Anda di halaman 1dari 6

FILSAFAT ILMU DAN PEMIKIRAN AKUNTANSI

DISUSUN OLEH :

YUN ERMALA DEWI


A062181030

PASCASARJANA PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2018
EPISTEMOLOGI FALSIFIKASI
A. Prawacana
Popper menyatakan, para ilmuwan seperti Galileo, Kepler, Newton, Einsten, dan
Bohr, bekerja dengan dugaan-dugaan yang berani dan upaya-upaya yang hebat dalam
menolak kembali dugaan-dugaan diri mereka sendiri sebelumnya. Meminjam salah satu
istilah kunci pemikiran filosofis Popper langsung, para ilmuwan besar tersebut telah
menerapkan prinsip falsifikasi: keterujian sebuah teori pada prinsipnya mesti membuka
ruang untuk dapat disalahkan (be falsiafable).
Dalam kata pengantar karya besarnya The Logic Scientific Discovery, Popper
menggarisbawahi bahwa ia mengusulkan sebuah sikap rasional dan kritis. Sikap rasional
dan kritis itu menghendaki demikian: “Whenever we propose a solution to a problem,
we ought to try as hard as we can to overthrow our solution, rather than defend it”,
“Kapan pun kita mengusulkan sebuah solusi bagi sebuah problem, kita harus berupaya
sekuat mungkin untuk membuang kembali solusi kita, ketimbang selalu
mempertahankannya”.
B. Metode Induktif dan Kritik Karl Popper
Salah satu metode ilmiah dalam wacana saintifik adalah metode induksi. Secara
historis, metode induksi sudah dimulai oleh Aristoteles. Secara teknis, Aristoteles
menguraikan dengan jelas setidaknya dua macam induksi, yang kemudian diistilahkan
induksi sempurna (perfect) dan luas (ampliative), yaitu a) dalam induksi sempurna atau
lengkap, kesimpulan umum diambil berdasarkan pengetahuan tentang tiap contoh yang
diteliti. Bentuk ini disebut juga induksi dengan enumerasi simple; b) dalam induksi luas
(ampliative) kesimpulan mengambil contoh-contoh sebagai sampel kelas dan memuat
generalisasi dari sifat-sifat khas sampel itu ke sifat-sifatnya khas kelas. Metode induksi
yang digulirkan Aristoteles inilah yang dinamakan induksi tradisional.
Namun, pada abad ke-17, Francis Bacon mengkritisi metode deduktif Aristoteles
yang tidak menghasilkan pengetahuan-pengetahuan baru. Bagi Bacon, logika silogistik
tradisional Aristoteles tidak sanggup menghasilkan penemuan-penemuan empiris. Ia
mengatakan bahwa logika silogistis tradisional hanya dapat membantu mewujudkan
konsekuensi deduktif daripada yang sebenarnya telah diketahui. Agar pengetahuan itu
berkembang dan demi memperoleh pengetahuan yang benar-benar berguna, konkret dan
praktis, metode deduktif harus ditinggalkan dan diganti dengan metode induktif.
Bacon menurunkan beberapa langkah metodis agar menghasilkan pengetahuan-
pengetahuan empiris melalui metode deduktif, yaitu: a) alam semesta diwawancarai atau
diobservasi, b) ilmuwan harus bekerja dengan menggunakan metode yang benar, c)
ilmuwan harus bersikap pasif terhadap diri dari mengemukakan prasangka-prasangka
terlebih dahulu. Menurut Bacon, dengan cara induksi yang benar dan yang berlaku,
seperti ia kehendaki, orang harus naik dari pengenalan fakta ke pengenalan hukum-
hukumnya, seterusnya naik ke bentuk-bentuknya atau unsur-unsur tertentu dari sifat
yang tunggal, seperti umpamanya: panas, terang, berat, dan sebagainya. Metode induksi
ini adalah suatu metode atau suatu proses penyisihan atau pelenyapan, dengannya semua
sifat, yang tidak termasuk sifat yang tunggal ditiadakan. Tujuannya ialah untuk memiliki
sebagai sisanya sifat-sifat yang menonjol dalam fakta-fakta yang diamati.
Huxley menjelaskan proses induksi itu sebagai berikut jika dirumuskan secara
formal: induksi:
Apel 1 keras dan hijau adalah masam
Apel 2 keras dan hijau adalah masam
Semua apel keras dan hijau adalah masam
Induksi seperti diatas sesuai dengan definisi Aristoteles, yaitu proses peningkatan dari
hal-hal yang bersifat individual kepada yang bersifat universal (a passage from
individuals to universals). Di situ premisnya berupa proposisi-proposisi singular, sedang
konklusinya sebuah proposisi universal, yang berlaku secara umum. Maka induksi dalam
bentuk ini disebut generalisasi. Akan tetapi, penelaran calon pembeli itu juga dapat
dirumuskan dalam bentuk lain sebagai berikut: Induksi:
Apel 1 keras dan hijau adalah masam
Apel 2 keras dan hijau adalah masam
Apel 3 keras dan hijau
Apel 3 adalah masam
Bentuk penalaran diatas juga suatu induksi, namanya analogi induktif. Dari contoh dua
jenis induksi di atas dapat diketahui ciri-ciri induksi:
1. Premis-premis dari induksi ialah proposisi empirik yang langsung kembali
kepada suatu observasi indra atau proposisi dasar (basic statement).
2. Konklusi penalarn induktif itu lebih luas daripada yang dinyatakan di dalam
premis-premisnya.
3. Meskipun konklusi induksi itu tidak mengikat, akan tetapi manusia yang normal
akan menerimanya, kecuali kalua ada alasan untuk menolaknya.
Hasil penalaran generalisasi induktif itu sendiri juga disebut generalisasi. Generalisasi
yang sebenarnya harus memenuhi tiga syarat sebagai berikut:
1. Generalisasi harus tidak terbatas secara numerik. Artinya generalisasi tidak boleh
terikat pada jumlah tertentu.
2. Generalisasi harus tidak terbatas secara spasio-temporal. Artinya, tidak boleh
terbatas dalam ruang dan waktu.
3. Generalisasi harus dapat dijadikan dasar pengendalian.
Bagi para teoritisi, teori induksi ini bukan tanpa kesulitan. Filsuf yang pertama
menggarisbawahi kesulitan kesulitan itu adalah orang skotlandia yang bernama David
Hume (1711-1776). Ia menekankan bahwa dari sejumlah fakta-betapapun besar
jumlahnya-secara logis tidak pernah dapat disimpulkan suatu kebenaran umum.

C. Problem Demarkasi dan Rasionalisme Kritis


Proses pemikiran kreatif-kritis Popper selanjutnya adalah berupa menelisik
problem demarkasi dalam wacana saintifik. Ia hendak menyelidiki sekaligus
membedakan antara sains sejati (true science) dengan sains semu (pseudo-science), atau
antara sains dan metafisika. Salah satu hal yang banyak merepotkan para anggota
Lingkungan Wina ialah percobaan untuk merumuskan apa yang disebutnya “prinsip
verifikasi” (the principle of verification), artinya prinsip yang memungkinkan untuk
membedakan antara ilmu pengetahuan empiris dan metafisika. Dalam buku Logika
Penelitian dan karangan-karangan lain Popper mengkritik usaha mereka itu. Menurut
dia, usaha Lingkungan Wina tersebut masih bertautan erat dengan konsepsi tentang ilmu
pengetahuan yang menjunjung tinggi induksi. Adapun unsur kritik yang dikemukakan
Popper yaitu:
1. Ia menekankan bahwa dengan digunakannya prinsip verifikasi tidak pernah
mungkin untuk menyatakan kebenaran hukum-hukum umum. Hukum-hukum
umum dalam ilmu pengetahuan tidak pernah dapat diverifikasi.
2. Berdasarkan prinsip verifikasi metafisika tidak bermakna. Tetapi dalam sejarah
dapat kita saksikan bahwa acap kali ilmu pengetahuan lahir dari pandangan-
pandangan metafisika atau mistis tentang dunia.
Lebih jauh, popper melakukan identifikasi pembedaan antara siapa yang
disebutkan sebagai filsuf verifikasionis tentang pengetahuan dan filsuf falsifikasionis
terhadap ilmu pengetahuan. Para filsuf verifikasionis berpandangan bahwa apapun saja
yang tidak didukung dengan alasan-alasan yang positif adalah tidak layak untuk
dipercaya atau tidak perlu dijadikan pertimbangan yang serius. Sebaliknya, para filsuf
falsifikasionis menyatakan bahwa apapun saja yang secara prinsipil tidak dapat dikritisi
adalah tidak layak untuk dipertimbangkan secara serius.
Popper menganggap realitas independen sebagai sesuatu yang hanya bisa
didekati oleh pengetahuan manusia secara asimptotis (asymptotic, mendekati tetapi tidak
akan pernah bertemu), dan tidak akan pernah bisa ditangkap oleh, dan berkontrak secara
langsung dan serta merta dengan pengetahuan manusia. Dalam hal inilah, terletak
pemikiran kantianisme yang melandasi epistemologinya, dan lebih dari itu, menjadi
sumber utama dari kekuatan penjelasannya yang hebat.
Menurut kata-katanya sendiri, apa yang telah berhasil dikerjakan oleh popper
ialah mengkombinasikan sebuah pandangan yang secara fundamental bersifat empiris
dengan sebuah pandangan yang secara fundamental bersifat rasionalis terhadap
pengetahuan, jadi merupakan produk dari pikiran-pikiran kita yang berhasil bertahan dan
melewati semua tes berupa konfrontasi dengan sebuah realitas empiris yang eksis secara
independen dari diri manusia, maka istilah yang dipakai untuk menyebut filsafatnya
sendiri ialah rasionalisme kritis. Adapun tesis pemikiran rasionalisme kritis atau sikap
kritis saintifik Karl Pepper dari beberapa karyanya:
1. Tidak ada sumber-sumber puncak pengetahuan.
2. Secara kuantitatif maupun kualitatif sumber pengetahuan kita yang paling
penting, sebagai bagian dari pengetahuan bawaan adalah tradisi.
3. Pengetahuan tidak dapat dimulai dari kehampaan, dari sebuah tabula rasa, dan
tidak juga dari observasi.
4. Baik observasi maupun akal bukanlah sebuah otoritas.
5. Setiap solusi yang telah ditemukan dari sebuah problem akan memunculkan
problem-problem baru yang belum terjawab.
6. Tidak ada otoritas manusia yang dapat menetapkan kebenaran secara mutlak.
D. Konklusi: Antara Apresiasi dan Kritik
Sampai saat ini, bagi Magee, Popper memang masih dilihat sebagai seorang
kritikus. Buku karyanya yang berisikan kritik yang luar biasa terhadap Marximisme,
yang merupakan karya besar dalam dua jilid, The open society and Its Enemies, membuat
dia meraih reputasi internasional. Kritiknya yang sama hebatnya terhadap klaim saintifik
dan ide-ide Freud juga membuatnya terkenal. Dalam dunia filsafat akademis, dia
merupakan kritikus pertama terhadap positivism logis yang benar-benar penuh wawasan.
Pada akhirnya, dia meruntuhkan positivism logis lewat argument-argumen yang dia
ajukan.
Pandangan Popper betapapun kritisnya, dinilai pula oleh para ilmuwan sejarah
sains, masih begitu cenderung mengutamakan fakta-fakta empiric, objektif, dan rasional
tanpa memperhatikan faktor-faktor sosial dan faktor sang ilmuwan sendiri yang
cenderung subjektif

Anda mungkin juga menyukai