0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
89 tayangan6 halaman
Filsafat dari masa ke masa selalu mengalami perkembangan, bahkan sejarah filsafat menunjukan bahwa dalam peredaran zaman berturut-turut dan berganti-ganti pelbagai cabang filsafat telah diminati. Hal tersebut tergantung pada konteks kebudayaan, agama, politik, social dan masih banyak lagi bidang yang turut berpengaruh di dalamnya.
Filsafat dari masa ke masa selalu mengalami perkembangan, bahkan sejarah filsafat menunjukan bahwa dalam peredaran zaman berturut-turut dan berganti-ganti pelbagai cabang filsafat telah diminati. Hal tersebut tergantung pada konteks kebudayaan, agama, politik, social dan masih banyak lagi bidang yang turut berpengaruh di dalamnya.
Filsafat dari masa ke masa selalu mengalami perkembangan, bahkan sejarah filsafat menunjukan bahwa dalam peredaran zaman berturut-turut dan berganti-ganti pelbagai cabang filsafat telah diminati. Hal tersebut tergantung pada konteks kebudayaan, agama, politik, social dan masih banyak lagi bidang yang turut berpengaruh di dalamnya.
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS HASANUDDIN 2018 EPISTEMOLOGI FALSIFIKASI A. Prawacana Popper menyatakan, para ilmuwan seperti Galileo, Kepler, Newton, Einsten, dan Bohr, bekerja dengan dugaan-dugaan yang berani dan upaya-upaya yang hebat dalam menolak kembali dugaan-dugaan diri mereka sendiri sebelumnya. Meminjam salah satu istilah kunci pemikiran filosofis Popper langsung, para ilmuwan besar tersebut telah menerapkan prinsip falsifikasi: keterujian sebuah teori pada prinsipnya mesti membuka ruang untuk dapat disalahkan (be falsiafable). Dalam kata pengantar karya besarnya The Logic Scientific Discovery, Popper menggarisbawahi bahwa ia mengusulkan sebuah sikap rasional dan kritis. Sikap rasional dan kritis itu menghendaki demikian: “Whenever we propose a solution to a problem, we ought to try as hard as we can to overthrow our solution, rather than defend it”, “Kapan pun kita mengusulkan sebuah solusi bagi sebuah problem, kita harus berupaya sekuat mungkin untuk membuang kembali solusi kita, ketimbang selalu mempertahankannya”. B. Metode Induktif dan Kritik Karl Popper Salah satu metode ilmiah dalam wacana saintifik adalah metode induksi. Secara historis, metode induksi sudah dimulai oleh Aristoteles. Secara teknis, Aristoteles menguraikan dengan jelas setidaknya dua macam induksi, yang kemudian diistilahkan induksi sempurna (perfect) dan luas (ampliative), yaitu a) dalam induksi sempurna atau lengkap, kesimpulan umum diambil berdasarkan pengetahuan tentang tiap contoh yang diteliti. Bentuk ini disebut juga induksi dengan enumerasi simple; b) dalam induksi luas (ampliative) kesimpulan mengambil contoh-contoh sebagai sampel kelas dan memuat generalisasi dari sifat-sifat khas sampel itu ke sifat-sifatnya khas kelas. Metode induksi yang digulirkan Aristoteles inilah yang dinamakan induksi tradisional. Namun, pada abad ke-17, Francis Bacon mengkritisi metode deduktif Aristoteles yang tidak menghasilkan pengetahuan-pengetahuan baru. Bagi Bacon, logika silogistik tradisional Aristoteles tidak sanggup menghasilkan penemuan-penemuan empiris. Ia mengatakan bahwa logika silogistis tradisional hanya dapat membantu mewujudkan konsekuensi deduktif daripada yang sebenarnya telah diketahui. Agar pengetahuan itu berkembang dan demi memperoleh pengetahuan yang benar-benar berguna, konkret dan praktis, metode deduktif harus ditinggalkan dan diganti dengan metode induktif. Bacon menurunkan beberapa langkah metodis agar menghasilkan pengetahuan- pengetahuan empiris melalui metode deduktif, yaitu: a) alam semesta diwawancarai atau diobservasi, b) ilmuwan harus bekerja dengan menggunakan metode yang benar, c) ilmuwan harus bersikap pasif terhadap diri dari mengemukakan prasangka-prasangka terlebih dahulu. Menurut Bacon, dengan cara induksi yang benar dan yang berlaku, seperti ia kehendaki, orang harus naik dari pengenalan fakta ke pengenalan hukum- hukumnya, seterusnya naik ke bentuk-bentuknya atau unsur-unsur tertentu dari sifat yang tunggal, seperti umpamanya: panas, terang, berat, dan sebagainya. Metode induksi ini adalah suatu metode atau suatu proses penyisihan atau pelenyapan, dengannya semua sifat, yang tidak termasuk sifat yang tunggal ditiadakan. Tujuannya ialah untuk memiliki sebagai sisanya sifat-sifat yang menonjol dalam fakta-fakta yang diamati. Huxley menjelaskan proses induksi itu sebagai berikut jika dirumuskan secara formal: induksi: Apel 1 keras dan hijau adalah masam Apel 2 keras dan hijau adalah masam Semua apel keras dan hijau adalah masam Induksi seperti diatas sesuai dengan definisi Aristoteles, yaitu proses peningkatan dari hal-hal yang bersifat individual kepada yang bersifat universal (a passage from individuals to universals). Di situ premisnya berupa proposisi-proposisi singular, sedang konklusinya sebuah proposisi universal, yang berlaku secara umum. Maka induksi dalam bentuk ini disebut generalisasi. Akan tetapi, penelaran calon pembeli itu juga dapat dirumuskan dalam bentuk lain sebagai berikut: Induksi: Apel 1 keras dan hijau adalah masam Apel 2 keras dan hijau adalah masam Apel 3 keras dan hijau Apel 3 adalah masam Bentuk penalaran diatas juga suatu induksi, namanya analogi induktif. Dari contoh dua jenis induksi di atas dapat diketahui ciri-ciri induksi: 1. Premis-premis dari induksi ialah proposisi empirik yang langsung kembali kepada suatu observasi indra atau proposisi dasar (basic statement). 2. Konklusi penalarn induktif itu lebih luas daripada yang dinyatakan di dalam premis-premisnya. 3. Meskipun konklusi induksi itu tidak mengikat, akan tetapi manusia yang normal akan menerimanya, kecuali kalua ada alasan untuk menolaknya. Hasil penalaran generalisasi induktif itu sendiri juga disebut generalisasi. Generalisasi yang sebenarnya harus memenuhi tiga syarat sebagai berikut: 1. Generalisasi harus tidak terbatas secara numerik. Artinya generalisasi tidak boleh terikat pada jumlah tertentu. 2. Generalisasi harus tidak terbatas secara spasio-temporal. Artinya, tidak boleh terbatas dalam ruang dan waktu. 3. Generalisasi harus dapat dijadikan dasar pengendalian. Bagi para teoritisi, teori induksi ini bukan tanpa kesulitan. Filsuf yang pertama menggarisbawahi kesulitan kesulitan itu adalah orang skotlandia yang bernama David Hume (1711-1776). Ia menekankan bahwa dari sejumlah fakta-betapapun besar jumlahnya-secara logis tidak pernah dapat disimpulkan suatu kebenaran umum.
C. Problem Demarkasi dan Rasionalisme Kritis
Proses pemikiran kreatif-kritis Popper selanjutnya adalah berupa menelisik problem demarkasi dalam wacana saintifik. Ia hendak menyelidiki sekaligus membedakan antara sains sejati (true science) dengan sains semu (pseudo-science), atau antara sains dan metafisika. Salah satu hal yang banyak merepotkan para anggota Lingkungan Wina ialah percobaan untuk merumuskan apa yang disebutnya “prinsip verifikasi” (the principle of verification), artinya prinsip yang memungkinkan untuk membedakan antara ilmu pengetahuan empiris dan metafisika. Dalam buku Logika Penelitian dan karangan-karangan lain Popper mengkritik usaha mereka itu. Menurut dia, usaha Lingkungan Wina tersebut masih bertautan erat dengan konsepsi tentang ilmu pengetahuan yang menjunjung tinggi induksi. Adapun unsur kritik yang dikemukakan Popper yaitu: 1. Ia menekankan bahwa dengan digunakannya prinsip verifikasi tidak pernah mungkin untuk menyatakan kebenaran hukum-hukum umum. Hukum-hukum umum dalam ilmu pengetahuan tidak pernah dapat diverifikasi. 2. Berdasarkan prinsip verifikasi metafisika tidak bermakna. Tetapi dalam sejarah dapat kita saksikan bahwa acap kali ilmu pengetahuan lahir dari pandangan- pandangan metafisika atau mistis tentang dunia. Lebih jauh, popper melakukan identifikasi pembedaan antara siapa yang disebutkan sebagai filsuf verifikasionis tentang pengetahuan dan filsuf falsifikasionis terhadap ilmu pengetahuan. Para filsuf verifikasionis berpandangan bahwa apapun saja yang tidak didukung dengan alasan-alasan yang positif adalah tidak layak untuk dipercaya atau tidak perlu dijadikan pertimbangan yang serius. Sebaliknya, para filsuf falsifikasionis menyatakan bahwa apapun saja yang secara prinsipil tidak dapat dikritisi adalah tidak layak untuk dipertimbangkan secara serius. Popper menganggap realitas independen sebagai sesuatu yang hanya bisa didekati oleh pengetahuan manusia secara asimptotis (asymptotic, mendekati tetapi tidak akan pernah bertemu), dan tidak akan pernah bisa ditangkap oleh, dan berkontrak secara langsung dan serta merta dengan pengetahuan manusia. Dalam hal inilah, terletak pemikiran kantianisme yang melandasi epistemologinya, dan lebih dari itu, menjadi sumber utama dari kekuatan penjelasannya yang hebat. Menurut kata-katanya sendiri, apa yang telah berhasil dikerjakan oleh popper ialah mengkombinasikan sebuah pandangan yang secara fundamental bersifat empiris dengan sebuah pandangan yang secara fundamental bersifat rasionalis terhadap pengetahuan, jadi merupakan produk dari pikiran-pikiran kita yang berhasil bertahan dan melewati semua tes berupa konfrontasi dengan sebuah realitas empiris yang eksis secara independen dari diri manusia, maka istilah yang dipakai untuk menyebut filsafatnya sendiri ialah rasionalisme kritis. Adapun tesis pemikiran rasionalisme kritis atau sikap kritis saintifik Karl Pepper dari beberapa karyanya: 1. Tidak ada sumber-sumber puncak pengetahuan. 2. Secara kuantitatif maupun kualitatif sumber pengetahuan kita yang paling penting, sebagai bagian dari pengetahuan bawaan adalah tradisi. 3. Pengetahuan tidak dapat dimulai dari kehampaan, dari sebuah tabula rasa, dan tidak juga dari observasi. 4. Baik observasi maupun akal bukanlah sebuah otoritas. 5. Setiap solusi yang telah ditemukan dari sebuah problem akan memunculkan problem-problem baru yang belum terjawab. 6. Tidak ada otoritas manusia yang dapat menetapkan kebenaran secara mutlak. D. Konklusi: Antara Apresiasi dan Kritik Sampai saat ini, bagi Magee, Popper memang masih dilihat sebagai seorang kritikus. Buku karyanya yang berisikan kritik yang luar biasa terhadap Marximisme, yang merupakan karya besar dalam dua jilid, The open society and Its Enemies, membuat dia meraih reputasi internasional. Kritiknya yang sama hebatnya terhadap klaim saintifik dan ide-ide Freud juga membuatnya terkenal. Dalam dunia filsafat akademis, dia merupakan kritikus pertama terhadap positivism logis yang benar-benar penuh wawasan. Pada akhirnya, dia meruntuhkan positivism logis lewat argument-argumen yang dia ajukan. Pandangan Popper betapapun kritisnya, dinilai pula oleh para ilmuwan sejarah sains, masih begitu cenderung mengutamakan fakta-fakta empiric, objektif, dan rasional tanpa memperhatikan faktor-faktor sosial dan faktor sang ilmuwan sendiri yang cenderung subjektif