Anda di halaman 1dari 13

SEJARAH SINGKAT ILMU-ILMU ALAM

Penemuan ilmu pengetahuan seringkali diawali dengan kejadian-kejadian yang

membingungkan orang-orang pada zaman dahulu, yang mana teori-teori maupun

ahli-ahli yang telah ada tidak mampu memberikan jawaban atas kejadian tertentu,

misalnya :

a. Penemuan tekanan udara dan bagaimana cara mengukurnya.

b. Ilmu falak dan sistem matahari, yang mana awalnya orang-orang pada abad

pertama mengatakan bahwa bumi adalah pusat tata surya, atau yang lebih

dikenal dengan istilah “geosentris”, yang mana kemudian Nikolaus

Kopernikus mengemukakan teori heliosentris, yaitu bahwa matahari

merupakan pusat dari tata surya, dan kemudian teori ini disempurnakan lagi

oleh Tycho, Brahe, Kepler, dan Galileo Galilei. Sekalipun teori ini pun masih

mendapat perlawanan dari pihak gereja, karena dianggap bertentangan

dengan iman yang selama ini diyakini.

c. Ilmu kedokteran. Pada tahun 1847, ketika ada seorang ahli bedah dan

kebinanan cemas bahwa 10% dari ibu yang melahirkan mengalami demam

bersalin, dan berujung kepada kematian. Beberapa hipotesa dimunculkan

untuk menjawab masalah ini, seperti pelayanan perawat, kedatangan pastur

yang mempengaruhi psikologis, penempatan bangsal, yang pada akhirnya

hipotesa yang paling dapat diterima adalah bahwa para ibu mengalami

keracunan kuman yang ditularkan dari tangan mahasiswa yang juga bertugas

di kamar mayat, sehingga petugas yang baru bertugas di kamar mayat harus

mencuci tangan sebaik-baiknya sebelum menangani pasien. (yang kemudian

disempurnakan dengan harus mencuci tangan dengan larutan CaCl2)


Dari beberapa contoh di atas, kita dapat menarik sebuah benang merah, bahwa

upaya untuk membuktikan sebuah hipotesa adalah suatu hal yang sah, sekalipun

tidak jarang, pendukung dari sebuah teori yang telah digugurkan seringkali

melakukan bantahan untuk menolak hipotesa baru, atau juga pendukung dari

sebuah teori baru yang terkesan sangat memaksakan agar hipotesanya diakui

kebenarannya. Dan apabila telah disepakati sebuah teori baru, maka perlu

dilakukan pengataman untuk menyempurnakan teori baru tersebut.

Pengamatan Pembentukan Penalaran deduktif Pengamatan lagi


hipotesa dari hipotesa/implikasi

Dalam membuat sebuah hipotesa, ada beberapa bentuk penalaran yang dapat

terjadi, antara lain :

Hipotesa diperluas

Hipotesa dirinci dan dimurnikan

Hipotesa yang telah ada, (melalui pengamatan lagi) kemudian disempurnakan

menjadi hipotesa yang lebih paten (Contoh : cuci tangan sebaik-baiknya menjadi

cuci tangan dengan cairan CaCl2)

Bertambahnya jumlah implikasi yang terjadi

Ketika hipotesa terakhir ditemukan, hipotesa-hipotesa sebelumnya yang tadinya

dianggap tidak relevan, muncul sebagai implikasi tambahan dan menguatkan

hipotesa terakhir yang dimunculkan.

Implikasi yang diturunkan secara apriori


Tertundanya pengamatan implikasi apriori

Untuk membuktikan sebuah hipotesa baru, digunakan implikasi apriori untuk

membuktikan kebenaran hipotesa tersebut, namun terkadang dalam kenyataannya

seorang ahli/perumus hipotesa mengalami kendala untuk menggunakan implikasi

apriori (ex : perhitungan matematis untuk membuktikan kebenaran teori heliosentris),

misalnya keterbatasan alat. Jika demikian yang terjadi, maka ada beberapa hal yang

dapat dilakukan, yaitu menemukan hipotesa tambahan atau beralih ke hipotesa

baru.

Kesimpulan :

Cara kerja ilmu alam berdasarkan pengamatan, penelitian, dan percobaan-

percobaan. Hipotesa-hipotesa yang dikemukakan harus memiliki implikasi yang

cocok dengan data empiris-empiris. Data-data empiris tersebut dapat mengalahkan

suatu hipotesa, dapat juga digunakan untuk menyempurnakan sebuah hipotesa.


METODE-METODE ILMU ALAM : INDUKSI

Berbeda dengan ilmu pasti, yang menekankan pada penggunaan akal

sebagai alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan (aliran rasionalisme), ilmu alam

lebih mengutamakan pengalaman inderawi (aliran empirisme) sebagai alat untuk

memperoleh ilmu pengetahuan. Contoh : Jika ingin menjawab pertanyaan

“bagaimana orang mengetahui bahwa es itu dingin?”. Seorang empiris akan

mengatakan “karena saya merasakannya”. Dalam pernyataan tersebut ada tiga

unsur yang perlu, yaitu yang mengetahui (subjek), yang diketahui (objek), dan cara

dia mengetahui bahwa es itu dingin. Bagaimana es itu dingin ?.. Dengan menyentuh

langsung lewat alat peraba. Dengan kata lain, seorang Empiris akan mengatakan

bahwa pengetahuan itu diperoleh lewat pengalaman-pengalaman inderawi yang

sesuai. Penganut empirisme berpandangan bahwa pengalaman merupakan sumber

pengetahuan bagi manusia, yang mendahului rasio. Atau dengan kata lain, tanpa

sebuah pengalaman konkrit, rasio tidak memiliki kemampuan untuk memberi

gambaran tertentu. Kalaupun menggambarkan sedemikian rupa, tanpa pengalaman

hanyalah khayalan/konsep belaka. Hal ini membuat “pengalaman konkrit” menjadi

sesuatu yang perlu dan mutlak untuk dilakukan, sebab nalar memerlukan sebuah

rangsangan dari pengalaman, sehingga pada dasarnya dapat dikatakan bahwa baik

rasionalisme atau empirisme saling melengkapi satu dengan yang lainnya untuk

mencapai kesempurnaan dalam mencapai suatu hasil ilmiah.

Secara umum, dapat dikatakan bahwa metode induksi merupakan cara

berpikir di mana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari suatu peristiwa

yang bersifat khusus. Penalaran ini di mulai dengan mengemukakan pernyataan-

pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khusus, khas dan terbatas dalam

menyusun suatu argumentasi yang di akhiri dengan pernyataan yang bersifat umum.
Contoh : Sapi nusa tenggara mempunyai mata

Sapi australia mempunyai mata

Sapi Amerika mempunyai mata,

Kesimpulan : Semua sapi mempunyai mata

Tokoh metode Induksi : Francis Bacon

Adalah filosof pelopor empirisme Inggris lahir 22 Januari 1561 di York House,

London. Menganut agama Ortodoks pendukung dokrin ‘kebenaran ganda’---akal

dan wahyu---memisahkan filsafat dari teologi, bukan dicampur sebagaimana

skolatisme. Urusan teologi hanya bisa diketahui oleh wahyu, sedang filsafat akal

semata. Francis Bacon mengalami kegelisahan saat menyikapi situasi dimana dia

hidup disebabkan dikhotomik gereja antara studi agama dan studi alam. Gereja

menganggap ilmu pengetahuan jalan menuju neraka; rendahnya kualitas

intelektual, sehingga tidak semua orang layak menyentuh kitab Injil yang suci;

kebenaran ilmu penuh dengan keragu-raguan, ilmu menjadi dogmatisme; tradisi

hermetik dan skolastisisme serta hegemoni geraja menentukan kebijakan publik

religius, bahkan sains tidak luput dari ketetapan gereja.

Pengalaman melalui panca indera mampu menghantarkan manusia pada

pencapaian pengetahuan----dilakukan dengan melibatkan akal. Tiga susunan

memperoleh pengetahuan melalui epistomologi Bacon: indera, untuk menangkap

fenomena-fenomena realitas yang selanjutnya diobservasi secara terus menerus

kemudian data dipersepsikan oleh akal melalui sebuah kesimpulan yang terikat pada

fenomena pengamatan. Menurut Bacon, hakikat pengetahuan yang sebenarnya

adalah pengetahuan yang diterima melalui persentuhan indrawi dengan dunia fakta--

-persentuhan disebut pengalaman. Pengalaman dari hasil pengamatan


sifatnya partikular akan menemukan pengetahuan yang benar dan karena itu

pengalaman adalah sumber pengetahuan sejati.

Dalam pandangan Bacon, orang Yunani terpesona dengan masalah etis,

orang Romawi dengan soal hukum, dan Abad Pertengahan dengan teologi. Mereka

semua tidak memusatkan diri pada ilmu pengetahuan sehingga ilmu diperlakukan

sebagai abdi setia teologi.

“Pengetahuan indrawi” tidak dapat menguasai segalanya, namun

pengetahuan inderawi bersifat fungsional, dapat dipergunakan memajukan

kehidupan manusia. “Kuasa” dipahami sebagai kuasa atas alam (natura non nisi

parendo vincitur; alam hanya dapat ditaklukkan dengan mematuhinya),

maksudnya alam hanya bisa dikuasai kalau pikiran memahami hukum-hukumnya,

mempelajari sifat universalnya dan perkecualiannya. Dengan menaklukkan alam,

umat manusia dapat sejahtera melalui ilmu pengetahuannya.


CONTEXT OF DISCOVERY & CONTEXT OF JUSTIFICATION

Dalam memperoleh ilmu pengetahuan, ada 2 kelompok besar ilmuwan yang

memiliki pandangan yang berbeda. Kelompok pertama, kelompok yang memiliki

kecenderungan puritan-elitis, menghendaki ilmu harus bersifat netral terhadap

sistem nilai. Mereka berusaha agar ilmu dikembangkan demi ilmu. Menurut mereka

tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan ilmiah. Ilmu ini selanjutnya

dipergunakan untuk apa, terserah pada yang menggunakannya, ilmuwan tidak ikut

campur. Kelompok kedua, kelompok yang memiliki kecenderungan pragmatis,

beranggapan bahwa ilmu dikembangkan demi mencari dan memperoleh penjelasan

tentang berbagai persoalan dalam alam semesta ini (Keraf dan Dua, 2001: 153).

Ilmuwan golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai

hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya

kegiatan keilmuan haruslah berlandaskan pada asas-asas moral. Golongan kedua

mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni :

a. Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang

dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-

teknologi keilmuan

b. Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum

ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila

terjadi salah penggunaan

c. Ilmu telah berkembang sedemikian rupa sehingga terdapat kemungkinan

bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki

seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial.


Adanya perbedaan pandangan tersebut dapat dipahami dari konteks

perkembangan ilmu. Ada dua konteks berkenaan dengan hal tersebut,

yaitu context of discovery dan context of justification.

1. Context of Discovery

Yang dimaksud dengan context of discovery adalah konteks di mana ilmu

dikembangkan (Keraf dan Dua, 2001: 154). Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu

ditemukan dan berkembang dalam konteks ruang, waktu, dan situasi tertentu. Ilmu

tidak muncul secara tiba-tiba, ada konteks tertentu yang melatar belakangi muncul

dan berkembangnya ilmu. Tidak bisa disangkal bahwa ilmuwan dalam melakukan

kegiatan ilmiahnya termotivasi oleh keinginan tertentu, baik yang bersifat personal

maupun kolektif, baik untuk penelitian ilmiah murni maupun untuk memecahkan

masalah yang ada dalam kehidupan. Berkenaan dengan motivasi yang disebutkan

terakhir, Rinjin (1997: 10) menyatakan bahwa necessity is the mother of science,

bahwa kebutuhan bisa menjadi ibunya penemuan.

Berdasarkan tinjauan context of discovery dapat dipahami bahwa ilmu tidak bebas

nilai. Bahwa ilmu muncul dan berkembang karena desakan dari nilai-nilai tertentu.

2. Context of justification

Context of justification adalah konteks pengujian ilmiah terhadap hasil penelitian

dan kegiatan ilmiah (Keraf dan Dua, 2001: 156). Ada paradigma yang menyatakan

bahwa ilmu merupakan kesatuan dari proses, prosedur, dan produk. Sebagai suatu

produk, ilmu merupakan pengetahuan sistematis yang diperoleh dari aktivitas yang

didasarkan pada prosedur-prosedur tertentu. Dalam hal inilah kebenaran ilmiah

merupakan satu-satunya nilai yang harus dijadikan acuan. Nilai-nilai lain, diluar nilai

kebenaran ilmiah harus dikesampingkan.


HUKUM, HIPOTESIS DAN HUKUM

HUKUM

Sebuah hukum ilmiah adalah relasi empiris yang dapat diringkas dalam cara yang

singkat baik secara lisan ataupun matematis, dan telah divalidasi oleh eksperimen,

seperti Hukum Newton tentang Gerak. Dalam arti sempit, hukum harus berlaku

tanpa kecuali. Inilah rasa yang sering digunakan ketika mengacu pada "hukum

alam". Namun karena sejarah mereka, ada banyak hal yang kita sebut sebagai

hukum yang sekarang kita tahu tidak ketat berlaku. Hukum Kepler dari Gerak Planet,

misalnya, tidak sepenuhnya benar karena interaksi gravitasi antara planet-planet.

Hukum Kepler hanyalah pendekatan yang masuk akal, tapi kita masih merujuk

kepada mereka sebagai hukum karena sejarah mereka. Lebih buruk lagi, kita

memiliki hal-hal seperti Hukum Bode untuk jarak planet, yang bukan merupakan

hubungan yang valid sama sekali. Hal penting tentang hukum ilmiah, adalah bahwa

mereka murni observasional. Sebuah hukum ilmiah tidak mengusulkan mekanisme

yang mendasari, itu hanya merupakan hubungan yang teramati.

HIPOTESIS

Hipotesis adalah ide atau teori yang diusulkan yang dapat diuji baik secara

eksperimental atau observasional. Hipotesis menjadi teruji apabila semua gejala

yang timbul tidak bertentangan dengan hipotesis tersebut. Dalam upaya pembuktian

hipotesis, peneliti dapat saja dengan sengaja menimbulkan atau menciptakan suatu

gejala. Kesengajaan ini disebut percobaan atau eksperimen. Sebuah hipotesis dapat

difalsifikasikan dengan bukti pengamatan saja, tanpa perlu eksperimen yang

berulang.
TEORI

Sebuah teori adalah hipotesis yang komprehensif atau set hipotesis yang telah

divalidasi oleh pertemuan bukti dari berbagai sumber observasional dan / atau

eksperimental. Biasanya teori mengacu pada sesuatu yang divalidasi dengan baik

oleh bukti ilmiah yang telah menjadi aspek mendasar dari bidangnya. Sebuah teori

tidak pernah benar-benar dapat dibuktikan benar, sehingga selalu mungkin bahwa

sebuah teori dasar dapat ditemukan tidak valid, tapi sangat-sangat jarang. Akan

membutuhkan bukti tak terbantahkan untuk membatalkan teori semacam

itu. Sebuah hipotesis baru harus mampu menjelaskan semua bukti pengamatan dari

teori lama, dan juga harus memperhitungkan bukti baru yang menyanggah teori

lama. Dan harus melakukan hal ini ke tingkat yang sama dan presisi (jika tidak lebih

baik) daripada teori yang digantikannya. Hal ini terjadi, misalnya ketika teori

mekanika quantum menggantikan mekanika Newton untuk hal-hal seperti atom dan

molekul, dan ketika relativitas umum menggantikannya untuk objek-obyek yang lebih

besar.
KONSEP KEBENARAN DALAM ILMU ALAM

Untuk memahami konsep kebenaran dalam ilmu alam, ada baiknya jika kita

memahami terlebih dahulu jenis-jenis pengetahuan. Secara umum, pengetahuan

dibagi menjadi 4, yaitu

1. Pengetahuan biasa. Pengetahuan yang dalam filsafat dikatakan sebagai

common sense, dan sering diartikan sebagai good sense, karena seseorang

memiliki Sesuatu di mana ia menerima secara baik. Semua orang menyebut

warna ini putih karena memang itu putih. Air itu panas karena memang

dipanasi dengan api. Makanan bisa mengganjal rasa lapar, dll. Common

sense diperoleh dari pengalaman sehari-hari. Pengetahuan ini disebut

dengan pengetahuan pra ilmiah dan nir ilmiah.

2. Pengetahuan ilmu (science). Adalah pengetahuan yang diperoleh lewat

penggunaan metode-metode ilmiah yang lebih menjamin kepastian

kebenarannya. Ilmu pada hakikatnya merupakan usaha untuk

mengorganisasikan commons sense, suatu pengetahuan yang berasal dari

pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari. Namun,

dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan

menggunakan berbagai metode.

3. Pengetahuan filsafat. Diperoleh lewat pemikiran rasional yang didasarkan

pada pemahaman, spekulasi, penilaiaan kritis dan penafsiran. Pengetahuan

filsafat lebih menekankan pada universalitas dan kedalaman kajian tentang

sesuatu. Kalau ilmu hanya pada satu bidang pengetahuan yang sempit dan

rigit, filsafat membahas hal yang lebih luas dan mendalam. Filsafat biasanya

memberikan pengetahuan yang reflektif dan kritis, sehingga ilmu yang tadinya

kaku dan cenderung tertutup menjadi longgar kembali.


4. Pengetahuan agama. Pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat

para utusan-Nya. Pengetahuan agama bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh

para pemeluk agama tersebut. Pengetahuan mengandung beberapa hal yang

pokok, yaitu ajaran tentang cara berhubungan dengan Tuhan, yang disering

disebut dengan hubungan secara vertikal, dan cara berhubungan dengan

sesama manusia. Pengetahuan ini sifat kebenarannya adalah mutlak karena

berasal dari firman Tuhan dan sabda Nabi.

Untuk menemukan kebenaran, ada beberapa konsep kebenaran yang dapat

digunakan, antara lain :

1. Teori Korespondensi (Correspondence Theory of Truth)

Teori kebenaran korespondensi, Correspondence Theory of Truth yang

kadang disebut dengan accordance theory of truth, adalah teori yang

berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar jika

berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan yang ada di alam atau

objek yang dituju pernyataan tersebut. Sebuah pernyataan akan dikatakan

benar apabila pernyataan tersebut sesuai denga fakta yang benar-benar

terjadi.

2. Teori Koherensi (Coherence Theory of Truth)

Teori kebenaran koherensi atau konsistensi adalah teori kebenaran yang

didasarkan kepada kriteria koheren atau konsistensi. Suatu pernyataan

disebut benar bila sesuai dengan jaringan komprehensif dari pernyataan-

pernyataan yang berhubungan secara logis. Menurut teori ini kebenaran tidak

dibentuk atas hubungan antara putusan dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta

dan realitas, tetapi atas hubungan antara putusanputusan itu sendiri.21 Teori

ini berpendapat bahwa kebenaran ialah kesesuaian antara suatu pernyataan


dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui,

diterima dan diakui sebagai benar.

3. Teori Pragmatisme (The pramagtic theory of truth.)

Pramagtisme berasal dari bahawa Yunan pragmai, artinya yang dikerjakan,

yang dilakukan, perbuatan, tindakan. Teori kebenaran pragmatis adalah teori

yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh referensi pada

konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya suatu dalil atau teori

tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau teori tersebut bagi manusia

untuk kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional

dalam kehidupan praktis.

4. Teori Performatif

Teori performatif menjelaskan, suatu pernyataan dianggap benar jika ia

menciptakan realitas. Jadi pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang

mengungkapkan realitas, tetapi justeru dengan pernyataan itu tercipta realitas

sebagaimana yang diungkapkan dalam pernyataan itu. Teori ini disebut juga

“tindak bahasa” mengaitkan kebenaran satu tindakan yang dihubungkan

dengan satu pernyataan.38 Misalnya, “Dengan ini saya mengangkat anda

sebagai manager perusahaan “A”. Dengan pernyataan itu tercipta sebuah

realitas baru yaitu anda sebagai manager perusahaan “A”, tentunya setelah

SKnya turun. Di sini ada perbuatan yang dilakukan bersamaan dengan

pengucapan kata-kata itu. Dengan pernyataan itu suatu penampilan atau

perbuatan (performance) dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai