1. PENGERTIAN FALSIFIKASI
Teori merupakan hasil rekayasa intelek manusia yang kreatif dan bebas untuk
mengatasi problem-problem yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Teori-teori
itu kemudian diuji dengan eksperimen-eksperimen atau observasi-observasi.
Pernyataan dan teori yang diperoleh melalui empiris atau positivisme logis pada
akhirnya mutlak harus disimpulkan apakah pernyataan dan teori tersebut benar atau
salah. Artinya, pernyataan dan teori tersebut harus memiliki kesimpulan akhir
(conclusively decidable atau conclusive verification). Kalau pernyataan dan teori
tersebut tidak dapat mencapai tahap ini, maka keduanya tidak berarti sama sekali.
Untuk mencapai kondisi tersebut, pernyataan dan teori perlu ditest melalui bukti
empiris. Kalau hasil testnya menunjukkan bahwa pernyataan dan teori tersebut benar,
maka disebut verifiability. Sebaliknya, kalau hasil test empiris tersebut membuktikan
bahwa keduanya salah, maka disebut falsiability. Upaya/test untuk membuktikannhya
salah disebut falsifikasi.Gagasan falsifikasi merupakan sebuah teori yang bukannya
berusaha membuktika kebenaran sebuah proposisi atau teori tetapi berusaha
menunjukkan kesalahannya [1]. Dengan demikian, sistem test dalam ilmu pengetahuan
tidak selalu harus berarti positif (membuktikan benar) tetapi juga harus berarti negative
(membuktikan salah).
Metode verifikasi digunakan dalam kajian ilmiah tahap keenpat, di mana seorang
ilmuwan menguji kebenaran suatu teori yang dihasilkan dari sebuah observasi. Diyakini
di sini bahwa kebenaran suatu teori bergantung pada pembuktian empiris yang
menyokong keabsahan teori tersebut.
Metode ini dijalankan secara induktif. Artinya, seorang pengkaji melakukan observasi
dengan mengumpulkan data-data empiris yang berkenaan dengan teori yang sedang
dikaji. Hasil observasi ini nantinya yang akan ‘menghitam-atau-putihkan’ teori tersebut.
Sejenak kita lihat definisi di atas menggambarkan pertentangan antara verifikasi dan
falsifikasi; verifikasi cenderung memberikan pembenaran, falsifikasi berupaya
menyalahkan. Namun sebagaimana telah kita bahas di awal tulisan ini, Popper secara
tegas menyatakan bahwa falsifikasi tidak ditujukan untuk mengkaji teori makna,
sebagaimana verifikasi, melainkan untuk membuat garis pembeda
antara science dan pseudo-science.
Selain perbedaan tujuan, falsifikasi berbeda dengan verifikasi dalam titik tolaknya.
Verifikasi bergerak dari observasi menuju sebuah teori (induktif), sedangkan falsifikasi
berangkat dari sebuah teori menuju observasi (deduktif).
Popper menentang prinsip demarkasi antara ilmu yang bermakna dan tidak
bermakna berdasarkan metode verifikatif induktif. Dia mengusulkan suatu demarkasi
lain, yaitu demarkasi antara ilmu yang ilmiah dan tidak ilmiah berdasarkan tolak ukur
pengujian deduktif.
Metode verifikasi induktif diganti dengan metode falsifikasi deduktif. Namun tidak
seperti Hume yang membuang induksi atau Kant yang mendudukkan induksi pada
tataran sintesis a priori, Popper justru meletakkan penalaran induktif pada tataran
awal, pra ilmiah dalam rangkah pengujian deduktif.[3]
Menurut Popper, ciri khas ilmu pengetahuan adalah falsifiable, artinya harus dapat
dibuktikan salah melalui proses falsifikasi. Dengan falsifikasi, ilmu pengetahuan
mengalami prosess pengurangan kesalahan (error elimination). Proses falsifikasi inilah
yang mengantar ilmu pengetahuan tersebut mendekatai kebenaran, namun tetap
memiliki cirri falsifiable.
Popper membangun logikanya sendiri dalam studi ilmiah, yang terdiri dari dua prinsip
utama yaitu testability dan falsifiability. Dengan prinsip yang pertama, Popper
menyatakan bahwa sebuah pernyataan ilmiah harus bisa diuji kebenarannya (testable)
melalui suatu metode empiris. Pengujian ini dilakukan untuk melihat kemungkinan
apakah pernyataan tersebut bisa dibuktikan kesalahannya atau tidak (falsifiable).
Dua prinsip ini, yang selanjutnya akan disebut dengan falsifikasi (falsification),
digunakan Popper sebagai garis pembatas (demarkasi) yang akan
membedakan science dari pseudeo-science.[4][1] Inilah yang membedakan Popper dari
para pemikir Positivisme Logis yang bermarkas di Wina, di mana verifikasi (verification)
yang mereka ciptakan dijadikan sebagai penentu berarti atau tidaknya sebuah
pernyataan atau teori.
Falsifikasi dirancang oleh Popper untuk menjadi solusi bagi masalah demarkasi. Bagi
Popper, demarkasi yang dibuat oleh kelompok Postivisme telah membatasi ilmu
pengetahuan hanya pada yang ilmiah saja, sementara ilmu-ilmu social (khususnya
agama dan mitos-mitos) dianggap sebagai tidak ilmiah, dan demikian tidak bermakna.
Dengan falsifikasi Popper memberikan batasan yang jelas antara pengetahuan ilmiah
(science) dan yang semi-ilmiah (pseudo-science). Tidak seperti Positivisme, Popper
masih memperhitungkan pseudo-sciences sebagai salah satu sumber pengetahuan
dan tetap bermakna dalam lingkaran studi masing-masing. Oleh Karena itu, pemosisian
verifikasi vis a vis falsifikasi yang telah dilakukan angota Lingkaran Wina telah membuat
kontribusi Popper menjadi tidak bermakna. “It was not I who introduced them into the
theory of meaning.”[5]
Sebagai contoh penerapan gagasan Karl Popper dalam dunia nyata adalah sebagai
berikut. Para fisikawan dengan metode verifikasi terhadap sample-sample di alam
membuat kesimpulan bahwa “Semua zat akan memuai jika dipanaskan”. Teori ini telah
menjadi sebuah mitos selama berabad-abad dalam dunia fisika. Namun dalam
paradigma filsafat ilmu Popper, teori tersebut tidaklah dianggap sebagai kebenaran
mutlak. Namun ia akan dianggap benar dengan keyakinan yang memadai.
Kemudian terjadi lah penemuan mengenai anomali sifat air. Ternyata dalam rentang
suhu 0-4 derajat Celcius, air tidak lah memuai jika dipanaskan. Air justru menyusut
seiring dengan kenaikan suhu antara 0-4 derajat Celcius. Penemuan ini kemudian serta
merta menggugurkan teori “Semua zat akan memuai jika dipanaskan”. Inilah yang
dimaksud dengan falsifikasi oleh Karl Popper.
Dengan adanya penemuan yang menggugurkan teori pemuaian zat tersebut, maka
diperolehlah keyakinan bahwa teori yang selama ini dipegang yang berbunyi “Semua
zat akan memuai jika dipanaskan” adalah salah. Oleh karena itu, teori tersebut
berkembang menjadi berbunyi “Semua zat akan memuai jika dipanaskan, kecuali air
dalam rentang suhu 0-4 derajat Celcius”. Perlu diketahui juga bahwa teori kedua ini pun
tidak akan dianggap sebagai kebenaran mutlak. Yang dianggap sebagai kebenaran
mutlak adalah salahnya teori pertama, bukan benarnya teori kedua. Teori tersebut bisa
jadi akan difalsifikasi lagi dengan adanya penemuan lain. Misalkan saja suatu saat nanti
ditemukan bahwa Plutonium akan menyusut jika dipanaskan di atas suhu 3000 derajat
Celcius. Maka teori kedua akan berkembang lagi menjadi teori ketiga yang berbunyi
“Semua zat akan memuai jika dipanaskan, kecuali air dalam rentang suhu 0-4 derajat
Celcius dan plutonium di atas suhu 3000 derajat Celcius”.
Contoh sederhana yang lain akan memudahkan kita memahami metode ini. Kita akan
menggunakan metode verifikasi dan falsifikasi untuk menguji sebuah hipotesis yang
berbunyi, “Semua burung gagak berwarna hitam.” Bila menggunakan metode verifikasi,
peneliti akan mencari data-data yang menyatakan bahwa burung gagak memang
berwarna hitam. Dengan data-data yang dikumpulkan tersebut, diyakini bahwa
hipotesis “Semua burung gagak berwarna hitam” dinyatakan sebagai benar dan ilmiah.
Sementara bila menggunakan metode falsifikasi, peneliti justru akan mencari data yang
akan meruntuhkan hipotesis tersebut, membuktikan kesalahannya. Dalam proses
observasi terhadap 500 ekor burung gagak, bila terdapat satu ekor saja yang berwarna
selain hitam, maka itu dinyatakan cukup untuk memfalsifikasi hipotesis “Semua burung
gagak berwarna hitam.” Dengan kata lain, setumpuk hasil observasi, yang digunakan
oleh verifikasionist, tidak akan bermakna bila dibandingkan dengan satu data yang
berbeda tadi.[6][2]
Sebaliknya, falsifikasi dengan logika deduktif bergerak dari yang umum menuju yang
khusus dengan adanya observasi lebih lanjut pada cakupan teori yang umum tersebut.
Kemungkinan adanya anomali juga terbuka, namun kekurangan ini akan ditutupi oleh
proses falsifikasi yang memang sengaja dilakukan untuk penyempurnaan tersebut.[7][3]
Contoh terbaik mengenai proses falsifikasi, sebagaimana diakui oleh Popper, adalah
teori relativitas Albert Einstein. Einstein menyatakan bahwa ruang bukanlah sesuatu
yang tak berhingga (mutlak), melainkan senantiasa berhubungan dengan kerangka
acuan pengamatnya. Ruang memiliki bentuk dan tidak dapat dipilah-pilah. Teori ini
merupakan falsifying hypothesisyang berusaha menyanggah teori kosmologi Isaac
Newton (basic statement) yang meyakini bahwa ruang dan waktu bersifat mutlak.
Ruang dan waktu tidak terpengaruh oleh apapun di luar dirinya.[8] Dengan pengertian
ini, gerakan benda atau apapun yang berada di dalam ruang dan waktu tidak akan
berpengaruh pada ruang dan waktu itu sendiri. Alam berada dalam keteraturan.
Kelemahan verifikasi dan metode induksi, dalam pandangan Popper, adalah tidak
adanya prosedur ilmiah yang mantap,
yakni conjecture dan falsification. Conjecture akan menumbuhkan sikap kritis dalam
mengkaji suatu masalah, dan falsification akan terus menjaga pintu kajian ilmiah tetap
terbuka. Inilah bentuk kegagalan induksi dalam membangun sebuah demarkasi.[9]
Angsa adalah unggas yang berwarna putih. Untuk membuktikan kebenaran statemen
ini, peneliti mengadakan penelitian untuk menemukan dan mengumpulkan data empiris
yang bisa mengkonfirmasi kebenaran ungkapan tersebut.Tampaknya, dengan metode
verifikasi, status ‘benar’ bagi suatu teori memang diperoleh melalui uji verifikasi yang
ketat dan terjamin. Namun, pada praktiknya, proses verifikasi hanya diwarnai dengan
usaha pencarian pembenaran bagi teori yang sedang diteliti. Hal ini berkenaan dengan
metode induksi yang diadopsi dalam praktik verifikasi.
1. RELEVANSI FALSIFIKASI KARL POPPER DALAM STUDI ISLAM
Teori Popper mengenai penolakannya terhadap positivisme induksi dapat menjadi
referensi bagi intelektual manapun dewasa ini, tak terkecuali intelektual muslim. Namun
perlu disadari sebelumnya bahwa terdapat problem teologis di sini, bukan karena
Popper adalah non-Muslim, melainkan karena kajian Popper murni untuk science.
Oleh karena itu, perlulah kiranya kita menegaskan batasan makna kajian keislaman di
sini.. Bila yang dimaksudkan adalah al-Qur’an, dapat diketahui bahwa ada dua
kecenderungan dalam kajian al-Qur’an yang menurut Komaruddin Hidayat berasal dari
daya al-Qur’am itu sendiri; daya sentrifugal dan sentripetal al-Qur’an. Gerak sentrifugal
adalah daya dorong al-Qur’an yang sangat kuat bagi umat Islam (para pengkajinya)
untuk melakukan penafsiran dan pengembangan makna atas ayat-ayatnya. Sementara
gerak sentripetal adalah daya tarik al-Qur’an bagi para pengkajinya untuk selalu
kembali merujuk kepada ayat-ayatnya.[10]
Meskipun tidak tersurat secara jelas, dua daya tersebut mengilustrasikan posisi sentral
al-Qur’an dalam kajian al-Qur’an. Beberapa sarjana Muslim telah mencoba mendekati
al-Qur’an menggunakan teori-teori ilmiah (tafsir bil ‘ilmy). Hal ini menunjukkan bahwa al-
Qur’an juga mengandung ayat-ayat yang berhubungan dengan alam semesta.
Kontribusi dari teori Popper bagi dunia Islam adalah bahwa Islam seharusnya
menyadari bahwa yang disebut ilmu pengetahuan itu tidak hanya ilmu keagamaan
melainkan juga mencakup seluruh disiplin ilmu non-keagamaan.Muslim pada abad
pertengahan telah mampu menunjukkan sebuah peradaban yang sangat maju
sehingga dunia mengakui sosok ilmuwan seperti Ibnu Sina, Ibnu bajah, dan al
Khawarizmi yang mampu memadukan keilmuan Islam dalam paradigma yang integratif.
[11]
Penelitian Ilmiah
Studi Ilmiah
Karya Ilmiah
Hipotesa Hukum, Teori (Ciptaan Manusia)
Dunia 3