Anda di halaman 1dari 19

Metodelogi islam

PENGELOMPOKKAN KEILMUAN DALAM ISLAM

Disusun oleh :

NAMA : ADIYATMA

NIM : 202021026

Dosen pembimbing : Muhammad azhari, S.Pd.,M.Ag

Mata kuliah : Metodelogi islam

KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
TEUNGKU DIRUNDENG MEULABOH
ACEH BARAT
2023 M/ 1444 H
KATA PENGANTAR

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala
puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya lah
maka penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Pengelompokkan
Keilmuan Dalam Islam. Dalam penulisan makalah ini, penulis banyak
mendapatkan bimbingan dan bantuan yang bermanfaat dari berbagai pihak, maka
pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada
Dosen pengampu mata kuliah ini dan semua pihak yang telah membantu penulis
dalam menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih banyak terdapat


kekurangan-kekurangan. Hal ini bukanlah suatu kesengajaan melainkan karena
keterbatasan ilmu dan kemampuan penulis. Untuk itu penulis mengharapkan
tanggapan, kritikan dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi
kesempurnaan makalah inu. Akhir kata kepada-Nya jualah kita berserah diri,
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Wassalam.

Meulaboh, 28 Maret 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................. 1
B. Rumusan Masalah....................................................................... 2
D. Tujuan Penulisan......................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Epistemologi Bayani, Burhani dan Irfani................................... 3
B. Model Berfikir Bayani, Burhani dan Irfani................................. 5
C. Keunggulan dan Kelemahan Epistemologi Bayani, Burhani
dan Irfani .................................................................................... 12

BAB III KESIMPULAN................................................................................ 15

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah

Islam merupakan agama yang sangat mendorong dan mendukung tegaknya


kebenaran, rasionalitas, dan ilmu pengetahun (al-‘ilm), karena Nabi Muhammad
SAW sendiri menyatakan bahwa “Agama (Islam) adalah akal (rasionalitas), maka
tidak dikatakan beragama orang yang tidak mendayagunakan akalnya” (HR. Ibn.
Hibban). Beberapa ayat Al-Quran juga menunjukkan pentingnya ilmu
pengetahuan, diantaranya adalah Firman Allah:

ُ ‫ِس َفا ْف َسح ُْوا َي ْف َس ِح هّٰللا ُ لَ ُك ۚ ْم َو ِا َذا قِ ْي َل ا ْن‬


‫ش ُز ْوا‬ ِ ‫ٰ ٓيا َ ُّي َها الَّ ِذي َْن ٰا َم ُن ْٓوا ِا َذا قِ ْي َل لَ ُك ْم َت َف َّسح ُْوا فِى ْال َم ٰجل‬
‫ت َوهّٰللا ُ ِب َما َتعْ َملُ ْو َن َخ ِب ْي ٌر‬ ٍ ۗ ‫ش ُز ْوا َيرْ َف ِع هّٰللا ُ الَّ ِذي َْن ٰا َم ُن ْوا ِم ْن ُك ۙ ْم َوالَّ ِذي َْن ا ُ ْو ُتوا ْالع ِْل َم د ََر ٰج‬
ُ ‫َفا ْن‬

Artinya:

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, “Berilah


kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah
kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-
orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa
derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan (QS. Al. Mujadilah :
11)

Ilmu merupakan suatu senjata yang dapat digunakan untuk memerangi


kebodohan, dengan ilmu semua yang manusia inginkan akan bisa terwujud.
Keilmuan berasal dari kata dasar ilmu yang artinya pengetahuan, sedangkan jika
keilmuan itu sendiri ialah masuk dalam kategori nomina yang mana ia adalah kata
benda. Jadi keilmuan adalah sesuatu atau seseorang yang berkenaan dengan ilmu.
Keilmuan dalam Islam ialah orang-orang yang berkenaan dengan pengetahuan
Islam, atau bisa jadi keilmuan Islam adalah orang-orang yang pakar atau ahli
dalam bidang pengetahuan Islam (Abdullah, 2012).
Proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan itulah dikenal dengan istilah
epistemologis. Salah satu persoalan penting dalam epistemologi adalah
menyangkut sumber pengetahuan yang secara terperinci meliputi enam macam,

1
yaitu indera, wahyu, otoritas, akal, intuisi, dan saling melengkapi diantara
sumber-sumber pengetahuan tersebut. apabila dicermati secara seksama maka
akan dapat diketahui bahwa yang paling terlantar dalam sejarah panjang dunia
Islam adalah sumber pengetahuan terakhir yang menegasakan watak saling
melengkapi (tauhid sumber pengetahuan). Kenyataannya, wahyu dan otoritas
telah sedemikian telah diunggulkan oleh epistemologi Bayani; indera dan akal
diagungkan oleh epistemologi Burhani; sedangkan wahyu, diagungkan oleh
epistemologi Irfani.
Berdasarkan uraian di atas, penulis terdorong untuk mengetahui tentang
“Pengelompokkan Keilmuan Dalam Islam”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah tersebut maka dapat dirumuskan


permasalahan yaitu:
1. Apa Definisi Epistemologi Bayani, Burhani dan Irfani?
2. Bagaimana Model Berfikir Bayani, Burhani dan Irfani?
3. Apa Saja Keunggulan dan Kelemahan Epistemologi Bayani, Burhani
dan Irfani?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:


1. Untuk mengetahui definisi Epistemologi Bayani, Burhani dan Irfani.
2. Untuk mengetahui Model Berfikir Bayani, Burhani dan Irfani.
3. Untuk mengetahui Keunggulan dan Kelemahan Epistemologi Bayani,
Burhani dan Irfani.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Epistemologi Bayani, Burhani dan Irfani


Secara etimologi, kata “epistemologi” berasal dari bahasa Yunani episteme
dan logos. Episteme berarti pengetahuan, sedangkan logos berarti teori, uraian,
atau ulasan. Jadi epistemologi adalah sebuah teori tentang pengetahuan, atau
dalam bahasa Inggris dikenal dengan Theory of Knowledge (Abdullah, 2012).
Epistemologi sebagai cabang ilmu filsafat tidak cukup hanya memberi deskripsi
atau paparan tentang bagaimana proses manusia mengetahui itu terjadi, tetapi
perlu juga membuat penentuan mana yang betul dan mana yang
salah  berdasarkan norma empirik. Sedangkan kritis berarti banyak
mempertanyakan dan menguji kenalaran, cara maupun hasil kegiatan manusia
mengetahui (Azis, 2009).
1. Definisi Epistemologi Bayani
Secara bahasa, Bayani bermakna sebagai penjelasan, pernyataan, ketetapan.
Sedangkan secara terminologis, Bayani berarti pola pikir yang bersumber pada
nash (Al-Qur’an dan Al-Hadits), ijma’, dan ijtihad. Jika dikaitkan dengan
epistemologi, maka pengertiannya adalah studi filosofis terhadap struktur
pengetahuan yang menempatkan teks (wahyu) sebagai sebuah kebenaran mutlak.
Adapun akal hanya menempati tingkat sekunder dan bertugas hanya untuk
menjelaskan teks yang ada (Naim, 2011).
2. Definisi Epistemologi Burhani
Kata Burhani diambil dari bahasa Arab, al-burhan, yang mengikuti
penjelasan Muhammad Abid al-Jabiri memiliki arti sebagai argumentasi yang kuat
dan jelas (al-hujjah al-fashilah al-bayyinah). Sedangkan kata yang memiliki
makna yang sama dengan al-burhan dalam bahasa Inggris adalah demonstration.
Arti kata demonstration adalah berfikir sesuai dengan alur tertentu atau penalaran
yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, pengetahuan demonstratif
merupakan pengetahuan yang integratif, sistemik, dan sistematik (Muchtar, 2013).
Ciri daripada pengetahuan demonstratif ada tiga, yaitu:

3
a. Pokok bahasannya jelas dan pasti
b. Unversal dan tidak particular
c. Memiliki peristilahan teknis tertentu
Menurut Abid al-Jabiri, burhan dalam logika adalah aktivitas intelektual
untuk membuktikan kebenaran suatu proposisi dengan cara konklusi atau deduksi.
Sedangkan dalam pengertian umum, burhan merupakan semua aktivitas
intelektual untuk membuktikan kebenaran suatu preposisi. Istilah burhan juga
dipakai dalam pengertian yang cukup beragam (Muchtar, 2013). Beberapa
diantaranya:
a. Cara atau jenis argumentasi
b. Argumen itu sendiri
c. Bukti yang terlihat dari suatu argumen yang meyakinkan
Pengertian dalam bentuk yang ketiga ini digunakan dalam Al-Qur’an surat
An-Nisa ayat 174 dan surat Yusuf ayat 24 (Depag, RI: 2006).
QS. An-Nisa ayat 174:
‫ٰ ٓيا َ ُّي َها ال َّناسُ َق ْد َج ۤا َء ُك ْم بُرْ َهانٌ مِّنْ رَّ ِّب ُك ْم َواَ ْن َز ْل َنٓا ِالَ ْي ُك ْم ُن ْورً ا م ُِّب ْي ًنا‬
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti
kebenaran dari Tuhanmu. (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah
Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Quran).” (QS.
An-Nisa/4:174)

QS. Yusuf ayat 24:


‫ف َع ْن ُه الس ۤ ُّْو َء َو ْال َفحْ َش ۤا ۗ َء‬ َ ِ‫ان َرب ۗ ِّٖه َك ٰذل‬
َ ‫ك لِ َنصْ ِر‬ َ ‫َّت ِب ٖۙه َو َه َّم ِب َها ۚ لَ ْوٓاَل اَنْ رَّ ٰاى بُرْ َه‬
ْ ‫َولَ َق ْد َهم‬
‫ِا َّن ٗه مِنْ عِ َبا ِد َنا ْالم ُْخلَصِ ي َْن‬
Artinya: “Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan
itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan
wanita itu andaikata Dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya[750].
Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan
kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu Termasuk hamba-hamba Kami yang
terpilih.” (QS. Yusuf/12:24)

Dalam bahasa lain, metode burhani atau demonstratif merupakan sebentuk


inferensi rasional, yaitu penggalian premis-premis yang menhasilkan konklusi

4
yang bernilai (Muchtar, 2013). Pola pikir Burhani bersumber pada realitas (alam,
sosial, humanitas).

3. Definisi Epistemologi Irfani


Irfan dalam bahasa Arab semakna dengan ma’rifah yang diartikan
dengan al-‘ilm. Di kalangan sufi, kata ‘Irfan dipergunakan untuk menunjukan
jenis pengetahuan yang tertinggi, yang dihadirkan ke dalam qalb dengan
cara kasyf atau ilham (Naim, 2011).
Di kalangan kaum sufi sendiri, ma’rifah diartikan sebagai pengetahuan
langsung tentang Tuhan berdasarkan atas wahyu atau petunjuk Tuhan. Ia bukan
merupakan hasil atau buah dari proses mental, tetapi sepenuhnya amat tergantung
pada kehendak dan karunia Tuhan, yang akan memberikannya sebagai karunia
dari-Nya yang mana Dia memang sudah menciptakan manusia dengan kapasitas
untuk menerimanya. Inilah sinar ilahi yang menyinari ke dalam diri manusia dan
melimpahi setiap bagian dari tubuh dengan berkas cahaya yang menyilaukan.
Berbeda dengan kedua episteologi sebelumnya, sumber epistemologi Irfani
adalah intuisi. Hal ini disebabkan karena dalam dinamika sejarahnya, Irfani lebih
dekat dengan perkumpulan tarekat. Padahal, tarekat itu sendiri adalah
institusi (organized expresion) dari tradisi gnosis (tasawuf) dalam budaya islam.
Sumber terpokok epistemologi Irfani adalah pengalaman (experience) (Naim,
2011).

B. Model Berfikir Bayani, Burhani dan Irfani


1. Model Berfikir Bayani
Ditinjau dari perspektif sejarah, bayani sebetulnya sudah dimulai sejak pada
masa awal Islam. Hanya saja pada masa awal ini, yang disebut dengan bayani
belum merupakan sebuah upaya ilmiah dalam arti identifikasi keilmuan dan
peletakan aturan penafsiran teks-teksnya, tetapi baru sekedar upaya penyebaran
tradisi bayani saja. Hal ini sama halnya dengan istilah-istilah lain, seperti qiyas,
yang sesungguhnya dalam aspek praktek sudah berlangsung sejak masa awal
Islam, tetapi sebagai sebuah teori dan metodologi baru muncul kemudian.
Formulasi qiyas secara mapan menjadi sebuah kerangka teori dan metodologi

5
yang kokoh terbangun pada masa keemasan umat Islam lewat tangan-tangan
kreatif ahli ushul fiqih (Kartanegara, 2015).
Dalam tradisi keilmuan Islam, corak bayani sangat dominan. Dengan segala
karakteristiknya, corak bayani bukanlah sebuah corak yang sempurna. Salah satu
kelemahannya adalah kurang peduli terhadap isu-isu keagamaan yang bersifat
konstektual. Padahal, jika ingin mengembangkan pola berfikir bayani, maka mau
tidak mau harus menghubungkan dengan pola berfikir irfani dan burhani. Jika
masing-masing tetap kokoh pada pendiriannya dan tidak mau membuka diri,
berdialog, dan saling melengkapi satu sama lain, sulit rasanya studi Islam dan
pengembangan ilmu-ilmu keislaman mampu menjawab tantangan kontemporer
yang terus berkembang tiada henti (Nasution, 2011).
Dalam tradisi bayani, otoritas kebenaran terletak pada teks (wahyu).
Sementara akal menempati posisi sekunder. Tugas akal dalam konteks
epistemologi bayani adalah menjelaskan teks-teks yang ada. Sementara
bagaimana implementasi ajaran teks tersebut dalam kehidupan konkret berada di
luar kalkulasi epistemologi ini.
Dalam pemikiran al-Jabiri, sistem epistemologi indikasi atau eksplikasi
(bayani), sevara historis, adalah sistem epistemologi paling awal dalam pemikiran
Arab. Sistem ini sangat dominan dalam ilmu-ilmu pokok, seperti filologi,
yurisprudensi(fiqih), ilmu al-Qur’an (interpretasi, hermeneutika, dan tafsir),
teologi dialektis (kalam), dan teori sastra non-filsafat. Sistem epistemologi bayani
ini menghasilkan suatu pakem kombinatif untuk menafsirkan wacana dan
menentukan sarat-sarat produksi wacana. Konsep dasar sistem ini
menggabungkan metode fiqih seperti yang dikembangkan oleh al-Syafi’i, dengan
metode retorika seperti yang dikembangkan oleh al-Jahiz (Abdullah, 2012).
Sistem ini berpusat pada hubungan antara ungkapan dan makna, di samping
syarat-syarat yang telah ditambahkan oleh para  fuqaha dan teolog seperti sarat
kepastian, analogi, inti laporan, dan tingkatan otentisitas atau reliabilitasnya. Hasil
akhirnya adalah sebuah teori pengetahuan yang dalam setiap levelnya bersifat
bayani. Dalam level logika internalnya, teori pengetahuan (epistemologi)
ditentukan oleh konsep bayani yang termasuk gaya bahasa puitik, ungkapan oral

6
(enunciation), pemahaman, komunikasi, dan penangkapan secara penuh. Hal yang
sama juga terdapat dalam ranah materi pengetahuan, yang terutama disusun dari
al-Qur’an, hadits, tata bahasa, fiqih, serta prosa atau puisi Arab. Begitu juga
halnya dengan ranah ideologi, karena kekuatan otoritatif yang menentukan, yaitu
dogma Islam, ada di belakang ranah ini (Aziz, 2011).
Tipe pemikiran yang terbangun dari talenta merupakan pemberian Tuhan.
Sedangkan hasil pemikiran yang terbentuk dari pembelajaran merupakan hasil
tindak lanjut dan renungan yang sangat ditentukan oleh otentisitas proses
transmisi, mengingat perenungan membutuhkan pemikiram (thinking), bukan
nalar (reason), atau pembuktian yang terdapat di luar atau di balik batasan-batasan
nalar. Fungsi nalar adalah untuk menelaah realitas dunia sebagai manifestasi atau
tanda apapun yang ada di dalamnya, namun tidak dapat dipahami secara langsung.
Ini sesuai dengan ketentuan-ketentuan penalaran dengan menganalogikan yang
tidak diketahui (qiyas al-ghoib ‘ala al-shahid) (Muchtar, 2013).
Al-Jabiri menjelaskan bahwa sistem bayani dibangun oleh dua prinsip
dasar; pertama, prinsip diskontinuitas atau keterpisahan (al-infisal),
dan kedua, prinsip kontingensi atau kemingkinan (al-tajwiz). Perisip-perinsip
tersebut termanifestasi dalam teori substansi individu (al-jauhar al-fard) yang
mempertahankan bahwa hubungan substansi sebuah individu (tubuh, tindakan,
sensasi, dan apapun yang terbentuk di dalamnya) didasarkan atas hubungan dan
asosiasi yang kebetulan saja, tapi tidak memengaruhi dan berinteaksi. Teori ini
sesungguhnya menafikan teori kausalitas atau ide tentang adanya hukum alam.
Sumber sistem epistemologi semacam ini terdapat dalam gagasan-gagasan
Badui (Arabi) yang disalahpahami satu-satunya rujukan yang mempunyai otoritas
tidak hanya kepada al-Qur’an, tetapi juga pola pembacaannya dalam pandangan
dunia masyarakat Arab pra-Islam yang nomaden. Bahasa Arab menjadi satu-
satunya perantara dan kerangka rujukan, karena bahasa Arab adalah bahasa al-
Qur’an. Konstruksi yang semacam itu terbentuk pada masa kodifikasi dan telah
dipergunakan sebagai prinsip legitimasi (Kartanegara, 2013).

7
2. Model Berfikir Burhani
Metode demonstratif adalah satu metode rasional atau logis yang digunakan
oleh para filosof selain empat macam non demonstratif, yaitu dialektis yang
berkenaan pernyataan-pernyataan dan dan jawaban dialektika, sofistik yang
membicarakan pemikiran analogis yang mengajarkan lawan dari kebenaran,
retorik yang berhubungan dengan  jenis persuasi dan dampaknya dalam pidato,
poetika yang berkaitan dengan pemikiran antalogis yang mengajarkan penciptaan
perumpamaan dan kiasan. Namun, diantara metode-metode rasional tersebut,
metode demonstratif dapandang paling akurat karena itu, digunakan sebagai
metode ilmiah dasar yang aplikasinya meluas tidak hanya di bidang logika dan
filosofis, tetapi juga dibidang empiris dan matematika (Nasution, 2011).
Metode burhani, pada dasarnya, adalah metode logika atau penalaran
rasional yang digunakan untuk menguji kebenaran dan kekeliruan dari sebuah
pernyataan atau teori ilmiah dan filosofis dengan memperhatikan keabsahan dan
akurasi pengambilan dengan sebuah kesimpulan ilmiah. Sebuah silogisme baru
dikatakan demonstratif apabila premis-premisnya didasarkan bukan pada opini,
melainkan dengan kebenaran utama(primary truth), karena apabila premis-
premisnya benar, kesimpulannya tidak dipastikan benar. Namun sebaliknya, kalau
premis-premisnya tidak didasarkan pada kebenaran yang teruji, kesimpulanya
juga akan meragukan, bahkan bisa keliru (Kartanegara, 2013). Contoh klasik
silogisme demonstratif adalah sebagai berikut :
“Semua manusia akan mati (fana). Wagiman adalah manusia, maka
Wagiman akan mati”
Pernyataan “semua manusia akan mati” disebut premis mayor, sedangkan
“wagiman adalah mausia” adalah premis minor. Kata” manusia” yang muncul dari
premis tersebut disebut minddle term. Kalau premis mayor dan minor benar tanpa
keragu-raguan, bisa dipastikan bahwa kesimpulan “wagiman akan mati” adalah
benar. Inilah contoh metode demonstratif yang ideal. Namun dalm praktiknya,
yidak semua kebenaran premis itu jelas dan karenanya perlu kriteria yang ketat
tentang kebenaran tersebut, seperti melalui verifikasi dan falsifikasi (Nasution,
2011).

8
Menurut Aristoteles, pengetahuan mengetahui sesuatu secara mutlak, tidak
bersifat aksidental denagn menemukan sebab-sebabnya (‘illah).  Ia juga
mengmukakan bahwa tiap-tiap kejadian mempunyai empat penyebab yang
semuanya harus disebut, jika hendak mengetahui suatu kejadian. Syarat itu
berlaku baik bagi kejadian alam maupun kejadian yang disebabkan oleh
manusia.  Keempat penyebab kejadian tersebut yaitu : pertama penyebab efisien
(efficient cause/fail) ;inilah faktor yang menjalankan kejadian. Kedua, penyebab
final final cause/ghayah); inilah tujuan yang menjadi arah  seluruh
kejadian. Ketiga, penyebab material  (material cause /madah); inilah bahan dari
mana benda dibuat. Keempat, penyebab formal (formal cause/shurah);inilah
bentuk yang menyusun bahan. Dengan keempat penyebab diatas, Aristoteles ingin
menjelaskan secara lengkap semua faktor yang dapat menyebabkan suatu
peristiwa (Naim, 2011).
Ditinjau dari perspektif metodologi, Burhani mrnggunakan logika (al-
maqayis) sebagai metodologi. Logika, dalam perspektif Muthahari, merupakan
sejenis pekerjaan pikiran dan gerakan pikiran yang bertolak
dari maklum menuju majhul dan merubahnya menjadi maklum. Setiap logika
minimal harus terdiri dari dua premis, yaitu premis mayor dan premis minor salah
satunya menjadi pendukung serta konklusi (Muchtar, 2013).
Sementara dalam pandangan filosof al-Farabi, metode al- burhaniyah
(demonstrasi) merupakan metodologi yang super canggih dibandingkan dengan
metodologi-metodologi lainnya, seperti metodologi dialektika (jadaliyah), dan
metodologi retorika (khatabbiyah). Jika metode retorika dan dialekta dapat
dikonsumsi oleh masyarakat umum, hal ini tidak berlaku bagi metode burhani.
Burhani hanya mampu dikonsumsi oleh orang-orang tertentu (Kartanegara, 2015).
Ditinjau dari aspek sumber (origin), epistemologi burhani bersumber dari
realitas (al-qaqi’), baik berupa realitas alam, sosial, humanitas maupun
keagamaan. Ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi burhani disebut al-‘ilm al-
husuli, yakni ilmu yang dikonsep, disusun, dan disistematisasikan hanya melalui
premis-premis logika (al-mantiq al-‘ilmy) (Muchtar, 2013).

9
Metode burhani ini biasa digunakan dan dijumpai dalam filsafat paripatetik
yang secara eksklusif mengandalkan dedukasi rasional dengan menggunakan
silogisme yang terdiri dari premis-premis dan konklusi. Metode ini dikembangkan
oleh al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Sebagai contoh dalam masalah
ini dapat dilihat dari analisis al-Farabi dan Ibn Sina tentang Tuhan dan dunia.
Kerangka dasar pemahaman keduanya berangkat dari pemahaman bahwa Tuhan
adalah satu-satunya dzat yang wujudnya tidak disebabkan dari yang lain.
Sementara semua yang ada di alam semesta ini muncul karena adanya sebab di lu
dirinya. Epistemologi burhani menempatkan akal dalam otoritas kebenaran
(Naim, 2011).

3. Model Berfikir Irfani


Irfani berakar dari bahasa Yunani gnosis, yang berarti ma’rifah,
al-‘ilm, dan al-hikmah (filsafat). Di Eropa, pengetahuan Irfani ini dipandang
sebagai suatu gerakan agama (gnoticism) yang heretik, menyimpang, dan muncul
dari dalam agama Kristen. Bahkan menurut kajian modern, gnoticism tidak hanya
merupakan gerakan yang berhubungan dengan agama Kristen saja, melainkan
juga sebagai fenomena umum yang dikenal dalam tiga agama samawi, Islam,
Kristen dan Yahudi. Lebih dari itu, istilah ini dikenal pula dalam agama
paganistik (Kartanegara, 2015).
Melacak pada konteks maknanya, maka harus dibedakan antara gnosis dan
gnoticism. Gnosis adalah pengetahuan tentang rahasia-rahasia ketuhanan yang
hanya dimiliki oleh sekelompok orang tertentu. Sedangkan gnoticism merupakan
aliran yang mengklaim dirinya sebagai gerakan keagamaan yang dibangun atas
dasar suatu pengetahuan yang lebih tinggi dari pengetahuan aqliah (rasional),
pengetahuan yang bersifat esoterik, yang tidak hanya berkaitan dengan perihal
agama semata, melainkan juga dengan segala sesuatu yang bersifat rahasia dan
samar (Muchtar, 2013).
Epistemologi Irfani diharapkan menjembatani sekaligus menghindari
kekakuan (regiditas) dalam berfikir keagamaan yang menggunakan teks sebagai
sumber utamanya. Dengan peran dan fungsinya, epistemologi Irfani dalam

10
pemikiran islam menjadi mekanisme kontrol perimbangan pemikiran dari
dalam (internal control). Memang, perpaduan antara “teks” dengan “akal”
ternyata tidak selamanya berjalan baik dan sesuai harapan. Dalam kondisi ini,
perpaduan ini ternyata juga membawa dampak yang kurang produktif, baik
berupa ketegangan, konflik, dan bahkan dalam batas-batas tertentu dalam bentuk
kekerasan (Aziz, 2011). Irfani adalah intuisi. Dalam dinamika sejarahnya, Irfani
lebih dekat dengan perkumpulan tarekat. Padahal, tarekat itu sendiri adalah
institusi (organized expresion) dari tradisi gnosis (tasawuf) dalam budaya islam.
Sumber terpokok epistemologi Irfani adalah pengalaman (experience).
Dalam kerangka membangun pola pikir yang lebih toleran dan pluralis,
maka yang penting untuk dipahami dan dikembangkan adalah prinsip memahami
keberadaan orang, kelompok, dan penganut agama lain dengan cara
menumbuhsuburkan sikap empati, simpati, social, skill, dan berpegang teguh pada
prinsip-prinsip universal. Formula yang semacam ini akan mengantarkan ke
dalam pola hubungan antara subjek dan objek yang bersifat intersubjektif. Oleh
karena itu, kajian-kajian baru dan serius tentang kerangka berfikir Irfani perlu
terus menerus digali dan dikaji ulang agar dapat dipahami secara praktis-
fungsional.
 Ditinjau dari sisi metode, Irfani yang dikembangkan terutama oleh
kalangan sufi ini menggunakan metode pengetahuan iluminasi (kasyf).
Kasyf adalah uraian tentang apa yang tertutup bagi pemahaman yang tersingkap
bagi seseorang, seakan ia melihat dengan mata telanjang. Selain itu, kasyf  juga
diartikan sebagai penyingkapan atau wahyu. Ia merupakan jenis pengalaman
langsung yang lewat pengalaman tersebut, pengetahuan tentang hakikat
diungkapkan pada hati sang hamba dan pencipta. Dalam rahmat-Nya yang tak
terbatas, Allah memberikan kepada hamba dan pencinta-Nya pengungkapan diri
Ilahi yang tidak hanya menambah pengetahuannya tentang Allah, melainkan
menambah kerinduannya yang menggelora dan cintanya kepada Allah. Oleh
karena itu, kaum sufi agung disebut kaum “penyingkap dan penemu” (ahl al-kasyf
wa al-wujud). Dalam penyingkapan mereka menemukan Allah (Kartanegara,
2015).

11
C. Keunggulan dan Kelemahan Epistemologi Bayani, Burhani dan Irfani
Pada prinsipnya, Islam telah memiliki epistemologi yang komprehensif
sebagai kunci untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Hanya saja dari tiga
kecenderungan epistemologis yang ada (Bayani, Burhani dan Irfani), dalam
perkembangannya lebih didominasi oleh corak berpikir Bayani yang sangat
tekstual dan corak berpikir Irfani (kasyf) yang sangat sufistik. Kedua
kecenderungan ini kurang begitu memperhatikan pada penggunaan rasio secara
optimal. Namun dari ketiga epistemologi tersebut (Bayani, Burhani dan Irfani)
memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing (Muchtar, 2013).
Keunggulan dan kelemahan masing-masing epistemologi dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Keunggulan dan Kelemahan Epistemologi Bayani
Keunggulan bayani terletak pada kepada kebenaran teks (al-Qur’an dan
Hadis) sebagai sumber utama hukum Islam yang bersifat universal sehingga
menjadi pedoman dan patokan.  Dalam pendekatan bayani, oleh karena dominasi
teks sedemikian kuat, maka peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran
atau justifikasi atas teks yang dipahami atau diinterpretasi. Dalam aplikasinya,
pendekatan bayani akan memperkaya lilmu fikih dan ushul fikih, lebih-lebih
qawaidul lughahnya (Aziz, 2011)..
Namun, hal itu berarti bukan tanpa kelemahan. Kelemahan mencolok pada
Nalar Bayani adalah ketika harus berhadapan dengan teks-teks yang berbeda milik
komunitas, bangsa, atau masyarakat lainnya. Karena otoritas ada pada teks, dan
rasio hanya berfungsi sebagai pengawal teks, sementara sebuah teks belum tentu
diterima oleh golongan lain. Dalam epistemologi bayani sebenarnya ada
penggunaan rasio, akan tetapi relatif sedikit dan sangat tergantung pada teks yang
ada. Penggunaan yang terlalu dominan atas epistemologi ini telah menimbulkan
stagnasi dalam kehidupan beragama, karena ketidakmampuannya merespon
perkembangan zaman. Hal ini dikarenakan epistemologi bayani selalu
menempatkan akal menjadi sumber sekunder, sehingga peran akal menjadi
terpasung di bawah bayang-bayang teks, dan tidak menempatkannya secara
sejajar, saling mengisi dan melengkapi dengan teks (Abdullah, 2012)..

12
2. Keunggulan Dan Kelemahan Epistemologi Burhani
Sistem berpikir yang konstruksi epistemologinya dibangun di atas semangat
akal dan logika dengan beberapa premis merupakan keunggulan epistemologi
burhani. Epistemologi burhani berusaha memaksimalkan akal dan
menempatkannya sejajar dengan teks suci dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.
Dalam epistemologi burhani ini, penggunaan rasionalitas tidak terhenti hanya
sebatas rasio belaka, tetapi melibatkan pendekatan empiris sebagai kunci utama
untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, sebagaimana banyak dipraktekkan oleh
para ilmuan Barat (Kartanegara, 2013).
Namun Kendala yang sering dihadapi dalam penerapan pendekatan ini
adalah sering tidak sinkronnya teks dan realitas. Produk ijtihadnya akan berbeda
jika dalam pengarusutamaan teks atau konteks. Masyarakat lebih banyak
memenangkan teks daripada konteks, meskipun yang lebih cenderung kepada
kontekspun juga tidak sedikit (Muchtar, 2013).

3. Keunggulan dan Kelemahan Epistemologi Irfani


Di antara keunggulan irfani adalah bahwa segala pengetahuan yang
bersumber dari intuisi-intuisi, musyahadah, dan mukasyafah lebih dekat dengan
kebenaran dari pada ilmu-ilmu yang digali dari argumentasi-argumentasi rasional
dan akal. Bahkan kalangan sufi menyatakan bahwa indra-indra manusia dan
fakultas akalnya hanya menyentuh wilayah lahiriah alam dan manifestasi-
manifestasinya, namun manusia dapat berhubungan secara langsung (immediate)
yang bersifat intuitif dengan hakikat tunggal alam (Allah) melalui dimensi-
dimensi batiniahnya sendiri dan hal ini akan sangat berpengaruh ketika manusia
telah suci, lepas, dan jauh dari segala bentuk ikatan-ikatan dan ketergantungan-
ketergantungan lahiriah (Kartanegara, 2013).
Namun kendala atau keterbatasan irfani antara lain adalah bahwa ia hanya
dapat dinikmati oleh segelintir manusia yang mampu sampai pada taraf pensucian
diri yang tinggi. Di samping itu, irfani sangat subjektif menilai sesuatu karena ia
berdasar pada pengalaman individu manusia (Kartanegara, 2013).  Kritik lainnya
adalah sifatnya yang irasional, dan anti kritik terhadap penalaran. Metode yang

13
digunakan adalah logika paradoksal, segala-galanya bisa dicipta tanpa melalui
sebab-sebab yang mendahuluinya. Akibatnya, pemikiran para sufi kehilangan
dimensi kritis dan bersifat magis yang menyebabkan kemunduran pola pikir umat
Islam (Muchtar, 2013).
Setiap epistemologi, termasuk di dalamnya Irfani, memiliki kelebihan dan
kelemahan. Tidak ada di antara ketiga epistemologi keilmuan islam tersebut yang
sempurna. Eksistensi ketiganya justru saling melengkapi satu sama lain. Oleh
karena itu, hal yang bijak bukanlah menafikan eksistensi peran masing-masing,
tetapi bagaimana masing-masing epistemologi tersebut menjalankan perannya
yang tepat dan saling melengkapi satu sama lain (Naim, 2011).

14
BAB III

KESIMPULAN

1. Epistemologi Bayani adalah studi filosofis terhadap struktur pengetahuan


yang menempatkan teks (wahyu) sebagai sebuah kebenaran mutlak. Metode
Burhani atau demonstratif merupakan sebentuk inferensi rasional, yaitu
penggalian premis-premis yang menhasilkan konklusi yang bernilai. Irfan
dalam bahasa Arab semakna dengan ma’rifah yang diartikan
dengan al-‘ilm. Di kalangan sufi, kata Irfan dipergunakan untuk
menunjukan jenis pengetahuan yang tertinggi, yang dihadirkan ke
dalam qalb dengan cara kasyf atau ilham.
2. Metode Burhani, pada dasarnya, adalah metode logika atau penalaran
rasional yang digunakan untuk menguji kebenaran dan kekeliruan dari
sebuah pernyataan atau teori ilmiah dan filosofis dengan memperhatikan
keabsahan dan akurasi pengambilan dengan sebuah kesimpulan
ilmiah. Dalam kerangka membangun pola pikir yang lebih toleran dan
pluralis, maka dalam epistemologi irfan yang penting untuk dipahami dan
dikembangkan adalah prinsip memahami keberadaan orang, kelompok, dan
penganut agama lain dengan cara menumbuhsuburkan sikap empati,
simpati, social, skill, dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip universal.
Ketiga epistemologi tersebut (Bayani, Burhani dan Irfani) memiliki
keunggulan dan kelemahan masing-masing. Oleh karena itu, hal yang bijak
bukanlah menafikan eksistensi peran masing-masing, tetapi bagaimana
masing-masing epistemologi tersebut menjalankan perannya yang tepat dan
saling melengkapi satu sama lain.

15
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin. Studi Agama Normativitas dan Historitas, Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 2012

Aziz, Abd. Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Teras, 2009

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Gema Risalah


Press, 2006

Kartanegara, Mulyadi. Menembus Waktu Panorama Filsafat Islam. Bandung:


Mizan, 2015.

Kartanegara, Mulyadi. Mengislamkan Nalar, Jakarta: Erlangga, 2013

Muchtar, Aflatun. Arah Baru Studi Islam di Indonesia Teori dan


Metodologi, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013

Naim, Ngainun, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Teras, 2011

Nasution, Khairuddin. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Tazzafa, 2011

16

Anda mungkin juga menyukai