Anda di halaman 1dari 8

MENUNDUKKAN AKAL DI BAWAH WAHYU,

MENDORONG DINAMISASI KAJIAN ILMU SYAR’I

Oleh: AINUL HARIS,Lc Terminologi Ilmu dalam Al- Qur’an dan As-Sunnah
Dalam mendudukkan ilmu dan dalil-dalil syar’i, ada kekeliruan yang hampir menjadi konsumsi umum,
tidak saja kalangan orang awam, tapi juga sebagian kalangan intelektual bahkan mereka yang biasa
mengajarkan din (baca: ustadz). Umumnya mereka menyamaratakan terminologi ilmu, baik ilmu syar’i
maupun ilmu duniawi. Ironinya, yang mereka pakai untuk mendalili masalah ilmu itu justeru dalil-dalil
yang sesungguhnya khusus untuk ilmu syar’i.
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
‫من يرد هللا به خيرا يفقهه فى الدين‬
“Barangsiapa dikehendaki baik oleh Allah, niscaya ia dipahamkan dalam urusan agama.” (HR. Bukhari
dan Muslim).
‫إن األنبياء لم يورثوا دينارا وال درهما وإنما ورثوا العلم فمن أخذه أخذ بحظ وافر‬
“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, tetapi mereka mewariskan ilmu,
barangsiapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian (warisan) yang banyak.” (HR. Abu Daud
dan Tirmidzi).
Kita sangat paham, yang diwariskan para nabi tidak lain adalah ilmu syar’i, bukan ilmu-ilmu lain. Karena
itu, sangat wajar ketika Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam salah menegur para sahabat yang
mengawinkan bunga pohon kurma. Sehingga beliau bersabda:
‫أنتم أعلم بشؤون دنياكم‬
“Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.”(HR. Muslim).
Jika yang dimaksud ilmu dalam terminologi Al-Qur’an dan As-Sunnah itu termasuk juga ilmu duniawi,
tentu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah orang yang mestinya paling lebih tahu. Sebab orang yang
paling banyak dipuji dengan ilmu dan amalnya adalah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.[1]
Karena itulah, maka yang dimaksud dengan orang alim ditinggikan derajatnya oleh Allah dalam surat Al-
Mujadalah ayat 11 adalah alim dalam ilmu syar’i. Allah berfirman:
‫يرفع هللا الذين آمنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات‬
“Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang berilmu beberapa
derajat.” (Al-Mujadalah: 11).
Imam Asy-Syaukani dalam tafsir monumentalnya Fathul Qadir mengatakan: “Makna ayat tersebut adalah
Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman atas orang-orang yang tidak beriman
beberapa derajat. Dan Allah akan mengangkat derajat (orang-orang beriman) yang berilmu atas orang-
orang yang beriman (saja, tetapi tidak berilmu) beberapa derajat. Dan barangsiapa menghimpun iman
dan ilmu dalam dirinya maka dengan imannya Allah akan mengangkatnya beberapa derajat, dan dengan
ilmunya pula Allah akan mengangkatnya (lagi) beberapa derajat. Ada pendapat yang mengatakan, yang
dimaksud ilmu di sini adalah orang-orang yang ahli dalam bacaan Al-Qur’an[2]. Namun konteks ayat itu
sesungguhnya adalah umum. Yakni setiap mukmin yang berilmu syar’i dalam berbagai disiplinnya[3].
Sebab tidak ada dalil yang menunjukkan adanya pengkhususan ilmu syar’i tertentu atas ilmu-ilmu yang
lain (dalam konteks ayat tersebut).”[4]
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa sebegitu superior kedudukan ilmu syar’i dibanding
ilmu-ilmu lain (baca: duniawi)? Analisa empiriknya adalah sebagai berikut; Tidak ada satu materi pun dari
ilmu syar’i yang secara substantif membahayakan atau berdampak negatif. Semua ilmu syar’i adalah
bermanfaat dan untuk kemaslahatan umat manusia. Berbeda dengan ilmu duniawi, ia memiliki dua sisi
ketajaman; sarana kemanfaatan umat manusia dan atau sarana penghancur kehidupan. Karena itu,
menentukan hukum ilmu duniawi harus terlebih dahulu ditinjau dari sisi kemanfaatan dan
kemudharatannya. Dan secara umum, bila ilmu duniawi itu baik dan untuk kemaslahatan manusia, maka
hukum mempelajarinya bisa menjadi fardhu kifayah, manakala masuk dalam firman Allah:
‫وأعدوا لهم ما استطعتم من قوة ومن رباط الخيل‬
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka, kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda
yang ditambat untuk berperang.” (Al-Anfal: 60).[5]
Demikian itulah sudut pandang agama terhadap ilmu secara umum.
Hukum Menuntut Ilmu Syar’i
Dari segi obyeknya, menuntut ilmu syar’i (agama) secara muthlak hukumnya adalah fardhu kifayah. Hal
ini berdasarkan firman Allah:
‫وما كان المؤمنون لينفروا كافة فلوال نفر من كل فرقة منهم طائفة ليتفقهوا فى الدين ولينذروا قومهم إذا رجعوا إليهم لعلهم يحذرون‬.
“Tidaklah sepatutnya segenap kaum mukminin itu berangkat berperang. Mengapa tidak ada segolongan
dari mereka yang berangkat untuk mendalami urusan din dan agar mereka memberi peringatan kepada
kaum mereka bila mereka telah kembali, mudah-mudahan mereka menjadi ingat.”
Tapi ditinjau dari sisi subyeknya, maka hukum menuntut ilmu syar’i bisa menjadi fardhu ain (wajib secara
individu). Dalam arti, setiap orang wajib mengetahui (mengilmui) setiap ibadah atau muamalah yang
dikerjakannya. Maka setiap orang wajib mengerti makna syahadat yang sebenarnya karena syahadat
adalah ikrar setiap muslim. Setiap orang wajib mengerti ilmu yang benar dalam masalah shalat, karena ia
adalah ibadah yang pasti harus ia kerjakan setiap hari. Demikian seterusnya dalam masalah-masalah
ibadah yang ia kerjakan. Namun, bila ia belum mampu untuk pergi haji misalnya, maka ketika itu secara
pribadi ia tidak wajib belajar tentang manasik haji. Tetapi bila ia berusaha belajar tentang manasik haji
sehingga mengerti secara benar tentang seluk beluk ibadah haji, maka ia termasuk salah seorang yang
melaksanakan kewajiban fardhu kifayah dalam hukum asal menuntut ilmu.
Hal yang sama juga berlaku dalam masalah muamalah. Apabila seseorang bekerja di bidang
perdagangan misalnya, maka ia wajib mengetahui seluk beluk hukum syari’at dalam masalah
perdagangan. Misalnya jika ia secara spesifik berdagang di bidang sembako, ia wajib tahu tentang
makanan dan minuman apa saja yang diharamkan. Apa hukum mengurangi timbangan/takaran, apa
hukum menimbun barang untuk melambungkan harga dst. Singkat kata, apa saja yang dilakukan oleh
individu muslim, baik dalam masalah ibadah maupun muamalah (hubungan antarmanusia), maka ia wajib
mengetahui dalilnya/petunjuk Islam dalam apa yang ia lakukan tersebut.
Di sinilah, betapa syariat Islam sangat menghargai dan menekankan ilmu sebelum beramal. Seorang
pribadi muslim adalah seorang yang bertindak dan berbuat berdasarkan pengetahuan, bukan latah dan
asal melangkah. Dalam bahasa modern, pribadi muslim adalah pribadi yang profesional, yang berbuat
berdasarkan ilmu dan konsep yang matang. Allah berfirman:
‫وال تقف ما ليس لك به علم إن السمع والبصر والفؤاد كل أولئك كان عنه مسؤوال‬.
“Dan janganlah engkau berpijak (bertindak) tidak atas berdasarkan ilmu. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu ada pertanggungjawabannya.”
Kegelisahan Untuk Mengetahui Sesuatu
“Segala manusia ingin mengetahui”, demikian kalimat pembukaan karya Aristoteles, yang berjudul
Metaphysica. Dan secara empirik, ungkapan itu dapat kita saksikan baik dalam diri manusia secara
perorangan, semenjak kecil hingga usia lanjut, maupun dalam sejarah perkembangan peradaban
manusia semenjak jaman purbakala hingga dewasa ini.”[6]
Apa yang ingin diketahui manusia itu bersifat umum, kompleks dan mengandung pengertian yang sangat
luas. Dan yang paling utama adalah kegelisahan untuk mengetahui ilmu agama, tetapi juga termasuk di
dalamnya segala disiplin ilmu, keinginan memiliki keahlian sebagai pengrajin dan kecerdikan dalam
memutuskan soal-soal praktis dsb. Kegelisahan manusia untuk selalu mengetahui, termasuk mengetahui
hal-hal baru tersebut, bagi para ilmuwan adalah sebuah keniscayaan, kecuali jika ajaran atau ilmu
tersebut jelas-jelas bertentangan dengan aqidah. Dengan kata lain, menfungsikan akal secara dinamis-
kreatif haruslah dengan memposisikan akal di bawah superioritas wahyu (baca: landasan syar’i).
Sehingga ketika terjadi kontradiksi antara keduanya, maka yang didahulukan adalah wahyu, bukan akal
seperti prinsip Mu’tazilah..
Dengan demikian jelaslah bahwa ketika kita mampu memposisikan akal pada tempat dan ruang yang
tepat maka justeru akan memberi dinamika dalam kajian-kajian ilmu agama (baca: syar’i). Karena
substansi akal yang dimaksud adalah berfikir kritis, analitis, logis dan argumentatif yang memang hal itu
sangat dianjurkan agama. Hal mana merupakan penerapan konkrit atas larangan mengikuti sesuatu
(ajaran, amalan) tanpa ilmu, sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. Juga aplikasi dari nash-nash
Al-Qur’an yang memerintahkan kita menggunakan akal, berfikir, merenung, mengkaji, mengambil
pelajaran dan sebagainya. Kita semua tahu bahwa banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an, dengan redaksi
yang berbeda-beda, menganjurkan kita menggunakan akal. Di antaranya dengan redaksi:
‫ أفال تتدبرون‬,‫ أفال تتفكرون‬,‫ أفال تبصرون‬, ‫أفال تعقلون‬
Membatasi Gerak Akal dalam Ilmu Agama
Karena kebebasan berfikir akibat di antaranya pesatnya perkembangan berbagai ilmu pengetahuan,
utamanya dalam hal ini adalah filsafat maka tak sedikit intelektual muslim (demikian biasa disebut orang)
yang kebablasan. Dengan gegap gempita mereka menyuarakan perlunya merekonstruksi kembali
tatanan dan hukum-hukum agama yang telah baku sejak awal sejarah Islam. Ironinya, mereka senang
mengutak-atik hal-hal yang telah clear and distinc (jelas dan tegas) dalam agama daripada membahas
persoalan-persoalan aktual yang muncul yang belum ada pembahasan sebelumnya. Hal-hal yang
mereka bahas itu -entah dengan motivasi apa dan karena siapa- di antaranya adalah masalah hukum
waris, salam, gender, jilbab dan sejenisnya yang sebetulnya telah selesai dibahas dengan dalil-dalil yang
autentik dan tegas keshahihannya, kecuali jika interpretasinya diplintir dan konstruksi kebenaran agama
diporak-porandakan parameternya.
Dus, bagaimana menempatkan akal dalam dinamika kajian-kajian ilmu agama? Seperti halnya pisau, ia
memiliki manfaat sekaligus madharat. Pisau akan bermanfaat ketika digunakan sebagai alat yang
meringankan pekerjaan seseorang. Misalnya untuk memotong daging, buah-buahan dan sebagainya.
Tetapi, pisau juga bisa berbahaya ketika digunakan sebagai senjata melukai orang lain, apalagi -
na’udzubillah- untuk membunuhnya. Demikian pula halnya dengan akal, ia adalah alat berfikir yang
dianugerahkan Allah kepada manusia. Dengan akalnya, manusia -dengan izin Allah- mampu mencapai
kualitas iman yang sangat tinggi, mencapai puncak peradaban dan teknologi. Sebaliknya, dengan akal
pula manusia bisa kalap dan berbuat apa saja, yang mengantar derajatnya menjadi lebih rendah dari
binatang.
Bila kita cermati kehidupan masyarakat, ada dua fenomena menonjol yang saling berlawanan tentang
penggunaan akal, yang ironinya masing-masing menunjukkan ekstrimitas.

Yang pertama adalah fenomena filsafat yang identik dengan kebebasan berfikir tanpa batas, tanpa mau
mengenal petunjuk-petunjuk wahyu dan agama. Bahkan menjadi ‘sesuatu yang lucu dan dihinakan’ di
kalangan filsuf bila ada yang berbicara filsafat memakai dalil-dalil agama.
Karena itu, para filsuf besar lebih banyak ‘beragama’ filsafat, ilmu yang digelutinya tiap saat. Menuhankan
akal pikirannya, atau bahkan tidak bertuhan sama sekali (atheis). Yang sangat memiriskan, tidak sedikit
intelektual muslim yang bergelut dengan filsafat terkena pengaruh tradisi dan pola pikir filsafat.
Implikasinya, nauzhubillah, mereka menyepelekan dalil-dalil agama, bahkan meskipun dalam urusan-
urusan selain filsafat. Sebab dunia mereka adalah dunia akal pikiran, dunia yang menjauhi teks-teks
agama/dalil.

Dan karena keblinger, ada yang tak lagi mau menjalankan kewajiban agama, seperti shalat, puasa dan
sebagainya, karena kewajiban-kewajiban tersebut bagi mereka tidak rasional. Na’udzubillah. Bahkan
lebih melecehkan lagi, bagi para filsuf, sebagaimana dikutip Verhaak dan lainnya, ilmu agama tidaklah
diakui sebagai ilmu karena bukan produk akal. Bagi mereka, ilmu yang sebenarnya adalah produk akal
manusia, bukan produk sesuatu yang lain dan atau wahyu Tuhan. Na’udzubillah.
Fenomena kedua adalah adanya kelompok manusia, juga sebagian umat Islam yang sangat
meremehkan penggunaan akal. Bahkan kenyataan yang ada mengesankan, sebaiknya orang tidak usah
berfikir dan menggunakan akalnya. Orang yang berbicara dengan metode berfikir yang runut, logis, kritis
dan argumentatif serta merta dijuluki sebagai ‘aqlani, menyimpang dan sebagainya, padahal belum tentu
menyimpang dari wahyu.

Akhirnya, orang kemudian takut berbicara, bahkan takut bertanya tentang syubhat dan berbagai
pertanyaan agama yang masih menghantui fikirannya, karena jangan-jangan dituduh ‘aqlani atau
sejenisnya. Implikasinya, mereka sulit berkembang dan maju. Padahal para ulama salafush shalih
dahulu, sangatlah terkenal dengan cara berfikir yang kritis, logis dan argumentatif tetapi tetap di bawah
koredor syar’i.. Sebut saja misalnya Ibnu Taimiyah, yang bahkan menguasai mantiq dan filsafat untuk
menggempur orang-orang yang menyeleweng aqidahnya. Demikian pula dengan Ibnu Qayyim,
Muhammad bin Abdul Wahhab, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Utsaimin, Syaikh Al-Albani dan
lainnya. Mereka adalah para ulama yang tidak saja mendalam ilmu syar’inya, tetapi juga dikenal memiliki
daya intelektual dan cara berfikir yang sangat brilian, untuk mendukung hujjah-hujjah mereka.
Sebelas Rambu-rambu Akal
Betapapun begitu, penggunaan akal tanpa batas, jelas jauh lebih sangat berbahaya dari mempensiunkan
akal untuk berfikir. Sebab jika terlalu jauh, ia akan menuhankan akalnya, menjauhi ilmu syar’i dan
imannya hilang. Untuk itu, dalam hal penggunaan akal, paling tidak ada sebelas rambu-rambu yang mesti
diperhatikan:
Pertama-tama yang harus dipahami dengan benar adalah bahwa dasar agama bukanlah akal atau logika
manusia. Dasar agama Islam adalah wahyu Allah yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Agama Islam adalah
agama yang sempurna, di mana jika Islam diterapkan dalam kehidupan ia akan menjamin kebahagiaan
hidup manusia di dunia maupun di akhirat. Allah berfirman:
‫اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت{ عليكم نعمتى ورضيت لكم اإلسالم دينا‬.
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu dan telah Aku cukupkan nikmatKu atasmu dan
Aku rela Islam sebagai agamamu.”
Dalam konteks ini pula dapat dipahami tentang keterbatasan akal. Seberapa pun canggih akal manusia,
tetapi di hadapan wahyu Allah ia adalah lemah. Karena itu akal tak akan mampu menciptakan agama.
Jika akal menciptakan agama, maka berarti ia memberhalakan akalnya. Natijah-nya, kekacauan umat
manusia, seperti bunuh diri massal dari sekte-sekte agama bikinan pemimpinnya. Juga kekacauan,
kelucuan dan anomali (keanehan) ajaran agama-agama tersebut. Sebab kita yakin seyakin-yakinnya,
hanya Allah Yang Maha Mengetahui tentang apa yang baik dan buruk bagi manusia. Dan kita harus
tunduk di hadapanNya, dengan mentaati ajaran-ajaran agama yang diturunkanNya, tidak dengan dengan
menciptakan agama-agama baru berdasarkan akal dan logika.
Kedua, ada kebenaran dan pengertian yang menjadi ijma’ul ummah (kesepakatan umat Islam) karena
dalil yang menunjukkannya termasuk ayat-ayat muhkamat. Yaitu ayat-ayat yang terang dan tegas
maksudnya dan dapat dipahami dengan mudah. Selain itu ada ayat mutasyabihat; ayat-ayat yang
mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti dan maknanya kecuali sesudah
diselidiki secara mendalam, atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui, seperti
ayat-ayat yang berhubungan dengan hal-hal yang ghaib. Misalnya ayat-ayat mengenai hari Kiamat,
Surga, Neraka dan lain-lain.[7]
Dalam konteks ini, tentu yang lebih menantang para filsuf adalah mempreteli dan mendalami pengertian
ayat-ayat mutasyabihat, dan bila pencariannya itu tak menemukan yang sesuai dengan jalan pikirannya
maka ia menolak. Atau ia asyik dengan pemaknaan ayat sesuai dengan jalan pikiran, emosi jiwa dan
hawa nafsunya yang jauh dari tuntunan agama. Sikap seperti inilah yang secara tegas dilarang dan
diperingatkan Nabi saw.
Diriwayatkan dari Aisyah ra, ia berkata; Rasulullah saw membaca (ayat, yang artinya), ‘Dialah yang
menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah
pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat’ (Ali Imran: 7). Lalu Rasulullah saw
bersabda, ‘Maka apabila kamu melihat orang-orang yang mengikuti yang samar dari Al-Qur’an itu maka
mereka itulah orang-orang yang Allah namakan orang-orang yang di dalam hatinya condong kepada
kesesatan, maka waspadalah kalian terhadap mereka.’ (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibnu
Mulaikah dari Aisyah)[8]
Ketiga, apabila suatu masalah telah ada dalilnya, baik dari Al-Qur’an maupun Al-Hadits yang shahih
maka akal atau logika manusia harus tunduk, karena ia adalah tuntunan dan wahyu Allah.
Dalam konteks inilah Khalifah Umar bin Khathab ra berkata: “Jauhilah pengandal-pengandal pendapat
(kaum rasionalis), karena mereka itu musuh-musuh sunnah, juga tidak ada upaya untuk memahaminya.
Dan (kalau) ditanya maka mereka menjawab mengenai agama dengan pendapat mereka. Maka
waspadalah, mereka adalah musuh-musuh sunnah.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Barr)[9]
Dan diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata: “Sesungguhnya golongan Qadariyah membawa pendapat
mereka yang lemah (sampai) kepada ihwal ketentuan/ taqdir Allah. Mereka berkata, ‘Kenapa (Allah
menentukan begitu?) Padahal tidak layak dikatakan kepada Allah kata-kata ‘kenapa’? Karena
sesungguhnya Dia tidak ditanya tentang apa yang Dia perbuat, tetapi merekalah yang ditanya.”[10]
Keempat, tidak mengubah pengertian dalil dari pengertian aslinya. Biasanya hal ini dilakukan dengan
memotong-motong dalil disesuaikan dengan keinginan dan hawa nafsu mereka. Mereka bersiteguh
dengan dalil itu dan tak mau tahu dengan dalil-dalil lain yang shahih dan bertentangan dengan dalil yang
mereka pakai. Cara inilah yang banyak dipakai oleh orang-orang Yahudi. Allah berfirman artinya: “Yaitu
orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya (mengubah kata-kata, arti
kata, tempat atau menambah dan mengurangi).” (An-Nisa’: 46). Kemursalan Yahudi tidak saja sebatas
mengubah pengertian dalil/kalimat dari makna aslinya, tetapi juga sampai pada mengubah redaksi kata-
katanya itu sendiri.[11] Karena itulah di antaranya, mengapa Allah menyuruh para sahabat mengganti
kosakata raa’ina (sudilah kiranya kamu memperhatikan kami) dengan kata unzhurna yang memiliki arti
sama. Sebab orang Yahudi pun memakai kata ini saat menghadap Nabi saw dengan digumam seakan-
akan menyebut raa’ina, padahal yang mereka katakan adalah ru’unah yang berarti kebodohan yang
sangat, sebagai ejekan kepada Rasulullah saw[12]. Termasuk dalam kelompok ini (baca: meniru cara
Yahudi) adalah akal-akalan sebagian kaum intelektual (begitu konon disebut) mengganti salam dengan
selamat pagi atau selamat malam, hukum waris diganti dengan bagi rata antara anak laki-laki dengan
anak perempuan dsb.
Kelima, tidak menggunakan takwil. Yakni pengalihan dari makna yang dekat kepada makna yang jauh.
Takwil inilah yang kebanyakan dipakai oleh golongan sesat dalam menggempur nash-nash, baik ayat Al-
Qur’an maupun Al-Hadits. Golongan Mu’tazilah mengingkari sifat-sifat Allah di bawah bendera ta’wil.
Golongan Jahmiyah mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah juga di bawah panji ta’wil. Kelompok
rasionalis yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah di Surga) dan hal-hal yang ghaib juga dengan
sebab ta’wil. Orang-orang mutakallimin (ahli ilmu Kalam) dari golongan Asy’ariyah dan Maturidiyah
menafikan sebagian sifat dan af’al (perbuatan-perbuatan) Allah juga dengan ta’wil. Golongan syi’ah,
kebatinan, shufi dan para filsuf merusak kaidah-kaidah agama juga berlindung atas nama ta’wil.[13]
Keenam, tidak menggunakan qiyas (analog) yang bertentangan dengan dalil. Para ulama Salaf
mengatakan, menggunakan qiyas yang bertentangan dengan nash (dalil) adalah cara iblis. Diriwayatkan
dari Ibnu Sirin, ia berkata, ‘Yang pertama kali menggunakan qiyas adalah iblis. Dan tidaklah matahari dan
bulan itu disembah kecuali karena qiyas.’ (Diriwayatkan Ad-Darimi, 1/65). [14]Karena itu, Imam Ahmad
berkata, ‘Kesalahan manusia yang terbanyak adalah karena ta’wil dan qiyas.’[15]
Ketujuh, memahami mana yang termasuk wilayah ijtihad dan mana yang bukan. Tidak semua masalah
dalam agama bisa dimasuki daya kritis otak manusia. Masalah aqidah dan hal-hal yang telah ada dalil
dan penjelasannya adalah bukan wilayah ijtihad. Pintu ijtihad tetap terbuka, tetapi untuk masalah-
masalah yang tidak ada dalil dan keterangan tentangnya, baik masalah fiqhiyah furu’iyah maupun
masalah sosial yang senantiasa terus berkembang seiring kemajuan jaman. Dalam wilayah ijtihad inilah
daya kritis dan nalar itu sangat diperlukan. Dengan catatan tegas, tidak keluar dari wilayah ijtihad dan
tidak membentur atau melawan dalil-dalil yang sudah jelas.
Kedelapan, menahan diri dari membahas hal-hal yang tidak perlu, karena hal itu bisa memporak-
porandakan hukum agama. Bukan memikirkan dan membahas setiap persoalan, kata perkata hingga
sedetail-detailnya. Padahal banyak masalah yang hanya perlu dibahas secara garis besarnya saja
karena telah jelas pengertiannya. Malahan, kalau dibahas terlalu jauh, akan melenceng dari substansi
persoalan bahkan bisa mengecilkan atau meninggalkan substansi awalnya. Dan agama sangat melarang
yang demikian, karena sikap itu bisa memberatkan dan memburukkan kondisi umat Islam sendiri. Atau
dalam bahasa agama disebut intubda lakum tasu’kum (jika diungkapkan semuanya kepadamu -karena
pertanyaanmu yang terlalu jauh-, akan memperburuk keadaanmu). Melantur jauh dan mempertanyakan
hal-hal yang bukan substansial dalam masalah perintah agama adalah cara Bani Isra’il. Contoh yang
sangat kita kenal adalah saat mereka diperintahkan Allah menyembelih sapi betina. Yang disebut sapi
betina itu sesungguhnya telah sangat jelas mereka ketahui. Dan Allah tidak mensyaratkan apapun.
Artinya, jika mereka menyembelih sapi betina, berarti mereka telah menjalankan perintah Allah. Namun,
mungkin karena ingin ‘diskusi dan berfikir filosofis’ serta mendalami masalah sampai mendetail mereka
lalu bertanya tentang apa hakikat sapi betina itu, apa warnanya, dan apa perbedaannya (clear and
distinc) dengan sapi-sapi yang lain. Akibat ‘diskusi dan berfikir filosofis’nya itu sehingga hampir-hampir
saja kaum Bani Isra’il tidak mampu menyembelih sapi betina sesuai spesifikasi yang ditanyakannya
sendiri.[16]
Kesembilan, memiliki landasan pemahaman agama yang kuat dan mendalam melalui penguasaan
berbagai disiplin ilmu agama. Ini merupakan inti dari semua masalah yang disampaikan di atas. Karena
dengan penguasaan berbagai displin ilmu agama yang matang maka berbagai kekhawatiran adanya
penyimpangan di atas akan bisa ditepis. Karena itu, setiap intelektual muslim, khususnya yang senang
berfikir kritis analitis harus memiliki landasan pemahaman yang kuat dalam masalah aqidah, hadits, tafsir,
fiqh, ushul fiqh, sirah dan disiplin ilmu-ilmu agama lainnya. Dengan begitu ia tidak mudah terkena
kontaminasi pemikiran, khususnya filsafat yang memang cenderung melecehkan agama. Sebaliknya ia
bisa melakukan counter balik terhadap pemikiran-pemikiran yang mendiskreditkan agama.
Kesepuluh, menguasai bahasa Arab dengan baik. Karena mayoritas teks-teks agama adalah ditulis
dengan bahasa Arab. Karena itu adalah sangat lucu bila ada orang yang disebut kyai atau ulama tetapi
tidak menguasai bahasa Arab, khususnya penguasaan dalam memahami teks. Mungkin ada yang
berkilah, bisa saja hal itu digantikan dengan maraknya buku-buku terjemahan akhir-akhir ini. Penulis
berpendapat, meskipun terjemahan-terjemahan itu cukup membantu, tetapi ia tidak bisa diandalkan.
Apalagi banyak literatur-literatur penting yang belum diterjemahkan. Belum lagi, tak sedikit buku-buku
terjemahan yang ternyata menyimpang dari pesan dan makna buku aslinya. Maka, penguasaan bahasa
Arab adalah mutlak. Karena ia adalah bahasa Al-Qur’an dan bahasa ilmu agama Islam secara umum.
Kesebelas, memiliki motivasi yang ikhlas untuk pengembangan kajian keilmuan Islam, bukan motivasi-
motivasi lain yang bersifat duniawiah dan sesaat. Tidak sedikit di antara intelektual muslim yang
melontarkan gagasan-gagasan nyeleneh yang jauh menyimpang dari ajaran agama, apa yang
digulirkannya itu bukan menambah khazanah intelektual Islam, tetapi justeru menaburkan kebingungan,
kekacauan, fitnah dan bahkan mempertajam perpecahan di tengah umat Islam. Misalnya pembahasan
tentang gender sampai meninggalkan dalil atau dita’wil, toleransi beragama hingga dalam urusan ritual
dan aqidah, diterimanya amal shalih orang-orang non muslim dan bahwa mereka bisa masuk Surga dsb.
Karena itu, adalah sangat penting senantiasa menjaga agar hati tetap bersih (sehat), khususnya ketika
kita sudah terlibat dalam pembahasan masalah agama. “Hati yang sehat artinya hati yang hanya
mengikhlaskan penghambaan dan ibadah kepada Allah semata, baik dalam kehendak, cinta, tawakkal,
inabah (kembali), merendahkan diri, khasyyah (takut), raja’ (pengharapan) dan ia mengikhlaskan
amalnya untuk Allah semata.”[17]
Bila kesebelas rambu-rambu di atas diperhatikan sebelum daya kritis dan berfikir filosofis diterapkan
dalam kajian Islam, maka insya Allah out put yang kita panen adalah keterarahan kajian Islam pada rel
yang benar dan kebergairahan pengembangan metodologi dan berfikir kritis analitis demi kemajuan
pengembangan kajian-kajian Islam.
Generasi Islam yang kualitatif?
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
‫خير القرون قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم‬
“Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi sesudah mereka kemudian generasi
sesudah mereka.” (HR. Muslim dan lainnya)
Berdasarkan hadits shahih yang mutlak kebenarannya di atas, generasi awal Islam adalah generasi par
exellent, baik ditinjau dari sisi teori (ilmu), maupun praktik (terapan/amal) ibadah atau muamalahnya. Tiga
generasi awal adalah generasi terbaik, meskipun generasi kedua dan ketiga semakin berkurang kualitas
ilmu dan amalnya dibanding generasi pertama. Secara implisit, hadits tentang perbandingan generasi ini
memberikan gambaran, semakin berganti generasi, semakin lemah keadaan umat Islam secara kualitatif.
Jika analisa tersebut benar maka bisa dibayangkan keadaan kualitatif umat Islam yang saat ini berada
pada generasi ke-15. Karena, sebagaimana hitungan sebagian ulama, satu generasi adalah 100 tahun/
satu abad. Dan kini kita berada di abad ke-15 hijrah.
Sekarang marilah kita tengok realitas umat Islam. Untuk mempersempit obyek realitas, marilah kita
fokuskan pada umat Islam di Indonesia. Betapa sulitnya kita mendapatkan satu komunitas masyarakat
yang secara utuh mencerminkan sebuah masyarakat Islam, baik dari segi ilmu, ibadah maupun
muamalah. Ada memang yang mencoba membentuk komunitas khusus muslim yang berusaha
mengamalkan ajaran Islam. Namun yang tampak, baru hanya pada tataran pergaulan sosial, atau sedikit
sisi ibadahnya. Sedang dari sisi ilmu masih jauh panggang dari api. Dan memang inilah problem besar
umat Islam Indonesia. Yakni belum memiliki ulama dalam makna yang sesungguhnya, yang menjadi
rujukan dalam berbagai persoalan syar’i. Yang baru dimiliki Indonesia adalah kibar thalabatil ilmi (para
penuntut ilmu senior). Dalam berbagai persoalan pelik yang berkembang, kita masih sangat butuh fatwa
dari kibar ulama dunia Islam, khususnya dari Timur Tengah. Indikator riel kekosongan ulama yang
sesungguhnya di Indonesia adalah tidak adanya karya tulis umat Islam Indonesia pada saat ini yang bisa
disejajarkan dengan karya-karya ulama lain di dunia Islam, seperti Syaikh Nashiruddin Al-Albani, Syaikh
Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dsb. Juga belum ada karya-karya umat
Islam Indonesia saat ini yang diterjemahkan ke berbagai bahasa untuk menjadi rujukan dunia Islam
dalam berbagai kajian-kajian Islam mereka.
Kebutuhan ilmu syar’i dan kaderisasi
Ada banyak alasan bahwa kebutuhan kita terhadap ilmu syar’i saat ini sangat mendesak, di antaranya:
1. Semakin merebaknya berbagai bid’ah di tengah-tengah umat Islam. Apalagi di era reformasi ini,
hampir tidak ada yang mampu membendung berbagai kreasi dan inovasi baru dalam perkara agama
(baca: bid’ah), karena kran kebebasan dibuka seluas-luasnya. Bahkan tidak hanya sebatas itu, aliran-
aliran sesat yang dahulu dengan diam-diam menyebarkan ajaran sesatnya kini berani secara terang-
terangan mendakwahkan kesesatannya. Pemerintah memberi angin dan rakyat tidak berdaya. Wallahul
musta’an.
2. Semakin suburnya orang-orang yang berbaju ulama, tetapi bukan ulama. Mereka dengan mudahnya
memberikan fatwa-fatwa agama tanpa didasari ilmu. Mereka lebih banyak mendasarkan fatwa-fatwa
agamanya kepada logika/akal dan atau pada perasaan mereka. Di sisi lain, masyarakat buta untuk bisa
membedakan fatwa yang benar dengan fatwa yang menyalahi dalil. Dan kondisi kebodohan umat
tersebut, merupakan keadaan yang menggairahkan bagi mereka yang senang mengail di air keruh. Maka
semakin banyak orang yang baru belajar Islam dalam hitungan bulan bahkan minggu serta merta menjadi
penceramah. Apalagi jika pandai memberi bumbu ceramah dengan lelucon, ia akan cepat mengorbit.
Natijah-nya adalah imam sesat dan umat yang tersesatkan. Na’udzubillah.
3. Kecenderungan untuk mendudukkan diri sendiri sejajar dengan para ulama salafush shalih. Misalnya
dengan jargon, mereka laki-laki, maka kita juga laki-laki. Dalam arti, punya kewenangan dan otoritas yang
sama dalam membahas dan atau mencermati kemudian mengambil kesimpulan hukum/ berijtihad.
Implikasinya, banyak berbagai persoalan yang menurut para ulama telah jelas, diutak-atik kembali dan
dijungkirbalikkan dengan tanpa ditopang dalil yang kuat, malahan terkadang hanya berdasarkan logika
yang lemah. Istilah mereka, perlu diadakan rekonstruksi syari’ah, atau peninjauan dan pembongkaran
kembali makna, kandungan, dan hukum-hukum syari’ah.
Berbagai kenyataan di atas menuntut kita umat Islam, khususnya umat Islam Indonesia untuk segera
melakukan kaderisasi ulama. Melakukan terobosan baru dalam metodologi pendidikan dan pengkaderan,
misalnya dengan sistem sintesa dari berbagai metodologi yang telah ada.
Hal kongkrit yang bisa dilakukan misalnya dengan memberikan dukungan penuh kepada mereka yang
benar-benar mau konsentrasi sepenuhnya untuk menuntut ilmu. Dukungan itu baik secara finansial
maupun moral. Hal ini dengan harapan kelak dia akan memiliki pemahaman agama yang mendalam,
serta menggunakan hikmah dalam memperbaiki umat. Sebab gejala yang ada adalah banyak orang yang
secara teori menguasai ilmu/ pemahaman terhadap berbagai persoalan din (namun mereka bukan
ulama), tetapi tidak mau memperhatikan bagaimana bisa mendidik, memperbaiki dan mengarahkan umat
yang merupakan tujuan dakwah. Mereka terpaku pada teks-teks dan hukum-hukum yang ada. Bila
kondisi riel masyarakat menyalahi hukum-hukum yang mereka pahami tsb, serta merta keadaan itu
divonis. Alih-alih diarahkan, mereka malah dijadikan sasaran tembak.
Urgensi Pusat Kajian Islam Indonesia
Ke depan, perlu diberikan wadah yang kondusif untuk peningkatan keilmuan sekaligus sebagai tempat
berinteraksi sesama kader. Dan karena itu, adanya Pusat Kajian Islam (di) Indonesia adalah sesuatu
yang niscaya. Kita sangat mendukung adanya pondok-pondok pesantren yang secara terus-menerus
memberikan pendidikan dan pengajaran ilmu syar’i kepada santri dan masyarakat. Tetapi kalau boleh
dipilah, pondok pesantren adalah lembaga Islam yang menangani pendidikan Islam untuk masyarakat
secara umum. Adapun Pusat Kajian Islam (di) Indonesia maka diproyeksikan khusus menangani kader-
kader pilihan yang diharapkan menjadi ulama Indonesia masa depan. Jumlah guru dan santrinya tidak
perlu dilihat secara kuantitatif, sebab yang paling penting adalah kualitas. Namun hal yang harus
diperhatikan sekali adalah adanya sarana-sarana pendukung yang representatif, seperti sarana gedung,
dosen yang handal, perpustakaan lengkap, fasilitas beasiswa dsb. Tidak berlebihan jika dalam proyek ini
kita melakukan studi banding kepada halaqah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah di
kota Qasim Saudi Arabia, juga ke tempat-tempat pembinaan kader-kader intelektual dalam berbagai
disiplin ilmu yang berbeda di berbagai belahan dunia. Dari berbagai sintesa tersebut, kita kemudian
merumuskan sistem pengelolaan Pusat Kajian Islam Indonesia secara modern dan profesional.
Penutup
Ilmu syar’i adalah mutlak dan sangat penting bagi setiap individu muslim. Karena itu setiap muslim harus
menaruh perhatian serius kepada ilmu syar’i, baik yang sifatnya fardhu ain bagi dirinya maupun yang
bersifat fardhu kifayah. Penggunaan akal sesuai tuntunan Islam akan menjadikan manusia selalu terarah
dan dinamis. Saat ini, kenyataan umat Islam masih jauh dari idealita dan harapan. Untuk itu, yang perlu
digarap terlebih dahulu adalah lebih menfokuskan perhatian kepada ilmu syar’i sesuai dengan manhaj
salafush shalih. Sebagai salah satu bentuk kaderisasi dan agenda besar umat, perlu didirikan sebuah
Pusat Kajian Islam (di) Indonesia yang representatif. Pusat Kajian Islam ini harus digarap dan
dikembangkan secara terus-menerus metodologi dan sistemnya, dengan menjadikan para ulama salaf
dunia Islam sebagai pembina sekaligus -kalau memungkinkan- dosen-dosen luar biasa. Dan ini tentu
memerlukan daya nalar yang kritis kreatif dari pengelola yang diamanati kerja besar tersebut. Wallahu
a’lam.
--------------
Surabaya, 10 R. Tsani 1422.

[1] Lihat Ibnu Utsaimian, Muhammad, Kitabul Ilmi, hal. 5-7


[2] Lihat Katsir, Ibnu , Tafsir Ibnu Katsir, jilid IV , cet. Maktabah Darul Faiha’, hal.418 tentang penafsiran
penggal terakhir surat Al-Mujadilah ayat11.
[3] Seperti ilmu Tafsir, Aqidah, Hadits, Fiqh, Fara’idh, Sirah dsb.
[4] Asy-Syaukani Imam, Fathul Qadir, Daar Ihya’it Turats Al-Islami, jilid V hal.189.
[5] Lihat Ibnu Utsaimin, Muhammad, Kitabul Ilmi, hal.
[6] Verhaak., C dan Imam, R. Haryono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Gramedia, hal. 4
[7]Lihat Al-Qur’an dan Terjemahnya, cet. Saudi Arabia, hal. 76
[8] Lihat Syarhus Sunnah vol. 1 hal. 202 dan Tafsir Ibnu Katsir vol. 2 hal.8
[9] Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim, I’lamul Muwaqqi’in vol. I hal. 65
[10] Lihat Shaunul Manthiq hal. 51-52
[11] Lihat surat Al-Baqarah ayat 104
[12] Al-Qur’an dan Terjemahnya, cet. Saudi Arabia, hal. 29
[13] Taimiyah, Ibnu, Majmu’ul Fatawa vol. 17 hal. 415
[14] Ketika iblis diperintah sujud oleh Allah, ia membangkang dengan mengatakan, ‘Aku Engkau ciptakan
dari api sedang dia (Adam) Engkau ciptakan (‘hanya’) dari tanah.
[15]Ibid, vol 17 hal. 355
[16] Lihat Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 67-71
[17] Abdul Hamid, Syaikh Ali Hasan, Melumpuhkan Senjata Setan, cet. Darul Falah hal. 2

Anda mungkin juga menyukai