Anda di halaman 1dari 7

ANTI-POSITIVISME KARL RAIMUND POPPER DAN THOMAS KUHN

Oleh : Danu Aji Nugroho – 111724153015

Manusia dan Ilmu


Manusia adalah mahluk hidup yang diciptakan dengan kemampuan intelektual yang
berbeda dengan mahluk hidup lainnya. Kondisi biologis manusia yang mempunyai
perkembangan istimewa dari cerebellum, kedua hemisfer, dan thalamus membuat kita
menjadi lebih cerdas dan memiliki akal budi (Haryono, 2012). Dengan akal budi tersebut,
manusia mampu untuk berfikir dan berfilsafat secara kritis. Kemampuan manusia berfikir
menggunakan akalnya itulah yang mampu membuat manusia mampu bertahan hidup dan
membuat revolusi mutakhir di dunia ini. Kemampuan tersebut juga mendorong manusia
untuk berfikir kearah pengembangan ilmu pengetahuan.
Ilmu adalah pengetahuan yang bertujuan untuk mencapai kebenaran ilmiah tentang
objek tertentu melalui pendekatan atau cara pandang (approach), metode (method), dan
sistem tertentu. Kebenaran tentang objek tidak pernah diperoleh secara langsung; melainkan
melalui cara-cara yang sudah teruji.

Berkembangnya Positivisme
Ilmu pengetahuan berkembang secara pesat untuk menjawab kebutuhan manusia di
dalam hidupnya. Dalam konteks sosial inggris pada abad ke-18 , aliran positivisme lahir
sebagai evolusi lebih lanjut dari pendekatan empirisme inggris. Henry Saint Simon (1760-
1825) serta muridnya August Comte (1798-1857) adalah tokoh pencetus lahirnya semangat
positivisme. Slogan khas yang muncul dari semangat positivisme sendiri adalah Savoir pour
pre voir, prevoie pour pouvoir” (dari ilmu muncul prediksi , dari prediksi muncul aksi).
Positivisme adalah satu dari paradigma yang ada. Positivisme berasumsi ontologis
semesta mekanis newtonian, asumsi metodologis pengamatan berjarak, dan struktur nilai
berupa pengagungan objektivisime. Paradigma postivisme memperoleh legistimasinya secara
intersubjektif. (Adian, 2002)
Pandangan dunia positivisme adalah pandangan dunia objektivistik bahwa objek-
objek fisik hadir independen dari subjek dan hadir secara langsung melalui data-data
inderawi. Positivisme mengembangkan klaim empiris tentang pengetahuan secara ekstrim
dengan menyatakan bahwa puncak pengetahuan manusia adalah ilmu yang didasarkan pada
“fakta-fakta keras” yaitu fakta yang terukur dan teramati.
Ilmu-ilmu yang didasarkan pada “fakta-fakta keras” seperti ini disebut dengan ilmu
yang positif. Metodologi yang dikembangkanpun merupakan eksperimental-laboraturium
(situasi yang terkendali/terkontrol). Konsekuensinya “ilmu pengetahuan menggambarkan
semesta apa adanya” (atau yang bisa disebut dengan realisme epistemologi) dan kepercayaan
bahwa “ada satu metode yang dapat menjamin pencapaian kebenaran ilmiah yang objektif”
(atau yang bisa disebut dengan fondasionalisme epistemologi) (Suprapto, 2001)
Contoh konkrit yang terkenal dari pandangan positivisme adalah peneliti mencari
angsa berwarna putih untuk bisa membuktikan premis dari semua angsa berwarna putih.
(entah angsa berwarna putih bercorak hitam, dan sebagainya).

Anti-Positivisme Popper (Falsifikasi)


Anti-Positivisme lahir dari kritik atas aliran positivisme. Tokoh pertama yang
memberikan kritik adalah Karl Raimund Popper (1902-1994). Karl Raimund Popper adalah
seorang filsuf yang berasal dari Jerman yang juga aktif dalam lingkaran Wina (atau yang
biasa disebut Vienna Circle). Vienna Circle adalah kelompok di Wina yang berorientasi pada
paradigma positivisme.
Meski Karl Raimund Popper tergabung dalam kelompok Vienna Circle, tetapi Karl
Raimund Popper menolak prinsip verifikasi (pembuktian teori lewat fakta-fakta keras. Karl
Raimund Popper mengusulkan prinsip penggantinya yaitu falsifikasi. Falsifikasi adalah
kebalikan dari prinsip verifikasi. Falsifikasi adalah pengguguran / pembatalan suatu teori
melalui fakta-fakta yang ada. Status ilmiah suatu teori menurut Popper adalah yang bisa
difalsifikasikan. Sebuah teori akan dikatakan benar apabila teori tersebut belum bisa
difalsifikasikan.
Karl Raimund Popper menyatakan bahwa proses verifikasi yang dikemukakan
paradigma positivisme sangatlah lemah. Verifikasi hanya bisa didapat melalui logika induksi.
Menurut pandangan induktivis, ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang telah dibuktikan
kebenaranya melalui observasi dan eksperimen.
Karl Raimund Popper lebih berfokus untuk menggunakan falsifikasi yang berprinsip
bahwa fokus penelitian sains bukanlah proses pembuktian positif (yang menganggap bahwa
sesuatu itu benar apabila ada satu/sebagian muncul dan bisa diobservasi kemunculannya)
melainkan kepada proses pembuktian negatif (bahwa sesuatu itu tidak benar apabila ada
satu/sebagain kecil yang bertentangan muncul dan bisa diobservasi kemunculannya). Hal ini
membuat penelitian ilmiah lebih efisien karena sebuah teori dapat dipastikan gugur hanya
oleh sebuah fakta. Falsifikasi dapat dinilai lebih efisien dibandingkan verifikasi yang
membutuhkan banyak sampel penelitian untuk bisa mengambil kesimpulan.
Contoh sederhana dari perbandingan verifikasi dan falsifikasi adalah sebagai berikut :
Teori : Semua mahasiswa Magister Profesi Psikologi memiliki kendaraan bermotor. Apabila
dalam verifikasi, maka peneliti akan menggali sampel mahasiswa Magister Profesi Psikologi
dan mencari tahu apakah mereka mempunyai kendaraan bermotor atau tidak. Apabila
mempunyai kendaraan bermotor, maka teori tersebut benar. Apabila dibahas dalam sudut
pandang falsifikasi, maka cara penelitiannya pun berbeda. Peneliti malah harus mencari
mahasiswa Magister Profesi Psikologi yang tidak memiliki kendaraan bermotor. Apabila
hanya satu saja mahasiswa Magister Profesi Psikologi yang tidak memiliki kendaraan
bermotor, maka teori yang disusun diawal adalah tidak benar.
Ilmu pengetahuan masih mengembangkan isu seputar generalisasi-generalisasi
abstrak yang benar selama hal tersebut masih bersinambungan dengan fakta-fakta. Namun hal
ini berbeda dengan gagasan Karl Raimund Popper yang mengatakan bahwa manusia tidak
akan pernah bisa memastikan secara logis bahwa kita telah mencapai kebenaran meski kita
dapat semakin mendekati kepastian semacam itu lewat falsifikasi. Karl Raimund Popper
menggunakan istilah verisimilitude (mendekati kebenaran) untuk menggantikan
korespondensi (kebenaran akurat). (Adian, 2002)
Kemajuan ilmu pengetahuan menurut Karl Raimund Popper bergerak dari
problem/masalah (P1) yang diikuti oleh artikulasi suatu teori tentatif (TT) yang terbuka bagi
falsifikasi (EE) dan memunculkan problem baru (P2) yang siap melahirkan suatu teori tentatif
baru. Skema pengembangan ilm pengetahuan bisa digambarkan sebagai berikut :
P1 – TT – EE - P2
(Problem 1 – Teori Tentatif – Error Elimination – Problem 2)
Ketika teori tentatif bisa bertahan terhadap error elimination maka dapat dikatakan
bahwa problem tersebut semakin mendekati kebenaran (meski tidak selamanya tahan uji).
(Notturno, 2015)
Anti-Positivisme Kuhn (Paradigma Sains)
Konsep-konsep Karl Raimund Popper kemudian banyak dikritik oleh seorang filsuf
ilmu pengetahuan Thomas Samuel Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific
Revolution pada tahun 1962. Thomas Samuel Kuhn menjelaskan bahwa falsifikasi bukanlah
hal yang terpenting dalam mengembangkan dan mencari kebenaran ilmu pengetahuan.
Falsifikasi tidak selalu bisa berhasil dalam menggugurkan sebuah teori. Apabila Karl
Raimund Popper meyakini adanya perbandingan rasional antara teori satu dengan teor lain,
Thomas Samuel Kuhn meyakini prinsip ketidakterbandingan. Prinsip ini pada dasarnya
hendak mengatakan bahwa kesinambungan antar-teori adalah hal yang tidak mungkin karena
masing-masing berada di bawah payung paradigmanya masing-masing. Thomas Samuel
Kuhn memutuskan garis kesinambungan ilmu pengetahuan yang diyakini Karl Raimund
Popper dan menggantinya dengan ketidaksinambungan.
Thomas Samuel Kuhn setuju dengan pendapat Karl Raimund Popper yang
mengatakan bahwa fokus penelitian sains bukanlah proses pembuktian positif melainkan
kepada proses pembuktian negatif. Bedanya, Karl Raimund Popper memandang sejarah ilmu
sebagai sebuah kegerakan evolusioner, sedangkan Thomas Samuel Kuhn memandangnya
sebagai patahan-patahan revolusioner.
Krisis merupakan akumulasi fakta-fakta yang bertentangan yang membuat keabsahan
suatu paradigma menjadi dipertanyakan kembali. Fakta-fakta yang bertentangan terkadang
muncul secara tiba-tiba dan seringkali membuat ilmuwan bingung karena kontradiksi dengan
apa yang dikatakan menurut paradigma teori tertentu. Paradigma semakin tidak mampu
bertahan karena desakan akumulasi fakta-fakta yang bertentangan.
Krisis yang terjadi membuat para ilmuan mempertanyakan kembali secara radikal
dasar-dasar ontologis, metodologis, dan nilai-nilai yang selama ini diyakininya. Krisis akan
memunculkan paradigma baru yang berbeda dengan paradigma sebelumnya.
Rumus perkembangan ilmu pengetahuan menurut Thomas Samuel Kuhn adalah :
P1 – SN – A – K – P2
(Paradigma 1 – Ilmu Pengetahuan Normal – Anomali – Krisis – Paradigma 2)
Menurutnya, Paradigma satu dan paradigma yang lain tidak mungkin bisa
dibandingkan karena asumsi yang dimiliki oleh suatu paradigma tentu saja berbeda dengan
asumsi yang dimiliki oleh suatu paradigma lainnya. Lebih lanjut, Thomas Samuel Kuhn
menjelaskan bahwa paradigma dapat diibaratkan sebagai sebuah semesta buatan, sehingga
percuma ketika kita membandingkan dua paradigma karena sama saja kita membandingkan
dua semesta yang berbeda. Dari penjelasan inilah, Thomas Samuel Kuhn mengeluarkan
sebuah diktum relativistik yang berbunyi “dua ilmuwan yang bekerja pada dua paradigma
yang berbeda berada di dua dunia yang berbeda”. (Adian, 2002)

Perbedaan Anti-Positivisme Karl Raimund Popper dan Thomas Samuel Kuhn


Untuk lebih bisa menggambarkan mengenai perbedaan antara teori Karl Raimund Popper dan
Thomas Samuel Kuhn, saya mencari sebuah artikel ilmiah yang berjudul “Does the Truth
Matter in Science?” yang ditulis oleh Peter Lipton dari University of Cambridge. Dalam
artikel ilmiah tersebut, Lipton menjelaskan bahwa gagasan besar Popper adalah bahwa bukti
yang baik adalah bukti negatif yang didasarkan pada titik logis. Titik logis Popper adalah
tidak ada jumlah bukti positif yang pernah membuktikan hipotesis. Menurut Popper, bukti
positif ilmuwan tidak mengerti, sedangkan bukti negatif mengatakan kepada mereka bahwa
hipotesis mereka salah, sehingga mereka dapat menolaknya, menggantinya dengan yang lain.
Popper menerima salah satu bagian dari pandangan kebenaran tetapi menolak yang
lain. Dia menerima bahwa kebenaran adalah tujuan rasional ilmu pengetahuan, tapi terlepas
dari nada optimis dari prosanya, seluruhnya skeptis tentang kemungkinan memiliki setiap
alasan untuk percaya bahwa setiap klaim ilmiah benar, atau sekitar benar, atau mungkin
benar.
Thomas Kuhn mempunyai ide yang agak berbeda. Dari paradigma ilmiah, sebenarnya
Kuhn menggunakan istilah terkenal dalam pengertian yang berbeda. Ketika Kuhn memulai
karyanya dalam sejarah ilmu pengetahuan, ia dikejutkan oleh tingkat konsensus dan
koordinasi selama periode paling dalam spesialisasi tertentu ilmiah. Para anggota dari sebuah
komunitas peneliti cenderung setuju tentang masalah ilmiah yang telah dipecahkan dan
masalah yang masih perlu dipecahkan. Kuhn mengklaim bahwa setelah revolusi ilmiah, para
ilmuwan bekerja di 'dunia yang berbeda'.
Apa maksud Kuhn sebenarnya dengan 'perubahan dunia? Kuhn menyatakan bahwa
dunia ilmu pengetahuan menggambarkan dunia yang sebagian dibentuk oleh aktivitas
ilmuwannya sendiri. Ini seperti membangun jembatan: jembatan merupakan konsekuensi dari
aktivitas manusia, namun dunia memainkan peran yang jelas. Sebuah jembatan adalah
'konstruksi manusia', tapi jembatan tidak dibuat kokoh hanya dengan mengatakan atau
percaya bahwa itu adalah kokoh. Demikian pula, pandangan Kuhn bahwa hal-hal yang
ilmuwan teliti adalah jenis produk gabungan dari dunia seperti itu, benar-benar bebas dari
kita,dan aktivitas intelektual kita sendiri. (Lipton, 2005)
Kesimpulan
Dari penjabaran diatas, dapat ditarik kesimpulan mengenai perbedaan mendasar
antara pandangan Karl Raimund Popper dan pandangan Thomas Samuel Kuhn.
Perbedaan pertama adalah mengenai definisi ilmu pengetahuan. Karl Raimund Popper
berpendapat bahwa ilmu pengetahuan bukan semata-mata produk kesepakatan sosial
sedangkan Thomas Samuel Kuhn berpendapat bahwa ilmu pengetahuan adalah hasil
kesepakatan intersubjektif. Apabila dilihat dari perkembangan ilmu pengetahuan, Karl
Raimund Popper berpendapat bahwa ilmu pengetahuan berkembang secara evolusioner
sedangkan Thomas Samuel Kuhn berpendapat bahwa ilmu pengetahuan berkembang secara
revolusioner.
Perbedaan kedua adalah mengenai perkembangan ilmu pengetahuan. Karl Raimund
Popper berpendapat bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dapat dicapai melalui subjek
peneliti, sedangkan Thomas Samuel Kuhn berpendapat bahwa perkembangan ilmu
pengetahuan dapat dicapai melalui subjek peneliti dalam satu komunitas ilmu pengetahuan.
Perbedaan ketiga adalah mengenai rumus perkembangan ilmu pengetahuannya
sendiri. Skema pengembangan ilm pengetahuan Karl Raimund Popper bisa digambarkan
sebagai berikut : P1 – TT – EE - P2 (Problem 1 – Teori Tentatif – Error Elimination –
Problem 2), sedangkan Rumus perkembangan ilmu pengetahuan menurut Thomas Samuel
Kuhn adalah : P1 – SN – A – K – P 2 (Paradigma 1 – Ilmu Pengetahuan Normal – Anomali –
Krisis – Paradigma 2).

DAFTAR PUSTAKA

Adian, D.G. (2002). Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari David Hume sampai
Thomas Kuhn. Jakarta: Teraju.
Haryono, Tri Joko Sri. (2012). Buku Ajar Pengantar Antropologi. Surabaya : Revka Petra
Media
Lipton, Peter. (2005). Does the Truth Matter in Science?. Sage Publications. 4(2), 173–183
Notturno, M.A. (2015). Falsifiability Revisited: Popper, Daubert, and Kuhn. The Journal of
Philosophy, Science & Law: Daubert Special Issue, 15, 5-25
Suprapto, B. (2001). Aturan Permainan Dalam Ilmu-Ilmu Alam. dalam J. Suriasumantri (Ed).
Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai