Anda di halaman 1dari 32

ILMU PENGETAHUAN DAN PEMANFAATANNYA

DALAM PERSPEKTIF HADIS

Makalah
Disampaikan dalam Seminar Kelas
Pada Mata Kuliah Pendidikan dalam Perspektif Hadis

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. H. Ahmad Khairuddin, M.Ag
Prof. Dr. H. Muhammad Yuseran Salman, Lc
Prof. Dr. H. Athaillah, M.Ag
Dr. Saifuddin, M.Ag

Oleh :
Abdulah Husin
12.0311.0016

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI


PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
BANJARMASIN
2012
ILMU PENGETAHUAN DAN PEMANFAATANNYA
DALAM PERSPEKTIF HADIS
Oleh: Abdulah Husin

A. PENDAHULUAN

Perbincangan tentang ilmu dan pemanfataannya menjadi perbincangan


menarik. Islam sebagai agama yang tidak diragukan kebenarannya tentu memuat
beragam hal-hal yang memandu manusia untuk menemukan kebenaran. Sebagai
agama yang universal, Islam dalam ajarannya mencakup seluruh aspek kehidupan
manusia. Dalam konteks ajaran Islam, keseluruhan prilaku dan tindakan
dikategorikan sebagai sebuah bentuk peribadatan dan memperoleh pahala atas
perbuatan tersebut. Karena itu, dalam ajaran Islam tak ada satupun yang luput dari
jangkauan hukum dan tatanannya. Atas dasar ini pula maka perlunya ilmu
pengetahuan.1 Salah satu informasi tentang ilmu dalam konteks pokok agama ini
terdapat dalam Alquran dan hadis Sunanah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi
wassalam sebagai sumber dasar ideal Islam.
Islam menempatkan ilmu pada posisi sangat penting dan strategis. Alquran
dan Sunnah memandang orang berilmu dalam posisi yang tinggi dan mulia, serta
memberikan dorongan untuk terus menuntut ilmu. Islam sebetulnya bukan hanya
menganjurkan belajar secara statis, tetapi perlu pengembangan ilmu secara
dinamis, progresif, dan kritis. Bahkan menghendaki seseorang itu terus menerus
melakukan pembelajaran dan riset.2
Pengembangan ilmu dalam Islam didasarkan didasarkan pada tujuan hidup
manusia yang dipandu oleh Alquran dan Sunnah. Atas dasar ini, maka tujuan
hidup manusia untuk mendapatkan keridahaan dan pengakuan dari Allah menjadi
salah satu karakter dan dasar utama tujuan hidup manusia dan sekaligus juga
dijadikan sebagai salah satu karakter dasar pengembangan dan pemanfaatan ilmu
pengetahuan.
Pengembangan dan pemanafaatan ilmu pengetahuan selaras dengan salah
satu tujuan penciptaan manusia di muka bumi adalah sebagai khalifah Allah
1
Yusuf al-Qardhâwiy, al-Rasûl wa al-‘Ilm (Kairo: Dâr al-Shahwah, 2001), h. 37.
2
Muhammad Athiyyah al-Abrâsyiy, al-Tarbiyah al-Islâmiyyah wa Falasifatuha (Beirut:
Dâr al-Fikr, 1969), h. 35.

2
(khalifah Allah fi al-ardh). Manusia mendapat tugas mewakili Allah mengelola
dan menyuburkan bumi untuk kepentingan manusia sendiri. Tugas ini tentu saja
memerlukan pengetahuan agar manusia mampu melaksanakan tugas ini. Dalam
hal ini, secara pragmatis ilmu membantu manusia menunaikan tugas kekhalifahan
yang diamanahkan kepadanya.
Aktivitas pengembangan dan pemanfataan ilmu pengetahuan Islam telah
kemukakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam sejak empat belas abad
silam. Atas dasar ini, maka tulisan ini diarahkan untuk membahas tentang
hakikat dan sumber ilmu pengetahuan serta pemanfaatannya dalam perspektif
hadis dengan menggunakan metode kajian hadis madhu’i (tematik).

B. PEMBAHASAN
1. Hakikat Ilmu

Betapa Islam sangat mengapresiasi dan memuliakan ilmu pengetahuan.


Ilmu diibaratkan dengan keutamaan atau kelebihan yang diberikan Allah kepada
Nabi Muhammad saw. Sebagaimana terdapat dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam shahinya bersumber dari Abdullah Ibn
Umar sebagai berikut:

، ‫ َعِن اْبِن ِش َه اٍب‬،‫ َح َّد َثيِن ُعَق ْي ٌل‬: ‫ َح َّد َثيِن الَّلْيُث َقاَل‬: ‫َح َّد َثَنا َس ِعْيُد ْبُن ُعَف ٍرْي َقاَل‬
‫ِه َّل‬ ‫ِهلل َّل‬ ‫ِمَس‬ ‫ِد ِهلل‬
‫ ْعُت َرُسْو َل ا َص ى اُهلل َعَلْي َو َس َم‬: ‫ َأَّن اْبَن ُعَمَر َقاَل‬: ‫َعْن ْمَهَز َة ْبِن َعْب ا ْبِن ُعَمَر‬
‫ َّمُث‬،‫ َبْيَن ا َأَنا َناِئٌم ُأِتْيُت ِبَق ْد ِح َلٍنَب َفَش ِر ْبُت َح ىَّت ِإيِّن َأَلَر ى ال ِّر َّي ْخَيُر ُج يِف َأْظَف اِر ي‬: ‫َق اَل‬
. ‫ اْل ْلَم‬: ‫ َفَم ا َأْو َلْتُه َيا َرُسْو َل اِهلل؟ َقاَل‬:‫ َقاُلْو ا‬، ‫َأْع َطْيُت َفْض ِلي ُعَمَر ْبَن اَخْلَّطاِب‬
3 ‫ِع‬

Artinya: “Said bin ‘Ufair menceritakan kepada kami, ia berkata: “al-Laits


menceritakan kepadaku, ia berkata: “ ‘Uqail menceritakan kepadaku dari Ibn
Syihab dari Hamzah bin Abdullah bin Umar, bahwasanya Ibn Umar mengatakan:
“Saya mendengar Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ketika aku
sedang tidur, aku bermimpi seseorang datang kepadaku memberikan segelas susu,
lalu kuminum susu tersebut sehingga kulihat merengat (merembes) keluar dari
ujung kukuku, kemudian sisanya kuberikan kepada Umar bin Khaththab.” Para

3
al-Imâm Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhâriy (selanjutnya disebut Imam
al-Bukhari), al-Jâmi’ al-Shahîh: al-Musnad min Hadîts Rasûillah Shallallâh ‘Alaih wa Sallam, juz
I (Kairo: al-Mathba’ah al-Salafiyyah wa Maktabatuha, 1400 H), h. 86.

3
sahabat bertanya, “Apakah takwil mimpi Anda itu, ya Rasulullah?.” Rasulullah
menjawab: “Ilmu.” (HR. Imam Bukhari).

Menurut Ibn Hajar, Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam menafsirkan


susu dengan ilmu, karena keduanya banyak memberi manfaat. 4 Hadis ini menurut
Ibn Munir menginformasikan tentang keutamaan ilmu pengetahuan, di mana ilmu
diibaratkan dengan keutamaan atau kelebihan Nabi sahallallahu ‘alaihi wasallam
yang diberikan Allah Subhânahu wa Ta’ala kepadanya.5
Kata ilmu dalam bahasa Indonesia berasal dari kata al-‘ilmu dalam bahasa
Arab. Secara bahasa (etimologi) kata al-‘ilmu adalah bentuk mashdar atau kata
sifat dari kata `alima - ya`lamu - `ilman yang berarti pengetahuan,6 merupakan
lawan kata dari “jahl” yang berarti ketidaktahuan atau kebodohan.7 Sebagai
subjek disebut “‘âlim” yang berarti orang yang tahu dan objeknya adalah
“ma’lûm” atau yang diketahui.8
Sementara secara terminologi, istilah ilmu berarti pemahaman tentang
hakikat sesuatu.9 Ilmu diartikan juga sebagai pengetahuan tentang sesuatu yang
diketahui dari dzat (esensi), sifat dan makna sebagaimana adanya.10 Ilmu dapat
dikatakan sebagai pengetahuan mengenai segala sesuatu yang telah disusun secara

4
al-Hâfizh Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqalâniy (selanjutnya disebut Ibn Hajar
al-‘Asqalâniy), Fath al-Bâriy bi Syarh Shahîh al-Bukhâriy, jilid I, ditahqîq oleh Abu Qutaibah
Nazhar Muhmmad al-Faryâbiy (t.t.: Dâr Thaibah, t.t.), h. 316.
5
Ibn Hajar ‘Asqalâniy, Fath al-Bâriy, jilid I, h. 316.
6
Lois Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-‘Alam, (Beirut: Dar al-Masyruq, 1997), h.
527. Lihat Ahmad Warson Munawwir, Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 2002), cet., ke-20, h.966.
7
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1997), cet. Ke-4, h. 201.
8
Hasan Langulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2003),
h. 336.
9
Tim penyusun, Majma` al Lughah al-Arabiyah, al Mu`jam al-Wasith, jilid II (Kairo:
1980), h. 624.
10
Kata “ilmu” dan “pengetahuan” atau “ilmu pengetahuan” dalam bahasa Indonesia
terkadang dipergunakan sebagai arti dari kata ‘ilm dalam bahasa Arab. Sedangkan untuk kata
ma’rifah dari bahasa Arab seringkali hanya diterjemahkan sebagai “pengetahuan”. Dalam
terjemahan yang menyangkut definisi, kata ‘ilm diterjemahkan sebagai “ilmu” atau “ilmu
pengetahuan” (science) sedangkan kata ma’rifah sebagai “pengetahuan biasa’ atau singkatnya
“pengetahuan” (knowledge). Mengenai kata fahm dan fiqh, biasanya kedua kata tersebut
diterjemahkan sebagai “pemahaman”. Untuk membedakan keduanya, di sini kata fahm
diterjemahkan sebagai “pemahaman” sedangkan kata fiqh diterjemahkan sebagai “pengertian”,
yang maksudnya adalah “pemahaman yang lebih mendalam”. Lihat: Abu Bakar Jabir Al-Jazairy,
Ilmu dan ulama, (Jakarta: Pustaka Azam, 2001), h. 19.

4
runtut dan merupakan satu kesatuan berdasarkan metode-metode tertentu yang
dapat digunakan untuk menjelaskan gejala-gejala dari objek (pengetahuan) itu.
Apresiasi Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam terhadap ilmu tidak
hanya tergambar dari penyebutan kata al-`ilm dan derivasinya yang sangat banyak
dalam kitab-kitab hadis, tetapi terdapat ungkapan-ungkapan lainnya yang
bermuara pada kesamaan makna, diantaranya adalah al-hikmah. Sebagaimana
sabda Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam:

‫ َح َّد َثيِن ِإَمْساِعْي ْب َأيِب َخ اِلٍد َعَلى َغِرْي‬: ‫ َح َّد َثَنا ُس ْف َياُن َقاَل‬: ‫َح َّد َثَنا ا ْيِدُّي َقاَل‬
‫ُل ُن‬ ‫ُحْلَم‬
‫ٍد‬ ‫ِهلل‬ ‫ِمَس‬ ‫ٍم‬ ‫ِمَس‬
‫ ْعُت َعْب َد ا ْبَن َمْس ُعْو‬: ‫ ْعُت َقْيَس ْبِن َأيِب َح اِز َق اَل‬: ‫َم ا َح َّد ْثَناُه الُّز ْه ِر ُّي َق اَل‬
‫ َرُج ٍل آَتاُه اُهلل َم اًال َفُس ِّلَط‬: ‫ اَل َح َس َد ِإاَّل يِف اْثَنَتِنْي‬: ‫ َقاَل الَّنُّيِب َص َّلى اُهلل َعَلْيِه َو َس َّلَم‬: ‫َقاَل‬
11
.‫ َو َرُج ٍل آَتاُه اُهلل ِح ْك َم ًة َفُه َو َيْق ِض ي َهِبا َو ُيَعِّلُم َه ا‬، ‫َعَلى َه َلَك ِتِه يِف اَحْلِّق‬
Artinya: “al-Humaidiy menceritakan kepada kami, ia berkata: Sufyan
menceritakan kepada kami, ia berkata: Ismail bin Abi Khalid menceritakan
kepadaku tidak sebagaimana al-Zuhriy menceritakan kepada kami, ia berkata:
Aku mendengar Qais bin Abi Hazim berkata: Aku mendengar Abdullah bin
Mas’ud berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Tidak
ada iri hati (dengki), kecuali kepada dua orang, yaitu orang yang diberi Allah
Subhânahu wa Ta’ala harta kemudian dia pergunakan dalam kebenaran, dan
orang yang diberi Allah Subhânahu wa Ta’ala hikmah (ilmu) kemudian
dipergunakannya dengan baik dan diajarkannya.” (HR. Bukhari, Muslim, Ibn
Majah, Ahmad, dan Ibn Hibban).

Hadis ini menginformasikan bahwa sejatinya tidak ada (tidak boleh) iri
atau hasad, kecuali hanya kepada dua orang, yaitu orang yang dianugerahi harta
oleh Allah dan orang yang dianugerahi Allah hikmah. Kedua karunia ini
dipergunakan oleh masing-masing pemiliknya untuk kebenaran dan memberikan
manfaat kepada orang lain.

11
Imam al-Bukhari, al-Jâmi’ al-Shahîh, juz I, h. 42; al-Imâm al-Hâfizh Abu al-Husain
Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairiy al-Naisâbûriy (selanjutnya disebut Imam Muslim), Shahîh
Muslim, jilid I (Beirut: Dâr al-Fikr, 1992), h. 360; al-Hâfizh Abu Abdillah Muhammad bin Yazid
Ibn Mâjah al-Qazwîniy (selanjutnya disebut Ibn Majah), Sunan Ibn Mâjah, juz II, tahqîq
Muhammad Fuad Abdul Baqiy (Beirut: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.), h. 1407; al-Imâm
al-Hâfizh Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Asad al-Syibaaniy, Musnad al-Imâm
Ahmad bin Hambal, juz VII, tahqîq Syu’aib al-Arnaûth (Beirut: Muassah al-Risâlah li al-Thaba’
wa al-nasyr, 1999), h. 183; lihat ‘Alâ’ al-Dîn Ali bin Balbân al-Fârisiy, Shahîh Ibn Hibbân bi
Tartîb Ibn Balbân, Juz I, tahqîq Syu’aib al-Arnaûth (Beirut: Muassah al-Risâlah li al-Thaba’ wa
al-nasyr, 1993), h. 292.

5
Hasad yang dimaksud dalam hadis ini menurut menurut para ulama adalah
ghibthah, yaitu berangan-angan agar mendapatkan nikmat seperti yang ada pada
orang lain tanpa mengharapkan nikmat tersebut hilang dari pemiliknya.12 Jika
ghibthah ini dalam hal dunia, maka itu dibolehkan, jika dalam hal ketaatan, maka
itu dianjurkan.13 Anjuran ghibthah dalam hadis di atas, salah satunya adalah iri
terhadap orang diberi hikmah yang diamalkan dan diajarkannya. Menurut al-
Kirmaniy hikmah yang maksudkan dalam hadis ini adalah “ilmu.”14
Redaksi hikmah berulang kali disebutkan dalam Alquran dan memiliki
beragam pengertian.15 Para ahli sepakat ketika menafsirkan al-hikmah yang
diberikan kepada Luqman al-Hakim bukan sebagai nubuwwah (kenabian), seperti
terdapat dalam QS. Luqman [31] ayat 12. 16 Konteks al-hikmah pada ayat ini,
diartikan oleh Ibnu Marduyah bersumber dari Ibn Abbas, sebagai akal,
pemahaman, dan kecerdasan.17 Senada dikemukakan Mujahid, hikmah adalah
12
al-Syaikh al-‘Allâmah al-Faqîh Abu al-Hasan Ali bin Khlaf bin Abdul Malik bin
Baththâl al-Bakriy al-Qurthubiy al-Balansiy (selanjutnya disebut Ibn Baththal), Syarh Shahîh al-
Bukhâriy , juz I, tahqîq Abu Tamim Yasir bin Ibrahim (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, t.t.), h. 158;
lihat Ibn Hajar al-‘Asqalâniy, Fath al-Bâriy, jilid I, h. 294.
13
Para ulama membagi hasad menjadi dua macam, yaitu hasad hakiki dan hasad majazi.
Hasad hakiki adalah seseorang berharap nikmat orang lain hilang. Hasad seperti ini diharamkan
berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama) dan adanya dalil tegas yang menjelaskan hal ini.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan hasad majazi adalah ghibthah, yaitu berangan-angan agar
mendapatkan nikmat seperti yang ada pada orang lain tanpa mengharapkan nikmat tersebut hilang.
Lihat al-Imâm Muhyiddin Abu Zakaria Ibn Syaraf al-Nawawiy (selanjutnya disebut al-Nawawiy),
Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawiy, juz VII (Kairo: al-Mathba’ah al-Mishriyyah bi al-Azhâr,
1929), h. 97.
14
al-Imâm al-‘Allâmah Syamsuddin Muhammad bin Yusuf bin Ali al-Kirmaniy
(selanjutnya disebut al-Kirmaniy), al-Kawâkib al-Durariy fi Syar al-Bukhâriy, juz II (Beirut: Dâr
Ihyâ al-Turâts al-‘Arabiy, 1981), h. 41.
15
Hikmah berasal dari bahasa Arab, yaitu “al-hikmah” merupakan ism al-mashdar dari
kata kerja “hakama” yang berarti menahan atau melarang, yakni melarang dari kezaliman. Kata al-
hikmah juga berarti hidayah, sebab menahan kezaliman itu merupakan hidayah dari Allah Swt.
Lihat Abu al-Husain Ibn Fâris Ibn Zakariya, Mu’jam Maqâyîs al-Lughah, Juz II (Beirut: Dâr al-
Fikr, 1979), h. 91. Kata hakama juga berarti melarang untuk suatu tujuan kebaikan, sehingga
dikatakan Luqman mendapat al-hikmah berarti dia memberi peringatan dan menyampaikan semua
hikmah dengan sifat bijak yang dimilikinya. Lihat al-Raghib al-Isfahaniy, Mu’jam Mufradat al-
Fazh al-Qur’an, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 126. Jadi, hikmah secara harfiah berarti ucapan yang
sesuai dengan kebenaran, falsafat, perkara yang benar dan lurus, keadilan, pengetahuan, dan
lapang dada. Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid II (Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1997), h. 112.
16
Abu Ja’far Muhammad bin Jarîr al-Thabariy (selanjutnya disebut al-Thabariy), Tafsîr
al-Thabariy Jâmi’ al-Bayân an Ta’wîl Ây al-Qur’ân, jilid XVII, tahqîq oleh Abdullah bin Abdu al-
Muhsîn al-Tirkiy (Kairo: Markaz al Buhûts wa al-Dirâsât al-‘Arabiyyah wa al-Islâmiyyah bi Dâr
Hijr al-Duktûr Abd al-Sindi Hasan Yamâmah, 2001), h. 546,
17
al-‘Allâmah Abi Fadl Syihâb al-Dîn al-Sayyid Mahmûd al-Alûsiy al-Baghdâdiy
(selanjutnya disebut al-Alûsiy), Rûh al-Ma’ânî fi al-Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm wa al-Sab’i al-

6
akal, kepahaman, dan ketepatan dalam perkataan.18 Qatadah menambahkan
pemahaman terhadap agama, dan perkataan yang benar. 19 Hikmah diartikan juga
sebagai perasaan yang halus, kecerdasan, dan pengetahuan. 20 Hikmah juga
pengetahuan terhadap semua yang maujud dan mengerjakan kebajikan.21
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, hikmah merupakan pemahaman
dan akal serta pelaksanaan dari kedua unsur tersebut. Oleh karena itu, seseorang
tidak bisa disebut sebagai al-Hakîm kecuali ia menggabungkan kedua unsur
tersebut.22 Jadi secara umum, hikmah merupakan pengetahuan yang paling tinggi
nilainya, yakni pengetahuan yang menghubungkan manusia pada pemahaman
tentang dunia dan akhirat. Pendeknya, orang yang mendapatkan hikmah tentunya
mendapatkan kebaikan yang banyak dari Allah.23
Dengan demikian, hikmah merupakan akumulasi dari iman, ilmu dan amal
yang menjadi refleksi kesempurnaan jiwa seseorang. Iman yang kokoh merupakan
cahaya bagi sesorang dalam menjalani kehidupan, sehingga tidak tersesat dalam
menentukan jalan hidupnya dan mampu menentukan baik dan buruk. Ilmu yang
memadai sebagai sarana untuk menjadikan kehidupan seseorang mudah dan
indah. Amal yang sempurna adalah buah dari iman dan ilmu sehingga hidup
seseorang bermanfaat, tidak saja bagi diri pribadi melainkan juga kebaikan bagi
orang lain.
Maka dari itu, keutamaan dan kemuliaan orang yang berilmu ini juga
tercermin dari diperbolehkannya iri (hasad) terhadap orang yang berilmu.
Padahal iri adalah sifat tercela dan tidak layak menjadi perangai orang-orang yang
beriman. Larangan iri salah satunya dikarenakan dampak buruk yang diakibatkan
oleh sifat iri pada diri seorang Mu`min bahkan orang kafir sekalipun, maka sifat

Matsâni, juz XXI (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabiy, t.t.), h. 83.
18
al-Thabariy, Jâmi’ al-Bayân, jilid XVII, h. 545.
19
Imâm Abu Ja’far al-Nuhâs, Ma’âni al-Qur’ân, juz V, tahqîq ‘Ali al-Shâbûniy (Makkah:
al-Jâmi’ah Umm al-Qurâ,1988), h. 282.
20
Abu al-Qâsim bin Mahmûd bin Umar al-Zamakhsyariy (selanjutnya disebut al-
Zamakhsyariy), al-Kasysyâf an Haqâiq Ghawâmidh al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-’Aqâwîl fi Wujûh al-
Ta’wîl, juz V (Riyadh: Maktabah al-‘Ubaikan, 1998), h. 11.
21
al-Alusiy, Rûh al-Ma’ânî, juz XXI, h. 83.
22
Sulaiman Ibn Umar al-Ajiliy al-Syâfi’iy, al-Futûhât al-Ilâhiyyah, Juz II (Beirut: Dâr al-
Fikr, t.t), h. 403.
23
Lihat QS. al-Baqarah [2/87] ayat 269.

7
ini dilarang oleh agama.24 Namun, tidak demikian dengan seseorang yang iri
terhadap orang yang berilmu. Karena iri terhadap orang yang berilmu akan
berdampak positif bagi orang yang iri, maka iri terhadap orang yang berilmu
dibolehkan oleh agama, dan bahkan dipuji.
Secara eksplisit, ungkapan “seseorang yang Allah Subhânahu wa Ta’ala
beri karunia hikmah (ilmu)” dalam hadis di atas menunjukkan bahwa ilmu adalah
cahaya dari Allah Subhânahu wa Ta’ala yang dianugerahkan kepada siapa saja
yang Ia kehendaki.25 Akan tetapi, ilmu itu juga diperoleh melalui sebuah proses
mencermati, membaca dan menganalisa yang dilakukan oleh akal, indera (al-
bashar) dan kalbu (al-bashîrah). Proses ini biasa disebut dengan berfikir. Peroses
penemuan ilmu pengatahuan ini dilakukan dalam berbagai kreativitas dan
aktivitas, diantaranya adalah dengan belajar. Sebagaimana diriwayatkan Thabrani
dari Muawiyah sebagai berikut:

‫َح َّد َثَنا َأَمْحُد ْبُن اْلَم ْع َلى الِّد َم ْش ِق ِّي َثَن ا ِه َش اُم ْبُن َعَّم اٍر َثَن ا َص ْدَقُة ْبُن َخ اِلٍد َثَن ا‬
‫ِه َّل‬ ‫ِهلل َّل‬ ‫ِمَس‬ ‫ِك ٍم‬
‫ ْعُت َرُسْو َل ا َص ى اُهلل َعَلْي َو َس َم‬: ‫ُعَتَبُة ْبُن َأيِب َح ْي َعَّم ْن َح َّد َثُه َعْن ُمَعاَو َيَة َقاَل‬
‫ َو َمْن ُيِر ِد اُهلل ِب ِه َخ ْي ا ُيَف ِّق ْه ُه يِف‬،‫ َيا َأُّيَه ا الَّنا ِإَمَّنا اْلِعْل َبالَّتَعُلِم َو اْلِف ْق ُه ِبالَّتَف ُّق ِه‬: ‫َيُق ْو ُل‬
‫ًر‬ ‫ُم‬ ‫ُس‬
26
.‫ َو ِإَمَّنا ْخَيَش ى اَهلل ِم ْن ِعَباِدِه اْلُعَلَم اُء‬، ‫الِّد ْيِن‬
Artinya: “Ahmad bin al-Ma’la al-Dimasyqiy menceritakan kepada kami,
Hiyam bin ‘Ammar menceritakan kepada kami, Shadqah bin Khalid menceritakan
kepada kami, ‘Utbah bin Abi Hakim menceritakan kepada kami dari orang yang

24
Hasad terdiri dari dua macam, yaitu hasad madzmûm (tercela) dan hasad mamdûh
(terpuji) dalam setiap keadaan. Hasad madzmûm adalah mengharapkan hilangnya nikmat dari
orang lain, baik dalam urusan-urusan agama atau dalam urusan-urusan keduniawiaan, baik terbesit
dalam hati atau dalam bentuk usaha menghilangkan kenikmatan itu. Inilah hasad yang dilarang
karena ia merupakan sifat tercela. Sedangkan yang dimaksud dengan hasad mamdûh adalah
sebagaimana pengertian hasad dalam hadits tersebut di atas, dan hasad jenis ini masuk dalam bab
Tamannî al-Khair (mengharapkan kebaikan). Lihat Abdurrahman bin Nashir bin Abdullah bin
Nashir bin Muhammad Alu Sa’di, Bahjah Qulûb al-Abrâr wa Qurratu ‘Uyûn al-Akhyâr fî Syarhi
Jawâmi’ al-Akhyâr (Saudi Arabia: Maktabah al-Rusyd, 2002), h. 203.
25
Ilmu pengetahuan juga diperoleh melalui hidayah Allah Subhânau wa Ta’ala, yaitu
berupa firasat, intuisi, dan sejenisnya dengan penyucian hati. M. Quraish Shihab, Wawasan al-
Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat (Jakarta: Mizan, 1998), h. 438.
Berdasarkan proses, ilmu seperti ini disebut juga dengan ilmu laduni , yakni ilmu yang diperoleh
tanpa upaya seperti yang terjadi pada kasus Nabi Khaidir. Lihat Muhammad Daud Ali, Pendidikan
Agama Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), h. 394.
26
al-Hâfizh Abu al-Qâsim Sulaiman bin Ahmad al-Thabrâniy, al-Mu’jam al-Kabîr, juz
IX, tahqîq Hamdi Abdul Majid al-Salafiy (Kairo: Maktabah Ibn Taimiyah t.t), h. 395.

8
menceritakan kepadanya dari Mu’awiyah, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah
saw. telah bersabda: “Wahai orang-orang beriman, sesungguhnya ilmu itu
diperoleh dengan cara belajar, dan kepahaman diperoleh dengan cara memamahi,
dan jika Allah menghendaki kebaikan kepada seseorang, maka Dia akan
menjadikannya sebagai orang yang ahli agama, dan sesungguhnya yang takut
kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (HR. Thabrani).

Menurut Ibn Hajar al-‘Asqalaniy, sanad hadis ini hasan, meskipun di


dalamnya terdapat seorang perawi yang tidak diketahui (mubham), akan tetapi
riwayat tersebut diperkuat dengan riwayat lainnya. Al-Bazzar juga meriwayatkan
hadis seperti ini dari Ibn Mas’ud secara mauquf (dinisbatkan kepada sahabat),
sedangkan Abu Nu’aim meriwatkannya secara marfu’.27 Potongan hadis ini
“sesungguhnya ilmu itu diperoleh dengan cara belajar” juga disebutkan oleh
Imam Bukhari dalam shaihnya secara mu’allaq (tanpa sanad).28
Hadis di atas memberikan dorongan dan motivasi kuat terhadap
pengembangan keilmuan Islam melalui proses pembelajaran. Selain itu juga,
menunjukkan adanya korelasi antara ilmu dengan khasyyah, karena keberagamaan
itu inheren dengan ilmu. Sehingga dapat dikatakan bahwa hanya orang berilmulah
yang dapat mencapai puncak khasyyah kepada Allah. Dengan demikian, jika ada
orang berilmu namun tidak memiliki sikap keberagamaan yang kokoh, berarti
ilmunya tidak bermanfaat. Atas dasar ini, Abu Bakar bin Jabir al-Jazairi
mendefinisikan ilmu sebagai jalan menuju rasa takut kepada Allah Subhânahu wa
Ta’ala, barang siapa yang tidak memiliki ilmu, maka tidak mengenal Allah
Subhânahu wa Ta’ala sehingga tidak mempunyai rasa takut pula kepada-Nya.29

27
Ibn Hajar al-‘Asqalâniy, Fath al-Bâriy, jilid I, h. 284.
28
Imam al-Bukhari, al-Jâmi’ al-Shahîh, jilid I, h. 41.
29
Abu Bakar bin Jabir al-Jazairi, Aisar at-Tafâsir li al-Kalam al-`Aliy al-Kabîr, jilid IV
(Madinah Al Munawwarah: Maktabah al ‘Ulum al Hikam, 2003), h. 354.

9
Inilah perbedaan tradisi keilmuan Islam dengan Barat yang materialistis.30
Islam membimbing agar ilmu pengetahuan dapat mengantarkan manusia pada
pemilik rahasia alam raya ini, bukan sekadar ilmu untuk ilmu. Seperti
dikemukakan M. Quraish Shihab, semboyan “ilmu untuk (kepentingan) ilmu” dan
ungkapan “ilmu bebas nilai” tidak dikenal dan tidak dibenarkan dalam Islam,
tetapi “ilmu sarat nilai”. Karena itu pula, ilmuwan muslim harus menanamkan
nilai rabbani (nilai ilahiah) pada ilmu pengetahuan.31
Dengan demikian, ilmu harus selalu dibimbing dengan iman, dan
sebaliknya iman harus ditopang dengan ilmu. Dengan meningkatnya ilmu
seseorang, maka akan meningkat kekokohan akidahnya. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman dalam QS. al-Hajj [22]; 54:

        


           

Artinya: “Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini
bahwasanya Al Quran Itulah yang hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan
tunduk hati mereka kepadanya dan Sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk
bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.” ( QS. al-Hajj [22]; 54).

Ayat di atas dijelaskan bahwa meningkatnya ilmu harus berbanding lurus


dengan meningkatnya iman. Orang beriman sekaligus berilmu akan meningkat
harkat dan martabatnya dibandingkan dengan orang yang hanya beriman saja, atau
berilmu saja. Oleh karena itu, agar iman kita benar harus ditopang dengan ilmu
yang benar pula.
Puncaknya, seperti dialami oleh para ilmuwan, aktivitas keilmuan yang
terus-menerus akan mengantarkan seorang ilmuwan pada ketinggian moral atau

30
Kajian terhadap sumber ilmu dalam Islam memadukan bahan-bahan empiris (kealaman)
dan spiritual (kewahyuan). Pemaduan kedua bahan inilah yang akan memunculkan konsep
epistemologi Islam yang berbeda dengan konsep epistemologi Barat. Menurut Mujamil Qomar,
kiblat epistemologi Barat yang mengistimewakan peranan manusia dalam memecahkan “segala
sesuatu”, dan dalam waktu bersamaan menentang dimensi spritual yang kemudian menjadi sumber
krisis epistemologi yang berimplikasi pada krisis pengetahuan, maka ada upaya untuk mencari
pemecahan dengan mempertimbangkan epistemologi lain. Sedangkan epistemologi Islam yang
diformulasikan berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah merupakan respons kreatif terhadap
tantangan modern yang membahayakan kehidupan dan keharmonisan manusia sebagai akibat
epistemologi Barat. Lihat Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam Dari Metode Rasional
Hingga Metode Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2005), h. 103.
31
M. Quraish Shihab, h. 440.

10
akhlak, yakni suatu kondisi yang sangat sadar dan mengerti posisinya dalam
kesemestaan ini. Dari kondisi seperti ini, ia benar-benar paham dan mengerti
kebesaran dan keagungan Sang Maha Pencipta.

2. Sumber-sumber Ilmu
Setelah mengetahui hakikat ilmu pengetahuan dalam perspektif hadis,
maka Islam pun telah mengatur dan menggariskan kepada umatnya agar tidak
salah dan tersesat dengan memberikan bingkai sumber pengetahuan berdasarkan
urutan kebenarannya menurut hadis Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam
sebagai berikut.
a. Ayat-ayat Tanziliyyah (Alquran dan Sunnah)
Seperti disebutkan sebelumnya, ilmu yang benar diperoleh berdasarkan
dari sumber yang benar pula, yaitu Alquran dan Sunnah Rasulullah sahallallahu
‘alaihi wasallam. Pengertian ini menegaskan bahwa kedua sumber pokok tersebut
menjadi sumber utama ilmu pengetahuan Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah
shallallhu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Imam Malik dan al-Hakim
sebagai berikut:

‫ِه‬ ‫ِهلل‬ ‫ِل ٍك‬


‫ َتَر ْك ُت‬: ‫ َأَّنُه َبَلَغ ُه َأَّن َرُس ْو َل ا َص َّلى اُهلل َعَلْي َو َس َّلَم َق اَل‬، ‫َو َح َّد َثيِن َعْن َم ا‬
. ‫ ِكَتاَب اِهلل َو ُس َّنَة َن ِّي‬:‫ِفْيُك ْم َأْم َر ْيِن َلْن َتِض ُّلْو ا َم ا َمَتَس ْك ُتْم ِهِبَم ا‬
32 ‫ِب ِه‬

Artinya: “Malik menceritakan kepadaku, disampaikan kepadanya bahwa


Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku tinggalkan dua pusaka
untukmu sekalian, dan kalian tidak akan tersesat selama kalian selalu berpegang
teguh kepada keduannya, yaitu Kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya (al-
hadis).” (HR. Imam Malik dan al-Hakim dengan redaksi sedikit berbeda
bersumber dari Abu Hurairah).

Menurut Yahya bin Laits, sanad hadis ini lemah karena terdapat Ismail bin
Abi Uwais yang dianggap lemah di kalangan ahli hadis dan tidak termasuk dalam
kriteria shahih Bukhari dan Muslim. Meski demikian, hadis ini sangat dikenal dan
masyhur di kalangan ahli hadis bersumber dari Nabi Muhammad sahallallahu
32
al-Imâm Malik bin Anas (selanjutnya disebut Imam Malik), al-Muwaththa’, jilid II,
biriwayah Yahya bin Yahya al-Laitsiy al-Andalûsiy (Beirut: Dâr al-Gharb al-Islâmiy, 1997), h.
480. Lihat al-Imâm al-Hâfizh Abu Abdillah al-Hâkim al-Naisâbûriy, al-Mustadrak ‘alâ al-
Shahîhaini, Juz. I (Kairo: Dâr al-Haramain li al-Thaba’ wa al-Nasyr wa al-Tauzî’, 1997), h. 161.

11
‘alaihi wasallam. Dari segi makna, keshahihan hadis ini tidak diragukan lagi
karena Allah Swt. telah menggariskan dalam Alquran agar taat kepada-Nya dan
Rasul-Nya. Di samping itu, terdapat banyak ayat Alquran yang memerintahkan
kepada kita agar taat kepada Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam dan
berpegang kepada Sunnahnya.33
Kandungan matan hadis ini menunjukkan pada kenyataan bahwa Nabi
sahallallahu ‘alaihi wasallam telah meninggalkan dua pusaka, yaitu kitab Allah
dan sunnahnya untuk dijadikan pedoman dalam menempuh jalan yang benar,
tidak sesat dan menyesatkan. Ada dua kata penting dalam hadis ini, yaitu kitab
Allah dan sunnah. Kitab Allah adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad sahallallahu ‘alaihi wasallam melalui perantaraan malaikat Jibri as.,
yaitu Alquran. Sedangkan al-Sunnah dalam perspektif ahli hadis adalah setiap
perkataan, perbuatan, persetujuan, sifat fisik, akhlak, atau perjalanan hidup yang
diriwayatkan dari Nabi Muhammad sahallallahu ‘alaihi wasallam, baik sebelum
menjadi rasul maupun sesudahnya.34
Hadis ini menegaskan bahwa berpegang teguh kepada Alquran dan
Sunnah adalah mutlak bagi umat Islam. Sebab, tidak ada kebenaran kecuali dari
keduanya, tidak ada hidayah atau petunjuk selain dari keduanya, dan keselamatan
bagi yang senantiasa berpegang teguh kepada keduanya. Alquran dan Sunnah
merupakan kebajikan dan dalil yang sangat jelas dalam menunjukkan segala yang
hak dan batil. Oleh karena itu, wajib untuk berpegang atau merujuk kepada
keduanya, terutama dalam permasalahan agama.35
Ibn Abd al-Barr ketika menjelaskan hadis ini mengatakan bahwa yang
dinamakan petunjuk adalah semua aspek yang mengacu kepada Alquran dan
Sunnah Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam yang menjelaskan maksud dan
keinginan Alquran. Apabila secara zahir sulit dipahami dalam Alquran, maka
Sunnah Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan maksud dan tujuan
33
Imam Malik, al-Muwaththa’, biriwayah Yahya bin Yahya al-Laitsiy al-Andalûsiy, jilid
II, h. 480. Lihat juga jjuz Xxi, h. 631.
34
Muhammad Ajjâj al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts Ulûmuhu wa Mushthalahuhu (Beirût:
Dâr al-Fikr,1989), h. 19.
35
Muhammad Abd al-Baqi ibn Yusuf al-Zarqani al-Mishry al-Azhariy al-Maliky, Syarh
al-Zarqâniy ‘ala al-Muwaththa’ al- Imam Malik, juz IV (t.t.: al-Mathba’ah al-Khairiyyah, t.t.), h.
86-87.

12
Alquran tersebut.36 Senada dikemukakan al-Bâjiy, Rasulullah saw. menjelaskan
tentang dua perkara ini (Alquran dan Sunnah), maksudnya adalah bahwa apa yang
telah disunnahkan, disyariatkan, dan disampaikannya kepada kita tentang halal,
haram, dan lainnya telah terdapat dalam Alquran dan Sunnah. Maka apabila tidak
terdapat pada keduanya adalah sesuatu yang tidak dapat diterima.37
Segala aspek kehidupan manusia telah dijelaskan dalam Alquran dan
Sunnah, baik dalam hubungannya dengan sang Khaliq (hablum minallah),
hubungan manusia dengan sesama manusia (hablum minannas), maupun tata cara
hubungan manusia dengan alam sekitar. Ayat-ayat al-Qur’an adakalanya
menjelaskan secara lansung tentang suatu hukum (qat’i) dan adakalanya
memerlukan penafsiran lebih lanjut (zhanni). Di sinilah hadits-hadits Nabi
berperan sebagai penerang lebih lanjut untuk menjelaskan ayat-ayat yang bersifat
samar (zhanni).
Menurut Azyumardi Azra, Alquran dan Sunnah merupakan sumber bagi
ilmu-ilmu Islam, dalam pengertian yang seluas-luasnya. Lebih khas lagi, kedua
sumber pokok Islam ini memainkan peran ganda dalam penciptaan dan
pengembangan ilmu-ilmu. Pertama, prinsip-prinsip seluruh ilmu dipandang kaum
Muslim terdapat dalam Alquran. Dan sejauh pemahaman terhadap Alquran,
terdapat pula penafsiran yang bersifat esoteris (ma’nawi) terhadap Kitab suci ini,
yang memungkinkan tidak hanya pengungkapan misteri-misteri yang
dikandungnya, tetapi juga pencarian makna secara lebih mendalam, yang berguna
untuk pengembangan paradigma ilmu. Kedua, Alquran dan Sunnah menciptakan
iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dengan menekankan
kebajikan dan keutamaan menuntut ilmu; pencarian ilmu dalam segala apapun
berujung pada penegasan Tauhid-Keunikan dan Keesaan Tuhan. Karenanya,
seluruh metafisika dan kosmologi yang terbit dari kandungan Alquran dan Sunnah
merupakan dasar pembangunan dan pengembangan ilmu Islam. Kedua sumber

36
al-Imâm al-Hâfiz Abu Umar Yusuf bin Abdullah Ibn Muhammad bin Abd al-Barr al-
Namiriy al-Andalûsiy (selanjutnya disebut Ibn Abd al-Barr), al-Istidzkâr, Juz XXVI (Beirut: Dâr
Qutaibah li al-Thaba’ wa al-Nasyr, 1993), h. 98-99.
37
al-Qâdhiy Abu al-Walîd Sulaiman bin Khalaf bin Sa’ad bin Ayyub al-Bâjiy, al-Muntaqâ
Syarh Muwathha’ Mâlik, juz VIII, tahqîq Muhammad Abd al-Qâdir Ahmad Atha’ (Beirut: Dâr al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), h. 270.

13
pokok ini, singkatnya, menciptakan atmosfer khas yang mendorong aktivitas-
aktivitas intelektual dalam komformitas dengan semangat ilmu.38
Menurut Muhammad al-Maliki al-Hasani, Alquran adalah ensiklopedi
pertama yang pernah dikenal manusia. Alquran adalah kitab suci yang tidak ada
kepalsuan. Kandungan berisi segala macam ilmu pengetahuan yang digali umat
Islam sepanjang masa.39 Hal ini ditegaskan oleh Allah Subhânahu wa Ta’ala
dalam Alquran di antaranya:

          
            
Artinya: “Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-
burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti
kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada
Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (QS. al-An’am [6]: 38).

Dalam firman-Nya lagi:


          
         
    
Artinya: “(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap
umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu
(Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan Kami turunkan
kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk
serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. al-
Nahl [16]: 89).

Kedua ayat di atas menegaskan bahwa penjelasan tentang segala sesuatu


terdapat dalam al-Qur’an, tidak terkecuali ilmu pengetahuan. Sebagaimana telah
diriwayatkan Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, ketika beliau ditanya oleh
seseorang, “Apakah Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam telah memberimu
ilmu atau nasihat khusus yang tidak diberikan kepada orang lain? “Beliau berkata,
demi Allah, demi Yang telah menciptakan surga dan nyawa, aku tidak memiliki
sesuatu yang khusus kecuali pemahaman al-Qur’an yang telah Allah berikan

38
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,
(Jakarta: Logos wacana Ilmu, 2002), cet. 4, h. 13. Lihat juga Deden Makbuloh, Pendidikan
Islam:Arah Baru Pengembangan Ilmu dan Kepribadian di Perguruan Tinggi, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2011), cet. 1, h. 171.
39
Muhammad al-Maliki al-Hasani, Kemuliaan dan Kesempurnaan Pribadi Muhammad
SAW, terj. Muhammad Al Mighwar, (Bandung: Pustaka Pelajar, 2006), h. 370.

14
kepadaku.” Ibnu Abi Dunya berkata, “Ilmu al-Qur’an dan pengetahuan yang
didapat darinya seperti lautan yang tak bertepi.”40
Sedangkan Sunnah sebagai sumber ilmu pengetahuan dapat disinyalir dari
hadis shahih yang menyatakan bahwa para nabi tidak mewariskan dinar dan
dirham, melainkan mewariskan ilmu. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallhu
‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Tirmidzi dari Abu
Darda sebagai berikut:

‫ ِمَس ْعُت َعاِص َم ْبَن َرَج اِء ْبِن‬،‫ َح َّد َثَنا َعْبُد الَّلِه ْبُن َداُو َد‬،‫َح َّد َثَنا ُمَس َّد ُد ْبُن ُمَس ْر َه ٍد‬
‫ ُك ْنُت َج اِلًس ا َم َع َأىِب‬: ‫ َق اَل‬، ‫ َعْن َك ِث ِري ْبِن َقْيٍس‬، ‫ َعْن َداُو َد ْبِن ِمَج يٍل‬، ‫َح ْيَو َة َحُيِّد ُث‬
‫ ِإىِّن ِج ْئُتَك ِم ِديَن ِة‬، ‫ ا َأ ا الَّد اِء‬: ‫ َق اَل‬، ‫الَّد اِء ىِف ِج ِد ِد‬
‫ْن َم‬ ‫ َفَج اَءُه َرُج ٌل َف َي َب ْر َد‬، ‫َم ْش َق‬ ‫ْر َد َمْس‬
‫الَّر ُس وِل صلى اهلل عليه وسلم َحِلِديٍث َبَلَغىِن َأَّنَك َحُتِّد ُثُه َعْن َرُس وِل الَّل ِه صلى اهلل عليه‬
« : ‫ َف ِإىِّن ِمَس ْعُت َرُس وَل الَّل ِه صلى اهلل عليه وسلم َيُق وُل‬: ‫ َق اَل‬،‫ َم ا ِج ْئُت َحِلاَج ٍة‬،‫وسلم‬
‫ َو ِإَّن اْلَم َالِئَك َة‬،‫َمْن َس َلَك َطِر يًق ا َيْطُلُب ِفيِه ِعْلًم ا َس َلَك الَّل ُه ِب ِه َطِر يًق ا ِم ْن ُط ُر ِق اَجْلَّن ِة‬
‫ ِإَّن اْلَع ا َلَي َتْغِف َل ُه َمْن ىِف الَّس اِت َمْن ىِف‬، ‫َلَتَض َأْج ِنَح َتَه ا ِر ًض ا ِلَط اِلِب اْلِعْلِم‬
‫َمَو َو‬ ‫َمِل ْس ُر‬ ‫َو‬ ‫ُع‬
‫ ِإَّن َفْض اْلَع اِمِل َعَلى اْلَعاِبِد َك َفْض ِل اْلَق ِر َلْيَل َة اْلَب ْد ِر‬، ‫اَألْر ِض اِحْليَتاُن ىِف َجْو ِف اْل اِء‬
‫َم‬ ‫َل‬ ‫َم َو‬ ‫َو‬
‫ِء‬
‫ َو ِإَّن اَألْنِبَي اَء ْمَل ُيَو ِّر ُث وا ِديَن اًر ا َو َال‬، ‫ َو ِإَّن اْلُعَلَم اَء َو َر َث ُة اَألْنِبَي ا‬، ‫َعَلى َس اِئِر اْلَك َو اِكِب‬
41 ‫ِف‬
.‫ َفَمْن َأَخ َذ ُه َأَخ َذ َحِبٍّظ َو ا ر‬، ‫ َو َّر ُثوا اْلِعْلَم‬،‫ِدْر ًمَها‬
Artinya: “Musaddad bin Musarhad telah menceritakan kepada kami,
Abdullah bin Daud telah menceritakan kepada kami, aku mendengar ‘Ashim bin
Raja’ bin Haiwah bercerita, dari Daud bin Jamil, dari Katsir bin Qais, ia berkata:
“Aku duduk bersama Abu Darda di Masjid Demaskus, seseorang
menghampirinya dan berkata: “Wahai Abu Darda! Sesungguhnya aku
mendatangimu dari kota Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam (Madinah)
untuk mendapatkan sebuah hadis, bukan untuk keperluan lain, karena itu
sampaikanlah kepadaku sebuah hadis yang engkau ketahui dari Rasulullah
40
Maulana Muhammad Zakariyya al-Khandalawi (selanjutnya disebut al-Khandalawi),
Himpunan Fadhilah Amal, terj. A. Abdurrahman Ahmad, (Yogyakarta: Ash-Shaff, 2003), h. 573.
41
al-Imâm al-Hâfizh Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sijastâniy al-Azadiy
(selanjutnya disebut Imam Abu Daud), Sunan Abu Daud, Juz IV, I’dâd wa Ta’lîq ‘Izzat ‘Ubaid al-
Da’âs dan Adil al-Sayyid (Beirut: Dâr Ibn Hazam, 1997), h. 39-40. Lihat al-Imâm al-Hâfizh Abu
Isa Muhammad bin Isa bin Saurah al-Tirmidziy (selanjutnya disebut Imam Tirmidzi), al-Jâmi’ al-
Shahîh wa Huwa Sunan al-Tirmidziy, juz V, tahqîq Ibrahim ‘Uthwah ‘Iwadh (Mesir: Syirkah
Maktabah wa Mathba’ah Musthafâ al-Bâbiy al-Halabiy wa Awlâduh, 1975), h. 48.

15
sahallallahu ‘alaihi wasallam. Abu Darda radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku
pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan
memudahkan jalannya ke surga. Dan sesungguhnya malaikat membentangkan
sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena puas dengan apa yang
diperbuatnya, dan bahwasanya penduduk langit dan bumi, bahkan ikan di dalam
air itu senantiasa memintakan ampunan bagi orang yang berilmu. Kelebihan orang
‘alim terhadap ‘abid (orang yang beribadah tapi tidak pandai/berilmu) adalah
bagaikan kelebihan bulan purnama terhadap bintang-bintang yang lain.
Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi dan bahwasanya para nabi itu tidak
mewariskan dinar dan dirham (kekayaan duniawi), tetapi para nabi mewariskan
ilmu pengetahuan, maka barang siapa yang mengambil (menuntut) ilmu, maka ia
telah mengambil bagian yang sempurna.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan lain-lain
dengan sanad hasan lighairih.42 Hadis ini dishahihkan oleh Al-Hakim dan Ibnu
Hibban, demikian juga al-Albâniy43).

Kandungan hadis di atas merupakan dorongan untuk mengapresiasi orang


yang menuntut ilmu. Ilmu merupakan warisan yang mulia, karena dapat
menyinari manusia menuju jalan kebaikan dan kebenaran. Sempurnanya ilmu
adalah dengan amal dan mengikuti Sunnah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam akhlak dan ibadah. Sedangkan ahli ilmu (ulama) adalah pewaris
nabi, karena ia menjaga ajaran dan risalah nabi. Demikianlah, ilmu sebagai pokok
dari kenabian yang jika hilang maka akan hilang pula hasil pokok tersebut.44
Konteks Sunnah sebagai sumber ilmu pengetahuan dalam pembahasan ini
sangat jelas diungkapkan oleh Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam dalam
hadis di atas. Sabda Nabi sahallallahu ‘alaihi wasallam bahwa para nabi tidak
mewariskan dinar dan dirham tetapi mewariskan ilmu. Artinya, para nabi tidak
mewariskan kemewahan dunia yang identik dengan dinar dan dirham, dan
menghilangkan anggapan bahwa mereka menginginkan kemewahan dunia
tersebut.45 Warisan ilmu tersebut bertujuan untuk menjelaskan tentang Islam dan
hukum-hukum yang berlaku.46

42
al-Hâfizh Dhiyâ’ al-Dîn Muhammad bin Abd al-Wâhid al-Maqdisiy, Fadhâil al-‘A’mâl,
Juz IV, tahqîq Ghassân Isa Muhammad Hermâs (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1987), h. 557.
43
Imam Tirmidzi, Sunan al-Tirmidziy, biahkâm al-‘Allâmah al-Muhaddits Muhammad
Nâshir al-Dîn al-Albâniy (Riyadh: Maktabah al-Ma’ârif li al-Nasyr wa al-Tauzi’, t.t), h. 604.
44
al-Khandalawi, h. 573.
45
al-Syekh Khalil Ahmad al-Sahhâranfûriy (selanjutnya disebut al-Sahhâranfûriy), Badzl
al-Majhûd fi Halli Abi Daud, juz XV (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 329.
46
Abu al-Thayyib Muhammad Syams al-Haqq al-‘Azhîm Âbâdiy (selanjutnya disebut
Âbâdiy), ‘Aun al-Ma’bûd: Syarh Suanan Abi Daud, Juz X, ta’lîq al-Hâfizh Ibn Qayyim al-

16
Menurut Ibn al-Qayyim, hal ini menunjukkan kesempurnaan para nabi dan
besarnya kebaikan mereka terhadap umat, serta menunjukkan kesempurnaan
nikmat Allah subhanahu wata’ala kepada mereka. Dengan demikian, umat mereka
harus menghilangkan penyakit hati yang membuat seseorang berpikir bahwa para
nabi adalah seperti raja yang menginginkan dunia dan kemewahannya. Karena
pada umumnya manusia menginginkan kemewahan dunia untuk anaknya
sepeninggalnya sehingga ia rela bersusah payah membanting tulang untuk
anaknya, maka sabda Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam di atas
menunjukkan bahwa Allah subhanahu wata’ala menghindarkan para nabi dan
rasul dari anggapan semacam itu.47
Konteks para nabi mewariskan ilmu kepada generasi berikutnya juga
disebutkan Allah dalam beberapa ayat, di antaranya adalah:

         


        
          
       
Artinya: “Dan
sesungguhnya Kami telah memberi ilmu kepada Daud dan
Sulaiman; dan keduanya mengucapkan: "Segala puji bagi Allah yang melebihkan
kami dari kebanyakan hamba-hambanya yang beriman". Dan Sulaiman telah
mewarisi Daud, dan dia berkata: "Hai manusia, kami telah diberi pengertian
tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini
benar-benar suatu kurnia yang nyata.” (QS. al-Naml ayat 15-16).

Bagian akhir hadis di atas, Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam


bersabda: “Barangsiapa yang mengambil warisan Nabi itu (ilmu), maka ia
mendapatkan bagian yang banyak”. Maksudnya adalah bagian yang sempurna,
karena tidak ada yang melampaui warisan kenabian ini, 48 bagian yang manfaatnya
paling besar, paling baik, dan paling langgeng bagi manusia, dan tidak lain ini
adalah ilmu dan agama.49 Karena manfaat ilmu dan agama yang dimiliki
seseorang lalu diajarkan kepada orang lain adalah kekal. Apabila terputus dari

Jauziyyah (Madinah: al-Maktabah al-salafiyyah, 1968), h. 73.


47
al-‘Allâmah al-Imâm Syaikh al-Islâm Syams al-Dîn Abu Abdullah Muhammad bin Abu
Bakar Ibn Qayyim al-Jauziyyah (selanjutnya disebut Ibn Qayyim), al-‘Ilm Fadhluhu wa
Syarafuhu, (Riyadh: Majmû’ah al-Tuhaf al-Nafâis al-Dauliyyah, 1996), h. 64-65.
48
al-Sahhâranfûriy, h. 330.
49
Âbâdiy, h. 73.

17
pemiliknya, maka kebaikannya akan tetap sampai kepada pemiliknya untuk
selamanya, sedangkan hal-hal lainnya akan hilang dan sia-sia.

a. Ayat-ayat Kauniyyah (Alam Semesta)

Penempatan Alquran dan Sunnah sebagai sumber utama ilmu dalam


perspektif Islam memang sudah semestinya. Karena keduanya merupakan sumber
ideal umat Islam dalam menempuh kehidupan di dunia dan untuk meraih
kebahagiaan akhirat. Namun semua benda dan kejadian di alam raya
merupakan ayat Tuhan, yaitu petunjuk-petunjuk dan simbol-simbol Tuhan. Atas
dasar ini pula, cakupan ilmu dalam konsep Islam meliputi alam semesta (ayat-
ayat kauniyyah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengisyaratkan bahwa
alam semesta dan segala fenomenanya merupakan sumber ilmu dalam Islam,
seperti terdapat dalama riwayat Imam Muslim dari Anas, sebagai berikut:

‫ َق اَل‬، ‫ ِكَالَمُها َعِن اَألْس َو ِد ْبِن َع اِم ٍر‬، ‫َح َّد َثَنا َأُبو َبْك ِر ْبُن َأىِب َش ْيَبَة َو َعْم ٌر و الَّناِق ُد‬
،‫ َعْن َأِبيِه‬،‫ َح َّد َثَنا َّمَحاُد ْبُن َس َلَم َة َعْن ِه َش اِم ْبِن ُع ْر َو َة‬، ‫ َح َّد َثَنا َأْس َو ُد ْبُن َع اِم ٍر‬: ‫َأُبو َبْك ٍر‬
. ‫ َأَّن الَّنَّىِب صلى اهلل عليه وسلم َم َّر ِبَق ْو ٍم ُيَلِّق ُح وَن‬، ‫ َعْن َأَنٍس‬، ‫َعْن َعاِئَش َة َو َعْن َث اِبٍت‬
:‫ َم ا ِلَنْخ ِلُك ْم ؟ َق اُلوا‬: ‫ َفَق اَل‬. ‫ َفَخ َر َج ِش يًص ا َفَم َّر ِهِبْم‬: ‫ َق اَل‬. ‫ َل ْو ْمَل َتْف َعُل وا َلَص ُلَح‬: ‫َفَق اَل‬
50
. ‫ َأْنُتْم َأْع َلُم ِبَأْم ِر ُدْنَياُك ْم‬: ‫ُقْلَت َك َذ ا َو َك َذ ا! َقاَل‬
Artinya: “Ab Bakar bin Abi Syaibah dan Amr al-Nâqid menceritakan
kepada kami, keduanya (meriwayatkan) dari al-Aswad bin Amir. Abu Bakar
berkata: “Aswad bin Amir menceritakan kepada kami, Hammad bin Salamah
menceritakan kepada kami dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah,
dari Tsabit, dari Anas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama berpapasan
dengan sekolompok orang yang sedang mengawinkan pohon kurmanya. Lalu
beliau bersabda, “Seandainya kalian tidak melakukan (itu) niscaya hal itu akan
tetap baik.” Anas berkata: “Lalu muncullah kurma mentah yang buruk
kualitasnya. Suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama berpapasan dengan
mereka, beliau bertanya, “Ada apa dengan kurma kalian?” Mereka menjawab,
“Kurmanya buruk kualitasnya padahal Anda dahulu mengatakan ini dan itu!”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda: “Kalian lebih mengetahui urusan
dunia kalian.” (HR. Imam Muslim)

50
Imam Muslim, Shahîh Muslim, jilid II, h. 426-427.

18
Cuplikan kisah di atas menggambarkan ketidaktepatan sabda Rasulullah
sahallallahu ‘alaihi wasallam dengan kenyataan. Beliau mengatakan, “Jika kalian
tidak melakukan hal itu (penyerbukan), niscaya baik”. Nyatanya, setelah mereka
meninggalkan penyerbukan itu, keluarlah buah kurma jelek, kering dan jatuh.
Apakah Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam keliru? Pertanyaan ini bisa
berimplikasi fatal jika dipahami dengan mentah-mentah dan sepotong-sepotong,
sehingga hadis ini diartikan sebagai pembenaran Rasulullah sahallallahu ‘alaihi
wasallam bahwa urusan dunia sepenuhnya diatur menurut selera masing-masing.
Hadis ini sama sekali bukan pembenaran terhadap sekularisme.
Pemahaman bahwa hadis ini sebagai penyerahan urusan dunia kepada masing-
masing individu bermula dari pemahaman yang terpotong. Memahami
keseluruhan hadits tersebut hanya dari potongan kalimat antum a’lamu bi amri
dunyâkum merupakan pelanggaran terhadap etika berpikir. Tidak etis, jika kita
memahami pernyataan seseorang, apalagi sabda Nabi, tidak dari konteksnya.
Soalnya, konteks merupakan qarinah yang menuntun kepada apa sebenarnya yang
dimaksudkan oleh penuturnya.
Melihat konteks kalimat, posisi antum a’lamu bi amri dunyâkum dalam
hadits tersebut bukan sebagai tasyri’, tapi i‘tidzar (dalih) Rasulullah sahallallahu
‘alaihi wasallam atas ketidaksesuaian pandangan beliau dengan kenyataan.
Indikasi i’tidzar itu juga didukung oleh riwayat-riwayat lain yang senada.
Diriwayatkan oleh Thalhah dari ayahnya: “Aku bersama Rasulullah
sahallallahu ‘alaihi wasallam lewat di antara orang-orang yang sedang memanjat
pohon kurma. “Apa yang mereka lakukan?” tanya Rasul. “Menyerbukkan kurma,”
jawab sahabat. Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Menurut
dugaanku, itu tidak memberi pengaruh apa-apa”. Sahabat memberitahukan sabda
Rasul tersebut kepada para pemanjat. Mereka meninggalkan pekerjaan itu. Lalu
sahabat memberitahukan hal tersebut kepada Rasul. Rasulullah sahallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Jika hal itu berguna, maka lakukanlah. Aku hanya
berpraduga. Jangan kau memegang pradugaku, tapi jika aku menyampaikan
sesuatu dari Allah, maka ambillah. Sesungguhnya aku takkan berdusta atas

19
Allah.”51 Hadis senada juga dari ‘Ikrimah bin ‘Ammar, dalam hal ini Rasulullah
sahallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku ini seorang manusia. Jika aku
memerintahkan urusan agama kepada kalian, maka kerjakanlah. Bila aku
memerintahkan sesuatu dari pendapatku, maka aku ini adalah manusia.”52
Imam al-Nawawi dalam syarahnya, mengkhususkan hadis ini hanya dalam
urusan duniawi dan mata pencaharian, bukan dalam urusan syariat dan
pemberlakuannya. Urusan duniawi yang dimaksud adalah hanya berkisar hal-hal
yang disabdakan beliau tidak dalam konteks tayri’ (menjadikan peraturan).
Sedang ijtihad beliau mengenai urusan duniawi dalam konteks tasyri’, wajib
dijadikan sebagai pedoman. Sementara mengawinkan pohon kurma tidak
termasuk dalam konteks tasyri’, tetapi masuk dalam konteks permasalahan
duniawi semata dan Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam tidak menilai apa
yang disabdakannya terkait dengan pengawinan pohon kurma tersebut sebagai
sebuah syariat.53
Para ulama mengatakan bahwa sabda Nabi sahallallahu ‘alaihi wasallam
tentang mengawinkan pohon kurma tersebut bukanlah sebuah khabar (hadis atau
pemberitaan wahyu), melainkan perkataan beliau yang berdasarkan asumsi atau
dugaan pribadi semata. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam dua hadis di atas. 54
Selanjutnya, para ulama mengatakan bahwa pendapat dan perkiraan pribadi Nabi
sahallallahu ‘alaihi wasallam dalam urusan penghidupan duniawi itu sama halnya
dengan pendapat dan praduga manusia lainnya. Oleh karena itu, hal seperti ini
tidak boleh dianggap mustahil dan sama sekali bukanlah merupakan cacat. Itu
terjadi karena semangat dan ambisi mereka (para sahabat) selalu terfokus pada
akhirat, sehingga kurang perhatian terhadap urusan duniawi. 55 Sebaliknya, ahli
dunia yang senantiasa berorientasi kepada kehidupan duniawi dan lalai terhadap
akhiratnya.
51
Imam Muslim, Shahîh Muslim, jilid II, h. 426.
52
Imam Muslim, Shahîh Muslim, jilid II, h. 426.
53
al-Nawawiy, Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawawiy, Juz XV, h. 116.
54
al-Nawawiy, Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawawiy, h. 116. Lihat juga al-Imâm al-Hâfizh
Abu al-Fadhl ‘Iyâdh bin Musa bin‘Iyâdh al-Yahshabiy, Ikmâl al-Mu’lim bi Fawâid Muslim, juz
VII, tahqîq Yahya Ismail (al-Manshurah: Dâr al-Wafâ li al-Thaba’ah wa al-Nasyr wa al-Taujî’,
1998), h. 334
55
Musa Syâhîn al-Atsîn, Fath al-Mun’im: Syarh Shahîh Muslim, juz IX (Kairo: Dâr al-
Syurûq, 2002), h. 231.

20
Al-Hasil, semuanya sepakat bahwa hadits ini tidak bisa dipahami hanya
pada potongan kalimat antum a’lam bi amri dunyâkum. Tapi, harus dipahami
sesuai konteks kalimat. Secara lafdhiyah dan haliyah, terdapat qarinah yang
mengindikasikan bahwa hadis ini tidak bisa dijadikan dalil pemasrahan urusan
dunia kepada masing-masing orang.
Kasus penyerbukan kurma, jelas diserahkan kepada ahli kurma. Seperti
Nabi sahallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya pada Salman Alfarisi dalam
strategi perang, yang kemudian Nabi sahallallahu ‘alaihi wasallam mengikuti
saran membuat parit mengelilingi kota. Makanya sering kali sahabat bertanya dulu
pada Nabi sahallallahu ‘alaihi wasallam, apakah yang dikatakan Nabi
sahallallahu ‘alaihi wasallam itu dari wahyu atau bukan? Kalau wahyu, langsung
mereka diam dan taat. Kalau pendapat pribadi, maka sahabat mengajak Nabi
sahallallahu ‘alaihi wasallam diskusi mencari ide yang lebih baik.
Jadi, alam semesta sebagai sumber ilmu pengetahuan menurut hadis-hadis
di atas sudah sangat jelas pada beberapa potongan kalimat dalam kasus
penyerbukan pohon kurma, yaitu: “Jika hal itu bermanfaat bagi mereka, maka
silakan mereka melakukakannya”, dan “kalian lebih mengetahui urusan dunia
kalian.” Hal ini mengindikasikan bahwa manusia diberi otoritas sepenuhnya untuk
memanfaatkan semua yang diciptakan Allah, baik yang ada di darat dan di laut,
bahkan di udara untuk kemaslahatan dan kesejahteraan hidup manusia itu
sendiri. Untuk bisa memanfaatkan semua itu jelas diperlukan ilmu pengetahuan.
Di samping itu, ungkapan tersebut mengindikasikan pemikiran, pengalaman,
penelitian, percocabaan, dan lain-lain dalam menemukan ilmu pengetahuan yang
benar.
Alam semesta, bumi, langit beserta segala isinya, Allah Subhânahu wa
Ta’ala peruntukkan kepada manusia. Manusia sesuai dengan kehadirannya di
muka bumi sebagai khalifah, diberi wewenang dan hak untuk mengelolah dan
memanfaatkannya, untuk kebahagian lahir dan bathin. Sebagaimana Firman-Nya:

           
          
        

21
Artinya: “Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah
menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi
dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara
manusia ada yang membantah tentang (ke-Esaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan
atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.” (QS. Lukman [31]:
20).

Kreativitas manusia dalam mengelolah alam semesta, akan melahirkan


berbagai inovasi sesuai dengan tuntunan perkembangan zaman dan pradaban.
Variasi dari objek penilitian terhadap alam tersebut, akan melahirkan ilmu alam,
ilmu eksakta (pasti) termasuk sains dan teknologi. Keberadaan ilmu-ilmu ini,
lebih banyak mendekati kebenaran, dalam arti sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an
dan Sunnah, sebab yang dikaji adalah sunnatullah fi al-qaum yang bersifat tetap
dan pasti.
Dengan demikian, dapat kita ketahui bahwa sumber ilmu pengetahuan itu
berasal dari dua sumber yaitu ayat-ayat tanziliyah (Alquran dan Sunnah) dan ayat-
ayat kauniyah (alam semesta dan segala fenomenanya). Berbeda halnya dengan
pemikiran Barat yang mengandalkan hanya satu sumber, yakni alam atau
universum, dan dalam memahaminya pun hanya mengandalkan kemampuan indra
dan akal, yang jelas kemampuannya sangat terbatas.
Berdasarkan paparan di atas, seyogyanya pendidikan Islam menempatkan
Alquran dan Sunnah pada posisi yang paling sentral sebagai dasar dan sumber
pendidikan Islam. Pendidikan adalah bagian integral yang tak terpisahkan dari
ajaran Islam secara keseluruhan. Dasar-dasar pendidikan Islam inheren dengan
sumber utama ajaran Islam itu sendiri. Oleh karena itu, segala kegiatan dan proses
pendidikan Islam harus senantiasa berorientasi pada prinsip dan nilai-nilai
Alquran dan Sunnah. Hasan Langgulung seperti dikutip Azyumardi Azra,
menyatakan bahwa Alquran dan sunnah sebagai dasar pendidikan Islam
mengandung beberapa hal positif bagi pengembangan pendidikan, yaitu antara
lain penghormatan dan penghargaan kepada akal manusia, bimbingan ilmiah,
tidak menentang fitrah manusia dan memelihara keutuhan dan kebutuhan sosial.56

56
Azyumardi Azra, h. 9.

22
Senada dikemukakan Burhanuddin Abdullah, Alquran dan Sunnah sebagai
dasar dan sumber pendidikan Islam selalu relavan dan sesuai dengan situasi dan
kondisi perubahan zaman. Artinya, Alquran dan Sunnah memiliki makna atau
tafsir yang kontekstual dinamis.57 Oleh karena itu, para ahli pendidikan Islam
dituntut untuk selalu menggali kedua sumber tersebut untuk mengembangkan
pendidikan Islam agar seirama dengan perkembangan kebudayaan, sains dan
teknologi modern.
Di samping itu, studi emperis terhadap alam dan kehidupan manusia
semestinya juga mendapatkan prioritas yang sama dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan pendidikan Islam. Adanya ayat-ayat kauniyah tersebut tidak
dapat diabaikan begitu saja tanpa mendistorsi cakupan makna Alquran dan
Sunnah. Studi empirik interdisepliner dapat memahami kandungan ayat-ayat
tanziliyah (Alquran dan Sunnah) dengan utuh.58

3. Pemanfaatan Ilmu
Pemanfaatan ilmu pengetahuan adalah suatu keharusan dan bahkan wajib
dalam Islam. Sebab, ilmu yang telah miliki akan diminta pertanggungjawaban
tentang pemanfaatannya kelak di akhirat. Sebagaimana ditegaskan oleh Nabi
Muhammad sahallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya sebagi berikut:

‫ َح َّد َثَنا َأُبو َبْك ِر ْبِن‬، ‫ َأْخ َبَر َن ا اَألْس َو ُد ْبُن َع اِم ٍر‬، ‫َح َّد َثَنا َعْب ُد اِهلل ْبِن َعْب ِد ال َّرمْح ِن‬
‫ َقاَل‬: ‫ َقاَل‬، ‫َعَّي اٍش َعِن اَألْع َم ِش َعْن َس ِعْيِد ْبِن َعْب ِد اِهلل ْبِن ُج َر ْيٍج َعْن َأيِب َبْر َز َة اَألْس َلِم ِّي‬
‫َرُس ُل اِهلل َص َّلى اُهلل َعَلْي ِه َس َّل اَل َتُزْو َل َق َد َم ا َعْب ٍد َي َم اْلِق َياَم ِة َح ىَّت َأَل َعْن ُعْم ِرِه‬
‫ُيْس‬ ‫ْو‬ ‫َو َم‬ ‫ْو‬
‫ِج ِمِه‬ ‫ِف‬ ‫ِلِه ِم‬ ‫ِع ِم ِه ِف‬ ‫ِف‬
‫ َو َعْن ْس‬،‫ َو َعْن َم ا ْن َأْيَن اْك َتَس َبُه َو ْيَم َأْنَفَق ُه‬،‫ َو َعْن ْل ْيَم َفَع َل‬،‫ْيَم ا َأْفَن اُه‬
‫ِف‬
‫ْيَم َأْبَالُه‬
59

57
Burhanuddin Abdullah, Pendidikan Islam Sebagai Sebuah Disiplin Ilmu (Yogyakarta:
Pustaka Prisma, 2010), h. 64.
58
Didiek Ahmad Supadie, ed. Pengantar Studi Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2011), h. 256.
59
Imam al-Tirmidziy, al-Jâmi’ al-Shahîh wa Huwa Sunan al-Tirmidziy, juz IV, h. 612.
Lihat al-Imâm al-Hâfizh Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman bin al-Fadhl bin Bahram al-
Dârimiy, Sunan al-Dârimiy, juz I, tahqîq Husein Salim Asad al-Dârâniy (Riyadh: Dâr al-Mughniy
li al-Nasyr wa al-Tauzî’, 2000), h. 543.

23
Artinya: “Abdullah bin Abdurrahman menceritakan kepada kami, al-
Aswad bin ‘Amir mengabarkan kepada kami, Abu Bakar bin ‘Ayyâs
menceritakan kepada kami dari al-‘A’masy, dari Sa’id bin Abdullah bin Juraij,
dari Abu Barzah al-Aslamiy, dia berkata: Rasulullah sahallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada
hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya
kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang
hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang
tubuhnya untuk apa digunakannya.” (al-Tirmidzi menyatakan bahwa hadis ini
hasan-shahih. Sedangkan menurut Husein Salim Asad hadis ini shahih dengan
sanad yang hasan, karena terdapat Abu Bakar bin ‘Ayyâs, sebagimana
diriwayatkan al-Dârimiy).

Hadis di atas meinformasikan tentang empat hal yang harus kita


pertanggungjawabkan kepada Allah Subhânahu Wa Ta’ala pada hari kiamat nanti,
yaitu umur, ilmu, harta, dan tubuh. Semua nikmat ini dipertanggungjawabkan
tentang pemanfaannya.
Ilmu yang dipertanggungjawabkan dalam konteks bahasan ini mencakup
semua yang bermanfaat bagi manusia seperti meliputi ilmu agama, ilmu alam,
ilmu sosial dan lain-lain. Ilmu-ilmu ini jika dikembangkan dengan benar dan baik
maka memberikan dampak yang positif bagi peradaban manusia. Misalnya,
perkembangan sains akan memberikan kemudahan dalam lapangan praktikal
manusia.
Hadis di atas menginginkan agar antara ilmu dan amal selaras. Barang
siapa berilmu maka dia harus berbuat, baik itu ilmu yang berhubungan dengan
masalah ibadah maupun ilmu-ilmu yang lain. Tidak tidak bermanfaat ilmu yang
tidak diamalkan. Amal merupakan buah dari ilmu, jika ada orang yang
mempunyai ilmu tapi tidak beramal maka seperti pohon yang tidak menghasilkan
manfaat bagi penanamnya. Begitu pula, tidak ada manfaatnya ilmu fikih yang
dimiliki seorang fakih jika dia tidak mengubahnya menjadi perbuatan.
Padahal, kaedah Islam menekankan bahawa ilmu senantiasa menyeru
kepada amal perbuatan. Keduanya tidak ubahnya sebagai dua benda yang
senantiasa bersama dan tidak terpisah satu sama lain. Jika amal memenuhi seruan
ilmu maka umat menjadi baik dan berkembang. Namun jika tidak, maka ilmu

24
akan meninggalkan amal perbuatan, dan dia akan tetap tinggal tanpa memberikan
manfaat apa pun. Jika demikian nilai apa yang dimiliki seorang manusia yang
mempunyai segudang teori dan pengetahuan namun tidak mempraktikkannya
dalam dunia nyata. Kondisi seperti ini bisa menjadi bumerang dan bahkan
dimurkai Allah, sebagai firman-Nya:

         


        
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan
sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa
kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. al-Shaffat [61]: 2-3).
Ayat di atas menjelaskan bahwa ilmu dengan amal sejatinya senantiasa
bergandengan. Makna ilmu diungkapkan dalam bentuk kata iman pada banyak
tempat, dengan pengertian bahawa iman adalah ilmu atau keyakinan. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa ilmu digunakan untuk bertaqwa
kepada Allah Subhânahu Wa Ta’ala dan menggapai rahmat-Nya, sebagai berikut:

‫ِلٍم‬ ‫ِع ٍم‬ ‫ِإ ِع‬


‫ َح َّد َثَنا ُيْو ُنُس‬، ‫ َح َّد َثَنا َعَباَدُة ْبُن ُمْس‬، ‫ َح َّد َثَنا َأُبو َن ْي‬،‫َح َّد َثَنا َحُمَّم ُد ْبُن مْس ْيَل‬
‫ِمَس‬ ‫ِع ِد ِئ‬ ‫ٍب‬
‫ َح َّد َثيِن َأُبو َك ْبَش َة اَأْلَمْناِر ُّي َأَّنُه َع‬: ‫ْبُن َخ َّب ا َعْن َس ْي الَّط ا ِّي َأيِب اْلَبْخ ِرَت ِّي َأَّنُه َق اَل‬
،‫ َثَالَثٌة ُأْقِس ُم َعَلْيِه َّن َو ُأَح ِّد ُثُك ْم َح ِدْيًثا َفاْح َف ُظْو ُه‬: ‫َرُسْو َل اِهلل َص َّلى اُهلل َعَلْيِه َو َس َّلَم َيُقْو ُل‬
،‫ َو اَل َظِلَم َعْب ٌد َم ْظَلَم ًة َفَص َبَر َعَلْيَه ا ِإاَّل َز اَدُه اُهلل ِع ًّز ا‬،‫ َم اَنَق َص َم اُل َعْب ٍد ِم ْن َص َد َقٍة‬: ‫َقاَل‬
‫ َو ُأَح ِّد ُثُك ْم َح ِدْيًثا‬،‫َو اَل َفَتَح َعْبٌد َباَب َمْسَئَلٍة ِإَّال َفَتَح اُهلل َعَلْيِه َباَب َفْق ٍر َأْو َك ِلَم ًة ْحَنَو َه ا‬
،‫ َعْب ٍد َر َز َق ُه اُهلل َم ااًل َو ِعْلًم ا َفُه َو َيَّتِق ي ِفْي ِه َر َّبُه‬: ‫ ِإَمَّنا الُّد ْنَيا َأِلْر َبَع ِة َنَف ٍر‬: ‫ َق اَل‬،‫َف اْح َف ُظْو ُه‬
‫ِع‬ ‫ٍد‬ ‫ِل‬ ‫ِهلل ِف ِه‬ ‫ِص ِف ِه‬
‫ َو َعْب َر َز َق ُه اُهلل ْلًم ا َو ْمَل‬. ‫ َفهَذ ا ِبَأْفَض ِل اْلَم َن اِز‬،‫ َو َيْع َلُم ْي َح ًّق ا‬،‫َو َي ُل ْي َر َمِحُه‬
‫ِن‬ ‫ٍن‬ ‫ِم‬ ‫ِة‬ ‫ِد‬
‫ َل ْو َأَّن يِل َم ااًل َلَع ْلُت ِبَعَم ِل ُفَال َفُه َو َّيُت ُه‬: ‫ َفُه َو َص ا ُق الِّنَّي َيُق ْو ُل‬،‫َيْر ُز ْق ُه َم اًال‬
‫ َفُه َو ْخَيِب ُط يِف َم اِلِه ِبَغِرْي ِعْلٍم اَل‬،‫ َو َعْب ٍد َر َز َق ُه اُهلل َم ااًل َو ْمَل َيْر ُز ْق ُه ِعْلًم ا‬.‫َفَأْج ُر َمُها َس َو اٌء‬
‫ ٍد‬. ‫ َفهَذ ا ِبَأ ِث اْل اِز ِل‬،‫ اَل َل ِهلل ِف ِه ًّقا‬، ‫ اَل ِص ِف ِه‬، ‫َّتِق ى ِف ِه َّب‬
‫َو َعْب‬ ‫ْخ َب َم َن‬ ‫َي ْي َر ُه َو َي ُل ْي َر َمِحُه َو َيْع ُم ْي َح‬
‫ِن‬ ‫ٍن‬ ‫ِم ِف ِه‬ ‫ِع‬
‫ َلْو َأَّن يِل َم ااًل َلَع ْلُت ْي ِبَعَم ِل ُفاَل َفُه َو َّيُت ُه‬: ‫ْمَل َيْر ُز ْقُه اُهلل َم ااًل َو اَل ْلًم ا َفُه َو َيُق ْو ُل‬
60
.‫َفِو ْز ُر َمُها َس َو اٌء‬
60
Imam al-Tirmidziy, juz IV, h. 562-563; Imam Ahmad, juz XXIX, h. 561-562.

25
Artinya: “Muhammad bin Ismail menceritakan kepada kami, Abu Na’im
menceritakan kepada kami, Ubadah bin Muslim menceritakan kepada kami,
Yunus bin Khabbab menceritakan kepada kami dari Sa’id al-Thâiy Abu al-
Bakhtariy, ia berkata: Abu Kabsyah al-Anmariy mencerikan kepadaku bahwa ia
mendengar Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ada tiga perkara
yang aku bersumpah atasnya dan kuberitahukan kepada kalian suatu hadis, maka
peliharalah itu, beliau bersabda: “Tidaklah harta seseorang itu akan menjadi
berkurang sebab disedekahkan, tidaklah seorang hamba dianiaya dengan suatu
penganiayaan dan ia bersabar dalam menderitanya melainkan Allah
menambahkan kemuliaan padanya, dan tidaklah seorang hamba itu membuka
pintu permintaan, melainkan Allah membuka untuknya pintu kemiskinan, atau
sejenisnya." Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam melanjutkan, dan
kuberitahukan kepada kalian suatu hadis, maka peliharalah itu, beliau bersabda:
“Sesungguhnya di dunia ini ada empat golongan manusia. Pertama, manusia yang
diberi oleh Allah harta dan ilmu. Kemudian (harta dan ilmu tersebut) dia gunakan
untuk bertakwa kepada Tuhannya dan berusaha untuk menggapai rahmat-Nya.
Dia tahu bahwa dalam harta dan ilmu tersebut Allah memiliki hak. Maka, orang
ini mendapatkan tempat yang paling mulia (di sisi Tuhannya). Kedua, manusia
yang diberi oleh Allah ilmu, namun tidak diberi harta. Orang ini memiliki niat
yang suci, dan ia berkata, ‘Andai saja aku memiliki harta maka aku akan gunakan
seperti si fulan (disedekahkan dan digunakan untuk kebaikan).’ Maka atas niatnya
ini ia mendapatkan pahala seperti orang yang menafkahkan hartanya dalam
kebaikan. Ketiga, manusia yang diberi oleh Allah harta, namun tidak diberi ilmu.
Dia menggunakan hartanya tanpa disertai ilmu dan dia tidak bertakwa kepada
Tuhannya (dia bersedekah untuk pamer dan riya). Dia tidak tahu bahwa dalam
harta tersebut Allah memiliki hak. Maka, orang seperti ini mendapatkan tempat
yang paling hina. Keempat, manusia yang tidak diberi oleh Allah harta dan ilmu.
Dia berkata, ‘Andai saja aku memiliki harta, maka akan aku gunakan seperti si
fulan (untuk maksiat, pamer, dan riya), maka dengan niatnya ini dia akan
mendapatkan imbalan sama seperti orang yang didambakannya.” (HR. Tirmidzi
dan Ahmad. Tirmidzi menyatakan hadis ini hasan shahih, sementara al-Albaniy
menyatakan shahih).

Kelompok pertama dalam hadis di atas menduduki derajat tertinggi dan


paling mulia di sisi Allah Subhânahu wa Ta’ala. Posisi ini diperoleh dengan harta
dan ilmu yang dipergunakan untuk beribadah kepada Allah semata. Allah
Subhânahu wa Ta’ala telah memberikannya harta dengan cara halal, ilmu yang
bermanfaat, dan petunjuk untuk beramal sesuai dengan ilmu yang diketahuinya.
Kelompok pertama ini bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu disertai dengan
niat yang ikhlas, kemudian mengaplikasikan ilmu yang dimilikanya. Ilmu
membutuhkan sebuah amal, sebagaimana amal menginginkan kesuksesan. Harta
tidak akan bermanfaat, kecuali dinafkahkan ke jalan yang benar. Begitu pula

26
dengan ilmu, tidak akan memberikan manfaat kecuali diamalkan dan dan
diaplikasikan untuk kemaslahatan.
Berdasakan konteks bahasan tulisan ini, orang yang diberi oleh Allah
Subhânahu wa Ta’ala anugerah ilmu pengatahuan dan mengamalkannya
menempati posisi yang paling mulia di sisi Tuhannya. Derajat tinggi ini diperoleh
karena pemanfaatan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh untuk beribadah
kepada Allah Subhânahu wa Ta’ala dalam arti yang seluas-luasnya.
Dengan demikian, ilmu baru bisa disebut sebagai ilmu jika diamalkan.
Sebab, tidak ada ilmu yang berguna tanpa amal, dan tidak ada amal yang
bermanfaat tanpa ilmu. Maka, tujuan pemanfaatan ilmu pengetahuan adalah untuk
kesejahteraan, ketenangan, dan ketenteraman umat manusia, bukan sebaliknya
untuk mengahancurkan kehidupan dan melawan Tuhan.
Implikasinya terhadap pendidikan Islam adalah agar selalu menanamkan
kepada para stake holder bahwa usaha untuk mempelajari, menggali, dan
mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dalam rangka pengabdian kepada Allah
Subhânahu wa Ta’ala sebagai Khaliq (Pencipta) ilmu pengetahuan.

C. PENUTUP

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian hadis yang dikemukakan di atas, maka dapat


disimpulkan bahwa pada dasarnya hadis Nabi cukup banyak yang menjelaskan
hakikat dan sumber ilmu pengetahuan serta pemanfaatannya.
Hakikat ilmu pengetahuan dalam Islam adalah rangkaian aktivitas manusia
dengan prosedur ilmiah, baik melalui pengamatan, penalaran, maupun intuisi.
Rangkaian aktivitas tersebut akan menghasilkan pengetahuan yang sistematis

27
mengenai alam serta isinya. Ilmu pengetahuan dalam konsep Islam dapat
mengantarkan manusia pada pemilik rahasia alam raya ini, bukan sekadar ilmu
untuk ilmu atau ilmu bebas nilai, melainkan ilmu sarat nilai. Selain itu, juga
mengandung nilai-nilai logika, etika, estetika, hikmah, rahmah, dan petunjuk bagi
kehidupan manusia di dunia dan akhirat.
Secara garis besar, sumber ilmu pengetahuan itu diklasifikasikan menjadi
dua, yakni ayat-ayat tanziliyyah (Alquran dan Sunnah) dan ayat-ayat kauniyyah
(alam semesta dengan segala fenomenanya). Ayat-ayat tanziliyyah diperoleh
manusia melalui perantaraan utusan Allah, yaitu para Nabi dan Rasul Allah.
Sedangkan ayat-ayat kauniyyah diperoleh manusia melalui usahanya mempelajari
ciptaan Allah. Kedua sumber ilmu ini bersifat komplementer, yakni saling
melengkapi. Pemisahan keduanya berakibat munculnya dualisme keilmuan,
sebagaimana ditunjukkan oleh sejarah, dan berbahaya bagi masa depan peradaban
manusia.
Islam menekankan bahwa ilmu senantiasa menyeru kepada amal
perbuatan. Keduanya tidak ubahnya sebagai dua benda yang senantiasa bersama
dan tidak terpisah satu sama lain. Jika amal memenuhi seruan ilmu maka umat
menjadi baik dan berkembang. Ilmu dalam Islam baru bisa disebut sebagai ilmu
jika diamalkan, karena tidak ada ilmu yang berguna tanpa amal, dan tidak ada
amal yang bermanfaat tanpa ilmu. Maka, tujuan pemanfaatan ilmu pengetahuan
adalah untuk kesejahteraan, ketenangan, dan ketenteraman umat manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Âbâdiy, Abu al-Thayyib Muhammad Syams al-Haqq al-‘Azhîm. ‘Aun al-Ma’bûd:


Syarh Suanan Abi Daud, Juz X, ta’lîq al-Hâfizh Ibn Qayyim al-Jauziyyah.
Madinah: al-Maktabah al-Salafiyyah, 1968.

Abdullah, Burhanuddin. Pendidikan Islam Sebagai Sebuah Disiplin Ilmu.


Yogyakarta: Pustaka Prisma, 2010.

al-Abrâsyiy, Muhammad Athiyyah. al-Tarbiyah al-Islâmiyyah wa Falasifatuha.


Beirut: Dâr al-Fikr, 1969.

28
Ali, Muhammad Daud. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2010.

al-Andalûsiy, al-Imâm al-Hâfiz Abu Umar Yusuf bin Abdullah Ibn Muhammad
bin Abd al-Barr al-Namiriy. al-Istidzkâr, Juz XXVI. Beirut: Dâr Qutaibah
li al-Thaba’ wa al-Nasyr, 1993.

al-‘Asqalâniy, al-Hâfizh Ahmad bin Ali bin Hajar. Fath al-Bâriy bi Syarh Shahîh
al-Bukhâriy, jilid I, tahqîq Abu Qutaibah Nazhar Muhmmad al-Faryâbiy.
t.t.: Dâr Thaibah, t.t.

al-Atsîn, Musa Syâhîn. Fath al-Mun’im: Syarh Shahîh Muslim, juz IX. Kairo: Dâr
al-Syurûq, 2002.

al-Azadiy, al-Imâm al-Hâfizh Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sijastâniy.


Sunan Abu Daud, Juz IV, I’dâd wa Ta’lîq ‘Izzat ‘Ubaid al-Da’âs dan Adil
al-Sayyid. Beirut: Dâr Ibn Hazam, 1997.

Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium


Baru. Jakarta: Logos wacana Ilmu, 2002.

al-Baghdâdiy, al-‘Allâmah Abi Fadl Syihâb al-Dîn al-Sayyid Mahmûd al-Alûsiy.


Rûh al-Ma’ânî fi al-Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm wa al-Sab’i al-Matsâni,
juz XXI. Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabiy, t.t.

al-Bâjiy, al-Qâdhiy Abu al-Walîd Sulaiman bin Khalaf bin Sa’ad bin Ayyub. al-
Muntaqâ Syarh Muwathha’ Mâlik, juz VIII, tahqîq Muhammad Abd al-
Qâdir Ahmad Atha’. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999.

al-Balansiy, al-Syaikh al-‘Allâmah al-Faqîh Abu al-Hasan Ali bin Khlaf bin
Abdul Malik bin Baththâl al-Bakriy al-Qurthubiy. Syarh Shahîh al-
Bukhâriy , juz I, tahqîq Abu Tamim Yasir bin Ibrahim. Riyadh: Maktabah
al-Rusyd, t.t.

al-Bukhâriy, al-Imâm Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. al-Jâmi’ al-Shahîh:


al-Musnad min Hadîts Rasûillah Shallallâh ‘Alaih wa Sallam, juz I. Kairo:
al-Mathba’ah al-Salafiyyah wa Maktabatuha, 1400 H.

al-Dârimiy, al-Imâm al-Hâfizh Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman bin


al-Fadhl bin Bahram. Sunan al-Dârimiy, juz I, tahqîq Husein Salim Asad
al-Dârâniy. Riyadh: Dâr al-Mughniy li al-Nasyr wa al-Tauzî’, 2000.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam, Jilid II. Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1997.

29
al-Fârisiy, ‘Alâ’ al-Dîn Ali bin Balbân. Shahîh Ibn Hibbân bi Tartîb Ibn Balbân,
Juz I, tahqîq Syu’aib al-Arnaûth. Beirut: Muassah al-Risâlah li al-Thaba’
wa al-nasyr, 1993.

al-Hasani, Muhammad al-Maliki. Kemuliaan dan Kesempurnaan Pribadi


Muhammad SAW, terj. Muhammad Al Mighwar. Bandung: Pustaka
Pelajar, 2006.

Ibn Zakariya, Abu al-Husain Ibn Fâris. Mu’jam Maqâyîs al-Lughah, Juz II.
Beirut: Dâr al-Fikr, 1979.

al-Isfahaniy, al-Raghib. Mu’jam Mufradat al-Fazh al-Qur’an. Beirut: Dâr al-Fikr,


t.t.

al-Jauziyyah, al-‘Allâmah al-Imâm Syaikh al-Islâm Syams al-Dîn Abu Abdullah


Muhammad bin Abu Bakar Ibn Qayyim. al-‘Ilm Fadhluhu wa Syarafuhu.
Riyadh: Majmû’ah al-Tuhaf al-Nafâis al-Dauliyyah, 1996.

al-Jazairiy, Abu Bakar bin Jabir. Aisar at-Tafâsîr li al-Kalâm al-`Aliy al-Kabîr,
jilid IV. Madinah Al Munawwarah: Maktabah al ‘Ulum al Hikam, 2003.

al-Khandalawi, Maulana Muhammad Zakariyya. Himpunan Fadhilah Amal, terj.


A. Abdurrahman Ahmad. Yogyakarta: Ash-Shaff, 2003.

al-Khathîb, Muhammad ‘Ajjâj. Ushûl al-Hadîts Ulûmuhu wa Mushthalahuhu.


Beirût: Dâr al-Fikr,1989.

al-Kirmaniy, al-Imâm al-‘Allâmah Syamsuddin Muhammad bin Yusuf bin Ali. al-
Kawâkib al-Durariy fi Syar al-Bukhâriy, juz II. Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts
al-‘Arabiy, 1981.

Langulung, Hasan. Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al Husna Baru,


2003.

Ma’lûf, Lois. al-Munjid fi al-Lughah wa al-‘Alam. Beirut: Dâr al-Masyrûq, 1997.

Makbuloh, Deden. Pendidikan Islam:Arah Baru Pengembangan Ilmu dan


Kepribadian di Perguruan Tinggi. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011.

Malik bin Anas, al-Imâm. al-Muwaththa’, jilid II, biriwayah Yahya bin Yahya al-
Laitsiy al-Andalûsiy. Beirut: Dâr al-Gharb al-Islâmiy, 1997.

al-Maliky, Muhammad Abd al-Baqi ibn Yusuf al-Zarqani al-Mishry al-Azhariy.


Syarh al-Zarqâniy ‘ala al-Muwaththa’ al- Imam Malik, juz IV. t.t.: al-
Mathba’ah al-Khairiyyah, t.t.

30
al-Maqdisiy, al-Hâfizh Dhiyâ’ al-Dîn Muhammad bin Abd al-Wâhid. Fadhâil
al-‘A’mâl, Juz IV, tahqîq Ghassân Isa Muhammad Hermâs. Beirut:
Muassasah al-Risâlah, 1987.

Munawwir, Ahmad Warson. Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Surabaya:


Pustaka Progressif, 2002.

al-Naisâbûriy, al-Imâm al-Hâfizh Abu Abdillah al-Hâkim. al-Mustadrak ‘alâ al-


Shahîhaini, juz I. Kairo: Dâr al-Haramain li al-Thaba’ wa al-Nasyr wa al-
Tauzî’, 1997.

al-Naisâbûriy, al-Imâm al-Hâfizh Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-


Qusyairiy. Shahîh Muslim, jilid I. Beirut: Dâr al-Fikr, 1992.

_______. Shahîh Muslim, jilid II. Beirut: Dâr al-Fikr, 1992.

al-Nawawiy, al-Imâm Muhyiddin Abu Zakaria Ibn Syaraf. Shahîh Muslim bi


Syarh al-Nawawiy, juz VII. Kairo: al-Mathba’ah al-Mishriyyah bi al-
Azhâr, 1929.

_______. Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawawiy, Juz XV. Kairo: al-Mathba’ah al-
Mishriyyah bi al-Azhâr, 1929.

al-Nuhâs, al-Imâm Abu Ja’far. Ma’âni al-Qur’ân, juz V, tahqîq ‘Ali al-Shâbûniy.
Makkah: al-Jâmi’ah Umm al-Qurâ,1988.

al-Qardhâwiy, Yusuf. al-Rasûl wa al-‘Ilm. Kairo: Dâr al-Shahwah, 2001.

al-Qazwîniy, al-Imâm al-Hâfizh Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Ibn Mâjah.
Sunan Ibn Mâjah, juz II, tahqîq Muhammad Fuad Abdul Baqiy. Beirut:
Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.
Qomar, Mujamil. Epistemologi Pendidikan Islam Dari Metode Rasional Hingga
Metode Kritik. Jakarta: Erlangga, 2005.

Sa’diy, Abdurrahman bin Nashir bin Abdullah bin Nashir bin Muhammad Alu.
Bahjah Qulûb al-Abrâr wa Qurratu ‘Uyûn al-Akhyâr fî Syarhi Jawâmi’ al-
Akhyâr. Saudi Arabia: Maktabah al-Rusyd, 2002.

al-Sahhâranfûriy, al-Syekh Khalil Ahmad. Badzl al-Majhûd fi Halli Abi Daud, juz
XV. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.

Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai


Persoalan Umat. Jakarta: Mizan, 1998.

Supadie, Didiek Ahmad. ed. Pengantar Studi Islam. Jakarta: RajaGrafindo


Persada, 2011.

31
al-Syâfi’iy, Sulaiman Ibn Umar al-Ajiliy. al-Futûhât al-Ilâhiyyah, Juz II. Beirut:
Dâr al-Fikr, t.t.

al-Syibâniy, al-Imâm al-Hâfizh Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin
Asad. Musnad al-Imâm Ahmad bin Hambal, juz VII, tahqîq Syu’aib al-
Arnaûth. Beirut: Muassah al-Risâlah li al-Thaba’ wa al-nasyr, 1999.

_______. Musnad al-Imâm Ahmad bin Hambal, juz XXIX, tahqîq Syu’aib al-
Arnaûth. Beirut: Muassah al-Risâlah li al-Thaba’ wa al-nasyr, 1999.

al-Thabariy, Abu Ja’far Muhammad bin Jarîr. Tafsîr al-Thabariy Jâmi’ al-Bayân
an Ta’wîl Ây al-Qur’ân, jilid XVII, tahqîq Abdullah bin Abdu al-Muhsîn
al-Tirkiy. Kairo: Markaz al Buhûts wa al-Dirâsât al-‘Arabiyyah wa al-
Islâmiyyah bi Dâr Hijr al-Duktûr Abd al-Sindi Hasan Yamâmah, 2001.

Tim Penyusun. Majma` al Lughah al-Arabiyyah, al Mu`jam al-Wasith, jilid II.


Kairo: 1980.

al-Tirmidziy, al-Imâm al-Hâfizh Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah. al-Jâmi’
al-Shahîh wa Huwa Sunan al-Tirmidziy, juz V, tahqîq Ibrahim ‘Uthwah
‘Iwadh. Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafâ al-Bâbiy al-
Halabiy wa Awlâduh, 1975.

_______. Sunan al-Tirmidziy, biahkâm al-‘Allâmah al-Muhaddits Muhammad


Nâshir al-Dîn al-Albâniy. Riyadh: Maktabah al-Ma’ârif li al-Nasyr wa al-
Tauzi’, t.t.

_______. al-Jâmi’ al-Shahîh wa Huwa Sunan al-Tirmidziy, juz IV, tahqîq Ibrahim
‘Uthwah ‘Iwadh. Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafâ al-
Bâbiy al-Halabiy wa Awlâduh, 1975.

al-Yahshabiy, al-Imâm al-Hâfizh Abu al-Fadhl ‘Iyâdh bin Musa bin‘Iyâdh. Ikmâl
al-Mu’lim bi Fawâid Muslim, juz VII, tahqîq Yahya Ismail. al-Manshurah:
Dâr al-Wafâ li al-Thaba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî’, 1998.

al-Zamakhsyariy, Abu al-Qâsim bin Mahmûd bin Umar. al-Kasysyâf ‘an Haqâiq
Ghawâmidh al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-’Aqâwîl fi Wujûh al-Ta’wîl, juz V.
Riyadh: Maktabah al-‘Ubaikan, 1998.

32

Anda mungkin juga menyukai