Makalah
Disampaikan dalam Seminar Kelas
Pada Mata Kuliah Pendidikan dalam Perspektif Hadis
Dosen Pengampu :
Prof. Dr. H. Ahmad Khairuddin, M.Ag
Prof. Dr. H. Muhammad Yuseran Salman, Lc
Prof. Dr. H. Athaillah, M.Ag
Dr. Saifuddin, M.Ag
Oleh :
Abdulah Husin
12.0311.0016
A. PENDAHULUAN
2
(khalifah Allah fi al-ardh). Manusia mendapat tugas mewakili Allah mengelola
dan menyuburkan bumi untuk kepentingan manusia sendiri. Tugas ini tentu saja
memerlukan pengetahuan agar manusia mampu melaksanakan tugas ini. Dalam
hal ini, secara pragmatis ilmu membantu manusia menunaikan tugas kekhalifahan
yang diamanahkan kepadanya.
Aktivitas pengembangan dan pemanfataan ilmu pengetahuan Islam telah
kemukakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam sejak empat belas abad
silam. Atas dasar ini, maka tulisan ini diarahkan untuk membahas tentang
hakikat dan sumber ilmu pengetahuan serta pemanfaatannya dalam perspektif
hadis dengan menggunakan metode kajian hadis madhu’i (tematik).
B. PEMBAHASAN
1. Hakikat Ilmu
، َعِن اْبِن ِش َه اٍب، َح َّد َثيِن ُعَق ْي ٌل: َح َّد َثيِن الَّلْيُث َقاَل: َح َّد َثَنا َس ِعْيُد ْبُن ُعَف ٍرْي َقاَل
ِه َّل ِهلل َّل ِمَس ِد ِهلل
ْعُت َرُسْو َل ا َص ى اُهلل َعَلْي َو َس َم: َأَّن اْبَن ُعَمَر َقاَل: َعْن ْمَهَز َة ْبِن َعْب ا ْبِن ُعَمَر
َّمُث، َبْيَن ا َأَنا َناِئٌم ُأِتْيُت ِبَق ْد ِح َلٍنَب َفَش ِر ْبُت َح ىَّت ِإيِّن َأَلَر ى ال ِّر َّي ْخَيُر ُج يِف َأْظَف اِر ي: َق اَل
. اْل ْلَم: َفَم ا َأْو َلْتُه َيا َرُسْو َل اِهلل؟ َقاَل: َقاُلْو ا، َأْع َطْيُت َفْض ِلي ُعَمَر ْبَن اَخْلَّطاِب
3 ِع
3
al-Imâm Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhâriy (selanjutnya disebut Imam
al-Bukhari), al-Jâmi’ al-Shahîh: al-Musnad min Hadîts Rasûillah Shallallâh ‘Alaih wa Sallam, juz
I (Kairo: al-Mathba’ah al-Salafiyyah wa Maktabatuha, 1400 H), h. 86.
3
sahabat bertanya, “Apakah takwil mimpi Anda itu, ya Rasulullah?.” Rasulullah
menjawab: “Ilmu.” (HR. Imam Bukhari).
4
al-Hâfizh Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqalâniy (selanjutnya disebut Ibn Hajar
al-‘Asqalâniy), Fath al-Bâriy bi Syarh Shahîh al-Bukhâriy, jilid I, ditahqîq oleh Abu Qutaibah
Nazhar Muhmmad al-Faryâbiy (t.t.: Dâr Thaibah, t.t.), h. 316.
5
Ibn Hajar ‘Asqalâniy, Fath al-Bâriy, jilid I, h. 316.
6
Lois Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-‘Alam, (Beirut: Dar al-Masyruq, 1997), h.
527. Lihat Ahmad Warson Munawwir, Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 2002), cet., ke-20, h.966.
7
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1997), cet. Ke-4, h. 201.
8
Hasan Langulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2003),
h. 336.
9
Tim penyusun, Majma` al Lughah al-Arabiyah, al Mu`jam al-Wasith, jilid II (Kairo:
1980), h. 624.
10
Kata “ilmu” dan “pengetahuan” atau “ilmu pengetahuan” dalam bahasa Indonesia
terkadang dipergunakan sebagai arti dari kata ‘ilm dalam bahasa Arab. Sedangkan untuk kata
ma’rifah dari bahasa Arab seringkali hanya diterjemahkan sebagai “pengetahuan”. Dalam
terjemahan yang menyangkut definisi, kata ‘ilm diterjemahkan sebagai “ilmu” atau “ilmu
pengetahuan” (science) sedangkan kata ma’rifah sebagai “pengetahuan biasa’ atau singkatnya
“pengetahuan” (knowledge). Mengenai kata fahm dan fiqh, biasanya kedua kata tersebut
diterjemahkan sebagai “pemahaman”. Untuk membedakan keduanya, di sini kata fahm
diterjemahkan sebagai “pemahaman” sedangkan kata fiqh diterjemahkan sebagai “pengertian”,
yang maksudnya adalah “pemahaman yang lebih mendalam”. Lihat: Abu Bakar Jabir Al-Jazairy,
Ilmu dan ulama, (Jakarta: Pustaka Azam, 2001), h. 19.
4
runtut dan merupakan satu kesatuan berdasarkan metode-metode tertentu yang
dapat digunakan untuk menjelaskan gejala-gejala dari objek (pengetahuan) itu.
Apresiasi Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam terhadap ilmu tidak
hanya tergambar dari penyebutan kata al-`ilm dan derivasinya yang sangat banyak
dalam kitab-kitab hadis, tetapi terdapat ungkapan-ungkapan lainnya yang
bermuara pada kesamaan makna, diantaranya adalah al-hikmah. Sebagaimana
sabda Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam:
َح َّد َثيِن ِإَمْساِعْي ْب َأيِب َخ اِلٍد َعَلى َغِرْي: َح َّد َثَنا ُس ْف َياُن َقاَل: َح َّد َثَنا ا ْيِدُّي َقاَل
ُل ُن ُحْلَم
ٍد ِهلل ِمَس ٍم ِمَس
ْعُت َعْب َد ا ْبَن َمْس ُعْو: ْعُت َقْيَس ْبِن َأيِب َح اِز َق اَل: َم ا َح َّد ْثَناُه الُّز ْه ِر ُّي َق اَل
َرُج ٍل آَتاُه اُهلل َم اًال َفُس ِّلَط: اَل َح َس َد ِإاَّل يِف اْثَنَتِنْي: َقاَل الَّنُّيِب َص َّلى اُهلل َعَلْيِه َو َس َّلَم: َقاَل
11
. َو َرُج ٍل آَتاُه اُهلل ِح ْك َم ًة َفُه َو َيْق ِض ي َهِبا َو ُيَعِّلُم َه ا، َعَلى َه َلَك ِتِه يِف اَحْلِّق
Artinya: “al-Humaidiy menceritakan kepada kami, ia berkata: Sufyan
menceritakan kepada kami, ia berkata: Ismail bin Abi Khalid menceritakan
kepadaku tidak sebagaimana al-Zuhriy menceritakan kepada kami, ia berkata:
Aku mendengar Qais bin Abi Hazim berkata: Aku mendengar Abdullah bin
Mas’ud berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Tidak
ada iri hati (dengki), kecuali kepada dua orang, yaitu orang yang diberi Allah
Subhânahu wa Ta’ala harta kemudian dia pergunakan dalam kebenaran, dan
orang yang diberi Allah Subhânahu wa Ta’ala hikmah (ilmu) kemudian
dipergunakannya dengan baik dan diajarkannya.” (HR. Bukhari, Muslim, Ibn
Majah, Ahmad, dan Ibn Hibban).
Hadis ini menginformasikan bahwa sejatinya tidak ada (tidak boleh) iri
atau hasad, kecuali hanya kepada dua orang, yaitu orang yang dianugerahi harta
oleh Allah dan orang yang dianugerahi Allah hikmah. Kedua karunia ini
dipergunakan oleh masing-masing pemiliknya untuk kebenaran dan memberikan
manfaat kepada orang lain.
11
Imam al-Bukhari, al-Jâmi’ al-Shahîh, juz I, h. 42; al-Imâm al-Hâfizh Abu al-Husain
Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairiy al-Naisâbûriy (selanjutnya disebut Imam Muslim), Shahîh
Muslim, jilid I (Beirut: Dâr al-Fikr, 1992), h. 360; al-Hâfizh Abu Abdillah Muhammad bin Yazid
Ibn Mâjah al-Qazwîniy (selanjutnya disebut Ibn Majah), Sunan Ibn Mâjah, juz II, tahqîq
Muhammad Fuad Abdul Baqiy (Beirut: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.), h. 1407; al-Imâm
al-Hâfizh Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Asad al-Syibaaniy, Musnad al-Imâm
Ahmad bin Hambal, juz VII, tahqîq Syu’aib al-Arnaûth (Beirut: Muassah al-Risâlah li al-Thaba’
wa al-nasyr, 1999), h. 183; lihat ‘Alâ’ al-Dîn Ali bin Balbân al-Fârisiy, Shahîh Ibn Hibbân bi
Tartîb Ibn Balbân, Juz I, tahqîq Syu’aib al-Arnaûth (Beirut: Muassah al-Risâlah li al-Thaba’ wa
al-nasyr, 1993), h. 292.
5
Hasad yang dimaksud dalam hadis ini menurut menurut para ulama adalah
ghibthah, yaitu berangan-angan agar mendapatkan nikmat seperti yang ada pada
orang lain tanpa mengharapkan nikmat tersebut hilang dari pemiliknya.12 Jika
ghibthah ini dalam hal dunia, maka itu dibolehkan, jika dalam hal ketaatan, maka
itu dianjurkan.13 Anjuran ghibthah dalam hadis di atas, salah satunya adalah iri
terhadap orang diberi hikmah yang diamalkan dan diajarkannya. Menurut al-
Kirmaniy hikmah yang maksudkan dalam hadis ini adalah “ilmu.”14
Redaksi hikmah berulang kali disebutkan dalam Alquran dan memiliki
beragam pengertian.15 Para ahli sepakat ketika menafsirkan al-hikmah yang
diberikan kepada Luqman al-Hakim bukan sebagai nubuwwah (kenabian), seperti
terdapat dalam QS. Luqman [31] ayat 12. 16 Konteks al-hikmah pada ayat ini,
diartikan oleh Ibnu Marduyah bersumber dari Ibn Abbas, sebagai akal,
pemahaman, dan kecerdasan.17 Senada dikemukakan Mujahid, hikmah adalah
12
al-Syaikh al-‘Allâmah al-Faqîh Abu al-Hasan Ali bin Khlaf bin Abdul Malik bin
Baththâl al-Bakriy al-Qurthubiy al-Balansiy (selanjutnya disebut Ibn Baththal), Syarh Shahîh al-
Bukhâriy , juz I, tahqîq Abu Tamim Yasir bin Ibrahim (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, t.t.), h. 158;
lihat Ibn Hajar al-‘Asqalâniy, Fath al-Bâriy, jilid I, h. 294.
13
Para ulama membagi hasad menjadi dua macam, yaitu hasad hakiki dan hasad majazi.
Hasad hakiki adalah seseorang berharap nikmat orang lain hilang. Hasad seperti ini diharamkan
berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama) dan adanya dalil tegas yang menjelaskan hal ini.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan hasad majazi adalah ghibthah, yaitu berangan-angan agar
mendapatkan nikmat seperti yang ada pada orang lain tanpa mengharapkan nikmat tersebut hilang.
Lihat al-Imâm Muhyiddin Abu Zakaria Ibn Syaraf al-Nawawiy (selanjutnya disebut al-Nawawiy),
Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawiy, juz VII (Kairo: al-Mathba’ah al-Mishriyyah bi al-Azhâr,
1929), h. 97.
14
al-Imâm al-‘Allâmah Syamsuddin Muhammad bin Yusuf bin Ali al-Kirmaniy
(selanjutnya disebut al-Kirmaniy), al-Kawâkib al-Durariy fi Syar al-Bukhâriy, juz II (Beirut: Dâr
Ihyâ al-Turâts al-‘Arabiy, 1981), h. 41.
15
Hikmah berasal dari bahasa Arab, yaitu “al-hikmah” merupakan ism al-mashdar dari
kata kerja “hakama” yang berarti menahan atau melarang, yakni melarang dari kezaliman. Kata al-
hikmah juga berarti hidayah, sebab menahan kezaliman itu merupakan hidayah dari Allah Swt.
Lihat Abu al-Husain Ibn Fâris Ibn Zakariya, Mu’jam Maqâyîs al-Lughah, Juz II (Beirut: Dâr al-
Fikr, 1979), h. 91. Kata hakama juga berarti melarang untuk suatu tujuan kebaikan, sehingga
dikatakan Luqman mendapat al-hikmah berarti dia memberi peringatan dan menyampaikan semua
hikmah dengan sifat bijak yang dimilikinya. Lihat al-Raghib al-Isfahaniy, Mu’jam Mufradat al-
Fazh al-Qur’an, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 126. Jadi, hikmah secara harfiah berarti ucapan yang
sesuai dengan kebenaran, falsafat, perkara yang benar dan lurus, keadilan, pengetahuan, dan
lapang dada. Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid II (Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1997), h. 112.
16
Abu Ja’far Muhammad bin Jarîr al-Thabariy (selanjutnya disebut al-Thabariy), Tafsîr
al-Thabariy Jâmi’ al-Bayân an Ta’wîl Ây al-Qur’ân, jilid XVII, tahqîq oleh Abdullah bin Abdu al-
Muhsîn al-Tirkiy (Kairo: Markaz al Buhûts wa al-Dirâsât al-‘Arabiyyah wa al-Islâmiyyah bi Dâr
Hijr al-Duktûr Abd al-Sindi Hasan Yamâmah, 2001), h. 546,
17
al-‘Allâmah Abi Fadl Syihâb al-Dîn al-Sayyid Mahmûd al-Alûsiy al-Baghdâdiy
(selanjutnya disebut al-Alûsiy), Rûh al-Ma’ânî fi al-Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm wa al-Sab’i al-
6
akal, kepahaman, dan ketepatan dalam perkataan.18 Qatadah menambahkan
pemahaman terhadap agama, dan perkataan yang benar. 19 Hikmah diartikan juga
sebagai perasaan yang halus, kecerdasan, dan pengetahuan. 20 Hikmah juga
pengetahuan terhadap semua yang maujud dan mengerjakan kebajikan.21
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, hikmah merupakan pemahaman
dan akal serta pelaksanaan dari kedua unsur tersebut. Oleh karena itu, seseorang
tidak bisa disebut sebagai al-Hakîm kecuali ia menggabungkan kedua unsur
tersebut.22 Jadi secara umum, hikmah merupakan pengetahuan yang paling tinggi
nilainya, yakni pengetahuan yang menghubungkan manusia pada pemahaman
tentang dunia dan akhirat. Pendeknya, orang yang mendapatkan hikmah tentunya
mendapatkan kebaikan yang banyak dari Allah.23
Dengan demikian, hikmah merupakan akumulasi dari iman, ilmu dan amal
yang menjadi refleksi kesempurnaan jiwa seseorang. Iman yang kokoh merupakan
cahaya bagi sesorang dalam menjalani kehidupan, sehingga tidak tersesat dalam
menentukan jalan hidupnya dan mampu menentukan baik dan buruk. Ilmu yang
memadai sebagai sarana untuk menjadikan kehidupan seseorang mudah dan
indah. Amal yang sempurna adalah buah dari iman dan ilmu sehingga hidup
seseorang bermanfaat, tidak saja bagi diri pribadi melainkan juga kebaikan bagi
orang lain.
Maka dari itu, keutamaan dan kemuliaan orang yang berilmu ini juga
tercermin dari diperbolehkannya iri (hasad) terhadap orang yang berilmu.
Padahal iri adalah sifat tercela dan tidak layak menjadi perangai orang-orang yang
beriman. Larangan iri salah satunya dikarenakan dampak buruk yang diakibatkan
oleh sifat iri pada diri seorang Mu`min bahkan orang kafir sekalipun, maka sifat
Matsâni, juz XXI (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabiy, t.t.), h. 83.
18
al-Thabariy, Jâmi’ al-Bayân, jilid XVII, h. 545.
19
Imâm Abu Ja’far al-Nuhâs, Ma’âni al-Qur’ân, juz V, tahqîq ‘Ali al-Shâbûniy (Makkah:
al-Jâmi’ah Umm al-Qurâ,1988), h. 282.
20
Abu al-Qâsim bin Mahmûd bin Umar al-Zamakhsyariy (selanjutnya disebut al-
Zamakhsyariy), al-Kasysyâf an Haqâiq Ghawâmidh al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-’Aqâwîl fi Wujûh al-
Ta’wîl, juz V (Riyadh: Maktabah al-‘Ubaikan, 1998), h. 11.
21
al-Alusiy, Rûh al-Ma’ânî, juz XXI, h. 83.
22
Sulaiman Ibn Umar al-Ajiliy al-Syâfi’iy, al-Futûhât al-Ilâhiyyah, Juz II (Beirut: Dâr al-
Fikr, t.t), h. 403.
23
Lihat QS. al-Baqarah [2/87] ayat 269.
7
ini dilarang oleh agama.24 Namun, tidak demikian dengan seseorang yang iri
terhadap orang yang berilmu. Karena iri terhadap orang yang berilmu akan
berdampak positif bagi orang yang iri, maka iri terhadap orang yang berilmu
dibolehkan oleh agama, dan bahkan dipuji.
Secara eksplisit, ungkapan “seseorang yang Allah Subhânahu wa Ta’ala
beri karunia hikmah (ilmu)” dalam hadis di atas menunjukkan bahwa ilmu adalah
cahaya dari Allah Subhânahu wa Ta’ala yang dianugerahkan kepada siapa saja
yang Ia kehendaki.25 Akan tetapi, ilmu itu juga diperoleh melalui sebuah proses
mencermati, membaca dan menganalisa yang dilakukan oleh akal, indera (al-
bashar) dan kalbu (al-bashîrah). Proses ini biasa disebut dengan berfikir. Peroses
penemuan ilmu pengatahuan ini dilakukan dalam berbagai kreativitas dan
aktivitas, diantaranya adalah dengan belajar. Sebagaimana diriwayatkan Thabrani
dari Muawiyah sebagai berikut:
َح َّد َثَنا َأَمْحُد ْبُن اْلَم ْع َلى الِّد َم ْش ِق ِّي َثَن ا ِه َش اُم ْبُن َعَّم اٍر َثَن ا َص ْدَقُة ْبُن َخ اِلٍد َثَن ا
ِه َّل ِهلل َّل ِمَس ِك ٍم
ْعُت َرُسْو َل ا َص ى اُهلل َعَلْي َو َس َم: ُعَتَبُة ْبُن َأيِب َح ْي َعَّم ْن َح َّد َثُه َعْن ُمَعاَو َيَة َقاَل
َو َمْن ُيِر ِد اُهلل ِب ِه َخ ْي ا ُيَف ِّق ْه ُه يِف، َيا َأُّيَه ا الَّنا ِإَمَّنا اْلِعْل َبالَّتَعُلِم َو اْلِف ْق ُه ِبالَّتَف ُّق ِه: َيُق ْو ُل
ًر ُم ُس
26
. َو ِإَمَّنا ْخَيَش ى اَهلل ِم ْن ِعَباِدِه اْلُعَلَم اُء، الِّد ْيِن
Artinya: “Ahmad bin al-Ma’la al-Dimasyqiy menceritakan kepada kami,
Hiyam bin ‘Ammar menceritakan kepada kami, Shadqah bin Khalid menceritakan
kepada kami, ‘Utbah bin Abi Hakim menceritakan kepada kami dari orang yang
24
Hasad terdiri dari dua macam, yaitu hasad madzmûm (tercela) dan hasad mamdûh
(terpuji) dalam setiap keadaan. Hasad madzmûm adalah mengharapkan hilangnya nikmat dari
orang lain, baik dalam urusan-urusan agama atau dalam urusan-urusan keduniawiaan, baik terbesit
dalam hati atau dalam bentuk usaha menghilangkan kenikmatan itu. Inilah hasad yang dilarang
karena ia merupakan sifat tercela. Sedangkan yang dimaksud dengan hasad mamdûh adalah
sebagaimana pengertian hasad dalam hadits tersebut di atas, dan hasad jenis ini masuk dalam bab
Tamannî al-Khair (mengharapkan kebaikan). Lihat Abdurrahman bin Nashir bin Abdullah bin
Nashir bin Muhammad Alu Sa’di, Bahjah Qulûb al-Abrâr wa Qurratu ‘Uyûn al-Akhyâr fî Syarhi
Jawâmi’ al-Akhyâr (Saudi Arabia: Maktabah al-Rusyd, 2002), h. 203.
25
Ilmu pengetahuan juga diperoleh melalui hidayah Allah Subhânau wa Ta’ala, yaitu
berupa firasat, intuisi, dan sejenisnya dengan penyucian hati. M. Quraish Shihab, Wawasan al-
Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat (Jakarta: Mizan, 1998), h. 438.
Berdasarkan proses, ilmu seperti ini disebut juga dengan ilmu laduni , yakni ilmu yang diperoleh
tanpa upaya seperti yang terjadi pada kasus Nabi Khaidir. Lihat Muhammad Daud Ali, Pendidikan
Agama Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), h. 394.
26
al-Hâfizh Abu al-Qâsim Sulaiman bin Ahmad al-Thabrâniy, al-Mu’jam al-Kabîr, juz
IX, tahqîq Hamdi Abdul Majid al-Salafiy (Kairo: Maktabah Ibn Taimiyah t.t), h. 395.
8
menceritakan kepadanya dari Mu’awiyah, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah
saw. telah bersabda: “Wahai orang-orang beriman, sesungguhnya ilmu itu
diperoleh dengan cara belajar, dan kepahaman diperoleh dengan cara memamahi,
dan jika Allah menghendaki kebaikan kepada seseorang, maka Dia akan
menjadikannya sebagai orang yang ahli agama, dan sesungguhnya yang takut
kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (HR. Thabrani).
27
Ibn Hajar al-‘Asqalâniy, Fath al-Bâriy, jilid I, h. 284.
28
Imam al-Bukhari, al-Jâmi’ al-Shahîh, jilid I, h. 41.
29
Abu Bakar bin Jabir al-Jazairi, Aisar at-Tafâsir li al-Kalam al-`Aliy al-Kabîr, jilid IV
(Madinah Al Munawwarah: Maktabah al ‘Ulum al Hikam, 2003), h. 354.
9
Inilah perbedaan tradisi keilmuan Islam dengan Barat yang materialistis.30
Islam membimbing agar ilmu pengetahuan dapat mengantarkan manusia pada
pemilik rahasia alam raya ini, bukan sekadar ilmu untuk ilmu. Seperti
dikemukakan M. Quraish Shihab, semboyan “ilmu untuk (kepentingan) ilmu” dan
ungkapan “ilmu bebas nilai” tidak dikenal dan tidak dibenarkan dalam Islam,
tetapi “ilmu sarat nilai”. Karena itu pula, ilmuwan muslim harus menanamkan
nilai rabbani (nilai ilahiah) pada ilmu pengetahuan.31
Dengan demikian, ilmu harus selalu dibimbing dengan iman, dan
sebaliknya iman harus ditopang dengan ilmu. Dengan meningkatnya ilmu
seseorang, maka akan meningkat kekokohan akidahnya. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman dalam QS. al-Hajj [22]; 54:
30
Kajian terhadap sumber ilmu dalam Islam memadukan bahan-bahan empiris (kealaman)
dan spiritual (kewahyuan). Pemaduan kedua bahan inilah yang akan memunculkan konsep
epistemologi Islam yang berbeda dengan konsep epistemologi Barat. Menurut Mujamil Qomar,
kiblat epistemologi Barat yang mengistimewakan peranan manusia dalam memecahkan “segala
sesuatu”, dan dalam waktu bersamaan menentang dimensi spritual yang kemudian menjadi sumber
krisis epistemologi yang berimplikasi pada krisis pengetahuan, maka ada upaya untuk mencari
pemecahan dengan mempertimbangkan epistemologi lain. Sedangkan epistemologi Islam yang
diformulasikan berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah merupakan respons kreatif terhadap
tantangan modern yang membahayakan kehidupan dan keharmonisan manusia sebagai akibat
epistemologi Barat. Lihat Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam Dari Metode Rasional
Hingga Metode Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2005), h. 103.
31
M. Quraish Shihab, h. 440.
10
akhlak, yakni suatu kondisi yang sangat sadar dan mengerti posisinya dalam
kesemestaan ini. Dari kondisi seperti ini, ia benar-benar paham dan mengerti
kebesaran dan keagungan Sang Maha Pencipta.
2. Sumber-sumber Ilmu
Setelah mengetahui hakikat ilmu pengetahuan dalam perspektif hadis,
maka Islam pun telah mengatur dan menggariskan kepada umatnya agar tidak
salah dan tersesat dengan memberikan bingkai sumber pengetahuan berdasarkan
urutan kebenarannya menurut hadis Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam
sebagai berikut.
a. Ayat-ayat Tanziliyyah (Alquran dan Sunnah)
Seperti disebutkan sebelumnya, ilmu yang benar diperoleh berdasarkan
dari sumber yang benar pula, yaitu Alquran dan Sunnah Rasulullah sahallallahu
‘alaihi wasallam. Pengertian ini menegaskan bahwa kedua sumber pokok tersebut
menjadi sumber utama ilmu pengetahuan Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah
shallallhu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Imam Malik dan al-Hakim
sebagai berikut:
Menurut Yahya bin Laits, sanad hadis ini lemah karena terdapat Ismail bin
Abi Uwais yang dianggap lemah di kalangan ahli hadis dan tidak termasuk dalam
kriteria shahih Bukhari dan Muslim. Meski demikian, hadis ini sangat dikenal dan
masyhur di kalangan ahli hadis bersumber dari Nabi Muhammad sahallallahu
32
al-Imâm Malik bin Anas (selanjutnya disebut Imam Malik), al-Muwaththa’, jilid II,
biriwayah Yahya bin Yahya al-Laitsiy al-Andalûsiy (Beirut: Dâr al-Gharb al-Islâmiy, 1997), h.
480. Lihat al-Imâm al-Hâfizh Abu Abdillah al-Hâkim al-Naisâbûriy, al-Mustadrak ‘alâ al-
Shahîhaini, Juz. I (Kairo: Dâr al-Haramain li al-Thaba’ wa al-Nasyr wa al-Tauzî’, 1997), h. 161.
11
‘alaihi wasallam. Dari segi makna, keshahihan hadis ini tidak diragukan lagi
karena Allah Swt. telah menggariskan dalam Alquran agar taat kepada-Nya dan
Rasul-Nya. Di samping itu, terdapat banyak ayat Alquran yang memerintahkan
kepada kita agar taat kepada Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam dan
berpegang kepada Sunnahnya.33
Kandungan matan hadis ini menunjukkan pada kenyataan bahwa Nabi
sahallallahu ‘alaihi wasallam telah meninggalkan dua pusaka, yaitu kitab Allah
dan sunnahnya untuk dijadikan pedoman dalam menempuh jalan yang benar,
tidak sesat dan menyesatkan. Ada dua kata penting dalam hadis ini, yaitu kitab
Allah dan sunnah. Kitab Allah adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad sahallallahu ‘alaihi wasallam melalui perantaraan malaikat Jibri as.,
yaitu Alquran. Sedangkan al-Sunnah dalam perspektif ahli hadis adalah setiap
perkataan, perbuatan, persetujuan, sifat fisik, akhlak, atau perjalanan hidup yang
diriwayatkan dari Nabi Muhammad sahallallahu ‘alaihi wasallam, baik sebelum
menjadi rasul maupun sesudahnya.34
Hadis ini menegaskan bahwa berpegang teguh kepada Alquran dan
Sunnah adalah mutlak bagi umat Islam. Sebab, tidak ada kebenaran kecuali dari
keduanya, tidak ada hidayah atau petunjuk selain dari keduanya, dan keselamatan
bagi yang senantiasa berpegang teguh kepada keduanya. Alquran dan Sunnah
merupakan kebajikan dan dalil yang sangat jelas dalam menunjukkan segala yang
hak dan batil. Oleh karena itu, wajib untuk berpegang atau merujuk kepada
keduanya, terutama dalam permasalahan agama.35
Ibn Abd al-Barr ketika menjelaskan hadis ini mengatakan bahwa yang
dinamakan petunjuk adalah semua aspek yang mengacu kepada Alquran dan
Sunnah Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam yang menjelaskan maksud dan
keinginan Alquran. Apabila secara zahir sulit dipahami dalam Alquran, maka
Sunnah Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan maksud dan tujuan
33
Imam Malik, al-Muwaththa’, biriwayah Yahya bin Yahya al-Laitsiy al-Andalûsiy, jilid
II, h. 480. Lihat juga jjuz Xxi, h. 631.
34
Muhammad Ajjâj al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts Ulûmuhu wa Mushthalahuhu (Beirût:
Dâr al-Fikr,1989), h. 19.
35
Muhammad Abd al-Baqi ibn Yusuf al-Zarqani al-Mishry al-Azhariy al-Maliky, Syarh
al-Zarqâniy ‘ala al-Muwaththa’ al- Imam Malik, juz IV (t.t.: al-Mathba’ah al-Khairiyyah, t.t.), h.
86-87.
12
Alquran tersebut.36 Senada dikemukakan al-Bâjiy, Rasulullah saw. menjelaskan
tentang dua perkara ini (Alquran dan Sunnah), maksudnya adalah bahwa apa yang
telah disunnahkan, disyariatkan, dan disampaikannya kepada kita tentang halal,
haram, dan lainnya telah terdapat dalam Alquran dan Sunnah. Maka apabila tidak
terdapat pada keduanya adalah sesuatu yang tidak dapat diterima.37
Segala aspek kehidupan manusia telah dijelaskan dalam Alquran dan
Sunnah, baik dalam hubungannya dengan sang Khaliq (hablum minallah),
hubungan manusia dengan sesama manusia (hablum minannas), maupun tata cara
hubungan manusia dengan alam sekitar. Ayat-ayat al-Qur’an adakalanya
menjelaskan secara lansung tentang suatu hukum (qat’i) dan adakalanya
memerlukan penafsiran lebih lanjut (zhanni). Di sinilah hadits-hadits Nabi
berperan sebagai penerang lebih lanjut untuk menjelaskan ayat-ayat yang bersifat
samar (zhanni).
Menurut Azyumardi Azra, Alquran dan Sunnah merupakan sumber bagi
ilmu-ilmu Islam, dalam pengertian yang seluas-luasnya. Lebih khas lagi, kedua
sumber pokok Islam ini memainkan peran ganda dalam penciptaan dan
pengembangan ilmu-ilmu. Pertama, prinsip-prinsip seluruh ilmu dipandang kaum
Muslim terdapat dalam Alquran. Dan sejauh pemahaman terhadap Alquran,
terdapat pula penafsiran yang bersifat esoteris (ma’nawi) terhadap Kitab suci ini,
yang memungkinkan tidak hanya pengungkapan misteri-misteri yang
dikandungnya, tetapi juga pencarian makna secara lebih mendalam, yang berguna
untuk pengembangan paradigma ilmu. Kedua, Alquran dan Sunnah menciptakan
iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dengan menekankan
kebajikan dan keutamaan menuntut ilmu; pencarian ilmu dalam segala apapun
berujung pada penegasan Tauhid-Keunikan dan Keesaan Tuhan. Karenanya,
seluruh metafisika dan kosmologi yang terbit dari kandungan Alquran dan Sunnah
merupakan dasar pembangunan dan pengembangan ilmu Islam. Kedua sumber
36
al-Imâm al-Hâfiz Abu Umar Yusuf bin Abdullah Ibn Muhammad bin Abd al-Barr al-
Namiriy al-Andalûsiy (selanjutnya disebut Ibn Abd al-Barr), al-Istidzkâr, Juz XXVI (Beirut: Dâr
Qutaibah li al-Thaba’ wa al-Nasyr, 1993), h. 98-99.
37
al-Qâdhiy Abu al-Walîd Sulaiman bin Khalaf bin Sa’ad bin Ayyub al-Bâjiy, al-Muntaqâ
Syarh Muwathha’ Mâlik, juz VIII, tahqîq Muhammad Abd al-Qâdir Ahmad Atha’ (Beirut: Dâr al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), h. 270.
13
pokok ini, singkatnya, menciptakan atmosfer khas yang mendorong aktivitas-
aktivitas intelektual dalam komformitas dengan semangat ilmu.38
Menurut Muhammad al-Maliki al-Hasani, Alquran adalah ensiklopedi
pertama yang pernah dikenal manusia. Alquran adalah kitab suci yang tidak ada
kepalsuan. Kandungan berisi segala macam ilmu pengetahuan yang digali umat
Islam sepanjang masa.39 Hal ini ditegaskan oleh Allah Subhânahu wa Ta’ala
dalam Alquran di antaranya:
Artinya: “Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-
burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti
kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada
Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (QS. al-An’am [6]: 38).
38
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,
(Jakarta: Logos wacana Ilmu, 2002), cet. 4, h. 13. Lihat juga Deden Makbuloh, Pendidikan
Islam:Arah Baru Pengembangan Ilmu dan Kepribadian di Perguruan Tinggi, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2011), cet. 1, h. 171.
39
Muhammad al-Maliki al-Hasani, Kemuliaan dan Kesempurnaan Pribadi Muhammad
SAW, terj. Muhammad Al Mighwar, (Bandung: Pustaka Pelajar, 2006), h. 370.
14
kepadaku.” Ibnu Abi Dunya berkata, “Ilmu al-Qur’an dan pengetahuan yang
didapat darinya seperti lautan yang tak bertepi.”40
Sedangkan Sunnah sebagai sumber ilmu pengetahuan dapat disinyalir dari
hadis shahih yang menyatakan bahwa para nabi tidak mewariskan dinar dan
dirham, melainkan mewariskan ilmu. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallhu
‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Tirmidzi dari Abu
Darda sebagai berikut:
ِمَس ْعُت َعاِص َم ْبَن َرَج اِء ْبِن، َح َّد َثَنا َعْبُد الَّلِه ْبُن َداُو َد،َح َّد َثَنا ُمَس َّد ُد ْبُن ُمَس ْر َه ٍد
ُك ْنُت َج اِلًس ا َم َع َأىِب: َق اَل، َعْن َك ِث ِري ْبِن َقْيٍس، َعْن َداُو َد ْبِن ِمَج يٍل، َح ْيَو َة َحُيِّد ُث
ِإىِّن ِج ْئُتَك ِم ِديَن ِة، ا َأ ا الَّد اِء: َق اَل، الَّد اِء ىِف ِج ِد ِد
ْن َم َفَج اَءُه َرُج ٌل َف َي َب ْر َد، َم ْش َق ْر َد َمْس
الَّر ُس وِل صلى اهلل عليه وسلم َحِلِديٍث َبَلَغىِن َأَّنَك َحُتِّد ُثُه َعْن َرُس وِل الَّل ِه صلى اهلل عليه
« : َف ِإىِّن ِمَس ْعُت َرُس وَل الَّل ِه صلى اهلل عليه وسلم َيُق وُل: َق اَل، َم ا ِج ْئُت َحِلاَج ٍة،وسلم
َو ِإَّن اْلَم َالِئَك َة،َمْن َس َلَك َطِر يًق ا َيْطُلُب ِفيِه ِعْلًم ا َس َلَك الَّل ُه ِب ِه َطِر يًق ا ِم ْن ُط ُر ِق اَجْلَّن ِة
ِإَّن اْلَع ا َلَي َتْغِف َل ُه َمْن ىِف الَّس اِت َمْن ىِف، َلَتَض َأْج ِنَح َتَه ا ِر ًض ا ِلَط اِلِب اْلِعْلِم
َمَو َو َمِل ْس ُر َو ُع
ِإَّن َفْض اْلَع اِمِل َعَلى اْلَعاِبِد َك َفْض ِل اْلَق ِر َلْيَل َة اْلَب ْد ِر، اَألْر ِض اِحْليَتاُن ىِف َجْو ِف اْل اِء
َم َل َم َو َو
ِء
َو ِإَّن اَألْنِبَي اَء ْمَل ُيَو ِّر ُث وا ِديَن اًر ا َو َال، َو ِإَّن اْلُعَلَم اَء َو َر َث ُة اَألْنِبَي ا، َعَلى َس اِئِر اْلَك َو اِكِب
41 ِف
. َفَمْن َأَخ َذ ُه َأَخ َذ َحِبٍّظ َو ا ر، َو َّر ُثوا اْلِعْلَم،ِدْر ًمَها
Artinya: “Musaddad bin Musarhad telah menceritakan kepada kami,
Abdullah bin Daud telah menceritakan kepada kami, aku mendengar ‘Ashim bin
Raja’ bin Haiwah bercerita, dari Daud bin Jamil, dari Katsir bin Qais, ia berkata:
“Aku duduk bersama Abu Darda di Masjid Demaskus, seseorang
menghampirinya dan berkata: “Wahai Abu Darda! Sesungguhnya aku
mendatangimu dari kota Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam (Madinah)
untuk mendapatkan sebuah hadis, bukan untuk keperluan lain, karena itu
sampaikanlah kepadaku sebuah hadis yang engkau ketahui dari Rasulullah
40
Maulana Muhammad Zakariyya al-Khandalawi (selanjutnya disebut al-Khandalawi),
Himpunan Fadhilah Amal, terj. A. Abdurrahman Ahmad, (Yogyakarta: Ash-Shaff, 2003), h. 573.
41
al-Imâm al-Hâfizh Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sijastâniy al-Azadiy
(selanjutnya disebut Imam Abu Daud), Sunan Abu Daud, Juz IV, I’dâd wa Ta’lîq ‘Izzat ‘Ubaid al-
Da’âs dan Adil al-Sayyid (Beirut: Dâr Ibn Hazam, 1997), h. 39-40. Lihat al-Imâm al-Hâfizh Abu
Isa Muhammad bin Isa bin Saurah al-Tirmidziy (selanjutnya disebut Imam Tirmidzi), al-Jâmi’ al-
Shahîh wa Huwa Sunan al-Tirmidziy, juz V, tahqîq Ibrahim ‘Uthwah ‘Iwadh (Mesir: Syirkah
Maktabah wa Mathba’ah Musthafâ al-Bâbiy al-Halabiy wa Awlâduh, 1975), h. 48.
15
sahallallahu ‘alaihi wasallam. Abu Darda radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku
pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan
memudahkan jalannya ke surga. Dan sesungguhnya malaikat membentangkan
sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena puas dengan apa yang
diperbuatnya, dan bahwasanya penduduk langit dan bumi, bahkan ikan di dalam
air itu senantiasa memintakan ampunan bagi orang yang berilmu. Kelebihan orang
‘alim terhadap ‘abid (orang yang beribadah tapi tidak pandai/berilmu) adalah
bagaikan kelebihan bulan purnama terhadap bintang-bintang yang lain.
Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi dan bahwasanya para nabi itu tidak
mewariskan dinar dan dirham (kekayaan duniawi), tetapi para nabi mewariskan
ilmu pengetahuan, maka barang siapa yang mengambil (menuntut) ilmu, maka ia
telah mengambil bagian yang sempurna.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan lain-lain
dengan sanad hasan lighairih.42 Hadis ini dishahihkan oleh Al-Hakim dan Ibnu
Hibban, demikian juga al-Albâniy43).
42
al-Hâfizh Dhiyâ’ al-Dîn Muhammad bin Abd al-Wâhid al-Maqdisiy, Fadhâil al-‘A’mâl,
Juz IV, tahqîq Ghassân Isa Muhammad Hermâs (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1987), h. 557.
43
Imam Tirmidzi, Sunan al-Tirmidziy, biahkâm al-‘Allâmah al-Muhaddits Muhammad
Nâshir al-Dîn al-Albâniy (Riyadh: Maktabah al-Ma’ârif li al-Nasyr wa al-Tauzi’, t.t), h. 604.
44
al-Khandalawi, h. 573.
45
al-Syekh Khalil Ahmad al-Sahhâranfûriy (selanjutnya disebut al-Sahhâranfûriy), Badzl
al-Majhûd fi Halli Abi Daud, juz XV (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 329.
46
Abu al-Thayyib Muhammad Syams al-Haqq al-‘Azhîm Âbâdiy (selanjutnya disebut
Âbâdiy), ‘Aun al-Ma’bûd: Syarh Suanan Abi Daud, Juz X, ta’lîq al-Hâfizh Ibn Qayyim al-
16
Menurut Ibn al-Qayyim, hal ini menunjukkan kesempurnaan para nabi dan
besarnya kebaikan mereka terhadap umat, serta menunjukkan kesempurnaan
nikmat Allah subhanahu wata’ala kepada mereka. Dengan demikian, umat mereka
harus menghilangkan penyakit hati yang membuat seseorang berpikir bahwa para
nabi adalah seperti raja yang menginginkan dunia dan kemewahannya. Karena
pada umumnya manusia menginginkan kemewahan dunia untuk anaknya
sepeninggalnya sehingga ia rela bersusah payah membanting tulang untuk
anaknya, maka sabda Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam di atas
menunjukkan bahwa Allah subhanahu wata’ala menghindarkan para nabi dan
rasul dari anggapan semacam itu.47
Konteks para nabi mewariskan ilmu kepada generasi berikutnya juga
disebutkan Allah dalam beberapa ayat, di antaranya adalah:
17
pemiliknya, maka kebaikannya akan tetap sampai kepada pemiliknya untuk
selamanya, sedangkan hal-hal lainnya akan hilang dan sia-sia.
َق اَل، ِكَالَمُها َعِن اَألْس َو ِد ْبِن َع اِم ٍر، َح َّد َثَنا َأُبو َبْك ِر ْبُن َأىِب َش ْيَبَة َو َعْم ٌر و الَّناِق ُد
، َعْن َأِبيِه، َح َّد َثَنا َّمَحاُد ْبُن َس َلَم َة َعْن ِه َش اِم ْبِن ُع ْر َو َة، َح َّد َثَنا َأْس َو ُد ْبُن َع اِم ٍر: َأُبو َبْك ٍر
. َأَّن الَّنَّىِب صلى اهلل عليه وسلم َم َّر ِبَق ْو ٍم ُيَلِّق ُح وَن، َعْن َأَنٍس، َعْن َعاِئَش َة َو َعْن َث اِبٍت
: َم ا ِلَنْخ ِلُك ْم ؟ َق اُلوا: َفَق اَل. َفَخ َر َج ِش يًص ا َفَم َّر ِهِبْم: َق اَل. َل ْو ْمَل َتْف َعُل وا َلَص ُلَح: َفَق اَل
50
. َأْنُتْم َأْع َلُم ِبَأْم ِر ُدْنَياُك ْم: ُقْلَت َك َذ ا َو َك َذ ا! َقاَل
Artinya: “Ab Bakar bin Abi Syaibah dan Amr al-Nâqid menceritakan
kepada kami, keduanya (meriwayatkan) dari al-Aswad bin Amir. Abu Bakar
berkata: “Aswad bin Amir menceritakan kepada kami, Hammad bin Salamah
menceritakan kepada kami dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah,
dari Tsabit, dari Anas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama berpapasan
dengan sekolompok orang yang sedang mengawinkan pohon kurmanya. Lalu
beliau bersabda, “Seandainya kalian tidak melakukan (itu) niscaya hal itu akan
tetap baik.” Anas berkata: “Lalu muncullah kurma mentah yang buruk
kualitasnya. Suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama berpapasan dengan
mereka, beliau bertanya, “Ada apa dengan kurma kalian?” Mereka menjawab,
“Kurmanya buruk kualitasnya padahal Anda dahulu mengatakan ini dan itu!”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda: “Kalian lebih mengetahui urusan
dunia kalian.” (HR. Imam Muslim)
50
Imam Muslim, Shahîh Muslim, jilid II, h. 426-427.
18
Cuplikan kisah di atas menggambarkan ketidaktepatan sabda Rasulullah
sahallallahu ‘alaihi wasallam dengan kenyataan. Beliau mengatakan, “Jika kalian
tidak melakukan hal itu (penyerbukan), niscaya baik”. Nyatanya, setelah mereka
meninggalkan penyerbukan itu, keluarlah buah kurma jelek, kering dan jatuh.
Apakah Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam keliru? Pertanyaan ini bisa
berimplikasi fatal jika dipahami dengan mentah-mentah dan sepotong-sepotong,
sehingga hadis ini diartikan sebagai pembenaran Rasulullah sahallallahu ‘alaihi
wasallam bahwa urusan dunia sepenuhnya diatur menurut selera masing-masing.
Hadis ini sama sekali bukan pembenaran terhadap sekularisme.
Pemahaman bahwa hadis ini sebagai penyerahan urusan dunia kepada masing-
masing individu bermula dari pemahaman yang terpotong. Memahami
keseluruhan hadits tersebut hanya dari potongan kalimat antum a’lamu bi amri
dunyâkum merupakan pelanggaran terhadap etika berpikir. Tidak etis, jika kita
memahami pernyataan seseorang, apalagi sabda Nabi, tidak dari konteksnya.
Soalnya, konteks merupakan qarinah yang menuntun kepada apa sebenarnya yang
dimaksudkan oleh penuturnya.
Melihat konteks kalimat, posisi antum a’lamu bi amri dunyâkum dalam
hadits tersebut bukan sebagai tasyri’, tapi i‘tidzar (dalih) Rasulullah sahallallahu
‘alaihi wasallam atas ketidaksesuaian pandangan beliau dengan kenyataan.
Indikasi i’tidzar itu juga didukung oleh riwayat-riwayat lain yang senada.
Diriwayatkan oleh Thalhah dari ayahnya: “Aku bersama Rasulullah
sahallallahu ‘alaihi wasallam lewat di antara orang-orang yang sedang memanjat
pohon kurma. “Apa yang mereka lakukan?” tanya Rasul. “Menyerbukkan kurma,”
jawab sahabat. Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Menurut
dugaanku, itu tidak memberi pengaruh apa-apa”. Sahabat memberitahukan sabda
Rasul tersebut kepada para pemanjat. Mereka meninggalkan pekerjaan itu. Lalu
sahabat memberitahukan hal tersebut kepada Rasul. Rasulullah sahallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Jika hal itu berguna, maka lakukanlah. Aku hanya
berpraduga. Jangan kau memegang pradugaku, tapi jika aku menyampaikan
sesuatu dari Allah, maka ambillah. Sesungguhnya aku takkan berdusta atas
19
Allah.”51 Hadis senada juga dari ‘Ikrimah bin ‘Ammar, dalam hal ini Rasulullah
sahallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku ini seorang manusia. Jika aku
memerintahkan urusan agama kepada kalian, maka kerjakanlah. Bila aku
memerintahkan sesuatu dari pendapatku, maka aku ini adalah manusia.”52
Imam al-Nawawi dalam syarahnya, mengkhususkan hadis ini hanya dalam
urusan duniawi dan mata pencaharian, bukan dalam urusan syariat dan
pemberlakuannya. Urusan duniawi yang dimaksud adalah hanya berkisar hal-hal
yang disabdakan beliau tidak dalam konteks tayri’ (menjadikan peraturan).
Sedang ijtihad beliau mengenai urusan duniawi dalam konteks tasyri’, wajib
dijadikan sebagai pedoman. Sementara mengawinkan pohon kurma tidak
termasuk dalam konteks tasyri’, tetapi masuk dalam konteks permasalahan
duniawi semata dan Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam tidak menilai apa
yang disabdakannya terkait dengan pengawinan pohon kurma tersebut sebagai
sebuah syariat.53
Para ulama mengatakan bahwa sabda Nabi sahallallahu ‘alaihi wasallam
tentang mengawinkan pohon kurma tersebut bukanlah sebuah khabar (hadis atau
pemberitaan wahyu), melainkan perkataan beliau yang berdasarkan asumsi atau
dugaan pribadi semata. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam dua hadis di atas. 54
Selanjutnya, para ulama mengatakan bahwa pendapat dan perkiraan pribadi Nabi
sahallallahu ‘alaihi wasallam dalam urusan penghidupan duniawi itu sama halnya
dengan pendapat dan praduga manusia lainnya. Oleh karena itu, hal seperti ini
tidak boleh dianggap mustahil dan sama sekali bukanlah merupakan cacat. Itu
terjadi karena semangat dan ambisi mereka (para sahabat) selalu terfokus pada
akhirat, sehingga kurang perhatian terhadap urusan duniawi. 55 Sebaliknya, ahli
dunia yang senantiasa berorientasi kepada kehidupan duniawi dan lalai terhadap
akhiratnya.
51
Imam Muslim, Shahîh Muslim, jilid II, h. 426.
52
Imam Muslim, Shahîh Muslim, jilid II, h. 426.
53
al-Nawawiy, Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawawiy, Juz XV, h. 116.
54
al-Nawawiy, Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawawiy, h. 116. Lihat juga al-Imâm al-Hâfizh
Abu al-Fadhl ‘Iyâdh bin Musa bin‘Iyâdh al-Yahshabiy, Ikmâl al-Mu’lim bi Fawâid Muslim, juz
VII, tahqîq Yahya Ismail (al-Manshurah: Dâr al-Wafâ li al-Thaba’ah wa al-Nasyr wa al-Taujî’,
1998), h. 334
55
Musa Syâhîn al-Atsîn, Fath al-Mun’im: Syarh Shahîh Muslim, juz IX (Kairo: Dâr al-
Syurûq, 2002), h. 231.
20
Al-Hasil, semuanya sepakat bahwa hadits ini tidak bisa dipahami hanya
pada potongan kalimat antum a’lam bi amri dunyâkum. Tapi, harus dipahami
sesuai konteks kalimat. Secara lafdhiyah dan haliyah, terdapat qarinah yang
mengindikasikan bahwa hadis ini tidak bisa dijadikan dalil pemasrahan urusan
dunia kepada masing-masing orang.
Kasus penyerbukan kurma, jelas diserahkan kepada ahli kurma. Seperti
Nabi sahallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya pada Salman Alfarisi dalam
strategi perang, yang kemudian Nabi sahallallahu ‘alaihi wasallam mengikuti
saran membuat parit mengelilingi kota. Makanya sering kali sahabat bertanya dulu
pada Nabi sahallallahu ‘alaihi wasallam, apakah yang dikatakan Nabi
sahallallahu ‘alaihi wasallam itu dari wahyu atau bukan? Kalau wahyu, langsung
mereka diam dan taat. Kalau pendapat pribadi, maka sahabat mengajak Nabi
sahallallahu ‘alaihi wasallam diskusi mencari ide yang lebih baik.
Jadi, alam semesta sebagai sumber ilmu pengetahuan menurut hadis-hadis
di atas sudah sangat jelas pada beberapa potongan kalimat dalam kasus
penyerbukan pohon kurma, yaitu: “Jika hal itu bermanfaat bagi mereka, maka
silakan mereka melakukakannya”, dan “kalian lebih mengetahui urusan dunia
kalian.” Hal ini mengindikasikan bahwa manusia diberi otoritas sepenuhnya untuk
memanfaatkan semua yang diciptakan Allah, baik yang ada di darat dan di laut,
bahkan di udara untuk kemaslahatan dan kesejahteraan hidup manusia itu
sendiri. Untuk bisa memanfaatkan semua itu jelas diperlukan ilmu pengetahuan.
Di samping itu, ungkapan tersebut mengindikasikan pemikiran, pengalaman,
penelitian, percocabaan, dan lain-lain dalam menemukan ilmu pengetahuan yang
benar.
Alam semesta, bumi, langit beserta segala isinya, Allah Subhânahu wa
Ta’ala peruntukkan kepada manusia. Manusia sesuai dengan kehadirannya di
muka bumi sebagai khalifah, diberi wewenang dan hak untuk mengelolah dan
memanfaatkannya, untuk kebahagian lahir dan bathin. Sebagaimana Firman-Nya:
21
Artinya: “Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah
menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi
dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara
manusia ada yang membantah tentang (ke-Esaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan
atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.” (QS. Lukman [31]:
20).
56
Azyumardi Azra, h. 9.
22
Senada dikemukakan Burhanuddin Abdullah, Alquran dan Sunnah sebagai
dasar dan sumber pendidikan Islam selalu relavan dan sesuai dengan situasi dan
kondisi perubahan zaman. Artinya, Alquran dan Sunnah memiliki makna atau
tafsir yang kontekstual dinamis.57 Oleh karena itu, para ahli pendidikan Islam
dituntut untuk selalu menggali kedua sumber tersebut untuk mengembangkan
pendidikan Islam agar seirama dengan perkembangan kebudayaan, sains dan
teknologi modern.
Di samping itu, studi emperis terhadap alam dan kehidupan manusia
semestinya juga mendapatkan prioritas yang sama dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan pendidikan Islam. Adanya ayat-ayat kauniyah tersebut tidak
dapat diabaikan begitu saja tanpa mendistorsi cakupan makna Alquran dan
Sunnah. Studi empirik interdisepliner dapat memahami kandungan ayat-ayat
tanziliyah (Alquran dan Sunnah) dengan utuh.58
3. Pemanfaatan Ilmu
Pemanfaatan ilmu pengetahuan adalah suatu keharusan dan bahkan wajib
dalam Islam. Sebab, ilmu yang telah miliki akan diminta pertanggungjawaban
tentang pemanfaatannya kelak di akhirat. Sebagaimana ditegaskan oleh Nabi
Muhammad sahallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya sebagi berikut:
َح َّد َثَنا َأُبو َبْك ِر ْبِن، َأْخ َبَر َن ا اَألْس َو ُد ْبُن َع اِم ٍر، َح َّد َثَنا َعْب ُد اِهلل ْبِن َعْب ِد ال َّرمْح ِن
َقاَل: َقاَل، َعَّي اٍش َعِن اَألْع َم ِش َعْن َس ِعْيِد ْبِن َعْب ِد اِهلل ْبِن ُج َر ْيٍج َعْن َأيِب َبْر َز َة اَألْس َلِم ِّي
َرُس ُل اِهلل َص َّلى اُهلل َعَلْي ِه َس َّل اَل َتُزْو َل َق َد َم ا َعْب ٍد َي َم اْلِق َياَم ِة َح ىَّت َأَل َعْن ُعْم ِرِه
ُيْس ْو َو َم ْو
ِج ِمِه ِف ِلِه ِم ِع ِم ِه ِف ِف
َو َعْن ْس، َو َعْن َم ا ْن َأْيَن اْك َتَس َبُه َو ْيَم َأْنَفَق ُه، َو َعْن ْل ْيَم َفَع َل،ْيَم ا َأْفَن اُه
ِف
ْيَم َأْبَالُه
59
57
Burhanuddin Abdullah, Pendidikan Islam Sebagai Sebuah Disiplin Ilmu (Yogyakarta:
Pustaka Prisma, 2010), h. 64.
58
Didiek Ahmad Supadie, ed. Pengantar Studi Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2011), h. 256.
59
Imam al-Tirmidziy, al-Jâmi’ al-Shahîh wa Huwa Sunan al-Tirmidziy, juz IV, h. 612.
Lihat al-Imâm al-Hâfizh Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman bin al-Fadhl bin Bahram al-
Dârimiy, Sunan al-Dârimiy, juz I, tahqîq Husein Salim Asad al-Dârâniy (Riyadh: Dâr al-Mughniy
li al-Nasyr wa al-Tauzî’, 2000), h. 543.
23
Artinya: “Abdullah bin Abdurrahman menceritakan kepada kami, al-
Aswad bin ‘Amir mengabarkan kepada kami, Abu Bakar bin ‘Ayyâs
menceritakan kepada kami dari al-‘A’masy, dari Sa’id bin Abdullah bin Juraij,
dari Abu Barzah al-Aslamiy, dia berkata: Rasulullah sahallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada
hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya
kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang
hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang
tubuhnya untuk apa digunakannya.” (al-Tirmidzi menyatakan bahwa hadis ini
hasan-shahih. Sedangkan menurut Husein Salim Asad hadis ini shahih dengan
sanad yang hasan, karena terdapat Abu Bakar bin ‘Ayyâs, sebagimana
diriwayatkan al-Dârimiy).
24
akan meninggalkan amal perbuatan, dan dia akan tetap tinggal tanpa memberikan
manfaat apa pun. Jika demikian nilai apa yang dimiliki seorang manusia yang
mempunyai segudang teori dan pengetahuan namun tidak mempraktikkannya
dalam dunia nyata. Kondisi seperti ini bisa menjadi bumerang dan bahkan
dimurkai Allah, sebagai firman-Nya:
25
Artinya: “Muhammad bin Ismail menceritakan kepada kami, Abu Na’im
menceritakan kepada kami, Ubadah bin Muslim menceritakan kepada kami,
Yunus bin Khabbab menceritakan kepada kami dari Sa’id al-Thâiy Abu al-
Bakhtariy, ia berkata: Abu Kabsyah al-Anmariy mencerikan kepadaku bahwa ia
mendengar Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ada tiga perkara
yang aku bersumpah atasnya dan kuberitahukan kepada kalian suatu hadis, maka
peliharalah itu, beliau bersabda: “Tidaklah harta seseorang itu akan menjadi
berkurang sebab disedekahkan, tidaklah seorang hamba dianiaya dengan suatu
penganiayaan dan ia bersabar dalam menderitanya melainkan Allah
menambahkan kemuliaan padanya, dan tidaklah seorang hamba itu membuka
pintu permintaan, melainkan Allah membuka untuknya pintu kemiskinan, atau
sejenisnya." Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam melanjutkan, dan
kuberitahukan kepada kalian suatu hadis, maka peliharalah itu, beliau bersabda:
“Sesungguhnya di dunia ini ada empat golongan manusia. Pertama, manusia yang
diberi oleh Allah harta dan ilmu. Kemudian (harta dan ilmu tersebut) dia gunakan
untuk bertakwa kepada Tuhannya dan berusaha untuk menggapai rahmat-Nya.
Dia tahu bahwa dalam harta dan ilmu tersebut Allah memiliki hak. Maka, orang
ini mendapatkan tempat yang paling mulia (di sisi Tuhannya). Kedua, manusia
yang diberi oleh Allah ilmu, namun tidak diberi harta. Orang ini memiliki niat
yang suci, dan ia berkata, ‘Andai saja aku memiliki harta maka aku akan gunakan
seperti si fulan (disedekahkan dan digunakan untuk kebaikan).’ Maka atas niatnya
ini ia mendapatkan pahala seperti orang yang menafkahkan hartanya dalam
kebaikan. Ketiga, manusia yang diberi oleh Allah harta, namun tidak diberi ilmu.
Dia menggunakan hartanya tanpa disertai ilmu dan dia tidak bertakwa kepada
Tuhannya (dia bersedekah untuk pamer dan riya). Dia tidak tahu bahwa dalam
harta tersebut Allah memiliki hak. Maka, orang seperti ini mendapatkan tempat
yang paling hina. Keempat, manusia yang tidak diberi oleh Allah harta dan ilmu.
Dia berkata, ‘Andai saja aku memiliki harta, maka akan aku gunakan seperti si
fulan (untuk maksiat, pamer, dan riya), maka dengan niatnya ini dia akan
mendapatkan imbalan sama seperti orang yang didambakannya.” (HR. Tirmidzi
dan Ahmad. Tirmidzi menyatakan hadis ini hasan shahih, sementara al-Albaniy
menyatakan shahih).
26
dengan ilmu, tidak akan memberikan manfaat kecuali diamalkan dan dan
diaplikasikan untuk kemaslahatan.
Berdasakan konteks bahasan tulisan ini, orang yang diberi oleh Allah
Subhânahu wa Ta’ala anugerah ilmu pengatahuan dan mengamalkannya
menempati posisi yang paling mulia di sisi Tuhannya. Derajat tinggi ini diperoleh
karena pemanfaatan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh untuk beribadah
kepada Allah Subhânahu wa Ta’ala dalam arti yang seluas-luasnya.
Dengan demikian, ilmu baru bisa disebut sebagai ilmu jika diamalkan.
Sebab, tidak ada ilmu yang berguna tanpa amal, dan tidak ada amal yang
bermanfaat tanpa ilmu. Maka, tujuan pemanfaatan ilmu pengetahuan adalah untuk
kesejahteraan, ketenangan, dan ketenteraman umat manusia, bukan sebaliknya
untuk mengahancurkan kehidupan dan melawan Tuhan.
Implikasinya terhadap pendidikan Islam adalah agar selalu menanamkan
kepada para stake holder bahwa usaha untuk mempelajari, menggali, dan
mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dalam rangka pengabdian kepada Allah
Subhânahu wa Ta’ala sebagai Khaliq (Pencipta) ilmu pengetahuan.
C. PENUTUP
KESIMPULAN
27
mengenai alam serta isinya. Ilmu pengetahuan dalam konsep Islam dapat
mengantarkan manusia pada pemilik rahasia alam raya ini, bukan sekadar ilmu
untuk ilmu atau ilmu bebas nilai, melainkan ilmu sarat nilai. Selain itu, juga
mengandung nilai-nilai logika, etika, estetika, hikmah, rahmah, dan petunjuk bagi
kehidupan manusia di dunia dan akhirat.
Secara garis besar, sumber ilmu pengetahuan itu diklasifikasikan menjadi
dua, yakni ayat-ayat tanziliyyah (Alquran dan Sunnah) dan ayat-ayat kauniyyah
(alam semesta dengan segala fenomenanya). Ayat-ayat tanziliyyah diperoleh
manusia melalui perantaraan utusan Allah, yaitu para Nabi dan Rasul Allah.
Sedangkan ayat-ayat kauniyyah diperoleh manusia melalui usahanya mempelajari
ciptaan Allah. Kedua sumber ilmu ini bersifat komplementer, yakni saling
melengkapi. Pemisahan keduanya berakibat munculnya dualisme keilmuan,
sebagaimana ditunjukkan oleh sejarah, dan berbahaya bagi masa depan peradaban
manusia.
Islam menekankan bahwa ilmu senantiasa menyeru kepada amal
perbuatan. Keduanya tidak ubahnya sebagai dua benda yang senantiasa bersama
dan tidak terpisah satu sama lain. Jika amal memenuhi seruan ilmu maka umat
menjadi baik dan berkembang. Ilmu dalam Islam baru bisa disebut sebagai ilmu
jika diamalkan, karena tidak ada ilmu yang berguna tanpa amal, dan tidak ada
amal yang bermanfaat tanpa ilmu. Maka, tujuan pemanfaatan ilmu pengetahuan
adalah untuk kesejahteraan, ketenangan, dan ketenteraman umat manusia.
DAFTAR PUSTAKA
28
Ali, Muhammad Daud. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2010.
al-Andalûsiy, al-Imâm al-Hâfiz Abu Umar Yusuf bin Abdullah Ibn Muhammad
bin Abd al-Barr al-Namiriy. al-Istidzkâr, Juz XXVI. Beirut: Dâr Qutaibah
li al-Thaba’ wa al-Nasyr, 1993.
al-‘Asqalâniy, al-Hâfizh Ahmad bin Ali bin Hajar. Fath al-Bâriy bi Syarh Shahîh
al-Bukhâriy, jilid I, tahqîq Abu Qutaibah Nazhar Muhmmad al-Faryâbiy.
t.t.: Dâr Thaibah, t.t.
al-Atsîn, Musa Syâhîn. Fath al-Mun’im: Syarh Shahîh Muslim, juz IX. Kairo: Dâr
al-Syurûq, 2002.
al-Bâjiy, al-Qâdhiy Abu al-Walîd Sulaiman bin Khalaf bin Sa’ad bin Ayyub. al-
Muntaqâ Syarh Muwathha’ Mâlik, juz VIII, tahqîq Muhammad Abd al-
Qâdir Ahmad Atha’. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999.
al-Balansiy, al-Syaikh al-‘Allâmah al-Faqîh Abu al-Hasan Ali bin Khlaf bin
Abdul Malik bin Baththâl al-Bakriy al-Qurthubiy. Syarh Shahîh al-
Bukhâriy , juz I, tahqîq Abu Tamim Yasir bin Ibrahim. Riyadh: Maktabah
al-Rusyd, t.t.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam, Jilid II. Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1997.
29
al-Fârisiy, ‘Alâ’ al-Dîn Ali bin Balbân. Shahîh Ibn Hibbân bi Tartîb Ibn Balbân,
Juz I, tahqîq Syu’aib al-Arnaûth. Beirut: Muassah al-Risâlah li al-Thaba’
wa al-nasyr, 1993.
Ibn Zakariya, Abu al-Husain Ibn Fâris. Mu’jam Maqâyîs al-Lughah, Juz II.
Beirut: Dâr al-Fikr, 1979.
al-Jazairiy, Abu Bakar bin Jabir. Aisar at-Tafâsîr li al-Kalâm al-`Aliy al-Kabîr,
jilid IV. Madinah Al Munawwarah: Maktabah al ‘Ulum al Hikam, 2003.
al-Kirmaniy, al-Imâm al-‘Allâmah Syamsuddin Muhammad bin Yusuf bin Ali. al-
Kawâkib al-Durariy fi Syar al-Bukhâriy, juz II. Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts
al-‘Arabiy, 1981.
Malik bin Anas, al-Imâm. al-Muwaththa’, jilid II, biriwayah Yahya bin Yahya al-
Laitsiy al-Andalûsiy. Beirut: Dâr al-Gharb al-Islâmiy, 1997.
30
al-Maqdisiy, al-Hâfizh Dhiyâ’ al-Dîn Muhammad bin Abd al-Wâhid. Fadhâil
al-‘A’mâl, Juz IV, tahqîq Ghassân Isa Muhammad Hermâs. Beirut:
Muassasah al-Risâlah, 1987.
_______. Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawawiy, Juz XV. Kairo: al-Mathba’ah al-
Mishriyyah bi al-Azhâr, 1929.
al-Nuhâs, al-Imâm Abu Ja’far. Ma’âni al-Qur’ân, juz V, tahqîq ‘Ali al-Shâbûniy.
Makkah: al-Jâmi’ah Umm al-Qurâ,1988.
al-Qazwîniy, al-Imâm al-Hâfizh Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Ibn Mâjah.
Sunan Ibn Mâjah, juz II, tahqîq Muhammad Fuad Abdul Baqiy. Beirut:
Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.
Qomar, Mujamil. Epistemologi Pendidikan Islam Dari Metode Rasional Hingga
Metode Kritik. Jakarta: Erlangga, 2005.
Sa’diy, Abdurrahman bin Nashir bin Abdullah bin Nashir bin Muhammad Alu.
Bahjah Qulûb al-Abrâr wa Qurratu ‘Uyûn al-Akhyâr fî Syarhi Jawâmi’ al-
Akhyâr. Saudi Arabia: Maktabah al-Rusyd, 2002.
al-Sahhâranfûriy, al-Syekh Khalil Ahmad. Badzl al-Majhûd fi Halli Abi Daud, juz
XV. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.
31
al-Syâfi’iy, Sulaiman Ibn Umar al-Ajiliy. al-Futûhât al-Ilâhiyyah, Juz II. Beirut:
Dâr al-Fikr, t.t.
al-Syibâniy, al-Imâm al-Hâfizh Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin
Asad. Musnad al-Imâm Ahmad bin Hambal, juz VII, tahqîq Syu’aib al-
Arnaûth. Beirut: Muassah al-Risâlah li al-Thaba’ wa al-nasyr, 1999.
_______. Musnad al-Imâm Ahmad bin Hambal, juz XXIX, tahqîq Syu’aib al-
Arnaûth. Beirut: Muassah al-Risâlah li al-Thaba’ wa al-nasyr, 1999.
al-Thabariy, Abu Ja’far Muhammad bin Jarîr. Tafsîr al-Thabariy Jâmi’ al-Bayân
an Ta’wîl Ây al-Qur’ân, jilid XVII, tahqîq Abdullah bin Abdu al-Muhsîn
al-Tirkiy. Kairo: Markaz al Buhûts wa al-Dirâsât al-‘Arabiyyah wa al-
Islâmiyyah bi Dâr Hijr al-Duktûr Abd al-Sindi Hasan Yamâmah, 2001.
al-Tirmidziy, al-Imâm al-Hâfizh Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah. al-Jâmi’
al-Shahîh wa Huwa Sunan al-Tirmidziy, juz V, tahqîq Ibrahim ‘Uthwah
‘Iwadh. Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafâ al-Bâbiy al-
Halabiy wa Awlâduh, 1975.
_______. al-Jâmi’ al-Shahîh wa Huwa Sunan al-Tirmidziy, juz IV, tahqîq Ibrahim
‘Uthwah ‘Iwadh. Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafâ al-
Bâbiy al-Halabiy wa Awlâduh, 1975.
al-Yahshabiy, al-Imâm al-Hâfizh Abu al-Fadhl ‘Iyâdh bin Musa bin‘Iyâdh. Ikmâl
al-Mu’lim bi Fawâid Muslim, juz VII, tahqîq Yahya Ismail. al-Manshurah:
Dâr al-Wafâ li al-Thaba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî’, 1998.
al-Zamakhsyariy, Abu al-Qâsim bin Mahmûd bin Umar. al-Kasysyâf ‘an Haqâiq
Ghawâmidh al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-’Aqâwîl fi Wujûh al-Ta’wîl, juz V.
Riyadh: Maktabah al-‘Ubaikan, 1998.
32