Anda di halaman 1dari 7

TUGAS

FILSAFAT ILMU DAN PEMIKIRAN AKUNTANSI

Fia Fauzia Burhanuddin


(A062181029)

PROGRAM PASCA SARJANA


UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018

Epistemologi Falsifikasi
Karl R. Popper
Propper berkata “para ilmuwan seperti Galileo, Kepler, Newton, Einsten dan Bohr, bekerja
dengan dugaan-dugaan yang berani dan upaya-upaya yang hebat dalam menolak kembali
dugaan-dugaan diri mereka sendiri sebelumnya”. Salah satu pemikiran filsafat Propper yang di
terapatkan oleh para ilmuwan tersebut adalah prinsip falsifikasi yaitu ketrujian sebuah teori
pada prinsipnya mesti membuka ruang untuk dapat disalahkan (be falsifiable). Dalam sebuah
karya besarnya, Propper mengusulkan sebuah sikap rasional dan kritis. Dia mengatakan kapan
kita mengusulkan sebuah solusi untuk sebuahg problem, kita harus sekuat mungkin untuk
membuang kembali solusi kita, ketimbang selalu mempertahankannya. Dalam tulisan ini
membahas tentang pemikiran filosofi Propper terhadapa metode induktif, wacana tentan
problem demarkasi saintifik dan pemikiran rasinalisme kritisnya.
Metode Induktif dan Kritik Karl Popper
Metode induksi adalah salah satu metode ilmiah dalam wacana saintifik. Historinya metode
saintifik ini awalnya di mulai oleh Aristoteles. Istilah indusksi ini untuk mengacu proses
pemikiran dimana akal budi manusia, bertolak dari pengetahuan tentang hal-hal yang khusus,
menyimpulkan pengetahuan yang umum. Aristitoles menguraikan ada dua macam induksi,
yaitu induksi sempurna (perfect) dan luas (ampliative). Dalam induksi sempurna kesimpulan
umum diambil berdasarkan pengetahuan tentang tiap contoh yang diteliti. Sedangkan, induksi
luas (ampliative) yang biasa disebut juga induksi dengan enumerasi simple, kesimpulan
mengambil contoh-contoh sebagai sampel kelas dan memuat generalisasi dari sifat-sifat khas
sampel itu ke sifat-sifatnya khas kelas. Metode induksi yang di uraikan oleh Arisitoteles ini di
sebut induksi tradisional. Induksi tradisional ini induksi yang melalui penjumlahan sederhana
dan tidak dapat diandalkan untuk meraih pengetahuan yang benar. Aristoteles tidak memberi
objek perhatian terhadap induksi dan justu dia mengembankan metode deduksi sebagai jalan
sempurna untuk meraih pengetahuan baru. Di sisa lain, Francis Bacon mengkritisi metode
deduktif Aristitoles yang tidak menghasilkan pengetahun-pengetahuan baru. Bacon juga
mengatakan logika silogistik traditional Aristoteles tidak sanggup menghasilkan penemuan
empiris. Logika silogistis traditional hanya dapat membantu mewujudkan konsekuensi
deduktif daripada yang sebenaranya telah diketahui. Jadi metode deduktif harus ditinggalkan
dan diganti dengan dengan metode induktif yang di temukan oleh Bacon dan benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan. Bacon memberikan beberapa langkah metodis agar menghasilkan
pengetahuan empiris melalui metode dedukti yaitu: a) alam semesta diwawancarai atau
diobservasi, b) ilmuwan harus bekerja dengan menggunakan metode yang benar, c) ilmuwan
mesti bersikap pasif terhadap bahan-bahan yang disajikan alam, artinya: orang harus
menghindarkan diri dari mengemukakan prasangka-prasangka dahulu agar mencegah
timbulnya prasangka yang keliru. Metode yang benar ialah: mengamati alam semesta tanpa
prasangka, menetapkan fakta-fakta berdasarkan percobaan yang telah berulangkali dilakukan
dengan cara yang berbeda-beda. Bacon juga mengatakan dengan cara induksi yang benar dan
yang berlakau seperti yang ia khendaki, orang harus naik dari pengenalan fakta ke pengenalan
hukumnya, lalu naik ke bentuk atau unsur terstentu dari sifat yang tunggal, seperti umpamanya:
panas terang dan berat. Metode induksi adalah suatu metode penyisihan atau pelenyapanm
dengannya semua sifat, yang tidak termasuk sifat yang tunggal ditiadakan. Tujuannya ialah
untuk memiliki sebagai sisanya sifat-sifat yang menonjol dalam fakta-fakta yang diamati.
Kepastian yang terdapat di dalam induksi dapat dijelaskan umpamanya sebagai berikut: Bacon
ingin menemukan sifat panas, ia mengandaikan panas sebagai gerakan cepat yang tidak teratur
dari bagian kecil benda. Dia membuat daftar benda panas dan bermacam-macam benda panas
agar sifat panas dapat ditemukan dia juga membuat dafatr benda dingin agar dapat di bedakan
dengan panas. Dengan metode ini dia berharap menemukan hukum-hukum yang umum. Bacon
juga menagatakan metode induktif layaknya lebah yang tahu bagaimana mengumpulkan dan
tahu juga menatanya. Metode silogistik deduktif di gambarkan dengan laba-laba karena laba-
laba yang memintal jaringan dari apa yang ada di dalam tubuhnya. Metode induktif traditional
di katakana seperti semut yang dimana semut semata-mata hanya tahu mengumpulkan. Dan
metode induktiflah yang telah di sempurnakan yang di umpamakan seperti lebah. Ilmu
pengetahuan empiris yang dihasilkan oleh cara kerja positivisme logis menggunakan cara
berpikir induktif. Cara berpikir seperti ini berangkat dari ’singular statement’ sebagai hasil dari
observasi pengalaman, menuju ’universal statement’ yang berupa hipotesis atau teori.Menurut
klaim dari positivisme logis, metode induktif merupakan logika dalam menemukan ilmu
pengetahuan (the logic of scientific discovery). Dalam kenyataannya, siklus positivisme logis
dengan metode induktifnya seperti di atas telah berhasil menambah hasanah ilmu pengetahuan.
Popper melihat adanya kelemahan dalam metode induktif di atas. Menurut argumentasinya,
metode induktif tidak dapat dipergunakan untuk menyusun universal statement, karena
hakekatnya yang selalu berangkat dari singular statement hasil observasi pengalaman empiris.
Dari kenyataan itulah, maka Popper melancarkan kritik terhadap metode ilmiah tradisional
sebagai berikut : Pertama, prinsip verifikasi tidak pernah mungkin untuk menyatakan
kebenaran hukum-hukum umum. Kedua, berdasarkan prinsip verifikasi, maka metafisika tidak
bermakna. Padahal dalam sejarah dapat disaksikan bahwa seringkali ilmu pengetahuan lahir
justru dari pandangan-pandangan metafisis atau mistis tentang dunia. Ketiga, untuk
menyelidiki bermakna tidaknya suatu ucapan atau teori, harus dimengerti lebih dahulu ucapan
atau teori itu. Diantara kelemahan Induktivisme yang lain ialah mereka kembali kepada
Probabilitas dan bergetak menuju Skeptisisme. Probabilitas disini adalah kesulitan dalam
upaya pembuktian mencari faktas, misalnya kita dapat memastikan bahwa matahari akan
terbenam setiap hari, hanya karna kita telah mengobservasinya dalam beberapa kesempatan.
Berdasarkan bukti ini sangat probable untuk membuktikan bahwa matahari setiap hari akan
terbenam. Makin besar jumlah observasi yang membentuk dasar suatu induksi, dan makin
besar variasi kondisi dimana observasri dilakukan, maka semakin besarlah pula probbalitas dan
hasil generalisasi tersebut. Bahaya yang paling buruk ialah sulitnya memverifikasi medan yang
terlalu luas. Varian keadaan yang terlalu luas menyebabkan sulitnya pembuktian kebenarann.
Misalnya” Logam akan memuai bila dipanaskan “. Harus berapa kalikah kita memuaikan
logam hingga sampai pada kesimpulan demikian?10 kali atau 100 kali atau bahkan lebih?? Ini
kesulitan dari metode induktivis yang berakibat kepada mundurnya ke probilitas. Dengan
demikian, metode induktif tidak dapat disebut logika dalam mencari kebenaran. Dengan
demikian, logika kebenaran adalah logika deduktif, yang dulu dipergunakan oleh ilmuwan
lama dari aliran rasionalis.
Problem Demarkasi dan Rasionalisme Kritis
Berdasarkan kritik yang sudah disampaikan di atas, Popper kemudian mengemukakan teori
faksifikasinya yang juga berisikan pandangannya tentang problem demarkasi. Bagi Popper,
problem utama yang ada di antara keduanya adalah apa yang disebutnya problem demarkasi
(the problem ofdemarcation). Demarkasi adalah apa yang disebutnya untuk menunjuk pada
garis batas antara ungkapan ilmiah dan tidak ilmiah. Problem yang juga ditemukannya ketika
hendak menentukan batas-batas antara ilmu dan non-ilmu atau pseudo-ilmiah. Problem yang
disebutnya juga problem demarkasi. Pokok demarkasi terletak pada ada tidaknya dasar empiris
bagi ungkapan bersangkutan. Ungkapan yang mungkin sekali tidak bersifat ilmiah tetapi amat
bermakna, demikian Popper. Pertanyaan utamanya adalah, bagaimana kita dapat menarik garis
pemisah antara bidang ilmiah dan non-ilmiah, antara ilmu pengetahuan dan bukan ilmu
pengetahuan? Atas pertanyaan itulah ia menjawab bahwa suatu teori atau ucapan bersifat
ilmiah bila terdapat kemungkinan prinsipial untuk menyatakan salahnya. Itulah maksudnya
“prinsip falsifiabilitas” (the principle of falsifiability). Dapat dikatakan bahwa kriteria
demarkasi Popper didasarkan pada suatu asimetri logis antara verifiabilitas dan falsifiabilitas.
Dalam buku logika penelitian dan karangan-karangan lain popper mengkritik usaha mereka.
Menurutnya, usaha lingkungan wina tersebut masih bertautan erat dengan konsepsi tentang
ilmu pengetahuan yang menjunjung tinggi induksi . Berikut beberapa kritik yang dikemukakan
oleh popper:
1. Ia menekankan bahwa dengan digunakannya pripsip verifikasi tidak pernah mungkin
untuk menyatakan kebenaran hokum-hukum umum.
2. Berdasarkan prinsip verifikasi metafisika tidak bermakna. Tetapi dalam sejarah dapat
kita saksikan bahwa acap kali ilmu pengetahuan lahir dari pandangan-pandangan
metafisika atau mistis tentang dunia.
Rasionalisme kritis atau sikap kritir yang dikontraskan dengan sikap dogmatis yang akhirnya
bisa membuka jalan bagi sains sejati dan bagi ilmu-ilmu lainya. Terdapat beberapa tesis
pemikiran rasionalisme kritis karl r. popper dari beberapa karyanya
1. Tidak ada sumber-sumber punjak pengetahuan. Setiap sumber pengetahuan dan setiap
saran bersifat terbuka terhadap pengujian.
2. Secara kuantitatif maupun kualitatif sumber pengatahuan sebagai bagian dari
pengetahuan bawaan adalah tradisi.
3. Pengetahuan tidak dapat dimulai dari kehampaan dari sebuah tabula rasa, dan tidak juga
dari observasi.
4. Baik observasi maupun akal bukanlah sebuah otoritas. Intuisi intelektual dan imajinasi
barangkali merupakan alat paling penting, walaupun keduanya tidak dapat diandalkan.
5. Konsekuensi selanjutnya setiap solusi yang telah ditemukan dari sebuah problem akan
memunculkan problem-problem baru yang belun terjawab.
6. Tidak ada otoritas manusia yang dapat menetapkan kebenaran secara mutlak.

Solusi Popper tentang Problem Demarkasi


Popper hendak merumuskan sebuah kriteria demarkasi antara ilmu dan non ilmu (metafisika).
Kriteria demarkasi yang digunakan oleh Popper adalah kriteria falsifiabilitas (kemampuan dan
kemungkinan disalahkan atau disangkal). Setiap pernyataan ilmiah pada dasarnya mengandung
kemampuan disangkal, jadi ilmu pengetahuan empiris harus bisa diuji secara deduktif dan
terbuka kepada kemungkinan falsifikasi empiris. Contoh:
1. Akan terjadi atau tidak terjadi hujan di sini esok.
2. Akan terjadi hujan di sini esok.
Pernyataan (1) tidak bersifat empiris oleh karena tidak dapat disangkal. Sedangkan pernyataan
(2) bersifat empiris karena dapat disangkal.
Kriteria demarkasi Popper didasarkan pada suatu asimetri logis antara verifiabilitas dan
falsifiabilitas. Pernyataan universal tidak bersumber dari pernyataan tunggal, tetapi sebaliknya
bisa bertentangan dengannya. Dengan logia deduktif, maka generalisasi empiris atau
pernyataan universal dapat diuji dan disangkal secara empiris, tetapi tidak dapat dibenarkan.
Hal ini berarti bahwa hokum-hukum ilmiah pada dasarnya dapat diuji, kendatipun tidak dapat
dibenarkan atau dibuktikan secara induktif. Problem demarkasi dirumuskan oleh Popper
sebagai problem mengenai bagaimana menemukan sebuah kriteria yang bisa membedakan
ilmu-ilmu empiris dari matematika, logika dan system-sistem metafisik. Solusi Popper
terhadap induksi ternyata membangkitkan cara pandang yang baru terhadap problem awalnya
yakni, problem seputar kriteria demarkasi ilmiah yang tepat. Kriteria verifiabilitas bukanlah
suatu kriteria demarkasi ilmu, melainkan sebagai kriteria kemaknaannya. Bermakna tidaknya
suatu pernyataan atau hipotesis ilmiah ditentukan oleh corak empiris positifnya. Logika
induktif dan prinsip verifiabilitas mengakibatkan pengetahuan yang bukan ilmiah (metafisika)
tidak bermakna sama sekali. Kriteria demarkasi dan logika induktif mengakibatkan terjadinya
percampurbauran antara metafisika dan ilmu pengetahuan, yang pada gilirannya dapat
mengaburkan kedua-duanya. Hal inilah yang membuat Karl Popper menentang gagasan dari
lingkaran Wina dan membuat demarkasi lain dengan kriteria falsifikasi.
Konklusi: Antara Apresiasi dan Kritik
Dengan pernyataan ini lagi kita bisa merasakan sikap kritis popper yang selalu bergerak
mengiringi etian pemikiran tanpa henti. Ia merasa gelisak ketika harus melabuhkan
kepercayaan pasif kepada spesialisasi dan kaum ahli. Sebagai seorang filsuf kritis , ia menolak
untuk bersandar terhadap spesialisasi keahlian para kaum ahli. Sampai saat ini bagi magee,
pooper memang masih dilihat sebagai kritikus, ini tidaklah mengejutkan krena ia memang
kritikus paling hebat dan efektif dan tidak hanya terhadap satu, tetapi terhadap beberapa
pemikiran ortodoks abad ke-20 yang memiliki pengaruh luas. Kendati demikian, kebesaran
popper sebagai seorang filsuf maupun kritikus tidak menjadikan dirinya bebas dari kritik.
Standar yang diajukan popper bahwa teori sains dapat di andalkan secara tentative dan semakin
kukuh, ketika teori tersebut dapat dibuktikan secara terbuka selalu keliru. Standar tersebut bagi
sebagian ilmuwan justru terlihat kaku sehingga seakan-akan popper menolak standar-standar
yang lainya. Padahal dalam wacana saintifik, penolakan atau pembuktian kekeliruan bukanlah
satu-satunya criteria. Kritik pertama disampaikan oleh Thomas Khun, menurutnya antara
pandangan neo-positivisme dan Popper tampak seperti berbeda, terutama criteria dari sesuatu
yang disebut ilmiah, sebenarnya kedua pandangan tersebut memiliki persamaan, bahkan cukup
fundamental. Keduanya jelas memiliki nuansa positivistic, yang cenderung memisahkan antara
ilmu dan unsur-unsur subjektifitas dari ilmuwan, keduanya juga sama-sama memandang,
proses perkembangan ilmu adalah dengan jalan linier-akumulasi dan eliminasi. Menurut Kuhn,
ilmuwan (termasuk ilmuwan kalangan Lingkaran Wina dan Popper) bukanlah para penjelajah
berwatak pemberani yang menemukan kebenaran-kebenaran baru. Mereka lebih mirip seperti
para pemecah teka-teki yang bekerja di dalam pandangan dunia yang sudah mapan. Kuhn
menamai sistem keyakinan yang sudah mapan dengan istilah “paradigma”. Dalam pandangan
Kuhn, seorang ilmuwan selalu bekerja dengan paradigma tertentu. Jadi menurut Kuhn, Popper
sama saja dengan ilmuwan Lingkaran Wina, yang masih berkutat pada paradigma positivistik.

Anda mungkin juga menyukai