Anda di halaman 1dari 12

Metode Induktif Francis Bacon

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Penalaran induktif merupakan prosedur yang berpangkal dari peristiwa khusus sebagai
hasil pengamatan empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang
bersifat umum. Berkebalikan dengan penalaran deduktif. Untuk turun ke lapangan dan
melakukan penelitian tidak harus memiliki konsep yang canggih tetapi cukup mengamati
lapangan dan dari pengamatan lapangan tersebut dapat ditarik generalisasi dari suatu gejala.
Dalam konteks ini, teori bukanlah syarat mutlak tetapi kecermatan dalam menangkap gejala dan
memahami gejala merupakan kunci sukses untuk dapat melakukan generalisasi.
Penalaran deduktif adalah suatu prosedur yang berpangkal pada suatu peristiwa umum,
yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan atau
pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus. Sedangkan penalaran induktif merupakan prosedur
yang berpangkal dari peristiwa khusus dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan
baru yang bersifat umum.
Namun demikian apabila dengan cermat kita memperhatikan dan memahami kedua jenis
metode penalaran ini, deduktif dan induktif, keduanya tidak terlepas dari berbagai kritik. Hal ini
menunjukkan bahwa baik penalaran deduktif maupun induktif mengandung titik-titik lemah yang
dapat kita anggap sebagai keterbatasan dari keduanya.
2. Permasalahan
Berdasarkan Latar belakang di atas maka beberapa masalah yang ingin dibahas di sini
yaitu:
a. Apa kaitan antara induktivisme dan problema induksi terhadap Ilmu Filsafat?
b. Apa hubungan antara metode induksi dan eksperimen franciz bacon

3. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui apa yang
sebenarnya metode induksi dan eksperimen, problema induksi dan hubungannya dengan metode
eksperimen.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sekilas tentang Francis Bacon
Francis Bacon (1561-1626) adalah anak dari Sir Nicholas Bacon salah seorang pengawal
Ratu Elizabeth I. Ia memasuki sekolah Trinity College pada usia tiga belas tahun dan di sinilah ia
mengembangkan sebuah pemikiran antipati terhadap filsafat Aristoteles1[1].
Pada usia mudanya, Bacon telah mempelajari pemikiran Plato dan Aristoteles di Trinity
College Cambridge pada tahun 1573. Tahun 1576, Bacon menyelesaikan sekolahnya dan
langsung berkunjung ke Paris. Pada tahun 1580, Bacon kembali ke London setelah mendapat
kabar bahwa ayahnya meninggal dunia. Untuk mengisi waktunya, Bacon bekerja sebagai
pengacara, dan pada tahun 1586 ia diangkat sebagai penasihat negara. Setelah 11 tahun bekerja,
Bacon dituduh oleh parlemen menerima suap dan akhirnya dimasukan ke penjara pada tahun
1598. Selama dalam tahanan, Bacon sangat aktif melakukan kajian intelektual dan eksperimen
ilmiah.2[2]
Bacon menghabiskan waktunya di penjara kurang lebih selama lima tahun. Hukuman ini
diberikan oleh pemerintahan ratu Elizabeth I setelah mempertahankan prinsip yang bertentangan
dengan pihak kerajaan. Selama di penjara ia juga dijauhkan dari kehidupan publik, namun
akhirnya ia mendapatkan remisi dari pihak kerajaan setelah beberapa waktu lamanya.
Bacon adalah seorang filosof yang berpengaruh pada zamannya. Menurut para ilmuan,
Bacon dianggap sebagai perintis perkembangan yang cukup besar pada abad ke 17. Rintisannya
terkait dengan keinginan Bacon untuk meninggalkan ilmu pengetahuan lama dan mengusahakan
ilmu yang baru. Menurut pemikirannya, ilmu pengetahuan lama tidak sanggup memberikan
kemajuan, tidak dapat memberikan hasil-hasil yang bermanfaat serta tidak dapat melahirkan halhal baru yang berfaedah bagi kehidupan umat manusia.
1[1] John Losee, A Historical Introduction to the Philosophy of Science, (New York:
Oxford University, 2001), hal. 54
2[2] Adnan Mahdi, Topik-Topik Epistemologi Tentang Induktivisme F. Bacon, Rasionalisme R.
Descartes, Dan Sintesisme, Empirisisme Serta Rasionalisme Kant, lihat http://staisambas.blogspot.com/2009/10/topik-topik-epistemologi-tentang.html, diakses tanggal 2
april 2012.

Bacon adalah seorang filosof yang sangat mencolok minatnya pada ilmu pengetahuan.
Bahkan dia dianggap sebagai perintis filsafat ilmu pengetahuan. Ungkapan Bacon yang terkenal
adalah Knowledge is Power (pengetahuan adalah kuasa). Dia sangat berkeyakinan bahwa
pengetahuan adalah sumber kemenangan dan kemakmuran manusia di dunia ini. Dengan
pengetahuan, manusia dapat menciptakan Mesiu untuk memperoleh kemenangan dalam perang.
Dengan pengetahuan, manusia juga dapat membuat Kompas yang bisa digunakan sebagai
penunjuk arah dalam mengarungi lautan atau membuat Mesin Cetak untuk mempercepat
penyebaran ilmu pengetahuan.
Melihat urgensinya ilmu pengetahuan, makanya manusia harus dapat menguasainya.
Untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, seseorang harus mengetahui terlebih dahulu
hakikat dari pengetahuan itu sendiri. Menurut Bacon, hakikat pengetahuan yang sebenarnya
adalah pengetahuan yang diterima orang melalui persentuhan indrawi dengan dunia fakta.
Persentuhan ini biasanya disebut pengalaman. Bacon berpendapat, pengalaman dari hasil
pengamatan yang bersifat partikular akan menemukan pengetahuan yang benar, dan oleh karena
itu ia yakin bahwa pengalaman adalah sumber pengetahuan sejati.
Bacon berpendapat bahwa orang Yunani terlalu terpesona dengan masalah etis, orang
Romawi dengan soal hukum, dan orang pada Abad Pertengahan dengan teologi. Menurut
anggapan Bacon, mereka semua tidak memusatkan diri pada ilmu pengetahuan. Misalnya saja
pada Abad Pertengahan, ilmu diperlakukan sebagai abdi setia teologi. Perlakuan itu dianggapnya
keliru, karena melalui ilmu itulah, manusia akan dapat memperlihatkan kemampuan kodratinya.
Atas dasar pemikiran tersebut, Bacon menyatakan Knowledge is Power (pengetahuan adalah
kuasa). Menurut pemahaman Bacon, pengetahuan inderawi tidak dapat menguasai segalanya,
namun pengetahuan inderawi bersifat fungsional, dapat dipergunakan untuk memajukan
kehidupan manusia. Sedangkan kuasa dipahaminya sebagai kuasa atas alam (natura non nisi
parendo vincitur artinya alam hanya dapat ditaklukkan dengan mematuhinya). Maksud Bacon,
bahwa alam hanya bisa dikuasai oleh pikiran kalau pikiran dapat mematuhinya dengan cara
memahami hukum-hukumnya, mempelajari sifat universalnya dan perkecualiannya. dengan
menaklukkan alam, Bacon sangat percaya umat manusia dapat sejahtera melalui ilmu
pengetahuannya.

B. Pengertian Metode Induksi Francis Bacon


Secara umum induksi dijelaskan sebagai proses berpikir di mana orang berjalan dari yang
kurang universal menuju yang lebih universal, atau dengan kata lain dari yang individual/
partikular menuju ke yang umum/ universal. Induksi bisa mengantarkan manusia pada tingkatan
inderawi dan individual menuju ke tingkatan intelektual dan universal.3[3]
Dalam segala bentuknya yang lebih khusus induksi merupakan persoalan generalisasi
empiris, yakni kita berargumen bahwa karena sesuatu telah terbukti benar dalam sejumlah kasus
yang diamati, besar kemungkinan yang diperoleh tidak bersifat pasti (kecuali dalam kasus-kasus
khusus), tapi bisa menjadi sangat besar kemungkinannya dan seluruh prediksi rasional kita
mengenai masa depan tergantung pada referensi ini. Pengambilan kesimpulan dengan induksi
sudah pasti tidak sekedar masalah empiris karena kita bisa menggunakannya untuk
menyimpulkan apa yang belum kita amati.4[4]
C. Hubungan Metode Induksi Dan Eksperimen
Merujuk pada pernyataan David Hume5[5] bahwa argumentasi yang bersifat induktif
bersandar pada suatu keanekaragaman, kebiasaan dan pengalaman, hal ini sesuai dengan apa
yang menjadi stressing point Francis Bacon dengan menekankan aspek eksperimen sebagai hal
penting untuk menaklukan alam dengan rahasianya (to torture nature for her secrets). Dalam hal
ini Bacon menyebutnya sebagai komposisi sejarah alamiah dan eksperimental (the composition
of a natural anda experimental history). Menurutnya, eksperimen sangat penting karena jika kita
dengan sederhana mengamati tentang apa-apa yang terjadi di sekitar kita, maka kita dibatasi
dalam data-data yang kita kumpulkan, ketika kita menampilkan sebuah percobaan kita
mengendalikan keadaan pengamatan sejauh mungkin dan memanipulasi keadaan dari percobaan
untuk melihat apa yang terjadi dalam lingkungan-lingkungan di mana hal sebaliknya tidak
pernah terjadi. Eksperimen memungkinkan kita untuk menanyakan apa yang terjadi jika kita
3[3] Henry Van Laer, Filsafat Ilmu; Ilmu Pengetahuan Secara Umum, (Yogyakarta:
LPMI, 1995), hal. 69.
4[4] Ewing, Persoalan-persoalan Mendasar Filsafat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002), hal. 65.
5[5]Julian Baggini, Lima Tema Utama Filsafat; Pengetahuan, Filsafat Moral, Filsafat Agama,
Filsafat Pikiran, dan Filsafat Politi, (New York: Palgrave MacMillan, 2002), hal. 23.

melakukan percobaan-percobaan ...?. Bacon menyatakan bahwa dengan mengadakan


percobaan-percobaan kita mampu menaklukan alam dan rahasianya.6[6]
Berdasarkan pemikirannya tersebut, Bacon merumuskan dasar-dasar berpikir induktif
modern. Menurutnya, metode induksi yang tepat adalah induksi yang bertitik pangkal pada
pemeriksaan yang diteliti dan telaten mengenai data-data partikular, yang pada tahap selanjutnya
rasio dapat bergerak maju menuju penafsiran terhadap alam (interpretatio natura). Untuk mencari
dan menemukan kebenaran dengan metode induksi, Bacon mengemukakan ada dua cara yang
harus dilakukan, yaitu:
1)

Rasio yang digunakan harus mengacu pada pengamatan inderawi yang partikular, kemudian

2)

mengungkapnya secara umum.


Rasio yang berpangkal pada pengamatan inderawi yang partikular digunakan untuk
merumuskan ungkapan umum yang terdekat dan masih dalam jangkauan pengamatan itu sendiri,
kemudian secara bertahap mengungkap yang lebih umum di luar pengamatan.
Untuk menghindari penggunaan metode induksi yang keliru, Bacon menyarankan agar
menghindari empat macam idola atau rintangan dalam berpikir, yaitu:

1) Idola tribus (bangsa) yaitu prasangka yang dihasilkan oleh pesona atas keajekan tatanan alamiah
sehingga seringkali orang tidak mampu memandang alam secara obyektif. Idola ini menawan
2)

pikiran orang banyak, sehingga menjadi prasangka yang kolektif.


Idola cave (cave/specus = gua), maksudnya pengalaman dan minat pribadi kita sendiri

mengarahkan cara kita melihat dunia, sehingga dunia obyektif dikaburkan.


3) Idola fora (forum = pasar) adalah yang paling berbahaya. Acuannya adalah pendapat orang yang
4)

diterimanya begitu saja sehingga mengarahkan keyakinan dan penilaiannya yang tidak teruji.
Idola theatra (theatra = panggung). Dengan konsep ini, sistem filsafat tradisional adalah
kenyataan subyektif dari para filosofnya. Sistem ini dipentaskan, lalu tamat seperti sebuah teater.
7

[7]
Apabila seorang ilmuan sudah luput dari semua idola itu, mereka sudah mampu

melakukan penafsiran atas alam melalui induksi secara tepat. Induksi tidak boleh berhenti pada
taraf laporan semata, karena ciri khas induksi ialah menemukan dasar inti (formale) yang
6[6] James Ladyman, Understanding Philosophy of Science, (New York: Routledge,
2002), hal.23.
7[7] Riski Amalia Putri, Problema Induksi dan Ketergantungan Observasi pada Teori ,
diakses tanggal 2 oktober 2010.

melampaui data-data partikular, berapapun besar jumlahnya. Dalam hal ini perlu difahami
bagaimana tahapan-tahapan induksi sebagai berikut:
A. Pertama yang perlu dilakukan adalah pengumpulan data yang bersifat heterogen tentang suatu
hal.
B.

Kemudian urutannya akan nampak dengan jelas, yang paling awal adalah peristiwa konkrit
partikular yang sebenarnya terjadi (menyangkut proses atau kausa efisien), kemudian suatu hal
yang lebih umum sifatnya (menyangkut skema, atau kausa materialnya),

C. Baru akan ditemukan dasar inti. Dalam hal dasar inti ini, pertama-tama ditemukan dasar inti
yang masih bersifat partikular, yang keabsahannya perlu diperiksa. Jika yang ini sudah bagus,
barulah boleh terus maju menemukan dasar inti yang semakin umum dan luas. Bagi Bacon,
begitulah langkah-langkah induksi yang tepat.
Berdasarkan uraian di atas, Bacon memberikan ketegasan bahwa induksi adalah menarik
kesimpulan umum dari hasil-hasil pengamatan yang bersifat khusus. Induksi bukanlah
penjumlahan belaka dari data-data khusus. Jika hal tersebut dilakukan, induksi itulah yang
dianggap menyesatkan, sebab hanyalah generalisasi yang gegabah. Agar induksi mencapai
kesimpulan obyektif yang bersih dari idola-idola. induksi sendiri memiliki beberapa sifat yang
tidak boleh dihilangkan atau diabaikan.
Diantara sifat-sifat yang tidak boleh diabaikan tersebut adalah:
1.

Bukan subjektivitas, sampai menjadi tergantung dari perasaan dan keinginan pribadi,
melainkan mengenal objek dalam dirinya sendiri.

2.

Bukan pragmatis, sampai mencari untung atau kegunaan praktis tetapi melihat objek apa
adanya.

3.

Bukan abstrak, sampai terjadi hal konkret dan individual tigak digubril lagi, tetapi justru situasi
dan lingkungan konkret dipahami.8[8]

D. Problem Induksi
Keterbatasan induktivisme dalam perannya menyumbangkan pengetahuan melalui
metode ilmiah dianalisis dari kritik-kritik yang diberikan terhadapnya. Kritik terhadap empirisme
8[8] Anton Bakker dan Achmad Charis Zubari, Metodologi Penelitian Filsafat,
(Yogyakarta: Kanisisus, 1990), hal. 43-44.

yang diungkapkan oleh Honer dan Hunt (1968) dalam Suriasumantri (1994) terdiri atas tiga
bagian.
a) Pengalaman yang merupakan dasar utama induktivisme seringkali tidak berhubungan langsung
dengan kenyataan obyektif. Pengalaman ternyata bukan semata-mata sebagai tangkapan
pancaindera saja. Sebab seringkali pengalaman itu muncul disertai dengan penilaian. Dengan
kajian yang mendalam dan kritis diperoleh bahwa konsep pengalaman merupakan pengertian
yang tidak tegas untuk dijadikan sebagai dasar dalam membangun suatu teori pengetahuan yang
sistematis. Disamping itu pula, tidak jarang ditemukan bahwa hubungan berbagai fakta tidak
seperti apa yang diduga sebelumnya.
b) Dalam mendapatkan fakta dan pengalaman pada alam nyata, manusia sangat bergantung pada
persepsi pancaindera. Pegangan induktivisme yang demikian menimbulkan bentuk kelemahan
lain. Pancaindera manusia memiliki keterbatasan. Sehingga dengan keterbatasan pancaindera,
persepsi suatu obyek yang ditangkap dapat saja keliru dan menyesatkan. Misalnya saja
bagaimana tongkat lurus yang terendam di dalam air akan kelihatan bengkok.
c) Dalam induktivisme pada prinsipnya pengetahuan yang diperoleh bersifat tidak pasti. Prinsip ini
sekalipun merupakan kelemahan, tapi sengaja dikembangkan dalam induktivisme untuk
memberikan sifat kritis ketika membangun sebuah pengetahuan ilmiah. Semua fakta yang
diperlukan untuk menjawab keragu-raguan harus diuji terlebih dahulu.
Dalam Chalmer (1983), dinyatakan bahwa argumen-argumen induktif tidak merupakan
argumen yang valid secara logis. Bisa terjadi penyimpulan argumen yang salah, walaupun
premisnya benar. Misalnya, setelah dilakukan observasi terhadap sejumlah besar gagak pada
variasi kondisi yang luas, ternyata didapat fakta gagak berwarna hitam. Maka dapat disimpulkan
semua gagak adalah hitam. Ini adalah penyimpulan induktif yang valid dan sempurna. Namun
disini tidak ada jaminan logis bahwa gagak yang diobservasi bisa saja ada yang coklat atau
merah jambu. Kalau hal ini terbukti, maka kesimpulan semua gagak hitam adalah salah.
Penalaran induktif bukan merupakan prediksi yang benar-benar akurat. Induktif bisa
dihasilkan karena pengulangan-pengulangan secara terus menerus. Tetapi berapa pun banyaknya
observasi/pengamatan, tetap saja generalisasi yang didapat sukar dibuktikan atau salah. Misalkan
seekor ayam diberi makan oleh pemiliknya sedemikian sehingga ayam tersebut setiap kali
pemiliknya mendekat selalu tahu bahwa saat itulah ia akan disuguhi makanan yang akan
mengenyangkan dirinya. Dengan demikian ayam (secara instingtif) memiliki pengetahuan atas
suguhan makanan dengan pembiasaan yang diulang ulang. Maka seekor ayam akan

menyimpulkan bahwa ketika majikan datang sama dengan makanan datang. Ini merupakan
kesimpulan umumnya. Namun suatu ketika majikan datang dan sang ayampun mendekat. Bukan
makanan yang di dapat oleh sang ayam tapi tebasan pisau yang meneteskan darah dilehernya.
Majikan datang sama dengan maut. Dengan demikian kesimpulan umum bahwa majikan datang
sama dengan makanan menjadi sebuah pengetahuan yang salah dan menjerumuskan sang ayam
itu sendiri.
Tidak beda dengan hal ini adalah kepercayaan kita atas terbitnya matahari dari timur.
Karena setiap hari matahari selalu saja terbit dari timur (walaupun mengalami pergeseran sedikit
kearah utara atau selatan), hal ini tidaklah menjadikan kesimpulan bahwa matahari selalu terbit
dari timur merupakan sebuah kebenaran mutlak. Tidak menutup kemungkinan suatu saat
matahari bisa terbit dari barat, utara atau selatan. Dari sini tampak bahwa pengetahuan ilmiah
bukanlah pengetahuan yang telah dibuktikan tetapi pengetahuan yang probabel/berpeluang benar.
Disini terdapat satu bukti rasional bahwa penalaran induktif bisa jadi menghasilkan
kesimpulan yang berbahaya dan salah kaprah. Pengetahuan kita yang bersumber dari penalaran
atau pemikiran induktif bisa jadi salah. Bukan makanan yang datang melainkan kematian.
Demikianlah seperti contoh sang ayam.
Menurut pandangan Hume, penalaran induksi sering pula dikaitkan dengan sebuah
korelasi atau hubungan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap dua buah kejadian
yang berbeda. Hasil-hasil kesimpulan secara induksi juga dikaitkan dengan kausalitas sebuah
kejadian. Karena sedemikian sering kejadian A diikuti oleh kejadian B, maka diambil kesimpulan
bahwa kejadian A merupakan penyebab kejadian B. Hutan yang gundul menyebabkan banjir.
Meskipun metode penalaran induktif bisa saja menghasilkan kesimpulan yang salah,
namun setidaknya kesimpulan yang diperoleh itu beralasan. Sehingga kita tidak dapat
mengatakan induksi sebagai suatu kesalahan karena untuk melakukan perkiraan atau asumsi
dengan induksi adalah valid. Memang benar kita tidak dapat memastikan bahwa suatu
teori/hipotesa melalui induksi itu benar, namun kita dapat memastikan bahwa teori/hipotesa itu
belum salah. Inilah landasan berpikir saintifik. Selama masih belum ditemukan keaslahan
teori/hipotesa itu, maka teori/hipotesa itu akan selalu dianggap benar. Dengan demikian induksi
memungkinkan berkembangnya konsep dasar suatu ilmu.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Induktivisme tidak dimaksudkan untuk menimbulkan keraguan tentang peranan induksi
dalam pembentukan pengetahuan melalui metode ilmiah. Kritik ini haruslah dipandang sebagai
acuan dalam mencari solusi alternatif mengatasi kelemahan-kelemahan dalam induksi.
Penggunaan pancaindera yang memiliki keterbatasan harus dibantu dengan teknologi yang
sempurna untuk menyempurnakan pengamatan. Metode-metode eksperimen yang dijalankan
harus ditetapkan secara benar sehingga bias karena keterbatasan pengamatan manusia dapat
diminimalisasikan.
Francis Bacon dengan menekankan aspek eksperimen sebagai hal penting untuk
menaklukan alam dengan rahasianya (to torture nature for her secrets). Dalam hal ini Bacon
menyebutnya sebagai komposisi sejarah alamiah dan eksperimental (the composition of a
natural anda experimental history). Menurutnya, eksperimen sangat penting karena jika kita
dengan sederhana mengamati tentang apa-apa yang terjadi di sekitar kita, maka kita dibatasi
dalam data-data yang kita kumpulkan, ketika kita menampilkan sebuah percobaan kita
mengendalikan keadaan pengamatan sejauh mungkin dan memanipulasi keadaan dari percobaan
untuk melihat apa yang terjadi dalam lingkungan-lingkungan di mana hal sebaliknya tidak
pernah terjadi.
Pengalaman-pengalaman yang dibangun sebagai dasar kebenaran juga harus didukung
dengan teori-teori yang relevan. Bergantung pada pengalaman pribadi saja bisa menimbulkan
subyektivitas yang tinggi. Oleh sebab itu kajian terhadap pengetahuan-pengetahuan yang sudah
ada sebelumnya harus dilakukan sehingga kebenaran yang ingin didapatkan memiliki sifat
obyektivitas yang tinggi. Pengetahuan tidak semata-mata mulai dari pengalaman saja, tetapi ia
harus menjelaskan dirinya dengan pengalaman-pengalaman itu.
Kritik terhadap induksi perlu juga dipahami sebagai kritik terhadap ilmu pengetahuan.
Dengan adanya keterbatasan dalam induksi sebagai salah satu prosedur dari metode ilmiah,
memberi gambaran kepada kita bahwa kebenaran dalam ilmu pengetahuan bukanlah satusatunya kebenaran yang ada. Tetapi sebagai ilmuwan, kita harus dengan rendah hati mengakui
bahwa di luar ilmu pengetahuan masih terdapat kebenaran lain.

Daftar Pustaka

John Losee, A Historical Introduction to the Philosophy of Science, (New York: Oxford
University, 2001)
Henry Van Laer, Filsafat Ilmu; Ilmu Pengetahuan Secara Umum, (Yogyakarta: LPMI, 1995)

Ewing, Persoalan-persoalan Mendasar Filsafat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).

Julian Baggini, Lima Tema Utama Filsafat; Pengetahuan, Filsafat Moral, Filsafat
Agama, Filsafat Pikiran, dan Filsafat Politi, (New York: Palgrave MacMillan, 2002)

James Ladyman, Understanding Philosophy of Science, (New York: Routledge, 2002)

Riski Amalia Putri, Problema Induksi dan Ketergantungan Observasi pada Teori , diakses
tanggal 2 april 2012

Anton Bakker dan Achmad Charis Zubari, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisisus, 1990)

http://abidinlgblajar.blogspot.com/2012/05/metode-induktif-francis-bacon.html

Anda mungkin juga menyukai