Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH FILSAFAT LOGIKA

“Konsep Pengetahuan menurut Aliran - Aliran”

Dosen Pengampu : Dr. Yonathan Ramba, S.Pd. S.Ft. Physio. Msi


Disusun Oleh :
Khairunizah - PO.71.4.241.22.1.021

POLTEKKES KEMENKES MAKASSAR


JURUSAN FISIOTERAPI
DIPLOMA IV
2024
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji
syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Logika dengan
judul “Konsep Pengetahuan menurut Aloran - Aliran”
Makalah ini telah disusun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak
sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka saya
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar saya dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata semoga makalah ilmiah tentang Konsep Pengetahuan menurut Aloran – Aliran
ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Makassar, 23 Februari 2024

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Contents
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................................2
Filsafat dalam Aliran Aliran.................................................................................................................2
A. Rasionalisme..................................................................................................................................2
B. Empirisme..........................................................................................................................................3
C. Kritisme..............................................................................................................................................4
D. Positivisme.........................................................................................................................................5
E. Fenomenolisme..................................................................................................................................6
F. Pragmatisme.......................................................................................................................................7
G. Post Modernisme...............................................................................................................................8
BAB III PENUTUP.................................................................................................................................10
A. Kesimpulan..................................................................................................................................10
B. Saran.............................................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................................11

iii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Logika adalah cabang filsafat yang mempelajari aturan-aturan berpikir yang
benar, serta cara penggunaan argumen untuk mencapai kebenaran. Pengetahuan, dalam
konteks ini, menjadi elemen kunci yang terkait erat dengan logika karena logika
membantu manusia dalam memahami, mengorganisir, dan mengembangkan pengetahuan
mereka.
Dalam sejarah filsafat logika, terdapat berbagai aliran atau pandangan yang
memberikan kontribusi dalam pemahaman konsep pengetahuan. Setiap aliran memiliki
perspektif uniknya sendiri terkait sifat, asal, dan batasan pengetahuan. Dalam makalah
ini, akan dibahas beberapa aliran utama dalam filsafat logika yang memiliki kontribusi
signifikan terhadap pemahaman konsep pengetahuan.
Dengan menjelajahi pandangan-pandangan dari berbagai aliran dalam filsafat
logika, makalah ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam
tentang bagaimana konsep pengetahuan diinterpretasikan dan diartikulasikan oleh para
pemikir dalam sejarah filsafat logika.

B. Rumusan Masalah
 Apa itu Rasionalisme?
 Apa itu Empirisme?
 Apa itu Kritisme?
 Apa itu Positivisme?
 Apa itu Fenomenolisme?
 Apa itu Pragmatisme?
 Apa itu Post Modernisme?
BAB II PEMBAHASAN

Filsafat dalam Aliran Aliran


Filsafat-diambil dari bahasa Arab, Falsafah berasal dari ba hasa Yunani,
Philosophia, kata majemuk yang terdiri dari kata Philos. Aliran-aliran Filsafat & Etika
yang artinya cinta atau suka, dan kata shopia yang artinya bijaksana. Dengan demikian,
secara etimologis kata filsafat memberikan pengertian cinta kebijaksanaan. Orangnya
disebut Philosopher atau Failasuf (Istilah Failasuf, lihat Ibn Mandzur dalam Lisan al-
Arab). Secara terminologis, filsafat mempunyai arti yang bermacam- macam, sebanyak
orang yang memberikan pengertian atau batasan.
Berikut ini dikemukakan beberapa definisi tersebut.
 Plato (427 SM 347 SM). la seorang filsuf Yunani terkenal. gurunya Aristoteles, ia
sendiri berguru kepada Socrates. In mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan
tentang sega- la yang ada, ilmu yang berminat untuk mencapai kebenaran yang asli.
 Aristoteles (381 SM 322 SM), mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang
meliputi kebenaran yang terkandung di da lamnya ilmu-ilmu; metafisika, logika,
etika, ekonomi, politik, dan estetika.
 Marcus Tullius Cicero (106 SM-43 SM), seorang politikus dan ahli pidato Romawi,
merumuskan filsafat sebagai pengetahuan tentang sesuatu yang maha agung dan
usaha-usaha untuk mencapainya. Al-Farabi (wafat 950 M), seorang filsuf Muslim
mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan
bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya,
 Immanuel Kant (1724 M-1804 M) yang sering dijuluki raksa- sa pemikir Barat,
mengatakan bahwa filsafat merupakan ilmu pokok dari segala pengetahuan yang
meliputi empat persoal- an, yaitu:
APAKAH YANG DAPAT KITA KETAHUI? pertanyaan ini dijawab oleh Metafisika.
APAKAH YANG BOLEH KITA KERJAKAN? pertanyaan ini dijawab oleh Etika.
SAMPAI DI MANAKAH PENGHARAPAN KITA? pertanyaan ini dijawab oleh Agama.
APAKAH MANUSIA ITU? pertanyaan ini dijawab oleh Antropologi.

A. Rasionalisme

Rasionalisme adalah aksioma dasar yang dipakai membangun sistem pemikiran


yang diturunkan dari idea. Pikiran manusia memiliki kemampuan untuk “mengetahui”
idea tersebut, namun manusia tidak menciptakannya dan tidak mempelajarinya lewat
pengalaman. Idea tersebut sudah ada di sana (daya nalar) sebagai kenyataan dasar dan
fikiran manusia. Kaum rasionalis berdalil, bahwa fikiran dapat memahami prinsip, maka
prinsip itu harus “ada”, artinya, prinsip harus benar dan nyata. Jika prinsip tidak “ada”
orang tidak mungkin akan dapat menggambarkannya (Suriasumantri, Ilmu Dalam
2
Perspektif , 2009). Salah satu tokoh rasionalisme modern adalah Rene Descartes (1596-
1650). Ia dijuluki sebagai bapak filsafat modern, Descartes berusaha memberi dasar
metodis yang baru dalam filsafat, dengan metode tersebut Descartes memahaminya
sebagai atauran-aturan yang dapat dipakai untuk menemukan kepastian dasar dan
kebenaran yang kokoh (fundamentum certum et inconcussum veritatis). Metode itu
disebutnya “le doute methodique” (metode kesangsian). Jadi, berfilsafat bagi Descartes
berarti melontarkan persoalan metafisis untuk menemukan sebuah fundamen yang pasti
(Hardiman, 2004). Untuk menemukan titik kepastian itu Descartes mulai dengan sebuah
kesangsian atas segala sesuatu. Dia mulai menyangsikan berbagai pandangan metafisis
yang berlaku tentang dunia materi dan dunia nonmateri itu bukanlah tipuan belaka dari
semacam iblis yang sangat licik, lalu apakah yang menjadi pegangan? Menurut
Descartes, sekurang-kurangnya “aku yang menyangsikan” alam ini bukanlah hasil tipuan,
semakin menyangsikan segala sesuatu, maka kesangsianlah yang membuktikan kepada
diri kita bahwa alam ini nyata. Menyangsikan adalah berfikir, Descartes kemudian
mengatakan Je Pense donc je suis atau cogito ergo sum (aku berfikir, maka aku ada)
(Hardiman, 2004).

Keragu-raguan atau kesangsian Descartes hanyalah sebuah metode, bukanlah


ragu-ragu skeptis atau ragu-ragu sungguhan. Keraguan untuk mencapai kepastian, hanya
rasio yang dapat membawa orang kepada kebenaran. Mengenai apa dan siapa yang
menjamin, idea itu benar adalah Tuhan itu sendiri, idea ialah pemberian Tuhan
(Poedjawijatna, 1997). Sebab tak mungkin Tuhan memberi pedoman yang salah. Maka
dari itu rasiolah alat pencari dan pengukur pengetahuan, itulah sebabnya maka aliran ini
disebut Rasionalisme (Tafsir, Mengurai Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi
Pengetahuan, 2004).

B. Empirisme
Kata empirisme secara etimologis dari bahasa Inggris empiricism dan experience,
kata ini berakar dari bahasa Yunani empeiria dan experietia yang artinya “berpengalaman
dalam”. Kemudian secara terminologis pengertian empirisme ialah dokrin atau paham
yang meyakini bahwa sumber seluruh pengetahuan harus berdasarkan pengalaman
indera, ide hanya abstraksi yang dibentuk terhadap apa yang dialami, dan pengalaman
inderawi ialah satu-satunya sumber pengetahuan (Bagus, 2002). Dalam teori empiris
terdapat dua aspek pokok yaitu, pertama ialah yang mengetahui (subjek) dan yang
diketahui (objek) di antara keduanya terdapat alam nyata seperti fakta yang dapat
diungkap. Kedua, pengujian kebenaran dari fakta didasarkan kepada pengalaman
manusia, maka pernyataan ada atau tidak sesuatu haruslah memenuhi persyaratan
pengujian pengematan publik (Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif , 2009). Selanjutnya
dari pemaparan ini kita dapat memahami bahwa ada enam ajaran empirisme yaitu:
pertema, semua ide ialah abstraksi yang dibentuk oleh pengalaman, kedua pengelaman
inderawi ialah satu-satunya sumber pengetahuan, ketiga semua yang diketahui
bergantung pada data inderawi, keempat semua pengetahuan turun dan disimpulkan data
inderawi kecuali kebenaran defisional metematika dan logika, kelima akal tidak dapat
3
memberikan pengetahuan tanpa bantuan indera, dan keenam empirisme sebagai filsafat
pengalaman (Puspitasari, 2012). Pada zaman sekarang empirisme menjadi sikap dasar
segala bentuk penelitian ilmiah. Pengetahuan harus didasarkan pada observasi empiris,
dengan maksud untuk mengembalikan pengetahuan pada pengalaman dan berusaha
membebaskan diri dari berbagai bentuk spekulasi spiritual dan cara berfikir tradisional.
Dengan cara itu juga kaum empiris berusaha memisahkan filsafat dari teologi (Hardiman,
2004). Mereka berdalil bahwa tidak beralasan untuk mencari pengetahuan mutlak dan
mencakup semua sisi, kaum empiris cukup puas dengan mengembangkan sebuah sistem
pengetahuan yang mempunyai peluang yang besar untuk benar, meskipun pengetahuan
mutlak tidak pernah dapat dijamin. Aliran empirisme berkembang pesat pada masa
renaisance yaiu sekitar abad ke-17 dan 18 di negara Inggris dan sekiatrnya. Aliran ini
dirintis oleh tokoh filsuf Inggris yaitu Francis Bacon De Verulam (1561- 1626) dan
dilanjutkan oleh filsuf-filsuf lainya seperti John Locke, George Barkeley, Thomas Hobes
dan David Hume (Sativa, 2011). Salah satu gagasan dari mereka yaitu David Hume
(1711-1776) mengatakan pemikiran empirisnya tersimpul dalam satu ungkapan yang
singkat yaitu “I never catch my self at anytime without a perception” artinya (saya selalu
memiliki persepsi pada setiap yang saya alami), dari ungkapan ini David Hume
menyampaikan bahwa seluruh pengalaman dan pemikiran tersusun dari rangkaian kesan
(impression) (Machmud, 2011). Pada dasarnya aliran ini muncul karena ada anggapan
bahwa kaum rasionalis tidak cukup mampu menstrukturkan kerangka pengetahuan
berasal dari akal saja dan mereka berpendapat akal itu bersifat polos dan ia akan terisi
apabila diisi dengan bantuan indera sebagai alat untuk mendapatkan pengalaman (Juhari,
2013). Namun aliran ini tetap memiliki kelemahan seperti pada pengalaman inderawi
yang sifatnya terbatas dan objek bisa saja menipu seperti ilusi (Wilardjo, 2009). Pada
dasarnya fungsi dari kedua aliran tersebut tidak lepas hanya sebagai alat untuk
mempertanggungjawabkan suatu ilmu dan pengetahuan yang diajukan oleh seorang
ilmuan kepada khalayak umum baik berupa teori baru, hasil rekonstruksi, gagasan-
gagasan, dan ide sebagai hasil pikiran (Mudzakir, 2016). Dengan demikian ilmu dan
pengetahuan bisa dicapai secara benar menurut akal dan dapat dibuktikan dengan
pengamatan.

C. Kritisme
Aliran ini bermula ketika Immanuel Kant berusaha untuk mendamaikan konflik
berkepanjangan rasionalisme dan kelompok empirisme, yang dimana dikemudian hari
pemikiran Kant menjadi cikal bakal pijakan awal dari para pemikir setelahnya. Metode
penelitian yang penulis lakukan ialah kualitatif dengan pendekatan library research.
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah teknik dokumentasi, yaitu dengan
cara mengumpulkan data-data berkas penting yang menunjang penelitian baik sumber
primer seperti buku Tokoh Filsuf dan Era Keemasan Filsafat karya Nurnaningsih Nawawi
maupun sumber skunder lainnya yang menunjang terkait topik bahasan. Hasil penelitian
ini bahwa kritisisme Immanuel Kant, filsafat kritisisme merupakan penggabungan antara
rasionalisme dan empirisme. Aliran kritisisme ini dikenal pula sebagai kritisisme Kant,
karena Kant sebagai penggagas pertama kali yang mengkritik dan menganalisis kedua
macam sumber pengetahuan itu dan menggabungkan keduanya. Kemudian, Immanuel

4
Kant, Kilasan Hidup dan Karya-karya utamanya, Immanuel Kant lahir di Konigsberg,
Prussia Timur (sekarang Jerman), pada tanggal 22 April 1724. Lahir sebagai anak
keempat dari enam bersaudara Ayahnya, berdarah Skotlandia. Ibunya, berdarah Jerman.
Orang tua Kant adalah seorang pembuat pelana kuda dan penganut setia gerakan
Pietisme. Selama 80 (1804 w) tahun hidup, Kant banyak melahirkan karya-karya di
antaranya yaitu: (1) 1781 karangannya tentang kritik atas rasio murni. (2) 1788
karangannya tentang kritik atas rasio praktik. (3) 1790 karangannya tentang kritik atas
rasio daya pertimbangan/putusan, dan Epistemologi kritisisme Immanuel Kant, pemikiran
Immanuel Kant dalam bidang epistemologi sepenuhnya tercurah dalam karyanya yang
berjudul Critique of Pure Reason. Pemikiran Kant tersebut menginspirasi banyak filsuf
setelahnya untuk menyajikan gagasan tentang pengetahuan manusia.

D. Positivisme
Positivisme adalah sebuah aliran filsafat yang dicetuskan oleh dua pemikir dari
Perancis Henry Saint Simon dan salah satu muridnya Auguste Comte. Namun demikian
pemikiran soal positivisme ini sebenarnya sudah dikembangkan sejak lama oleh seorang
filsuf Inggris Francis Bacon. Munculnya aliran positivisme tidak lain adalah bentuk
penyeimbang antara aliran empirisme dan aliran rasionalisme. Aliran positivisme
memandang kebenaran dapat didapatkan manusia melalui bukti yang logis, empiris dan
terukur. Positivisme menekankan aspek faktual pengetahuan khususnya pengetahuan
ilmiah. Auguste Comte (1798-1857) adalah seorang filsuf asal Prancis yang sering kali
disebut sebagai peletak dasar ilmu sosiologi. Ia juga turut memperkenalkan istilah
“Sociology”. Istilah itu pertama kali diperkenalkan pada tahun 1838 dalam bukunya yang
berjudul Cours De Philosophie Positive. Dalam karyanya tersebut, Comte menjelaskan
bahwa kata “sosiologi” berasal dari bahasa Latin yaitu “socius” yang berarti "kawan atau
teman", dan “logos” yakni "ilmu pengetahuan". Dengan demikian, sosiologi merupakan
satu cabang ilmu yang mempelajari masyarakat, termasuk perilaku masyarakat, dan
perilaku sosial manusia dengan jalan mengamati perilaku kelompok yang dibangunnya.
Kelompok tersebut mencakup keluarga, suku bangsa, negara, dan berbagai organisasi
politik, ekonomi, sosial. Melalui buku itu pula, Comte mengenalkan tahap perkembangan
intelektual, yang masing-masing merupakan perkembangan dari tahap sebelumya. Tiga
tahapan itu meliputi:
a) Tahap Teologis, yakni tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda di dunia
mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas manusia;
b) Tahap Metafisis, yang pada tahap ini manusia menganggap bahwa di dalam setiap
gejala terdapat kekuatan-kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat
diungkapkan; serta
c) Tahap Positif, yaitu tahap di mana manusia mulai berpikir secara ilmiah.
Tiga tahap perkembangan intelektual yang terakhir, atau Tahap Positif, pada
akhirnya membawa manusia mengenal pemikirannya yang mahsyur: Positivisme.
Mengenal Positivisme Dalam ilmu pengetahuan, positivisme merupakan bentuk
pemikiran yang menekankan pada aspek faktual pengetahuan, khususnya pengetahuan
5
ilmiah. Umumnya positivisme menjabarkan pernyataan faktual pada suatu landasan
pencerapan (sensasi). Dengan kata lain, positivisme merupakan aliran pemikiran yang
menyatakan bahwa ilmu-ilmu alam (empiris) sebagai satu-satunya sumber pengetahuan
yang benar dan menolak nilai kognitif dari studi filosofis atau metafisik. Menurut
Anthony Flew dalam A Dictionary of Philosophy (1984), jika dilihat dari asal
perkembangannya, positivisme merupakan paham falsafah dalam alur tradisi Galilean
yang muncul dan berkembang pada abad XVIII. Comte sendiri telah mencoba
menggunakan paradigma Galilean untuk menjelaskan kehidupan manusia dalam
masyarakat. Menurut Comte, konsep dan metode ilmu alam dapat dipakai untuk
menjelaskan kehidupan kolektif manusia. Selanjutnya dikatakan bahwa kehidupan
manusia juga terjadi di bawah imperative hukum sebab-akibat dengan segala kondisi dan
faktor probabilitasnya. Sebagaimana kejadian di alam semesta yang tunduk pada hukum
yang bersifat universal, Comte menyatakan bahwa kehidupan manusia selalu dapat
dijelaskan sebagai proses aktualisasi hukum sebab-akibat. Setiap kejadian atau perbuatan
dalam kehidupan manusia yang kasuistik sekalipun selalu dapat dijelaskan dari sisi
sebab-akibat yang rasional dan alami dan karena itu bersifat ilmiah (scientific).
Menurutnya, setiap perbuatan tidak dapat dimaknakan dari substansi yang berupa niat
dan tujuannya sendiri yang moral-altruistik dan yang metafisikal. Sebab, yang demikian
itu merupakan sesuatu yang dapat dianggap tidak ilmiah (unscientific).

E. Fenomenolisme
Sejarah perkembangan fenomenologis dalam dunia filsafat sudah dikenal oleh
filsup-filsup sejak dahulu kala. Secara etimologis, fenomenologi berasal dari kata Yunani,
phainomenon yang merujuk pada arti “yang menampak”. Fenomena adalah fakta yang
disadari dan masuk ke dalam pemahaman manusia. Sehingga, suatu objek ada dalam
relasi kesadaran. Dewasa ini, fenomenologi dikenal sebagai aliran filsafat sekaligus
metode berpikir yang mempelajari fenomena manusiawi (human phenomena) tanpa
mempertanyakan penyebab dari fenomena tersebut serta realitas objektif dan
penampakannya.
Fenomenologi sebagai salah satu cabang filsafat pertama kali dikembangkan di
universitas-universitas Jerman sebelum Perang Dunia I, khususnya oleh Edmund Husserl,
yang kemudian dilanjutkan oleh Martin Heidegger dan yang lainnya, seperti Jean Paul
Sartre. Selanjutnya Sartre memasukkan ide-ide dasar fenomenologi dalam pandangan
eksistensialisme. Adapun yang menjadi fokus eksistensialisme adalah eksplorasi
kehidupan dunia mahluk sadar atau jalan kehidupan subjek-subjek sadar (Engkus
Kuswarno, 2009:3). Fenomenologin tidak dikenal setidaknya sampai menjelang abad ke-
20. Abad ke-18 menjadi awal digunakannya istilah fenomenologi sebagai nama teori
tentang penampakan yang menjadi dasar pengetahuan empiris atau penampakan yang
diterima secara inderawi. Istilah tersebut diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert.
Sesudah itu, filosof Immanuel Kant mulai sesekali menggunakan istilah fenomenologi
dalam tulisannya. Pada tahun 1889, Franz Brentano menggunakan fenomenologi untuk
psikologi deskriptif, dimana menjadi awalnya Edmund Husserl mengambil istilah
fenomenologi untuk pemikirannya mengenai “kesengajaan”.

6
Sebelum abad ke-18, pemikiran filsafat terbagi menjadi dua aliran yang saling
bertentangan. Adalah aliran empiris yang percaya bahwa pengetahuan muncul dari
penginderaan. Dengan demikian kita mengalami dunia dan melihat apa yang sedang
terjadi. Bagi penganut empiris, sumber pengetahuan yang memadai itu adalah
pengalaman. Akal yang dimiliki manusia bertugas untuk mengatur dan mengolah bahan-
bahan yang diterima oleh panca indera. Sedangkan di sisi lain terdapat aliran
rasionalisme yang percaya bahwa pengetahuan timbul dari kekuatan pikiran manusia
atau rasio. Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi syarat
untuk diakui sebagai pengetahuan ilmiah. Aliran ini juga mempercayai pengalaman
hanya dapat dipakai untuk mengukuhkan kebenaran yang telah diperoleh oleh rasio. Akal
tidak memerlukan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan yang benar sebab akal
dapat menurunkan kebenaran tersebut dari dirinya sendiri. Dari dua pemikiran yang
berbeda tersebut, Immanuel Kant muncul untuk menjembatani keduanya. Menurutnya,
pengetahuan adalah apa yang tampak kepada kita atau fenomena. Sedangkan fenomena
sendiri didefenisikan sebagai sesuatu yang tampak dengan sendirinya dan merupakan
hasil sintesis antara penginderaan dan bentuk konsep dari objek. Sejak pemikiran tersebut
menyebar luas, fenomena menjadi titik awal pembahasan para filsafat pada abad ke-18
dan 19 terutama tentang bagaimana sebuah pengetahuan dibangun.
Fenomenologi bagi Husserl adalah gabungan antara psikologi dan logika.
Fenomenologi membangun penjelasan dan analisis psikologi tentang tipe-tipe aktivitas
mental subjektif, pengalaman, dan tindakan sadar. Namun, pemikiran Husserl tersebut
masih membutuhkan penjelasan yang lebih lanjut khususnya mengenai “model
kesengajaan”. Pada awalnya, Husserl mencoba untuk mengembangkan filsafat radikal
atau aliran filsafat yang menggali akar-akar pengetahuan dan pengalaman. Hal ini
didorong oleh ketidakpercayaan terhadap aliran positivistik yang dinilai gagal
memanfaatkan peluang membuat hidup lebih bermakna karena tidak mampu
mempertimbangkan masalah nilai dan makna. Fenomenologi berangkat dari pola pikir
subjektivisme yang tidak hanya memandang dari suatu objek yang tampak namun
berusaha menggali makna di balik setiap gejala tersebut. Pada tahun-tahun berikutnya,
pembahasan fenomenologi berkembang tidak hanya pada tataran “kesengajaan”, namun
juga meluas kepada kesadaran sementara, intersubjektivitas, kesengajaan praktis, dan
konteks sosial dari tindakan manusia. Tulisan-tulisan Husserl memainkan peran yang
amat besar dalam hal ini.
Saat ini fenomenologi dikenal sebagai suatu disiplin ilmu yang kompleks, karena
memiliki metode dan dasar filsafat yang komrehensif dan mandiri. Fenomenologi juga
dikenal sebagai pelopor pemisah antara ilmu sosial dari ilmu alam, yang mempelajari
struktur tipe-tipe kesadaran yang dinamakan dengan “kesengajaan” oleh Husserl.
Struktur kesadaran dalam pengelaman pada akhirnya membuat makna dan menentukan
isi dari penampakkannya.
F. Pragmatisme
Pragmatisme adalah suatu aliran filsafat yang menekankan pentingnya
pengalaman dan praktik dalam menentukan kebenaran atau nilai dari suatu ide atau
7
tindakan. Pragmatisme menganggap bahwa kebenaran atau nilai suatu ide atau tindakan
dapat dinilai berdasarkan hasil yang diperoleh dari praktik atau pengalaman, bukan dari
kriteria abstrak atau teoretis. Dalam konteks praktis, pragmatisme seringkali
diasosiasikan dengan pendekatan yang lebih fokus pada hasil atau tujuan daripada prinsip
atau doktrin yang mendasarinya. Pragmatisme dapat menjadi pendekatan yang efektif
dalam mengatasi masalah praktis, karena menempatkan kepentingan dan tujuan akhir di
depan teori atau dogma yang mungkin membatasi solusi yang mungkin diterapkan.

Pada abad XVII muncul dua aliran filsafat yang memberikan jawaban yang
berbeda, bahkan saling bertentangan. Aliran filsafat tersebut adalah rasionalisme dan
empirismen. Empirisme sendiri pada abad berikutnya berkembang lebih jauh menjadi
beberapa aliran yang berbeda, yaitu Positivisme, Materialisme, dan Pragmatisme.
Pragmatisme berpandangan bahwa substansi kebenaran adalah jika segala sesuatu
memiliki fungsi dan manfaat bagi kehidupan. Misalnya, beragama sebagai kebanaran,
jika agama memberikan kebahagiaan; menjadi dosen adalah kebenaran jika mendapatkan
kenikmatan intelektual, mendatangkan gaji atau apapun yang bernilai kuantitatif dan
kualitatif. Kata pragmatis sendiri sering sekali diucapkan orang dan yang menyebutkan
kata tersebut biasanya dalam pengertian praktis. Dalam konsep filsafat sendiri banyak
tokoh yang memberikan pendapat mereka masing-masing secara berbeda tentang
pragmatisme sehingga memunculkan kerancuan bagi pendukungnya masing-masing.

Pragmatisme adalah sebuah aliran filsafat yang lahir di Amerika Serikat pada
akhir abad ke-19. Meskipun memiliki akar intelektual yang panjang, Pragmatisme secara
resmi diakui sebagai gerakan filsafat pada tahun 1870-an ketika Charles Sanders Peirce,
William James, dan John Dewey mulai memperkenalkan gagasan-gagasan mereka yang
serupa. Charles Sanders Peirce dianggap sebagai pendiri Pragmatisme. Ia
mengembangkan gagasan-gagasannya tentang bagaimana kita mencapai pengetahuan dan
membangun teori melalui metode yang berfokus pada pengujian hipotesis dan
eksperimen. William James kemudian memperluas ide Peirce dengan menekankan bahwa
pengalaman individu adalah inti dari pengetahuan dan kebenaran. James juga
menyatakan bahwa kebenaran itu fleksibel dan terus berubah sesuai dengan konteks dan
situasi yang berbeda-beda. John Dewey kemudian memperluas lagi gagasan Pragmatisme
dengan menekankan pentingnya pengalaman praktis dalam mencapai pengetahuan dan
menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Pragmatisme menjadi sangat
8
populer di Amerika Serikat pada awal abad ke-20, terutama dalam bidang pendidikan dan
psikologi. Pandangan Pragmatis tentang pendidikan menekankan pada pembelajaran
melalui pengalaman langsung, praktik dan eksperimen, dan menyesuaikan pengajaran
dengan kebutuhan individu dan konteks sosial. Pragmatisme juga mempengaruhi
pengembangan psikologi fungsional dan psikologi sosial.

G. Post Modernisme
Postmodernisme merupakan cabang dari aliran ilmu filsafat yang mana berisi
tentang pemikiran baru yang mengabaikan pemahaman-pemahaman dari aliran filsafat
sebelumnya yang masih berupa imajiner dan realistis sekaligus berisikan tentang
permasalahan dari Modernisme sebelum paham postmodernisme ini lahir yang mana
telah mengalami kegagalan dalam mengembangkan kemajuan pengetahuan dan sosial
manusia. Postmodernisme memiliki kandungan yang lebih daripada pengetahuan dan ide-
ide yang bersifat maju atau modern tetapi paham tersebut muncul dari postmodernisme
itu sendiri. Paham ini telah memengaruhi banyak bidang pendidikan kontemporer,
terutama filsafat, pendidikan, studi wanita, dan sastra. Sangat meresap sehingga istilah
postmodern adalah umum dalam bahasa biasa.
Postmodernisme berpendapat bahwa periode sejarah modern telah berakhir dan
bahwa kita sekarang hidup di era postmodern. Memulai sebuah filosofi yang disebut
fenomenologi, Heidegger memerhatikan kebenaran subjektif dari diri manusia sendiri
tentang kenyataan atau realitas dari intuisi mereka, persepsi, dan refleksi ketika mereka
berinteraksi dengan fenomena. Postmodernisme memiliki beberapa hasil studi dalam
pembangunan psikologi dan metode pendidikan. Postmodernis dan para filsuf menyetujui
perihal ide membuat atau membentuk keyakinan kita tentang pengetahuan dari
pengalaman kita. Oleh karena itu peserta didik membuat pandangan mereka tentang
pengetahuan dengan berinteraksi dengan lingkungan mereka. Pengetahuan merupakan
sebuah konstruksi manusia, tidak pernah lengkap tetapi bersifat sementara, bersifat
dugaan, dan dapat direvisi terus-menerus karena pembelajar memperoleh lebih banyak
pengalaman. Pembelajaran kolaboratif, berbagi pengalaman dan ide melalui bahasa,
menjadikan pengetahuan sebagai konstruksi pribadi dan sosial. Pada era postmodernisme
ada beberapa ahli yang megubah pandangan dan pemikiran filsafat pada zaman dahulu.
Diantaranya ada banyak tokoh yang berpendapat mengenai konteks ini. Yaitu: Pertama
Jean Francois Lyotard, dia mengungkapkan bahwa ilmu pengetahuan postmodernisme
bukan lagi perkembangan paham yang baru, fase ini telah ada seperti abad pertengahan
yang memunculkan istilah religi, nasional kebangsaan, dan kepercayaan terhadap
keunggulan negara Eropa. Maka postmodernisme menganggap bahwa ilmu tidak dapat
diterima tentang kebenerannya sebelum diselidiki dan adanya suatu bukti. Bagi Lyotard
dengan adanya ilmu pengetahuan postmodernisme memberikan keluasan dalam kepekaan
kita dari pandangan yang berbeda dan menjalin kemampun dalam bertoleransi atas
prinsip yang tak ingin dianalogikan. Kedua Micheal Foucalt yang merupakan sosok
kritikus. Ia memberikan tanggapan mengenai postmodernisme bahwa ia menolak
keuniversalan dari sebuah pengetahuan. Menurutnya semua pengetahuan yang ada
9
selama ini tidak bersifat universal atau menyeluruh melainkan sebagaian dalam jangka
wilayah atau tempat saja, kemudian diambil dengan persepektif bukan sebagai karakter
objektif dan yang terakhir selalu terikat dengan rezim-rezim penguasa. Ketiga, Jacques
Derrida merupakan sosok yang terkenal dengan pencipta pemikiran dekonstruksi.
Pemikiran itu mulai hadir keetika ia mengadakan pembacaan narasi metafisika Barat dan
melalui tulisan-tulisan, pemikiran dekontruksi muncul oleh Jacques Derrida.
Keberhasilannya yang telah mengungkap kontradiksi narasi besar modernitas melalui
dekontruksi, Derrida menjadi aliran salah satu pemikir utama teori sosial postmodern.

10
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
Konsep pengetahuan dalam berbagai aliran filsafat mencerminkan
keragaman pandangan dan pendekatan terhadap sumber, sifat, dan batasan
pengetahuan. Melalui telaah terhadap aliran-aliran seperti rasionalisme,
empirisme, pragmatisme, analitik, kontinental, serta kontribusi dari tradisi filsafat
di luar Barat, kita memahami bahwa pengetahuan bukanlah entitas yang statis dan
tunggal. Sebaliknya, ia adalah konstruk yang terbentuk melalui interaksi
kompleks antara akal budi, pengalaman, dan konteks kultural.
Rasionalisme menekankan peran akal budi sebagai sumber pengetahuan,
sementara empirisme meletakkan dasar pada pengalaman indrawi. Pragmatisme
menambah dimensi praktis dan konsekuensial pada pemahaman pengetahuan,
sementara perpecahan antara aliran analitik dan kontinental membawa berbagai
perspektif dalam interpretasi terhadap konsep ini. Dengan globalisasi filsafat,
tradisi-tradisi filosofis di berbagai belahan dunia memberikan kontribusi penting,
menggambarkan bahwa pemahaman pengetahuan tidak terbatas pada kerangka
Barat. Keseluruhan, makalah ini mengajak kita untuk menghargai kompleksitas
konsep pengetahuan melalui lensa berbagai aliran filsafat, memperkaya wawasan
kita terhadap sifat dan makna dari apa yang kita sebut sebagai pengetahuan.
Dengan demikian, melalui pemahaman yang mendalam terhadap aliran-aliran ini,
kita dapat memperluas pandangan kita terhadap dinamika kompleks yang
melibatkan proses perolehan, struktur, dan aplikasi pengetahuan dalam konteks
filsafat logika.
B. Saran
Untuk pengembangan lebih lanjut, makalah ini dapat memperluas analisis
dengan fokus mendalam pada masing-masing aliran filosofis, memberikan ruang
bagi eksplorasi yang lebih rinci tentang pandangan mereka terhadap konsep
pengetahuan. Melibatkan perspektif feminis dan postkolonial dapat memberikan
dimensi baru pada pemahaman konsep pengetahuan. Pertimbangkan untuk
menyertakan kritik dan tantangan terhadap setiap aliran untuk memperkaya
makalah dengan mengeksplorasi potensi kelemahan atau ketidaksesuaian dalam
teori-teori tertentu. Menyoroti peran konteks historis dalam perkembangan setiap
aliran dapat memberikan wawasan tentang motif dan latar belakang filosofis di
balik pandangan mereka terhadap pengetahuan. Merinci bagaimana konsep
pengetahuan dalam masing-masing aliran dapat memiliki dampak dalam
kehidupan sehari-hari atau dalam disiplin ilmu tertentu akan memberikan dimensi
praktis pada makalah. Terakhir, mempertimbangkan perkembangan terkini dalam
11
filsafat dapat menyajikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang
kompleksitas konsep pengetahuan dalam konteks aliran-aliran filosofis. Dengan
mengintegrasikan saran-saran ini, diharapkan makalah dapat memberikan
kontribusi yang lebih substansial pada pemahaman filsafat logika dan konsep
pengetahuan.

DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Juhaya S. Praja/Aliran-aliran filsafat & etika edisi pertama/Kencana.2003.0033/hal 89-170
https://books.google.co.id/books?
hl=id&lr=&id=_rTyDwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA35&dq=sejarah+filsafat+logika+dalam+aliran+alira
n&ots=mr9iwAFE58&sig=2vwQvKamZ9OTG_hqBQTzAIt0yjI&redir_esc=y#v=onepage&q=sejarah
%20filsafat%20logika%20dalam%20aliran%20aliran&f=false
http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=2940762&val=26016&title=Aliran
%20Rasionalisme%20dan%20Empirisme%20dalam%20Kerangka%20Ilmu%20Pengetahuan
https://journal.unimar-amni.ac.id/index.php/sidu/article/view/1799
https://tirto.id/apa-itu-positivisme-sebuah-teori-sosiologi-auguste-comte-giiV#google_vignette
"Apa Itu Positivisme, Sebuah Teori Sosiologi Auguste Comte", https://tirto.id/giiV
https://ilmusaku.com/pragmatisme-adalah-sejarah-5-prinsip/
Pragmatisme: Sebuah Tinjauan Sejarah Intelektual
Amerika/https://dupakdosen.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/1689/sejarah-mohammad.pdf?
sequence=2
ALIRAN FILSAFAT POSTMODERNISME/Hanrice Agustian Damar/Pendidikan Sosiologi, Fakultas Ilmu
Sosial Dan Hukum, Universitas Negeri
Manado-https://scholar.archive.org/work/7ssecvudtjdmrnj33mkqwdsype/access/wayback/https://
files.osf.io/v1/resources/mt7gh/providers/osfstorage/63770d1a25ffd507b24c8236?
action=download&direct&version=1

12

Anda mungkin juga menyukai