Anda di halaman 1dari 23

Tugas Terstruktur Dosen Pengampu

Filsafat Ilmu Dr. Fahmi Riady, S. Thi, M. Si

ASUMSI DASAR KEILMUAN MANUSIA (RASIONALISME DAN


EMPIRISME)

Disusun Oleh:

M. WISNU MAULANA D.S.P.S (230211020063)

PASCASARJANA UIN ANTASARI BANJARMASIN


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BANJARMASIN
2023 M/1444 H
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kita haturkan kepada Allah SWT sebab karena limpahan
rahmat serta anugerah dari-Nya kami mampu untuk menyelesaikan makalah saya
dengan judul “Asumsi Dasar Keilmuan Manusia (Rasionalisme dan
Empirisme)”.

Shalawat serta salam tidak lupa selalu saya haturkan untuk junjungan nabi
besar kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjukan
Allah SWT untuk kita semua, yang merupakan sebuah pentunjuk yang paling benar
yakni Syariat agama Islam yang sempurna dan merupakan satu-satunya karunia
paling besar bagi seluruh alam semesta.

Saya ucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada setiap pihak


yang telah membantu saya selama proses penyelesaian makalah ini hingga
rampungnya makalah ini. Demikianlah yang dapat kami haturkan, kami berharap
supaya makalah yang telah kami buat ini mampu memberikan manfaat kepada
setiap pembacanya.

Banjarmasin, 4 Oktober 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................... i

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2

C. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 3

D. Manfaat Penulisan ........................................................................................ 3

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 4

A. Rasionalisme ................................................................................................ 4

B. Empirisme .................................................................................................... 7

C. Rasionalisme dan Empirisme dalam Asumsi Dasar Keilmuan Manusia ... 13

BAB III PENUTUP .............................................................................................. 17

A. Kesimpulan ................................................................................................ 17

B. Saran ........................................................................................................... 18

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat, sebagaimana dipraktikkan di dunia modern, dapat dilihat sebagai
cabang ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan berupaya memahami segala
sesuatu yang dapat dirasakan atau dialami seseorang. Kondisi ini mempunyai
kecenderungan menyebabkan manusia selalu berpikir untuk mencari nilai
kebenaran. Namun karena terdapat perbedaan cara pandang dalam menafsirkan
kebenaran tersebut, maka tidak terjadi kesepakatan mengenai hakikat dan definisi
filsafat. Perkembangan dan perubahan dari masa ke masa mempunyai pola dan
karakteristik yang berbeda-beda.
Orang-orang Yunani kuno dan umat manusia lainnya berhasil melakukan
transisi dari pandangan dunia teosentris ke logosentris sebagai hasil dari upaya
filsafat. Pada awalnya, orang-orang di seluruh dunia, termasuk orang-orang Yunani,
percaya bahwa para dewa bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi di
alam. Oleh karena itu, perlu untuk menunjukkan rasa hormat dan takut kepada para
dewa pada saat yang bersamaan. Hal ini harus diikuti dengan pemujaan kepada
dewa-dewa melalui filsafat. Dengan cara ini, pola pikir yang selalu bergantung pada
Tuhan diubah menjadi pola pikir yang bertumpu pada akal. Kejadian alam, seperti
gerhana, tidak lagi dianggap sebagai hasil kerja dewan tidur. Sebaliknya, fenomena
tersebut kini dipahami sebagai akibat posisi matahari, bulan, dan bumi sejajar,
sehingga menyebabkan bayangan bulan jatuh pada sebagian permukaan bumi.
Ilmu-ilmu empiris ini mengumpulkan bukti atas segala sesuatu yang
dinyatakan benar atau suatu hasil berdasarkan sesuatu yang dapat diamati dalam
berbagai cara berbeda. Sebelum melanjutkan dengan penyaringan, penyelidikan,
pengumpulan, pemantauan, verifikasi, identifikasi, dan pencatatan bahan-bahan
tersebut, harus ditentukan klasifikasi ilmiahnya (Achmadi, 2007).1
Orang-orang di perguruan tinggi telah terlibat dalam banyak percakapan
mengenai empirisme. Menurut penulis, penelitian saja tidak cukup dan juga harus

1
Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja grafido Persada, 2007), hal.115

1
didasarkan pada rasionalisme logis agar valid. Banyak orang yang berpendapat
bahwa penelitian harus didasarkan pada bukti empiris. Tuhan memberi manusia
kemampuan berpikir rasional, yang membedakannya dari makhluk hidup lainnya.
Akal perlu digunakan dalam penelitian agar dapat memberikan gambaran yang
kokoh kepada pembaca sehingga meyakinkan mereka untuk menerima temuan
penyelidikan ilmiah dari peneliti, yang akan dijadikan pengetahuan.
Rene Descartes yang mendirikan aliran rasionalisme ini berpendapat bahwa
sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah akal. Hanya pengetahuan yang
diperoleh lewat akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh semua ilmu
pengetahuan ilmiah. Dengan akal, dapat diperoleh kebenaran dengan metode
deduktif,seperti yang dicontohkan dalam ilmu pasti. Ada Anggapan bahwa kaum
rasionalis adalah sebagai filosof yang mengawang-awang tidak seluruhnya salah,
karena pendekatan mereka kepada filsafat menyarankan bahwa seluruh kebenaran
penting tentang realitas bisa ditemukan hanya dengan berpikir, tanpa kebutuhan
untuk berangkat dan menguji dunia. Sedangkan empirisme adalah merupakan
paham yang mencoba memaparkan dan menjelaskan bahwa, sumber pengetahuan
manusia itu adalah pengalaman. Paham ini dikemukakan oleh beberapa pakar
filsafat diantaranya John Locke, David Home dan George Berkeley (Achmadi,
2007).2 Mereka adalah pakar filsafat yang berasal dari Inggris. Rasionalisme dan
empirisme bisa memunculkan sedikit bintik pada pemikiran modern, yang
digunakan untuk ide bahwa pengetahuan yang menekankan diri pada percobaan dan
pengamatan,adalah penting untuk mengetahui selanjutnya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam
makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana yang dimaksud dengan Rasionalisme?


2. Bagaimana yang dimaksud dengan Empirisme?

2
Ibid. Hal. 152.

2
3. Bagaimana yang dimaksud dengan Rasionalisme dan Empirisme Asumsi
Dasar Keilmuan Manusia?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan uraian dari rumusan masalah, maka yang menjadi tujuan
penulisan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis Rasionalisme
2. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis Empirisme
3. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis Rasionalisme dan
Empirisme Asumsi Dasar Keilmuan Manusia

D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat untuk Pemerintah
Bisa dijadikan acuan dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
2. Bagi Dosen Pengajar
Bisa dijadikan sebagai acuan dalam mengajar agar para peserta didiknya
dapat berprestasi.
3. Bagi Mahasiswa Magister S2
Bisa dijadikan sebagai bahan belajar untuk meningkatkan pengetahuan.

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Rasionalisme
1. Pengertian Rasionalisme
Secara etimologis, rasionalisme berasal dari kata bahasa inggris
rationalism,kata ini berakar dari kata dalam bahasa Latin, yaitu ratio yang berarti
Akal. Secara Terminologis, rasionalisme adalah paham filsafat yang menyatakan
bahwa akal merupakan alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan. suatu
pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Menurut Descartes, rasio atau akal
merupakan sumber kebenaran. Hanya rasio sajalah yang dapat membawa orang
pada yang benar hanyalah tindakan akal yang terang benderang yang disebut Ideas
Claires el Distinctes (pikiran yang terang benderang dan terpilah-pilah). Ide terang
benderang ini pemberian Tuhan Sebelum orang dilahirkan (Idea innatae = ide
bawaan). Sebagai pemberian Tuhan,maka tak mungkin tak benar.
Disebut aliran rasionalisme, karena aliran ini menganggap sumber
kebenaran hanyalah rasio. Adapun pengetahuan indra dianggap sering
menyesatkan. Dalam bidang agama, aliran rasionalisme adalah lawan dari otoritas,
dan biasanya digunakan untuk mengkritik ajaran agama. Dalam bidang filsafat,
rasionalisme adalah lawan kata dari empirisme dan sering berguna dalam menyusun
teori pengetahuan (Saebani, 2016).3
2. Sejarah Rasionalisme
Sejarah rasionalisme sudah tua sekali. Thales telah menerapkan
rasionalisme dalam filsafatnya. Ini dilanjutkan dengan jelas sekali pada orang-
orang sofis dan tokoh-tokoh penentangnya (Socrates, Plato, Aristoteles), dan juga
beberapa tokoh sesudah itu. Pada zaman modern filsafat, tokoh pertama
rasionalisme ialah Descartes. Tokoh besar rasionalisme lainnya yaitu Baruch
Spinoza dan Leibniz.
Zaman modern dalam sejarah filsafat biasanya dimulai oleh filsafat
Descartes. Kata modern disini hanya digunakan untuk menunjukkan suatu filsafat

3
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum: Dari Metologi Sampe
Teofilosofi, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2016), hal. 247

4
yang mempunyai corak yang amat berbeda, bahkan berlawanan dengan corak
filsafat pada Abad Pertengahan Kristen. Corak utama filsafat modern yang
dimaksud disini adalah dianutnya kembali rasionalisme seperti pada masa Yunani
Kuno. Gagasan itu, disertai oleh argumen yang kuat, diajukan oleh Descartes. Oleh
karena itu, gerakan pemikiran Descartes sering juga disebut bercorak renaisans
(Lubis, Akhyar Yusuf, Adian, 2011).4
Rasionalisme adalah paham filsafat yang menyatakan bahwa akal (reason)
adalah alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan dan menetes pengetahuan.
Jika empirisme mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan alam mengalami
objek empiris, maka rasionalisme mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh
dengan dengan cara berpikir. Alat Dalam berpikir itu adalah kaidah-kaidah logis
atau aturan- aturan logika. Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indera dalam
memperoleh pengetahuan. Pengalaman indera diperlukan untuk merangsang akal
dan memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja. Akan tetapi,
untuk sampainya manusia kepada kebenaran, adalah semata-mata dengan akal.
Laporan indera menurut rasionalisme merupakan bahan yang belum jelas dan
kacau. Bahan ini kemudiandipertimbangkan oleh akal dalam pengalaman berpikir.
Akal mengatur bahan itu sehingga dapat terbentuk pengetahuan yang benar. Akal
dapat bekerja dengan bantuan indera,tetapi akal juga dapat menghasilkan
pengetahuan yang tidak berdasarkan bahan inderawi sama sekali, jadi, akal dapat
menghasilkan pengetahuan tentang objek yang betul-betul abstrak (Abidin, 2016).5
Sejarah rasionalisme sudah tua sekali, pada zaman Thales (624-546 SM)
telah menerapkan rasionalisme pada filsafatnya. Rasionalisme lahir adalah sebagai
reaksi terhadap dominasi Gereja pada Abad Pertengahan Kristen di Barat.
Munculnya rasionalisme ini menandai perubahan dalam sejarah filsafat, karena
aliran yang dibawa Descartes ini adalah cikal bakal Zaman Modern dalam sejarah
perkembangan filsafat. Kata modern disini hanya digunakan untuk menunjukkan

4
Adian, Donny Gahral, and Akhyar Yusuf Lubis. Pengantar Filsafat Ilmu Pengetahuan: Dari
David Hume sampai Thomas Kuhn. (Penerbit Koekoesan, 2011), hal. 127-128.
5
Muhammad Zainal Abidin. "Dinamika Perkembangan Ilmu Dalam Islam Serta Statusnya
Dalam Perkembangan Peradaban Modern." Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin, Vol.11, no. 1 (2016):
hal. 21-42.

5
suatu filsafat yang mempunyai corak yang amat berbeda, bahkan berlawanan
dengan corak filsafat pada Abad Pertengahan Kristen. Corak berbeda yang
dimaksud disini adalah dianutnya kembali rasionalisme seperti pada masa Yunani
Kuno. Gagasan itu disertai argumen yang kuat oleh Descartes. Oleh karena itu,
pemikiran Descartes Sering juga disebut bercorak renaissance, yaitu kebangkitan
rasionalisme seperti pada masa Yunani terulang kembali. Pengaruh keimanan
Kristen yang begitu kuat pada Abad Pertengahan, telah membuat para pemikir takut
mengemukakan pemikiran yang berbeda dengan tokoh Gereja. Descartes telah lama
merasa tidak puas dengan perkembangan filsafat yang sangat lambat dan memakan
banyak korban. Ia melihat tokoh-tokoh Gereja yang mengatasnamakan agama telah
menyebabkan lambatnya perkembangan itu. Ia ingin filsafat dilepaskan dari
dominasi agama Kristen. Ia ingin filsafat dikembalikan pada semangat filsafat
Yunani, yaitu filsafat yang berbasis pada akal.
3. Paradigma Rasionalisme Pembaruan
Paradigma yang mendasari proses pembaruan di dunia Islam terutama
didasarkan pada argumen bahwa prinsip dasar Islam mengandung benih-benih
agama rasional, kesadaran sosial dan moralitas yang bisa menjadi dasar kehidupan
modern. Rasionalitas juga dilihat mampu menciptakan sebuah elit keagamaan yang
bisa mengartikulasikan dan menafsirkan makna nilai-nilai Islam yang
sesungguhnya dan karenanya memberikan fondasi bagi lahirnya masyarakat baru
(Abbas, 2014).6
Agar filsafat dan ilmu pengetahuan dapat diperbaharui, kita memerlukan
metode yang baik, demikian pendapat Descartes (tokoh utama rasionalisme).
Descarters sudah menemukan metode yang dicarinya, yaitu dengan menyangsikan
segala-galanya, atau keragu-raguan. Kemudian, ia menjelaskan, untuk
mendapatkan hasil yang shahih dari metode yang hendak dicanangkannya, ia
menjelaskan perlunya dalam empat hal yaitu sebagai berikut :

6
Abbas, Nurlaelah. "Muhammad Abduh: Konsep Rasionalisme Dalam Islam." Jurnal
Dakwah Tabligh Vol. 15, no. 1 (2014): hal. 51-68.

6
a. Tidak menerima sesuatu pun sebagai kebenaran, kecuali bila saya melihat
bahwa hal itu sungguh-sungguh jelas dan tegas, sehingga tidak ada suatu
keraguan apapun yang mampu merobohkannya.
b. Setiap kesulitan atau masalah itu atau sebanyak mungkin bagian, sehingga
tidak ada keraguan apapun yang mampu merobohkannya.
c. Bimbangkanlah pikiran dengan teratur, dangan mulai dari hal yang
sederhana dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada
yang paling sulit dan kompleks.
d. Dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit, selamanya harus
dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna serta Pertimbangan-
pertimbangan yang menyeluruh, sehingga kita yakin tidak ada satupun yang
diabaikan dalam penjelajahan itu (Praja, 2003).7

B. Empirisme
1. Pengertian Empirisme
Istilah empirisme diambil dari bahasa Yunani empiria yang berarti coba-
coba atau pengalaman. Sebagai doktrin, empirisme adalah lawan rasionalisme
(Ihsan, 2010).8
Kata empirisme menurut Amsal Bakhtiar berasal dari kata Yunani
empereikos yang berarti pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh
pengetahuan dari pengalaman inderawi. Hal ini dapat dilihat bila memperhatikan
pertanyaan seperti: “Bagaimana orang mengetahui es itu dingin?” Seorang empiris
akan mengatakan, “Karena saya merasakan hal itu dan karena seorang ilmuan telah
merasakan seperti itu”. Dalam pernyataan tersebut ada tiga unsur yang perlu, yaitu
yang mengetahui (subjek), yang diketahui (objek), dan cara dia mengetahui bahwa
es itu dingin. Bagaimana dia mengetahui es itu dingin? Dengan menyentuh
langsung lewat alat peraba.dengan kata lain, seorang empiris akan mengatakan

7
Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, (Jakarta: Kencana, 2003), Cet. 2, h. 95 -
96.
8
Fuad Ihsan. Filsafat Ilmu. (Jakarta : Rineka Cipta, 2010), hal. 163.

7
bahwa pengetahuan itu diperoleh lewat pengalaman-pengalaman inderawi yang
sesuai (Bakhtiar, 2012).9
Dalam Juhaya juga menyatakan hal yang sama dengan Amsal Bakhtiar
bahwa pengetahuan itu diperoleh dari pengalaman-pengalaman inderawi yang
sesuai dan pengalaman dapat dijadikan sebagai sumber pengetahuan bukan rasio.
Oleh sebab itu, empirisme dinisabatkan kepada faham yang memilih
pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan yang dimaksudkan dengannya
ialah baik pengalaman lahiriah yang menyangkut dunia maupun pengalaman
batiniyah yang menyangkut pribadi manusia (Praja, 2003).10
Sedangkan menurut Sutarjo menyatakan bahwa empirisme merupakan
aliran yang mengakui bahwa pengetahuan itu pada hakikatnya didasarkan atas
pengalaman atau empiri melalui alat indra (empiri). Empirisme menolak
pengetahuan yang semata-mata didasarkan akal, karena dapat dipandang sebagai
spekulasi belaka dan tidak berdasarkan realitas sehingga berisiko tidak sesuai
dengan kenyataan. Pengetahuan sejati harus didasarkan pada kenyataan sejati, yaitu
realitas (Bakhtiar, 2012).11
Berbeda dengan Rasionalisme yang mengatakan bahwa akal itulah alat
pencari dan pengukur pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal, temuannya
diukur dengan akal pula. Dicari dengan akal artinya dicari dengan berfikir logis.
Diukur dengan akal artinya diuji apakah temuan itu logis atau tidak.bila logis berarti
benar, bila tidak logis berarti salah. Jadi sumber pengetahuan bagi paham
Rasionalisme adalah akal yang logis (Ihsan, 2010).12
Dari beberapa uraian di atas tentang empirisme dan rasionalisme penulis
mengatakan bahwa keduanya memiliki kekurangan. Empiris (pengalaman)
belumlah menjadi sebuah pengetahuan, karena masih merupakan bahan yang belum
berbentuk. Pengalaman itu menjadi sebuah pengetahuan setelah diolah, dibentuk
oleh akal kita. Pandangan ini juga selaras dengan pandangan Kant yang menyebut

9
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta : Rajawali, 2012), hal. 98.
10
Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat…., hal.105
11
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu…., hal. 117
12
Fuad Ihsan. Filsafat Ilmu…., hal. 30

8
dirinya sebagai aliran Kritisme (Lubis, Akhyar Yusuf, Adian, 2011).13 Begitupula
dengan akal (rasio) belum juga dapat menjadi sebuah pengetahuan, karena manusia
memiliki akal yang terbatas. Sehingga terkadang orang menafsirkan sesuatu dengan
akalnya sama-sama logis padahal sesuatu itu tidak sama, seperti ayam dan telur.
Tanpa melibatkan konsep penciptaan tidak dapat ditemukan mana dari keduanya
yang pertama kali ada. Adanya telur karena ayam, adanya ayam juga karena telur.
Karena tidak pernah ditemukan ayam melahirkan seorang anak ayam sebelum telur.
Oleh karena itu pengetahuan perlu ditinjau dari kemungkinan sumber lain.
Adapun kekurangan empirisme menurut positivisme bahwa empirisme
belum terukur. Empirisme hanya sampai pada konsep-konsep umum, seperti
kelereng ini kecil, bulan lebih besar, bumi lebih besar lagi, matahari sangat besar,
demikianlah seterusnya. Konsep ini belum operasional, karena belum terukur. Jadi,
masih perlu alat-alat lain seperti paham positivisme.
Paham positivisme mengajarkan bahwa kebenaran itu ialah yang logis, ada
bukti empirisnya, dan terukur.”Terukur” inilah yang menjadi sumbangan penting
positivisme. Positivisme akan mengatakan bahwa air kopi ini panasnya 80 derajat
celcius, air mendidih ini 100 derajat celcius, ini panjangnya satu meter, dan lainnya.
Oleh karena itu, filsafat empirisme tentang teori makna amat berdekatan
dengan aliran positivisme logis. Akan tetapi, teori makna dan empirisme selalu
harus dipahami lewat penafsiran pengalaman. Kalau kaum rasionalis berpendapat
bahwa manusia sejak lahir di karuniai idea oleh Tuhan yang dinamakan “idea
innatae” ( idea terang benderang atau idea bawaan) , maka pendapat impiris
berlawanan mereka mengatakan bahwa waktu lahir jiwa manusia adalah putih
bersih ( tabula rasa), tidak ada bekal dari siapapun yang merupakan “idea innatae”.
Meskipun demikian positivisme telah memberi sumbangan terhadap paham
empirisme yang dapat mengajukan logikanya, menunjukkan bukti empirisnya yang
terukur, namun keduanya masih pula memiliki kekurangan. Kekurangannya
menimbulkan pertanyaan “ Bagaimana caranya?” oleh karena itu masih diperlukan
alat-alat lain seperti Metode Ilmiah. Metode ilmiah mengatakan, untuk memperoleh

13
Adian, Donny Gahral, and Akhyar Yusuf Lubis. Pengantar Filsafat…., hal. 117

9
pengetahuan yang benar dilakukan langkah berikut: logico – hypothetico –
verificartif. Maksudnya, buktikan bahwa itu logis, kemudian ajukan hipotesis
berdasarkan logika itu, kemudian lakukan pembuktian hipotesis itu secara empiris
(Achmadi, 2007).14
2. Aspek Epistemologi Paham Empirisme
Metode Empiris dan penelitian empiris, Konsep sentral dalam ilmu
pengetahuan dan metode ilmiah adalah bahwa semua bukti harus empiris, atau
berbasis empiris, yaitu, bergantung pada bukti-bukti yang diamati oleh indera. Hal
ini dibedakan dari penggunaan filosofis empirisme oleh penggunaan kata sifat
"empiris" atau adverbia yang "empiris". Empiris yang digunakan bersama dengan
baik alam dan ilmu-ilmu sosial, dan mengacu pada penggunaan kerja hipotesis yang
dapat diuji menggunakan pengamatan atau percobaan.
Dalam arti kata, laporan ilmiah untuk tunduk dan berasal dari pengalaman
kami atau observasi. Dalam arti kedua "empiris" dalam ilmu dan statistik mungkin
identik dengan "eksperimental". Dalam hal ini, hasil pengamatan empiris adalah
eksperimental. Istilah semi-empiris yang kadang-kadang digunakan untuk
menggambarkan metode teoritis yang menggunakan dasar aksioma, hukum ilmiah
didirikan, dan hasil eksperimen sebelumnya dalam rangka untuk terlibat dalam
pembentukan model beralasan dan penyelidikan teoritis.
3. Aspek Aksiologi Paham Empirisme
Dalam hal ini, Nilai kegunaan yang akan kita temukan pada paham ini
adalah seberapa pentingnya pengalaman dalam hidup kita didunia ini. “The
Experience Is The Best Teacher”, mungkin kata tadi sudah tidak asing bagi kita.
Tapi, kata tersebut terbukti apalagi diperkuat dengan adanya paham ini. Pengalaman
merupakan sumber pengetahuan manusia, yang jelas-jelas mendahului rasio. Tanpa
pengalaman, rasio tidak memiliki kemampuan untuk memberikan gambaran
tertentu, walaupun menggambarkan sedemikian rupa, tanpa pengalaman, hanyalah
khayalan belaka.

14
Asmoro Achmadi, Filsafat Umum…., hal. 32-33

10
4. Kritik Paham Empirisme
Rasionalisme tidak seperti emperisme yang menerima pengalaman-
pengalaman batiniah. Bagi rasionalisme, hanya pengalaman indera yang benar-
benar sebagai sumber pengetahuan yang faktual, sedangkan yang lainnya tidak
berarti apa-apa. Rasionalisme meragukan semua pandangan empirisme.
Kritik terhadap empirisme yang diungkapkan oleh Honer dan Hunt (1968)
dalam Suriasumantri (1994) terdiri atas tiga bagian. Pertama, pengalaman yang
merupakan dasar utama empirisme seringkali tidak berhubungan langsung dengan
kenyataan obyektif. Pengalaman ternyata bukan semata-mata sebagai tangkapan
pancaindera saja. Sebab seringkali pengalaman itu muncul yang disertai dengan
penilaian. Dengan kajian yang mendalam dan kritis diperoleh bahwa konsep
pengalaman merupakan pengertian yang tidak tegas untuk dijadikan sebagai dasar
dalam membangun suatu teori pengetahuan yang sistematis. Disamping itu pula,
tidak jarang ditemukan bahwa hubungan berbagai fakta tidak seperti apa yang
diduga sebelumnya.
Kedua, dalam mendapatkan fakta dan pengalaman pada alam nyata,
manusia sangat bergantung pada persepsi pancaindera. Pegangan empirisme yang
demikian menimbulkan bentuk kelemahan lain. Pancaindera manusia memiliki
keterbatasan. Sehingga dengan keterbatasan pancaindera, persepsi suatu obyek
yang ditangkap dapat saja keliru dan menyesatkan.
Ketiga, di dalam empirisme pada prinsipnya pengetahuan yang diperoleh
bersifat tidak pasti. Prinsip ini sekalipun merupakan kelemahan, tapi sengaja
dikembangkan dalam empirisme untuk memberikan sifat kritis ketika membangun
sebuah pengetahuan ilmiah. Semua fakta yang diperlukan untuk menjawab keragu-
raguan harus diuji terlebih dahulu. Dewey menyebutkan bahwa hal yang paling
buruk dari metode empiris adalah pengaruhnya terhadap sikap mental manusia.
Beberapa bentuk mental negatif yang dapat ditimbulkan oleh metode empiris antara
lain: sikap kemalasan dan konservatif yang salah. Sikap mental seperti ini
menurutnya, lebih berbahaya daripada sekedar memberi kesimpulan yang salah.
Sebagai contoh dikatakan bahwa apabila ada suatu penarikan kesimpulan yang
dibuat berdasarkan pengalaman masa lalu menyimpang dari kebiasaan, maka

11
kesimpulan tersebut akan sangat diremehkan. Sebaliknya, apabila ada penegasan
yang berhasil, maka akan sangat dibesar-besarkan.

Terhadap empirisme Immanuel Kant juga memberi kritiknya bahwa


meskipun empirisme menolak pengetahuan yang berasal dari rasio, tetapi
pengalaman dan persepsi yang merupakan dasar kebenaran dalam empirisme tidak
dapat memberi suatu pengetahuan yang kebenarannya adalah universal dan bernilai
penting.

Dari sudut pandang yang lain, kritik terhadap empirisme perlu juga
dipahami sebagai kritik terhadap ilmu pengetahuan. Dengan adanya keterbatasan
dalam empirisme sebagai salah satu prosedur dari metode ilmiah, memberi
gambaran kepada kita bahwa kebenaran dalam ilmu pengetahuan bukanlah satu-
satunya kebenaran yang ada. Tetapi sebagai ilmuwan, kita harus dengan rendah hati
mengakui bahwa di luar ilmu pengetahuan masih terdapat kebenaran lain. Dengan
demikian, kebenaran ilmu pengetahuan tidak bisa berjalan sendiri, tetapi didalam
membangun keharmonisan dan keseimbangan hidup, kebenaran ilmu pengetahuan
perlu berdampingan dengan kebenaran-kebenaran dari pengetahuan lain, seperti
seni, etika dan agama. Pengetahuan-pengetahuan lain di luar ilmu pengetahuan
ilmiah perlu dipahami pula dengan baik oleh para ilmuwan agar dapat menciptakan
atau menghasilkan nuansa yang lebih dinamis pada pengetahuan ilmiah.

Kritik fenomenologi atas empirisme logis adalah: Bagaimana mungkin


manusia dapat menyelidiki fakta bahasa sedangkan realitas dunia atau sebagai
realitas bahasa adalah bagian dirinya sendiri yang manunggal itu? Kalau jawaban
itu digunakan untuk menjawab pertanyaan esensial tentu tidak mungkin. Karena
subjek dalam pertanyaan esensial harus melepaskan diri dari objek. Pertanyaan ini
bisa dijawab manakala manusia menyetujui atas posisi kemanunggalannya antara
subjek dan objek.

Jadi subjek manusia yang merengkuh objek dalam tindak epistemologis


adalah tidak mungkin. Apalagi dengan pendekatan analitika bahasa yang

12
menyelidiki realitas dunia pada fakta bahasanya. Subjek dan objek dualisme
epistemology adalah sesuatu yang tidak dapat dibedakan, mengingat fenomenologi
eksistensial menisbatkan manusia dan realitas dunia dalam satu lokus (Izzah,
2013).15

C. Rasionalisme dan Empirisme dalam Asumsi Dasar Keilmuan Manusia


Penjelasan mengenai konsep dan struktur ilmu pengetahuan sudah
menemukan kerangkanya yaitu, tiga unsur pokok di dalamnya terdapat objek,
metode, dan nilai guna. Kemudian majulah pada tahapan penunjang epistemologi
pengetahuan yang berkaitan dengan sumber atau cara yang ditempuh manusia
untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Pada bagian ini erat kaitannya dengan
paradigma atau cara pandang manusia terhadap penemuan ilmu pengetahuan.
Kegiatan manusia dalam memperoleh pengetahuan ialah mengalami
pengamatan indera yang memberikan dua hal yaitu, ide (idea) dan kesan
(impression). Ide adalah gambaran tentang persepsi yang dihasilkan dengan proses
perenungan kembali atau merefleksikan sesuatu yang diterima dari pengalaman
individu. Sedangkan kesan ialah apa yang diperoleh secara langsung dialami, kesan
bersifat hidup dan langsung seperti mendengar, merasa dan melihat. Dalam hal yang
lebih spesifik terdapat enam sumber pengetahuan, yaitu pengalaman indera,
nalar,wahyu, intuisi, otoritas dan keyakinan.
Secara epistemologis ada dua aliran filsafat yang mengkaji mengenai
sumber munculnya ilmu pengetahuan dan menerapkan standar kebenaran yang ada
di dalamnya. Kedua aliran tersebut ialah rasionalisme dan empirisme, paham ini
terkait dengan pemerolehan ilmu yang dianggap benar dan keduanya memiliki
tokoh masing-masing dalam penyampaian argumen dasar untuk mempertahankan
paham yang dianut.
Rasionalisme adalah aksioma dasar yang dipakai membangun sistem
pemikiran yang diturunkan dari idea. Pikiran manusia memiliki kemampuan untuk

15
Izzah, Iva Yulianti Umdatul. "Immanuel Kant: Filsafat Kritis Sintesis antara Rasionalisme
dan Empirisme." (2013): hal. 51-72.

13
“mengetahui” idea tersebut, namun manusia tidak menciptakannya dan tidak
mempelajarinya lewat pengalaman. Idea Tersebut sudah ada di sana (daya nalar)
sebagai kenyataan dasar dan pikiran manusia. Kaum rasionalis berdalil, bahwa
pikiran dapat memahami prinsip,maka prinsip itu harus “ada”, artinya, prinsip harus
benar dan nyata. Jika Prinsip tidak “ada” orang tidak mungkin akan dapat
menggambarkannya.
Salah satu tokoh rasionalisme modern adalah Rene Descartes (1596-1650).
Ia dijuluki sebagai bapak filsafat modern, Descartes berusaha memberi dasar
metodis yang baru dalam filsafat, dengan metode tersebut Descartes memahaminya
sebagai aturan-aturan yang dapat dipakai untuk menemukan kepastian dasar dan
kebenaran yang kokoh (fundamentum certum et inconcussum veritatis). Metode itu
disebutnya “le doute methodique” (metode kesangsian). Jadi, berfilsafat bagi
Descartes berarti melontarkan persoalan metafisis untuk menemukan sebuah
fundamen yang pasti (Vera & Hambali, 2021).16
Untuk menemukan titik kepastian itu Descartes mulai dengan sebuah
kesangsian atas segala sesuatu. Dia mulai menyangsikan berbagai pandangan
metafisis yang berlaku tentang dunia materi dan dunia non-materi itu bukanlah
tipuan belaka dari semacam iblis yang sangat licik, lalu apakah yang menjadi
pegangan? Menurut Descartes, sekurang-kurangnya“aku yang menyangsikan”
alam ini bukanlah hasil tipuan, semakin menyangsikan segala sesuatu, maka
kesangsian lah yang membuktikan kepada diri kita bahwa alam ini nyata.
Menyangsikan adalah berpikir, Descartes kemudian mengatakan Je Pense donc je
suis atau cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada).
Keragu-raguan atau kesangsian Descartes hanyalah sebuah metode,
bukanlah ragu-ragu skeptis atau ragu-ragu sungguhan. Keraguan untuk mencapai
kepastian, hanya rasio yang dapat membawa orang kepada kebenaran. Mengenai
apa dan siapa yang menjamin, idea itu benar adalah Tuhan itu sendiri, idea ialah
pemberian Tuhan. Sebab Tak mungkin Tuhan memberi pedoman yang salah. Maka

16
Vera, Susanti, and R. Yuli A. Hambali. "Aliran rasionalisme dan empirisme dalam
kerangka ilmu pengetahuan." Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin, Vol. 1, no. 2 (2021): hal. 59-73.

14
dari itu rasiolah alat pencari dan pengukur pengetahuan, itulah sebabnya maka
aliran ini disebut Rasionalisme (Rahayu Wilujeng, 2014).17
Dalam teori empiris terdapat dua aspek pokok yaitu, pertama ialah yang
mengetahui (subjek) dan yang diketahui (objek) di antara keduanya terdapat alam
nyata seperti fakta yang dapat diungkap. Kedua, pengujian kebenaran dari fakta
didasarkan kepada pengalaman manusia, maka pernyataan ada atau tidak sesuatu
haruslah memenuhi persyaratan pengujian pengamatan publik. Selanjutnya dari
pemaparan ini kita dapat memahami bahwa ada enam ajaran empirisme yaitu:
pertama, semua ide ialah abstraksi yang dibentuk oleh pengalaman, kedua
pengalaman inderawi ialah satu-satunya sumber pengetahuan, ketiga semua yang
diketahui bergantung pada data inderawi, keempat semua pengetahuan turun dan
disimpulkan data inderawi kecuali kebenaran definisional matematika dan logika,
kelima akal tidak dapat memberikan pengetahuan tanpa bantuan indera, dan
keenam empirisme sebagai filsafat pengalaman.
Pada zaman sekarang empirisme menjadi sikap dasar segala bentuk
penelitian ilmiah. Pengetahuan harus didasarkan pada observasi empiris,dengan
maksud untuk mengembalikan pengetahuan pada pengalaman dan berusaha
membebaskan diri dari berbagai bentuk spekulasi spiritual dan cara berfikir
tradisional. Dengan cara itu juga kaum empiris berusaha memisahkan filsafat dari
teologi. Mereka berdalih bahwa tidak beralasan untuk mencari pengetahuan mutlak
dan mencakup semua sisi, kaum empiris cukup puas dengan mengembangkan
sebuah sistem pengetahuan yang mempunyai peluang yang besar untuk benar,
meskipun pengetahuan mutlak tidak pernah dapat dijamin (Nuha et al., 2022).18
Aliran empirisme berkembang pesat pada masa renaissance yaitu sekitar
abad ke-17 dan 18 di negara Inggris dan sekitarnya. Aliran ini dirintis oleh tokoh
filsuf Inggris yaitu Francis Bacon De Verulam (1561-1626) dan dilanjutkan oleh

17
Wilujeng, Sri Rahayu. "Ilmu Dalam Perspektif Filsafat (Suatu Upaya Mengembalikan Ilmu
Pada Hakikatnya)." HUMANIKA, vol. 20, no. 2 (2014): hal, 93-102.
18
Nuha, Muhammad Afthon Ulin. "Application Of Immanuel Kant's Philosohy In The
Thought Of Religious Education (Philosophical Review Of Criticism, Rationalism, And E
MPIRICISM)." Sunan Kalijaga International Journal on Islamic Educational Research, Vol. 6, no. 2
(2023): hal. 25-44.

15
filsuf-filsuf lainya seperti John Locke, George Berkeley, Thomas Hobes dan David
Hume (Sativa, 2011). Salah satu gagasan dari mereka yaitu David Hume (1711-
1776) mengatakan pemikiran empirisnya tersimpul dalam satu ungkapan yang
singkat yaitu “I never catch myself at any time without a perception” artinya (saya
selalu memiliki persepsi pada setiap yang saya alami), dari ungkapan ini David
Hume menyampaikan bahwa seluruh pengalaman dan pemikiran tersusun dari
rangkaian kesan (impression).
Pada dasarnya aliran ini muncul karena ada anggapan bahwa kaum
rasionalis tidak cukup mampu menstrukturkan kerangka pengetahuan berasal dari
akal saja dan mereka berpendapat akal itu bersifat polos dan ia akan terisi apabila
diisi dengan bantuan indera sebagai alat untuk mendapatkan pengalaman (Juhari,
2013). Namun aliran ini tetap memiliki kelemahan seperti pada pengalaman
inderawi yang sifatnya terbatas dan objek bisa saja menipu seperti ilusi (Wilardjo,
2009). Pada dasarnya fungsi dari kedua aliran tersebut tidak lepas hanya sebagai
alat untuk mempertanggungjawabkan suatu ilmu dan pengetahuan yang diajukan
oleh seorang ilmuwan kepada khalayak umum baik berupa teori baru, hasil
rekonstruksi, gagasan-gagasan, dan ide sebagai hasil pikiran. Dengan demikian
ilmu dan pengetahuan bisa dicapai secara benar menurut akal dan dapat dibuktikan
dengan pengamatan (Tikly, 2015).19

19
Tikly, Leon. "What works, for whom, and in what circumstances? Towards a critical
realist understanding of learning in international and comparative education." International Journal
of Educational Development, vol. 40 (2015): hal. 237-249.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bukti bahwa akal dan pemikiran manusia benar-benar berfungsi dapat
ditemukan dalam penyelidikan ilmiah. Hal ini ditunjukkan dengan ciri khasnya,
yaitu manusia mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi, sehingga menyebabkan
manusia sering bertanya dan mencari tahu lebih banyak tentang suatu hal.
Kemampuan untuk memiliki informasi adalah naluri terbesar baik sebagai
kelemahan manusia maupun sebagai keuntungan. Rasa ingin tahu merupakan benih
dari tumbuhnya ilmu pengetahuan, dan bila diterapkan sesuai dengan pedoman
observasi, maka ilmu dan pengetahuan dapat diperoleh dengan benar sebagai
kewajiban bagi kelangsungan hidup manusia di muka bumi. Terlepas dari
kenyataan bahwa keduanya selalu hidup berdampingan dan tampak dapat
dipertukarkan, bidang sains dan pengetahuan mempunyai perbedaan dalam
beberapa hal penting.
Berbeda dengan pengetahuan yang mencakup segala sesuatu yang diketahui
manusia baik dalam bentuk terstruktur maupun tidak terstruktur, ilmu pengetahuan
bersifat terorganisir dan menggunakan pendekatan metodologis untuk memperoleh
kesimpulannya. Ungkapan “fakta”, “berita”, “mitos”, dan “dogma” merupakan
contoh berbagai jenis pengetahuan. Pengetahuan tidak perlu memenuhi persyaratan
sistematis untuk dianggap ilmiah; namun, pengetahuan dapat diangkat ke tingkat
sains jika memenuhi ciri-ciri ontologi, epistemologi, dan aksiologi tertentu dalam
konteks penyelidikan ilmiah. Ketiga segi ini membongkar ilmu pengetahuan untuk
memastikan bahwa ilmu itu eksak dan benar, serta keabsahannya dapat
dipertahankan.
Rasionalisme dan empirisme merupakan dua sistem pemikiran yang
dianggap sebagai landasan pengetahuan manusia dari sudut pandang epistemologis.
Empirisme merupakan paham yang meyakini bahwa pengalaman indrawi
merupakan satu-satunya sumber informasi yang benar, berbeda dengan
rasionalisme yang merupakan paham yang meyakini bahwa akal atau yang disebut

17
dengan ide merupakan sumber utama pengetahuan manusia. Kedua pemahaman ini
nampaknya akan bersaing dalam panggung persaingan yang ketat; Namun pada
kenyataannya, hal-hal tersebut hanyalah alat untuk menyempurnakan suatu ilmu
agar dapat diterima oleh akal dan indera. Karena keduanya mempunyai argumentasi
yang kuat dan melahirkan tokoh-tokoh terkemuka dalam bidang keilmuan,
sehingga memberikan kesan bahwa kedua paham ini saling bersaing.

B. Saran
Penulisan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi mahasiswa dalam
mengorganisasikan pengetahuan yang telah mereka miliki agar dapat diubah
menjadi pengetahuan sejati. Penulisan makalah ini terbatas karena tidak membahas
secara mendalam berbagai aliran yang merespons rasionalisme dan empirisme;
sebaliknya, ini hanya menjelaskan kerangka dasar. Disarankan kepada lembaga-
lembaga pendidikan yang bergerak di bidang kajian filsafat, agama, dan pemikiran
untuk menjadikan penelitian ini sebagai bahan referensi.

18
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, N. (2014). Muhammad Abduh : Konsep Rasionalisme Dalam Islam. Jurnal


Dakwah Tabligh, 15(1), 51–68. https://doi.org/10.24252/JDT.V15I1.338

Abidin, M. Z. (2016). Dinamika Perkembangan Ilmu Dalam Islam Serta Statusnya


Dalam Perkembangan Peradaban Modern. Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin,
11(1), 21. https://doi.org/10.18592/jiu.v11i1.731

Achmadi, A. (2007). Filsafat Umum. In Raja Grafido Persada. RajaGrafindo


Persada. https://www.rajagrafindo.co.id/produk/filsafat-umum/

Bakhtiar, A. (2012). Filsafat Ilmu. Rajawali.

Ihsan, F. (2010). Filsafat Ilmu. Rineka Cipta.


https://onesearch.id/Record/IOS3239.slims-73013?widget=1

Izzah, I. Y. U. (2013). Immanuel Kant: Filsafat Kritis Sintesis antara Rasionalisme


dan Empirisme.

Lubis, Akhyar Yusuf, Adian, D. G. (2011). Pengantar Filsafat Ilmu Pengetahuan:


Dari David Hume sampai Thomas Kuhn.

Nuha, M. A. U., Muzakki, H., & Musyafa’ah, N. (2022). Application of Immanuel


Kant’s Philosophy in The Thought of Religious Education (Philosophical
Review of Criticism, Rationalism, and Empiricism). International Journal on
Islamic Educational Research, 6(2), 25–44. https://ejournal.uin-
suka.ac.id/tarbiyah/SKIJIER/article/view/6425

Praja, J. S. (2003). Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. In Jakarta: Kencana. Kencana.

Rahayu Wilujeng, S. (2014). Ilmu Dalam Perspektif Filsafat (Suatu Upaya


Mengembalikan Ilmu pada Hakikatnya). Humanika, 20(2), 93–102.
https://doi.org/10.14710/HUMANIKA.20.2.93-102

Saebani, A. A. H. dan B. A. (2016). Filsafat Umum: Dari Metologi Sampe


Teofilosofi. CV. Pustaka Setia.

19
Tikly, L. (2015). What works, for whom, and in what circumstances? Towards a
critical realist understanding of learning in international and comparative
education. International Journal of Educational Development, 40, 237–249.
https://doi.org/10.1016/j.ijedudev.2014.11.008

Vera, S., & Hambali, R. Y. A. (2021). Aliran Rasionalisme dan Empirisme dalam
Kerangka Ilmu Pengetahuan. Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin, 1(2), 59–73.
https://doi.org/10.15575/jpiu.12207

20

Anda mungkin juga menyukai