Anda di halaman 1dari 8

KAJIAN FILOSOFIS ATAS SEJARAH DAN METODOLOGI ILMU PENGETAHUAN

KARANGAN YEREMIAS JEMA (BAB 7 & BAB 8)

Oleh:
ERNI DELVINCE PONG

Mata Kuliah : Filsafat Ilmu


PENGAMPU : Dr. Zinzendorf Dachi, Mth
SEMESTER : 1 (Satu)
PROGRAM : MAGISTER TEOLOGI (Mth)
POLEMIK SAINS DI ABAD KE-17 18 DAN
POSITIVISME LOGIS
Bab Bab

I Selama periode antara Nicholas Coprenicus dan Galieleo Galilei, opini antara para astronomer
I
(baik itu yang dibangun diatas model petolemic atau model copernican) mengerucut pada pandangan
“realis” atas astronomi matematis yang didukung oleh Coprenicus. Dua hal berikut dapat dirujuk sebagai
faktor yang menjelaskan mengapa terjadi pengerucutan pandangan semacam ini. Faktor pertama,
berhubungan dengan kemunduran umum yang di alami fisika nominalis dan diamnya seluruh keraguan
yang sebelumnya sangat dibanggakan oleh nominalisme. Faktor kedua adalah semakin diterimanya
penjelasan-penjelasan Coprenicus, bahwa astronomi tidak boleh diperlakukan sebagai yang berbeda
secara metodologis dengan ilmu pengetahuan lainnya.
Solusi Para Ilmuan
Fisika matematis yang baru dan yang dikembangkan Galileo mencoba
mendeskripsikan alam semesta secara kurang lebih eksak, dengan konsekuensi
bahwa alam semesta bersifat matematis dalam struktur-strukturnya. Selain itu,
tuntutan bagi prinsip-prinsipnya pun tetap belum beranjak dari karakter sains
konseptualis.
Akan tetapi, di lain pihak, Galileo tahu dengan sangat jelas bahwa membuktikan bahwa
penampakan-penampakan dapat terselamatakan dengan gerakan bumi bukanlah hal yang sama
dengan ketika membuktikan apakah teori ini benar atau salah. Menurut dia, Sistem Ptolemic
tidak mampu memberikan alasan dalam menjelaskan penampakan-penampakan benda langit,
dan tak diragukan lagi bersifat keliru, hanya karena penjelasan Copernican mungkin saja benar.
Dan tidak ada satu kebenaran pun yang lebih besar yang boleh atau harus dicari dalam sebuah
teori selain bahwa kebenaran itu berkorespondensi dengan seluruh penampakan partikular.
Bab Bab

I Johanes Kepler (27 December1571–15 November 1630) ilmuwan yang satu ini tampaknya
memahami kesulitan ini secara lebih baik dibandingkan dengan ilmuwanilmuwan lainnya
I
pada masa sebelum Newton. Dalam sanggahannya terhadap pandangan “fiksionalis”
mengenai hipotesis astronomikal, dia menganalisis gagasan dari hipotesis dalam ilmu
pengetahuan alam dalam penjelasan-penjelasan yang cukup rinci. Kepler sebagaimana
diargumentasikan Nicholas Reymers Baer, memperlihatkan bahwa kesalahannya sangat
ditentukan oleh “pemahamannya yang bertentangan mengenai term hipotesis, yang bagi
dia memiliki makna yang sama dengan “fiksi”.Tentu saja hal semacam ini mungkin saja
begitu, karena sebuah konklusi yang benar yang ditarik dari premispremis yang salah,
sehingga kalau pun jika deduksi dari hipotesa diverifikasi selalu saja ada kemungkinan
bahwa hipotesis tetap memiliki kemungkinan salah. Tetapi sebuah hipotesa yang salah
akan mengkhianati dirinya sendiri karena akan menghasilkan prediksi yang tidak-bisa-
diprediksikan (non-verified prediction) dan dengan demikian akan difalsifikasi—kecuali
kalau, demikian Kepler menambahkan dengan sangat cerdas, seseorang mengizinkan
pembelanya terus menambahkan hipotesa ekstra. Tetapi sebuah akhir pasti akan datang
dan menghampiri ini, sehingga jika seseorang terus menguji dua hipotesa alternatif, salah
satu dari hipotesa tersebut akan gagal.
Kritik Terhadap Kaum Positivis Logis

Bab
Berbagai aliran filsafat ilmu lahir dan berpengaruh selama abad ke-20, salah satunya adalah positivisme
logis atau yang lebih populer dengan sebutan positivisme. Di awal kemunculannya, positivisme logis II
atau empirisme logis (keduanya membentuk aliran yang disebut neopositivisme), sebetulnya adalah
sebuah gerakan dalam filsafat Barat yang mengagung-agungkan verifikasionisme: sebuah pendekatan
Bab
yang berusaha melegitimasi diskursus filsafat berdasarkan bukti-bukti empiris. Dalam teori pengetahuan
II semacam ini, hanya pernyataan yang bisa dibuktikan sebagai benar – entah bersifat logis atau empiris –
yang dapat disebut sebagai bermakna secara kognitif (cognitively meaningful).

Positivisme logis menegaskan bahwa setiap jenis pengetahuan memiliki prinsip justifikasi masing-masing.
Dengan demikian, tidak ada formula/rumusan yang bisa menjelaskan semua persoalan. Pemikiran
positivisme logis mencapai puncaknya pada Wittgenstein. Bagi Wittgenstein, tidak ada satu prinsip pun
yang berlaku bagi semua hal. Dengan demikian, sia-sialah melakukan penelitian apa saja untuk
menemukan prinsip tunggal ini. Setiap pengetahuan memiliki prinsip justifikasinya sendiri

Sedangkan menurut Meynell menegaskan pandangannya, bahwa dunia nyata yang menjadi objek
pengetahuan itu ada. Dunia nyata itu tidak semata-mata apa yang kita alami, tetapi juga apa yang kita
pahami dan tegaskan pada basis pengalaman kita. Dunia nyata itu tidak lain dari hal-hal yang intelijibel,
kejadiankejadian, dan keadaan yang kita tegaskan sebagai eksis dan menjadi alasan bagi hasil yang
inteligen atau penyelidikan rasional kita.
sebab-sebab kemunduran sains positivistik

Positivisme yang mengagung-agungkan empirisme ternyata tidak mampu meyakinkan manusia,


bahwa logika keilmuan yang dibangunnya cukup memadai sebagai pegangan dalam memahami
alam semesta. Ada tiga alasan yang dapat dikemukakan untuk menjelaskan kegagalan proyek
positivisme.

Pertama, para ilmuwan modern umumnya menjadi ilmuwan yang sangat realistis dalam arti mereka
memahami diri sebagai ilmuwan yang tidak hanya berusaha menemukan kebenaran teoretis tetapi juga
berusaha mendapatkan sub-struktur atau mekanisme tersembunyi dari dunia yang kita hidupi ini.
Keberpihakan ini menegaskan sebagai semacam posisi umum, bahwa posisi antirealisme sebagaimana
dikampanyekan kaum positivis tidak sesuai dengan watak dan praktik ilmu pengetahuan

Kedua, para ilmuwan secara tradisional juga percaya bahwa ilmu pengetahuan berusaha
memberikan atau menyediakan penjelasan-penjelasan bagi realitas. Penjelasan, bagaimana pun,
umumnya merujuk juga kepada karakteristik dan aktivitas tertentu dari berbagai substruktur dan
entitas lainnya.

Ketiga, kesalahan paling fatal yang dilakukan para ilmuwan positivis melibatkan pembelaan
mereka pada prinsip empirik, bahwa segala hal hanya akan bermakna (meaningful) jika
memenuhi kriteria verifiablitas55 (dapat dibuktikan benar berdasarkan penginderaan).
kritik Karl Popper terhadap
sains positivistik
• Karl R. Popper yang berpendapat bahwa pembentukan konsensus teori ilmiah
dicapai melalui disetujuinya aturan-aturan metodologis yang berperan sebagai
algoritma yang menentukan pilihan sebuah teori ciri khas pengetahuan ilmiah bukan
apakah pengetahuan tersebut dapat dipertahankan atau tidak, tetapi apakah dapat
dibuktikan salah atau tidak. Suatu pengetahuan ilmiah hanya bisa dipertahankan
jika tahan terhadap falsifikasi, dan sebaliknya.

kritik Larry Laudan terhadap


sains positivistik
Larry Laudan lalu menawarkan model rasionalitas ilmiah yang disebutnya sebagai
“model jaringan” (reticulated model). Di atas model inilah tujuan-tujuan, metode-
metode, dan keyakinan-keyakinan faktual membentuk semacam jaringan peralihan
dan hubunganhubungan justifikasi yang sifatnya saling tergantung
(interdependen). Alih-alih memahami rasionalitas sains secara “top-down”
sebagaimana terjadi dalam model justifikasi epistemik hierarkis, justifikasi sains
dalam “model jaringan” justru bergerak ke atas dan ke bawah dari hierarki
tersebut
Mengkritik Thomas S.
Berbeda dengan klaim
Kuhn
Thomas S. Kuhn sendiri, bahwa kritiknya atas metode dan
perkembangan sains didasarkan pada pembacaan yang tepat atas sejarah perkembangan
sains, Larry Laudan justru melihat bahwa kritik Kuhn lebih didasarkan pada bagaimana
sains bekerja.
Kesimpulan

Kedua filsuf ini sebenarnya setuju bahwa sains mengalami perubahan atau perkembangan.
Meskipun demikian, Kuhn menekankan perubahan yang terjadi secara revolusioner yang ditandai
oleh peralihan dari satu paradigma ke paradigma lainnya. Perubahan tersebut bahkan terjadi secara
total pada ketiga level dari model hierarkis justifikasi epistemik. Hal ini dapat dipahami, karena
ketiga level tersebut bersifat tak-terpisahkan (satu kesatuan sebagai jaringan). Larry Laudan juga
mendukung adanya perubahan dalam sains, tetapi perubahan itu terjadi secara bertahap.

Bagi Larry Laudan, perubahan revolusioner sebagaimana dipertahankan Kuhn tidak dapat
dipahami secara rasional karena mengandung banyak inkonsistensi di dalamnya, selain tidak
adanya faktor yang tetap dalam perubahan tersebut.

Thomas S. Kuhn mengingatkan kita untuk tidak terlena di dalam situasi sains normal,
tetapi terus memulai petualangan baru menuju penemuan-penemuan baru di bidang
keilmuan. Ini penting, karena “ilmu normal mengisolasikan komunitas ilmiah dari segala
sesuatu yang berada di luar komunitas itu.
Terima kasih

Anda mungkin juga menyukai