Disusun oleh :
NAMA : ADIYATMA
NIM : 202021026
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala
puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya lah
maka penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Pengelompokkan
Keilmuan Dalam Islam. Dalam penulisan makalah ini, penulis banyak
mendapatkan bimbingan dan bantuan yang bermanfaat dari berbagai pihak, maka
pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada
Dosen pengampu mata kuliah ini dan semua pihak yang telah membantu penulis
dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................. 1
B. Rumusan Masalah....................................................................... 2
D. Tujuan Penulisan......................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Epistemologi Bayani, Burhani dan Irfani................................... 3
B. Model Berfikir Bayani, Burhani dan Irfani................................. 5
C. Keunggulan dan Kelemahan Epistemologi Bayani, Burhani
dan Irfani .................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 16
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Artinya:
1
yaitu indera, wahyu, otoritas, akal, intuisi, dan saling melengkapi diantara
sumber-sumber pengetahuan tersebut. apabila dicermati secara seksama maka
akan dapat diketahui bahwa yang paling terlantar dalam sejarah panjang dunia
Islam adalah sumber pengetahuan terakhir yang menegasakan watak saling
melengkapi (tauhid sumber pengetahuan). Kenyataannya, wahyu dan otoritas
telah sedemikian telah diunggulkan oleh epistemologi Bayani; indera dan akal
diagungkan oleh epistemologi Burhani; sedangkan wahyu, diagungkan oleh
epistemologi Irfani.
Berdasarkan uraian di atas, penulis terdorong untuk mengetahui tentang
“Pengelompokkan Keilmuan Dalam Islam”.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
a. Pokok bahasannya jelas dan pasti
b. Unversal dan tidak particular
c. Memiliki peristilahan teknis tertentu
Menurut Abid al-Jabiri, burhan dalam logika adalah aktivitas intelektual
untuk membuktikan kebenaran suatu proposisi dengan cara konklusi atau deduksi.
Sedangkan dalam pengertian umum, burhan merupakan semua aktivitas
intelektual untuk membuktikan kebenaran suatu preposisi. Istilah burhan juga
dipakai dalam pengertian yang cukup beragam (Muchtar, 2013). Beberapa
diantaranya:
a. Cara atau jenis argumentasi
b. Argumen itu sendiri
c. Bukti yang terlihat dari suatu argumen yang meyakinkan
Pengertian dalam bentuk yang ketiga ini digunakan dalam Al-Qur’an surat
An-Nisa ayat 174 dan surat Yusuf ayat 24 (Depag, RI: 2006).
QS. An-Nisa ayat 174:
ٰ ٓيا َ ُّي َها ال َّناسُ َق ْد َج ۤا َء ُك ْم بُرْ َهانٌ مِّنْ رَّ ِّب ُك ْم َواَ ْن َز ْل َنٓا ِالَ ْي ُك ْم ُن ْورً ا م ُِّب ْي ًنا
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti
kebenaran dari Tuhanmu. (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah
Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Quran).” (QS.
An-Nisa/4:174)
4
yang bernilai (Muchtar, 2013). Pola pikir Burhani bersumber pada realitas (alam,
sosial, humanitas).
5
yang kokoh terbangun pada masa keemasan umat Islam lewat tangan-tangan
kreatif ahli ushul fiqih (Kartanegara, 2015).
Dalam tradisi keilmuan Islam, corak bayani sangat dominan. Dengan segala
karakteristiknya, corak bayani bukanlah sebuah corak yang sempurna. Salah satu
kelemahannya adalah kurang peduli terhadap isu-isu keagamaan yang bersifat
konstektual. Padahal, jika ingin mengembangkan pola berfikir bayani, maka mau
tidak mau harus menghubungkan dengan pola berfikir irfani dan burhani. Jika
masing-masing tetap kokoh pada pendiriannya dan tidak mau membuka diri,
berdialog, dan saling melengkapi satu sama lain, sulit rasanya studi Islam dan
pengembangan ilmu-ilmu keislaman mampu menjawab tantangan kontemporer
yang terus berkembang tiada henti (Nasution, 2011).
Dalam tradisi bayani, otoritas kebenaran terletak pada teks (wahyu).
Sementara akal menempati posisi sekunder. Tugas akal dalam konteks
epistemologi bayani adalah menjelaskan teks-teks yang ada. Sementara
bagaimana implementasi ajaran teks tersebut dalam kehidupan konkret berada di
luar kalkulasi epistemologi ini.
Dalam pemikiran al-Jabiri, sistem epistemologi indikasi atau eksplikasi
(bayani), sevara historis, adalah sistem epistemologi paling awal dalam pemikiran
Arab. Sistem ini sangat dominan dalam ilmu-ilmu pokok, seperti filologi,
yurisprudensi(fiqih), ilmu al-Qur’an (interpretasi, hermeneutika, dan tafsir),
teologi dialektis (kalam), dan teori sastra non-filsafat. Sistem epistemologi bayani
ini menghasilkan suatu pakem kombinatif untuk menafsirkan wacana dan
menentukan sarat-sarat produksi wacana. Konsep dasar sistem ini
menggabungkan metode fiqih seperti yang dikembangkan oleh al-Syafi’i, dengan
metode retorika seperti yang dikembangkan oleh al-Jahiz (Abdullah, 2012).
Sistem ini berpusat pada hubungan antara ungkapan dan makna, di samping
syarat-syarat yang telah ditambahkan oleh para fuqaha dan teolog seperti sarat
kepastian, analogi, inti laporan, dan tingkatan otentisitas atau reliabilitasnya. Hasil
akhirnya adalah sebuah teori pengetahuan yang dalam setiap levelnya bersifat
bayani. Dalam level logika internalnya, teori pengetahuan (epistemologi)
ditentukan oleh konsep bayani yang termasuk gaya bahasa puitik, ungkapan oral
6
(enunciation), pemahaman, komunikasi, dan penangkapan secara penuh. Hal yang
sama juga terdapat dalam ranah materi pengetahuan, yang terutama disusun dari
al-Qur’an, hadits, tata bahasa, fiqih, serta prosa atau puisi Arab. Begitu juga
halnya dengan ranah ideologi, karena kekuatan otoritatif yang menentukan, yaitu
dogma Islam, ada di belakang ranah ini (Aziz, 2011).
Tipe pemikiran yang terbangun dari talenta merupakan pemberian Tuhan.
Sedangkan hasil pemikiran yang terbentuk dari pembelajaran merupakan hasil
tindak lanjut dan renungan yang sangat ditentukan oleh otentisitas proses
transmisi, mengingat perenungan membutuhkan pemikiram (thinking), bukan
nalar (reason), atau pembuktian yang terdapat di luar atau di balik batasan-batasan
nalar. Fungsi nalar adalah untuk menelaah realitas dunia sebagai manifestasi atau
tanda apapun yang ada di dalamnya, namun tidak dapat dipahami secara langsung.
Ini sesuai dengan ketentuan-ketentuan penalaran dengan menganalogikan yang
tidak diketahui (qiyas al-ghoib ‘ala al-shahid) (Muchtar, 2013).
Al-Jabiri menjelaskan bahwa sistem bayani dibangun oleh dua prinsip
dasar; pertama, prinsip diskontinuitas atau keterpisahan (al-infisal),
dan kedua, prinsip kontingensi atau kemingkinan (al-tajwiz). Perisip-perinsip
tersebut termanifestasi dalam teori substansi individu (al-jauhar al-fard) yang
mempertahankan bahwa hubungan substansi sebuah individu (tubuh, tindakan,
sensasi, dan apapun yang terbentuk di dalamnya) didasarkan atas hubungan dan
asosiasi yang kebetulan saja, tapi tidak memengaruhi dan berinteaksi. Teori ini
sesungguhnya menafikan teori kausalitas atau ide tentang adanya hukum alam.
Sumber sistem epistemologi semacam ini terdapat dalam gagasan-gagasan
Badui (Arabi) yang disalahpahami satu-satunya rujukan yang mempunyai otoritas
tidak hanya kepada al-Qur’an, tetapi juga pola pembacaannya dalam pandangan
dunia masyarakat Arab pra-Islam yang nomaden. Bahasa Arab menjadi satu-
satunya perantara dan kerangka rujukan, karena bahasa Arab adalah bahasa al-
Qur’an. Konstruksi yang semacam itu terbentuk pada masa kodifikasi dan telah
dipergunakan sebagai prinsip legitimasi (Kartanegara, 2013).
7
2. Model Berfikir Burhani
Metode demonstratif adalah satu metode rasional atau logis yang digunakan
oleh para filosof selain empat macam non demonstratif, yaitu dialektis yang
berkenaan pernyataan-pernyataan dan dan jawaban dialektika, sofistik yang
membicarakan pemikiran analogis yang mengajarkan lawan dari kebenaran,
retorik yang berhubungan dengan jenis persuasi dan dampaknya dalam pidato,
poetika yang berkaitan dengan pemikiran antalogis yang mengajarkan penciptaan
perumpamaan dan kiasan. Namun, diantara metode-metode rasional tersebut,
metode demonstratif dapandang paling akurat karena itu, digunakan sebagai
metode ilmiah dasar yang aplikasinya meluas tidak hanya di bidang logika dan
filosofis, tetapi juga dibidang empiris dan matematika (Nasution, 2011).
Metode burhani, pada dasarnya, adalah metode logika atau penalaran
rasional yang digunakan untuk menguji kebenaran dan kekeliruan dari sebuah
pernyataan atau teori ilmiah dan filosofis dengan memperhatikan keabsahan dan
akurasi pengambilan dengan sebuah kesimpulan ilmiah. Sebuah silogisme baru
dikatakan demonstratif apabila premis-premisnya didasarkan bukan pada opini,
melainkan dengan kebenaran utama(primary truth), karena apabila premis-
premisnya benar, kesimpulannya tidak dipastikan benar. Namun sebaliknya, kalau
premis-premisnya tidak didasarkan pada kebenaran yang teruji, kesimpulanya
juga akan meragukan, bahkan bisa keliru (Kartanegara, 2013). Contoh klasik
silogisme demonstratif adalah sebagai berikut :
“Semua manusia akan mati (fana). Wagiman adalah manusia, maka
Wagiman akan mati”
Pernyataan “semua manusia akan mati” disebut premis mayor, sedangkan
“wagiman adalah mausia” adalah premis minor. Kata” manusia” yang muncul dari
premis tersebut disebut minddle term. Kalau premis mayor dan minor benar tanpa
keragu-raguan, bisa dipastikan bahwa kesimpulan “wagiman akan mati” adalah
benar. Inilah contoh metode demonstratif yang ideal. Namun dalm praktiknya,
yidak semua kebenaran premis itu jelas dan karenanya perlu kriteria yang ketat
tentang kebenaran tersebut, seperti melalui verifikasi dan falsifikasi (Nasution,
2011).
8
Menurut Aristoteles, pengetahuan mengetahui sesuatu secara mutlak, tidak
bersifat aksidental denagn menemukan sebab-sebabnya (‘illah). Ia juga
mengmukakan bahwa tiap-tiap kejadian mempunyai empat penyebab yang
semuanya harus disebut, jika hendak mengetahui suatu kejadian. Syarat itu
berlaku baik bagi kejadian alam maupun kejadian yang disebabkan oleh
manusia. Keempat penyebab kejadian tersebut yaitu : pertama penyebab efisien
(efficient cause/fail) ;inilah faktor yang menjalankan kejadian. Kedua, penyebab
final final cause/ghayah); inilah tujuan yang menjadi arah seluruh
kejadian. Ketiga, penyebab material (material cause /madah); inilah bahan dari
mana benda dibuat. Keempat, penyebab formal (formal cause/shurah);inilah
bentuk yang menyusun bahan. Dengan keempat penyebab diatas, Aristoteles ingin
menjelaskan secara lengkap semua faktor yang dapat menyebabkan suatu
peristiwa (Naim, 2011).
Ditinjau dari perspektif metodologi, Burhani mrnggunakan logika (al-
maqayis) sebagai metodologi. Logika, dalam perspektif Muthahari, merupakan
sejenis pekerjaan pikiran dan gerakan pikiran yang bertolak
dari maklum menuju majhul dan merubahnya menjadi maklum. Setiap logika
minimal harus terdiri dari dua premis, yaitu premis mayor dan premis minor salah
satunya menjadi pendukung serta konklusi (Muchtar, 2013).
Sementara dalam pandangan filosof al-Farabi, metode al- burhaniyah
(demonstrasi) merupakan metodologi yang super canggih dibandingkan dengan
metodologi-metodologi lainnya, seperti metodologi dialektika (jadaliyah), dan
metodologi retorika (khatabbiyah). Jika metode retorika dan dialekta dapat
dikonsumsi oleh masyarakat umum, hal ini tidak berlaku bagi metode burhani.
Burhani hanya mampu dikonsumsi oleh orang-orang tertentu (Kartanegara, 2015).
Ditinjau dari aspek sumber (origin), epistemologi burhani bersumber dari
realitas (al-qaqi’), baik berupa realitas alam, sosial, humanitas maupun
keagamaan. Ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi burhani disebut al-‘ilm al-
husuli, yakni ilmu yang dikonsep, disusun, dan disistematisasikan hanya melalui
premis-premis logika (al-mantiq al-‘ilmy) (Muchtar, 2013).
9
Metode burhani ini biasa digunakan dan dijumpai dalam filsafat paripatetik
yang secara eksklusif mengandalkan dedukasi rasional dengan menggunakan
silogisme yang terdiri dari premis-premis dan konklusi. Metode ini dikembangkan
oleh al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Sebagai contoh dalam masalah
ini dapat dilihat dari analisis al-Farabi dan Ibn Sina tentang Tuhan dan dunia.
Kerangka dasar pemahaman keduanya berangkat dari pemahaman bahwa Tuhan
adalah satu-satunya dzat yang wujudnya tidak disebabkan dari yang lain.
Sementara semua yang ada di alam semesta ini muncul karena adanya sebab di lu
dirinya. Epistemologi burhani menempatkan akal dalam otoritas kebenaran
(Naim, 2011).
10
pemikiran islam menjadi mekanisme kontrol perimbangan pemikiran dari
dalam (internal control). Memang, perpaduan antara “teks” dengan “akal”
ternyata tidak selamanya berjalan baik dan sesuai harapan. Dalam kondisi ini,
perpaduan ini ternyata juga membawa dampak yang kurang produktif, baik
berupa ketegangan, konflik, dan bahkan dalam batas-batas tertentu dalam bentuk
kekerasan (Aziz, 2011). Irfani adalah intuisi. Dalam dinamika sejarahnya, Irfani
lebih dekat dengan perkumpulan tarekat. Padahal, tarekat itu sendiri adalah
institusi (organized expresion) dari tradisi gnosis (tasawuf) dalam budaya islam.
Sumber terpokok epistemologi Irfani adalah pengalaman (experience).
Dalam kerangka membangun pola pikir yang lebih toleran dan pluralis,
maka yang penting untuk dipahami dan dikembangkan adalah prinsip memahami
keberadaan orang, kelompok, dan penganut agama lain dengan cara
menumbuhsuburkan sikap empati, simpati, social, skill, dan berpegang teguh pada
prinsip-prinsip universal. Formula yang semacam ini akan mengantarkan ke
dalam pola hubungan antara subjek dan objek yang bersifat intersubjektif. Oleh
karena itu, kajian-kajian baru dan serius tentang kerangka berfikir Irfani perlu
terus menerus digali dan dikaji ulang agar dapat dipahami secara praktis-
fungsional.
Ditinjau dari sisi metode, Irfani yang dikembangkan terutama oleh
kalangan sufi ini menggunakan metode pengetahuan iluminasi (kasyf).
Kasyf adalah uraian tentang apa yang tertutup bagi pemahaman yang tersingkap
bagi seseorang, seakan ia melihat dengan mata telanjang. Selain itu, kasyf juga
diartikan sebagai penyingkapan atau wahyu. Ia merupakan jenis pengalaman
langsung yang lewat pengalaman tersebut, pengetahuan tentang hakikat
diungkapkan pada hati sang hamba dan pencipta. Dalam rahmat-Nya yang tak
terbatas, Allah memberikan kepada hamba dan pencinta-Nya pengungkapan diri
Ilahi yang tidak hanya menambah pengetahuannya tentang Allah, melainkan
menambah kerinduannya yang menggelora dan cintanya kepada Allah. Oleh
karena itu, kaum sufi agung disebut kaum “penyingkap dan penemu” (ahl al-kasyf
wa al-wujud). Dalam penyingkapan mereka menemukan Allah (Kartanegara,
2015).
11
C. Keunggulan dan Kelemahan Epistemologi Bayani, Burhani dan Irfani
Pada prinsipnya, Islam telah memiliki epistemologi yang komprehensif
sebagai kunci untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Hanya saja dari tiga
kecenderungan epistemologis yang ada (Bayani, Burhani dan Irfani), dalam
perkembangannya lebih didominasi oleh corak berpikir Bayani yang sangat
tekstual dan corak berpikir Irfani (kasyf) yang sangat sufistik. Kedua
kecenderungan ini kurang begitu memperhatikan pada penggunaan rasio secara
optimal. Namun dari ketiga epistemologi tersebut (Bayani, Burhani dan Irfani)
memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing (Muchtar, 2013).
Keunggulan dan kelemahan masing-masing epistemologi dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Keunggulan dan Kelemahan Epistemologi Bayani
Keunggulan bayani terletak pada kepada kebenaran teks (al-Qur’an dan
Hadis) sebagai sumber utama hukum Islam yang bersifat universal sehingga
menjadi pedoman dan patokan. Dalam pendekatan bayani, oleh karena dominasi
teks sedemikian kuat, maka peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran
atau justifikasi atas teks yang dipahami atau diinterpretasi. Dalam aplikasinya,
pendekatan bayani akan memperkaya lilmu fikih dan ushul fikih, lebih-lebih
qawaidul lughahnya (Aziz, 2011)..
Namun, hal itu berarti bukan tanpa kelemahan. Kelemahan mencolok pada
Nalar Bayani adalah ketika harus berhadapan dengan teks-teks yang berbeda milik
komunitas, bangsa, atau masyarakat lainnya. Karena otoritas ada pada teks, dan
rasio hanya berfungsi sebagai pengawal teks, sementara sebuah teks belum tentu
diterima oleh golongan lain. Dalam epistemologi bayani sebenarnya ada
penggunaan rasio, akan tetapi relatif sedikit dan sangat tergantung pada teks yang
ada. Penggunaan yang terlalu dominan atas epistemologi ini telah menimbulkan
stagnasi dalam kehidupan beragama, karena ketidakmampuannya merespon
perkembangan zaman. Hal ini dikarenakan epistemologi bayani selalu
menempatkan akal menjadi sumber sekunder, sehingga peran akal menjadi
terpasung di bawah bayang-bayang teks, dan tidak menempatkannya secara
sejajar, saling mengisi dan melengkapi dengan teks (Abdullah, 2012)..
12
2. Keunggulan Dan Kelemahan Epistemologi Burhani
Sistem berpikir yang konstruksi epistemologinya dibangun di atas semangat
akal dan logika dengan beberapa premis merupakan keunggulan epistemologi
burhani. Epistemologi burhani berusaha memaksimalkan akal dan
menempatkannya sejajar dengan teks suci dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.
Dalam epistemologi burhani ini, penggunaan rasionalitas tidak terhenti hanya
sebatas rasio belaka, tetapi melibatkan pendekatan empiris sebagai kunci utama
untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, sebagaimana banyak dipraktekkan oleh
para ilmuan Barat (Kartanegara, 2013).
Namun Kendala yang sering dihadapi dalam penerapan pendekatan ini
adalah sering tidak sinkronnya teks dan realitas. Produk ijtihadnya akan berbeda
jika dalam pengarusutamaan teks atau konteks. Masyarakat lebih banyak
memenangkan teks daripada konteks, meskipun yang lebih cenderung kepada
kontekspun juga tidak sedikit (Muchtar, 2013).
13
digunakan adalah logika paradoksal, segala-galanya bisa dicipta tanpa melalui
sebab-sebab yang mendahuluinya. Akibatnya, pemikiran para sufi kehilangan
dimensi kritis dan bersifat magis yang menyebabkan kemunduran pola pikir umat
Islam (Muchtar, 2013).
Setiap epistemologi, termasuk di dalamnya Irfani, memiliki kelebihan dan
kelemahan. Tidak ada di antara ketiga epistemologi keilmuan islam tersebut yang
sempurna. Eksistensi ketiganya justru saling melengkapi satu sama lain. Oleh
karena itu, hal yang bijak bukanlah menafikan eksistensi peran masing-masing,
tetapi bagaimana masing-masing epistemologi tersebut menjalankan perannya
yang tepat dan saling melengkapi satu sama lain (Naim, 2011).
14
BAB III
KESIMPULAN
15
DAFTAR PUSTAKA
16