0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
10 tayangan7 halaman
Tugas filsafat ilmu dan pemikiran akuntansi membahas 3 topik utama:
1. Epistemologi falsifikasi Karl Popper yang menekankan pentingnya teori dapat disalahkan.
2. Kritik Popper terhadap metode induktif dan masalah demarkasi ilmu.
3. Pandangan rasionalisme kritis Popper yang menolak dogmatisme dan membuka ruang skeptisisme.
Tugas filsafat ilmu dan pemikiran akuntansi membahas 3 topik utama:
1. Epistemologi falsifikasi Karl Popper yang menekankan pentingnya teori dapat disalahkan.
2. Kritik Popper terhadap metode induktif dan masalah demarkasi ilmu.
3. Pandangan rasionalisme kritis Popper yang menolak dogmatisme dan membuka ruang skeptisisme.
Tugas filsafat ilmu dan pemikiran akuntansi membahas 3 topik utama:
1. Epistemologi falsifikasi Karl Popper yang menekankan pentingnya teori dapat disalahkan.
2. Kritik Popper terhadap metode induktif dan masalah demarkasi ilmu.
3. Pandangan rasionalisme kritis Popper yang menolak dogmatisme dan membuka ruang skeptisisme.
Epistemologi Falsifikasi Karl R. Popper Propper berkata “para ilmuwan seperti Galileo, Kepler, Newton, Einsten dan Bohr, bekerja dengan dugaan-dugaan yang berani dan upaya-upaya yang hebat dalam menolak kembali dugaan-dugaan diri mereka sendiri sebelumnya”. Salah satu pemikiran filsafat Propper yang di terapatkan oleh para ilmuwan tersebut adalah prinsip falsifikasi yaitu ketrujian sebuah teori pada prinsipnya mesti membuka ruang untuk dapat disalahkan (be falsifiable). Dalam sebuah karya besarnya, Propper mengusulkan sebuah sikap rasional dan kritis. Dia mengatakan kapan kita mengusulkan sebuah solusi untuk sebuahg problem, kita harus sekuat mungkin untuk membuang kembali solusi kita, ketimbang selalu mempertahankannya. Dalam tulisan ini membahas tentang pemikiran filosofi Propper terhadapa metode induktif, wacana tentan problem demarkasi saintifik dan pemikiran rasinalisme kritisnya. Metode Induktif dan Kritik Karl Popper Metode induksi adalah salah satu metode ilmiah dalam wacana saintifik. Historinya metode saintifik ini awalnya di mulai oleh Aristoteles. Istilah indusksi ini untuk mengacu proses pemikiran dimana akal budi manusia, bertolak dari pengetahuan tentang hal-hal yang khusus, menyimpulkan pengetahuan yang umum. Aristitoles menguraikan ada dua macam induksi, yaitu induksi sempurna (perfect) dan luas (ampliative). Dalam induksi sempurna kesimpulan umum diambil berdasarkan pengetahuan tentang tiap contoh yang diteliti. Sedangkan, induksi luas (ampliative) yang biasa disebut juga induksi dengan enumerasi simple, kesimpulan mengambil contoh-contoh sebagai sampel kelas dan memuat generalisasi dari sifat-sifat khas sampel itu ke sifat-sifatnya khas kelas. Metode induksi yang di uraikan oleh Arisitoteles ini di sebut induksi tradisional. Induksi tradisional ini induksi yang melalui penjumlahan sederhana dan tidak dapat diandalkan untuk meraih pengetahuan yang benar. Aristoteles tidak memberi objek perhatian terhadap induksi dan justu dia mengembankan metode deduksi sebagai jalan sempurna untuk meraih pengetahuan baru. Di sisa lain, Francis Bacon mengkritisi metode deduktif Aristitoles yang tidak menghasilkan pengetahun-pengetahuan baru. Bacon juga mengatakan logika silogistik traditional Aristoteles tidak sanggup menghasilkan penemuan empiris. Logika silogistis traditional hanya dapat membantu mewujudkan konsekuensi deduktif daripada yang sebenaranya telah diketahui. Jadi metode deduktif harus ditinggalkan dan diganti dengan dengan metode induktif yang di temukan oleh Bacon dan benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Bacon memberikan beberapa langkah metodis agar menghasilkan pengetahuan empiris melalui metode dedukti yaitu: a) alam semesta diwawancarai atau diobservasi, b) ilmuwan harus bekerja dengan menggunakan metode yang benar, c) ilmuwan mesti bersikap pasif terhadap bahan-bahan yang disajikan alam, artinya: orang harus menghindarkan diri dari mengemukakan prasangka-prasangka dahulu agar mencegah timbulnya prasangka yang keliru. Metode yang benar ialah: mengamati alam semesta tanpa prasangka, menetapkan fakta-fakta berdasarkan percobaan yang telah berulangkali dilakukan dengan cara yang berbeda-beda. Bacon juga mengatakan dengan cara induksi yang benar dan yang berlakau seperti yang ia khendaki, orang harus naik dari pengenalan fakta ke pengenalan hukumnya, lalu naik ke bentuk atau unsur terstentu dari sifat yang tunggal, seperti umpamanya: panas terang dan berat. Metode induksi adalah suatu metode penyisihan atau pelenyapanm dengannya semua sifat, yang tidak termasuk sifat yang tunggal ditiadakan. Tujuannya ialah untuk memiliki sebagai sisanya sifat-sifat yang menonjol dalam fakta-fakta yang diamati. Kepastian yang terdapat di dalam induksi dapat dijelaskan umpamanya sebagai berikut: Bacon ingin menemukan sifat panas, ia mengandaikan panas sebagai gerakan cepat yang tidak teratur dari bagian kecil benda. Dia membuat daftar benda panas dan bermacam-macam benda panas agar sifat panas dapat ditemukan dia juga membuat dafatr benda dingin agar dapat di bedakan dengan panas. Dengan metode ini dia berharap menemukan hukum-hukum yang umum. Bacon juga menagatakan metode induktif layaknya lebah yang tahu bagaimana mengumpulkan dan tahu juga menatanya. Metode silogistik deduktif di gambarkan dengan laba-laba karena laba- laba yang memintal jaringan dari apa yang ada di dalam tubuhnya. Metode induktif traditional di katakana seperti semut yang dimana semut semata-mata hanya tahu mengumpulkan. Dan metode induktiflah yang telah di sempurnakan yang di umpamakan seperti lebah. Ilmu pengetahuan empiris yang dihasilkan oleh cara kerja positivisme logis menggunakan cara berpikir induktif. Cara berpikir seperti ini berangkat dari ’singular statement’ sebagai hasil dari observasi pengalaman, menuju ’universal statement’ yang berupa hipotesis atau teori.Menurut klaim dari positivisme logis, metode induktif merupakan logika dalam menemukan ilmu pengetahuan (the logic of scientific discovery). Dalam kenyataannya, siklus positivisme logis dengan metode induktifnya seperti di atas telah berhasil menambah hasanah ilmu pengetahuan. Popper melihat adanya kelemahan dalam metode induktif di atas. Menurut argumentasinya, metode induktif tidak dapat dipergunakan untuk menyusun universal statement, karena hakekatnya yang selalu berangkat dari singular statement hasil observasi pengalaman empiris. Dari kenyataan itulah, maka Popper melancarkan kritik terhadap metode ilmiah tradisional sebagai berikut : Pertama, prinsip verifikasi tidak pernah mungkin untuk menyatakan kebenaran hukum-hukum umum. Kedua, berdasarkan prinsip verifikasi, maka metafisika tidak bermakna. Padahal dalam sejarah dapat disaksikan bahwa seringkali ilmu pengetahuan lahir justru dari pandangan-pandangan metafisis atau mistis tentang dunia. Ketiga, untuk menyelidiki bermakna tidaknya suatu ucapan atau teori, harus dimengerti lebih dahulu ucapan atau teori itu. Diantara kelemahan Induktivisme yang lain ialah mereka kembali kepada Probabilitas dan bergetak menuju Skeptisisme. Probabilitas disini adalah kesulitan dalam upaya pembuktian mencari faktas, misalnya kita dapat memastikan bahwa matahari akan terbenam setiap hari, hanya karna kita telah mengobservasinya dalam beberapa kesempatan. Berdasarkan bukti ini sangat probable untuk membuktikan bahwa matahari setiap hari akan terbenam. Makin besar jumlah observasi yang membentuk dasar suatu induksi, dan makin besar variasi kondisi dimana observasri dilakukan, maka semakin besarlah pula probbalitas dan hasil generalisasi tersebut. Bahaya yang paling buruk ialah sulitnya memverifikasi medan yang terlalu luas. Varian keadaan yang terlalu luas menyebabkan sulitnya pembuktian kebenarann. Misalnya” Logam akan memuai bila dipanaskan “. Harus berapa kalikah kita memuaikan logam hingga sampai pada kesimpulan demikian?10 kali atau 100 kali atau bahkan lebih?? Ini kesulitan dari metode induktivis yang berakibat kepada mundurnya ke probilitas. Dengan demikian, metode induktif tidak dapat disebut logika dalam mencari kebenaran. Dengan demikian, logika kebenaran adalah logika deduktif, yang dulu dipergunakan oleh ilmuwan lama dari aliran rasionalis. Problem Demarkasi dan Rasionalisme Kritis Berdasarkan kritik yang sudah disampaikan di atas, Popper kemudian mengemukakan teori faksifikasinya yang juga berisikan pandangannya tentang problem demarkasi. Bagi Popper, problem utama yang ada di antara keduanya adalah apa yang disebutnya problem demarkasi (the problem ofdemarcation). Demarkasi adalah apa yang disebutnya untuk menunjuk pada garis batas antara ungkapan ilmiah dan tidak ilmiah. Problem yang juga ditemukannya ketika hendak menentukan batas-batas antara ilmu dan non-ilmu atau pseudo-ilmiah. Problem yang disebutnya juga problem demarkasi. Pokok demarkasi terletak pada ada tidaknya dasar empiris bagi ungkapan bersangkutan. Ungkapan yang mungkin sekali tidak bersifat ilmiah tetapi amat bermakna, demikian Popper. Pertanyaan utamanya adalah, bagaimana kita dapat menarik garis pemisah antara bidang ilmiah dan non-ilmiah, antara ilmu pengetahuan dan bukan ilmu pengetahuan? Atas pertanyaan itulah ia menjawab bahwa suatu teori atau ucapan bersifat ilmiah bila terdapat kemungkinan prinsipial untuk menyatakan salahnya. Itulah maksudnya “prinsip falsifiabilitas” (the principle of falsifiability). Dapat dikatakan bahwa kriteria demarkasi Popper didasarkan pada suatu asimetri logis antara verifiabilitas dan falsifiabilitas. Dalam buku logika penelitian dan karangan-karangan lain popper mengkritik usaha mereka. Menurutnya, usaha lingkungan wina tersebut masih bertautan erat dengan konsepsi tentang ilmu pengetahuan yang menjunjung tinggi induksi . Berikut beberapa kritik yang dikemukakan oleh popper: 1. Ia menekankan bahwa dengan digunakannya pripsip verifikasi tidak pernah mungkin untuk menyatakan kebenaran hokum-hukum umum. 2. Berdasarkan prinsip verifikasi metafisika tidak bermakna. Tetapi dalam sejarah dapat kita saksikan bahwa acap kali ilmu pengetahuan lahir dari pandangan-pandangan metafisika atau mistis tentang dunia. Rasionalisme kritis atau sikap kritir yang dikontraskan dengan sikap dogmatis yang akhirnya bisa membuka jalan bagi sains sejati dan bagi ilmu-ilmu lainya. Terdapat beberapa tesis pemikiran rasionalisme kritis karl r. popper dari beberapa karyanya 1. Tidak ada sumber-sumber punjak pengetahuan. Setiap sumber pengetahuan dan setiap saran bersifat terbuka terhadap pengujian. 2. Secara kuantitatif maupun kualitatif sumber pengatahuan sebagai bagian dari pengetahuan bawaan adalah tradisi. 3. Pengetahuan tidak dapat dimulai dari kehampaan dari sebuah tabula rasa, dan tidak juga dari observasi. 4. Baik observasi maupun akal bukanlah sebuah otoritas. Intuisi intelektual dan imajinasi barangkali merupakan alat paling penting, walaupun keduanya tidak dapat diandalkan. 5. Konsekuensi selanjutnya setiap solusi yang telah ditemukan dari sebuah problem akan memunculkan problem-problem baru yang belun terjawab. 6. Tidak ada otoritas manusia yang dapat menetapkan kebenaran secara mutlak.
Solusi Popper tentang Problem Demarkasi
Popper hendak merumuskan sebuah kriteria demarkasi antara ilmu dan non ilmu (metafisika). Kriteria demarkasi yang digunakan oleh Popper adalah kriteria falsifiabilitas (kemampuan dan kemungkinan disalahkan atau disangkal). Setiap pernyataan ilmiah pada dasarnya mengandung kemampuan disangkal, jadi ilmu pengetahuan empiris harus bisa diuji secara deduktif dan terbuka kepada kemungkinan falsifikasi empiris. Contoh: 1. Akan terjadi atau tidak terjadi hujan di sini esok. 2. Akan terjadi hujan di sini esok. Pernyataan (1) tidak bersifat empiris oleh karena tidak dapat disangkal. Sedangkan pernyataan (2) bersifat empiris karena dapat disangkal. Kriteria demarkasi Popper didasarkan pada suatu asimetri logis antara verifiabilitas dan falsifiabilitas. Pernyataan universal tidak bersumber dari pernyataan tunggal, tetapi sebaliknya bisa bertentangan dengannya. Dengan logia deduktif, maka generalisasi empiris atau pernyataan universal dapat diuji dan disangkal secara empiris, tetapi tidak dapat dibenarkan. Hal ini berarti bahwa hokum-hukum ilmiah pada dasarnya dapat diuji, kendatipun tidak dapat dibenarkan atau dibuktikan secara induktif. Problem demarkasi dirumuskan oleh Popper sebagai problem mengenai bagaimana menemukan sebuah kriteria yang bisa membedakan ilmu-ilmu empiris dari matematika, logika dan system-sistem metafisik. Solusi Popper terhadap induksi ternyata membangkitkan cara pandang yang baru terhadap problem awalnya yakni, problem seputar kriteria demarkasi ilmiah yang tepat. Kriteria verifiabilitas bukanlah suatu kriteria demarkasi ilmu, melainkan sebagai kriteria kemaknaannya. Bermakna tidaknya suatu pernyataan atau hipotesis ilmiah ditentukan oleh corak empiris positifnya. Logika induktif dan prinsip verifiabilitas mengakibatkan pengetahuan yang bukan ilmiah (metafisika) tidak bermakna sama sekali. Kriteria demarkasi dan logika induktif mengakibatkan terjadinya percampurbauran antara metafisika dan ilmu pengetahuan, yang pada gilirannya dapat mengaburkan kedua-duanya. Hal inilah yang membuat Karl Popper menentang gagasan dari lingkaran Wina dan membuat demarkasi lain dengan kriteria falsifikasi. Konklusi: Antara Apresiasi dan Kritik Dengan pernyataan ini lagi kita bisa merasakan sikap kritis popper yang selalu bergerak mengiringi etian pemikiran tanpa henti. Ia merasa gelisak ketika harus melabuhkan kepercayaan pasif kepada spesialisasi dan kaum ahli. Sebagai seorang filsuf kritis , ia menolak untuk bersandar terhadap spesialisasi keahlian para kaum ahli. Sampai saat ini bagi magee, pooper memang masih dilihat sebagai kritikus, ini tidaklah mengejutkan krena ia memang kritikus paling hebat dan efektif dan tidak hanya terhadap satu, tetapi terhadap beberapa pemikiran ortodoks abad ke-20 yang memiliki pengaruh luas. Kendati demikian, kebesaran popper sebagai seorang filsuf maupun kritikus tidak menjadikan dirinya bebas dari kritik. Standar yang diajukan popper bahwa teori sains dapat di andalkan secara tentative dan semakin kukuh, ketika teori tersebut dapat dibuktikan secara terbuka selalu keliru. Standar tersebut bagi sebagian ilmuwan justru terlihat kaku sehingga seakan-akan popper menolak standar-standar yang lainya. Padahal dalam wacana saintifik, penolakan atau pembuktian kekeliruan bukanlah satu-satunya criteria. Kritik pertama disampaikan oleh Thomas Khun, menurutnya antara pandangan neo-positivisme dan Popper tampak seperti berbeda, terutama criteria dari sesuatu yang disebut ilmiah, sebenarnya kedua pandangan tersebut memiliki persamaan, bahkan cukup fundamental. Keduanya jelas memiliki nuansa positivistic, yang cenderung memisahkan antara ilmu dan unsur-unsur subjektifitas dari ilmuwan, keduanya juga sama-sama memandang, proses perkembangan ilmu adalah dengan jalan linier-akumulasi dan eliminasi. Menurut Kuhn, ilmuwan (termasuk ilmuwan kalangan Lingkaran Wina dan Popper) bukanlah para penjelajah berwatak pemberani yang menemukan kebenaran-kebenaran baru. Mereka lebih mirip seperti para pemecah teka-teki yang bekerja di dalam pandangan dunia yang sudah mapan. Kuhn menamai sistem keyakinan yang sudah mapan dengan istilah “paradigma”. Dalam pandangan Kuhn, seorang ilmuwan selalu bekerja dengan paradigma tertentu. Jadi menurut Kuhn, Popper sama saja dengan ilmuwan Lingkaran Wina, yang masih berkutat pada paradigma positivistik.