Anda di halaman 1dari 8

PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN FALSIFIKASI
Teori merupakan hasil rekayasa intelek manusia yang kreatif dan bebas untuk
mengatasi problem-problem yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Teori-teori
itu kemudian diuji dengan eksperimen-eksperimen atau observasi-observasi.

Pernyataan dan teori yang diperoleh melalui empiris atau positivisme logis pada
akhirnya mutlak harus disimpulkan apakah pernyataan dan teori tersebut benar atau
salah. Artinya, pernyataan dan teori tersebut harus memiliki kesimpulan akhir
(conclusively decidable atau conclusive verification). Kalau pernyataan dan teori
tersebut tidak dapat mencapai tahap ini, maka keduanya tidak berarti sama sekali.

Untuk mencapai kondisi tersebut, pernyataan dan teori perlu ditest melalui bukti
empiris. Kalau hasil testnya menunjukkan bahwa pernyataan dan teori tersebut benar,
maka disebut verifiability. Sebaliknya, kalau hasil test empiris tersebut membuktikan
bahwa keduanya salah, maka disebut falsiability. Upaya/test untuk membuktikannhya
salah disebut falsifikasi.Gagasan falsifikasi merupakan sebuah teori yang bukannya
berusaha membuktika kebenaran sebuah proposisi atau teori tetapi berusaha
menunjukkan kesalahannya [1]. Dengan demikian, sistem test dalam ilmu pengetahuan
tidak selalu harus berarti positif (membuktikan benar) tetapi juga harus berarti negative
(membuktikan salah).

Kata falsifikasi berasal dari bahasa latin, yakni falsus (palsu, tidak benar)


dan facere (membuat). Falsifikasi adalah cara memverifikasikan asumsi teoritis
(hipotesis, teori) dengan menggunakan  pelawannya. Ini dilakukan dengan data yang
diperoleh melalui eksperimen.

Istilah verifikasi berasal dari bahasa latin, Verus (benar), facere (membuat). Verifikasi


merupakan suatu usaha konfirmasi untuk memastikan suatu pernyataan (proposisi)
dengan menggunakan metode empirik. Istilah ini digunakan oleh Kelompok Wina yang
menganut Positivisme Logis yang meyakini bahwa suatu pernyataan dianggap
bermakna bila dapat dibuktikan dengan data-data inderawi, dan dikatakan benar bila
data tersebut membenarkannya.[2]

Metode verifikasi digunakan dalam kajian ilmiah tahap keenpat, di mana seorang
ilmuwan menguji kebenaran suatu teori yang dihasilkan dari sebuah observasi. Diyakini
di sini bahwa kebenaran suatu teori bergantung pada pembuktian empiris yang
menyokong keabsahan teori tersebut.

Metode ini dijalankan secara induktif. Artinya, seorang pengkaji melakukan observasi
dengan mengumpulkan data-data empiris yang berkenaan dengan teori yang sedang
dikaji. Hasil observasi ini nantinya yang akan ‘menghitam-atau-putihkan’ teori tersebut.

Sejenak kita lihat definisi di atas menggambarkan pertentangan antara verifikasi dan
falsifikasi; verifikasi cenderung memberikan pembenaran, falsifikasi berupaya
menyalahkan. Namun sebagaimana telah kita bahas di awal tulisan ini, Popper secara
tegas menyatakan bahwa falsifikasi tidak ditujukan untuk mengkaji teori makna,
sebagaimana verifikasi, melainkan untuk membuat garis pembeda
antara science dan pseudo-science.

Selain perbedaan tujuan, falsifikasi berbeda dengan verifikasi dalam titik tolaknya.
Verifikasi bergerak dari observasi menuju sebuah teori (induktif), sedangkan falsifikasi
berangkat dari sebuah teori menuju observasi (deduktif).

1. FALSIFIKASI KARL POPPER


Karl Raimund Popper lahir di Wina pada tanggal 21 Juli 1902 dari keluarga Yahudi
Protestan. Ayahnya, Dr. Simon S.C. Popper, seorang pengacara yang meminati filsafat
dan masalah social. Karl Popper adalah salah satu tokoh yang mengkritik konsepsi
induksi.

Kritik Popper terhadap epistemologi logis, merupakan pintu masuk ke dalam


epistemologinya. Adapun beberapa gagasan Popper sehubungan dengan
penolakannya terhadap gagasan lingkaran Wina adalah:

 Popper menentang prinsip demarkasi antara ilmu yang bermakna dan tidak
bermakna berdasarkan metode verifikatif induktif. Dia mengusulkan suatu demarkasi
lain, yaitu demarkasi antara ilmu yang ilmiah dan tidak ilmiah berdasarkan tolak ukur
pengujian deduktif.
 Metode verifikasi induktif diganti dengan metode falsifikasi deduktif. Namun tidak
seperti Hume yang membuang induksi atau Kant yang mendudukkan induksi pada
tataran sintesis a priori, Popper justru meletakkan penalaran induktif pada tataran
awal, pra ilmiah dalam rangkah pengujian deduktif.[3]
Menurut Popper, ciri khas ilmu pengetahuan adalah falsifiable, artinya harus dapat
dibuktikan salah melalui proses falsifikasi. Dengan falsifikasi, ilmu pengetahuan
mengalami prosess pengurangan kesalahan (error elimination). Proses falsifikasi inilah
yang mengantar ilmu pengetahuan tersebut mendekatai kebenaran, namun tetap
memiliki cirri falsifiable.

Dengan cara falsifikasilah, hukum-hukum ilmiah berlaku: bahwa bukannya dapat


dibenarkan melainkan dapat dibuktikan salah. Dengan cara yang sama, ilmu
pengetahuan berkembang maju. Bila suatu hipotesa telah dibuktikan salah, maka
hipotesa itu ditinggalkan dan diganti dengan hipotesa baru. Kemungkinan lain adalah
bahwa hanya salah satu unsure hipotesa yang dibuktikan salah, sedangkan inti
hipotesa lain dapat dipertahankan, maka unsur tadi ditinggalkan dan digantikan dengan
unsur baru. Dengan demikian, hipotesa terus disempurnakan, walaupun tetap terbuka
untuk dibuktikan salah.

Popper membangun logikanya sendiri dalam studi ilmiah, yang terdiri dari dua prinsip
utama yaitu testability dan falsifiability. Dengan prinsip yang pertama, Popper
menyatakan bahwa sebuah pernyataan ilmiah harus bisa diuji kebenarannya (testable)
melalui suatu metode empiris. Pengujian ini dilakukan untuk melihat kemungkinan
apakah pernyataan tersebut bisa dibuktikan kesalahannya atau tidak (falsifiable).

Dua prinsip ini, yang selanjutnya akan disebut dengan falsifikasi (falsification), 
digunakan Popper sebagai garis pembatas (demarkasi) yang akan
membedakan science dari pseudeo-science.[4][1] Inilah yang membedakan Popper dari
para pemikir Positivisme Logis yang bermarkas di Wina, di mana verifikasi (verification)
yang mereka ciptakan dijadikan sebagai penentu berarti atau tidaknya sebuah
pernyataan atau teori.

Falsifikasi dirancang oleh Popper untuk menjadi solusi bagi masalah demarkasi. Bagi
Popper, demarkasi yang dibuat oleh kelompok Postivisme telah membatasi ilmu
pengetahuan hanya pada yang ilmiah saja, sementara ilmu-ilmu social (khususnya
agama dan mitos-mitos) dianggap sebagai tidak ilmiah, dan demikian tidak bermakna.
Dengan falsifikasi Popper memberikan batasan yang jelas antara pengetahuan ilmiah
(science) dan yang semi-ilmiah (pseudo-science). Tidak seperti Positivisme, Popper
masih memperhitungkan pseudo-sciences sebagai salah satu sumber pengetahuan
dan tetap bermakna dalam lingkaran studi masing-masing. Oleh Karena itu, pemosisian
verifikasi vis a vis falsifikasi yang telah dilakukan angota Lingkaran Wina telah membuat
kontribusi Popper menjadi tidak bermakna. “It was not I who introduced them into the
theory of meaning.”[5]

CONTOH FALSIFIKASI DAN VERIFIKASI

Sebagai contoh penerapan gagasan Karl Popper dalam dunia nyata adalah sebagai
berikut. Para fisikawan dengan metode verifikasi terhadap sample-sample di alam
membuat kesimpulan bahwa “Semua zat akan memuai jika dipanaskan”. Teori ini telah
menjadi sebuah mitos selama berabad-abad dalam dunia fisika. Namun dalam
paradigma filsafat ilmu Popper, teori tersebut tidaklah dianggap sebagai kebenaran
mutlak. Namun ia akan dianggap benar dengan keyakinan yang memadai.

Kemudian terjadi lah penemuan mengenai anomali sifat air. Ternyata dalam rentang
suhu 0-4 derajat Celcius, air tidak lah memuai jika dipanaskan. Air justru menyusut
seiring dengan kenaikan suhu antara 0-4 derajat Celcius. Penemuan ini kemudian serta
merta menggugurkan teori “Semua zat akan memuai jika dipanaskan”. Inilah yang
dimaksud dengan falsifikasi oleh Karl Popper.

Dengan adanya penemuan yang menggugurkan teori pemuaian zat tersebut, maka
diperolehlah keyakinan bahwa teori yang selama ini dipegang yang berbunyi “Semua
zat akan memuai jika dipanaskan” adalah salah. Oleh karena itu, teori tersebut
berkembang menjadi berbunyi “Semua zat akan memuai jika dipanaskan, kecuali air
dalam rentang suhu 0-4 derajat Celcius”. Perlu diketahui juga bahwa teori kedua ini pun
tidak akan dianggap sebagai kebenaran mutlak. Yang dianggap sebagai kebenaran
mutlak adalah salahnya teori pertama, bukan benarnya teori kedua. Teori tersebut bisa
jadi akan difalsifikasi lagi dengan adanya penemuan lain. Misalkan saja suatu saat nanti
ditemukan bahwa Plutonium akan menyusut jika dipanaskan di atas suhu 3000 derajat
Celcius. Maka teori kedua akan berkembang lagi menjadi teori ketiga yang berbunyi
“Semua zat akan memuai jika dipanaskan, kecuali air dalam rentang suhu 0-4 derajat
Celcius dan plutonium di atas suhu 3000 derajat Celcius”.

Contoh sederhana yang lain akan memudahkan kita memahami metode ini. Kita akan
menggunakan metode verifikasi dan falsifikasi untuk menguji sebuah hipotesis yang
berbunyi, “Semua burung gagak berwarna hitam.” Bila menggunakan metode verifikasi,
peneliti akan mencari data-data yang menyatakan bahwa burung gagak memang
berwarna hitam. Dengan data-data yang dikumpulkan tersebut, diyakini bahwa
hipotesis “Semua burung gagak berwarna hitam” dinyatakan sebagai benar dan ilmiah.
Sementara bila menggunakan metode falsifikasi, peneliti justru akan mencari data yang
akan meruntuhkan hipotesis tersebut, membuktikan kesalahannya. Dalam proses
observasi terhadap 500 ekor burung gagak, bila terdapat satu ekor saja yang berwarna
selain hitam, maka itu dinyatakan cukup untuk memfalsifikasi hipotesis “Semua burung
gagak berwarna hitam.” Dengan kata lain, setumpuk hasil observasi, yang digunakan
oleh verifikasionist, tidak akan bermakna bila dibandingkan dengan satu data yang
berbeda tadi.[6][2]

Sebaliknya, falsifikasi dengan logika deduktif bergerak dari yang umum menuju yang
khusus dengan adanya observasi lebih lanjut pada cakupan teori yang umum tersebut.
Kemungkinan adanya anomali juga terbuka, namun kekurangan ini akan ditutupi oleh
proses falsifikasi yang memang sengaja dilakukan untuk penyempurnaan tersebut.[7][3]

Contoh terbaik mengenai proses falsifikasi, sebagaimana diakui oleh Popper, adalah
teori relativitas Albert Einstein. Einstein menyatakan bahwa ruang bukanlah sesuatu
yang tak berhingga (mutlak), melainkan senantiasa berhubungan dengan  kerangka
acuan pengamatnya. Ruang memiliki bentuk dan tidak dapat dipilah-pilah. Teori ini
merupakan falsifying hypothesisyang berusaha menyanggah teori kosmologi Isaac
Newton (basic statement) yang meyakini bahwa ruang dan waktu bersifat mutlak.
Ruang dan waktu tidak terpengaruh oleh apapun di luar dirinya.[8] Dengan pengertian
ini, gerakan benda atau apapun yang berada di dalam ruang dan waktu tidak akan
berpengaruh pada ruang dan waktu itu sendiri. Alam berada dalam keteraturan.

Kelemahan verifikasi dan metode induksi, dalam pandangan Popper, adalah tidak
adanya prosedur ilmiah yang mantap,
yakni conjecture dan falsification. Conjecture akan menumbuhkan sikap kritis dalam
mengkaji suatu masalah, dan falsification akan terus menjaga pintu kajian ilmiah tetap
terbuka. Inilah bentuk kegagalan induksi dalam membangun sebuah demarkasi.[9]

Angsa adalah unggas yang berwarna putih. Untuk membuktikan kebenaran statemen
ini, peneliti mengadakan penelitian untuk menemukan dan mengumpulkan data empiris
yang bisa mengkonfirmasi kebenaran ungkapan tersebut.Tampaknya, dengan metode
verifikasi, status ‘benar’ bagi suatu teori memang diperoleh melalui uji verifikasi yang
ketat dan terjamin. Namun, pada praktiknya, proses verifikasi hanya diwarnai dengan
usaha pencarian pembenaran bagi teori yang sedang diteliti. Hal ini berkenaan dengan
metode induksi yang diadopsi dalam praktik verifikasi.
1. RELEVANSI FALSIFIKASI KARL POPPER DALAM STUDI ISLAM
Teori Popper mengenai penolakannya terhadap positivisme induksi dapat menjadi
referensi bagi intelektual manapun dewasa ini, tak terkecuali intelektual muslim. Namun
perlu disadari sebelumnya bahwa terdapat problem teologis di sini, bukan karena
Popper adalah non-Muslim, melainkan karena kajian Popper murni untuk science.

Oleh karena itu, perlulah kiranya kita menegaskan batasan makna kajian keislaman di
sini.. Bila yang dimaksudkan adalah al-Qur’an, dapat diketahui bahwa ada dua
kecenderungan dalam kajian al-Qur’an yang menurut Komaruddin Hidayat berasal dari
daya al-Qur’am itu sendiri; daya sentrifugal dan sentripetal al-Qur’an. Gerak sentrifugal
adalah daya dorong al-Qur’an yang sangat kuat bagi umat Islam (para pengkajinya)
untuk melakukan penafsiran dan pengembangan makna atas ayat-ayatnya. Sementara
gerak sentripetal adalah daya tarik al-Qur’an bagi para pengkajinya untuk selalu
kembali merujuk kepada ayat-ayatnya.[10]

Meskipun tidak tersurat secara jelas, dua daya tersebut mengilustrasikan posisi sentral
al-Qur’an dalam kajian al-Qur’an. Beberapa sarjana Muslim telah mencoba mendekati
al-Qur’an menggunakan teori-teori ilmiah (tafsir bil ‘ilmy). Hal ini menunjukkan bahwa al-
Qur’an juga mengandung ayat-ayat yang berhubungan dengan alam semesta.

Kontribusi dari teori Popper bagi dunia Islam adalah bahwa Islam seharusnya
menyadari bahwa yang disebut ilmu pengetahuan itu tidak hanya ilmu keagamaan
melainkan juga mencakup seluruh disiplin ilmu non-keagamaan.Muslim pada abad
pertengahan telah mampu menunjukkan sebuah peradaban yang sangat maju
sehingga dunia mengakui sosok ilmuwan seperti Ibnu Sina, Ibnu bajah, dan al
Khawarizmi yang mampu memadukan keilmuan Islam dalam paradigma yang integratif.
[11]

PENGETAHUAN MENURUT KARL POPPER

A.    Pendekatan Umum Tentang Karl Popper


Karl Popper,dikenal karena teorinya tentang falsifiabilitas. Pandangannya
mencerminkan metodologi yang eksplisit.[1]Karl Popper (1902-1994) adalah seorang filsuf dari
Wina yang sempat mengajar di New Zealand, dan kemudian di London pada 1945, dimana ia
menjadi profesor dalam bidang logika dan metode santifik di London School of Economics. Ia
banyak menulis tentang filsafat politik maupun filsafat ilmu. Teorinya tentang falsifikasi, yang
walaupun ditujukan dalam bidang analisis filsafat ilmu, memiliki implikasi yang sangat luas.
Pada dekade 1920-an para pemikir positivisme logis, berpendapat bahwa suatu pernyataan hanya
bermakna, jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi dengan data inderawi. Dengan kata lain,
jika suatu pernyataan tidak dapat dibuktikan secara inderawi, pernyataan itu tidaklah bermakna.
Akan tetapi, mereka juga memberikan pengecualian bagi pernyataan matematis ataupun
pernyataan logika, dimana makna dari suatu pernyataan sudah terkandung di dalam definisi dari
pernyataan yang digunakan.[2]
Karl Popper-lah orang yang pertama kali meruntuhkan dominasi positivisme logis
dengan teori falsifikasinya itu, sekaligus mengintroduksikan suatu zaman filsafat ilmu
pengetahuan. Prinsip falsibilitas berarti bahwa ciri utama pengetahuan ilmiah adalah dapat
dibuktikan salah. Jadi, hipotesis dan teori, hanya diterima sebagai bentuk kebenaran sementara,
sejauh belum ditemukan kesalahannya.[3]
Karl Raimund Popper melihat kelemahan dalam prinsip verifikasi berupa sifat
pembenaran (justification) terhadap teori yang telah ada. Ia mengajukan prinsip falsifikasi yang
dapat diurai sebagai berikut.
Pertama, Popper menolak anggapan umum bahwa suatu teori dirumuskan dan dapat
dibuktikan kebenarannya melalui prinsip verifikasi, sebagaimana yang dianut oleh kaum
positivistik. Teori- teori ilmiah selalu bersifat hipotesis (dugaan sementara), tak ada kebenaran
terakhir. Setiap teori selalu terbuka untuk digantikan oleh teori yang lebih tepat.
Kedua, cara kerja metode induksi yang secara sistematis dimulai dari pengamatan
(observasi) secara teliti gejala yang sedang diselidiki. Pengamatan yang berulang- ulang itu akan
memperlihatkan adanya ciri- ciri umum yang dirumuskan menjadi hipotesa. Selanjutnya hipotesa
itu dikukuhkan dengan cara menemukan bukti- bukti empiris yang dapat mendukungnya.
Hipotesa yang berhasil dibenarkan (justifikasi) akan berubah menjadi hukum. Popper menolak
cara kerja di atas, terutama pada asas verifiabilitas, bahwa sebuah pernyataan itu dapat
dibenarkan berdasarkan bukti- bukti pengamatan empiris.
Ketiga, Popper menawarkan pemecahan baru dengan mengajukan prinsip falsifiabilitas,
yaitu bahwa sebuah pernyataan dapat dibuktikan kesalahannya. Maksudnya, sebuah hipotesa,
hukum, ataukah teori kebenarannya hanya bersifat sementara, sejauh belum ditemukan
kesalahan- kesalahan yang ada di dalamnya. Bagi Popper, ilmu pengetahuan dapat berkembang
maju manakala suatu hipotesa telah dibuktikan salah, sehingga dapat digantikan dengan hipotesa
baru. Namun ada kemungkinan lain, yaitu hanya salah satu unsur hipotesa yang dibuktikan salah
satu untuk digantikan dengan unsur baru yang lain, sehingga hipotesa telah disempurnakan.
Menurut Popper, apabila suatu hipotesa dapat bertahan melawan segala usaha penyangkalan,
maka hipotesa tersebut semakin diperkokoh (corroboration).[4]

B.     Antologi Karl Popper


Salah satu pokok filsafat Popper adalah bahwa yang kita sebut pengetahuan ilmiah
sebenarnya hanyalah pendapat atau kesimpulan yang didasarkan atas informasi yang tidak
lengkap, dan pada prinsipnya selalu dapat digantikan dengan sesuatu yang mungkin lebih
mendekati kebenaran. Menurut Popper, gagasan itu dikemukakan pertama kali oleh Xenophanes.
[5]
Pada tingkat ilmiah, penggunaan sementara atas sebuah perkiraan atau teori baru
mungkin menyelesaikan satu atau dua masalah. Namun, ia pasti juga membuka berbagai
permasalahan baru, sebab teori baru dan revolusioner tetap berfungsi seperti sebuah organ
pengindra yang baru dan kuat. Jika kemajuan yang diperoleh cukup signifikan, maka masalah-
masalah baru akan berbeda dengan masalah- masalah lama. Masalah baru akan berada pada
tingkat kedalaman yang sangat berbeda. Ini, menurut Karl Popper, merupakan cara yang
dengannya ilmu memperoleh kemajuan. Dan kemajuan kita bisa dinilai paling baik dengan
membandingkan masalah- masalah lama dengan yang baru. Jika kemajuan yang diperoleh cukup
besar, maka masalah- masalah baru akan memiliki karakter yang belum pernah dibayangkan.
Akan ada masalah- masalah yang lebih dalam dan akan semakin banyak.
Tradisi kritis didasarkan pada penggunaan metode dalam mengkritik sebuah kisah atau
penjelasan yang diterima, dan melangkah menuju kisah baru, lebih sempurna, dan imajinatif,
yang selanjutnya juga akan dikritik. Metode ini, menurut Karl Popper adalah metode ilmu.
Jika metode diskusi kritis rasional terbentuk dengan sendirinya, ini akan menyebabkan
peggunaan kekerasan menjadi usang. Karena penalaran kritis adalah satu- satunya alternatif bagi
kekerasan yang bisa ditemukan sejauh ini.
Dalam keduanya (sejarah dan ilmu alam), berangkat dari mitos- mitos, dari prasangka-
prasangka tradisional, yang penuh dengan kesalahan dan dari sini berlanjut menuju kritisisme,
melalui eliminasi kritis, atas kesalahan. Dalam keduanya, peran bukti, terutama adalah untuk
membetulkan kesalahan- kesalahan, prasangka- prasangka, dan teori- teori sementara itu, yakni
untuk memainkan peran dalam diskusi kritis, dalam eliminasi kesalahan. Dengan membetulan
kesalahan- kesalahan yang ada, kemudian memunculkan masalah- masalah baru. Dan untuk
memecahkan masalah- masalah itu, diciptakan perkiraan, yakni teori- teori sementara yang
dihadapkan pada diskusi kritis, diarahkan menuju eliminasi kesalahan.
Selanjutnya bisa dikatakan bahwa rasionalisme adalah sikap yang bersedia
mendengarkan argumen- argumen yang berlawanan dan belajar dari pengalaman. Rasionalisme
pada dasarnya adalah sikap seorang rasionalis, dengan keyakinan bahwa dalam usaha mencari
kebenaran, perlu ada kerja sama, dan bahwa dengan bantuan argumen, pada saatnya nanti bisa
dicapai sesuatu seperti objektivitas.[6]

C.    Pengetahuan Menurut Karl Popper


Popper mengemukakan bahwa sistem ilmu pengetahuan manusia dapat dikelompokkan
ke dalam tiga dunia (world), yaitu dunia 1, dunia 2, dan dunia 3. Popper menyatakan bahwa
dunia 1 merupakan kenyataan fisis dunia, sedang dunia 2 adalah kejadian dan kenyataan psikis
dalam diri manusia, dan dunia 3 yaitu segala hipotesis, hukum, dan teori ciptaan manusia dan
hasil kerja sama antara dunia 1 dan dunia 2, serta seluruh bidang kebudayaan, seni, metafisik,
agama, dan sebagainya. Menurut Popper dunia 3 itu hanya ada selama dihayati, yaitu dalam
karya dan penelitian ilmiah, dalam studi yang sedang berlangsung, membaca buku, dalam ilham
yang sedang mengalir dalam diri para seniman, dan penggemar seni yang mengandalkan adanya
suatu kerangka. Sesudah penghayatan itu, semuanya langsung ‘mengendap’ dalam bentuk fisik
alat- alat ilmiah, buku-buku, karya seni, dan lain sebagainya. Semua itu merupakan bagian dari
dunia 1. Dalam pergaulan manusia dengan sisa dunia 3 dalam dunia 1 itu, maka dunia 2 lah yang
membuat manusia bisa membangkitkan kembali dan mengembangkan dunia 3 tersebut.
Menurut Popper dunia 3 itu mempunyai kedudukannya sendiri. Dunia 3 berdaulat,
artinya tidak semata-mata begitu saja terikat pada dunia 1, tetapi sekaligus tidak terikat juga pada
subjek tertentu. Maksudnya, dunia 3 tidak terikat pada dunia 2, yaitu pada orang tertentu, pada
suatu lingkungan masyarakat maupun pada periode sejarah tertentu. Dunia 3 inilah yang
merupakan dunia ilmiah yang harus mendapat perhatian para ilmuwan dan filsuf.
Kalau diskematisasikan, maka hubungan antara ketiga dunia tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut:[7]

Kenyataan PsikisDalamDiri Manusia


Kenyataan Fisis Dunia
Dunia 1                                                                     Dunia 2

Penelitian Ilmiah
Studi Ilmiah
Karya Ilmiah
Hipotesa Hukum,  Teori (Ciptaan Manusia)
Dunia 3

Anda mungkin juga menyukai