Anda di halaman 1dari 9

KEDUDUKAN DISIPLIN ILMU DALAM ISLAM

PENGANTAR INTEGRASI ILMU

Dosen Pengampu: Rahmat Hulbat, M. Pd.

Lana Anisa 1 Amelia Husna, 2

Pembahasan

A. Konsep Islam Tentang Ilmu

Ilmu atau dalam bahasa Arab disebut dengan ‘ilm yang bermakna
pengetahuan merupakan derivasi(bentuk) dari kata kerja ‘alima yang
bermakna mengetahui. Secara etimologi, ilmu berasal dari akar kata ‘ain-lam-
mim yang diambil dari perkataan‘alaamah, yaituma’rifah (pengenalan),
syu’uur (kesadaran), tadzakkur (pengingat),fahm dan fiqh (pengertian dan
pemahaman), ‘aql (intelektual),diraayah dan riwaayah (perkenalan,
pengetahuan, narasi), hikmah(kearifan),‘alaamah (lambang), tanda atau
indikasi yang dengan sesuatu atau seseorang dikenal.
Al-Qur’an dan al-Hadits merupakan wahyu Allah yang berfungsi sebagai
petunjuk (hudan) bagi umat manusia, termasuk dalam hal ini adalah petunjuk
tentang ilmu dan aktivitas ilmiah. Al-Qur’ān memberikan perhatian yang
sangat istimewa terhadap aktivitas ilmiah. Terbukti, ayat yang pertama kali
turun berbunyi ; “Bacalah, dengan [menyebut] nama Tuhanmu yang telah
menciptakan”. Membaca, dalam artinya yang luas, merupakan aktivitas utama
dalam kegiatan ilmiah. Di samping itu, kata ilmu yang telah menjadi bahasa
Indonesia bukan sekedar berasal dari bahasa Arab, tetapi juga tercantum
dalam al-Qur’ān. Kata ilmu disebut sebanyak 105 kali dalam al-Qur’ān.
Sedangkan kata jadiannya disebut sebanyak 744 kali. Kata jadian yang
dimaksud adalah; ‘alima (35 kali), ya’lamu (215 kali), i’lām (31 kali), yu’lamu
(1 kali), ‘alīm (18 kali), ma’lūm (13 kali), ‘ālamīn (73 kali), ‘alam (3 kali),
‘a’lam (49 kali), ‘alīm atau ‘ulamā’ (163 kali), ‘allām (4 kali), ‘allama (12

1
kali), yu’limu (16 kali), ‘ulima (3 kali), mu’allām (1 kali), dan ta’allama (2
kali).
Selain kata ‘ilmu, dalam al-Qur’ān juga banyak disebut ayat-ayat yang,
secara langsung atau tidak, mengarah pada aktivitas ilmiah dan pengembangan
ilmu, seperti perintah untuk berpikir, merenung, menalar, dan semacamnya.
Misalnya, perkataan ‘aql (akal) dalam al- Qur’ān disebut sebanyak 49 kali,
sekali dalam bentuk kata kerja lampau, dan 48 kali dalam bentuk kata kerja
sekarang. Salah satunya adalah :”Sesungguhnya seburuk-buruk makhluk
melata di sisi Allah adalah mereka (manusia) yang tuli dan bisu, yang tidak
menggunakan akalnya”. Kata fikr (pikiran) disebut sebanyak 18 kali dalam al-
Qur’ān, sekali dalam bentuk kata kerja lampau dan 17 kali dalam bentuk kata
kerja sekarang. Salah satunya adalah; “…mereka yang selalu mengingat Allah
pada saat berdiri, duduk maupun berbaring, serta memikirkan kejadian langit
dan bumi”.Tentang posisi ilmuwan, al-Qur’ān menyebutkan: “Allah akan
meninggikan derajat orang-orang beriman dan berilmu beberapa derajat”.
Dalam menjelaskan ilmu secara terminologi, al-Attas menggunakan dua
definisi; pertama, ilmu sebagai sesuatu yang berasal dari Allah SWT, bisa
dikatakan bahwa ilmu adalah datangnya (husuul) makna sesuatu atau objek
ilmu ke dalam jiwa pencari ilmu; dan kedua, sebagai sesuatu yang diterima
oleh jiwa yang aktif dan kreatif, ilmu bisa diartikan sebagai datangnya jiwa
(wusuul) pada makna sesuatu atau objek ilmu. Hal ini berimplikasi bahwa
ilmu mencakup semua hal. Selanjutnya al-Attas menjelaskan bahwa
kedatangan yang dimaksud adalah proses yang di satu pihak memerlukan
mental yang aktif dan persiapan spiritual di pihak pencari ilmu, dan di pihak
lain keridhaan serta kasih sayang Allah SWT sebagai Zat yang memberikan
ilmu. Definisi ini mengisyaratkan bahwa pencapaian ilmu dan pemikiran,
yang juga disebut proses perjalanan jiwa pada makna, adalah sebuah proses
spiritual.
Al-Attas mengklasifikasikan ilmu berdasarkan hakikat yang inheren dalam
keragamaan ilmu manusia dan cara-cara yang mereka tempuh untuk
memperoleh dan menganggap kategorisasi ini sebagai bentuk keadilan dalam
menempatkan ilmu pengetahuan sebagai objek dan manusia sebagai subjek.

2
Dalam klasifikasinya, al-Attas membagi ilmu dalam dua bagian, yaitu ilmu
iluminasi (ma’rifah) dan ilmu sains. Dalam bahasa Melayu yang pertama
disebut dengan ilmu pengenalan dan yang kedua disebut dengan ilmu
pengetahuan.
Ibnu Khaldun memilah ilmu atas dua macam, yaitu ilmu naqliyah (ilmu
yang berdasarkan dari dalil aqli yaitu Al-Qur’an dan Hadits) dan ilmu ‘aqliyah
(ilmu falsafah yang bersumber dari pemikiran atau akal). Yang tremasuk
dalam kelompok ilmu-ilmu naqliyah adalah; Ilmu Tafsir, Ilmu Qira’ah, ILMU
Hadits, Ilmu Ushul Fiqh, Ilmu Kalam, Bahasa Arab(Linguistik, Gramatika,
Retorika dan Sastra. Sedangkan yang termasuk dalam ilmu-ilmu aqliyah
adalah; Ilmu Mantiq(dalah sebuah ilmu tentang hukum-hukum berpikir untuk
memelihara jalan pikiran dari setiap kekeliruan), Ilmu Alam, Ilmu Metafisika,
dan Ilmu Intrruktif (Ilmu Ukur, Ilmu Hitung, Ilmu Musik, dan Ilmu
Astronomi).
Dalam konteks ini, ilmu pengetahuan jenis pertama dikategorikan sebagai
ilmu fardu ‘ain yang bisa dan harus dipelajari oleh setiap umat Islam.
Sedangkan kategori kedua berkaitan dengan fisik dan objek-objek yang
berhubungan dengannya, yang bisa dicapai melalui penggunaan daya
intelektual dan jasmaniah. Ia bersifat fardu kifayah dalam perolehannya.
Dari pembagian di atas, disimpulkan bahwa ilmu dalam Islam tidak hanya
meliputi ilmu-ilmu akidah dan syariah saja. Selain kedua ilmu tersebut, kita
masih berkewajiban untuk menuntut ilmu lainnya. Bisa dikatakan bahwa
dengan ilmu syar’iyyah kita akan mempelajari tanda Allah dari ayat qauliyyah
yang bisa disebut dengan zikir, sedangkan dengan ilmu ghair syar’iyyah, kita
akan mempelajari ayat kauniyyah Allah yang terbentang pada jagat raya ini,
yang disebut dengan tafakur. Dalam hal ini, kita bisa menelaah bahwa dua
aktivitas ini merupakan implementasi dari ayat al-Qur’an Surah Ali ‘Imran [3]
ayat 190-191, dengan natiijah (buah) penerimaan amal oleh Allah bagi para
pelakunya.
Besarnya perhatian Islam terhadap ilmu pengetahuan, menarik perhatian
Franz Rosenthal, seorang orientalis, dengan mengatakan: ”Sebenarnya tak ada
satu konsep pun yang secara operatif berperan menentukan dalam

3
pembentukan peradaban Islam di segala aspeknya, yang sama dampaknya
dengan konsep ilmu. Hal ini tetap benar, sekalipun di antara istilah-istilah
yang paling berpengaruh dalam kehidupan keagamaan kaum muslimin, seperti
“tauhîd” (pengakuan atas keesaan Tuhan), “al-dîn” (agama yang sebenar-
benarnya), dan banyak lagi kata-kata yang secara terus menerus dan bergairah
disebut-sebut. Tak satupun di antara istilah-istilah itu yang memiliki
kedalaman dalam makna yang keluasan dalam penggunaannya, yang sama
dengan kata ilmu itu. Tak ada satu cabangpun dalam kehidupan intelektual
kaum muslimin yang tak tersentuh oleh sikap yang begitu merasuk terhadap
“pengetahuan” sebagai sesuatu yang memiliki nilai tertinggi, dalam menjadi
seorang muslim.

B. Dalil Al-Qur’an Dan Hadits Terkait Dengan Ilmu

Kewajiban menuntut ilmu telah diterangkan dalam Al-Quran dan Hadits.


Belajar merupakan sebuah kewajiban bagi setiap manusia, karena dengan
belajar manusia bisa meningkatkan kemampuan dirinya. Dengan belajar,
manusia juga dapat mengetahui hal-hal yang sebelumnya tidak ia ketahui.
Selanjutnya, kita khususnya sebagai umat muslim haruslah lebih
memperhatikan lagi dalam hal belajar, karena di dalam agama Islam sudah
dijelaskan keutamaan bagi para penuntut ilmu.Allah menerangkan anjuran
untuk menuntut ilmu di dalam Al-Quran Q.S. Al-Mujadalah ayat 11:

‫َلُك ْم َتَفَّسُحْو ا ِفى اْلَم ٰج ِلِس َفاْفَس ُحْو ا َيْفَس ِح ُهّٰللا َلُك ْۚم َو ِاَذ اِقْيَل اْنُشُز ْو ا َفاْنُشُز ْو ا َيْر َفِع ُهّٰللا‬ ‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْٓو ا ِاَذ ا ِقْيَل‬
‫ُاْو ُتوا اْلِع ْلَم َد َر ٰج ٍۗت َو ُهّٰللا ِبَم اَتْع َم ُلْو َن َخ ِبْيٌر‬ ‫اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْو ا ِم ْنُك ْۙم َو اَّلِذ ْيَن‬

Artinya:“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu:


“Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya
Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan:
“Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-
orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

4
Kutipan ayat tersebut menerangkan bahwa betapa Allah akan mengangkat
derajat mereka yang menuntut ilmu beberapa kali lebih tinggi daripada yang
tidak menuntut ilmu. Isyarat ini menandakan bahwa dengan ilmu lah manusia
bisa menjadi lebih mulia, tidak dengan hartanya apalagi nasabnya. Dalam
sebuah Hadis pun disebutkan tentang keutamaan mempelajari
ilmu pengetahuan dalam Islam, Rasulullah SAW bersabda:

‫َو َم ْن َس َلَك َطِر يًقا َيْلَتِم ُس ِفيِه ِع ْلًم ا َس َّهَل ُهَّللا َلُه ِبِه َطِريًقا ِإَلى اْلَج َّنِة‬

Artinya: “Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan
mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim, no. 2699)

Dari kedua dalil di atas menerangkan bahwa umat Islam diwajibkan untuk
menuntut ilmu, karena Allah telah berjanji di dalam Al-Qur’an bahwa barang
siapa yang pergi untuk menuntut ilmu maka Allah akan mengangkat
derajatnya, dan Rasulullah juga menjelaskan bahwa dengan belajar atau
berjalan untuk mencari ilmu maka Allah akan memudahkan jalannya menuju
surga.

C. Episteme Ilmu Dalam Islam Berdasarkan Tauhid


Dalam konteks ilmu pengetahuan para pemikir muslim kontemporer telah
berusaha dan berupaya untuk mereformasi dan mengubah bayang-bayang
yang timbul dari budaya barat, namun sampai saat ini usaha dan upaya itu
belum mampu untuk mengubahnya secara signifikan. Hal ini disebabkan
karena kemajuan Barat dikemas dengan pemikiran epistemologis mereka yang
padahal, Oleh sebab itu tentu saja kita tidak bisa menyalahkan pemikiran
mereka (orang barat) dikarenakan mereka memiliki tolak ukur serta paradigma
mereka sendiri yang mana tolak ukur dan paradigma yang mereka anut itu
bertolak belakang atau berlawanan dengan paradigma dan tolak ukur yang kita
(Muslim) anut dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Dari fakta tersebut muncullah pertanyaan Mengapa sarjana-sarjana serta
intelektual muslim tidak bisa membangun dan membawa sebuah pemikiran
epistemologi yang membawakan pesan tauhid di dalamnya, Mengapa
cendekiawan intelektual serta sarjana-sarjana muslim ini terburu-buru dalam

5
mengambil atau mengutip epistemologi dari barat tanpa Melakukan telaah dan
observasi tentang Wahyu sehingga para ilmuwan cendikiawan serta sarjana-
sarjana muslim menjadi pengikut dari teori teori dan konsep-konsep
epistemologi Barat.
Dengan demikian yang menjadi tantangan terbesar bagi para ilmuwan dan
intelektual muslim pada saat ini adalah bagaimana menemukan formulasi yang
komprehensif dari berbagai teori pengetahuan yang bisa diterima oleh semua
orang, sehingga ilmu Islam tidak hanya bebas dari bayang-bayang
imperialisme epistemologi Barat, namun mampu secara total mencerminkan
konsep yang konkret, tentang Islam sehingga menjadi penerang (huda) yang
telah dibawa dan diajarkan oleh Rasulullah SAW sebagai rahmatan lil alamin
jadi kita berharap adanya re-oreintasi dan rethinking(pemikiran kembali)
makna tauhid dalam perkembangan epistemologi ilmu pengetahuan yang
ditampilkan bersamaan dengan aspek teosentris-humanisme, yaitu selain
melakukan orientasi pada aspek spiritual (tauhid) juga mampu
mengakomodasi kepentingan-kepentingan Humanis atau manusia (amal).
Gagasan dari penjelasan di atas timbul karena para ilmuwan kita sekarang
berkiblat pada pengetahuan barat Padahal Penerapan metode ilmiah (scientific
method) yang berwatak rasional dan empiris telah mengantarkan kehidupan
manusia pada suasana modernisme.
Pada perkembangan selanjutnya, modernisme melahirkan corak pemikiran
yang mengarah pada rasionalisme, liberalisme, positivisme, materialisme,
pragmatisme dan sekulerisme. Berbagai aliran filsafat ini menurut Frithjof
Schuon telah terlepas dari scientia sacra (ilmu pengetahuan suci) atau
philosophia perennis (filsafat keabadian). Gregori Bateson, mengkritik
epistemologi Barat modern yang telah mengkondisikan manusia terasing dari
alam, dari sesamanya bahkan dari manusia sendiri. Lebih lanjut dalam
papernya berjudul Pathologies of Epistemology, Bateson menuding
epistemologi Barat sebagai fundamental erroryang berujung pada
kesengsaraan manusia itu sendiri Berdasarkan realitas yang dialami umat
Islam sekarang ini, sudah saatnya dicarikan pemecahan atau solusi yang
strategis agar kondisi ilmu keislaman itu tidak berlarut-larut tanpa

6
penyelesaian. Tanggung jawab untuk mencarikan alternatif penyelesaian ini
tentu ada dipundak para intelektual muslim. Tugas cendekiawan muslim yang
dipandang mendesak dan harus segera dipenuhi adalah mengembangkan
epistemologi Islam. Seruan yang sama juga disuarakan oleh Ziaudin Sardar. Ia
menyatakan, "Pengembangan pengetahuan yang berakar pada epistemologi
dan sistem nilai Islam sungguh akan menjadi sebuah kebutuhan yang
mendesak".
Tauhid dan epistemologi dengan demikian menjadi persoalan keilmiahan
pertama yang harus mendapat perhatian serius dan harus segera diwujudkan.
Tanpa tauhid dan epistemologi yang jelas, mustahil muncul suatu peradaban,
karena tanpa suatu cara mengetahui (a way of knowing) yang dapat
diidentifikasikan sebagai ilmu, kita tidak mungkin dapat mengelaborasi
pandangan dunia Islam atau menempelkan identitas Islam pada isu-
isukontemporer. Tanpa epistemologi, kita tidak mungkin dapat membangun
kehidupanumat yang baik dengan suatu peradaban yang mapan dan dapat
dipercaya kestabilan eksistensinya. Epistemologi yg didasarkan ketauhidan
dapat dijadikan solusi ketika kita ingin mengembangkan peradaban Islam dan
tidak ingin mengulang kembali keterbelakangan yang kita derita selama ini
dengan mengerjakan kegiatan rutinitas yang stagnan. Ketertinggalan
peradaban umat Islam akanterus terjadi karena kaum intelektual muslim tidak
segera sadar dengan membangun epistemologi alternatif, yaitu epistemologi
yang dijiwai oleh nilai-nilai ketauhidan.
Dari pemaparan dan penjelasan di atas dapat kita tarik kesimpulan nilai-
nilai tauhid tersebut adalah conditio sine quanon, yang mana harus memiliki
hubungan timbal balik atau berkorelasi dengan aksiologisnya. Untuk
mencapai Harapan itu kiranya diperlukan kesungguhan dan ketelitian yang
tinggi dalam tataran atau tingkatan operasionalnya. Maka dari itu kemampuan
umat Islam dalam membaca sejarah dan memahaminya adalah faktor penentu
yang penting, apabila faktor kemajuan dan kemunduran Islam dapat
dirumuskan secara tepat, kemudian dibaca dan diterapkan dalam konteks
kekinian (modern), tidaklah mustahil Islam dapat menjadi pengendali
peradaban. Islam masa depan yang dituju dalam pemaparan ini yaitu adalah

7
Islam yang menghubungkan dan mengkorelasikan kedudukan Wahyu dengan
kecerdasan akal serta kreativitas Insani sebagai tiga sumber dari epistemologi
Islam jika hanya mengukuhkan Salah satunya atau melemahkan salah satunya
hanya akan menyebabkan ketimpangan dalam peradaban bahkan dapat
menimbulkan malapetaka dalam bidang epistemologis dengan risiko yang bisa
dikatakan serius.
Apabila kejayaan Islam ingin dikembalikan dan dapat diraih kembali
kemajuan ilmu pengetahuannya, yang perlu serta harus segera dilakukan
adalah reorientasi epistemologi Islam berdasarkan tauhid sebagaimana yang
tergambar dari kejayaan pada masa tradisi Islam klasik. Yaitu, epistemologi
yang berupa perpaduan antara aspek rasionalisme, empirisme, kasfy,
rasionalisme kritis, positivisme dan fenomenologi dengan tetap berpangkal
tolak pada Al-Qur'an sebagai keterangan dan petunjuk atas segala sesuatu.
Jika memang telah meyakini bahwa Islam mampu menciptakan sistem sistem
dalam berbagai bidang kehidupan, kesemuanya itu tak mungkin dilakukan
dengan baik dan genuine (asli). Kecuali diawali dengan membangun pondasi
filosofis yang kokoh dan sedemikian rupa. Karena sudah bukan hal yang
kontroversial lagi jika dikatakan sebagai sistem kehidupan baik itu dari segi
ekonomis, politik, sosial terlebih keagamaan tak bisa dipisahkan dan tak bisa
ditepikan bahwa yang menjadi pondasinya adalah hal-hal yang berbau
filosofis. Yang mana di dalamnya juga memuat makna sejati daripada
kemanusiaan keadilan persamaan, kesejahteraan dan kebahagiaan
sebagaitujuan semua solusi persoalan, serta banyak soal mendasar lainnya.

8
DAFTAR PUSTAKA

Al-Faruqi, Achmad Reza Hutama.(2015). Konsep Ilmu Dalam Islam,Journal


Kalimah. Vol.13.
Kosim,Muhammad.(2008). Ilmu Pengetahuan Dalam Islam,Prespektif Filosofis-
Historis. Vol.13.
https://www.gontor.ac.id/berita/kewajiban-menuntut-ilmu-dalil-dari-al-quran-dan-
hadits
https://www.kompasiana.com/rijalfikri4842/5fa804068ede4844622f51d2/
membangun-epistemologis-islam-dengan-dasar-tauhid

Anda mungkin juga menyukai