Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

FILSAFAT BARAT ABAD MODERN


’’Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur Dalam Mata Kuliah
Filsafat Umum”

DOSEN PENGAMPU:
Afni Lindra, S.Pd.I.., MA

Oleh kelompok

Nabilah Azzahra (2422054)


Bunga dwicha lestari (2422044)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI BUKITTINGGI
TP 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, karena dengan rahmat, karunia dan hidayah-Nya Kami dapat
menyelesaikan makalah mengenai "Filsafat barat abad modern" ini dengan baik
meskipun banyak kekurangan didalamnya. Kelompok 9 mengucapkan terimakasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan makalah ini
khususnya kepada dosen mata kuliah Ilmu Pendidikan yaitu ibu Afni Lindra,
S.Pd.I.., MA
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai "Konversi Bilangan Octal". Kami juga
menyadari sepenuhnya bahwa didalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh sebab itu, Kami berharap adanya kritik, saran dan usulan
demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang. Semoga
makalah sederhana ini dapat dipahami dan berguna bagi siapapun yang
membacanya. Sebelumnya Kami memohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-
kata yang kurang berkenan. Atas perhatian ibu kami ucapkan terima kasih.

Bukittinggi, 16 November 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... .i


DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 2
C. Tujuan ............................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 3
A. Empirisme ...................................................................................... 3
1). Pengertian empirisme ................................................................. 3
B. Tokoh-tokoh Empirisme................................................................. 8
1). Thomas hubbes dan pemikirannya ............................................. 8
2). John Locke dan pemikirannya.................................................... 14
BAB III PENUTUP ........................................................................................ 18
A. Kesimpulan .................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 19

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Filsafat modern lahir dari sebuah drama besar. Drama yang mengisahkan
tentang kegelisahan pencarian kepastian bagi pengetahuan manusia.
Descartes, sang protagonis Pencerahan, menganggap dirinya telah
menemukan solusi atas kegelisahan itu. Ia merumuskannya dalam satu
helaan napas, dengan sebuah kalimat yang sangat terkenal: Cogito, ergo
Sum (Aku berpikir, maka aku ada). Rumusan dasar tentang Cogito, ergo
Sum diakui Descartes sebagai primum philosopicum yang dipandangnya
final bagi segala jenis pengetahuan. Sesederhana inikah jawabannya? Bagi
Descartes, filsafat adalah pencarian tentang kepastian. Kepastian ini hanya
mungkin bila ia didasarkan pada evidensi yang meyakinkan. Cogito, ergo
Sum adalah simpul penegas untuk kepastian yang diupayakan itu.
Keseluruhan metode Cartesian akhirnya mendapat tantang- an dari John
Locke. la mengangkat pertanyaan yang sangat mengusik tentang
bagaimana ide kita -yaitu unsur-unsur yang dengannya kita membangun
sistem Realitas- diperoleh. Ia. menyangkal eksistensi ide dari dalam.
Sanggahannya inilah yang melahirkan Empirisme." Dapatlah dikatakan
Empirisme yang diajukan Locke merupakan inovasi yang berani.
B. Rumusan masalah
1. Apa itu Empirisme?
2. Apa yang mendasari munculnya Empirisme?
3. Siapa itu Thomas Hubbes dan apa pemikirannya
4. Siapa itu John Locke dan apa pemikirannya

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Empirisme
2. Untuk mengetahui siapa itu Thomas hubbes dan pemikirannya
2. Untuk mengetahui siapa itu John Locke dan pemikirannya
BAB II
PEMBAHASAN

A. Empirisme
1. Pengertian Empirisme
Empirisisme merupakan suatu aliran di dalam dunia filsafat yang
menitikberatkan pengalaman inderawi sebagai sumber utama dan asal-usul
pengetahuan manusia. Aliran yang berkembang pesat pada masa Renaisan
ini dirintis oleh seorang filsuf Inggris, Francis Bacon de Verulam (1561-
1626), dan kemudian dilanjutkan oleh filsuf-filsuf lain seperti John Locke,
George Berkeley, Thomas Hobes dan David Hume. Empirisisme muncul
pada saat itu sebagai reaksi atas kelemahan paham rasionalisme – sebuah
aliran filsafat yang berkembang lebih dahulu daripada empirisisme, yang
beranggapan bahwa pengetahuan manusia yang sejati hanyalah berasal
dari rasio atau akal semata, sementara pengalaman inderawi hanya
dianggap sebagai pengenalan dan justru sering diabaikan.
Paham empirisisme banyak mempengaruhi perkembangan metode
penelitian di berbagai disiplin ilmu. Paham ini bahkan dianggap sebagai
awal digunakannya prosedur ilmiah di dalam penemuan pengetahuan,
karena sesungguhnya hakikat ilmu pengetahuan adalah pengamatan,
percobaan, penyusunan fakta dan penarikan kesimpulan/ hukum-hukum1
Sejak zaman Yunani Kuno, selain para pemikir yang mengagungkan
nalarnya dalam menemukan kebenaran (dikenal sebagai penganut paham
rasionalisme), sudah ada juga pemikir yang lebih mempercayai inderanya,

1
Sudaryono,, Kuliah Metodologi Penelitian I dan II, Program Studi Teknik Arsitektur Pascasarjana
UGM, 2001-2002
yang mencoba menemukan pengetahuan yang benar atas dasar
pengalaman. Mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai penganut
paham empirisisme. Salah seorang tokoh empirisisme pada masa itu
adalah Demokritos (460 SM – 370 SM), yang berperan penting di dalam
perkembangan teori atom di alam semesta ini.2
Istilah empirisisme sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu en (di
dalam) dan peira (suatu percobaan). Dari makna awal itu kemudian
empirisisme diartikan sebagai suatu cara menemukan pengetahuan
berdasarkan pengamatan dan percobaan3 Suatu pernyataan dianggap benar
apabila isi yang dikandungnya memiliki manifestasi empiris, yaitu
perwujudan nyata di dalam pengalaman. Atau dengan kata lain,
pengalaman inderawi dianggap menjadi sumber utama pengetahuan atau
kebenaran.
Di dalam perjalanannya, aliran ini tercatat mempunyai akselerasi
perkembangan yang pesat pada abad ke-17 dan 18 khususnya di dataran
Inggris dan sekitarnya. Pemicu perkembangan empirisisme yang meluas
itu adalah karena ada kekecewaan, khususnya di kalangan pemikir,
terhadap aliran rasionalisme yang memang telah berkembang terlebih
dahulu. Sebagai suatu cara menemukan pengetahuan berdasarkan
pengamatan dan percobaan. Suatu pernyataan dianggap benar apabila isi
yang dikandungnya memiliki manifestasi empiris, yaitu perwujudan nyata
di dalam pengalaman. Atau dengan kata lain, pengalaman inderawi
dianggap menjadi sumber utama pengetahuan atau kebenaran.
Di dalam perjalanannya, aliran ini tercatat mempunyai akselerasi
perkembangan yang pesat pada abad ke-17 dan 18 khususnya di dataran
Inggris dan sekitarnya. Pemicu perkembangan empirisisme yang meluas
itu adalah karena ada kekecewaan, khususnya di kalangan pemikir,
terhadap aliran rasionalisme yang memang telah berkembang terlebih
dahulu.
2
Nasoetion, Andi Hakim, Pengantar ke Filsafat Sains, Litera Antar Nusa, Jakarta, 1988
3
Nasoetion, Andi Hakim, Pengantar ke Filsafat Sains, Litera Antar Nusa, Jakarta, 1988
Beberapa kritikan yang ditujukan atas rasionalisme adalah):
1. pengetahuan rasional dibentuk oleh ide yang abstrak – tidak dapat
dilihat atau diraba, sehingga belum dapat dikuatkan oleh semua
manusia dengan keyakinan yang sama.
Bahkan di kalangan tokoh rasionalis sendiri terdapat perbedaan yang
nyata mengenai kebenaran dasar yang menjadi landasan dalam
menalar.
2. banyak kalangan yang menemukan kesukaran dalam menerapkan
konsep rasional ke dalam masalah kehidupan yang praktis, karena
paham ini cenderung meragukan bahkan menyangkal sahnya
pengalaman inderawi untuk memperoleh pengetahuan.
3. rasionalisme dianggap gagal dalam menjelaskan perubahan dan
pertambahan pengetahuan manusia selama ini. Banyak ide yang
tampaknya sudah mapan pada satu waktu bisa berubah drastis pada
waktu yang lain, misalnya ide tentang sistem tatasurya.

Kritik-kritik yang muncul semacam di atas itulah yang kemudian


mendorong beberapa pemikir pada masa itu untuk ‘berpaling’ dan
menyuburkan viiiositiv paham empirisisme yang sempat surut pada masa
sebelumnya. Para tokoh empirisisme tersebut (dikenal juga sebagai kaum
empiris), menolak kebenaran berdasarkan pengetahuan yang mengabaikan
pengalaman sekarang atau pengalaman yang akan viiiositi. Mereka juga
menyangkal pengetahuan yang berdasarkan intuisi atau pengetahuan
bawaan. Menurut kaum empiris ini, pengetahuan yang paling jelas dan
sempurna adalah pencerapan inderawi yang berarti tidak hanya melihat,
meraba, mendengar atau mencium, tetapi juga semacam indera batin (daya
ingat, kesadaran). Mereka berpendapat bahwa akal budi hanyalah
memadukan pengalaman-pengalaman inderawi.4

4
Ensiklopedi Nasional, PT Adi Cipta Pustaka Jakarta,1980
Empirisme sendiri mempunyai dua ciri pokok yaitu mengenai teori
tentang makna dan teori mengenai pengetahuan Teori makna pada
empirisisme biasanya dinyatakan sebagai teori tentang asal pengetahuan,
yaitu asal-usul iden atau konsep Pada abad pertengahan teori ini di ringkas
dalam rumus “Nihil est intellectu quod non prues fuerit in sensu” yang
artinya tidak ada sesuatu di dalam pikiran kita selain pengalaman Rumus
im diutarakan oleh John Locke untuk menentang ajaran idea bawaan
David Hume lalu mempertegas teori ini dalam bukunya treatise of hman
nature la membedakan antara ide dan kesan. Menurut Hume, semua ide
yang kita miliki, dating dan kesan-kesan, dan kesan itu mencakup
penginderaan, passion, dan emosi. Pada abad-20 kaum empiris cenderung
menggunakan teori ini untuk menentukan apakah suatu konsep sudah
diterapkan benar atau tidak, bukan pada asal usul pengetahuan Teori yang
kedua adalah teori pengetahuan. Bagi kaum rasionalis, kejadian
mempunyai sebab, dasar-dasar matematika, heberapa prindip dasar etika
dan kebenaran itu benar dengan sendinnya yang dikenal dengan istilah
kebenaran aprari yang dikenal lewat intisi rasional Empirisme justru
menolak pendapat ini tidak ada keampuan intinst rasional Semua
kebenaran tersebut adalah kebenaran yang diperoleh lewat observasi, jadi
merupaan kebenaran yanga posteori5.
Terdapat beberapa jenis empirisme:
- Empirio- kritisme
Disebut juga Machisme. Sebuah aliran filsafat yang bersifat
subyektif-idealistik. Aliran ini didirikan oleh Avenarius dan Mach.
Inti aliran ini adalah ingin “membersihkan” pengertian pengalaman
dari konsep substansi, keniscayaan, kausalitas, dan sebagainya,
sebagai pengertian apriori. Sebagai gantinya aliran ini mengajukan
konsep dunia sebagai kumpulan jumlah elemen- elemen netral atau
sensasi-sensasi (pencerapan-pencerapan). Aliran ini dapat dikatakan

5
Ahmad Tafsir, Filsafat umum, hlm 175
sebagai kebangkitan kembali ide Barkeley dan Hume tetapi secara
sembunyi-sembunyi, karena dituntut oleh tuntunan sifat netral
filsafat. Aliran ini juga anti metafisik.
- Empirisme Logis
Analisis logis Modern dapat diterapkan pada pemecahan-
pemecahan problem filosofis dan ilmiah. Empirisme Logis
berpegang pada pandangan-pandangan berikut:
a) Ada batas-batas bagi Empirisme. Prinsip sistem logika formal
dan prinsip kesimpulan induktif tidak dapat dibuktikan dengan
mengacu pada pengalaman.
b) Semua proposisi yang benar dapat dijabarka (direduksikan) pada
proposisi-proposisi Mengenai data inderawi yang kurang lebih
merupakan data indera yang ada seketika.
c) Pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat kenyataan yang
terdalam pada dasarnya tidak mengandung makna.

- Empiris Radikal
Suatu aliran yang berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat
dilacak sampai pada pengalaman inderawi. Apa yang tidak dapat
dilacak secara demikian itu, dianggap bukan pengetahuan. Soal
kemungkinan melawan kepastian atau masalah kekeliruan melawan
kebenaran telah menimbulkan banyak pertentangan dalam filsafat.
Ada pihak yang belum dapat menerima pernyataan bahwa
penyelidikan empiris hanya dapa memberikan kepada kita suatu
pengetahuan yang belum pasti (Probable). Mereka mengatakan
bahwa pernyataan- pernyataan empiris, dapat diterima sebagai pasti
jika tidak ada kemungkinan untuk mengujinya lebih lanjut dan
dengan begitu tak ada dasar untuk keraguan. Dalam situasi
semacam ini, kita tidak hanya berkata: Aku merasa yakin, tetapi
aku yakin. Kelompok falibisme akan menjawab bahwa: xositiv
pernyataan empiris yang pasti karena terdapat sejumlah tak terbatas
data inderawi untuk setiap benda, dan bukti-bukti tidak dapat ditimba
sampai habis sama sekali.

B. Tokoh-Tokoh Empirisme
1). Thomas Hubbes
Thomas hubbes(1588-1679) adalah seorang filosof yang sulit
diklasifikasi- kan ke dalam kelompok tertentu. Dia merupakan seorang
empirisis. Seperti Locke, Berkeley dan Hume, tetapi berbeda dengan
mereka, dia mengagumi metode matematis, bukan hanya dalam
matematika muri tetapi juga dalam aplikasi-aplikasinya Secara umum,
pandangannya lebih diilhami oleh Galileo daripada Bacon Dari Descartes
sampai Kant, filsafat Kontinental menurunkan banyak konsepsi watak
ilmu pengetahuan manusia dari matematika, tetapi filsafat ini memandang
matematika bisa diketahui tanpa mengalaminya, Makanya, filsafat ini
diarahkan, seperti Platonisme, untuk meminimalisir peran yang dimainkan
oleh persepsi, dan mengedepankan peran yang dimainkan oleh pikiran
murni Empirisme Inggris, di lain pihak, hanya sedikit dipengaruhi oleh
matematika, dan cenderung mempunyai sebuah konsepsi metode ilmiah
yang keliru Hobbes tidak memiliki cacat semacam ini. Tidak perlu
menunggu sampai zaman sekarang kita mendapati filosof-filosof empiris
yang menekan kan matematika Dalam hal ini, jasa Hobbes luar biasa
besar. Namun demikian, dia mempunyai kesalahan-kesalahan fatal, yang
tidak mungkin menempatkannya sebagai filosof pada peringkat pertama.
Dia tidak sabar dengan hal hal yang pelik, dan cenderung untuk memotong
simpul Gordian Solusi-solusinya atas berbagai persoalan bersifat logis,
tetapi dilakukannya dengan menghilangkan fakta fakta yang janggal
Dia sangat bersemangat, tetapi kasar, dia lebih terampil
mempergunakan kapak perang daripada sebilah pedang tipis dan tajam
Namun demikian teor nya tentang negara layak dipertimbangkan secara
teliti, bahkan lebih modern danpada teori sebelumnya, teori Machiavelli
sekalipun.
Ayah Hobbes adalah seorang vikaris, yang pemarah dan tidak ber-
pendidikan, dia kehilangan pekerjaannya karena bertengkar dengan vikaris
tetangganya di pintu gereja Selanjutnya. Hobbes dibesarkan oleh seorang
pamannya. Dia menguasai ilmu pengetahuan klasik dengan baik dan pada
usia empat tahun menerjemahkan The Medea karya Euripide ke dalam
yambe Latin (Dalam kehidupan selanjutnya, dia memang layak
menyombongkan diri, meskipun dia tidak pernah mengutip para penyair
dan orator klasik tetapi bukan karena dia tidak akrab dengan karya karya
mereka) Pada usia lima belas tahun, dia pergi ke Oxford untuk belajar
logika skolastik dan filsafat Aristotle Logika dan filsafat ini men jadi
momok dalam kehidupannya kemudian, dan dia hanya mendapatkan
sedikit manfaat selama kuliah di universitas tersebut selama bertahun
tahun, sebenarnya universitas universitas pada umumnya selalu dikritik
oleh tulisan-tulisan Hobbes Pada tahun 1610, Ketika berusia dua puluh
dua tahun, dia menjadi guru pribadi Lord Hardwick (setelah Earl kedua
dari Devonshire), yang bersamanya dia melakukan perjalanan me
nyenangkan Inilah saatnya ketika dia mulai mendalami karya Galileo dan
Kepler vang kemudian sangat mempengaruhinya Muridnya, Lord.
Hardwick menjadi pelindungnya sampai dia meninggal pada tahun 1628
Berkat Lord Hardwick, Hobbes bertemu dengan Ben Jonson, Bacon dan
Lord Herbert dari Cherbury, dan banyak tokoh penting lainnya Setelah
kematian Earl dari Devonshire, yang meninggalkan seorang anak laki laki,
Hobbes tinggal di Paris untuk mulai mempelajan Euclid, kemudian dia
menjadi guru pribadi bagi anak bekas muridnya itu Bersamanya,
dia melakukan perjalanan ke Italia sehingga bertemu Galileo pada
tahun 1636 Pada tahun 1637, dia kembali ke Inggris.
Sekarang kita akan membahas pemikiran-pemikirannya dalam
Leviathan yang membuatnya sangat terkenal.
Di bagian awal bukunya, dia memproklamirkan materialismenya
yang tidak tanggung-tanggung Hidup, menurutnya, tidak lain kecuali
sebuah gerak anggota badan, dan makanya mesin otomatis mempunyai
sebuah kehidupan tiruan (artificial life). Persemakmuran (common-
wealth), yang disebutnya dengan Leviathan (raksasa laut), merupakan
sebuah karya seni, dan senyatanya adalah seorang manusia tiruan
(artificial man). Ini lebih dimaksudkan sebagai analogi, dan diuraikasecara
agak mendetail Kedaulatan adalah sebuah jiwa tiruan (artificial soul).
Pakta dan perjanjian yang dengannya mula-mula “Leviathan” tercipta
meng- gantikan sabda Tuhan ketika Dia berkata “Kami jadikan manusia”
Bagian pertama berbicara tentang manusia sebagai individu, disertai
dengan pembahasan tentang filsafat umum yang dianggapnya perlu.
Perasaan disebabkan oleh tekanan dari objek-objek; warna, bunyi dan
seterusnya tidak ada dalam objek. Sifat-sifat dalam objek yang berhubung-
an dengan perasaan kita adalah gerakan-gerakan Inilah hukum gerak
pertama, dan hukum ini segera diterapkan pada psikologi: imajinasi adalah
sebuah indera yang membusuk; imajinasi dan indera adalah Gerakan-
gerakan Ketika manusia tidur, imajinasi itu berupa mimpi, agama orang-
orang kafir tidak berbeda dengan mimpi, tetapi berlainan dengan
kehidupan nyata. (Pembaca yang gegabah bisa menerapkan argumentasi
yang sama pada agama Kristen, tetapi Hobbes amat-sangat berhati-hati
untuk melakukannya.’) Kepercayaan bahwa mimpi bersifat profetik
hanyalah sebuah khayalan; demikian juga kepercayaan pada sihir dan
hantu.
Perubahan pikiran pada diri kita tidak terjadi secara sewenang-
wenang, tetapi diatur oleh dalil-dalil-kadang dalil-dalil asosiasi, kadang
dalil-dalil yang bergantung pada tujuan berpikir kita. (Ini penting
sebagaimana yang terjadi dalam determinisme psikologi.)
Hobbes, seperti perkiraan, adalah seorang nominalis sejati. Menurut-
nya, tidak ada yang universal kecuali nama-nama, dan tanpa kata-kata kita
tidak dapat memahami ide-ide umum. Tanpa bahasa, tidak akan ada
kebenaran atau kesalahan, karena “benar” dan “salah” adalah sifat-sifat
perkataan.
Dia memandang geometri sebagai sebuah sains dasar yang telah
dicipta. Penalaran itu seperti berhitung dan harus dimulai dari definisi.
Akan tetapi, perlu dihindari konsep-konsep yang saling kontradiktif dalam
definisi-definisi, yang tidak biasa dilakukan dalam filsafat. “Zat tidak
berbadan”, misalnya, mustahil. Ketika dibantah bahwa Tuhan adalah dzat
tidak berbadan, Hobbes mengemukakan dua jawaban: pertama, Tuhan
bukanlah objek filsafat; kedua, banyak filosof memandang Tuhan itu
badan. Semua kesalahan dalam premis umum, katanya, berasal dari
absurditas (yakni bertentangan dengan diri sendiri (self-contradiction) dia
memberi contoh absurditas ide tentang kehendak bebas dan keju yang
memiliki sifat-sifat roti. (Kita tahu bahwa, menurut iman Katolik,sifat-sifat
roti dapat melekat pada sebuah benda bukan roti.) Dalam bagian pertama
buku ini, Hobbes menunjukkan sebuah rasionalisme kuno. Kepler telah
mengemukakan sebuah premis umum: “Planet-planet berputar
mengelilingi matahari dalam bentuk elips”; tetapi pandangan-pandangan
lain, seperti yang disampaikan Ptolemy, secara logis tidak absurd. Hobbes
tidak menggunakan induksi untuk sampai pada premis-premis umum,
meskipun dia mengagumi Kepler dan Galileo.
Bagian kedua memaparkan bagaimana manusia menjauhkan diri dari
kejahatan-kejahatan ini dengan cara menyatukan
diri dalam komunitas- komunitas yang masing-masingnya tunduk
pada sebuah otoritas sentral. Inilah yang disebut sebagai kontrak social..
Dimisalkan sejumlah orang berkumpul bersama dan sepakat untuk
menentukan sebuah kekuasaan, atau dewan berdaulat, yang akan
menjalankan kekuasaan atas mereka dan mengakhiri perang sesama
manusia. Saya tidak menganggap “per- janjian” ini (sebagaimana Hobbes
biasanya menyebutnya) sebagai sebuah peristiwa sejarah tertentu;
anggapan ini nyata-nyata tidak relevan. Anggapan tersebut merupakan
mitos penjelas yang digunakan untuk menerangkan mengapa manusia
bersatu, dan seharusnya memang ber-satu, untuk membatasi kebebasan
pribadi dengan ketundukan pada kekuasaan. Tujuan untuk membatasi
kebebasan manusia, menurut Hobbes, adalah menyelamatkan diri dari
perang dunia karena kita menyukai kebebasan kita sendiri dan kekuasaan
atas orang lain.
Hobbes memikirkan pertanyaan mengapa manusia tidak bisa bekerja
sama seperti semut dan lebah. Lebah-lebah dalam sarang yang sama,
menurutnya, tidak saling bersaing, mereka tidak menginginkan
kehormatan; dan mereka tidak mempunyai akal untuk mengkritisi
pemerintah. Kesepakatan mereka bersifat alami, tetapi kesepakatan
manusia hanya bersifat semu melalui perjanjian. Perjanjian harus
mengamanahkan kekuasaan pada satu orang atau sebuah dewan, karena
perjanjian tidak bisa dipaksakan. “Perjanjian tidak dengan pedang, tetapi
dengan kata- kata.” (Sayangnya, Presiden Wilson melupakan ungkapan
ini.) Perjanjian, selanjutnya menurut Locke dan Rousseau, tidak terjadi
antara warga negara dan penguasa, tetapi dibuat sesama warga negara
untuk mematuhi penguasa yang harus dipilih oleh mayoritas. Ketika warga
negara telah memilih penguasa, berarti kekuasaan mereka telah berakhir.
Kaum minoritas sama terikatnya dengan penguasa sebagaimana mayoritas,
karena perjanjian itu mengharuskan ketundukan pada pemerintah yang
telah dipilih oleh mayoritas.
Ketika pemerintah telah dipilih, warga negara kehilangan semua
haknya kecuali pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk
memberikannya. Tidak ada hak untuk memberontak, sebab penguasa tidak
terikat dengan kontrak apa pun, yang terikat adalah warga negara.
Orang banyak yang bersatu disebut sebuah persemakmuran.
“Leviathan” ini dinamakan sebuah dewa yang besar sekali.
Dalam Leviathan, ada sebuah bab yang membahas tentang
kebebasan (liberty) warga negara, yang dimulai dengan sebuah definisi
yang sangat sempurna: Kebebasan adalah tiadanya rintangan eksternal
untuk ber- gerak. Dalam pengertian ini, kebebasan sesuai dengan
kebutuhan, misal-nya, air mengalir ke bawah bukit karena tidak ada
hambatan untuk ber- gerak dan karena, makanya menurut definisi tersebut,
air itu bebas. Seorang manusia bebas untuk melakukan apa yang
diinginkannya, tetapi harus menaati kehendak Tuhan. Seluruh kemauan
kita mempunyai penyebab, dan dalam pengertian ini berarti menjadi
kebutuhan. Mengenai kebebasan warga negara, mereka bebas tanpa
campur tangan hukum; ini bukanlah pembatasan pada kedaulatan, karena
hukum dapat turun tangan jika raja menginginkannya. Warga negara tidak
memiliki hak untuk menentang raja, kecuali raja membiarkannya secara
suka rela. Ketika Daud menyebabkan Uriah terbunuh, dia tidak melanggar
Uriah, karena Uriah warga negaranya; tetapi Daud mengingkari Tuhan
karena dia adalah makhluk-Nya dan melanggar hukum Tuhan.
Bagian kedua dari Leviathan diakhiri dengan harapan agar raja-raja
membaca buku ini dan membuat kekuasaan dirinya absolut-sebuah
harapan yang tidak terlalu muluk-muluk dibandingkan dengan harapan
Plato agar raja-raja menjadi filosof. Raja-raja dipastikan akan dengan
mudah membaca buku ini yang cukup menarik.
Bagian ketiga, “Of a Christian Commonwealth” (Tentang Per-
semakmuran Kristen), mengatakan tiadanya gereja universal, karena gereja
harus bergantung pada pemerintahan sipil.
Di setiap negara, raja harus menjadi pimpinan gereja; kebesaran dan
kesucian Paus tidak diakui Bagian ketiga ini mungkin hendak mengatakan
bahwa seorang Kristen yang tunduk pada raja non-Kristen harus
menyatakan secara terbuka, karena bukankah Naaman membungkukkan
badan xviiositi ada di rumah Rimmon?
Bagian keempat, “Of the Kingdom of Darkness” (Tentang Kerajaan
Kegelapan) terutama mengkritik gereja Roma, yang dibenci Hobbes
karena meletakkan kekuasaan spiritual di atas kekuasaan duniawi.
Selebihnya dari bagian ini menyerang “filsafat sia-sia”, yang biasanya
dimaksud adalah Aristoteles

2). John Locke dan pemikirannya


John Locke (1632-1704) dilahirkan di Somersetshire, sepuluh tahun
sebelum Newton lahir dan sebelum meletusnya perang saudara, enam
belas tahun setelah meninggalnya Shakespeare Pemikirannya di bidang
filsafat tertuang dalam karya utamanya Essay Concerning Human
Understanding yang terbit pada tahun 1690. Dengan bukunya ini, ia
menantang keabsahan metode yang berlaku dalam filsafat dengan
menekankan dua hal yang sangat penting. Pertama, dari mana kita
mendapatkan gagasan dan kedua, apakah kita dapat mempercayai apa yang
dikatakan oleh indera.
John Locke adalah tokoh pembawa gerbong aliran empirisme dalam
filsafat. Sebuah aliran yang mengimani bahwa semua pikiran dan gagasan
manusia berasal dari sesuatu yang didapatkan melalui indera. Melalui
pengalaman. Karena itu menurutnya, ide bawaan apriori yang diyakini
Descartes adalah omang kosong belaka. Setelah menolak ide-ide bawaan,
seperti yang ditulis oleh Bertrand Russell, Locke mengatakan:
“Selanjutnya mari kita memandang pikiran, seperti kita tahu, seperti kertas
putih, yang bebas dari semua sifat, tanpa ide apa pun lantas,
bagaimana pikiran dilengkapi? Dari mana datangnya simpanan yang
banyak sekali, khayalan manusia yang amat banyak dan tak terbatas telah
mengecatnya dengan aneka ragam yang hamper tiada akhir? Atas
pertanyaan ini, saya menjawab dalam satu kata, dari pengalaman, di dalam
pengalaman semua pengetahuan kita dibangun, dan dari pengalaman,
pengetahuan pada puncaknya menurunkan dirinya”6
Berdasarkan pernyataannya di atas, Locke sangat percaya bahwa
benak manusia sewaktu ia dilahirkan kosong melompong bagaikan
tabularasa (kertas putih). Ide yang terdapat di benak manusia, menurut
Locke sesungguhnya berasal dari pengalaman. Hadir secara aposteriori.
Pengenalan manusia terhadap seluruh pengalaman yang dilaluinya
(mencium, merasa, mengecap, mendengar) menjadi dasar bagi hadirnya
“gagasan-gagasan sederhana”7 Tapi pikiran, menurut Locke, bukanlah
sesuatu yang pasif terhadap segala sesuatu yang dating dari luar. Beberapa
aktivitas berlangsung dalam pikiran. Gagasan-gagasan yang dating dari
indera tadi diolah dengan cara berpikir, bernalar, mempercayai, meragukan
dan dengan demikian memunculkan apa yang dinamakannya dengan
perenungan.
Locke menekankan bahwa satu-satunya yang dapat kita tangkap
adalah “penginderaan sederhana”. Ketika kita makan apel, misalnya, kita
tidak merasakan seluruh apel itu dalam satu penginderaan saja.
Sebenarnya, kita menerima serangkaian penginderaan sederhana -Apel itu
adalah benda berwarna hijau. Rasanya segar, baunya segar dan
sebagainya- Setelah kita makan apel berkali-kali kita akhirnya berpikir
Sekarang kita sedang makan “Apel" Pemikiran kita tentang apel inilah
yang kemudian disebut Locke sebagai "gagasan yang rumit" atau
disebutnya dengan persepsi. Secara demikian, dalam analisis akhir kita

6
Betrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2003), hal.799
7
Donny Gahral Adian, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan dari David Hume sampai Thomas
Kuhn, (Teraju: Jakarta, 2002), hal. 49.
dapat menyimpulkan bahwa semua bahan bagi pengetahuan kita) tentang
dunia didapatkan melalui penginderaan. Karena itu "pengetahuan yang
tidak dapat dilacak kembali pada peng inderaan sederhana adalah jenis
pengetahuan yang keliru, dan akibatnya harus kita tolak", demikian
menurut Locke"8
Selain dari itu, Locke membedakan antara apa yang dinamakannya
"kualitas primer" dan "kualitas sekunder". Yang dimaksud dengan kualitas
primer adalah luas, berat, gerakan jumlah, dan sebagainya. Jika sampai
pada masalah kualitas seperti ini, kita dapat merasa yakin bahwa indera-
indera menirunya secara objektif. Tapi juga kita merasakan kualitas-
kualitas lain dalam benda-benda Kita mengatakan bahwa sesuatu itu manis
atau pahit, hijau atau merah. Locke menyebut-nya inilah yang disebut
dengan kualitas sekunder Penginderaan semacam ini -warna, bau, rasa,
suara- tidak meniru kualitas- kualitas sejati yang melekat pada benda-
benda itu sendiri.
Di tangan empirisme Locke, filsafat mengalami perubahan arah. Jika
pada Descartes, kita diajari bahwa pengetahuan yang paling berharga tidak
berasal dari pengalaman, maka menurut Locke, pengalamanlah yang
menjadi dasar dari segala penge- ahuan. Namun demikian, empirisme
dihadapkan pada sebuah persoalan yang sampai sebegitu jauh belum bisa
dipecahkan secara memuaskan oleh filsafat. Menurut Bertrand Russell,
persoalannya adalah menunjukkan bagaimana kita mempunyai
pengetahuan tentang sesuatu selain diri kita dan cara kerja pikiran itu
sendiri.
Di samping ajaran tentang filsafat pengetahuan, ajaran Locke tentang
etika juga sangat menarik, terutama berkaitan dengan gori-teori umumnya
tentang bagaimana manusia berperilaku dan bagaimana seharusnya

8
Jostein Gaader, Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat, (Mizan: Bandung, 1996), hal. 286.
Penjelasan yang sama lihat juga dalam Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, (Pustaka Pelajar:
Yogyakarta, 2003), hal. 799-800.
manusia berperilaku. Di mata Locke, manusia selalu digerakkan semata-
mata oleh keinginan untuk memperoleh kesenangan atau kebahagiaan.
Dalam ajarannya tentang etika, Locke amat menekankan supaya
kehidupan manusia dibimbing oleh kepentingan "jangka panjang Yang
dimaksud dengan kepentingan jangka panjang tersebut tiada lain adalah
"kebijaksanaan" Kebijaksanaan adalah kebaikan yang selalu disebarkan,
karena setiap penyimpangan dari kebaikan adalah gagalnya kebijaksanaan.
Selanjutnya menurut Locke, bahwa kebebasan bergantung kepada
kebutuhan untuk mencari kebahagiaan yang sebenarnya dan pada
pengendalian hasrat kita. Locke menurunkan pendapatnya ini dari
pandangan bahwa kepentingan pribadi dan kepentingan umum pada
akhirnya menjadi identik. Pandangannya itu juga menyebutkan bahwa
sebuah komunitas warga yang semuanya saleh dan bijaksana akan berbuat,
dengan kebebasannya, untuk menciptakan kebaikan bersama. Tidak akan
diperlukan hukum- hukum manusia untuk membatasinya, karena hukum-
hukum Tuhan sudah dipandang cukup."9
Proyek epistemologis Locke mencapai puncaknya dalam positivisme
Inspirasi filosofis empirisme terhadap positivisme terutama prinsip
objektivitas ilmu pengetahuan. Seperti sudah dijelaskan di muka,
empirisme memiliki keyakinan bahwa semesta adalah segala sesuatu yang
hadir melalui data inderawi
oleh karena itu pengetahuan yang benar-benar meyakinkan haruslah
bersumber dari pengalaman dan pengamatan yang empirik. Dari titik ini,
positivisme lantas mengembangkan klaimnya bahwa puncak pengetahuan
manusia adalah ilmu-ilmu yang didasarkan pada fakta-fakta yang terukur
dan pasti atau ilmu-ilmu positif

9
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2003), hal.805
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Empirisisme merupakan suatu aliran di dalam dunia filsafat yang
menitikberatkan pengalaman inderawi sebagai sumber utama dan asal-usul
pengetahuan manusia. Aliran yang berkembang pesat pada masa Renaisan
ini dirintis oleh seorang filsuf Inggris, Francis Bacon de Verulam dan
kemudian dilanjutkan oleh filsuf lain seperti John Locke, Thomas Hobes
Empirisme sendiri mempunyai dua ciri pokok yaitu mengenai teori
tentang makna dan teori mengenai pengetahuan Teori makna pada
empirisisme biasanya dinyatakan sebagai teori tentang asal pengetahuan,
yaitu asal-usul ide atau konsep.
Terdapat beberapa jenis empirisme:
a. Empirio- kritisme
Disebut juga Machisme. Sebuah aliran filsafat yang bersifat
subyektif-idealistik. Aliran ini didirikan oleh Avenarius dan Mach.
b. Empirisme Logis
Analisis logis Modern dapat diterapkan pada pemecahan-pemecahan
problem filosofis dan ilmiah.
c. Empiris Radikal
Suatu aliran yang berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat
dilacak sampai pada pengalaman inderawi
Tokoh-Tokoh Empirisme
1). Thomas Hubbes
Dia merupakan seorang empirisis. Seperti Locke, Berkeley dan
Hume, tetapi berbeda dengan mereka, dia mengagumi metode
matematis, dan juga dalam aplikasi-aplikasinya Secara umum.
2). John Locke dan pemikirannya
Pemikirannya di bidang filsafat tertuang dalam karya utamanya
Essay Concerning Human Understanding yang terbit pada tahun 169
DAFTAR PUSTAKA

Bambang Q-Anees, R. J. (2003). Filsafat untuk umum . Jakarta Timur: PRENADA MEDIA .

Russell, B. (2002). Sejarah Filsafat Barat . Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR .

Sativa. (2011). EMPIRISISME, SEBUAH PENDEKATAN PENELITIAN ARSITEKTURAL. 115-


116.

Toenlioe, J. S. (n.d.). Empirisme . Filsafat ilmu Empirisme , 1-4.

Anda mungkin juga menyukai