Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH FILSAFAT ILMU

TEORI TEORI DAN SUMBER KEBENARAN

Disusun oleh :
Kelompok 8
1. Alamil Huda 151510383011
2. Suci Arum Sari Arifin 151510383022
3. Gerry Lano Askuko Satya Agusty 151510383028
4. Iqbal Yusuf Wicaksono 151510383037

PROGRAM STUDI D-IV RADIOLOGI


FAKULTAS VOKASI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya
sehingga kelompok kami dapat membuat makalah ini untuk menyelesaikan tugas
mata kuliah filsafat yang dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga
mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan


dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki
bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin


masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Surabaya, Agustus 2017

Penyusun

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ 2
DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 5
1.3 Tujuan ........................................................................................................ 5
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 6
2.1 Pengertian Kebenaran ............................................................................... 6
2.2 Sifat Kebenaran ......................................................................................... 8
2.3 Teori Kebenaran........................................................................................ 9
2.3.1 Teori Kebenaran Korespondensi (Correspondence Theory of Truth) 9
2.3.2 Teori Kebenaran Koherensi (Coherence Theory of Truth) .............. 14
2.3.3 Teori Pragmatisme (The Pramagtic Theory of Truth) ..................... 16
2.3.4 Teori Kebenaran Sintaksis ............................................................... 18
2.3.5 Teori Kebenaran Semantis ............................................................... 21
2.3.6 Teori Kebenaran Performatif ........................................................... 23
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 25
3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 26

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Filsafat merupakan mater scientiarum atau induk ilmu


pengetahuan. Filsafat disebut induk pengetahuan karena memang
filsafatlah yang telah melahirkan segala ilmu pengetahuan yang ada.
Dalam lintas sejarah, manusia dalam kehidupannya senantiasa disibukkan
oleh berbagai pernyataan mendasar tentang dirinya. Berbagai jawaban
yang bersifat spekulatif coba diajukan oleh para pemikir sepanjang sejarah
dan terkadang jawaban-jawaban yang diajukan saling kontradiktif satu
dengan yang lainnya. Perdebatan mendasar yang sering menjadi bahan
diskusi dalam sejarah kehidupan manusia adalah perdebatan seputar teori
dan sumber-sumber kebenaran1.
Teori adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan
penemuan, didukung oleh data dan argumentasi. Sedangkan kebenaran
merupakan keadaan (hal dan sebagainya) yang cocok dengan keadaan
(hal) yang sesungguhnya.
Proses pencarian kebenaran tentu bukan hal yang mudah dan dapat
dikatakan merupakan proses yang sangat melelahkan bahkan bukan tidak
mungkin akan mendatangkan keputusan. Sering kali dengan dalih sebuah
kebenaran seseorang atau kelompok akan menghalalkan tindakan terhadap
orang lain karena dianggap sudah melakukan tindakan yang benar.
Membahas tentang kebenaran tidak akan ada titik temu yang benar
dan memuaskan, sebab kebenaran itu sendiri bersifat falsibilitas. Artinya
akan mengalami degradasi karena adanya teori yang baru. Sementara
kebenaran mutlak adalah kebenaran yang dari Maha Yang Paling Benar.

1
Dr.Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, hlm.11

4
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, permasalahan pokok yang
akan dibahas dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Apa pengertian kebenaran?
2. Apa sifat-sifat kebenaran?
3. Apa saja teori-teori kebenaran filsafat ilmu?

1.3 Tujuan
1. Mampu mengetahui pengertian kebenaran dalam filsafat ilmu
2. Mengetahui sifat kebenaran filsafat ilmu
3. Mampu menjelaskan teori-teori kebenaran ilmu pengetahuan

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kebenaran

Ilmu filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan


mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta, dan manusia, sehingga
dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh
yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu
seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu2.

Filsafat erat sekali dengan perbincangan tentang kebenaran.


Kebenaran menurut kamus Purwadarminta memiliki kata dasar benar yang
berarti 1). Keadaan (hal yang sebenarnya) yang benar (cocok dengan hal
atau keadaan sesungguhnya); misal berita ini masih saya sangsikan; kita
harus berani membela kebenaran dan keadilan. 2). Sesuatu yang benar
(sungguh-sungguh ada, betul-betul demikian halnya dan sebagainya);
misal kebenaran-kebenaran yang diajarkan oleh agama. 3). Kejujuran,
kelurusan hati, misal tidak ada seorangpun sanksi akan kebaikan dan
kebenaran hatimu.
Menurut Prof. Dr. Sutarjo A. Wira, Psi kebenaran merupakan hasil
penilaian, sehingga yang merupakan masalah adalah apa yang menjadi
dasar dari penilaian itu. Bisa subjektif, ialah berdasarkan norma, nilai, dan
keyakinan orang yang menilainya. Bisa juga secara objektif, ialah
berdasarkan ukuran-ikuran, manfaat, dan jenis objeknya, karena yang
sebenarnya ada hanyalah perbedaan yang satu, bukan yang lain3.
Yunani memiliki pendapat tersendiri mengenai kebenaran. Awal
Filsafat Yunani tentang kebenaran adalah perubahan dari Mitos menjadi

2
Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja,psi , Pengantar Filsafat: Sistematika dan Sejarah Filsafat
Logika dan Filsafat Ilmu (Epistemologi) Matefisika dan Filsafat Manusia Aksiologi,
Bandung,PT Refika Aditama, 2009, hlm. 16
3
Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja,psi , Pengantar Filsafat: Sistematika dan Sejarah Filsafat
Logika dan Filsafat Ilmu (Epistemologi) Matefisika dan Filsafat Manusia Aksiologi,
Bandung,PT Refika Aditama, 2009,hlm.27

6
Logos. Mitos yang berarti kebenaran berasal dari hal bersifat metafisika,
dan logos yang berarti rasional atau logis. Efek dari perubahan ini adalah
munculnya dua aliran, yaitu ide yang bersifat umum dan satu, dan
indrawi yang bersifat individual, konkret, dan terus-menerus dalam
perubahan. Maka dari itu Protagoras (485-415 BC) dan Gorgias (483-375
BC) menyatakan bahwa kebenaran yang bersifat mutlak tak akan pernah
ada. Yang penting bukan kebenaran yang ada, namun teknik untuk
meyakinkan orang lain (Retorika). Untuk itu mereka mendirikan sekolah
yang diberi nama Retorika. Tetapi dengan adanya konsep retorika
muncul berbagai aliran, seperti sofisme, skeptisme, relativisme,
subjektivisme, dan pragmatisme4.

Menurut A.M.W Pranarka menjelaskan bahwa telaah epistemologi


membawa orang kepada suatu kesimpulan bahwa perlu dibedakan adanya
tiga jenis kebenaran :
1. Kebenaran epistemologikal
Kebenaran epistemologikal adalah pengertian kebenaran dalam
hubungannya dengan pengetahuan manusia. Kadang-kadang disebut
pula dengan istilah vertas cognitionis ataupun vertas logica.
2. Kebenaran ontologikal
Kebenaran ontologikal adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang
melekat kepada segala sesuatu yang ada ataupun diadakan.
3. Kebenaran semantikal
Kebenaran semantikal adalah kebenaran yang terdapat serta melekat di
dalam tutur kata dan bahasa5
Kebenaran berada didalam lingkup relasional antara subyek dan
obyek. Maka itu perlu pula kita memahami pengertian kebenaran ditinjau
dari aspek subyeknya atau di tinjau dari aspek obyeknya.

4
A.M.W. Pranarka, Epistemologi Dasar. Suatu Pengantar, Jakarta: CSIS, 1987 hlm. 12-14
(skeptisisme, dogmatism, realisme, dan relativisme), 36 (nominalisme), 45-47 (fenomenalisme,
idealisme, empirisme, positivisme, dan objektivisme)
5
.M.W. Pranarka, Epistemologi Dasar. Suatu Pengantar, Jakarta: CSIS, 1987 hlm.43-44

7
Kebenaran ditinjau dari aspek subyeknya akan berarti kebenaran di
dalam pengetahuan yang konkret: di dalam pengetahuan si anu, si ini,
ataupun si itu. Dengan demikian maka ditinjau dari segi subyeknya
kebenaran itu tentu saja akan selalu bervariasi, bahkan dapat berkembang,
dapat kurang sempurna, dapat lebih sempurna dan lain sebagainya.
Kebenaran ditinjau dari aspek obyeknya, akan selalu berarti
kebenaran epistemologikal yang tidak tuntas. Artinya obyek itu sendiri,
adalah suatu totalitas yang kompleks, banyak seginya, banyak aspeknya6.

2.2 Sifat Kebenaran

Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan


yang benar. Apa yang disebut benar bagi seseorang belum tentu benar bagi
orang lain. Karena itu, kegiatan berpikir adalah usaha untuk menghasilkan
pengetahuan yang benar itu atau kriteria kebenaran. Pada setiap jenis
pengetahuan tidak sama kriteria kebenarannya karena sifat dan watak
pengetahuan itu berbeda. Pengetahuan tentang alam metafisikan tentunya
tidak sam dengan pengetahuan tentang alam fisik. Alam fisik pun
memiliki perbedaan ukuran kebenaran bagi setiap jenis dan bidang
pengetahuan.
Pengetahuan akan disebut sebagai pengetahuan yang benar apabila
terdapat suatu kesesuian terpadu, apabila terdapat conformitas , antara apa
yang terdapat di dalam pengetahuan subyek di satu pihak dengan apa yang
senyatanya ada di dalam obyek di lain pihak. Namun karena pengetahuan
itu sifatnya selalu relatif dan diskursif, maka kita perlu menyadari bahwa
conformitas antara subyekdan obyek tertentu bukanlah satu conformitas
yang tuntas paripurna, yaitu conformitas yang semesta dan menyeluruh7.
Hipotesis sering kali diartikan dengan munkin benar mungkin
salah. Namun prasangka tersebut tidak benar. Hipotesis (dalam sain) ialah
pernyataan yang sudah benar secara logika, tetapi belum ada bukti

6
M.W. Pranarka, Epistemologi Dasar. Suatu Pengantar, Jakarta: CSIS, 1987, hlm. 56
7
A.M.W. Pranarka, Epistemologi Dasar. Suatu Pengantar, Jakarta: CSIS, 1987 hlm.55-56

8
empirisnya. Belum atau tidak ada bukti empiris bukanlah merupakan bukti
bahwa hipotesis itu salah. Hipotesis benar, bila logis, titik. Ada atau
tidaknya bukti empiris adalah soal lain. Dari sini tahulah kita bahwa
kelogisan suatu hipotesis juga teori- lebih penting dari bukti empirisnya8.

2.3 Teori Kebenaran

Teori kebenaran selalu paralel dengan teori pengetahuan yang


dibangunnya. Sebagaimana pengetahuan dilihat tidak secara menyeluruh,
melainkan dari aspek atau bagian tertentu saja, demikianpula kebenaran
hanya diperoleh dari pemahaman terhadap pengetahuan yang tidak
menyeluruh tersebut. Dengan demikian setiap teori kebenaran yang akan
dibahas, lebih menekankan pada salah Satu bagian atau aspek dari proses
orang mengusahakan kebenaran pengetahuan. Berikut ini beberapa teori
kebenaran yang menekankan salah satu langkah proses manusia
mengusahakan pengetahuan. Kelompok pertama terkait dengan bagaimana
manusia mengusahakan dan memanfaatkan pengetahuan, yaitu teori
kebenaran korespondensi, teori kebenaran koherensi, dan teori kebenaran
pragmatis. Kelompok kedua terkait dengan bagaimana pengetahuan itu
diungkapkan dalam bahasa. Misalnya teori kebenaran sintaksis, teori
kebenaran semantis, dan teori kebenaran performatif.

2.3.1 Teori Kebenaran Korespondensi (Correspondence Theory of


Truth)

Teori kebenaran korespondensi, Correspondence Theory of


Truth yang kadang disebut dengan accordance theory of truth,
adalah teori yang berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan
adalah benar jika berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan
yang ada di alam atau objek yang dituju pernyataan tersebut.
Aristoteles sudah meletakkan dasar bagi teori kebenaran
korespondensi, yakni kebenaran sebagai persesuaian antara apa
yang dikatakan dengan kenyataan. Pernyataan dianggap benar

8
Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu : Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
Pengetahuan , Bandung, PT Remaja Rosdakarya,2006, hlm. 36

9
kalau apa yang dinyatakan di dalamnya berhubungan atau punya
keterkaitan (correspondence) dengan kenyataan yang diungkapkan
dalam pernyataan itu9. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan
benar jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu
pendapat dengan fakta. Suatu proposisi adalah benar apabila
terdapat suatu fakta yang sesuai dan menyatakan apa adanya10.

Pengetahuan terbukti benar dan menjadi benar oleh


kenyataan yang sesuai dengan apa yang diungkapkan pengetahuan
tersebut. Dalam kegiatan ilmiah, mengungkapkan realitas adalah
hal yang pokok. Dalam usaha mengungkapkan realitas itu,
kebenaran akan muncul dan terbukti dengan sendirinya, apabila apa
yang dinyatakan sebagai benar memang sesuai dengan
kenyataannya. Teori korespondensi sangat ditekankan oleh aliran
empirisme yang mengutamakan pengalaman dan pengamatan
indrawi sebagai sumber utama pengetahuan manusia. Teori ini
sangat menghargai pengamatan, percobaan atau pengujian empiris
untuk mengungkapkan kenyataan yang sebenarnya. Teori ini lebih
mengutamakan cara kerja dan pengetahuan aposteriori, yaitu
pengetahuan yang terungkap hanya melalui dan setelah
pengalaman dan percobaan empiris. Teori korespondensi ini pada
umumnya dianut oleh para pengikut realisme. Di antara pelopor
teori ini adalah Plato, Aristoteles, Moore, dan Ramsey. Teori ini
banyak dikembangkan oleh Bertrand Russell (1972-1970)11.

Dalam Teori kebenaran korespondensi terbagi atas dua tipe,


yaitu :

9
Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat, Filsafat Ilmu, Yogyakarta. Liberty, 2003, hlm 139

10
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, Jakarta. Raja Grafindo Persada, 2012, hlm.112

11
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta. Sinar Harapan, 2003,
hlm. 54

10
a. Korespondensi sebagai korelasi
J. L. Austin menyinggung bahwa kebenaran bukan
masalah kongruensi antara pembawa kebenaran dan sebuah
fakta : sama sekali tidak perlu bagi kata-kata yang
digunakan dalam membuat peryantaan yang benar untuk
mencerminkan dengan cara apapun, betapapun tidak
langsungnya, segi apapun dari sesuatu atau peristiwa
(1950,125)12. Menurut Austin, kebenaran mencakup
hubungan empat-istilah pernyataan, kalimat, keadaan dan
tipe keadaan. Pernyataan, menurut Austin, adalah
penegasan yang dibuat dengan, atau informasi yang
disampaikan dengan kalimat deklaratif. Kalimat adalah
wahana tempat pernyataan dibentuk. Makna pernyataan
deklaratif, adalah terkait dengan persoalan dua jenis
konvensi yang telah berkembang dalam bahasa kita.
Pertama, ada konvensi deskriptif yang mengkorelasikan
kalimat-kalimat dengan tipe keadaan. Kedua, konvensi
demonstratif yang mengkorelasikan pernyataan-pernyataan
dengan keadaan bersejarah (baca partikular). Jadi sebuah
pernyataan dikatakan benar apabila dikatakan bersejarah
kepada mana ia dikorelasikan oleh konvensi demonstratif
(yang diacu olehnya) adalah jenis yang digunakan dalam
kalimat yang dikorelasikan oleh konvensi deskriptif
(Austin,1950 121-122). Sebuah pernyataan adalah salah
apabila ia keliru mendeskripsikan keadaan partikular yang
kepadanya ia korelasikan oleh konvensi demonstratif.
Artinya, sebuah pernyataan adalah salah jika dan hanya jika
kalimat yang digunakan untuk membuat pernyataan tersebut
mendeskripsikan suatu jenis keadaan yangbukan merupakan

12
Richard L. Kirkham, Teori-Teori Kebenaran, Bandung. Nusa Media, 2013, hlm. 187

11
jenis yang mencakup keadaan partikular yang
ditunjukkan13.

b. Korespondensi sebagai kongruensi


Sebuah keyakinan, kata Russell adalah hubungan
(relasi) diantara empat hal yang berbeda. Yang pertama
adalah subjek, orang yang memiliki keyakinan tersebut.
Yang kedua dan ketiga adalah istilah objek. Salah satunya
secara mendasar analog dengan subjek kalimat; ia adalah
perkara yang dianggap oleh orang yang yakin sebagai
melakukan sesuatu kepada sesuatu yang lain. Istilah objek
lainnya secara mendasar analog dengan objek kalimat; ia
adalah perkara yang dianggap terkena sesuatu yang
dilakukan atasnya. Keempat adalah relasi objek, yang
secara mendasar analog dengan kata kerja sebuah kalimat.
Adalah relasi ini yang berdiri diantara dua istilah objek. Jadi
keyakinan othello bahwa Desdemona mencintai Cassio
merupakan relasi kompleks antara Othello, si subjek;
Desdemona, istilah objek; Cassio, istilah objek lainnya; dan
mencintai, relasi objek (Russell, 1912, 124-125, 129)14.
Russell mengatakan bahwa kebenaran mengandung
kongruensi (kecocokan) diantara dua relasi yang kompleks.
Yang pertama adalah hubungan empat-istilah keyakinan
yang berdiri diantara othello, desdemona, cassio dan
mencintai. Yang kedua adalah hubungan antar tiga-istilah
yang disebut dengan fakta yang hanya mengandung
desdemona, cassio dan mencintai. Jika terdapat hubungan
tiga-istilah semacam itu dan arahnya sama dengan
hubungan empat istilah dalam keyakinan othello, maka

13
Richard L. Kirkham, Teori-Teori Kebenaran, Bandung. Nusa Media, 2013, hlm. 189
14
Richard L. Kirkham, Teori-Teori Kebenaran, Bandung. Nusa Media, 2013, hlm. 181

12
hubungan keyakinan itu benar. Jika tidak terdapat hubungan
tiga istilah dengan istilah dan arah yang sama, maka
keyakinan itu salah. Dengan kata lain, jika di dunia
ekstramental Desdemona benar-benar mencintai Cassio,
maka keyakinan Othello bahwa Desdemona demikian
adalah benar15.
Kesimpulan dari teori korespondensi adalah adanya dua
realitas yang berada dihadapan manusia, pernyataan dan
kenyataan. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesesuaian
antra pernyataan tentan sesuatu dengan kenyataan sesuatu
itu sendiri. Misal, Semarang ibu kota Jawa Tengah.
Pernyataan ini disebut benar apabila pada kenyataannya
Semarang memang ibukota propinsi Jawa Tengah.
Kebenarannya terletak pada pernyataan dan kenyataan.

Signifikansi teori ini terutama apabila diaplikasikan


pada dunia sains dengan tujuan dapat mencapai suatu
kebenaran yang dapat diterima oleh semua orang. Seorang
ilmuan akan selalu berusaha meneliti kebenaran yang
melekat pada sesuatu secara sungguh-sungguh, sehingga
apa yang dilihatnya itu benar-benar nyata terjadi. Sebagai
contoh, gunung dapat berjalan. Untuk membuktikan
kebenaran pernyataan ini harus diteliti dengan keilmuan
yang lain yaitu ilmu tentang gunung (geologi), ternyata
gunung mempunyai kaki (lempeng bumi) yang bisa
bergerak sehingga menimbulkan gempa bumi dan tsunami.
Dengan demikian sebuah pertanyaan tidak hanya diyakini
kebenarannya, tetapi harus diragukan dahulu untuk diteliti,
sehingga mendapatkan suatu kebenaran hakiki.

15
Richard L. Kirkham, Teori-Teori Kebenaran, Bandung. Nusa Media, 2013, hlm. 182

13
2.3.2 Teori Kebenaran Koherensi (Coherence Theory of Truth)

Teori kebenaran koherensi atau konsistensi adalah teori


kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren atau
konsistensi. Suatu pernyataan disebut benar bila sesuai dengan
jaringan komprehensif dari pernyataan-pernyataan yang
berhubungan secara logis. Menurut teori ini kebenaran tidak
dibentuk atas hubungan antara putusan dengan sesuatu yang lain,
yaitu fakta dan realitas, tetapi atas hubungan antara putusanputusan
itu sendiri16.

Teori ini berpendapat bahwa kebenaran ialah kesesuaian


antara suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya
yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan diakui sebagai
benar. Suatu proposisi benar jika proposisi itu berhubungan
(koheren) dengan proposisi-proposisi lain yang benar atau
pernyataan tersebut bersifat koheren atau konsisten dengan
pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar17. Dengan
demikian suatu putusan dianggap benar apabila mendapat
penyaksian (pembenaran) oleh putusan-putusan lainnya yang
terdahulu yang sudah diketahui,diterima dan diakui benarnya.
Karena sifatnya demikian, teori ini mengenal tingkat-tingkat
kebenaran. Disini derajat koherensi merupakan ukuran bagi
derajatkebenaran18. Misal, Semua manusia membutuhkan air,
Ahmad adalah seorang manusia, Jadi, Ahmad membutuhkan air.

16
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, Jakarta. Raja Grafindo Persada, 2012, hlm.116
17
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta. Sinar Harapan, 2003,
hlm. 55

18
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta. Sinar Harapan, 2003,
hlm. 56

14
Teori kebenaran koherensi dianut oleh kaum rasionalis.
Menurut teori ini, kebenaran tidak ditemukan dalam kesesuaian
antara proposisi dengan kenyataan, melainkan dalam relasi antara
proposisi baru dengan proposisi yang sudah ada sebelumnya dan
telah diakui kebenarannya. Suatu pengetahuan, teori, pernyataan
proposisi, atau hipotesis dianggap benar kalau sejalan dengan
pengetahuan, teori, proposisi, atau hipotesis lainnya. Artinya
proposisi itu konsisten dengan proposisi sebelumnya yang
dianggap benar. Matematika dan ilmu-ilmu pasti sangat
menekankan teori kebenaran koherensi.

Menurut para penganut teori ini, suatu pernyataan atau


proposisi dinyatakan benar atau salah dapat dilihat apakah
proposisi itu berkaitan dan meneguhkan proposisi atau pernyataan
yang lain atau tidak. Suatu pernyataan benar kalau pernyataan itu
cocok dengan sistem pemikiran yang ada. Kebenaran
sesungguhnya berkaitan dan memiliki implikasi logis dengan
sistem pemikiran yang ada. Untuk mengetahui kebenaran
pernyataan itu kita cukup memeriksa apakah pernyataan ini sejalan
dengan pernyataan-pernyataan lainnya. Apakah pernyataan ini
meneguhkan pernyataanpernyataanlainnya, yang telah diakui
kebenarannya19.

Teori kebenaran koherensi lebih menekankan kebenaran


rasional-logis dan juga cara kerja deduktif. Pengetahuan yang
benar hanya dideduksikan atau diturunkan sebagai konsekuensi
logis dari pernyataan-pernyataan lain yang sudah ada, dan yang
sudah dianggap benar. Konsekuensinya, kebenaran suatu
pernyataan atau pengetahuan sudah diandaikan secara apriori
tanpa perlu dicek dengan kenyataan yang ada. Ini berarti

19
Sonny Keraf & Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta. Kanisius, 2001, hlm. 68-69

15
pembuktian atau justifikasi sama artinya dengan validasi, yaitu
memperlihatkan apakah kesimpulan yang mengandung kebenaran
tadi memang diperoleh secara sahih (valid) dari proposisi-
proposisi lain yang telah diterima sebagai benar.
Kalau ditimbang dan dibandingkan dengan teori
korespondensi, teori koherensi, pada kenyataannya kurang
diterima secara luas dibandingkan teori pertama tadi. Teori ini
punya banyak kelemahan dan mulai ditinggalkan. Misalnya,
astrologi mempunyai sistem yang sangat koheren, tetapi kita tidak
menganggap astrologi benar. Kebenaran tidak hanya terbentuk
oleh hubungan antara fakta atau realitas saja, tetapi juga
hubungan antara pernyataan-pernyataan itu sendiri. Dengan kata
lain, suatu pernyataan adalah benar apabila konsisten dengan
pernyataan pernyataan yang terlebih dahulu kita terima dan kita
ketahui kebenarannya20.

2.3.3 Teori Pragmatisme (The Pramagtic Theory of Truth)

Pramagtisme berasal dari bahawa Yunan pragmai, artinya


yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan, sebutan
bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James di Amerika
Serikat21. Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang
berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh referensi pada
konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya suatu
dalil atau teori tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau

20
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu; Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta. Rajawali Pers,
2014, hlm. 51
21
A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan
Aksiologis, Jakarta. Bumi Aksara, 2011, hlm. 86

16
teori tersebut bagi manusia untuk kehidupannya. Kebenaran suatu
pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan praktis22.

Teori kebenaran pragmatis ini dikembangkan dan dianut


oleh filsuf-filsuf pragmatis dari Amerika, seperti Charles S. Pierce,
William James, dan John Dewey. Meskipun ketiga filsuf ini
memiliki kesamaan pemahaman tentang kebenaran, yaitu
kebenaran sama artinya dengan kegunaan, namun masing-masing
memiliki kekhususan dan penekanan yang berbeda. Charles S.
Pierce berpendapat bahwa suatu proposisi dikatakan salah bila
pengalaman menyangkalnya, sedangkan bila pengalaman tidak
menyangkalnya maka proposisi itu dikatakan benar. Esensi
pragmatisme lebih dekat dengan the theory of meaning daripada the
theory of truth. Teori pragmatisme merupakan metode menentukan
arti (meaning), yaitu suatu metode yang memperjelas ide manusia
dan memperjelas arti ide tersebut. Dan untuk menentukan sesuatu
memiliki arti atau makna yang berkaitan dengan konsekuensi, tidak
terlepas dari tindakan. Walaupun demikian, ia tidak menyarankan
bahwa untuk memahami suatu arti atau makna selalu harus diikuti
dengan tindakan, demikian pula untuk menentukan kebenaran
selalu berdasarkan verifikasi. Tidak semua kebenaran harus
ditemukan melalui verifikasi, karena kebenaran telah hadir
sebagaimana adanya tanpa adanya verifikasi. Menurut William
James, untuk memperoleh kejernihan pikiran kita tentang suatu
obyek, kita harus memperhatikan konsekuensi praktisnya.
Pragmatisme bukan sekedar metode memperjelas konsep untuk
menentukan arti atau makna, tetapi lebih merupakan teori
kebenaran. Kebenaran tidak terletak pada hubungan kesesuaian
dengan benda/obyek atau kenyataan, melainkan terlebih pada

22
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta. Sinar Harapan, 2003,
hlm. 58

17
hubungan kesesuaian antara bagian-bagian pengalaman. Ide
merupakan rencana atau aturan dalam bertindak; dan ide dikatakan
benar, apabila rencana atau aturan tersebut mengacu pada hasil
akhir; ide tertuju untuk melakukan suatu tindakan. Fungsi berpikir
bukan untuk menangkap kenyataan tertentu, melainkan membentuk
ide tertentu demi memuaskan kebutuhan atau kepentingan manusia.
Ide atau teori yang benar adalah ide atau teori yang berguna dan
berfungsi memenuhi tuntutan dan kebutuhan kita, serta
memberikan kepuasan. William James lebih menekankan pada
kepuasan individu, sedangkan John Dewey lebih menitik beratkan
pada masyarakat. Menurut Dewey, kebenaran adalah kegunaan
atau sesuatu yang bermanfaat, tetapi tidak sekadar bersandar pada
kepuasan pribadi, melainkan selaras dengan penyelesaian masalah
kehidupan secara umum dan obyektif. Dewey bisa menerima
kepuasan emotif, selama ini bersifat umum dan merupakan masalah
umum dan obyektif, bukan individual atau pribadi23.
Kebenaran bagi kaum pragmatis mengandung suatu sifat
yang baik. Suatu ide atau teori tidak pernah benar kalau tidak baik
untuk sesuatu. Dengan kebenaran, manusia dibantu untuk
melakukan sesuatu secara berhasil. Kebenaran rasional jangan
hanya berhenti memberi definisi-definisi abstrak tanpa punya
relevansi bagi kehidupan praktis, melainkan perlu diterapkan
sehingga sungguh-sungguh berguna bagi manusia. Kita tidak hanya
membutuhkan pengetahuan bahwa dan pengetahuan mengapa
tapi juga membutuhkan pengetahuan bagaimana 24.

2.3.4 Teori Kebenaran Sintaksis

Para penganut teori sintaksis, berpangkal tolak pada


keteraturan sintaksis atau gramatika yang dipakai oleh suatu

23
Albertine Minderop, Pragmatisme Amerika, Jakarta. Penerbit Obor, 2005, hlm. 45-60
24
Sonny Keraf & Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta. Kanisius, 2001, hlm. 73-74

18
pernyataan atau tata-bahasa yang melekatnya. Dengan demikian
suatu pernyataan memiliki nilai benar bila pernyataan itu mengikuti
aturan-aturan sintaksis yang baku. Atau dengan kata lain apabila
proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang
disyaratkan maka proposisi itu tidak mempunyai arti. Teori ini
berkembang di antara para filsuf analisa bahasa, terutama yang
begitu ketat terhadap pemakaian gramatika seperti Friederich
Schleiermacher (1768-1834).

Teori ini berkembang di antara para filsuf analitika bahasa,


terutama yang berusaha untuk menyusun bahasa dengan tata bahasa
dan logika bahasa yang ketat, misalnya Bertrand Russell, Ludwig
Wittgenstein (periode I). Aliran filsafat analitika bahasa
memandang bahwa problema-problema filosofis akan menjadi
terjelaskan apabila menggunakan analisis terminologi gramatika,
dan bahkan kalangan filsuf analitika bahasa menyadari bahwa
banyak ungkapan-ungkapan filsafat yang sama sekali tidak
menjelaskan apa-apa. Sehingga para tokoh filsafat analitika bahasa
menyatakan bahwa tugas utama filsafat adalah menganalisa
konsep-konsep25.

Bahasa memiliki peranan sentral dalam mengungkapkan


secara verbal pandangan dan pemikiran filosofis, maka timbullah
suatu masalah yaitu keterbatasan bahasa sehari-hari yang dalam hal
tertentu tidak mampu mengungkapkan konsep filosofis. Bahasa
sehari-hari memiliki banyak kelemahan, antara lain: kekaburan
makna, tergantung pada konteks, mengandung emosi, dan
menyesatkan. Untuk mengatasi kelemahan dan demi kejelasan
kebenaran konsep-konsep filosofis, maka perlu dilakukan suatu
pembaharuan bahasa, yaitu perlu diwujudkan suatu bahasa yang

25
Kaelan, Filsafat Bahasa (Masalah dan Perkembangannya, Yogyakarta, Paradigma, 1998,
hlm. 80

19
sarat dengan logika, sehingga kebenarannya dapat
dipertanggungjawabkan26.

Menurut kelompok filsuf ini, tugas filsafat yaitu


membangun dan mengembangkan bahasa yang dapat mengatasi
kelemahan- kelemahan yang terdapat dalam bahasa sehari-hari.
Usaha untuk membangun dan memperbaharui bahasa itu
membuktikan bahwa perhatian filsafat itu memang besar berkenaan
dengan konsepsi umum tentang bahasa serta makna yang
terkandung di dalamnya27 .

Suatu ide, konsep, atau teori dinyatakan benar, bila berhasil


diungkapkan menurut aturan sintaksis yang baku. Kebenaran baru
akan tampak dalam suatu pernyataan bahasa (lisan atau tertulis).
Benar atau salahnya suatu pernyataan sangat dipengaruhi oleh
keteraturan sintaksis serta penataan bahasa yang digunakannya.
Apabila mampu dinyatakan dalam wujud bahasa dengan aturan
sintaksis yang baku, pernyataan tersebut dapat dikatakan benar.
Apabila tidak mampu, itu salah.
Bahasa berfungsi untuk mengungkap ide, konsep, atau teori
yang telah dihasilkan dari proses pemikiran dalam komunikasi kita
satu sama lain. Bila pernyataan atau ungkapan bahasa tersebut tidak
didasarkan pada aturan bahasa yang ada tentu dapat menghasilkan
pernyataan yang tidak memiliki makna, atau pernyataan yang
memiliki makna yang sama sekali berbeda dengan makna yang
sudah ada dalam pemikiran kita.

26
Kaelan, Filsafat Bahasa (Masalah dan Perkembangannya, Yogyakarta, Paradigma, 1998,
hlm 83

27
Kaelan, Filsafat Bahasa (Masalah dan Perkembangannya), Yogyakarta, Paradigma, 1998,
hlm. 83

20
2.3.5 Teori Kebenaran Semantis

Teori kebenaran semantis dianut oleh faham filsafat


analitika bahasa yang dikembangkan oleh paska filsafat Bertrand
Russell. Teori kebenaran semantis sebenarnya berpangkal atau
mengacu pada pendapat Aristoteles dengan ungkapan sebagai
berikut: Mengatakan sesuatu yang ada sebagai yang ada dan
sesuatu yang tidak ada sebagai yang tidak ada, adalah benar, juga
mengacu pada teori korespondensi, yang menyatakan bahwa:
kebenaran terdiri dari hubungan kesesuaian antara apa yang
dikatakan dengan apa yang terjadi dalam realitas.
Menurut Wittgenstein Periode II (dalam penjelasannya
tentang filsafat bahasa biasa), masalah-masalah filsafat itu timbul
justru karena adanya penyimpangan-penyimpangan penggunaan
bahasa biasa oleh para filsuf dalam berfilsafat, sehingga timbul
penyimpangan dan kekacauan dalam filsafat itu, serta tanpa adanya
suatu penjelasan untuk dapat dimengerti. Menurut pandangan ini,
tugas filsuf adalah memberikan semacam terapi untuk
penyembuhan dalam kelemahan penggunaan bahasa filsafat
tersebut.
Positivisme logis menentukan sikap bahwa langkah paling
tepat agar tidak terjadi kekacauan dalam bahasa adalah melakukan
analisis terhadap bahasa yang digunakan dalam ilmu pengetahuan
dan filsafat. Usaha yang dilakukan bukanlah proyek membangun
bahasa khusus dengan menggunakan logika bahasa yang ketat,
melainkan lebih berusaha menemukan makna atau arti dalam
penggunaan bahasa. Suatu ungkapan atau proposisi dianggap
bermakna atau memiliki arti, apabila secara prinsip dapat
diverifikasi. Memverifikasi berarti menguji, yaitu membuktikan
secara empiris. Sehingga ilmu pengetahuan maupun filsafat baru
dapat memiliki pernyataan-pernyataan yang berupa aksioma, teori
atau dalil yang boleh dikatakan bermakna, apabila secara prinsip
pernyataan-pernyataan tersebut dapat diverifikasi. Setiap

21
pernyataan atau proposisi yang secara prinsip tidak dapat
diverifikasi, maka pernyataan atau proposisi tersebut pada
hakikatnya tidak bermakna 28.
Meskipun secara prinsip positivisme logis menerapkan
prinsip verifikasi, namun di antara para tokohnya memiliki
perbedaan pemahaman. Misalnya, Moritz Schlick menafsirkan
verifikasi itu dalam pengertian pengamatan secara langsung. Hanya
proposisi atau pernyataan yang mengandung istilah yang diangkat
secara langsung dari objek yang dapat diamati itulah yang
mengandung makna.
Sedangkan Ayer memiliki pandangan yang berbeda dan
berpendapat bahwa prinsip verifikasi itu merupakan pengandaian
untuk melengkapi suatu kriteria, sehingga melalui kriteria tersebut
dapat ditentukan apakah suatu pernyataan atau proposisi itu
memiliki makna atau tidak. Suatu kalimat mengandung makna,
apabila pernyataan atau proposisi tersebut dapat diverifikasi atau
dapat dianalisa secara empiris, yaitu mengandung kemungkinan
bagi pengalaman29
Menurut teori ini, benar atau tidaknya suatu proposisi
didasarkanpada ada tidaknya arti atau makna dalam proposisi
terkait. Apabila proposisi tersebut memiliki arti atau makna, serta
memiliki pengacu (referent) yang jelas, proposisi dinyatakan benar.
Sedangkan apabila sebaliknya dapat dinyatakan salah. Setiap
pernyataan tentu memiliki arti atau makna yang menjadi acuannya.
Proposisi itu mempunyai nilai kebenaran, bila proposisi memiliki
arti. Arti diperoleh dengan menunjukkan makna yang

28
Kaelan, Filsafat Bahasa (Masalah dan Perkembangannya), Yogyakarta, Paradigma, 1998,
hlm. 124-125

29
Kaelan, Filsafat Bahasa (Masalah dan Perkembangannya), Yogyakarta, Paradigma, 1998,
hlm. 126-127

22
sesungguhnya, yaitu dengan menunjuk pada referensi atau
kenyataan. Arti yang dikemukakan itu memiliki sifat definitif, yaitu
secara jelas menunjuk ciri khas dari sesuatu yang ada. Arti yang
termuat dalam proposisi
tersebut dapat bersifat esoterik, arbitrer, atau hanya
mempunyai arti sejauh dihubungkan dengan nilai praktis dari
subyek yang menggunakannya 30.

2.3.6 Teori Kebenaran Performatif

Teori ini berasal dari John Langshaw Austin (1911-1960)31


dan dianut oleh filsuf lain seperti Frank Ramsey, dan Peter
Strawson. Filsuf-filsuf ini mau menentang teori klasik bahwa
benar dan salah adalah ungkapan yang hanya menyatakan
sesuatu (deskriptif). Proposisi yang benar berarti proposisi itu
menyatakan sesuatu yang memang dianggap benar. Demikian
sebaliknya. Namun justeru inilah yang ingin ditolak oleh para filsuf
ini32.
Teori performatif menjelaskan, suatu pernyataan dianggap
benar jika ia menciptakan realitas. Jadi pernyataan yang benar
bukanlah pernyataan yang mengungkapkan realitas, tetapi justeru
dengan pernyataan itu tercipta realitas sebagaimana yang
diungkapkan dalam pernyataan itu. Teori ini disebut juga tindak
bahasa mengaitkan kebenaran satu tindakan yang dihubungkan
dengan satu pernyataan33. Misalnya, Dengan ini saya mengangkat
anda sebagai manager perusahaan Species S3. Dengan

30
Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat, Filsafat Ilmu, Yogyakarta. Liberty, 2003, hlm 141-142
31
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu; Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta. Rajawali Pers,
2014, hlm. 54
32
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta. Sinar Harapan, 2003,
hlm. 59
33
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu; Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta. Rajawali Pers,
2014, hlm. 55

23
pernyataan itu tercipta sebuah realitas baru yaitu anda sebagai
manager perusahaan Species S3, tentunya setelah SKnya turun.
Di sini ada perbuatan yang dilakukan bersamaan dengan
pengucapan kata-kata itu. Dengan pernyataan itu suatu penampilan
atau perbuatan (performance) dilakukan.
Teori ini dapat diimplementasikan secara positif, tetapi di
pihak lain dapat pula negatif. Secara positif, dengan pernyataan
tertentu, orang berusaha mewujudkan apa yang dinyatakannya34.
Misal, Saya bersumpah akan menjadi dosen yang baik. Tetapi
secara negatif, orang dapat pula terlena dengan pernyataan atau
ungkapannya seakan pernyataan tersebut sama dengan realitas
begitu saja. Misalnya, Saya doakan setelah lulus S1 kamu menjadi
orang yang sukses, ungkapan ini bagi sebagian orang adalah doa
padahal bisa saja sebagai basa-basi ucapan belaka. Atau, saya
bersumpah, saya berjanji menjadi karyawan yang setia pada
pimpinan, seakan-akan dengan janji itu ia setia pada pimpinan.
Bisa jadi kita semua terjebak dengan pernyataan seperti itu seolah-
olah dengan dengan pernyataan-pernyatan itu tercipta realitas
seperti yang dinyatakan. Padahal apa yang dinyatakan, belum
dengan sendirinya menjadi realitas.

34
A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan
Aksiologis, Jakarta. Bumi Aksara, 2011, hlm. 87

24
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Kebenaran adalah hasil penilaian, sehingga yang merupakan


masalah adalah apa yang menjadi dasar dari penilaian itu. Bisa
subjektif, ialah berdasarkan norma, nilai, dan keyakinan orang
yang menilainya. Bisa juga secara objektif, ialah berdasarkan
ukuran-ikuran, manfaat, dan jenis objeknya, karena yang
sebenarnya ada hanyalah perbedaan yang satu, bukan yang lain
2. Kebenaran bersifat relatif, Apa yang disebut benar bagi seseorang
belum tentu benar bagi orang lain.
3. Teori-teori kebenaranterdiri dari:
a. Teori Korespondensi
b. Teori Koherensi
c. Teori Pragmatisme
d. Teori Sintaksis
e. Teori Semantik
f. Teori Performatif

25
DAFTAR PUSTAKA

Adelbert Snijders, 2006. Manusia dan Kebenaran. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Albertine Minderop, 2005, Pragmatisme Amerika. Jakarta: Penerbit Obor.


Atabik,Ahmad,2014,Teori Kebenaran Perspektif Ilmu: Sebuah Kerangka untuk
Memahami Konstruksi Pengetahuan Agama. Fikrah, Vol.2 hlm. 253-271

Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2012.
Kaelan, 1998. Filsafat Bahasa (Masalah dan Perkembangannya).Yogyakarta:
Paradigma
Kanisius.

Kirkham, Richard L., 2013. Teori-Teori Kebenaran: Pengantar Kritis dan


Komprehensif. Bandung:Nusa Media

Lubis, Akhyar Yusuf,2014. Filsafat Ilmu; Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta:


Rajawali Pers.
Muhajir Noeng,2001. Filsafat Ilmu; Positivisme, Post Positivisme dan Post
Modernisme ED 2, Yogyakarta: Rakesarasin
Pranarka, A.M.W. , 1987,Epistemologi Dasar. Suatu Pengantar, Jakarta: CSIS

Rapar, Dr.Jan Hendrik, 1996. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius

Sonny Keraf & Mikhael Dua, 2001. Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta:


Sudarminta, J., 2002. Epistemologi Dasar. (Pengantar Filsafat
Pengetahuan).Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Suriasumantri, Jujun, 2003. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer.Jakarta:
Sinar Harapan
Susanto, A.,2011. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis,
Epistemologis dan Aksiologis, Jakarta: Bumi Aksara
Tafsir , Prof. Dr. Ahmad, 2006. Filsafat Ilmu : Mengurai Ontologi, Epistemologi
dan Aksiologi Pengetahuan , Bandung, PT Remaja Rosdakarya

The Liang Gie, 1997. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.

26
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2003. Filsafat Ilmu.Yogyakarta:
Liberty.
Verhaak & Haryono Imam, 1989. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gramedia.
Wahana, Paulus, 2008. Menguak Kebenaran Ilmu Pengetahuan dan Aplikasinya
Dalam Kegiatan Perkuliahan. Jurnal Filsafat Vol. 18 No. 3 hlm. 274-294

Wiramihardja ,Prof. Dr. Sutardjo A. ,2009, Pengantar Filsafat: Sistematika dan


Sejarah Filsafat Logika dan Filsafat Ilmu (Epistemologi) Matefisika dan Filsafat
Manusia Aksiologi, Bandung:PT Refika Aditama

27

Anda mungkin juga menyukai