baudrillard)

Semua yang nyata kini menjadi simulasi. Ungkapan bernada hiperbolik


tersebut barangkali merupakan satu-satunya cara untuk menggambarkan
realitas masyarakat Barat dewasa ini seperti yang dikemukakan oleh
Baudrillard. Dua ratus tahun sebelumnya, Marx pernah berbicara tentang
betapa semua yang padat segera menguap ke udara. Ia berucap tentang sebuah
kekecewaan zaman, ketika segala sesuatu adalah komoditi, dan yang utama
adalah uang. Ketika demi nilai-tukar segala sesuatu harus dikorbankan. Maka
tak ada lagi nilai-nilai sublim nilai religi, nilai moral, transendensi
dan aura otentik yang tersisa. Semua yang beranjak memadat segera diubah
kembali menjadi kepingan-kepingan objek barang dagangan demi uang. Lalu
seiring dengan perkembangan zaman, ilmu dan teknologi, maka berubah pulalah
arah angin peradaban. Ketika media elektronik televisi ditemukan dalam
sekejab terjadi sebuah revolusi kesadaran tentang dunia yang mengecil.
Dimensi ruang dilipat dalam sebuah kotak layar kaca. Dalam aras dunia
seperti inilah kemudian Marshal Berman mengulang diktum Marx, dan
mengubahnya, Semua yang padat melebur dalam layar kaca. Televisi, sebagai
pusat gravitasi baru menawarkan kegembiraan, kegairahan dan mimpi indah
yang tak dialami Marx. Dunia inilah yang menggantikan peran komoditi
tradisional Marx. Di dalam layar kaca televisi, segala sesuatu berita
politik, film telenovela, opera sabun, bencana alam, acara keagamaan
dikemas dalam kerangka tontonan yang menghibur. Tak ada lagi kekhusukan.
Tak ada lagi kekudusan, kerinduan terhadap makna luhur dan kedalaman.

Kini, dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang dahsyat,


menurut Baudrillard, tidak hanya nilai-nilai sublim dan luhur yang menguap,
tapi bahkan realitas itu sendiri. Realitas kini tidak sekedar dapat
diceritakan, direpresentasikan dan disebarluaskan. Lebih jauh, realitas
kini dapat dibuat, direkayasa dan disimulasi. Dalam realitas buatan,
realitas simulasi ini, segala sesuatu bercampur-baur, bersilang-sengkarut.
Realitas-realitas buatan adalah ciri zaman ini, sebuah tanda zaman tengah
menjelangnya sebuah era kebudayaan baru: kebudayaan postmodern.

Dengan mengambil alih dan mengembangkan gagasan para pendahulunya:


semiologi Saussure, fetishism commodity Marx, teori differance Derrida,
mythologies Barthes, serta genealogy Foucault, Baudrillard mencoba membaca
karakter khas masyarakat Barat (Rojek, 1993: 125). Melalui bukunya yang
banyak menarik perhatian, Simulations (1983), Baudrillard memaparkan
kondisi sosial-budaya masyarakat Barat yang disebutnya tengah berada dalam
dunia simulacra, simulacrum dan simulasi. Inilah dunia yang terbangun dari
konsekuensi relasi perkembangan ilmu dan teknologi, kejayaan kapitalisme
lanjut, konsumerisme, serta runtuhnya narasi-narasi besar modernisme.

Baudrillard menyatakan bahwa paradigma modernisme yang berdiri di atas


logika produksi seperti disuarakan Marx kini sudah tidak relevan lagi.
Jika era pra-modern ditandai dengan logika pertukaran simbolik (symbolic
exchange), era modern ditandai dengan logika produksi, maka kini tengah
menjelang sebuah era baru, yakni era postmodern, yang ditandai dengan
logika simulasi. Bersamaan dengan lahirnya era postmodern, menurut
Baudrillard, maka prinsip-prinsip modernisme pun tengah menghadapi
saat-saat kematiannya. Dalam bahasanya yang khas, Baudrillard
mengumandangkan kematian modernisme dengan logika produksinya sebagai:

The end of labor. The end of production. The end of political economy. The
end of the dialectic signifier/signified which permitted an accumulation of
knowledge and meaning, and of a linear syntagma of cumulative discourse.
The end of simultaneously of the dialectic of exchange value/use value
which alone previously made possible capital accumulation and social
production. The end of linear discourse. The end of linear merchandising.
The end of the classic era of the sign. The end of the era of production
(Baudrillard, 1983: 20).

(Era kematian pekerja. Era kematian produksi. Era kematian ekonomi politik.
Era kematian dialektika penanda/petanda yang memproduksi akumulasi
pengetahuan dan makna, dan sintakma linear serangkaian diskursus. Era
kematian dialektika simultan antara nilai tukar/nilai guna yang
memungkinkan proses akumulasi kapital dan produksi. Era kematian diskursus
linear. Era kematian mekanisme perdagangan linear. Era kematian era klasik
imperium tanda. Era kematian era produksi).

Ungkapan Baudrillard ini sekaligus menandakan keyakinannya akan datangnya


era baru, era postmodern. Dalam era postmodern, prinsip simulasi menjadi
panglima, dimana reproduksi (dengan teknologi informasi, komunikasi dan
industri pengetahuan) menggantikan prinsip produksi, sementara permainan
tanda dan citra mendominasi hampir seluruh proses komunikasi manusia. Dalam
masyarakat simulasi seperti ini, segala sesuatu ditentukan oleh relasi
tanda, citra dan kode. Tanda adalah segala sesuatu yang mengandung makna,
yang mengikuti teori semiologi Saussurean memiliki dua unsur, yakni
penanda (bentuk) dan petanda (makna). Citra adalah segala sesuatu yang
nampak oleh indera, namun sebenarnya tidak memiliki eksistensi substansial.
Sementara kode adalah cara pengkombinasian tanda yang disepakati secara
sosial, untuk memungkinkan satu pesan dapat disampaikan dari seseorang
kepada orang yang lain (Piliang, 1998: 13). Dalam dunia simulasi, identitas
seseorang misalnya, tidak lagi ditentukan oleh dan dari dalam dirinya
sendiri. Identitas kini lebih ditentukan oleh konstruksi tanda, citra dan
kode yang membentuk cermin bagaimana seorang individu memahami diri
mereka
dan hubungannya dengan orang lain. Lebih lanjut, realitas-realitas ekonomi,
politik, sosial dan budaya, kesemuanya diatur oleh logika simulasi ini,
dimana kode dan model-model menentukan bagaimana seseorang harus
bertindak
dan memahami lingkungannya.

Ruang realitas kebudayaan dewasa ini, menurut Baudrillard merupakan


cerminan apa yang disebutnya sebagai simulacra atau simulacrum. Simulacra
adalah ruang realitas yang disarati oleh proses reduplikasi dan daur-ulang
berbagai fragmen kehidupan yang berbeda (dalam wujud komoditas citra,
fakta, tanda, serta kode yang silang-sengkarut), dalam satu dimensi ruang
dan waktu yang sama (Piliang, 1998: 196). Simulacra tidak memiliki acuan,
ia adalah duplikasi dari duplikasi, sehingga perbedaan antara duplikasi dan
yang asli menjadi kabur. Dalam ruang ini tidak dapat lagi dikenali mana
yang asli dan mana yang palsu, mana hasil produksi dan mana hasil
reproduksi, mana objek dan mana subjek, atau mana penanda dan mana
petanda.
Ruang simulacra ini memungkinkan seseorang menjelajahi berbagai fragmen
realitas, baik nyata maupun semu; mereproduksi, merekayasa dan mensimulasi
segala sesuatu sampai batasannya yang terjauh.

Dunia simulacra, yang menjadi wacana dominan kesadaran masyarakat Barat


dewasa ini, papar Baudrillard, sebenarnya telah ada semenjak era Renaisans.
Realitas simulacra memiliki tiga tingkatan periode historis, semenjak era
Renaisans hingga sekarang, yakni simulacra Orde Pertama, simulacra Orde
Kedua dan simulacra Orde Ketiga (Baudrillard, 1983: 54-56).

Simulacra Orde Pertama, berlangsung semenjak era Renaisans-Feodal hingga


permulaan Revolusi Industri. Dalam orde ini, realitas dunia dipahami
berdasarkan prinsip hukum alam, dengan ciri ketertiban, keselarasan,
hierarki alamiah serta bersifat transenden. Alam menjadi pendukung utama
sekaligus determinan kebudayaan. Tanda-tanda yang diproduksi dalam orde ini
adalah tanda-tanda yang mengutamakan integrasi antara fakta dan citra
secara serasi dan seimbang. Hal ini berkaitan erat dengan kehendak manusia
zaman itu untuk mempertahankan struktur dunia yang alamiah. Dengan
demikian, prinsip dominan yang menjadi ciri simulacra Orde Pertama adalah
prinsip representasi. Bahasa, objek dan tanda adalah tiruan dari realitas
alamiah yang dibentuk secara linear dan tunggal. Sebagai tiruan, bahasa,
objek dan tanda masih memiliki jarak dengan objek aslinya (Kellner, 1994:
103).

Simulacra Orde Kedua, berlangsung bersamaan dengan semakin gemuruhnya


era
industrialisasi yang merupakan konsekuensi logis Revolusi Industri.
Revolusi Industri, di satu sisi telah memberikan sumbangan besar bagi
perkembangan kebudayaan. Namun disisi lain, Revolusi Industri juga telah
menimbulkan ekses-ekses negatif bagi kebudayaan. Logika produksi, yang
menjadi prinsip simulacra Orde Kedua, telah mendorong perkembangan
teknologi mekanik sampai pada batasannya yang terjauh. Mengikuti Walter
Benjamin, dalam esainya, The Work of Art in The Era of Mechanical
Reproduction (1969), Baudrillard menyatakan bahwa dengan teknologi
reproduksi mekanik sebagai media dan prinsip produksi objek-objek alamiah
telah kehilangan aura dan sifat transendensinya. Objek kini bukan lagi
tiruan yang berjarak dari objek asli, melainkan sepenuhnya sama persis
seperti yang asli. Dengan kemajuan teknologi reproduksi mekanik inilah,
prinsip komoditi dan produksi massa menjadi ciri dominan era simulacra Orde
Kedua. Simulacra Orde Ketiga, lahir sebagai konsekuensi logis perkembangan
ilmu dan teknologi informasi, komunikasi global, media massa, konsumerisme
dan kapitalisme pada era Pasca Perang Dunia II. Lebih dari masa-masa
sebelumnya, pada orde ini relasi berbagai unsur dan struktur budaya
mengalami perubahan mendasar. Tanda, citra, kode dan subjek budaya tidak
lagi merujuk pada referensi dan realitas yang ada. Simulacra Orde Ketiga
ini ditandai dengan hukum struktural. Tanda membentuk struktur dan memberi
makna realitas. Inilah era yang disebut Baudrillard sebagai era simulasi.
Dalam era simulasi ini, realitas tak lagi memiliki eksistensi. Realitas
telah melebur menjadi satu dengan tanda, citra dan model-model reproduksi.
Tidak mungkin lagi kita menemukan referensi yang real, membuat pembedaan
antara representasi dan realitas, citra dan kenyataan, tanda dan ide, serta
yang semu dan yang nyata. Yang ada hanyalah campur aduk diantara
semuanya.
Sebuah realitas yang tak lagi memiliki referensi. Dalam bahasanya yang khas
Baudrillard menyatakan,

One is not the simulacrum and the other the reality. What we now have is
the disappearance of the referent. There are only simulacra (Baudrillard,
1983: 86)

(Bukan yang satu simulacrum dan yang lain realitas. Apa yang kita alami
sekarang adalah hilangnya acuan segala sesuatu. Yang ada hanyalah
simulacra).

Berbeda dengan Simulacra Orde Kedua yang ditopang oleh teknologi mekanik,
dalam Simulacra Orde Ketiga ini, mekanisme simulasi terbangun melalui
proses reproduksi objek dengan bantuan teknologi digital model-biner.
Model-biner digital yang paling sering ditemui adalah kode-kode yang hanya
dapat dibaca menggunakan komputer, dengan acuan oposisi biner antara 0 dan
1. Dengan model oposisi biner seperti ini, semua realitas ditransformasikan
ke dalam realitas kode digital dalam komputer.

Baudrillard memandang berkembangnya teknologi digital yang bertumpu pada


model-biner ini sebagai suatu dasar proses transformasi sosial masyarakat
kapitalisme lanjut. Gagasan McLuhan tentang medium is message ditariknya
sampai ke batasannya yang paling ekstrem, yakni media yang berupa kode-kode
digital. Dengan kode-kode digital maka proses reproduksi beranjak ke
batasannya yang paling ekstrem pula. Ketika objek-objek direproduksi dengan
teknologi model-biner, maka objek-objek menjadi tidak dapat dibedakan satu
sama lain, bahkan dari model-model yang menjadi sumbernya. Lebih lanjut,
realitas menjadi kehilangan referensi. Realitas, menurut Baudrillard, kini
harus didefinisikan kembali sebagai segala sesuatu yang mungkin dan dapat
direproduksi secara sempurna, dapat disimulasi (Baudrillard, 1983: 146).

Teori Orde Simulacra Baudrillard ini, dalam beberapa tingkatan, bisa


dipandang sebagai suatu konsepsi baru proses perkembangan sosial yang
berakar pada prinsip perubahan karakter objek-objek reproduksi.

Dalam perkembangannya kemudian, melalui bukunya Transparency of Evil


(1993), Baudrillard mengemukakan satu orde baru yang disebutnya sebagai
Orde Keempat atau Orde Fraktal. Istilah fraktal, dipinjam Baudrillard dari
bidang matematika, yakni sebuah proses perkembangbiakan nilai-regular dalam
keacakan matematis. Orde Fraktal menunjuk pada suatu kondisi keacakan
dimana batas-batas antara berbagai hal melebur dan berubah menjadi sekedar
permainan bebas diantara berbagai hal tersebut. Sebagai contoh paling umum,
Baudrillard menyatakan bahwa dewasa ini masalah seksualitas tidak lagi
sebatas berada dalam wilayah seksualitas, namun dapat ditemukan hampir di
semua aspek kehidupan. Atau masalah politik, yang kini sudah memasuki
wilayah-wilayah lain seperti ekonomi, sosial, teknologi dan seni. Demikian
pula dengan masalah-masalah yang lain. Lebih detail, Baudrillard
menyatakan,

Once, out of some obscure need to classify, I propose a tripartite account


of value: a natural stage (use-value), a commodity stage (exchange-value),
and a structural stage (sign-value). These distinctions are formal ones, of
course reminiscent of the distinctions between the particles physicists
are always coming up with. A new particles does not replace those
discovered earlier, it simply joints their ranks, take it place in a
hypothetical series. So let me introduce a new particle into the
microphysics of simulacra. For after the natural, commodity, and structural
stages of value comes the fractal stage.The first of these stages had a
natural referent and value developed on the basis of the natural use of the
world. The second was founded on a general equivalence, and value developed
by reference to a logic of the commodity. The third is governed by a code,
and value develops here by reference to a set of models. At the fourth, the
fractal (or viral or radiant) stage of value, there is no point of
reference at all, and value radiates in all directions, occupying all
interstices, without reference to anything whatsover, by virtue of pure
contiguity. This is the pattern of the fractal and hence the current
pattern of our culture (Baudrillard, 1993: 72)..

(Dahulu, tanpa bermaksud membuat klasifikasi yang justru bisa mengaburkan,


saya mengemukakan tiga tahapan perkembangan sejarah, yakni: tahap alamiah
(yang bertumpu pada prinsip nilai-guna), tahap produksi-komoditi (yang
bertumpu pada prinsip nilai-tukar), dan tahap struktural (yang bertumpu
pada prinsip nilai-tanda). Periodisasi formal ini mengingatkan kita pada
pembagian tahap-tahap sejarah secara berurutan. Satu tahap tidak dapat
menggantikan tahap lain yang ada sebelumnya, melainkan menyatu dalam suatu
rangkaian tahap yang bersifat hipotetis. Nah, sekarang ijinkan saya untuk
memperkenalkan satu tahap baru dalam realitas simulacra. Setelah tahap
alamiah, komoditi dan struktural, kini lahir tahap baru yakni tahap
fraktal. Kita tahu, tahap pertama mengacu pada prinsip referensi alamiah,
dan nilai yang berkembang dalam dunia ini pun bersifat alamiah. Tahap
kedua, mengacu pada prinsip kesetaraan, dan nilai yang berkembang berada
dalam kerangka komoditi. Tahap ketiga mengacu pada kode-kode, dan nilai
yang berkembang berada dalam kerangka model-model. Maka pada tahap
keempat,
tahap fraktal (atau viral atau radiant), tidak ada lagi prinsip referensi,
tidak ada lagi acuan, dan nilai menyebar ke segala arah, mengisi semua
celah, sekali lagi tanpa acuan apapun, kecuali sekedar hubungan murni
belaka. Inilah era fraktal, sekaligus dunia dimana kita sekarang berada).

Dengan penjelasan demikian, nampak bahwa sebenarnya pemikiran Baudrillard


juga terpengaruh oleh pemikiran Simmel mengenai perkembangan sejarah
masyarakat dalam sosiologi formal. Hal ini dapat dilihat secara jelas dalam
perbandingan diantara keduanya melalui pernyataan Simmel yang dikutip oleh
Kellner, dibawah ini,

All historical developments passed through three phases. The first is the
undifferentiated unity of manifold elements. The second is the
differentiated articulation of these elements, that have become alienated
from one another. The third is a new unity, the harmonious interpenetration
of the elements that have been preserved, however, in their specific
characters (Simmel, 1968: 11).

(Setiap proses perkembangan sejarah masyarakat senantiasa melalui tiga


tahap. Pertama adalah tahap kesatuan yang utuh diantara berbagai macam
unsur. Kedua adalah tahap hubungan yang berbeda diantara unsur-unsur
tersebut, yang kemudian saling berjarak satu sama lain. Ketiga adalah tahap
kesatuan baru, yakni saling hubungan yang harmonis diantara berbagai macam
unsur yang hadir dalam bentuknya yang khusus).

Dari sini nampak bahwa teori Orde Simulacra Baudrillard cenderung


merefleksikan kembali tiga tahap perkembangan sejarah Simmel. Tahap alamiah
Baudrillard, sama dengan tahap kesatuan yang utuh diantara berbagai macam
unsur. Tahap komoditi Baudrillard, sama dengan tahap hubungan yang berbeda
diantara unsur-unsur tersebut. Dan tahap struktural Baudrillard, sama
dengan tahap kesatuan baru yang harmonis diantara berbagai macam unsur
yang
hadir dalam bentuknya yang khusus (Kellner, 1994: 171).

Dalam kaitannya dengan teori Orde Simulacra sebagai suatu proses penandaan
(semiologi), maka dapat dinyatakan secara ringkas bahwa terdapat hubungan
erat diantara keduanya. Orde alamiah (proses imitasi) dalam orde simulacra,
menggambarkan relasi hubungan langsung antara penanda-petanda dalam teori
semiologi. Orde komoditi (proses produksi) dalam orde simulacra,
menggambarkan hubungan tak langsung antara penanda-petanda. Dan orde
struktural (proses simulasi) dalam orde simulacra, menggambarkan hubungan
diantara penanda-penanda, tanpa petanda. Inilah era simulasi.

Lebih lanjut Baudrillard menjelaskan apa yang dimaksudnya sebagai simulasi.


Simulasi, dalam bahasa Baudrillard,

Is characterized by a precession of the model, of all models around the


merest fact the model come first. Facts no longer have any trajectory of
their own, they arise at the intersection of the models; a single fact may
even be engendered by all the models at once. Simulation is no longer that
of a territory, a referential being or a substance. It is the generation by
models of a real without origin or reality; a hyperreal. The territory no
longer precedes the map, nor survives it. Henceforth, it is the map that
precedes the territory precession of simulacra it is the map that
engenders the territory and if we were to revive the fable today, it would
be the territory whose shreds are slowly rotting across the map. It is the
real, and not the map, whose vestiges subsist here and there, in the
deserts which are no longer those of the Empire, but our own. The desert of
the real itself (Baudrillard, 1983: 32).

(Dibangun berdasarkan model-model yang begitu cermat, semua model yang


nyaris mendekati fakta, dan dimana model tampil mendahului fakta. Fakta
kini tidak lagi memiliki alur sejarahnya sendiri, ia hadir dalam silang
sengkarut bersama model-model; bahkan bisa jadi sebuah fakta diproduksi
oleh model-model. Simulasi tidak berkaitan dengan sebuah teritori, sebuah
acuan atau pun substansi. Simulasi adalah era yang dibangun oleh
model-model realitas tanpa asal-usul; sebuah dunia hiperreal. Teritori
tidak lagi hadir sebelum peta, atau membentuknya. Sebaliknya, petalah yang
hadir sebelum teritori sebuah acuan simulacra petalah yang membentuk
teritori. Dan jika saat ini kita masih ingin menghidup-hidupkan bahasa
fabel, maka artinya saat ini adalah saat dimana teritori yang sedang
membusuk secara perlahan-lahan membentang di atas sebuah peta. Adalah
realitas nyata, dan bukan peta, yang bekas-bekasnya masih nampak
dimana-mana, di sebuah gurun, bukan bekas sebuah kerajaan, melainkan bekas
kita sendiri. Sebuah gurun realitas itu sendiri).

Simulasi menyandarkan diri pada prinsip ketiadaan dan negasi, dengan cara
mengaburkan bahkan menghilangkan referensi, realitas dan kebenaran, serta
mengedepankan penampakan sebagai prinsip kebenaran ontologis. Dalam
ungkapan Baudrillard,

The age of simulation thus begins with a liquidation of all referentials


worse: by their artificial resurrection in systems of signs, a more ductile
material than meaning in that it lends itself to all systems of
equivalence, all binary oppositions, and all combinatory algebra. It is no
longer a question of imitation, nor of reduplication, nor even of parody.
It is rather a question of substituting signs of the real for the real
itself, that is, an operation to alter every real process by its
operational double, a metastable, programmatic, perfect descriptive machine
which provides all the signs of the real and short-circuits all its
vicissitudes. A hyperreal therefore is sheltered from the real and
imaginary, leaving room only for the orbital recurrent of models and the
simulated generation of difference (Baudrillard, 1983: 4).

(Dengan demikian, era simulasi berawal dari proses penghancuran segala


acuan referensi dan bahkan lebih buruk lagi: dengan merajalelanya
acuan-acuan semu dalam sistem penandaan, maka sifat material ketimbang
makna merasuk ke dalam semua sistem kesetaraan, oposisi biner dan semua
bentuk kombinasi aljabar. Era simulasi tidak lagi berkaitan dengan
persoalan imitasi, reduplikasi atau bahkan parodi. Era simulasi lebih
tertarik mempersoalkan proses penggantian tanda-tanda real, bagi realitas
itu sendiri, yakni suatu proses untuk menghalangi setiap proses real dengan
mekanisme operasi ganda, sebuah konsep metastabil, terprogram, sebagai
sebuah mesin penggambaran yang sempurna yang menyediakan semua tanda
real
dan serangkaian kemungkinan perubahannya. Hiperrealitas dengan demikian
berbeda sama sekali dari yang real maupun yang imajiner, yakni suatu tempat
bagi pengulangan secara kontinyu model-model dan perbedaan).

Dalam dunia simulasi seperti ini, prinsip-prinsip representasi modernisme


menjadi tidak lagi relevan. Pembedaan antara objek dan subjek, real dan
semu, penanda dan petanda, dalam paradigma modernisme tidak bisa lagi
dilakukan. Dalam mekanisme simulasi, manusia dijebak dalam satu ruang yang
dianggapnya nyata, padahal sesungguhnya semu belaka. Ruang realitas semu
ini merupakan ruang antitesis dari representasi semacam dekonstruksi
representasi itu sendiri, dalam wacana Derrida. Dengan contoh yang gampang
Baudrillard menggambarkan dunia simulasi dengan sebuah analogi peta.
Menurutnya, bila dalam ruang nyata, sebuah peta merupakan representasi dari
sebuah teritori, maka dalam mekanisme simulasi yang terjadi adalah
sebaliknya. Peta mendahului teritori. Realitas-realitas teritorial sosial,
budaya atau politik, kini dibangun berlandaskan model-model dari peta yang
sudah ada. Dalam dunia simulasi, bukan realitas yang menjadi cermin
kenyataan, melainkan model-model yang ditawarkan televisi, iklan atau
tokoh-tokoh kartun. Adalah tempat-tempat seperti Disneyland, atau Universal
Studio; bintang film seperti Madonna atau Leonardo de Caprio; iklan celana
Levis atau jam tangan Guess; film telenovela Maria Mercedes atau Esmeralda;
tokoh boneka Barbie, kartun Doraemon atau Mickey Mouse yang kini menjadi
model-model acuan dalam membangun citra, nilai dan makna dalam kehidupan
sosial, budaya serta politik masyarakat dewasa ini (Piliang, 1998: 194).

Dalam wacana simulasi, manusia mendiami suatu ruang realitas, dimana


perbedaan antara yang nyata dan fantasi, yang asli dan yang palsu sangat
tipis. Manusia kini hidup dalam ruang khayali yang nyata sebuah fiksi yang
faktual. Realitas-realitas simulasi menjadi ruang kehidupan baru dimana
manusia menemukan dan mengaktualisasikan eksistensi dirinya. Lewat
televisi, misalnya, dunia simulasi tampil secara sempurna. Inilah ruang
yang tak lagi peduli dengan kategori-kategori nyata, semu, benar, salah,
referensi, representasi, fakta, citra, produksi, reproduksi semuanya lebur
menjadi satu dalam silang sengkarut tanda. Dengan televisi realitas tidak
hanya diproduksi, disebarluaskan atau direproduksi, bahkan juga
dimanipulasi. Realitas simulasi seperti ini membentuk sebuah kesadaran baru
bagi masyarakat dewasa ini. Televisi yang disebut Baudrillard sebagai
artefak postmodernisme yang paling meyakinkan atau juga Disneyland, pada
kenyataannya sama nyatanya dengan pelajaran Sejarah atau Etika di sekolah
sebab keduanya sama-sama menawarkan informasi dan membentuk pandangan
serta
gaya hidup manusia. Bahkan, Doraemon atau iklan shampoo Sunsilk di televisi
seolah lebih ampuh dari ajaran budi pekerti, moral dan agama dalam membantu
manusia menemukan citra diri dan makna hidupnya (Piliang, 1997: 194).

Dalam realitas simulasi seperti ini, manusia tak lebih sebagai sekumpulan
massa mayoritas yang diam, yang menerima segala apa yang diberikan
padanya.
Dalam bukunya In The Shadow of Silent Majorities (1988), Baudrillard
menganalogikan kumpulan massa yang diam ini sebagai lubang hitam, black
hole, dimana berbagai hal informasi, sejarah, kebenaran, nilai moral,
nilai agama terserap ke dalamnya tanpa meninggalkan bekas apapun juga.
Berbagai informasi yang disampaikan kepada massa yang diam seperti ini,
pada akhirnya justru tidak lagi berfungsi sebagai informasi. Ia kini
kehilangan nilai informasinya dan justru sebaliknya menimbulkan
keterasingan sosial. Dalam ungkapannya Baudrillard mengatakan,

It is thought that the masses may be structured by injecting them with


information, their captive social energy is believe to be released by means
of information and messages. Quite the contrary. Instead of transforming
the mass into energy, information produces even more mass. Instead of
informing as it claims, instead of giving form and structure, information
neutralises even further the social field; more and more it creates an
inert mass impermeable to the classical institutions of the social, and to
the very contents of information (Baudrillard, 183: 25).

(Seringkali dinyatakan bahwa massa dapat diatur dengan cara menanamkan


informasi kepada mereka, dan energi sosial dapat dibentuk melalui sarana
penanaman informasi dan pesan-pesan. Namun yang terjadi sebenarnya
sungguh
berlainan sama sekali. Ketimbang membentuk massa menjadi sekumpulan
energi
sosial, informasi dan pesan-pesan ternyata cuma menghasilkan massa pasif
yang lebih banyak lagi. Ketimbang memberi informasi, seperti yang
dinyatakan didepan, ketimbang memberi bentuk dan struktur sosial, informasi
sebaliknya bahkan telah menimbulkan proses pengosongan wilayah sosial
menjadi semakin parah. Informasi telah membentuk sekumpulan massa yang tak
berdaya dan tertutup terhadap berbagai institusi sosial klasik dan terhadap
kandungan informasi yang terdalam).

Mengikuti alur pemikiran ini, maka ide sosial saat ini sebenarnya bisa
dikatakan telah hilang, karena tidak ada lagi referensi sosial klasik
rakyat, kelas, individu, proletar, borjuis atau bahkan kondisi objektif
kecuali massa yang bersifat pasif. Satu-satunya referensi yang masih
berfungsi kini adalah the silent majorities itu sendiri, yang tidak bisa
direpresentasikan karena ia memang tak berkaitan dengan prinsip
representasi.

Mengenai Disneyland, Baudrillard secara khusus mempergunakannya sebagai


contoh yang sempurna bagi eksistensi dunia simulasi. Inilah dunia buatan
yang dipenuhi permainan tanda, citra, kode dan model-model realitas tanpa
referensi; ia hadir sebelum realitas yang sebenarnya ada. Lebih jauh,
Disneyland yang hadir melalui penggabungan imajinasi simbolik, desain
arsitektur seni yang sempurna, serta kecanggihan teknologi rekayasa
elektronik menurut Baudrillard mengemban misi untuk menyebarkan
kepercayaan tentang dunia simulasi dan hiperrealitas. Dalam bahasa
Baudrillard diungkapkan,

Disneyland is there to conceal the fact that it is the real country, of all
real America, which is Disneyland (just as prison are there to conceal the
fact it is the social in its entirety, in its banal omnipresence, which is
carceal). Disneyland is presented as imaginary in order to make us believe
that the rest is real, when in fact all of Los Angeles and the America
surrounding it are no longer real, but of the order of the hyperreal and of
simulations. It is no longer a question of a false representation of
reality (ideology), but of concealing the fact that the real is no longer
real, and thus of saving the reality principle (Baudrillard, 1983: 25)
(Disneyland hadir untuk menyembunyikan kenyataan bahwa ia adalah real,
Amerika yang paling real (seperti halnya penjara hadir untuk menyembunyikan
kenyataan bahwa ia bersifat sosial dalam hubungan dengan lingkungan
sekitarnya). Disneyland hadir sebagai suatu imajinasi untuk menanamkan
kepercayaan kepada kita bahwa keberadaannya benar-benar nyata, sementara
dalam kenyataan, Los Angeles dan seluruh Amerika justru tidak lagi nyata,
melainkan hiperreal dan merupakan produk mekanisme simulasi. Disneyland
tidak berkaitan dengan persoalan representasi realitas yang keliru
(ideologi), melainkan persoalan bagaimana menyembunyikan kenyataan bahwa
yang real kini tidak lagi real, dan dengan demikian berkaitan dengan
persoalan penyelamatan prinsip-prinsip realitas).

Dengan kata lain, Disneyland merupakan realitas buatan yang tampil sebagai
realitas baru, yang lebih real dari realitas yang sebenarnya. Sebagai
konsekuensinya, realitas nyata menjadi kehilangan daya tarik dan bahkan
sebaliknya dianggap bukan lagi realitas.

Realitas simulasi lain yang menonjol adalah dunia shopping mall. Bersamaan
dengan merebaknya konsumerisme, budaya belanja menjadi salah satu ciri
masyarakat dewasa ini. Dalam konteks inilah, shopping mall hadir sebagai
pusat gravitasi baru aktivitas masyarakat konsumer. Namun lebih dari
sekedar tempat belanja, shopping mall adalah sebuah dunia simulasi yang
menampilkan realitas-realitas buatan yang bersifat semu, dimana justru
dalam kesemuannya itulah ia lebih menyenangkan dibanding realitas
sebenarnya (Piliang, 1998: 238). Dalam dunia shopping mall, segala sesuatu
direduksi, dimanipulasi dan disimulasi demi kenyamanan dan kesenangan
belanja. Toko, restoran, bank, salon, bioskop, biro perjalanan dan
objek-objek lain dalam shopping mall semuanya disuntik dengan tema-tema,
seperti eksklusif, eksekutif, jiwa muda, kosmopolitan, natural atau citra
country. Dalam dunia shopping mall kita diajak bertamasya di dalam suatu
sirkuit, dari satu lingkungan tema ke lingkungan tema yang lain, di dalam
suatu ekologi fantasi yang nyata namun dangkal, yang semakin menjauhkan
kita dari makna-makna luhur (Piliang, 1998: 239).

Dengan mempergunakan kerangka pandang simulasi, dalam sebuah esainya,


The
Gulf War Has Not Taken Place (1991), selanjutnya Baudrillard mencoba
memberikan contoh tengah berlangsungnya mekanisme simulasi. Secara
kontroversial, Baudrillard menyatakan bahwa Perang Teluk sebenarnya tidak
pernah terjadi. Perang Teluk tak lebih hanyalah perang simulasi televisi,
sekedar khayalan mekanisme simulasi media massa, yakni semacam permainan
retorika perang atau skenario imajiner yang melampaui batas-batas perang
dunia-nyata dan semua kemungkinan yang nyata.
Dengan kemampuan reproduksi elektroniknya yang sempurna, televisi dan
media
massa lainnya, menjadikan realitas perang sebagai hiperrealitas. Perang
Teluk dalam simulasi televisi nampak seolah lebih nyata, lebih dahsyat dan
lebih heroik bila dibandingkan dengan realitas Perang Teluk yang
sebenarnya. Mulai dari pendaratan pasukan Amerika ke medan perang, baku
tembak antara kedua belah pihak, pengambilan keputusan tingkat tinggi,
hingga pada tingkat taktik di lapangan, sampai pada proses saling bunuh
yang terkesan menjadi lebih manusiawi, lebih efektif, lebih halus dan lebih
dapat diterima. Teknologi kamera ultra-violet yang mampu menangkap objek
dalam kondisi gelap, sistem penyadap informasi, jaringan komunikasi global
dan satelit transmisi yang mampu menyebarluaskan informasi pada saat yang
bersamaan dengan kejadian, menjadikan realitas Perang Teluk segera dapat
diketahui di seluruh penjuru dunia. Perang Teluk kemudian menjadi semacam
arena pertarungan antara tontonan perang (berita-informasi perang dari
lokasi kejadian) melawan perang tontonan (berlombanya setiap jaringan
televisi dalam memberikan tontonan perang yang paling aktual). Sementara
dengan teknologi simulasi, televisi menjadikan Perang Teluk tidak sekedar
sebagai sebuah peristiwa perang biasa. Perang Teluk adalah cyber war,
perang simulasi semu antara Amerika melawan Irak, sekaligus perang simulasi
kekalahan Amerika (sindrom Vietnam) melawan kemenangan Amerika (sindrom
Perang Teluk). Selanjutnya Baudrillard menyatakan,

The true belligerents are those who thrive on the ideology of the truth of
this war, despite the fact that the war itself exerts its ravages on
another level, through faking, through hyperreality, the simulacrum,
through all those strategies of psychological deterrence that make play
with facts and images, with the precession of the virtual over the real, of
virtual time over real time, and inexorable confusion between the two
(Baudrillard, 1991: 193).

(Negara sebagai aktor perang yang sejati adalah mereka yang berjuang di
atas kebenaran perang ini, meskipun faktanya bahwa perang itu sendiri
mengakibatkan kehancuran, melalui penipudayaan, hiperrealitas, simulacra,
semua strategi psikologis yang mempermainkan fakta dan citra, dengan
prioritas realitas virtual di atas yang nyata, waktu virtual di atas waktu
yang nyata, suatu pencampuradukkan diantara keduanya).

Dengan kesimpulan demikian Baudrillard menegaskan bahwa dengan


pernyataannya that Gulf War has not taken place, bukan berarti Perang Teluk
tidak pernah terjadi dalam realitas yang sebenarnya. Ia hanya ingin
menyatakan dan menyadarkan bahwa di balik perang tersebut, batas antara
realitas media dan realitas yang sebenarnya telah lebur dalam suatu
mekanisme simulasi. Perang Teluk menjadi kolase dari berbagai fragmen
kamera televisi dan sekaligus peristiwa perang yang nyata.
C. Postmodernisme: Sebuah Dunia Hiperrealitas

Ketika boneka Barbie pertama kali masuk ke Indonesia pada dekade tahun
delapan puluhan, beberapa pihak menyebut hal ini sebagai simbol awal
terseretnya Indonesia ke dalam arena masyarakat konsumerisme dunia.
Sebuah
boneka, yang tak lebih dari sekedar mainan anak-anak, sebuah kebutuhan
kesekian (tersier), tiba-tiba menjadi rebutan dan bahan perbincangan yang
ramai, tidak hanya bagi anak-anak namun bahkan orang dewasa. Hasrat
membeli dan mengkonsumsi boneka Barbie kemudian dapat dibaca sebagai
suatu
gejala kebiasaan baru, membeli sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu
dibutuhkan. Nilai-guna digantikan nilai-tanda. Lebih dari itu, boneka
Barbie sebenarnya juga menggemakan sebuah fenomena baru dalam
masyarakat
konsumerisme dan simulasi, yakni fenomena hiperrealitas. Hiperrealitas
adalah sebuah gejala di mana banyak bertebaran realitas-realitas buatan
yang bahkan nampak lebih real dibanding realitas sebenarnya.

Boneka Barbie, yang telah diproduksi dan terus diproduksi oleh Mattel Toys
sejak tahun 1959, adalah contoh nyata hiperrealitas, ketika suatu realitas
buatan telah melampaui realitas yang sebenarnya. Dibuat tanpa referensi
proporsi tubuh dan kecantikan yang wajar, Barbie tampil sebagai boneka
dengan kecantikan dan kesempurnaan tubuh yang melebihi gambaran
kecantikan
manusia. Barbie juga melampaui ukuran kehidupan manusia dengan peran-
peran
yang ditanamkan padanya sebagai wanita karier, fotomodel, guru taman
kanak-kanak, bintang film, duta kehormatan PBB, aktivis lingkungan hidup
dan lain sebagainya pada saat yang sama. Singkat kata, ia adalah figur
manusia sempurna. Makna-makna yang ditanamkan ke dalam sosok Barbie ini
merupakan silang-sengkarut tanda, citra dan kode-kode yang sengaja
diciptakan untuk menjaga eksistensinya sebagai simbol wanita modern. Dengan
representasi seperti ini Barbie seolah lahir sebagai Barbie yang real,
Barbie yang hidup, Barbie yang benar-benar ada dengan segala
keleluarbiasaannya. Ia bahkan lebih jauh menjadi model bagi manusia untuk
menentukan dan membentuk ukuran kecantikan dan kesempurnaan penampilan
tubuhnya.

Fenomena hiperrealitas yang ditunjukkan Barbie adalah salah satu karakter


kebudayaan postmodern dewasa ini, seperti yang dikemukakan oleh
Baudrillard. Dengan berangkat dari analisa ekonomi politik tanda dan
berlangsungnya mekanisme simulasi, Baudrillard menyatakan bahwa dalam
realitas kebudayaan dewasa ini tengah merajalela sebuah gejala lahirnya
realitas-realitas buatan yang bahkan lebih nyata dibanding realitas yang
sebenarnya. Ia menyebut gejala itu sebagai hiperrealitas.

Adalah Marshall McLuhan sebenarnya yang pertama-tama membuka


pembicaraan
mengenai gagasan hiperrealitas dalam kebudayaan masyarakat Barat dewasa
ini. Melalui dua bukunya, The Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic
Man (1962) dan Understanding Media: The Extensions of Man (1964), McLuhan
meramalkan bahwa peralihan teknologi dari era teknologi mekanik ke era
teknologi elektronik akan membawa peralihan pula pada fungsi teknologi
sebagai perpanjangan badan manusia dalam ruang, menuju perpanjangan
sistem
syaraf (Kellner, 1994: 139).

Berangkat dari diskursus teoritis kebudayaan media yang menjadi wajah


dominan budaya Barat dewasa ini, McLuhan mencoba memahami proses dan
akibat
Revolusi Gutenberg, dengan pernyataannya yang sangat terkenal bahwa
medium
is the message (media adalah pesan itu sendiri). Dalam bukunya yang
membahas secara mendalam dampak teknologi percetakan terhadap kehidupan
manusia dalam era kapitalisme awal, The Gutenberg Galaxy: The Making of
Typographic Man (1962), McLuhan menyatakan bahwa inilah titik awal
perubahan paradigma sejarah dari masa Abad Pertengahan ke Era Modern.
Lebih
lanjut, dalam bukunya yang sudah menjadi klasik, Understanding Media: The
Extensions of Man (1964), McLuhan menyatakan bahwa pada hakekatnya
semua
media adalah perpanjangan badan manusia dalam dimensi ruang dan waktu di
dunia (Kellner, 1994: 143). Menurut McLuhan perpanjangan ini bersesuaian
dengan tahap-tahap sejarah. Teknologi percetakan merujuk pada era
modernitas, dan teknologi media elektronik merujuk pada era postmodernitas.
Namun perkembangan teknologi media elektronik saat ini, dalam bentuknya
yang paling canggih dan massif, telah mereduksi kandungan pesan media itu
sendiri dan menggantikannya dengan permainan bahasa tanda yang bersifat
simbolik. Media menjadi sekedar perpanjangan badan manusia, namun tanpa
pesan, makna dan kedalaman. Pesan itu sendiri, menurut McLuhan, kini tak
lebih dari media-media yang lain. Dalam logika perpanjangan badan manusia,
mesin ketik adalah perpanjangan tangan manusia, mobil adalah perpanjangan
kaki manusia, radio adalah perpanjangan telinga manusia, media cetak adalah
perpanjangan mata manusia, dan teknologi televisi, komputer serta internet
adalah perpanjangan pusat sistem syaraf manusia (Piliang, 1998: 192).

Dengan perkembangan teknologi komunikasi dan media yang demikian


khususnya
televisi, komputer dan internet menurut McLuhan, telah memungkinkan umat
manusia hidup dalam dunia yang disebutnya global village, sebuah desa
besar, dimana segala sesuatu dapat disebarluaskan, diinformasikan dan
dikonsumsi dalam dimensi ruang dan waktu yang seolah mengkerut. Kini setiap
orang dapat melihat, mendengar dan mengkonsumsi informasi dari segala
penjuru dunia. Batas-batas ruang dan waktu pun seolah lenyap, dilipat dalam
sebuah kotak layar kaca televisi, disket ataupun internet. Dengan pandangan
humanismenya, secara optimis, McLuhan membaca fenomena ini sebagai
kemenangan manusia modern untuk menguasai ruang dan waktu yang dalam
perspektif Newtonian bersifat linear dan simultan. Karena, menurutnya,
pemikiran mekanistik dan deterministik Newtonian yang bersifat
sentralistik yang diejawantahkan dalam praksis komunikasi sosial, kini
telah digantikan oleh sistem komunikasi media elektronik yang bersifat
desentralistik dan plural (Piliang, 1998: 196).
Namun, dibalik pandangan optimisnya tersebut, McLuhan melupakan satu
akibat penting dari perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. Ia
gagal melihat konsekuensi lanjut terbangunnya global village yang
ditandai dengan meluruhnya dimensi ruang dan waktu yang di kemudian hari
ternyata menyimpan dampak-dampak patologis modernitas. Inilah wajah
kebudayaan Barat dewasa ini yang merupakan interpretasi pemikiran McLuhan
pada titiknya yang terjauh.

Gagasan inilah yang selanjutnya diambil alih dan dikembangkan oleh


Baudrillard. Pemikiran Baudrillard mendasarkan diri pada beberapa asumsi
hubungan manusia dan media, yang disebut Baudrillard sebagai realitas
mediascape (Baudrillard, 1983: 14). Dalam realitas mediascape media massa
menjadi produk budaya paling dominan. Dengan media massa, media kini tak
lagi sebatas sebagai perpanjangan badan manusia ala McLuhan, namun media
kini sekaligus merupakan ruang bagi manusia untuk membentuk identitas
dirinya.

Dengan pandangannya yang cenderung fatalis dan nihilis, Baudrillard menarik


garis tajam pemikiran McLuhan sampai batasannya yang terjauh. Ia mengangkat
pandangan- pandangan McLuhan tentang perpanjangan badan manusia dan
global
village ke dalam konteks perkembangan mutakhir dunia Barat, yang dewasa ini
telah menjelma menjadi desa besar yang disebut Baudrillard sebagai
hiperreal village (Baudrillard, 1983: 16).

Perkembangan ilmu dan teknologi dewasa ini dengan micro processor, memory
bank, remote control, telecard, laser disc dan internet menurut pandangan
Baudrillard, tidak saja dapat memperpanjang badan atau pusat sistem syaraf
manusia, namun bahkan lebih fantastis lagi, mampu mereproduksi realitas,
masa lalu dan nostalgia; menciptakan realitas baru dengan citra-citra
buatan; menyulap fantasi, ilusi bahkan halusinasi menjadi kenyataan; serta
melipat realitas sehingga tak lebih dari sebuah layar kaca televisi, disket
ataupun internet (Piliang, 1998: 197). Robot misalnya, yang pada awalnya
diciptakan sebagai perpanjangan badan dan sistem syaraf manusia, kini telah
menjelma menjadi pesaing manusia (misalnya dalam bidang lapangan kerja,
olahraga catur dan lomba kecerdasan).

Lebih jauh, realitas yang dihasilkan teknologi baru ini telah mengalahkan
realitas yang sesungguhnya dan bahkan menjadi model acuan yang baru bagi
masyarakat. Citra lebih meyakinkan ketimbang fakta dan mimpi lebih
dipercaya ketimbang kenyataan sehari-hari. Inilah dunia hiperrealitas:
realitas yang lebih nyata dari yang nyata, semu dan meledak-ledak. Dalam
dunia hiperrealitas, objek-objek asli yang merupakan hasil produksi
bergumul menjadi satu dengan objek-objek hiperreal yang merupakan hasil
reproduksi. Realitas-realitas hiper, seperti media massa, Disneyland,
shopping mall dan televisi nampak lebih real daripada kenyataan yang
sebenarnya, dimana model, citra-citra dan kode hiperrealitas bermetamoforsa
sebagai pengontrol pikiran dan tindak-tanduk manusia (Kellner, 1994: 8).
Dengan televisi dan media massa misalnya, realitas buatan (citra-citra)
seolah lebih real dibanding realitas aslinya. Lebih jauh, realitas buatan
(citra-citra) kini tidak lagi memiliki asal-usul, referensi ataupun
kedalaman makna. Tokoh Rambo, boneka Barbie, Jurrasic Park, atau Star Trek
Voyager yang merupakan citra-citra buatan adalah realitas tanpa
referensi, namun nampak lebih dekat dan nyata dibanding keberadaan tetangga
kita sendiri. Dalam kondisi seperti ini, realitas, kebenaran, fakta dan
objektivitas kehilangan eksistensinya. Hiperrealitas adalah realitas itu
sendiri (Baudrillard, 1983: 183). Yakni, era yang dituntun oleh model-model
realitas tanpa asal-usul dan referensi (Baudrillard, 1983: 2). Dimana, yang
nyata tidak sekedar dapat direproduksi, namun selalu dan selalu
direproduksi (Baudrillard, 1983: 146). Dalam bukunya yang sudah menjadi
klasik, Simulations (1983), Baudrillard menjelaskan lebih detail kondisi
hiperrealitas ini sebagai:

No more mirror of being and appearances, of the real and its concept. No
more imaginary coextensity: rather, genetic miniaturization is the
dimension of simulation. The real is produced from miniaturized units, from
matrices, memory banks and command models and with these it can be
reproduced an infinite numbers of times. It no longer has to be rational,
since it is no longer measured against some ideal or negative instance. It
is nothing more than operational. In fact, since it is no longer enveloped
by an imaginary, it is no longer real at all. It is a hyperreal, the
product of an irradiating synthesis of combinatory models in a hyperspace
without atmosphere (Baudrillard, 1983: 3).

(Tak ada lagi cermin diri, penampakan, kenyataan dan konsep-konsep yang
dikandungnya. Tak ada lagi pengembaraan imajiner: lebih dari itu, yang ada
adalah miniaturisasi genetik sebagai ciri dimensi simulasi. Kenyataan kini
dibentuk dari unit-unit miniatur, dari matriks, memory bank dan model-model
acuan dan dengannya kenyataan dapat direproduksi sampai jumlah yang tak
terhingga. Kenyataan pun kini tak lagi harus rasional, karena ia tak lagi
dapat diukur dengan ukuran-ukuran ideal. Kenyataan kini tak lebih dari apa
yang beroperasi. Dan karena ia tak lagi dibungkus oleh imajinasi-imajinasi,
maka kenyataan pun kini tak lagi real sama sekali. Kenyataan adalah
hiperrealitas itu sendiri, produk sintesa model-model gabungan dalam ruang
hiperspace tanpa atmosfer).

Fenomena hiperrealitas ini selanjutnya diikuti oleh serangkaian fenomena


hiper-hiper yang lain. Yasraf Amir Piliang, dalam bukunya Sebuah Dunia Yang
Dilipat (1998), memaparkan beberapa bentuk fenomena hiper ini (Piliang,
1998: 16), yaitu:

1. Hypercare: yakni gejala upaya perawatan dan penyempurnaan daya kerja


serta penampilan tubuh secara berlebihan lewat bantuan kemajuan teknologi
kosmetik dan medis.

2. Hypercommodity: yakni gejala merebaknya komoditi di hampir seluruh aspek


kehidupan dan menjadi agen bagi penyebaran makna-makna dan reproduksi
relasi-relasi sosial.

3. Hyperconsumption: yakni kondisi aktivitas konsumsi secara berlebihan,


yang melampaui nilai-guna benda, dan cenderung memusatkan perhatian pada
makna-makna personal dan sosial.

4. Hypermarket: yakni bentuk pasar yang mengkonsentrasikan dan


merasionalisasikan waktu, lalu lintas dan praktek sosial, dan akhirnya
menjadi pusat aktivitas sosial dan referensi nilai baru.

5. Hypersensibility: yakni gejala peningkatan atau penyempurnaan secara


berlebihan kepuasan inderawi, misalnya melalui penggunaan teknologi
elektronik dalam dunia musik.

6. Hypersexuality: yakni gejala pengumbaran kepuasan seks yang melampaui


wilayah seksualitas itu sendiri, misalnya kegiatan seks melalui jaringan
komputer jarak jauh.

7. Hyperspace: yakni keadaan runtuhnya makna ruang sebagaimana dipahami


berdasarkan prinsip geometri Euclidian (ruang 2 dan 3 dimensi) dan hukum
mekanika Newton (kecepatan adalah daya dibagi massa), dengan
berkembangnya
ruang semu dan simulasi elektronik.

D. Mitos Impian Amerika

From America have come to us now empty, indifferent things, artificial


things that deceive us by simulating life. In the American sense, a house
or an apple tree or a grapevine has nothing in common with the house, the
fruit, or the grape in which our ancestors have invested their hopes and
cares (Rilke, 1950: 898)

(Amerika tiba-tiba muncul di hadapan kita sebagai sesuatu yang kosong,


berbeda, artifisial, dan memperdaya kita dengan kehidupan yang penuh
kepura-puraan. Bagi citarasa Amerika, rumah, buah apel atau anggur tidak
memiliki makna apa-apa sebagaimana rumah, buah apel atau anggur yang
ditanam oleh nenek moyang kita dengan penuh perhatian dan harapan).

Pasasi diatas, yang dikutip dari esai Bryan S. Turner, Cruising America
(1993), ditulis oleh seorang wanita sastrawan Inggris, Rainer Maria Rilke,
yang kecewa melihat wajah kebudayaan modern Eropa yang semakin kering dan
teknosentris. Dengan menyebut Amerika sebagai the simulated life, Rilke
menganggap Eropa saat ini mulai tertular kebudayaan dominan Amerika yang
kosong, artifisial dan memperdaya tersebut. Televisi kabel, jaringan media
global, perusahaan multinasional, bursa efek, internet, entertainment,
konsumerisme, masakan fast food dan film Hollywood, menyerbu dengan cepat
di seluruh sudut kehidupan Eropa. Americans Dream, impian Amerika,
begitulah fantasi yang kerap didengung-dengungkan lewat berbagai cara untuk
menjadikan Amerika sebagai kiblat baru tempat mata diarahkan, tempat kaki
diayunkan, tempat cita-cita, harapan dan impian digantungkan.

Namun dimata Rainer Maria Rilke dan sejumlah kritikus Eropa yang lain
Amerika menjadi semacam kesalahan besar. Amerika adalah kiblat yang keliru
untuk diikuti karena utopia yang ditawarkannya hanyalah kepura-puraan,
kekosongan dan kehampaan. Mitos impian Amerika adalah harapan semu
belaka.

Dengan nada yang hampir sama, Umberto Eco, melalui bukunya Travels in
Hyperreality (1983), bercerita tentang Amerika. Melalui bukunya tersebut
Eco menyatakan bahwa Amerika kini tengah berada di ambang erosi, ambang
kebangkrutan budaya yang otentik. Bagi Eco, dengan kecanggihan ilmu dan
teknologi yang dimilikinya, Amerika ternyata tidak mampu membangun suatu
kebudayaan baru yang unggul dan otentik. Sebaliknya, dengan berbagai
kelebihannya, secara ironis Amerika justru terjebak ke dalam kedangkalan,
kepura-puraan dan penampakan semata (Rojek, 1993: 53). Kebudayaan
Amerika,
menurut Eco, tak lebih sebagai dunia yang kehilangan referensi, sebuah
replika budaya yang sempurna, peniruan yang nyata, dan representasi yang
otentik dari kebudayaan Eropa. Lebih jauh, Amerika bahkan seolah nampak
lebih nyata dan otentik dibanding Eropa yang ditirunya. Inilah wajah
hiperrealitas Amerika. Dalam kebudayaan Amerika, batas-batas antara benar
dan salah, fakta dan citra, realitas dan fantasi, otentik dan tiruan,
produksi dan reproduksi secara perlahan-lahan meluruh.
Dengan titik berangkat yang hampir sama, Baudrillard melanjutkan upaya
membaca realitas simulasi dan hiperrealitas Amerika dengan gayanya yang
khas. Melalui bukunya, America (1988), yang merupakan laporan perjalanan
sebuah travellogue ke Amerika, Baudrillard menyatakan bahwa Amerika adalah
contoh yang paling meyakinkan dari realitas simulasi dan hiperrealitas.

Mengenai tujuan perjalanannya ke Amerika, secara metaforis Baudrillard


mengatakan,

My hunting grounds are the deserts, the mountains, Los Angeles, the
freeway, the safeways, the ghost towns or the downtowns, not lectures at
the university (Baudrillard, 1988: 63).

(Daerah tujuan perburuan saya adalah gurun-gurun, gunung-gunung, Los


Angeles, jalan layang, jalan bebas hambatan, kota hantu dan downtown, bukan
mengajar di universitas).

Lebih lanjut Baudrillard menyatakan,

I get to know more about the concrete social life of American from the
desert than I ever would from official or intellectual gatherings. American
culture is heir to the desert, but the deserts here are not part of a
Nature defined by contrast with the town. Rather they denote the emptiness,
the radical nudity that is the background to every human institutions as a
metaphor of that emptiness and the work of man as the continuity of the
deserts, culture as a mirage and as the perpetuity of simulacrum
(Baudrillard, 1988: 63).

(Saya ingin tahu lebih banyak tentang kehidupan sosial Amerika yang
sebenarnya dari gurun, bukan dari mimbar pengkajian intelektual. Kebudayaan
Amerika kini nampaknya sedang diwariskan ke sebuah gurun, bukan gurun yang
merupakan bagian alam yang bisa dibedakan dengan kota. Lebih dari itu,
gurun disini menyiratkan suatu kekosongan, sebuah kondisi transparan
radikal yang menjadi latar belakang setiap institusi manusia sebagai
kelanjutan dari gurun, yakni kebudayaan sebagai sebuah khayalan dan
pengulangan simulacra).

Bagi Baudrillard, Amerika adalah sebuah gurun: asing, hampa, sunyi sepi,
tanpa sejarah, tanpa referensi, hanya hamparan ruang kosong tak berbatas,
sebuah ruang semu, ruang simulasi. Gurun adalah simbol metafisik tentang
Yang Lain sebagai ekses proses penandaan, intensi dan pretensi dalam
kebudayaan. Dengan bahasa aforismenya yang khas selanjutnya Baudrillard
menggambarkan Amerika sebagai,

Astral America. The lyrical nature of pure circulation. Sideration.


Starblasted, horizontally by the car, altitudinally by the plane,
geologically by deserts (Baudrillard, 1989: 27).

Anorexic culture: a culture of disgust, of expulsion, of anthropoemia, of


rejection. Characteristic of a period of obesity, saturation, overabundance
(Baudrillard, 1989: 39).

(Bintang-bintang Amerika. Dunia liris penuh kata-kata pujian dari sebuah


sirkulasi murni. Pandangan menyamping. Peledakan-Bintang, yang berbatas
cakrawala sebuah mobil, berbatas ketinggian pesawat terbang dan berbatas
geologi sebuah gurun).

(Kebudayaan anoreksi; sebuah budaya kejijikan, pengenyahan dengan paksa,


anthropoemia, budaya penolakan. Dicirikan oleh karakter kegemukan yang
periodis, penjenuhan dan kelimpahan yang berlebihan).

Dengan prinsip-prinsip hiperrealitas, simulacra, simulasi, serta Imperium


Tanda yang maha dahsyat menggempur setiap ruang kehidupan yang ada,
Amerika
menjelma menjadi utopia sekaligus paranoia. Kebudayaan Amerika, menurut
Baudrillard, adalah kebudayaan yang mencampuradukkan dan sekaligus
merayakan kegairahan serta permainan nilai-nilai. Di sanalah kebanalan,
kevulgaran dan kecabulan bersanding dengan kesopanan, intelektualitas,
etika serta estetika.

Baudrillard membaca Amerika dengan berangkat dari perbandingan kebudayaan


dua benua, Eropa dan Amerika. Menurut Baudrillard, Eropa yang dahulu pernah
menjadi pusat kebudayaan modern, kini tidak lagi memiliki peran dan fungsi
yang sama. Eropa saat ini adalah Eropa yang tidak lagi memiliki peran
sebagai kekuataan pendorong, sumber dan model kemajuan peradaban.
Sebaliknya, Eropa kini sekedar menjadi kekuatan peripheral, benua pinggiran
yang telah kehilangan semangat modernitas dan secara perlahan namun pasti
tengah tertinggal oleh saudara mudanya, Amerika. Bagi Baudrillard, Eropa
terlalu dibebani dengan tradisi, sisa-sisa feodalisme, aristokrasi, ide
tentang kaum borjuis dan gagasan-gagasan revolusi yang justru
menghambatnya
menuju kondisi modernitas seperti yang diharapkan (Baudrillard, 1988: 80).
Eropa juga tengah menghadapi persoalan melankolik, yakni kegagalannya
dalam
mencapai cita-cita idealnya yang berupa demokrasi, kebebasan dan rasio
(Baudrillard, 1988:81). Lebih jauh Baudrillard mengatakan,

In Europe we are stuck in the old rut of worshipping difference; this


leaves us with a great handicap when it comes to radical modernity, which
is founded on the absence of difference. Only very reluctantly do we become
modern and indifferent. This is why our understandings lack the modern
spirit. We do not even have evil genius of modernity, that genius which
pushes innovation to tha point of extravagance and in so doing rediscovers
a kind of fantastical liberty (Baudrillard, 1988: 97).

(Di Eropa kita dikungkung oleh kebiasaan lama pemujaan terhadap perbedaan;
hal ini menjadi rintangan besar bagi kita ketika Eropa hendak melangkah
menuju era modernitas radikal, era yang kehilangan watak perbedaan. Dengan
sangat segan kita akhirnya menjadi modern dan sekaligus acuh tak acuh.
Inilah mengapa pemahaman kita menjadi kehilangan semangat modernitas. Kita
bahkan tidak pernah memiliki evil genius modernitas, karakter yang dapat
mendorong lahirnya inovasi-inovasi ke arah sifat kebebasan dan
keluarbiasaan).

Watak dasar Eropa inilah yang menurut Baudrillard menyebabkan Eropa kini
tengah berada dalam krisis besar. Eropa tertinggal jauh mengikuti gerak
zaman yang melaju cepat tanpa mengenal kompromi.

Sementara itu, Amerika kini, menurut Baudrillard adalah model sempurna


modernitas (Baudrillard, 1988: 77). Di sanalah kini orang menitipkan
harapan dan impiannya. Amerika seolah menyihir dunia untuk menengok dan
berkiblat kepadanya.

Namun bukan berarti Amerika tidak memiliki persoalan. Persoalan Amerika,


menurut Baudrillard, adalah krisis pencapaian utopia, yang dilawankan
dengan prinsip durasi dan permanensi. Di satu sisi, impian Amerika adalah
untuk menemukan kembali nostalgia masa lalunya. Sementara di sisi lain,
tuntutan Amerika adalah keharusan menghadapi dunia kini dan disini dengan
perubahannya yang cepat. Keadaan ini menimbulkan sebuah paradoks, yang
diungkapkan Baudrillard dengan gaya bahasanya yang deklaratif bahwa,

America is neither dream nor reality, this is a world that has shown genius
in its irrepressible developmnet of equality, banality, and indifference,
the desert is a sublime form that banishes all socially, all
sentimentality, all sexuality, all the myths of modernity are American
(Baudrillard, 1989: 87),

(Amerika bukanlah mimpi ataupun kenyataan, inilah dunia yang telah


memperlihatkan kecerdasannya dalam mengembangkan tema-tema kesetaraan,
kebanalan dan ketak-acuhan, gurun adalah sebentuk keagungan yang
kehilangan
nilai-nilai sosial, sentimental dan seksual, seluruh mitos modernitas
adalah Amerika).

Realitas Amerika sebagai simulasi dan hiperrealitas, menurut Baudrillard,


adalah contoh sekaligus model masyarakat Barat dewasa ini yang tengah
menjelang pada era postmodernisme. Amerika menjadi pusat gravitasi baru era
postmodernisme, menggantikan Eropa yang pernah tampil sebagai pusat era
modernisme. Modernisme bagi Amerika kini tak lebih sebagai nostalgia yang
pucat, penuh kepedihan, sementara postmodernisme adalah zaman baru yang
menawarkan harapan dan impian yang lebih baik.

Seni Poppuler dalam Era Postmodernisme

A. Budaya Massa dan Budaya Populer

Salah satu fenomena penting yang menandai lahirnya era postmodern adalah
tumbuhnya budaya massa dan budaya populer. Dalam realitas kebudayaan
dimana
konsumsi mengalahkan produksi, nilai-tanda dan nilai-simbol mengalahkan
nilai-guna dan nilai-tukar, penampilan menjadi tujuan, tuntutan mengejar
keuntungan adalah satu-satunya pegangan, maka tak pelak, budaya massa dan
budaya populer adalah jawaban bagi masyarakat yang demikian. Sebagai
semangat zaman baru, budaya massa dan budaya populer pun membawakan
nilai-nilai baru, kegairahan baru dan etos kerja baru. Lebih dari era-era
sebelumnya, era postmodern adalah kurun sejarah yang memuja bentuk dan
penampakan ketimbang kedalaman, merayakan kebebasan, permainan dan
kenikmatan ketimbang kekhusukan, serta mengejar keuntungan ketimbang
kemanfaatan. Tak heran bila dalam masyarakat yang dihidupi budaya massa dan
budaya populer masyarakat konsumer tumbuh simbol-simbol dan aktivitas
kebudayaan baru. Televisi, iklan, shopping mall, video game, kartun, komik,
pusat kebugaran, kursus kecantikan, cat rambut, operasi plastik, alis
palsu, facial cream, body building, salon mobil sampai senam seks dan
sederet ikon gaya hidup adalah kosakata baru budaya massa dan budaya
populer.

Lahirnya budaya massa dan budaya populer sendiri sebenarnya telah melalui
sebuah proses sejarah yang panjang. Merujuk Leo Lowenthal seorang tokoh
mahzab Frankfurt generasi kedua yang dikutip Dominic Strinati dalam
bukunya An Introduction to Theories of Popular Culture (1995), sejarah
budaya massa dan budaya populer setidaknya dapat dilacak semenjak era "Roti
dan Sirkus" dalam masa kekaisaran Romawi. Budaya massa dan budaya
populer
pada saat itu muncul dalam bentuk pelbagai permainan, olahraga dan pesta
rakyat yang diselenggarakan setiap tahun untuk seluruh penduduk Roma. Ia
bersifat massal dan populer karena tidak hanya terbatas bagi kalangan
keluarga kekaisaran Romawi. Budaya massa dan budaya populer kemudian
semakin berkembang dengan awal kebangkitan era ekonomi pasar pada abad
ke-17 M. Dalam kurun ini, budaya massa dan budaya populer telah menjadi
bagian ekonomi politik kapitalisme yang dituntun oleh prinsip kemajuan,
keuntungan dan perluasan produksi. Prinsip-prinsip seperti mass production
(produksi massal), minimization of cost (pembiayaan yang rendah),
standarization (standarisasi), homogenization of taste (penyeragaman selera
dan citarasa), differenziation (diferensiasi) dan constan acceleration
(percepatan konstan) menjadi hukum baru proses produksi (Ibrahim, 1997:
19). Dengan prinsip-prinsip ini budaya massa dan budaya populer seolah
memperoleh pembenaran untuk hidup dan berkembang. Kini segala sesuatu
disulap menjadi budaya massa dan budaya populer demi tujuan memperbesar
keuntungan. Dalam pengertian ini, budaya massa dipahami sebagai budaya
populer yang diproduksi melalui teknik produksi massal dan diproduksi demi
keuntungan. Budaya massa adalah budaya komersial, produk massal untuk
pasar
massal. Budaya massa, dengan demikian tidak lain dari metamoforsa komoditi
dalam bentuknya yang lebih canggih, lebih halus dan lebih memikat
(Strinati, 1995: 10). Sementara itu budaya populer adalah sebuah kategori
bagi budaya rendah (lowbrow culture) yang biasa dibedakan dengan budaya
tinggi (highbrow culture). Budaya populer, atau dalam pengertian awalnya
biasa disebut budaya rakyat (folk culture), lahir dari bawah, dari rakyat
kebanyakan, sementara budaya tinggi, dibentuk dari atas, dari kalangan
aristokrat. Budaya populer ditandai oleh sifatnya yang massal, terbuka
untuk siapapun dan lebih mengakar kepada khalayak pemiliknya. Sementara
budaya tinggi dicirikan oleh sifatnya yang khusus dan tertutup, terbatas
bagi kalangan tertentu dan tidak mengakar ke bawah (Strinati, 1995: 10).
Dalam kaitan antara ketiga bentuk kebudayaan ini, MacDonald salah seorang
teoritisi awal budaya massa dan budaya populer memberi batasan sebagai
berikut,

Folk culture grew from below. It was a spontaneous, autochthonous


expression of the people, shaped by themselves, pretty much without the
benefit of High Culture, to suit their own needs. Mass Culture is imposed
from above. It is fabricated by technicians hired by businessmen; its
audiences are passive consumers, their participation limited to the choice
between buying and not buying. Folk culture was the peoples own
institution, their private little garden walled off from the great formal
park of their masters High Culture. But Mass Culture breaks down the wall,
integrating the masses into a debased from of High Culture and thus
becoming an instrument of political domination (MacDonald, 1957: 60).

(Budaya rakyat tumbuh dari bawah. Ia adalah ekspresi otonom dan spontan
rakyat yang dibuat oleh mereka sendiri, tanpa pengaruh budaya tinggi, untuk
memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Budaya massa sebenarnya ditumbuhkan
dari
atas. Ia diproduksi oleh tenaga-tenaga teknis yang dipekerjakan oleh
produsen; khalayaknya adalah konsumer-konsumer pasif, dimana partisipasi
mereka terbatas pada pilihan membeli atau tidak membeli. Budaya rakyat
adalah milik rakyat sendiri, kebun mungil pribadi mereka yang dipisahkan
dari kebun besar Budaya Tinggi. Namun budaya massa merobohkan dinding
pemisah ini, menyatukan massa ke dalam budaya tinggi yang telah diturunkan
statusnya dan kemudian menjelma menjadi instrumen dominasi politik).

Pernyataan MacDonald ini merujuk budaya massa dan budaya populer sebagai
bagian ekonomi politik kapitalisme, yang sekaligus menandai lahirnya era
postmodernisme, yang mengaburkan batas-batas pengertian antara
budaya-tinggi dan budaya-populer ke dalam satu karakter budaya massa. Dalam
realitas kebudayaan dewasa ini, tak ada lagi budaya-tinggi yang murni,
agung dan luhur, sebagaimana tak ada lagi budaya-rendah pinggiran dan
inferior. Budaya-tinggi kini telah berubah menjadi komoditi, produk budaya
yang dikomersialkan. Sementara budaya populer kini ternyata semakin wajar
diterima dan dihargai (Shuker, 1994: 5). Perbedaan hirarkis yang ketat
demikian kini tak lebih sebagai nostalgia masa lampau yang borjuis-feodal.
Realitas kebudayaan dewasa ini adalah realitas kebudayaan yang tunduk pada
hukum ekonomi kapitalisme, dalam bentuk budaya massa dan budaya populer.

Dalam diskursus sejarah kebudayaan, perkembangan budaya massa dan


budaya
populer yang mengiringi kelahiran era postmodern setidaknya dapat
ditelusuri semenjak era masyarakat primitif. Masyarakat primitif dipandang
sebagai masyarakat komunal organik yang utuh, dengan seperangkat nilai dan
norma yang mengatur anggota-anggotanya secara efektif. Dalam struktur
masyarakat ini, ikatan sosial diantara anggotanya masih terjalin kuat.
Bentuk-bentuk kebudayaan terutama seni yang lahir dalam masyarakat ini,
sepenuhnya adalah kebudayaan rakyat (folk culture). Kebudayaan inilah yang
secara langsung merefleksikan pengalaman dan kehidupan masyarakat awal.
Bentuk-bentuk kesenian rakyat, kesenian tradisional dan primitif, pada
awalnya lahir untuk menjawab kebutuhan menjaga keutuhan nilai masyarakat
awal.

Kondisi ini berubah ketika bersamaan dengan mulai berkembangnya kapitalisme


awal, terbentuk struktur masyarakat borjuis-feodal. Dalam masyarakat ini,
sekelompok golongan menduduki kelas borjuis, dan sekelompok yang lain
menempati kelas proletar. Klasifikasi sosial ini pada gilirannya melahirkan
klasifikasi budaya. Kelas borjuis dengan kebudayaannya yang khas terbatas,
tertutup, bernilai sakral, eksklusif dan mewah yang disebut sebagai
budaya tinggi. Dan kelas proletar dengan kebudayaan yang bersifat terbuka,
imanen, massal dan mengakar ke bawah yang disebut budaya rendah.

Seiring dengan perkembangan kapitalisme ke arah kapitalisme lanjut,


struktur masyarakat pun kembali mengalami perubahan. Dari masyarakat
primitif, masyarakat borjuis-feodal ke masyarakat massa. Dengan
industrialisasi dan urbanisasi serta perkembangan teknologi percetakan,
secara perlahan-lahan terjadi proses transformasi sosial. Perubahan ini
didorong oleh, di satu sisi, perkembangan teknologi mekanik berskala massal
dan peningkatan populasi penduduk di kota-kota besar yang menyebabkan
perubahan pola hidup masyarakat dari masyarakat agraris ke masyarakat
industri. Dan di sisi lain, sebagai akibat perubahan diatas, terjadi erosi
dan kegoncangan struktur nilai sosial masyarakat, luruhnya ikatan sosial
dalam komunitas pedesaan, turunnya status agama dan merebaknya proses
sekularisasi serta diabaikannya nilai-nilai moral. Dalam kerangka sosial
seperti inilah kemudian muncul apa yang disebut sebagai proses atomisasi
(Strinati, 1995: 6). Proses atomisasi terjadi ketika suatu masyarakat
terdiri dari individu-individu yang berhubungan dengan individu lain
menurut hubungan atom dalam wacana dunia ilmu kimia atau fisika. Masyarakat
massa terdiri dari individu-individu atom seperti ini, individu yang
berhubungan dengan individu lain tanpa didasari oleh nilai-nilai yang
berlaku dalam masyarakatnya. Individu atom adalah manusia-manusia yang
berhubungan atas dasar kontrak, berjarak dan bersifat sementara ketimbang
sebagai ikatan komunal yang erat. Proses atomisasi, seperti telah disebut
di depan, juga disebabkan oleh runtuhnya peran lembaga-lembaga sosial dalam
masyarakat sebagai akibat meledaknya industrialisasi dan urbanisasi.
Keluarga, desa dan gereja yang dahulu pernah memberikan perasaan identitas
psikologis, kepastian moral dan sosial, kini digantikan perannya oleh media
massa dan pelbagai bentuk budaya populer. Dalam kondisi ketika tidak ada
lagi kepastian psikologis, moral dan sosial demikian, individu membutuhkan
acuan moralitas baru. Peran inilah yang diisi oleh budaya massa dan budaya
populer, sebagai pemberi pegangan nilai moral dan sosial dalam masyarakat.
Budaya massa dan budaya populer tidak lagi dipandang sebagai budaya rendah,
melainkan sebaliknya, budaya dominan.yang diterima, didengar dan diikuti
secara luas dalam realitas masyarakat dewasa ini.

Merebaknya budaya massa dan budaya populer ini selanjutnya didukung oleh
perkembangan kapitalisme lanjut yang mengintegrasikan ilmu dan teknologi
sebagai tulang punggungnya serta peran pendidikan dan demokrasi.
(Strinati,1995: 7). Menarik dicatat bahwa demokrasi dianggap sebagai
pendorong merebaknya budaya massa dan budaya populer. Demokrasi
dipandang
berjasa dalam merobohkan hierarki tradisional mengenai kelas, citarasa dan
budaya dengan memberi tempat kepada massa untuk menentukan
keputusan-keputusan politik. Sementara lewat pendidikan, semakin banyak
anggota masyarakat yang memiliki kemampuan baca tulis untuk mendapat lebih
banyak informasi tanpa harus tergantung kepada lembaga-lembaga tradisional.
Maka kini budaya massa dan budaya populer pun menjadi institusi baru yang
menggantikan peran lembaga-lembaga tradisional. Dalam kerangka kapitalisme
lanjut, tujuan utama budaya massa, tentu saja adalah untuk kepentingan
memperoleh keuntungan. Budaya massa merupakan salah satu strategi budaya
yang disodorkan kapitalisme untuk menciptakan produk-produk massal, melalui
industri produksi massal untuk konsumer yang massal pula. Lewat
produk-produk budaya massa, kapitalisme berusaha memperbesar margin
keuntungannya sampai batas yang tak terhingga. Semakin luas jangkauan
penyebaran budaya massa dan budaya populer, maka semakin besar kapital
yang
dapat dikeruknya.

Karakter budaya massa dicirikan oleh sifatnya yang baku, standar, merupakan
hasil duplikasi dan reproduksi. Budaya massa merayakan kesenangan yang
dangkal, sepele dan sentimental, sembari menolak nilai-nilai yang otentik,
luhur dan sakral. Mengutip kembali MacDonald, budaya massa adalah,

It is a debased, trivial culture that voids both the deep realities (sex,
death, failure, tragedy) and also the simple, spontaneous pleasures, since
the realities would be too real and the pleasures too lively to induce. A
narcotized acceptance of Mass Culture and of the commodities it sells as a
substitute for the unsettling and unpredictable (hence unstable) joy,
tragedy, wit, change, originality and beauty of real life. The masses,
debauched by several generations of this sort of thing, in turn come to
demand trivial and comfortable cultural products (MacDonald, 1957: 71).

(Sebentuk kebudayaan yang rendah, budaya remeh-temeh yang kehilangan,


baik
realitas sublim (seks, kematian, kegagalan, tragedi) maupun realitas
sederhana, kenikmatan-kenikmatan spontan, karena realitas-realitas itu kini
telah menjadi terlalu nyata, dan kenikmatan-kenikmatan menjadi terlampau
hidup untuk disentuh. Penerimaan terhadap budaya massa yang membius dan
komoditi-komoditi yang dijual sebagai pengganti kegembiraan, tragedi
kecerdasan, perubahan, orisinalitas dan keindahan hidup sebenarnya yang
sudah tidak dapat ditetapkan dan diramalkan. Massa yang telah dikotori oleh
hal-hal demikian, pada gilirannya menjadi massa yang mabuk oleh
produk-produk budaya yang remeh-temeh namun memberi rasa nyaman).

Maka budaya massa adalah budaya yang miskin rangsangan dan tantangan
intelektual, namun kaya fantasi dan ilusi kesenangan. Ia adalah kebudayaan
yang kehilangan semangat pemikiran dan penciptaan yang otentik, namun
sebaliknya membawakan semangat pluralitas dan demokrasi. Maka budaya
massa
adalah,

A dynamic, revolutionary force, breaking down the old barriers of class,


tradition, taste, and dissolving all cultural distinctions. It mixes and
scrambles everything together, producing what might be called homogenized
culture. It thus destroys all values, since value judgements imply
discrimination. Mass culture is very, very democratic: it absolutely
refuses to discriminate against, or between, anything or anybody
(MacDonald, 1957: 62).

(Sebuah kekuatan dinamis, revolusioner, yang meruntuhkan sekat-sekat lama


tentang kelas, tradisi dan citarasa, serta meluruhkan semua perbedaan
budaya. Ia mengaduk dan mencampur-baurkan segala sesuatu secara
bersama-sama, memproduksi apa yang mungkin disebut sebagai kebudayaan
yang
homogen. Ia dengan demikian meluluh-lantakkan semua nilai, karena penilaian
mengasumsikan adanya diskriminasi. Budaya massa, adalah budaya yang
sangat,
sangat demokratis: ia benar-benar menolak untuk melakukan diskriminasi
terhadap atau antara sesuatu hal atau orang).

Sejalan dengan karakter khas budaya massa, terbentuklah konsepsi khas


khalayak konsumer budaya massa. Khalayak budaya massa adalah para
konsumen
pasif, individu-individu yang rentan terhadap manipulasi dan bujukan media
massa, tunduk pada daya tarik hasrat untuk selalu dan selalu membeli,
menikmati kesenangan semu konsumsi massa dan merupakan objek eksploitasi
komersial. Inilah massa yang nyaris tanpa pikiran, tanpa kemampuan
berefleksi, tanpa kemampuan bernalar secara kritis, selain hasrat yang
besar untuk mengkonsumsi dan mengkonsumsi. Dalam salah satu tulisannya
yang
sangat penting, A Theory of Mass Culture (1957), MacDonald memaparkan
pandangannya tentang khalayak budaya massa ini,

As masses, they lose their human identity and quality. For the masses in
historical time are what a crowd is in space: a large quantity of people
unable to express themselves as human beings because they are related to
one another neither as individuals nor as members of communities indeed,
they are not related to each other at all, but only to something distant,
abstract, nonhuman: a football game or bargain sale in the case of crowd,
a system of industrial production, a party or a state in the case of
masses. The mass man is a solitary atom, uniform with and undifferentiated
from thousands and millions of other atoms who go to make up the lonely
crowd as David Reisman well calls American society (MacDonald, 1957: 69).

(Sebagai massa, mereka kehilangan kualitas dan identitas kemanusiaannya.


Karena massa adalah keramaian: sejumlah besar individu yang tak mampu
mengekspresikan dirinya sebagai manusia, karena berhubungan dengan orang
lain tidak dalam kerangka individu ataupun anggota suatu komunitas bahkan,
mereka samasekali tidak berhubungan satu sama lain melainkan sekedar
berhubungan dengan sesuatu yang abstrak, berjarak, sesuatu yang bersifat
non-human: seperti keramaian permainan sepakbola atau penjualan obral,
sistem produksi industrial atau pun massa partai atau negara. Manusia massa
adalah semacam atom yang teralienasi, seragam dan nyaris tak bisa dibedakan
dengan ribuan bahkan jutaan atom lain yang membentuk "keramaian yang
sunyi", seperti ungkapan David Reisman ketika menyebut masyarakat Amerika).
Ungkapan David Reisman, yang dikutip MacDonald dalam tulisannya, tentang
"keramaian yang sunyi" masyarakat Amerika, selanjutnya dapat dibaca
mengimplikasikan dua hal. Pertama, bahwa Amerika merupakan representasi
paling tepat untuk menggambarkan fenomena atomisasi dalam realitas budaya
massa. Kedua, ungkapan bernada satire tersebut sekaligus mengungkapkan
ketakutan terhadap pengaruh Amerika dalam pelipatgandaan budaya massa ke
seluruh penjuru dunia, yang lebih dikenal sebagai proses Amerikanisasi.

Ancaman penyebaran budaya massa melalui proses Amerikanisasi ini


dilatarbelakangi oleh anggapan bahwa Amerika adalah kiblat budaya massa.
Dengan kemampuan teknologi industri massal yang canggih dan dukungan
sistem
kapitalisme serta demokrasi, wajar bila ditarik kesimpulan bahwa Amerika
adalah ancaman bagi setiap nilai estetika dan budaya, bahkan identitas
nasional suatu bangsa. Dick Hebdige mencoba menguraikan karakter budaya
Amerika sebagai berikut,

American popular culture Hollywood films, advertising images, packaging,


clothes and music offers a rich iconography, a set of symbols, objects and
artefacts which can be assembled and reassembled by different groups in a
literally limitless number of combinations. And the meaning of each
selections is transformed as individual objects jeans, rock records, Tony
Curtis hair styles, bobby socks are taken out of their original historical
and cultural contexts and juxtaposed against signs from other sources
(Hebdige, 1987: 74).

(Budaya populer Amerika film Hollywood, citra-citra iklan, teknologi


kemasan, pakaian dan musik adalah sebuah ikonografi yang kaya, seperangkat
simbol, objek dan artefak yang dapat dirangkai dan dirangkai-ulang oleh
kelompok-kelompok yang berbeda dalam kombinasi yang tak terbatas. Dan
makna
pada setiap pilihan ini kemudian diterjemahkan sebagai objek-objek
individual celana jeans, musik rock, gaya rambut Tony Curtis, model kaos
kaki pendek dicabut dari konteks sejarah dan budayanya yang asli dan
disejajarkan dengan tanda-tanda dari sumber-sumber lain).

Penyebaran budaya massa melalui proses Amerikanisasi, di mata Hebdige,


kemudian menjadi proses yang tidak sekedar secara pasif menerima, melainkan
aktif mengolah kembali menjadi konstruksi kebudayaan baru. Namun demikian,
Amerikanisasi tetaplah dipandang sebagai ancaman luruhnya nilai-nilai
budaya khas-otentik setiap bangsa, runtuhnya otoritas dan legitimasi
lembaga moral tradisional, serta meningkatnya kenakalan dan kejahatan
remaja.

Pada titik ini, proses Amerikanisasi menemukan gemanya dalam pemikiran


Baudrillard. Dengan menyebut proses Amerikanisasi sebagai gejala "Impian
Amerika", Baudrillard menyatakan bahwa sebagai penggerak utama budaya
massa
dan budaya populer, Amerika adalah impian namun sekaligus mitos. Dengan
kekuatan daya tariknya yang luar biasa, Amerika seolah menjadi kiblat era
baru yang disebut sebagai era postmodern, sebagaimana Eropa pernah menjadi
kiblat era modern. Namun dibalik semua itu, papar Baudrillard, Amerika
sebenarnya menyimpan pelbagai bibit penyakit yang parah. Amerika adalah
wajah sebuah budaya yang szhizophrenis, tak memiliki otentisitas, dan tak
lebih dari kumpulan puing-puing budaya yang diperoleh dari proses duplikasi
dan reproduksi. Budaya massa dan budaya populer yang dangkal, eklektis,
mengedepankan penampakan, miskin makna dan orisinalitas yang justru
berkembang-biak di Amerika seolah menegaskan sifat paradoks Amerika.

Dalam realitas budaya massa dan budaya populer Amerika inilah


pemikiran-pemikiran Baudrillard mendapatkan kebenarannya. Pelbagai simbol
dan artefak budaya massa menjadi ruang pergulatan yang paling konkret dari
apa yang disebut Baudrillard sebagai kebudayaan postmodern. Melalui film,
televisi dan video game misalnya, pemikiran Baudrillard tentang dunia
simulasi dapat dijelaskan secara gamblang. Melalui artefak-artefak budaya
massa ini pulalah gagasan Baudrillard tentang fenomena hiperrealitas
menjadi mudah dipahami.

Dalam wacana televisi, film dan video game mengikuti Baudrillard bergumul
pelbagai unsur: fiksi dan fakta, realitas dan ilusi, kebenaran dan
kepalsuan, yang direkayasa, disimulasi sehingga seolah-olah nyata. Ketiga
artefak budaya massa tersebut juga sekaligus mencampur-baurkan masa
lampau,
masa kini dan masa depan dalam konteks kekinian yang juga semu. Realitas
dalam televisi, film dan video game pada gilirannya menjadi realitas
simulasi: realitas buatan yang dihasilkan melalui proses produksi dan
reproduksi pelbagai unsur sehingga tidak mungkin lagi diketahui mana yang
real dan mana yang palsu, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang
asli dan mana yang tiruan. Lebih jauh, dengan realitas-realitas buatan
semacam Disneyland, Universal Studio ataupun shopping mall yang sekaligus
menjadi simbol paling tepat bagi budaya massa dan budaya populer realitas
yang sebenarnya kini telah dikalahkan oleh realitas-realitas buatan.
Disneyland dengan tokoh-tokoh fiktifnya Mickey Mouse, Donald Duck ataupun
Guffi, Universal Studio dengan miniatur kota-kota buatan, dan shopping mall
dengan dunia belanja yang menawarkan pelbagai macam tema bahkan seolah
lebih nyata dan hidup ketimbang tokoh-tokoh pahlawan dalam buku-buku
sejarah.

Selanjutnya budaya massa dan budaya populer juga membawakan gagasan


meledaknya nilai-tanda dan nilai-simbol di atas nilai-guna dan nilai-tukar.
Karakter khas budaya massa dan budaya populer yang bersifat massal,
dangkal, mengedepankan penampakan ketimbang makna dan kedalaman
sekaligus
mengisyaratkan lebih diterimanya simbol status, prestise, penampilan dan
gaya ketimbang manfaat atau maknanya. Merebaknya persaingan gaya hidup
dengan pelbagai simbol budaya pendukungnya: mobil, handphone, credit card,
pakaian; diserbunya pusat-pusat kebugaran, kursus kecantikan atau bahkan
iklan operasi plastik sebagai simbol dominannya penampilan; sampai
merebaknya paket wisata-budaya yang mengemas upacara adat, kesenian
tradisional dan keunikan budaya etnis lokal, adalah beberapa bukti lebih
dominannya nilai-tanda dan nilai-simbol dalam realiatas budaya massa dan
budaya populer

Lebih jauh, mengutip Baudrillard, melalui budaya massa dan budaya populer
inilah lahir suatu prinsip komunikasi baru yang disebutnya sebagai prinsip
bujuk-rayu (seduction). Bila sebelumnya proses komunikasi dipahami sebagai
proses penyampaian pesan dari pemberi pesan (addressee) kepada penerima
pesan (address) untuk diperoleh suatu makna tertentu, maka kini komunikasi
dipahami sebagai proses bujuk-rayu objek (konsumen) oleh subjek (produsen)
untuk mengkonsumsi produk-produk yang ditawarkan. Melalui iklan, kampanye,
tayangan talk show, dan gempuran pelbagai informasi melalui media massa,
konsumen dirayu untuk mengkonsumsi lebih dan lebih banyak lagi. Dalam
mekanisme komunikasi seperti ini, tak ada lagi pesan, tak ada lagi makna,
kecuali semata dorongan memikat untuk mengkonsumsi apa yang ditawarkan.
Konsumen adalah, mengutip Baudrillard, "mayoritas yang diam" (the silent
majorities), yang pasif menerima segala apapun yang masuk ke dalam tubuh
dan pikirannya, menelannya mentah-mentah tanpa pernah mampu
merefleksikannya kembali dalam kehidupan yang sebenarnya, dan bahkan
hanyut
dalam gelombang deras budaya massa dan budaya populer yang menghadang
tepat
di depannya.

B. Estetika Seni Postmodern

Sejarah estetika seni modern pada dasarnya adalah sejarah tentang kemajuan
(progress) dan keotentikan (authenticity). Dalam wacana estetika seni
modern, sebuah karya disebut otentik bila menyiratkan adanya kemunculan
sesuatu yang baru dan keterputusannya dengan yang lama. Tanda yang
mencolok
dari prinsip estetika seni modern, mengutip Habermas dalam karyanya
Modernity: An Incomplete Project (1988), adalah prinsip "sesuatu yang
baru". Inilah prinsip yang mencerminkan kerinduan manusia modern terhadap
keindahan dan keotentikan (Piliang, 1998: 279).

Namun, sejarah kemajuan dan keotentikan seni modern, yang memang tidak
pernah membawa manusia ke batas keindahan absolut, tengah mengalami
semacam
kebekuan dalam tiga dekade terakhir ini. Ketika bidang di dalam bingkai
gambar telah dijelajahi sampai ke sudut terakhirnya, bahkan ketika seni
telah menyeberang jauh di luar bingkai seni di luar medium yang biasa, di
luar norma dan prinsip seni yang ada maka seni telah sampai pada satu
titik dimana kebaruan dalam seni tidak lagi merupakan shock of the new.
Penjelajahan artistik modernitas ke masa depan yang bersifat progresif,
utopis dan tanpa batas telah berakhir dengan sebuah jalan buntu: tidak ada
lagi daerah baru untuk dijelajahi, tak ada lagi ruang baru untuk dikuasai,
tak ada lagi kebaruan yang lebih baru.

Sementara itu realitas kebudayaan modern yang didominasi oleh budaya massa
dan budaya populer mendesakkan kesadaran yang sama akan kemajuan dan
kebaruan. Keharusan selalu beralih dari satu komoditi ke komoditi yang lain
dalam proses konsumsi merupakan manifestasi paling sederhana dari sistem
kapitalisme. Kehendak untuk selalu tampil baru, tampil menawan dan berbeda
dalam wacana budaya massa mendapatkan jawabannya dengan mekanisme
daur-ulang fashion. Dalam fashion, setiap orang merasa perlu memperbarui
dirinya setiap tahun, setiap bulan atau setiap musim, melalui barang-barang
baru. Bila ini tidak dilakukan, maka seseorang dianggap belum dapat menjadi
anggota masyarakat konsumer yang sejati. Namun, wacana semacam ini
sebenarnya bukanlah satu bentuk kemajuan, sebab fashion senantiasa berubah,
berganti-ganti, berputar dan tidak menambah apa-apa pada nilai seorang
individu. Dengan kata lain, wacana fashion adalah wacana kemajuan semu.

Dalam pandangan Adorno, seni modern kini juga tengah terseret dalam
mekanisme fashion. Dengan model daur-ulang fashion, maka seni dapat
diproduksi secara massal dan kontinyu sesuai kehendak produsen. Segala
bentuk seni, bahkan budaya, menjadi komoditi industri. Pada titik inilah
terjadi apa yang disebut Adorno sebagai proses industrialisasi budaya (the
culture industry), ketika segala sesuatu dipandang dalam kacamata komoditi,
dengan daur-ulang fashion sebagai model penciptaan produk-produk budaya
(Strinati, 1995: 61). Ketika seluruh sudut bingkai seni telah dijelajahi,
ketika tak ada lagi yang dapat dikatakan sebagai sesuatu yang baru, dan
ketika dalam penjelajahan itu yang ditemukan tak lain adalah jalan buntu,
maka yang dapat dilakukan kini hanyalah mengkombinasikan kembali dan
bermain-main dengan bentuk-bentuk seni yang sudah ada, yang sudah dibuat,
yang sudah diwariskan. Semacam dialog dengan masa lalu (Piliang, 1998:
281).

Pengembaraan estetika ke masa lalu ini pulalah yang menjadi tawaran seni
postmodern untuk menjawab kebutuhan masyarakat konsumer akan kebaruan,
penampilan dan fashion. Dalam dialog dengan masa lalu ini, setidaknya
terdapat tiga model wacana seni postmodern yang dominan yakni: model
dialogisme dan intertekstualitas, model perversitas dan abnormalitas, serta
model simulasi dan hiperrealitas (Piliang, 1998: 303-305)

Model Dialogisme dan Intertekstualitas

Istilah dialogisme adalah istilah wacana tekstual yang dikembangkan oleh


Mikhail Bakhtin, seorang pemikir Rusia, untuk menjelaskan kebergantungan
satu ungkapan dengan ungkapan-ungkapan yang telah ada sebelumnya.
Menurut
Bakhtin, Dua karya, dua ungkapan verbal, secara bersama-sama, memasuki
semacam hubungan semantik tertentu yang disebut dialogis. Hubungan dialogis
adalah hubungan-hubungan di antara semua ungkapan dalam komunikasi
verbal.
Menurut pandangan Bakhtin, tidak ada satu pun ungkapan seni yang dapat
dikatakan sebagai ekspresi murni dan asli sang seniman, yang diklaim oleh
modernisme, sebab bagaimana pun sang seniman telah menerima warisan-
warisan
yang berupa bahasa, pendidikan, fakta-fakta yang pernah diamati sebelumnya
(Piliang, 1998: 303).

Konsep yang setara dengan dialogisme Bakhtin telah digunakan untuk


menjelaskan wacana tekstual postmodernisme, seperti pengkodean berganda
Charles Jenck (double code), bricolage Dick Hebdige dan intertekstualitas
Julia Kristeva, untuk menjelaskan jaringan dialogis satu karya seni dengan
karya sebelumnya. Menurut Kristeva, teks-teks estetika seni postmodern
adalah semacam permainan dan mosaik kutipan-kutipan dari pelbagai teks masa
lalu. Kristeva menjelaskan di dalam karyanya, Desire in Language: A
Semioric Approach to Literature and Art (1979), seperti dikutip Yasraf Amir
Piliang, bahwa sebuah teks dapat disebut interteks, (atau postmodern), bila
di dalam ruang teks tersebut, terdapat beberapa ungkapan yang berasal dari
teks-teks lain, silang-sengkarut dan saling menetralisasi satu sama lain.
Karya intertekstual postmodern dengan demikian adalah tempat perlintasan
dari satu sistem tanda ke sistem tanda lainnya (Piliang, 1998: 304).

Sementara itu bersamaan dengan berkembangnya media massa dan komoditi


massa, maka sesungguhnya secara ideologis telah terjadi semacam pertarungan
antara nilai dan makna-makna ideologis yang dibawa oleh media massa
tersebut dengan nilai dan makna-makna tradisional. Sifat-sifat tontonan,
kesenangan dan penampakan pada media massa dan komoditi, dalam beberapa
sisi telah mengendurkan nilai dan makna moralitas, tabu, spiritual,
adat-istiadat dan mitologis. Dalam kerangka seperti inilah muncul model
wacana seni perversitas dan abnormalitas.
Model Perversitas dan Abnormalitas

Istilah perversi, sebenarnya berasal dari wacana seksualitas. Louise J.


Kaplan, dalam bukunya Female Perversion (1991), menggunakan istilah
perversi untuk menjelaskan fenomena penyimpangan dari norma dan praktek
seksual yang normal, misalnya homoseksual, masokisme, sadisme, dan
sebagainya. Namun dewasa ini di Barat istilah ini juga digunakan untuk
menjelaskan fenomena estetik, khususnya seni postmodern. Kaplan
menjelaskan
bahwa tindak-tanduk yang tipikal disebut perversi adalah berupa
pengembangan skenario di dalam gaya, tata cara dan penggunaan benda-benda
yang mengelabuhi orang yang melihat yang nyata atau yang imajinatif
tentang makna yang sebenarnya dari tidak-tanduk tersebut (Piliang, 1998:
305).

Prinsip perversi dalam wacana seksual ini ternyata berkembang dalam model
yang serupa di dalam dunia seni, yakni dalam bentuk prinsip abnormalitas.
Di dalam ruang perversi-abnormalitas seni, pemutarbalikan bahasa,
pembajakan tanda, pembalikan norma, pelanggaran tabu, penopengan makna,
menjadi seakan-akan normal disebabkan absennya hukum atau kode-kode yang
ada. Di dalam estetika perversi-abnormalitas, perusakan kode-kode yang ada
sedikit berbeda dengan surealisme adalah melalui pembajakan,
penyalahgunaan, atau penopengan tanda. Di dalam ruang perversi, dunia seni
ditandai oleh objek-objek semu, seolah-olah, atau palsu: feminin palsu,
seolah-olah klasik, maskulin semu objek-objek yang disebut sebagai
objek-objek postmodern.

Model Simulasi dan Hiperrealitas

Model wacana seni simulasi dan hiperrealitas merupakan penjabaran pemikiran


Baudrillard tentang karakteristik kebudayaan postmodern. Menurut
Baudrillard, bersamaan dengan perkembangan kapitalisme lanjut yang pesat,
penemuan pelbagai sarana teknologi informasi dan komunikasi yang canggih,
berkembangnya budaya massa dan budaya populer, serta meluruhnya nilai dan
paradigma modernisme, realitas kebudayaan kini tengah menuju ke ambang era
postmodern, yang ditandai dengan fenomena-fenomena simulasi, simulacra,
hiperrealitas, dominasi nilai-tanda dan nilai-simbol serta prinsip
komunikasi bujuk-rayu (seduction). Dalam realitas seperti inilah lahir
model wacana seni simulasi dan hiperrealitas. Baudrillard menggambarkan
realitas estetika postmodern ini sebagai: ekstasi, kecabulan, transparansi,
fatal, fraktal, teror, keterpesonaan, dan hiperrealitas-simulasi.
Baudrillard sendiri mulai memberikan pengaruhnya dalam dunia seni, estetika
dan kebudayaan setidaknya semenjak tahun 1980-an. Pada tahun-tahun itulah
ia kerap banyak dibicarakan oleh kelompok-kelompok seniman, praktisi media
massa dan studio seni yang mencoba mengadopsi gagasan-gagasannya ke
dalam
karya-karya mereka. Pelukis, pematung, para seniman performance arts,
mulai dari Peter Halley, Sherrie Levine, Jenny Holzer, Ashley Bickerton,
sampai Jeff Koons, Haim Steinbach, Simon Linke, Robert Longo dan Barbara
Kruger adalah sederet nama-nama yang mencoba mengekspresikan pemikiran
kritis Baudrillard ke dalam wilayah seni (Kellner, 1994: 210). Peter Halley
misalnya, dengan dua karyanya yang memanfaatkan aliran listrik, sel dan
sirkuit simulasi, Blue Cell with Triple Conduit (1986) dan Two Cells with
Organizing Conduit (1986), merupakan manifestasi prinsip simulasi
Baudrillard. Sementara Jeff Koons dengan karya-karya duplikasi objek-objek
kitsch, seperti Jim Beam J.B. Turner Train (1986) atau Bear and Policeman
(1988), menyepakati gagasan strategi fatalistik dan realitas transparan
Baudrillard. Dalam salah satu resensi lukisan Simon Linke, Suzi Gablik
seorang kritikus seni misalnya, mencatat keterkaitan pemikiran Baudrillard
dengan perkembangan seni postmodern di tahun 1980-an tersebut,

With Simon Linkes paintings of commercial gallery advertisements copied


straight from the pages of Artforum, we cannot really know if this is
radical criticism or inspired clowning. Declaring its pointlessness openly,
his art baits us with its indifference; the artist openly adopts the
posture of a chariation, a short of trickster who is not going to get us
out of the mess were in, but who will engage in the only legitimate
cultural practice possible for our time, which is, in the words of
Baudrillard, the chance, the labyrinthine, manipulatory play of signs
without meaning (Gablik, 1988: 27).

(Dengan lukisan iklan galeri komersial karya Simon Linke yang dikopi
langsung dari halaman majalah Artforum, kita kini tidak lagi tahu apakah
ini sebentuk kritisisme radikal ataukah sekedar kloning yang mencerahkan.
Dinyatakan dengan sifat keterbukaannya yang tanpa batas, karyanya memikat
kita dengan aura keacuhannya; sang seniman secara terbuka mengadopsi
gaya-sikap keculasan, semacam proses yang tidak hendak membawa kita keluar
dari tempat dimana kita berada, namun menikmati praktek-praktek budaya yang
mungkin bagi zaman kita, yang dalam kata-kata Baudrillard, "adalah semacam
kesempatan, semacam labirin, permainan manipulasi tanda tanpa makna").

Dalam karya Simon Linke, pemikiran Baudrillard tentang lenyapnya semua


acuan dan referensi diadopsi secara langsung sebagai kosakata kunci dunia
seni kontemporer (Kellner, 1994: 210).

Terdapat dua esai yang secara eksplisit membahas seni dan praktek-praktek
dalam dunia seni yang ditulis Baudrillard dalam karyanya For a Critique of
The Political Economy of The Sign (1981). Esai yang pertama, Gesture and
Signature: The Semiurgy of Contemporary Art, memaparkan bagaimana seni
bekerja sebagaimana bentuk-bentuk gaya yang unik menggunakan nilai-tanda
yang diterjemahkan dalam seni baik secara komersial maupun semiotik.
Sementara seni modern berhasrat menjadi sesuatu yang baru menentang
bentuk-bentuk seni yang sudah ada, papar Baudrillard, saat ini seni tidak
lagi dituntut untuk mengambil peran demikian. Seni bukan lagi ungkapan
radikal penciptaan bebas dalam bentuk karya-karya kreatif. Saat ini, seni
tak lebih dari sekedar variasi, dari gaya, isyarat dan tema-tema yang
berbeda yang mendapatkan maknanya, nilai-nilainya dan identitasnya dari
pengulangan produk-produk seni itu sendiri (Baudrillard, 1981: 110). Dalam
esai yang kedua, The Art Auction: Sign Exchange and Sumptuary Value,
Baurillard memaparkan bagaimana kompetisi percepatan dan kemewahan dalam
dunia seni telah mengubah ekonomi politik nilai dengan menciptakan ekonomi
nilai-nilai kemewahan. Penguasaan proses pertandaan dalam aktivitas lelang
seni, menurut Baudrillard mengakibatkan dominasi pemaknaan nilai seni oleh
sekelompok kelas yang dominan terhadap kelas yang lain. Bagi Baudrillard,
hal ini merupakan awal merebaknya nilai-tanda dan nilai-simbol dalam
bentuk nilai kemewahan dalam dunia seni dewasa ini (Baudrillard, 1981:
117).

Model wacana seni simulasi dibangun oleh model-model produksi dan


reproduksi dari pelbagai macam tanda, citra dan kode seni. Sementara
hiperrealitas adalah kondisi atau pengalaman kebendaan, yang merupakan
konsekuensi logis prinsip simulasi. Awal dari era hiperrealitas ditandai
dengan bangkrutnya makna, pertanda dan realitas, yang diambil alih oleh
permainan bebas penanda. Dunia hiperrealitas adalah dunia yang disarati
oleh silih bergantinya reproduksi apa yang disebut Baudrillard sebagai
simulacra objek-objek yang tak memiliki referensi sosial, objek-objek yang
dibuat di atas kerangka meleburnya realitas dengan fantasi, fiksi,
halusinasi dan nostalgia, sehingga perbedaan satu sama lainnya sulit
diketahui. Reproduksi nostalgia mencerminkan kepanikan era postmodern
disebabkan tanda dan realitas yang hilang, sebagai akibat dari kondisi
modernitas yang menjadikan manusia teralienasi dari akar kebudayaannya
sendiri. Umberto Eco, dalam karyanya Travels in Hyperreality (1973),
menyatakan bahwa untuk memahami masa lalu kita harus memiliki di depan
mata
kita sesuatu yang sedekat mungkin menyerupai model-model asli. Inilah yang
menurut istilah semiotik disebut sebagai model yang menjadi modus operandi
dalam wacana estetik postmodernisme.

Wacana estetika postmodern, lebih jauh menurut Baudrillard, kini tak lebih
sebagai sebuah wacana, di mana realitas telah kehilangan dimensi
rahasianya; sebatang tubuh telah kehilangan dimensi seksualnya: sebuah
informasi telah kehilangan dimensi maknanya; dan sebuah karya seni telah
kehilangan dimensi auranya. Segala wacana termasuk wacana seni kini
tengah berupaya mencari jalannya sendiri-sendiri untuk menghindarkan diri
dari dialektika makna, dari dialektika komunikasi dan proses sosialisasi.
Wacana estetik seni kini menceburkan dirinya ke dalam hutan rimba
citra-citra dan tanda-tanda yang tanpa batas, dengan cara menghancurkan
makna-makna, mengikuti batas ekstrimnya, atau dengan menyajikan
dimensi-dimensi yang selama ini tabu, kecabulan dan imoralitasnya. Estetika
dalam wacana postmodern tidak lagi membedakan mana yang indah, mana
yang
jelek; mana yang bermoral, mana yang amoral. Secara ekstrim, dapat
dikatakan bahwa wacana estetika postmodern kini justru mencari yang
terjelek diantara yang jelek. Estetika postmodern juga tidak lagi
membedakan mana yang kelihatan, mana yang tersembunyi. Estetika
postmodern
mencari yang lebih tersembunyi diantara yang paling tersembunyi
(Baudrillard, 1988: 185).

Dalam kaitannya dengan model wacana seni postmodern inilah pada gilirannya
berkembang bahasa estetik postmodernisme yang khas dan unik. Bahasa
estetika seni postmodern yang tampil dalam tanda-tanda dan makna-makna
seni bersifat tidak stabil, mendua dan plural, disebabkan oleh
diutamakannya permainan tanda, keterpesonaan pada penampakan dan
diferensiasi, ketimbang makna-makna ideologis yang bersifat stabil dan
abadi. Berikut ini akan dipaparkan beberapa bentuk bahasa estetika seni
postmodernisme yang dominan dalam praktek-praktek penciptaan karya seni
dewasa ini (Piliang, 1998: 307).

Pastiche. Pastiche adalah karya sastra, seni atau arsitektur yang disusun
dari elemen-elemen yang dipinjam dari pelbagai sumber, pengarang, seniman,
atau arsitek dari masa lalu. Sebagai karya yang mengandung unsur-unsur
pinjaman, pastiche mempunyai konotasi negatif sebagai praktek penciptaan
yang miskin orisinalitas. Pastiche adalah salah satu bentuk imitasi yang
tanpa beban kritik. Pastiche mengimitasi karya masa lalu dalam kerangka
menghargai dan mengapresiasinya. Menurut Linda Hutcheon, pastiche adalah
satu bentuk imitasi murni, tanpa pretensi politis seperti parodi. Pastiche
mengambil pelbagai gaya dan bentuk dari pelbagai keping sejarah, mencabut
dari semangat zamannya dan menempatkannya dalam konteks masa kini.
Pastiche, mengutip Baudrillard, adalah titik balik sejarah. Sementara
Fredrich Jameson secara metaforis menyebut pastiche sebagai penggunaan
topeng sejarah, pengungkapan dalam bahasa yang telah mati. Pastiche adalah
perang menentang kemajuan dan sejarah, sebab sejarah tak dapat diulangi
namun sejarah harus dibuat.

Parodi. Parodi adalah sebuah komposisi dalam karya sastra, seni atau
arsitektur yang di dalamnya kecenderungan pemikiran dan ungkapan khas
dalam
diri seorang pengarang, seniman atau arsitektur, atau gaya tertentu
diimitasi sedemikian rupa untuk membuatnya bersifat humoristik atau bahkan
absurd. Efek-efek kelucuan atau absurditas biasanya dihasilkan dari
distorsi atau plesetan ungkapan yang ada. Peniruan ini bersifat ironis dan
kritis, bahkan bermuatan politis dan ideologis. Parodi merupakan sebuah
relasi bentuk atau struktur antara dua teks. Sebuah teks baru dihasilkan
dalam kaitan politisnya dengan teks rujukan yang bersifat serius. Parodi,
menurut Mikhel Bakhtin, merupakan satu bentuk dialogisme tekstual, yaitu
dua teks atau lebih bertemu dan berinteraksi satu sama lain dalam bentuk
dialog: debat, kritik, humor. Dengan demikian, parodi selalu mengambil
keuntungan dari bentuk, gaya atau karya yang menjadi sasarannya
(kelemahannya, kekurangannya, keseriusannya atau kemasyhurannya). Sebagai
satu bentuk wacana, parodi juga selalu memperalat wacana pihak lain. Parodi
dalam postmodernisme, mengutip Linda Hutcheon, merupakan suatu wacana
untuk
mempertanyakan kembali subjek pencipta sebagai satu-satunya sumber makna.
Ia menyiratkan suatu upaya dialog dengan sejarah dan membangun masa kini
dengan merujuk pada seperangkat tanda dengan pretensi ideologis. Hutcheon
menyebut bentuk wacana intertekstual seni semacam ini sebagai neologism
atau transkontekstualism.

Kitsch. Kitsch berakar dari bahasa Jerman verkitschen (membuat jadi


murahan) dan kitschen, yang secara literal berarti memungut sampah dari
jalan. Oleh sebab itu, istilah kitsch sering ditafsirkan sebagai sampah
artistik, atau sering juga didefinisikan sebagai selera rendah (bad taste).
Di dalam The Concise Oxford Dictionary of Literary Terms (1990), kitsch
didefinisikan sebagai segala jenis seni palsu (pseudo art) yang murahan dan
tanpa selera. Kitsch dikatakan sebagai selera rendah disebabkan lemahnya
ukuran atau kriteria estetik, meskipun kriteria ini berbeda dari satu zaman
dan tempat ke zaman dan tempat lainnya. Strategi kitsch adalah mensimulasi
dan mengkopi elemen-elemen gaya dari seni tinggi atau sebaliknya dari objek
sehari-hari untuk kepentingannya sendiri, yang produksinya didasarkan pada
semangat memassakan atau mendemitologisasi seni tinggi. Menurut Greenberg,
keberadaan kitsch pada awalnya memang sangat didorong oleh semangat
reproduksi, sebagai akibat berkembangnya teknologi produksi, konsumsi, dan
komunikasi massa. Kitsch menggunakan kebanalan dan produk konsumer
sebagai
bahan baku reproduksi ikonik seni. Kitsch mengimitasi bentuk, gaya, atau
objek untuk tujuan dan fungsi palsu (misal, jam meja berbentuk gitar), atau
reproduksi ikonis (misal, arsitektur toko berbentuk sepatu). Dalam seni
postmodern, kitsch menjadi salah satu kategori bahasa estetik yang sangat
dominan, sehingga postmodernisme, dalam pengertiannya yang lebih luas,
sering diidentifikasikan dengan kitsch. Hal ini karena postmodernisme
sering dikatakan miskin akan kriteria estetik, makna dan orisinalitas. Oleh
Hal Foster, estetika postmodernisme bahkan disebut sebagai anti-estetika.
Camp. Meskipun sering dikelirukan dengan kitsch, camp berbeda sekali dengan
kitsch. Camp bukanlah selera rendah atau sampah artistik, melainkan satu
model estetisisme bukan dalam pengertian keindahan, akan tetapi dalam
pengertian keartifisialan dan penggayaan (stylization) yang mencirikannya.
Camp sering menekankan dekorasi, tekstur, permukaan sensual dan gaya,
dengan mengorbankan isi. Camp anti alam. Objek-objek manusia, binatang atau
tumbuhan kerap kali digunakan, namun secara ekstrim dibuat lebih kurus,
ramping, jangkung atau gendut. Camp juga menolak pembedaan seksual dan
merayakan bentuk androgini dan perversi, yakni peleburan gaya dan citra
seksual yang tak jelas rujukannya. Camp dicirikan oleh upaya-upaya
melakukan sesuatu yang luar biasa, dengan pengertian ingin menjadi
berlebihan, spesial, atau glamour. Camp menjadikan prinsip artifisialitas
sebagai ideal proses penciptaan seni. Camp dengan kata lain, adalah suatu
bentuk dandyism dan karenanya menjunjung tinggi kevulgaran.

Schizophrenia. Jacques Lacan, seorang ahli psikoanalisis, mendefinisikan


skizofrenia sebagai fenomena terputusnya rantai pertandaan, yaitu rangkaian
sintagmatik penanda yang bertautan dan membentuk satu ungkapan atau
makna.
Bagi seorang skizofrenik, semua kata atau penanda dapat digunakan untuk
menyatakan satu konsep atau petanda. Dengan perkataan lain, konsep atau
petanda tidak dikaitkan dengan penanda dengan cara yang stabil. Dengan
demikian, persimpangsiuran kata atau penanda untuk menyatakan satu konsep
dimungkinkan. Lebih lanjut, berdasarkan teori psikoanalisis Lacan, bila
kita tidak mampu membedakan antara tensis masa lalu, masa kini dan masa
depan dalam bahasa disebabkan adanya gangguan pertandaan maka kita juga
tidak dapat membedakan antara masa lalu, masa kini dan masa depan dalam
pengalaman kehidupan psikis kita. Kekacauan pertandaan selain dalam
kalimat juga terjadi dalam gambar, teks atau objek-objek seni. Bahasa
estetika skizofrenik, dengan demikian ditandai oleh kekacauan dan silang
sengkarut pelbagai tanda, tumpang-tindihnya masa lalu, masa kini dan masa
depan dalam satu ruang seni yang sama.

C. Membaca Film, Televisi dan Iklan

1. Membaca Film

There is no more fiction that life could possibly confront (Baudrillard,


1983: 148),

(Tidak ada lagi fiksi yang dapat dibedakan dengan kenyataan)


Film merupakan salah satu pilar bangunan estetika postmodern selain
televisi dan media seni lainnya. Melalui film, prinsip dan nilai estetika,
teori dan keyakinan kebudayaan postmodern tampil secara utuh sekaligus
memikat. Lewat film, prinsip-prinsip kebudayaan postmodern dapat dibaca
dengan mudah. Lewat film pula paradigma kebudayaan postmodern ditebar ke
seluruh penjuru dunia. Sebagai produk budaya massa, film merangkum dalam
dirinya kemampuan menjelajah setiap sudut dan ruang yang ada, menciptakan
ruang estetika seni tersendiri dan menanamkan pelbagai nilai dan pandangan
hidup. Film adalah komoditi, seni dan sekaligus ideologi.

Dalam kerangka seperti inilah film postmodern mendapatkan dirinya. Film


postmodern adalah komoditi, seni dan sekaligus juga ideologi, yakni
ideologi postmodernisme. Sebagai komoditi, film postmodern merupakan bagian
dari budaya massa dan budaya populer yang disodorkan oleh kapitalisme. Film
adalah tidak semata karya seni, namun juga komoditi barang dagangan yang
sama dengan komoditi lainnya, ditujukan untuk mengeruk keuntungan
sebesar-besarnya. Sebagai produk seni, film adalah hasil cipta dan
kreatifitas seniman yang ditampilkan dalam bentuk gambar dan citra-citra
bergerak. Film postmodern bergumul dengan pelbagai prinsip, teori dan
model-model estetika seni postmodern yang ada untuk digunakan sebagai media
kreatifitas. Sebagai karya seni, film postmodern mencoba menjelajah
ruang-ruang kreatifitas estetik baru yang masih tersisa. Sementara sebagai
ideologi, film postmodern tampil untuk menyuarakan prinsip-prinsip,
nilai-nilai dan keyakinan wacana postmodernisme. Dengan peran demikian,
film postmodern membawakan ciri-ciri dan karakteristik yang berbeda dengan
film-film di era modernisme.

Dalam salah satu bagian dalam bukunya, An Introduction to Theories of


Popular Culture (1995), Dominic Strinati menyatakan bahwa salah satu
karakter menonjol film-film postmodern adalah sifatnya yang mengedepankan
penampakan, tampilan gambar-suara, citra-citra, gaya dan teknik-teknik
khusus (special effects), ketimbang materi cerita, karakterisasi, alur
narasi atau pun realitas sosial (Strinati, 1995: 229). Dibaca dari
perspektif ini, film-film postmodern seolah menyuarakan pergeseran prinsip
ekonomi politik seperti dikemukakan Baudrillard. Merujuk Baudrillard, dalam
realitas kebudayaan dewasa ini prinsip nilai-guna dan nilai-tukar telah
digantikan kedudukannya oleh nilai-tanda dan nilai-simbol. Penampakan,
penampilan, simbol status, citra-citra dan tanda lebih utama ketimbang
makna, isi dan kedalaman. Film postmodern, berbeda dengan film-film modern,
tidak lagi berpretensi menemukan makna-makna, ataupun merefleksikan kondisi
sosial, melalui cerita, penokohan ataupun narasinya. Daripada bersikap
heroik demikian, film postmodern memilih untuk sekedar bermain-main dengan
gaya-gaya, citra-citra, media dan tanda-tanda yang ada. Film postmodern
secara sadar mengeksploitasi kemungkinan-kemungkinan penjelajahan estetik
sebagai kekuatan dan daya tariknya. Di satu sisi, film-film postmodern
sadar akan kedudukannya sebagai komoditi, yang tak lebih dari barang
dagangan, yang menuntutnya untuk memenuhi kebutuhan hukum kapitalisme
akan
keuntungan. Namun di sisi lain, film-film postmodern sekaligus ingin
membuka cakrawala estetika baru dengan memanfaatkan kesempatan yang
diberikan untuk bereksperimen. Gema pemikiran postmodern Baudrillard
tentang dominannya nilai-tanda dan nilai-simbol ini misalnya dapat
ditemukan pada film-film seperti Dick Tracey (1990) ataupun Batman (1993).
Diangkat dari cerita komik, kedua film ini secara jelas mengedepankan
prinsip penampakan ketimbang materi cerita, gaya dan citra-citra ketimbang
makna dan realitas sosial. Film Dick Tracey dan Batman menampilkan realitas
komik dalam film hero-detektif tahun 1940-an melalui karakterisasi
non-human, futuristic-setting, pencahayaan yang berlebih dan vulgar,
special effects yang dahsyat, musik populer dan pengaturan alur cerita yang
sederhana. Film dalam pengertian ini, menjadi tak lebih sebatas hiburan.
Makna, kedalaman dan realitas sosial sama sekali tak lagi diperhitungkan.

Film-film postmodern juga dicirikan oleh sifatnya yang mengaburkan, bahkan


mencampur-baurkan, batas-batas antara realitas dan imajinasi, fakta dan
fiksi, produksi dan reproduksi, serta masa lalu, masa kini dan masa depan.
Film postmodern adalah juga silang-sengkarut berbagai hal: moralitas, seni,
teknologi, special effect, fantasi, kekerasan, pornografi, nilai-nilai
agama, impian, misteri pembunuhan, komedi, tragedi serta bahkan surealisme
dalam satu ruang yang sama. Ia dengan demikian bersifat multi-narasi,
multi-tema dan diskontinyu. Film postmodern, dalam pengertian ini menjadi
semacam representasi dunia simulacra dan simulasi dalam terminologi
Baudrillard, yakni sebuah dunia buatan dimana realitas dibentuk,
direkayasa, dan kehilangan segala referensi realitas yang sebenarnya.
Melalui film postmodern, kini There is no more fiction that life could
possibly confront (Baudrillard, 1983: 148). Tidak ada lagi fiksi yang dapat
dibedakan dengan kenyataan. Film-film seperti Back to The Future (1990),
yang mengaburkan dan mencampur-baurkan batas-batas masa lalu, masa kini
dan
masa depan; Blade Runner (1982), yang menggunakan ikon dan tanda dari
beberapa masa yang berbeda, serta mencampuradukkan arsitektur dua abad
yang
berbeda: abad ke-21 M dan abad ke-18 M; Pulp Fiction (1992), yang
mengeksplorasi tema, narasi dan setting diskontinuitas tiga cerita berbeda
yang disatukan; Blue Velvet (1987), yang menjumbuhkan moralitas
(nilai-nilai agama dan tradisi) dan kecabulan (adegan sado-masochism,
homoseksual), kekerasan (adegan pemotongan telinga) dan kedamaian (setting
kota kecil Lumberton) dalam satu cerita (Denzin, 1988: 461), adalah
beberapa contoh film yang menyuarakan prinsip simulacra dan simulasi
postmodernisme.

Sementara itu, film-film postmodern juga ditandai oleh keinginannya untuk


mengeksploitasi tanda-tanda dan ikon-ikon budaya populer. Kartun, komik,
cerita fiksi-ilmiah, cerita petualangan, musik pop, gaya fashion dan iklan
menjadi sumber inspirasi kreatif yang dominan (Strinati, 1995: 230). Lebih
jauh, film-film yang memanfaatkan tanda-tanda budaya populer ini
berkehendak untuk nampak seolah lebih nyata ketimbang realitas yang
sebenarnya. Inilah sebuah dunia hiperrealitas, dalam pandangan Baudrillard.
Film-film seperti Who Framed Roger Rabbit ? (1986), yang menyatukan dua
genre yang berbeda film kartun dan film detektif manusia dalam satu film;
Indiana Jones (1989), yang mengeksploitasi cerita aksi-petualangan; atau
film komik-kartun Beauty and The Beast (1994), yang mengisahkan romantisme
percintaan, secara jelas merujuk tanda-tanda budaya populer sebagai acuan
realitas baru, yang bahkan nampak lebih nyata dibanding realitas
sebenarnya. Dengan tokoh-tokoh dalam film-film tersebut, kita dibuat lupa
bahwa tokoh-tokoh itu hanyalah fiktif belaka.

Merujuk Baudrillard, film-film postmodern juga mencoba menampilkan hal-hal


yang sebelumnya tabu ditampilkan. Kecabulan dalam realitas seksual,
kekerasan dalam realitas sosial dan kesenangan dalam realitas budaya, kini
dipertontonkan secara terbuka (Baudrillard, 1988: 51). Selanjutnya melalui
model-model estetika seni postmodern, film-film postmodern semakin
mendapatkan ruang penjelajahan yang lebih luas. Prinsip-prinsip pastiche,
kitsch, parodi, camp dan skizofrenia secara sadar dieksploitasi sampai pada
titik yang terjauh. Pada titik ini, film-film postmodern tak ubahnya
seperti sebuah tamasya di antara puing-puing masa lalu dan permainan
pelbagai mosaik sumber seni dan imajinasi yang bisa dijangkau manusia.

Membaca film postmodernisme, dengan demikian berarti bersiap memasuki


dunia
yang tak lagi punya referensi, carut-marut, silang-simulang dan campur-baur
antara pelbagai citra, tanda dan tema sebuah dunia permainan dan imajinasi
dalam batasannya yang terjauh. Film postmodern adalah ruang dimana segala
prinsip realitas dan kebenaran modernisme kini dirongrong, digugat dan
bahkan ditolak. Yang diimpikan kini semata-mata hanyalah terpenuhinya
hasrat bereksperimentasi, mengeksploitasi, memanipulasi dan memenuhi
ruang-ruang imajinasi manusia dengan segala yang dapat dibayangkan,
betapapun absurdnya. Tepat seperti ungkapan Norman Denzin, dalam salah satu
kritik filmnya, Blue Velvet (1986), dalam jurnal Theory, Culture and
Society (1988),

It seems that postmodern individuals want films like Blue Velvet for in
them they can have their sex, their myths, their violence and their
politics, all at the same time (Denzin, 1988: 472).

(Nampaklah bahwa individu-individu postmodern menginginkan film seperti


Blue Velvet karena dengan film itu mereka bisa mendapatkan hasrat seks
mereka, impian-impian mereka, kekerasan dan keyakinan politik mereka,
semuanya pada saat yang sama).
2. Membaca Televisi

Television is the world (Baudrillard, 1987: 32).

(Televisi adalah dunia)

Dalam derap gemuruh budaya massa dan budaya populer dewasa ini tak ayal
televisi adalah artefak simbolis postmodernisme paling representatif dan
berpengaruh. Televisi memuat segala karakter dunia postmodernisme:
reproduksi, manipulasi, simulasi, simulacra, bujuk-rayu (seduction) dan
hiperrealitas, dalam penampilannya yang paling menawan dan menggiurkan.
Televisi sekaligus menjadi ruang praksis meleburnya berbagai macam tanda,
citra, impian dan kenyataan. Dalam televisi, realitas dikemas dan dijadikan
komoditi (tontotan), ruang dan waktu dilipat dalam satu dimensi (kekinian),
serta etika dan moralitas dibaurkan dengan kecabulan dan brutalitas: sebuah
dunia postmodern. Mengutip Bryan S. Turner,

Television is the real world of postmodern culture which has entertainment


as its ideology, the spectacle as the emblematic sign of the commodity
form, lifestyle advertising as popular psychology pure, empty seriality as
the bond which unites the simulacrum of the audience, electronic images as
its most dynamic, and only, form of social cohesion, elite media politics
as its ideological formula, the buying and selling of abstracted attention
as the locus of its marketplace rationale, cynicism as its dominant
cultural sign, and the difussion of network of relational power as its real
product (Turner, 1990: 169).

(Televisi adalah dunia yang sebenarnya dari kebudayaan postmodern, dengan


hiburan sebagai ideologinya, tontonan sebagai tanda emblematik
komoditasnya, iklan gaya hidup sebagai psikologi populernya, tayangan
serial yang kosong sebagai pengikat yang menyatukan simulacrum para
penontonnya, citra-citra elektronik sebagai sifatnya yang paling dinamis,
dan wujud ikatan sosial, media politik tingkat tinggi sebagai formula
ideologisnya, aktivitas jual-beli abstrak sebagai dasar rasionalitas
pasarnya, sinisme sebagai tanda budayanya yang dominan, dan penyebaran
jaringan kekuasaan yang saling berhubungan sebagai produknya yang utama).

Dunia televisi, seperti diungkapkan Baudrillard, menjadi sebuah dunia


dimana realitas dan pelbagai hal melebur, dan segalanya dilipat dalam
sebidang kotak layar kaca. Lebih dari era-era sebelumnya, televisi kini
mampu menghadirkan informasi, hiburan dan mimpi pada saat yang sama
secara
seketika. Perang di wilayah Teluk Persia, kampanye presiden Amerika,
demonstrasi mahasiswa di Jakarta, kelaparan dan bencana alam di Sudan,
bertubrukan dengan tayangan opera sabun Dallas, konser musik Madonna, film
kartun Mickey Mouse dan talk show Oprah Winfrey, dan semuanya kini dapat
dinikmati pada saat yang sama hanya dengan menekan tombol remote control.

Dalam bukunya Simulations (1983) dan The Ecstasy of Communication (1987),


Baudrillard mengelaborasi karakter postmodern televisi dalam kerangka
masyarakat konsumer yang digerakkan oleh kapitalisme lanjut. Menurutnya,
kisah penemuan televisi bukanlah sekedar cerita tentang revolusi
demokratisasi informasi dan hiburan, namun lebih dari itu televisi telah
menciptakan revolusi pemahaman tentang dunia secara radikal (Baudrillard,
1987: 33). Dalam arus kapitalisme lanjut yang dikejar prinsip kemajuan,
kebaruan, percepatan dan perbedaan (diferensiasi), segala sesuatu didaulat
sebagai komoditi. Namun komoditi disini tidaklah semata barang dagangan.
Komoditi dalam masyarakat konsumer adalah juga representasi citra diri
konsumen. Identitas, gaya hidup, prestise, impian, semuanya menjadi bagian
tak terpisahkan dari sebuah komoditi. Untuk itu, ideologi kapitalisme
merasa perlu menyusun strategi pembentukan konsep citra diri semu ini
secara sempurna, sekaligus menawan. Dan televisi, dengan kemampuan
teknologisnya, merupakan ruang yang dipilih untuk menancapkan nilai-nilai
semu tersebut.

Dalam ruang semu televisi dengan tayangan berkedok informasi dan hiburan
penonton tidak lagi sadar bahwa dirinya tengah menjadi objek indoktrinasi.
Bahkan, proses indoktrinasi nilai, tema dan identitas diri itu sendiri
dirasakan dan dialami sebagai sebuah kenikmatan. Sifat simulasi dalam media
televisi telah mampu menyuntikkan makna-makna yang seolah-olah ada pada
pada kehidupan nyata, meskipun sebenarnya hanyalah sebuah fantasi, sebuah
realisme semu. Film, berita, telenovela, videoclip, iklan, tayangan
olahraga, talk show ataupun tayangan kesenian tradisional, dialami sebagai
tontonan yang semata untuk dinikmati tanpa harus bersusah payah berpikir
kritis. Dalam ruang semu televisi, penonton seolah didaulat sebagai subjek
otonom yang dapat memilih, memindah atau menyeleksi suguhan apa yang akan
ditontonnya. Ia dapat memindah-memindah dan menciptakan realitas dari
tayangan yang satu ke tayangan yang lain tanpa adanya referensi tunggal
yang saling berkaitan. Dari berita politik tentang Pemilu di Rusia, ke
telenovela Meksiko, berpindah lagi ke film drama Inggris yang bersetting
abad ke-18 M, kemudian ke tayangan videoclip Michael Jackson, lalu
kelaparan di Irian Jaya dan seterusnya. Ruang dan waktu seolah terlipat
dalam sebuah kotak kaca yang bernama televisi. Sifat fragmentasi dalam
dunia semu televisi inilah dunia yang terpotong-potong, pendek-pendek,
berubah dan berpindah yang menjadikan para penontonnya terbuai oleh mitos
tentang subjek yang otonom. Padahal, menurut Baudrillard, semua ini
hanyalah mistifikasi yang dijejalkan ideologi kapitalisme demi produksi dan
konsumsi. Kebenaran yang sesungguhnya, bahwa pilihan dan otonomi penonton
televisi sebenarnya tak lebih dari pilihan semu. Otonomi yang dibatasi dan
diatur oleh pilihan yang sudah ada (Baudrillard, 1987: 16). Penonton, dalam
wacana televisi, tak lebih dari objek mengalirnya berbagai fakta, citra,
impian dan fantasi, tanpa memiliki jati diri yang hakiki, sebuah terminal
pelbagai jaringan tanda-tanda.

Dalam wacana televisi, penonton dengan demikian tak lebih dari sekumpulan
mayoritas yang diam (Baudrillard, 1983: 19). Itulah mengapa tayangan siaran
langsung sepakbola misalnya, tetap ditunggu dan ditonton meskipun harus
menunggu hingga tengah malam. Menurut Baudrillard, hal ini karena televisi
samasekali tidak berpretensi menawarkan makna luhur atau transenden,
kecuali ecstasy dan kedangkalan ritual. Dalam tayangan sepakbola, yang
dicari bukanlah makna, melainkan fetishisme bintang, fetishisme gol atau
fetishisme kostum. Lebih jauh, tontonan televisi yang berkarakter simulasi
dan hiperrealitas dengan kemampuan menyuguhkan simulacrum kekerasan,
kriminalitas dan seksualitas yang bahkan lebih keras, lebih kriminal dan
lebih seksual dari yang dapat dibayangkan akal sehat telah membentuk
penonton-penonton yang lebih banyak hidup dalam kepanikan massal, yang
semakin menjauhkannya dari makna-makna luhur (Piliang, 1998: 237). Itulah
kepanikan seks (misal, film Gigolo and The Murder), kepanikan uang (misal,
kasus mega-korupsi Bapindo), kepanikan ekstase (misal, merebaknya pil
ecstasy) (Pilliang, 1998: 202). Massa yang panik ini menyerap segala energi
sosial, akan tetapi tak mampu merefleksikannya kembali. Khalayak penonton
televisi menyerap setiap tanda dan makna, akan tetapi tak mampu lagi
memantulkannya. Mereka menyerap semuanya dan hanya mampu
memamahnya
mentah-mentah. Dengan bahasanya yang khas Baudrillard menyatakan,

By dint of meaning, information, and transparence our societies have passed


beyond the limit point, that of permanent ecstasy: the ecstasy of the
social (the masses), the body (obesity), sex (obscenity), violence
(terror), and information (simulation) (Baudrillard, 1987: 82).

(Dengan desakan makna, informasi dan transparasi, masyarakat kita telah


melampaui ambang batas, menjuju keadaan ekstasi permanen: ekstasi sosial
(massa), ekstasi tubuh (kegemukan), ekstasi seks (kecabulan), ekstasi
kekerasan (teror), serta ekstasi informasi (simulasi).

Kehadiran televisi pada gilirannya menjadi sebuah mekanisme kontrol sosial


yang ampuh. Televisi memiliki satu kekuasaan untuk mengontrol dan
memastikan bahwa massa penontonnya dapat diatur jadwal aktivitasnya
(misal, bila ingin menonton acara sepakbola dini hari, maka tidurlah di
siang harinya), bahwa mereka tidak lagi dapat bercengkerama satu sama lain
seakrab dahulu, karena massa penonton terisolasi dalam wacana yang tanpa
respon (Piliang, 1998: 237). Dalam pengertian ini, sifat totalitas televisi
telah menjadikannya sebagai suatu bentuk kekuasaan baru dalam suatu
komunitas. Kini, bukan lagi televisi yang menjadi cermin masyarakat,
melainkan sebaliknya masyarakatlah yang menjadi cermin televisi.
Citra-citra yang ditawarkan televisi telah membentuk ketidaksadaran massal,
bahwa telah terjadi pembentukan identitas diri melalui televisi. Inilah
dunia hiperrealitas dalam terminologi Baudrillard, sebuah dunia buatan yang
justru lebih nyata dan real dibanding realitas yang sebenarnya
(Baudrillard, 1988: 22).

Akhirnya Baudrillard menyatakan bahwa dalam wacana televisi telah terjadi


peleburan bahkan penghancuran ruang publik dan ruang pribadi. Ruang
publik dan ruang pribadi telah menyatu dalam suatu ruang baru: ruang
hiperrealitas televisi (Baudrillard, 1987: 77). Kini tidak ada lagi batas
yang jelas antara kamar tidur dan arena drive in atau taman kota. Semuanya
ditembus dan dijangkau televisi. Berita tentang perang, kekeringan,
tayangan iklan, lagu baru, kekacauan Pemilu, ataupun film kartun dari
segala penjuru dunia kini langsung menyelusup ke kamar paling pribadi,
menyentuh tubuh, hati dan kesadaran kita, bahkan tanpa perantara. Televisi
lalu seolah menjelma menjadi Ratu Adil yang memberikan semacam
demokratisasi informasi bagi siapapun, kapanpun dan dimanapun. Karakter
khas televisi ini tak ubahnya seperti Dewa Janus, yang berwajah ganda. Pada
sisi wajahnya yang satu, ia disebut secara negatif sebagai Tabung kebodohan
yang menawarkan mimpi. Sementara pada sisi wajahnya yang lain, ia disebut
secara positif sebagai Panduan baru, jendela untuk melihat dunia.

3. Membaca Iklan

Iklan memainkan peran dominan dalam kehidupan kita dewasa ini. Sebagai anak
cucu kapitalisme, iklan hadir kapanpun dan dimanapun dan menjadi
kebutuhan kita sehari-hari. Melalui televisi, radio, film, billboard, media
cetak, spanduk sampai internet, iklan mengepung dan menguasai kesadaran
kita. Ia merayu, membius dan memaksa kita untuk mengkonsumsi. Tanpa sadar
kita pun hanyut dalam sebuah dunia dengan budaya baru: budaya konsumer.
Dalam masyarakat konsumer seperti ini, konsumsi menjadi sebuah kosakata
baru yang dominan dan mengambil alih kedudukan produksi. Kita pun terpukau
dengan godaan ideologi iklan yang selalu menyerbu Beli lebih banyak, miliki
lebih banyak dan nikmati lebih banyak (Ewen, 1989: 57). Iklan, mengutip Sut
Jhally dalam tulisannya, Advertising as Religion: The Dialectic of
Technology and Magic (1989), bahkan telah menggeser peran agama dalam
memberi pengertian tentang kebahagiaan dan kehormatan diri. Dengan iklan
kita dihibur, diberi semangat, harapan dan identitas diri. Dengan iklan
pula kita didorong atau dilarang untuk berbuat sesuatu. Singkat kata, iklan
benar-benar telah menjadi legislator yang menghalalkan dan mengharamkan
sesuatu, fungsi yang pada awalnya dibawakan agama (Jhally, 1989: 225).
Dalam masyarakat konsumer, individu dinilai dari apa yang ia miliki.
Seseorang dipandang berhasil, bernilai dan berkualitas dari kemampuannya
mengkonsumsi. Semakin banyak ia mengkonsumsi, semakin tinggi
kedudukannya
dalam masyarakat konsumer. Pada titik inilah iklan mengambil peran sebagai
media informasi pelbagai kebutuhan konsumsi. Dengan kemampuan
membangun
citra melalui tanda, idiom, simbol dan kode produk komoditi yang
bersilang-sengkarut, iklan menggoda kita untuk mengkonsumsi.

Lebih dari masa-masa sebelumnya, iklan kini tidak lagi berfungsi sekedar
sebagai media aktivitas konsumsi, penyampai pesan tentang produk-produk,
namun bahkan lebih jauh berperan sebagai pencipta dan pembentuk realitas.
Inilah saat ketika iklan hidup dalam realitas kebudayaan baru, era
postmodern. Iklan bersama televisi, sebagai representasi ruang simulacra
dan hiperrealitas kini telah menjadi acuan dan model citra diri, gaya
hidup dan struktur masyarakat (Baudrillard, 1983: 61). Dengan kata lain,
iklan dan televisilah yang membentuk realitas dan bukan sebaliknya.

Dalam perspektif postmodernisme, iklan adalah representasi pelbagai


karakter masyarakat simulasi. Iklan bersifat nyata sekaligus semu,
menawarkan sekaligus memanipulasi, real sekaligus hiperreal, simbolis
sekaligus superfisial. Iklan adalah juga campur aduk antara citra, tanda,
simbol, idiom dan kode-kode pelbagai budaya. Dalam iklan, seperti halnya
dalam kebanyakan bentuk budaya populer musik, film, televisi, video game,
video clip, pakaian, kartun, komik, model rambut, aksesoris, gaya hidup,
cara bicara, cara berdandan, cara makan, bahan gurauan dan idiom-idiom
populer yang dipersoalkan bukanlah makna dan kedalaman melainkan
penampilan dan kenyamanan. Iklan postmodern tidak lagi peduli dengan peran
pemberi informasi tentang nilai dan kualitas produk yang ditawarkannya.
Iklan kini lebih tertarik dengan teknik-teknik manipulasi pelbagai hasrat
dan citarasa konsumer melalui permainan citra. Citra inilah sebenarnya yang
dijual, bukan lagi produknya. Prinsip yang dipercaya adalah, seperti
diuarkan Marshall McLuhann, medium is message. Iklan adalan pesan itu
sendiri.

Iklan postmodern juga memanfaatkan pelbagai citra dan tanda sebagai acuan
dunia yang dibangunnya. Iklan adalah dunia retorika citra (rhetoric of the
image), dalam istilah Barthes. Merujuk Roland Barthes, hubungan
penanda-penanda iklan dengan tema-tema yang dibangunnya kesuksesan,
kemewahan, kehormatan, kecantikan, kemudaan telah melalui sebuah proses
yang disebutnya glamorisasi. Glamorisasi adalah proses pelepasan suatu
objek dari konteksnya. Seorang wanita yang memerankan sosok wanita karir
dalam iklan terkena proses glamorisasi keanggunan dan keaktifan dunia
bisnis modern. Melalui upaya eksplorasi wacana estetika seni postmodern
kitsch, pastiche, parodi, camp dan skizofrenia proses glamorisasi menjadi
semakin berkembang. Dengan glamorisasi, objek-objek tersebut seolah-olah
disihir menjadi ide-ide otonom bagi dirinya sendiri. Di sini, seperti
dikatakan Baudrillard, objek-objek asli menjadi tidak lebih penting dari
citra yang dibentuk atas dirinya. Bahkan, citra hasil proses glamorisasi
ini menjadi lebih nyata dan real ketimbang objek aslinya. Iklan menjadi
sebuah dunia hiperrealitas. Tayangan iklan di televisi misalnya, seringkali
kita anggap sebagai bagian dari kenyataan. Kita lupa bahwa citra-citra yang
ditawarkan iklan hanyalah hasil rekayasa teknologi media. Kita juga
seringkali kehilangan kontrol untuk menyadari bahwa dunia iklan adalah
dunia citra yang sengaja diciptakan untuk merayu dan menggoda. Inilah dunia
yang dibangun di atas prinsip komunikasi bujuk-rayu (seduction), seperti
dipaparkan Baudrillard (Baudrillard, 1990: 78). Prinsip komunikasi dalam
iklan, bukanlah untuk mencapai makna atau pesan yang disampaikan pengirim
pesan (addressee) kepada penerima pesan (address), melainkan untuk
membujuk
dan merayu penerima pesan (address) agar mengkonsumsi citra-citra yang
berupa produk komoditi dari pengirim pesan (addresee).

Dalam bukunya An Introduction to Theories of Popular Culture (1995),


Dominic Strinati menyatakan bahwa penampakan dan gaya visual dalam
iklan-iklan postmodern merepresentasikan konsepsi gaya hidup konsumennya
(Strinati, 1995: 232). Lebih radikal lagi, iklan postmodern tidak
semata-mata merepresentasikan gaya hidup, namun juga bahkan
menaturalisasikannya (Hebdige, 1987: 100). Nilai, tema dan klasifikasi gaya
hidup konsumer yang diciptakan tanpa acuan dalam realitas, menjadi seolah
nyata, benar dan alamiah dalam iklan. Terdapat perbedaan antara cara iklan
masa kini merepresentasikan gaya hidup dibandingkan yang sebelumnya. Di
masa kini, gaya hidup menjadi lebih beragam, plural dan yang terpenting
lebih mengambang bebas. Artinya, gaya hidup kini tidak lagi dapat diklaim
menjadi milik eksklusif kelas tertentu dalam masyarakat seperti di
waktu-waktu yang lalu. Seseorang kini dapat dengan mudah masuk dalam
pelbagai kategori gaya hidup tanpa harus menjadi anggota kelas sosial
tertentu. Dalam kondisi seperti ini, iklan kini tidak lagi menekankan citra
kelas atau status yang kaku, melainkan citra-citra netral yang mudah untuk
diimitasi setiap orang (Piliang, 1998: 254).

Sementara itu di sisi lain, menurut Baudrillard, hasrat untuk selalu


mengkonsumsi tanda yang ditawarkan iklan ini, dikendalikan oleh apa yang
disebutnya logika hawa nafsu (Baudrillard, 1987: 51). Istilah ini
menggambarkan sebuah mekanisme ketidakcukupan yang diproduksi seseorang
dalam dirinya sendiri, yang selalu ingin mendapatkan lebih dan merasakan
lebih. Tindakan mengkonsumsi sebuah produk, menurut Baudrillard, lebih
sering karena dorongan perasaan ketidakcukupan yang kita produksi sendiri,
daripada karena alasan ketidakcukupan alamiah (Baudrillard, 1987: 51).
Kehadiran iklan tak pelak merupakan perpanjangan praksis prinsip
komodifikasi, ketika segala sesuatu dinilai semata sebagai objek
eksploitasi. Melalui iklan, misalnya, dikonstruksi keinginan yang tak bisa
dipenuhi: sebuah dunia mimpi yang dalam dirinya sebenarnya hanyalah
khayalan. Inilah saat yang disebut Milan Kundera, sebagai era kemenangan
imagology, citra-citra. Dalam era ini, produsen budaya citra, termasuk
iklan, adalah produsen realitas dan sekaligus mimpi. Dengan kemenangan
imagology, iklan telah ikut mendiktekan tema-tema citra-semu: ideal-ideal
kecantikan, cita-cita kesuksesan, norma-norma keindahan tubuh, keluarga
bahagia, masa depan yang cerah, melalui televisi, radio maupun surat kabar.
Iklan postmodern, dengan demikian adalah perpaduan yang cerdas pelbagai
kepentingan: komoditi, seni, ideologi, dalam bentuknya yang paling memikat
dan menggoda kita untuk selalu dan selalu mengkonsumsi.

Beberapa Catatan Kritis

Tidak bisa dipungkiri, Baudrillard adalah salah seorang pemikir postmodern


paling penting dalam wilayah sosiologi, filsafat dan kajian kebudayaan
dewasa ini. Pemikiran-pemikiran Baudrillard tentang sisi-sisi utama
karakter kebudayaan postmodern telah membuka cakrawala baru bagi
pemahaman
realitas kebudayaan kontemporer dewasa ini. Beranjak dari
pemikiran-pemikiran para pendahulunya mulai dari Marx, Simmel, Mauss,
Debord, Saussure, Barthes, McLuhan sampai Derrida Baudrillard akhirnya
menyempal dan membangun keyakinan teoritis baru yang radikal dan orisinal.
Ia menarik pemikiran-pemikiran para pendahulunya sampai pada titik yang
terjauh, titik ekstrem, dan kemudian menggunakannya sebagai kacamata untuk
membaca realitas kebudayaan kontemporer dewasa ini. Modernisme, feminisme,
konsumsi, seni, politik, kebudayaan, sejarah dan tentu saja postmodernisme,
adalah deretan tema-tema yang menjadi objek kajian kritis Baudrillard.
Dengan pemikiran-pemikirannya yang segar dan orisinal tersebut, sebagaimana
halnya pemikiran yang dilontarkan kepada publik Baudrillard pun mendapat
banyak pujian sekaligus kritikan.

Di satu sisi, Baudrillard banyak mendapat pujian karena ketajaman dan


kecemerlangan analisisnya terhadap realitas kebudayaan dewasa ini. Dengan
gayanya yang khas, Baudrillard dianggap berhasil menggambarkan perubahan
karakter kebudayaan dari modernisme ke postmodernisme. Pendapatnya bahwa
nilai-tanda dan nilai-simbol kini telah mengalahkan nilai-guna dan
nilai-tukar, simulasi adalah mekanisme kebudayaan dominan dewasa ini,
realitas kini tak lebih adalah hiperrealitas dan Amerika adalah agen
postmodernisme, seakan mendapatkan kebenarannya pada pelbagai fenomena
sosial budaya dewasa ini. Merebaknya budaya massa dan budaya populer,
dengan simbol-simbol shopping mall, iklan, dan opera sabun, menjamurnya
pusat-pusat kebugaran dan kursus kecantikan yang mengedepankan
penampilan,
lahirnya dunia simulasi video game, simulasi perang dan televisi serta
dunia hiperrealitas Disneyland dan Universal Studio adalah beberapa contoh
kebenaran analisa Baudrillard. Secara tajam, dalam karyanya Symbolic
Exchange and Death (1993), Baudrillard menyatakan telah terjadinya
pemutusan mendasar era postmodern dari era modern, sebagaimana
pemutusan
era modern dari era pramodern. Secara semiotik menurut Baudrillard, era
modern ditandai dengan diterimanya makna, yang mengimplikasikan kedalaman,
sebuah dimensi yang tersembunyi, yang tak nampak namun stabil dan utuh.
Sementara dalam era postmodern, makna tidak lagi ada. Dunia postmodern,
papar Baudrillard, adalah dunia tanpa makna, dimana teori-teori
berlalu-lalang dalam ruang hampa, tanpa ada titik sauh apa pun, dimana
segala sesuatu nampak jelas, eksplisit dan transparan, namun sangat tidak
stabil (Baudrillard, 1993: 38). Dengan pemikirannya yang orisinal dan
radikal ini, tak pelak Baudrillard adalah pemikir tentang kebudayaan
postmodern yang terpenting saat ini. Arthur Kroker misalnya, menyebut
Baudrillard sebagai "Pemikir postmodern paling awal". Sementara Marshal
Berman menggambarkannya sebagai "Pembela postmodern paling gigih dan
sekaligus sosok yang banyak dipuja dalam dunia seni dan akademik di
universitas-universitas Amerika saat ini". Dan menurut Steven Best, "Ia
kini telah mencapai status guru dalam perbincangan postmodernisme dewasa
ini" (Kellner, 1994: 227).

Baudrillard sendiri dalam salah satu wawancaranya, dengan bahasanya yang


lugas cuma mengatakan, "I have nothing to do with postmodernism !" (Saya
tidak ada urusan dengan postmodernisme!) (Gane, 1990: 331). Ia sekedar
menyatakan dirinya sebagai "teroris intelektual", yang secara sadar
bermaksud menyerang watak ortodoks era modern. Mengenai posisinya ini
Baudrillard sendiri menyatakan,

Its not postmodern. I dont know what one means by that. But Im no longer
part of modernity, not in the sense where modernity implies a kind of
critical distance of judgement and argumentation. There is a sense of
positive and negative, a kind of dialectic in modernity. My way of
reflecting on things is not dialectic. Rather its provocative, reversible,
its a way of raising things to their N power, rather than a way of
dialectizing them. Its a way of following through the extremes to see what
happens. Its a bit like a theory-fiction. Theres a little theoretical
science fiction in it (Gane, 1993: 82).

(Ini bukan postmodern. Saya tidak tahu apa yang dimaksud orang dengan
istilah itu. Tapi yang pasti saya juga bukan lagi bagian era modern, tidak
dalam pengertian dimana modernitas dipandang sebagai suatu bentuk
argumentasi dan penilaian kritis, namun modernitas dalam pengertian
dialektis: positif dan negatif. Karena cara saya merefleksikan segala
sesuatu tidaklah bersifat dialektis. Melainkan lebih bersifat provokasi,
pemutarbalikan, suatu cara membawa segala sesuatu sampai pada tingkat
kekuatan "N" mereka, ketimbang menghadapkannya sebagai dialektika positif
dan negatif. Ini adalah suatu cara dengan mengikuti sampai ke titik ekstrem
untuk melihat apa yang terjadi. Ini sedikit mirip dengan teori-fiksi.
Dimana terdapat sedikit unsur teori sains-fiksi di dalamnya).

Baudrillard menyatakan bahwa teori-fiksi yang dibangunnya bukanlah sebuah


teori estetika, filsafat, atau pun sosiologi,

Its not really an aesthetic, its not a philosophy, its not a sociology, its
a little volatile. Perhaps this corresponds to a certain kind of floating
instability with more in common with the contemporary imagination than with
any real philosophy. The form of my language is almost more important than
what I have to say it. Its not a question of ideas there are already too
many ideas (Gane, 1993: 166).

(Tidak terlalu tepat bila disebut estetika, atau filsafat, atau mungkin
sosiologi. Ini adalah teori yang sedikit-sedikit berubah. Mungkin ini ada
hubungannya dengan semacam ketidakstabilan mengambang dalam pengertian
imajinasi kontemporer, bukan dalam pengertian filsafat yang sesungguhnya.
Bentuk pengucapan saya lebih penting ketimbang apa yang saya ungkapkan.
Dan
ini bukan berupa gagasan-gagasan. Sudah terlampau banyak gagasan-gagasan
yang ada).

Penjelasan ini secara konsekuen dibawa Baudrillard dalam setiap


karya-karyanya. Karakter fatalis dan nihilis, pada gilirannya, adalah
sebuah pilihan sadar yang diambil Baudrillard. Dalam esainya, On Nihilism
(1981), yang pertama kali ditulis sebagai bahan kuliah, Baudrillard
menegaskan sikap fatalis dan nihilisnya,

If being nihilist is to privilege this point of inertia and the analysis of


this irreversibility of systems to the point of no return, then I am a
nihilist. If being nihilist is to be obsessed with the mode of
disappearance, and no longer with the mode of production, then I am a
nihilist (Baudrillard, 1984: 39).

(Jika menjadi nihilis berarti menjadi orang yang bertanggungjawab terhadap


sikap ketakberdayaan dan analisa sistem yang tak ada jalan kembalinya, maka
saya adalah seorang nihilis. Jika menjadi nihilis berarti menjadi orang
yang terobsesi dengan cara-cara pelenyapan dan tidak lagi dengan cara-cara
produksi, maka saya adalah seorang nihilis).
Nihilisme Baudrillard adalah nihilisme tanpa gairah, tanpa keriangan, tanpa
optimisme, tanpa harapan akan masa depan yang lebih baik. Nihilisme
Baudrillard adalah fatalisme, dengan sifat melankolis sebagai karakter
dasarnya,

Melancholy is the fundamental tonality of functional systems, of the


present systems of simulation, programming and information. Melancholy is
the quality inherent in the mode of disappearance of meaning, in the mode
of volatilization of meaning in operational systems (Baudrillard, 1984:
39).

(Melankoli adalah nada dasar sistem fungsi ini, sistem simulasi,


pemrograman dan informasi. Melankoli adalah kualitas inheren yang ada dalam
mekanisme cara-cara pelenyapan makna-makna, dan cara-cara penguapan
makna
dalam suatu sistem operasional).

Sementara itu, di sisi lain, Baudrillard tak kurang juga mendapat


kritikan-kritikan tajam dari para komentatornya. Mike Gane misalnya, salah
seorang komentatornya yang paling tajam, menyatakan bahwa banyak pemikiran
Baudrillard yang menggelikan dan konyol (Rojek, 1993: ix). Sambil mengakui
Baudrillard sebagai pemikir yang tajam dan cerdas, Gane menyatakan bahwa
banyak argumentasi Baudrillard yang tak berdasar, membingungkan, retoris
dan ganjil (whimsical), sehingga nampak tak lebih sebagai sensasi murahan.
Pernyataannya bahwa segala sesuatu tak lebih sebagai simulasi dan
simulacra, Amerika adalah utopia, nilai-tanda dan nilai-simbol adalah
satu-satunya realitas, massa kini telah lenyap dan manusia adalah sekedar
terminal hilir-mudiknya tanda-tanda menurut Gane sama sekali tidak
berdasar. Lebih parah, pernyataannya bahwa Perang Teluk sebenarnya tidak
pernah terjadi, demikian pula halnya dengan Perang Vietnam, Skandal
Watergate dan kerusuhan Los Angeles kecuali semata-mata sebagai bukti
berlangsungnya mekanisme simulasi melalui rekayasa media massa menurut
Gane adalah klaim Baudrillard yang paling konyol sekaligus menggelikan.

Dengan suara senada, Robert Hughes seorang kritikus seni majalah Time
dengan berapi-api menggugat sosok Baudrillard sebagai sekedar
pencari-sensasi murahan, yang memikat namun dibutakan oleh gelombang
deras
budaya massa (Rojek, 1993: xi). Gaya tulisannya aneh sekaligus memusingkan
mereka yang terbiasa dengan teks-teks modern deklaratif, aforistik,
metaforistik, hiperbolik, puitik, repetitif, bombastik, anti-sistem,
anti-struktur dan penuh dengan kta-kata tak jamak. Dalam Cool Memories
(1990), misalnya, terdapat penyataan puitis sebagai berikut,

Dying is nothing. All you have to know is how to disappear. The ultimate
achievement is to live beyond the end, by any means whatever. Living is
everything. All you have to know is how to appear. The ultimate end is to
live beyond achievement, by any means whatever (Baudrillard, 1990: 34).

(Kematian bukanlah apa-apa. Yang perlu kau tahu adalah bagaimana cara untuk
menghilang. Pencapaian tertinggi adalah untuk hidup setelah akhir
segalanya, dengan cara apa saja. Hidup adalah segalanya. Yang perlu kau
tahu adalah bagaimana cara untuk terlihat. Akhir yang tertinggi adalah
untuk hidup dibalik segala pencapaian, dengan cara apa saja).

Argumentasi kalaupun ada yang mendasari pemikirannya pun dipenuhi


kelemahan. Baudrillard sama sekali menolak struktur dan sistem, membiarkan
pernyataan-pernyataannya serba mengambang dan terpenggal-penggal, serta
lebih mengutamakan spekulasi. Itulah mengapa tidak sedikit komentatornya,
misalnya Chris Rojek, yang menyatakan karya-karya Baudrillard sebagai
fiksi-sains dan bukan teks sosiologi atau filsafat (Rojek, 1993: xi).

Suara kritis lain yang lebih sistematis dikemukakan oleh Mark Poster. Dalam
salah satu tulisannya yang mencoba membandingkan pemikiran Baudrillard dan
Habermas, Poster mencatat setidaknya terdapat lima kelemahan pemikiran
Baudrillard (Kellner, 1994: 83). Pertama, Baudrillard dianggap tidak mampu
menjelaskan pengertian istilah-istilah kunci yang ada dalam karya-karyanya,
terutama istilah kode. Kadangkala ia menggunakan istilah kode-model dan
binari-digital dalam pengertian yang sama secara bergantian tanpa pernah
merumuskan pengertian yang sesungguhnya. Kali yang lain, ia menyamakan
istilah kode dengan tanda dan citra sebagai istilah-istilah khusus
semiotika. Hal ini mengakibatkan kekaburan pemahaman akan gagasan-
gagasan
orisinal yang dikemukakannya. Kedua, hampir sama dengan Gane dan Hughes
Poster memandang gaya menulis Baudrillard yang aneh dan ganjil seringkali
tidak dibarengi dengan argumentasi yang sistematik dan logis. Kelemahan
ini, dengan sendirinya, menjadikan pemikiran-pemikiran Baudrillard
kehilangan dasar argumentasi yang rasional. Karya-karyanya menjadi tak
lebih sebagai cerita fiksi kehidupan yang bersemangat dan penuh warna,
namun tak masuk akal. Ketiga, Baudrillard terkesan hendak mentotalisasikan
ide-ide pemikirannya, dan menolak untuk mengubah atau membatasi
pemikirannya. Ia menulis tentang pengalaman- pengalaman khusus, seperti
dunia televisi, dunia simulasi, hiperrealitas dan konsumsi, seperti
seolah-olah tidak ada hal yang lain dalam realitas sosial dewasa ini. Juga
pendapatnya bahwa Perang Teluk sebenarnya tidak pernah terjadi meskipun
kenyataan membuktikan perang itu sungguh-sungguh terjadi tetap
dipertahankannya, bahkan sampai perang itu sendiri usai. Keempat,
Baudrillard menafikan kenyataan bahwa terdapat keuntungan-keuntungan dari
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Televisi, media massa dan
internet dalam tampilannya yang positif juga memberikan manfaat seperti
misalnya mempercepat penyebaran informasi tentang pendidikan, HAM dan
lingkungan, menyampaikan berita peristiwa-peristiwa aktual yang tengah
terjadi dan lebih membuka pemahaman akan sifat pluralisme dan humanisme
kebudayaan dewasa ini. Kelima, sikap fatalis dan nihilis yang secara sadar
dipilihnya, menjadikan pemikiran-pemikiran Baudrillard jauh dari
nilai-nilai moral dan agama. Pendapatnya bahwa tak ada lagi jalan kembali,
bahwa hidup haruslah dijalani begitu saja dengan sikap acuh tak acuh, tak
ada lagi kebenaran, kesucian, serta nilai-nilai transendental, pada
gilirannya membawa Baudrillard jatuh ke dalam jurang pesimisme-ekstrim. Ia
tidak mampu melihat moralitas dan agama sebagai sumber acuan nilai dan
prinsip kehidupan. Singkat kata, mengutip Rojek, dari banyak kelemahan
tersebut, Baudrillard lebih banyak salah ketimbang benar.

Namun bukan berarti Baudrillard tidak memberikan arti apapun dalam


pengembangan tubuh-pengetahuan (body of knowledge) ilmu sosiologi, filsafat
dan kajian kebudayaan. Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang dibuatnya,
pemikiran-pemikiran Baudrillard tetap sangat berguna bagi pemahaman
realitas kebudayaan dewasa ini. Demikian pula halnya dengan pendekatannya
yang orisinal dan kritis, yang dapat menjadi pilihan alternatif bagi proses
pembacaan realitas kebudayaan dewasa ini yang tengah berubah cepat.

Daftar Pustaka

Ahmad Sahal, 1994, Kemudian Dimanakah Emansipasi ? Tentang Teori Kritis,


Genealogi dan Dekonstruksi, dalam Jurnal Kebudayaan Kalam Edisi 1, Jakarta.

Ahmed, Akbar, S., 1992, Postmodernism and Islam, Routledge, New York.

Andy Siswanto, 1994, Menyangkal Totalitas dan Fungsionalisme,


Postmodernisme Dalam Arsitektur dan Desain Kota, dalam Jurnal Kebudayaan
Kalam Edisi 1, Jakarta.

Ariel Heryanto, 1994, Postmodernisme: Yang Mana ? Tentang Kritik dan


Kebingungan dalam Debat Postmodernisme di Indonesia, dalam Jurnal
Kebudayaan Kalam Edisi 1, Jakarta.

Awuy, Tommy, F., 1995, Wacana Tragedi dan Dekonstruksi Kebudayaan, Jentera
Wacana Publika, Yogyakarta.

Bakker, Anton dan Zubair, A. Charris, 1990, Metodologi Penelitian Filsafat,


Kanisius, Yogyakarta.

Baudrillard, Jean, 1983, Simulations, Semiotext(e), New York.


--------------------, 1984, On Nihilism, dalam Jurnal On The Beach 6, New
York.

--------------------, 1987, The Ecstasy of Communication, Semiotext(e), New


York.

--------------------, 1989, America, Routledge, New York.

--------------------, 1990, Cool Memories, Verso, London.

--------------------, 1990, Seduction, Macmillan, New York.

--------------------, 1993. Symbolic Exchange and Death, Sage, London.

Bertens, Hans, 1995, The Idea of The Postmodern: A History, Routledge,


London.

Denzin, K. Norman, 1988, Blue Velvet: Postmodern Contradictions, dalam

Theory, Culture and Society Vol. 5, Sage, London.

Ewen, Stuart, 1989, Advertising and The Development of Consumer Society,


dalam Angus, Ian and Jhally Sut, (ed), Cultural Politics in Contemporary
America, Routledge, New York.

Featherstone, Mike, 1988, In Pursuit of The Postmodern: An Introduction,


dalam Theory, Culture and Society Vol. 5, Sage, London.

Foster, Hal, 1983, Postmodernism: A Preface, dalam Foster, Hal, (ed), The
Anti-Aesthetic, Essay on Postmodern Culture, Bay Press, Washington.

Gablik, Suzi, 1988, Dancing with Baudrillard, dalam Jurnal Art in America,
New York.

Gane, Mike, 1990, Baudrillard Live: Selected Interviews, Routledge, London.

Harun Hadiwijono, 1994, Sari Sejarah Filsafat Barat I, Kanisius,


Yogyakarta.

----------------------, 1993, Sari Sejarah Filsafat Barat II, Kanisius,


Yogyakarta.

Harvey, David, 1989, The Condition of Postmodernity, Blackwell, Oxford.

Hebdige, Dick, 1979, Sub-culture: The Meaning of Style, Methuen, London.


I. Bambang Sugiharto, 1996, Postmodernisme, Tantangan Bagi Filsafat,
Kanisius, Yogyakarta.

Ibrahim, Idi, Subandi, 1997, Ecstasy Gaya Hidup, dalam Idi Subandi Ibrahim,
(ed), Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas
Indonesia, Mizan, Bandung.

Jhally, Sut, 1989, Advertising as Religion: The Dialectic of Technology and


Magic, dalam Angus, Ian and Jhally, Sut, (ed), Cultural Politics in
Contemporary America, Routledge, New York.

Kellner, Douglas, 1994, Baudrillard Reader, Blackwell, Cambridge.

Lash, Scott, 1990, Sociology of Postmodernism, Routledge, London.

Lechte, John, 1994, Fifty Key Contemporary Thinkers, From Structuralism to


Postmodernism, Routledge, London.

MacCannell, Dean and MacCannell, Juliet Flower, 1993, Social Class in


Postmodernity: Simulacrum or Return of The Real ?, dalam Rojek, Chris and
Turner, Bryan, S., (ed), Forget Foucault, Routledge, London.

MacDonald, Dwight, 1957, A Theory of Mass Culture, dalam Rosenberg, Ben and
White, Dennis, (ed), Mass Culture, Free Press, Glencoe.

Piliang, Yasraf, Amir, 1998, Sebuah Dunia Yang Dilipat: Realitas Kebudayaan
Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Postmodernisme, Mizan, Bandung.

Poster, Mark, 1994, Critical Theory and Technoculture: Habermas and


Baudrillard, dalam Kellner, Douglas, (ed), Baudrillard Reader, Blackwell,
Cambridge.

Rojek, Chris and Turner, Bryan, S., (ed), 1993, Forget Baudrillard,
Routledge, London.

Rosenau, Pauline M., 1992, Postmodernism and Social Sciences: Insight,


Inroads, and Intrusion, Princeton University Press, Princeton.

Sarup, Madan, 1989, An Introduction Guide to Post-Structuralism and


Postmodernism, The University of Georgia Press, Athens.

Shuker, Roy, 1994, Understanding Popular Music, Routledge, London.

Smart, Barry, 1993, Europe/America: Baudrillards Fatal Comparison, dalam


Rojek, Chris and Turner, Bryan, S., (ed), Forget Foucault, Routledge,
London.
---------------, 1990, Modernity, Postmodernity and The Present, dalam
Turner, Bryan, S,. (ed), Theories of Modernity and Postmodernity, Sage,
London.

Stauth, Georg and Turner, Bryan, S., 1988, Nostalgia, Postmodernism and
TheCritique of Mass Culture, dalam Theory, Culture and Society Vol. 5,
Sage, London.

Strinati, Dominic, 1995, An Introduction to Theories of Popular Culture,


Routledge, London.

Suryakusuma, Julia, I., 1994, Pascamodernisme dan Feminisme: Les Liaisons


Dangereuses, dalam Majalah Horison, Nomor 2, Jakarta.

Turner, Bryan, S., 1990, Periodization and Politic in The Postmodern, dalam
Turner, Bryan, S,. (ed), Theories of Modernity and Postmodernity, Sage,
London.

--------------------, 1993, Cruising America, dalam Rojek, Chris and


Turner, Bryan, S,. (ed), Forget Foucault, Routledge, London.

Zurbrugg, Nicholas, 1994, Baudrillard, Modernism and Postmodernism, dalam


Kellner, Douglas, (ed), Baudrillard Reader, Blackwell, Cambridge

Foucault dan Posmodernisme

Oleh: I. Bambang Sugiharto *

"Posmodernisme" itu macam hantu. Orang bisa ngotot


menganggapnya tidak ada dan omong kosong. Meskipun orang
bisa juga bersikukuh menganggapnya kenyataan paling real hari
ini. Orang bisa bilang bahwa itu mode intelektual yang sudah mati,
atau malah keguguran sebelum lahir. Akan tetapi, bisa juga
sebaliknya: paradigma yang baru saja lahir dan sedang
berkembang kini. Istilah itu menyandang demikian banyak nuansa
yang campur aduk, sehingga argumentasi apa pun sepertinya bisa
saja diterima. Maka mendudukkan Foucault dalam konsep yang
tidak jelas itu dengan sendirinya menjadi tidak bisa definitif pula.
Klarifikasi

Istilah "Posmodernisme" bisa menunjuk pada berbagai arti yang berbeda, bisa
berarti : aliran pemikiran filsafati; pembabakan sejarah (erat terkait pada
pergeseran paradigma); ataupun sikap dasar/ etos tertentu. Masing-masing
membawa konsekuensi logis yang berbeda, meskipun bisa saling berkaitan juga.
Apabila yang kita maksudkan adalah aliran fllsafat, maka ia menunjuk terutama
pada gagasan-gagasan J.F. Lyotard, yang paling eksplisit menggunakan istilah
itu. Namun bila yang kita maksud adalah babakan sejarah baru yang
meninggalkan kerangka berpikir modern ("Pos" modern), maka mereka yang
paling sibuk memetakannya adalah Charles Jeneks, Andreas Huysen, David
Harvey dll. Di sini orang bisa berdebat dengan sangat nyinyir kapan persisnya
terjadi pergeseran paradigma besar-besaran dan apa persis yang bergeser itu
sehingga bisa menyebut zaman ini "post"-modern. Jangan-jangan segala
pergeseran itu justru radikalisasi dan segala kecenderungan modern sendiri,
sehingga alih-alih "post", semua gelagat itu mesti disebut "most" : most-modern.
Pada titik inilah kita mesti mendudukan berbagai wacana dan orang-orang
macam Habermas, Anthony Giddens, Ernest Geliner dsb. Akan tetapi, bila
Posmodernisme kita artikan dalam arti luas, yakni sebagai segala bentuk "sikap
dasar" (etos) yang mencoba kritis terhadap pola pikir dan prinsip-prinsip
modernisme, maka tiba-tiba "Posmodernisme" mencakup wilayah isi, aliran
filsafat dan tokoh yang amat luas. Ia menjadi istilah-payung yang memayungi
demikian beragam gelagat di berbagai bidang, bahkan yang saling bertentangan
sekalipun. Celakanya, karena bisa berisi apa pun orang lantas juga menganggap
istilah itu kosong tanpa isi. Dan istilah "posmo" menjadi bahan olok-olok untuk
apa pun yang tidak lazim, ganjil, bahkan tidak senonoh. Ia menjadi karikatur.
Maka tak usah heran bila tiba-tiba "Posmo" menjadi nama sebuah tabloid kienik.
Dan bisa saja ada warung bakso atau situs porno yang bernama "Posmo" juga.

Tulisan ini cenderung berbicara tentang arti yang ketiga itu, yakni
posmodernisme sebagai segala bentuk sikap kritis terhadap pola pikir dan
prinsip-prinsip modernisme. Saya kira sulitlah disangkal bahwa hari-hari ini
memang bermunculan demikian banyak kecenderungan kritis baru, yang pada
titik-titik tertentu toh memaksa kita memahami kemodernan secara berbeda. Dan
ini tidak hanya mencakup satu dua aliran pemikiran. Ia mencakup demikian
banyak gejala yang sangat kompleks di segala bidang. Menganggap segala
istilah "the end" yang heboh bermunculan dalam begitu banyak bidang hari-hari
ini (The end of philosophy, of ideology,of science, of histoiy, of art, of nation-
state, etc.etc.) sekadar sebagai kelatahan modis belaka rasanya terlalu simplistik
dan menunjukkan kekurangpekaan yang serius.

Sebagai istilah-payung memang posmodernisme dalam arti luas ini bisa terasa
kosong, bisa diisi apapun juga. Akan tetapi barangkali ia mesti dilihat ibarat
keranjang besar, kosong, meskipun keranjangnya ada. Dan itu sebetulnya sama
saja dengan istilah "modern" sendiri, yang juga bisa diisi apapun juga.
Berikutnya

Orang bisa menyebut teknologi modern, pola pikir modern, pesantren modern,
bahkan gaya cukuran modern atau gudeg modern,dst. Dan orang bahkan bisa
menyebut berbagai aliran filsafat yang satu sama lain saling bertentangan
macam rasionalisme, empirisme, materialisme dan idealisme, semua sebagai
filsafat "modern", alias berada dalam satu keranjang yang sama. Artinya,
keranjangnya toh ada. Ada kecenderungan-kecenderungan dasar yang sama.

Beberapa kecenderungan dasar umum posmodernisme yang bisa dianggap


sebagai kerangka keranjang, misalnya:

(1) kecenderungan menganggap segala klaim tentang "realitas" ( diri subyek,


sejarah, budaya, Tuhan, dsb.) sebagai konstruksi semiotis, artifisial dan
ideologis;

(2) skeptis terhadap segala bentuk keyakinan tentang "substansi" objektif (meski
tidak selalu menentang konsep tentang universalitas);

(3) realitas bisa ditangkap dan dikelola dengan banyak cara dan sistem
(pluralisme);

(4) paham tentang "sistem" sendiri dengan konotasi otonom dan tertutupnya
cenderung dianggap kurang relevan, diganti dengan "jaringan", "relasionalitas"
ataupun "proses" yang senantiasa saling-silang dan bergerak dinamis;

(5) dengan begitu cara pandang yang melihat segala sesuatu dan sudut oposisi
biner pun (either-or) dianggap tak lagi memuaskan; segala unsur ikut saling
menentukan dalam interaksi jaringan dan proses (maka istilah "postmodernisme"
sendiri pun mesti dimengerti dalam interrelasinya dengan "modernisme", alih-alih
melihatnya sebagai oposisi);

(6) melihat secara holistik berbagai kemampuan (faculties) lain selain


rasionalitas, misalnya: emosi, imajinasi, intuisi, spiritualitas, dsb.; serta
(7) menghargai segala hal "lain" (otherness),yang lebih luas, yang selama ini
tidak dibahas atau bahkan dipinggirkan oleh wacana modern (mis. kaum
perempuan, tradisi-tradisi lokal, paranormal, agama, sehingga segala hal dan
pengalaman yang selalu mengelak dan pola rumusan kita).

Akan tetapi, keluasan memang berarti juga kekaburan. lnilah memang


masalahnya: kekaburan istilah "posmodern" sebagian besar adalah karena
kekaburan istilah "modern" itu sendiri. "modern" dalam arti mana yang dikritik
"posmodernisme" itu. Berbagai kekisruhan dalam menempatkan tokoh mana
dijalur mana berakar pada persoalan itu. Artinya, kendati posmodernisme bisa
dicanangkan prinsip-prinsip dasarnya yang sama, - yang membuatnya bisa
mencakup demikian banyak aliran - toh selalu bisa juga dilihat perbedaan-
perbedaannya pada tingkat rincian-rincian. Dan sudut ini, Foucault bisa dilihat
baik sebagai salah satu tokoh posmodern sekaligus juga tokoh modern,
tergantung dari perspektif mana kita melihatnya.

Foucault Posmodern

Tentu saja anggapan bahwa Foucault itu tokoh posmodern pertama-tama


berawal dari identifikasi antara Posmodernisme dan Pos-strukturalisme, wilayah
berkubangnya Foucault. Dan ini sebagiannya karena kecenderungan wacana
estetik-kultural di AS sejak tahun 60'an. Kecenderungan revitalisasi
Avantgardisme-Eropa di Amerika saat itu membawa tendensi-tendensi yang
melahirkan arus estetik baru yang kemudian disebut "Posmodern". Arus estetik
ini misalnya bagaimana pun mengubah anggapan-anggapan ideologis modern
tentang "style","bentuk" , "kreativitas" dan terutama tentang "tugas" dan "hakikat"
kesenian dalam kehidupan dan masyarakat. Leslie Fiedler, misalnya, mengacu
pada ekspressi seksual dalam seni, mengangkat "Pencerahan kelamin" (genital
enlightenment) dan membela literatur pop. Ihab Hasan mengajukan "Estetika
bisu" (Aesthetus of silence). Berikutnya

Susan Sontag mengusulkan cara pandang erotik (lawan hermeneutik) terhadap


seni, menekankan pengalaman sensual dalam apresiasi, alih-alih interpretasi
kognitif-intelektual. Di situ yang ditolak bukanlah modernisme en bloc, melainkan
modernisme yang telah menjadi bagian dan konsensus liberalkonservatif, yang
telah menjadi affirmatif, impoten dan kehilangan kekuatan kritisnya.

Kalau di situ terlihat Avantgardisme disusul oleh Posmodernisme estetik, maka


saat itu serentak juga kritik seni ala Teori Kritis Frankfurt -yang cenderung
mengutamakan kedalaman isi dan substansi rasional seni- disusul dan dilibas
oleh kecenderungan baru: Pos-strukturalisme, yang lebih mengutamakan
permainan semiotik di permukaan karya. Cara pandang terhadap karya seni
yang tadinya menekankan kejeniusan sang senimannya (writerly text) diganti
menjadi kebermainan si penikmatnya dalam mengotak-atik sesuka sendiri
bentuk karya itu (readerly text) dengan kebahagiaan yang mereka sebut:
jouissance ( Barthes). Konkruensi antara Posmodernisme dan Pos-
strukturalisme inilah agaknya yang membuat orang cepat menghubungkan
keduanya seolah satu kubu. Lagipula pos-strukturalisme yang memperkarakan
teks apa pun itu memang juga cenderung mencampurbaurkan teks sastra
dengan teks-teks kritis-filosofis, atas nama intertekstualitas.

Akan tetapi juga dari sudut isi gagasannya pos-strukturalisme memang


merupakan sumber yang subur bagi argumen-argumen pos-modernisme.
Kecenderungan Pos-strukturalisme untuk mengkritik konsep tentang manusia
sebagai subjek rasional, konsep metafisis tentang pengetahuan, kebenaran,
identitas, dan sejarah adalah salah satu landasan paling meyakinkan yang
digunakan oleh Posmodernisme.

Bila dalam paradigma modern, kesadaran dan objektivitas adalah dua unsur
yang membentuk subjek rasional-otonom, bagi Foucault konsep diri manusia
sebenarnya hanyalah produk bentukan diskursus, praktik-praktik, institusi,
hukum ataupun sistem-sistem administrasi belaka, yang anonim dan impersonal
namun sangat kuat mengontrol (Madness and Civilization; The Order of Things
dan The Archeology of Knowledge). Bahkan, Iebih dalam lagi, Foucault seperti
ingin membongkar keterkaitan yang biasanya dianggap niscaya antara
kesadaran, refleksi-diri dan kebebasan. Skeptisisme epistemologis yang ekstrim
telah membuat Foucault menyejajarkan pengetahuan, subjektivitas dengan
kekuasaan, dan karenanya menganggap segala bentuk kemajuan/ pencerahan
entah di bidang psikiatri, perilaku seksual atau pun pembaharuan hukum - selalu
saja sebagai tanda-tanda kian meningkatnya bentuk kontrol atas kesadaran dan
perilaku individu. Bukan oleh agen atau rezim tertentu, melainkan oleh jaringan
relasi-relasi semiotis, diskursif dan administratif, yang sebetulnya anonim-
impersonal tadi.

Salah satu hal yang paling inspiratif bagi Posmodernisme adalah memang
sikapnya dalam memahami fenomena modern yang bernama "pengetahuan" itu,
terutama Pengetahuan Sosial. Ia memperkarakan tentang "Apa itu pengetahuan"
secara genealogis dan arkeologis; artinya, dengan melacak bagaimana
pengetahuan itu telah beroperasi dan mengembangkan diri selama ini Kategori-
kategon konseptual macam "kegilaan", "seksualitas", "manusia", dan sebagainya
yang biasanya dianggap "natural" itu sebetulnya adalah situs-situs produksi
pengetahuan, yang membawa mekanisme-mekanisme dan aparatus kekuasaan;
kekuasaan untuk "mendefinisikan" siapa kita. Ilmu-ilmu sosial dan ilmu
kemanusiaan adalah agen-agen kekuasaan itu. Dan kendati kekuasaan itu tidak
selalu negatif-repressif melainkan juga positif-produktif (menciptakan
kemampuan dan peluang baru), toh secara umum ia memaksa kita memahami
kemodernan bukan lagi sebagai pembebasan, melainkan sebagai proses kian
intensif dan ekstensifnya pengawasan (surveillance), lewat "penormalan",
regulasi dan disiplin (I, Pierre Riviere...; Discipline and Punish; Power/
Knowledge).
Hal menarik yang membuat Foucault sering dimanfaatkan oleh para jurubicara
"posmo" adalah pengertiannya yang spesifik tentang "kekuasaan" itu. Baginya
kekuasaan bukanlah soal intensi individu, rezim ataupun kelas sosial tertentu,
bukan pula soal relasi produksi dan eksploitasi, melainkan jaringan relasi yang
anonim dan terbuka. Sebenamya Foucault nyaris tidak mencanangkan sebuah
teori ontologis tentang kekuasaan, sebab ia lebih berfokus pada partikularitas
relasi-relasi (penjara, rumah sakit, rumah sakit jiwa, sekolah dan sebagainya.).
Berikutnya

Kekuasaan adalah soal praktik-praktik konkrit yang lantas menciptakan realitas


dan pola-pola perilaku, memproduksi wilayah objek-objek pengetahuan dan
ritual-ritual kebenaran yang khas. Praktik-praktik itu menciptakan norma-norma
yang lalu direproduksi dan dilegitimasi melalui para guru, pekerja sosial, dokter,
hakim, polisi dan administrator, misalnya. Kekuasaan mewujudkan diri dalam
pengetahuan, tetapi pengetahuan pun lantas melahirkan kekuasaan.

Dengan begitu terlihat pula bahwa bagi Foucault perjalanan sejarah pun
kehilangan unsur teleologis. Sejarah adalah permainan dominasi dan resistensi
yang bergeser-geser, grouping dan regrouping. Dalam sejarah itu misalnya,
manusia memang sempat terbebas dan rantai kontrol eksteral-fisik, tetapi hanya
untuk dibelenggu oleh rantai kontrol internal-mental oleh diri sendiri ( Madness
and Civilization). Maka istilah-istilah macam kesederajatan, kebebasan, keadilan,
dan sebagainya hanyalah alat-alat bagi permainan relasi kekuasaan macam itu
saja. Ini tentu berjajaran dengan pola pikir Nietzschean, yang misalnya melihat
tuntutan orang tertindas terhadap keadilan semata-mata sebagai dalih mereka
untuk mendapatkan kekuasaan. Dalam kerangka macam ini sejarah sebagai
proses sinambung ke arah emansipasi bagi Foucault adalah semacam fantasi
saja.

Demikian seperti halnya Derrida, yang juga tidak melihat arah akhir sejarah
sebagai satu dan pasti, Foucault menguatkan kecenderungan pluralisme
pemaknaan sejarah di kalangan postmodernis. Bagi kaum Pos-strukturalis
"makna" memang bukan sesuatu yang mengandung keniscayaan.
Korespondensi antara sistem semiotik/ diskursif dengan realitas bukanlah satu
banding satu. Ia selalu membawa banyak kemungkinan dan mudah berubah.

Akhirnya perlu disebut jasa lain dari Foucault bagi Posmodernisme adalah: ia
menampilkan Otherness secara lebih konkrit dan grafis, dengan analisis-
analisisnya atas pihak-pihak yang dalam modernitas biasanya dianggap tidak
normal dan tidak lazim, yakni kaum homoseksual, orang gila, tubuh, rumah sakit,
dan sebagainya. Dan dengan begitu membukakan wilayah-wilayah wacana baru.

Foucault Modern

Sebenarnya karya-karya Foucault, seperti halnya karya beberapa posstrukturalis


lain, bisa juga dilihat sebagai pembacaan atas kemodernan. Artinya, alih-alih
dikaitkan dengan Posmodernisme, bisa lebih tepat dilihat sebagai semacam
"Arkeologi atas Modernisme", alias pembacaan retrospektif atas batas-batas
modernisme dan kegagalan ambisi-ambisi filosofis-politisnya yang ternyata tetap
saja borjuistik.

Langgam dasar dari karya-karya Foucault dari sudut tertentu sebetulnya juga
mirip dengan berbagai kritik atas modernisme seperti yang dilayangkan oleh
Weber dan bergema pada sekolah Frankfurt (Adorno, Horkheimer). Misalnya,
bahwa modernitas itu menekankan rasionalitas instrumental, berfokus hanya
pada cara/ sarana (means) dan bukan pada tujuan (end); bahwa rationalitas ini
mewujud dalam rasionalitas ilmiah, dsb. Bagi Foucault pun ilmu, yang lewat
kecenderungan reifikasinya mengakibatkan keterlepasan dari misteri tujuan dan
nilai hidup ( disenchantment) , adalah mitos baru. ilmu bicara banyak tentang
siasat-siasat teknis, tetapi tak mengerti apa-apa tentang nilai dan tujuan hidup.
Hal lain lagi adalah bahwa baginya sosok kekuasaan modernisme yang
dominatif itu tidak lagi individual ataupun berupa kelas-kelas sosial, melainkan
berupa mesin administratif "netral" dan impersonal bagai sosok Panopticon, dan
bekerja berdasarkan aturan-aturan abstrak ( Discipline and Punish). Dan ini
sebetulnya nyaris berjajaran juga dengan analisis Weber atas birokrasi atau
proses kerja dalam pola organisasi kapitalisme, yang melihat pergeseran pola
dominasi dari pola "tradisional" ke "legal-rasional".

Akan tetapi cara dan sasaran pembacaan ala Pos-strukturalisme pada umumnya
atas modernisme memang berbeda juga dari kritik modernisme ala Sekolah
Frankfurt. Barangkali akar perbedaannya terutama terletak pada perbedaan
pengertian tentang konsep "modernisme" itu sendiri. Bagi Habermas, misalnya,
seperti halnya bagi tokoh Frankfurt Iainnya, "modern" itu berarti tradisi
Pencerahan dan supremasi rasionalitas, yang hendak mereka selamatkan

Sedang yang dimaksud dengan "modern" oleh para filsuf Pos-strukturalis


agaknya adalah: tradisi kritis dekonstruktif Nietzschean, yakni energi "estetik"
yang cenderung membongkar segala bentuk representasi. Ini memang
membawa konsekuensi logis yang sangat berbeda. Dari perspektif Pos-
strukturalis ini misalnya, rasionalitas Pencerahan adalah justru sosok teror dan
pengekangan totaliter-struktural, yang melahirkan narasi-besar Hegel ataupun
Marx, tetapi juga berbuntut pada totaliterisme Auschwitz ataupun kesewenangan
ideologis Gulag. Dan sudut ini perspektif Pos-strukturalis persis berbeda secara
diametrikal dengan perspektif Frankfurt.

Itu pula sebabnya kata kunci dalam kritik modernisme versi Pos-strukturalisme
misalnya bukanlah "anxiety", "alienasi" ataupun "negativitas", melainkan
"transgressi", "tekstualitas", "presensi", "jouissance", dan sebagainya. Kalau teori
kritis beraroma melankolis, murung dan muram, maka pos-strukturalisme lebih
diwarnai kebermainan gembira yang liar bagai merayakan anarkisme dan
nihilisme. Istilah "gay science" dari Nietzsche bagus bila dikenakan pada
perilaku kaum Pos-strukturalis.
Dalam kerangka itu sangatlah menarik artikel pendek Foucault yang berjudul
What is Enlightenment. Secara eksplisit di sana ia menolak mengambil sikap pro
ataupun kontra terhadap Pencerahan, sebab pemosisian terhadap altematif
macam itu baginya totaliter dan simplistik, terasa bagai tindakan "pemerasan"
(blackmail). Ia juga menganggap tidak penting istilah "pra-modern","modern"
ataupun "posmodern" yang menunjukkan babakan-babakan sejarah. Sikap
"dialektis" ataupun melihat segalanya dalam kerangka both-and ( "ini" sekaligus
"itu") baginya juga bukan jalan keluar. Yang dicanangkannya adalah sikap
realistis yang melihat kenyataan bahwa dari sudut tertentu kita memang telah
dibentuk oleh Pencerahan itu, namun ini tidak berarti kita mesti
mempertahankannya dengan mencari dasar kesahihan baru bagi prinsip-prinsip
universal Pencerahan yang telah ditancapkan oleh Kant. Alih-alih mencari
kembali batas-batas pengetahuan dalam rupa struktur formal yang niscaya dan
universal ala Kant, katanya, justru perlulah kita keluar dari batasan-batasan
macam itu; mencoba kemungkinan-kemungkinan baru yang mendobrak
anggapan tentang keniscayaan-keniscayaan macam itu. Yang diperlukan adalah:
transgressi. Kalau Kant terobsesi oleh prinsip-prinsip universal, maka kita perlu
bertanya mengapa tidak ada tempat yang cukup berarti bagi yang partikular dan
kontingen, misalnya.

Dengan itu Foucault bukannya hendak menolak modernisme, melainkan


memahami modernisme secara berbeda dari Kant. Bila bagi Kant hal yang inti
dari modernisme Pencerahan adalah cita-cita menjadikan manusia matang,
dewasa dan otonom, maka Foucault meragukan hasilnya. Nyatanya, katanya,
hingga hari ini manusia tidak lebih matang dan dewasa ataupun otonom.
Foucault Iebih suka melihat Pencerahan atau kemodernan dari paham penyair
Baudelaire. Dalam kerangka Baudelairean modernitas adalah etos, sikap dasar,
yang selalu memperhadapkan kenyataan real hari ini dengan potensi kebebasan
yang mampu mengatasi realitas itu. Manusia modern di sini bukanlah manusia
yang makin menemukan rahasia-rahasia atau kebenaran terdalamnya, bukan
pula yang makin mampu membebaskan diri menuju diri sejatinya, melainkan
yang terus-menerus mampu menciptakan kembali dirinya, mampu mengatasi
batasan-batasan yang telah dicangkokkan atasnya. Dalam rangka itulah perlu
kini kritik-kritik genealogis dan arkeologis, dan bukan kritik transendental Kantian.
Artinya, yang diperlukan adalah melacak kembali jaringan-jaringan peristiwa
konkrit dalam sejarah yang bisa memperlihatkan bagaimana pemahaman diri kita
itu telah dibentuk, mengapa batasan-batasan tertentu dianggap niscaya dan
universal padahal tidak mesti begitu, dan sebagainya. Ontologi kritis atas diri,
katanya, mestinya berupa etos yang selalu berani melakukan analisis historis
atas segala jenis batas yang dikenakan pada kita sekaligus bereksperimen untuk
keluar dari batasan-batasan itu.

Segala kritik Foucault atas "diri subjek" modern agaknya mesti diletakkan dalam
kerangka "Ontologi kritis atas diri" itu. Pada titik ini terlihat makin jelas ambiguitas
sikap Foucault terhadap kemodernan. Di balik segala omongannya yang sangat
berbau "antihumanistik" atau "anti-Subjek", sebetulnya ia toh tidak naif, ia masih
melihat manusia sebagai subjek tertentu. Hanya saja cara memandangnya
memang khas. Maka Foucault sebetulnya masih membela modernisme dan
modernitas, namun dengan perspektif dan caranya sendiri. Berikutnya...

Bahkan ada yang menganggap omongan-omongan Foucault adalah nyanyian


angsa (Swansong) dari kemodernan itu sendiri. Akan tetapi kita tahu juga
memang, nyanyian angsa paling indah adalah nyanyian terakhir sebelum ia mati.
Omongan-ornongan kaum pos-strukturalis memang memukau dan
mengasyikkan bagai binar-binar kembang api. Namun, kembang api terasa
memukau hanya di malam ri ketika modernisme sudah malam, gelap dan
frustrasi.

* Penulis adalah dosen filsafat pada Universitas Parahyangan, Bandung

Daftar Pustaka

Foucault, M., Madness and Civilization, London: Tavistock, 1967

---, The Order of Things, London: Tavistock, 1970

---, The Archeology of Knowledge, London: Tavistock, 1972

--- , Power/Knowledge, selected interviews and other writings 1972-1977, ed.


C. Gordon, Brighton: Harvester Press, 1980

--- , Discipline and Punish, London: Penguin, 1977

---, "What is Enlightenment" dalam Knowledge and Postmodernism in


historical perspective, ed. Joyce Appleby et al., New York : Routledge, 1996

Anda mungkin juga menyukai