Disusun oleh :
Kelompok 8
1. Alamil Huda 151510383011
2. Suci Arum Sari Arifin 151510383022
3. Gerry Lano Askuko Satya Agusty 151510383028
4. Iqbal Yusuf Wicaksono 151510383037
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya
sehingga kelompok kami dapat membuat makalah ini untuk menyelesaikan tugas
mata kuliah filsafat yang dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga
mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ 2
DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 5
1.3 Tujuan ........................................................................................................ 5
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 6
2.1 Pengertian Kebenaran ............................................................................... 6
2.2 Sifat Kebenaran ......................................................................................... 8
2.3 Teori Kebenaran........................................................................................ 9
2.3.1 Teori Kebenaran Korespondensi (Correspondence Theory of Truth) 9
2.3.2 Teori Kebenaran Koherensi (Coherence Theory of Truth) .............. 14
2.3.3 Teori Pragmatisme (The Pramagtic Theory of Truth) ..................... 16
2.3.4 Teori Kebenaran Sintaksis ............................................................... 18
2.3.5 Teori Kebenaran Semantis ............................................................... 21
2.3.6 Teori Kebenaran Performatif ........................................................... 23
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 25
3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 26
3
BAB I
PENDAHULUAN
1
Dr.Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, hlm.11
4
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, permasalahan pokok yang
akan dibahas dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Apa pengertian kebenaran?
2. Apa sifat-sifat kebenaran?
3. Apa saja teori-teori kebenaran filsafat ilmu?
1.3 Tujuan
1. Mampu mengetahui pengertian kebenaran dalam filsafat ilmu
2. Mengetahui sifat kebenaran filsafat ilmu
3. Mampu menjelaskan teori-teori kebenaran ilmu pengetahuan
5
BAB II
PEMBAHASAN
2
Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja,psi , Pengantar Filsafat: Sistematika dan Sejarah Filsafat
Logika dan Filsafat Ilmu (Epistemologi) Matefisika dan Filsafat Manusia Aksiologi,
Bandung,PT Refika Aditama, 2009, hlm. 16
3
Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja,psi , Pengantar Filsafat: Sistematika dan Sejarah Filsafat
Logika dan Filsafat Ilmu (Epistemologi) Matefisika dan Filsafat Manusia Aksiologi,
Bandung,PT Refika Aditama, 2009,hlm.27
6
Logos. Mitos yang berarti kebenaran berasal dari hal bersifat metafisika,
dan logos yang berarti rasional atau logis. Efek dari perubahan ini adalah
munculnya dua aliran, yaitu ide yang bersifat umum dan satu, dan
indrawi yang bersifat individual, konkret, dan terus-menerus dalam
perubahan. Maka dari itu Protagoras (485-415 BC) dan Gorgias (483-375
BC) menyatakan bahwa kebenaran yang bersifat mutlak tak akan pernah
ada. Yang penting bukan kebenaran yang ada, namun teknik untuk
meyakinkan orang lain (Retorika). Untuk itu mereka mendirikan sekolah
yang diberi nama Retorika. Tetapi dengan adanya konsep retorika
muncul berbagai aliran, seperti sofisme, skeptisme, relativisme,
subjektivisme, dan pragmatisme4.
4
A.M.W. Pranarka, Epistemologi Dasar. Suatu Pengantar, Jakarta: CSIS, 1987 hlm. 12-14
(skeptisisme, dogmatism, realisme, dan relativisme), 36 (nominalisme), 45-47 (fenomenalisme,
idealisme, empirisme, positivisme, dan objektivisme)
5
.M.W. Pranarka, Epistemologi Dasar. Suatu Pengantar, Jakarta: CSIS, 1987 hlm.43-44
7
Kebenaran ditinjau dari aspek subyeknya akan berarti kebenaran di
dalam pengetahuan yang konkret: di dalam pengetahuan si anu, si ini,
ataupun si itu. Dengan demikian maka ditinjau dari segi subyeknya
kebenaran itu tentu saja akan selalu bervariasi, bahkan dapat berkembang,
dapat kurang sempurna, dapat lebih sempurna dan lain sebagainya.
Kebenaran ditinjau dari aspek obyeknya, akan selalu berarti
kebenaran epistemologikal yang tidak tuntas. Artinya obyek itu sendiri,
adalah suatu totalitas yang kompleks, banyak seginya, banyak aspeknya6.
6
M.W. Pranarka, Epistemologi Dasar. Suatu Pengantar, Jakarta: CSIS, 1987, hlm. 56
7
A.M.W. Pranarka, Epistemologi Dasar. Suatu Pengantar, Jakarta: CSIS, 1987 hlm.55-56
8
empirisnya. Belum atau tidak ada bukti empiris bukanlah merupakan bukti
bahwa hipotesis itu salah. Hipotesis benar, bila logis, titik. Ada atau
tidaknya bukti empiris adalah soal lain. Dari sini tahulah kita bahwa
kelogisan suatu hipotesis juga teori- lebih penting dari bukti empirisnya8.
8
Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu : Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
Pengetahuan , Bandung, PT Remaja Rosdakarya,2006, hlm. 36
9
kalau apa yang dinyatakan di dalamnya berhubungan atau punya
keterkaitan (correspondence) dengan kenyataan yang diungkapkan
dalam pernyataan itu9. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan
benar jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu
pendapat dengan fakta. Suatu proposisi adalah benar apabila
terdapat suatu fakta yang sesuai dan menyatakan apa adanya10.
9
Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat, Filsafat Ilmu, Yogyakarta. Liberty, 2003, hlm 139
10
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, Jakarta. Raja Grafindo Persada, 2012, hlm.112
11
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta. Sinar Harapan, 2003,
hlm. 54
10
a. Korespondensi sebagai korelasi
J. L. Austin menyinggung bahwa kebenaran bukan
masalah kongruensi antara pembawa kebenaran dan sebuah
fakta : sama sekali tidak perlu bagi kata-kata yang
digunakan dalam membuat peryantaan yang benar untuk
mencerminkan dengan cara apapun, betapapun tidak
langsungnya, segi apapun dari sesuatu atau peristiwa
(1950,125)12. Menurut Austin, kebenaran mencakup
hubungan empat-istilah pernyataan, kalimat, keadaan dan
tipe keadaan. Pernyataan, menurut Austin, adalah
penegasan yang dibuat dengan, atau informasi yang
disampaikan dengan kalimat deklaratif. Kalimat adalah
wahana tempat pernyataan dibentuk. Makna pernyataan
deklaratif, adalah terkait dengan persoalan dua jenis
konvensi yang telah berkembang dalam bahasa kita.
Pertama, ada konvensi deskriptif yang mengkorelasikan
kalimat-kalimat dengan tipe keadaan. Kedua, konvensi
demonstratif yang mengkorelasikan pernyataan-pernyataan
dengan keadaan bersejarah (baca partikular). Jadi sebuah
pernyataan dikatakan benar apabila dikatakan bersejarah
kepada mana ia dikorelasikan oleh konvensi demonstratif
(yang diacu olehnya) adalah jenis yang digunakan dalam
kalimat yang dikorelasikan oleh konvensi deskriptif
(Austin,1950 121-122). Sebuah pernyataan adalah salah
apabila ia keliru mendeskripsikan keadaan partikular yang
kepadanya ia korelasikan oleh konvensi demonstratif.
Artinya, sebuah pernyataan adalah salah jika dan hanya jika
kalimat yang digunakan untuk membuat pernyataan tersebut
mendeskripsikan suatu jenis keadaan yangbukan merupakan
12
Richard L. Kirkham, Teori-Teori Kebenaran, Bandung. Nusa Media, 2013, hlm. 187
11
jenis yang mencakup keadaan partikular yang
ditunjukkan13.
13
Richard L. Kirkham, Teori-Teori Kebenaran, Bandung. Nusa Media, 2013, hlm. 189
14
Richard L. Kirkham, Teori-Teori Kebenaran, Bandung. Nusa Media, 2013, hlm. 181
12
hubungan keyakinan itu benar. Jika tidak terdapat hubungan
tiga istilah dengan istilah dan arah yang sama, maka
keyakinan itu salah. Dengan kata lain, jika di dunia
ekstramental Desdemona benar-benar mencintai Cassio,
maka keyakinan Othello bahwa Desdemona demikian
adalah benar15.
Kesimpulan dari teori korespondensi adalah adanya dua
realitas yang berada dihadapan manusia, pernyataan dan
kenyataan. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesesuaian
antra pernyataan tentan sesuatu dengan kenyataan sesuatu
itu sendiri. Misal, Semarang ibu kota Jawa Tengah.
Pernyataan ini disebut benar apabila pada kenyataannya
Semarang memang ibukota propinsi Jawa Tengah.
Kebenarannya terletak pada pernyataan dan kenyataan.
15
Richard L. Kirkham, Teori-Teori Kebenaran, Bandung. Nusa Media, 2013, hlm. 182
13
2.3.2 Teori Kebenaran Koherensi (Coherence Theory of Truth)
16
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, Jakarta. Raja Grafindo Persada, 2012, hlm.116
17
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta. Sinar Harapan, 2003,
hlm. 55
18
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta. Sinar Harapan, 2003,
hlm. 56
14
Teori kebenaran koherensi dianut oleh kaum rasionalis.
Menurut teori ini, kebenaran tidak ditemukan dalam kesesuaian
antara proposisi dengan kenyataan, melainkan dalam relasi antara
proposisi baru dengan proposisi yang sudah ada sebelumnya dan
telah diakui kebenarannya. Suatu pengetahuan, teori, pernyataan
proposisi, atau hipotesis dianggap benar kalau sejalan dengan
pengetahuan, teori, proposisi, atau hipotesis lainnya. Artinya
proposisi itu konsisten dengan proposisi sebelumnya yang
dianggap benar. Matematika dan ilmu-ilmu pasti sangat
menekankan teori kebenaran koherensi.
19
Sonny Keraf & Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta. Kanisius, 2001, hlm. 68-69
15
pembuktian atau justifikasi sama artinya dengan validasi, yaitu
memperlihatkan apakah kesimpulan yang mengandung kebenaran
tadi memang diperoleh secara sahih (valid) dari proposisi-
proposisi lain yang telah diterima sebagai benar.
Kalau ditimbang dan dibandingkan dengan teori
korespondensi, teori koherensi, pada kenyataannya kurang
diterima secara luas dibandingkan teori pertama tadi. Teori ini
punya banyak kelemahan dan mulai ditinggalkan. Misalnya,
astrologi mempunyai sistem yang sangat koheren, tetapi kita tidak
menganggap astrologi benar. Kebenaran tidak hanya terbentuk
oleh hubungan antara fakta atau realitas saja, tetapi juga
hubungan antara pernyataan-pernyataan itu sendiri. Dengan kata
lain, suatu pernyataan adalah benar apabila konsisten dengan
pernyataan pernyataan yang terlebih dahulu kita terima dan kita
ketahui kebenarannya20.
20
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu; Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta. Rajawali Pers,
2014, hlm. 51
21
A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan
Aksiologis, Jakarta. Bumi Aksara, 2011, hlm. 86
16
teori tersebut bagi manusia untuk kehidupannya. Kebenaran suatu
pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan praktis22.
22
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta. Sinar Harapan, 2003,
hlm. 58
17
hubungan kesesuaian antara bagian-bagian pengalaman. Ide
merupakan rencana atau aturan dalam bertindak; dan ide dikatakan
benar, apabila rencana atau aturan tersebut mengacu pada hasil
akhir; ide tertuju untuk melakukan suatu tindakan. Fungsi berpikir
bukan untuk menangkap kenyataan tertentu, melainkan membentuk
ide tertentu demi memuaskan kebutuhan atau kepentingan manusia.
Ide atau teori yang benar adalah ide atau teori yang berguna dan
berfungsi memenuhi tuntutan dan kebutuhan kita, serta
memberikan kepuasan. William James lebih menekankan pada
kepuasan individu, sedangkan John Dewey lebih menitik beratkan
pada masyarakat. Menurut Dewey, kebenaran adalah kegunaan
atau sesuatu yang bermanfaat, tetapi tidak sekadar bersandar pada
kepuasan pribadi, melainkan selaras dengan penyelesaian masalah
kehidupan secara umum dan obyektif. Dewey bisa menerima
kepuasan emotif, selama ini bersifat umum dan merupakan masalah
umum dan obyektif, bukan individual atau pribadi23.
Kebenaran bagi kaum pragmatis mengandung suatu sifat
yang baik. Suatu ide atau teori tidak pernah benar kalau tidak baik
untuk sesuatu. Dengan kebenaran, manusia dibantu untuk
melakukan sesuatu secara berhasil. Kebenaran rasional jangan
hanya berhenti memberi definisi-definisi abstrak tanpa punya
relevansi bagi kehidupan praktis, melainkan perlu diterapkan
sehingga sungguh-sungguh berguna bagi manusia. Kita tidak hanya
membutuhkan pengetahuan bahwa dan pengetahuan mengapa
tapi juga membutuhkan pengetahuan bagaimana 24.
23
Albertine Minderop, Pragmatisme Amerika, Jakarta. Penerbit Obor, 2005, hlm. 45-60
24
Sonny Keraf & Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta. Kanisius, 2001, hlm. 73-74
18
pernyataan atau tata-bahasa yang melekatnya. Dengan demikian
suatu pernyataan memiliki nilai benar bila pernyataan itu mengikuti
aturan-aturan sintaksis yang baku. Atau dengan kata lain apabila
proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang
disyaratkan maka proposisi itu tidak mempunyai arti. Teori ini
berkembang di antara para filsuf analisa bahasa, terutama yang
begitu ketat terhadap pemakaian gramatika seperti Friederich
Schleiermacher (1768-1834).
25
Kaelan, Filsafat Bahasa (Masalah dan Perkembangannya, Yogyakarta, Paradigma, 1998,
hlm. 80
19
sarat dengan logika, sehingga kebenarannya dapat
dipertanggungjawabkan26.
26
Kaelan, Filsafat Bahasa (Masalah dan Perkembangannya, Yogyakarta, Paradigma, 1998,
hlm 83
27
Kaelan, Filsafat Bahasa (Masalah dan Perkembangannya), Yogyakarta, Paradigma, 1998,
hlm. 83
20
2.3.5 Teori Kebenaran Semantis
21
pernyataan atau proposisi yang secara prinsip tidak dapat
diverifikasi, maka pernyataan atau proposisi tersebut pada
hakikatnya tidak bermakna 28.
Meskipun secara prinsip positivisme logis menerapkan
prinsip verifikasi, namun di antara para tokohnya memiliki
perbedaan pemahaman. Misalnya, Moritz Schlick menafsirkan
verifikasi itu dalam pengertian pengamatan secara langsung. Hanya
proposisi atau pernyataan yang mengandung istilah yang diangkat
secara langsung dari objek yang dapat diamati itulah yang
mengandung makna.
Sedangkan Ayer memiliki pandangan yang berbeda dan
berpendapat bahwa prinsip verifikasi itu merupakan pengandaian
untuk melengkapi suatu kriteria, sehingga melalui kriteria tersebut
dapat ditentukan apakah suatu pernyataan atau proposisi itu
memiliki makna atau tidak. Suatu kalimat mengandung makna,
apabila pernyataan atau proposisi tersebut dapat diverifikasi atau
dapat dianalisa secara empiris, yaitu mengandung kemungkinan
bagi pengalaman29
Menurut teori ini, benar atau tidaknya suatu proposisi
didasarkanpada ada tidaknya arti atau makna dalam proposisi
terkait. Apabila proposisi tersebut memiliki arti atau makna, serta
memiliki pengacu (referent) yang jelas, proposisi dinyatakan benar.
Sedangkan apabila sebaliknya dapat dinyatakan salah. Setiap
pernyataan tentu memiliki arti atau makna yang menjadi acuannya.
Proposisi itu mempunyai nilai kebenaran, bila proposisi memiliki
arti. Arti diperoleh dengan menunjukkan makna yang
28
Kaelan, Filsafat Bahasa (Masalah dan Perkembangannya), Yogyakarta, Paradigma, 1998,
hlm. 124-125
29
Kaelan, Filsafat Bahasa (Masalah dan Perkembangannya), Yogyakarta, Paradigma, 1998,
hlm. 126-127
22
sesungguhnya, yaitu dengan menunjuk pada referensi atau
kenyataan. Arti yang dikemukakan itu memiliki sifat definitif, yaitu
secara jelas menunjuk ciri khas dari sesuatu yang ada. Arti yang
termuat dalam proposisi
tersebut dapat bersifat esoterik, arbitrer, atau hanya
mempunyai arti sejauh dihubungkan dengan nilai praktis dari
subyek yang menggunakannya 30.
30
Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat, Filsafat Ilmu, Yogyakarta. Liberty, 2003, hlm 141-142
31
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu; Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta. Rajawali Pers,
2014, hlm. 54
32
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta. Sinar Harapan, 2003,
hlm. 59
33
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu; Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta. Rajawali Pers,
2014, hlm. 55
23
pernyataan itu tercipta sebuah realitas baru yaitu anda sebagai
manager perusahaan Species S3, tentunya setelah SKnya turun.
Di sini ada perbuatan yang dilakukan bersamaan dengan
pengucapan kata-kata itu. Dengan pernyataan itu suatu penampilan
atau perbuatan (performance) dilakukan.
Teori ini dapat diimplementasikan secara positif, tetapi di
pihak lain dapat pula negatif. Secara positif, dengan pernyataan
tertentu, orang berusaha mewujudkan apa yang dinyatakannya34.
Misal, Saya bersumpah akan menjadi dosen yang baik. Tetapi
secara negatif, orang dapat pula terlena dengan pernyataan atau
ungkapannya seakan pernyataan tersebut sama dengan realitas
begitu saja. Misalnya, Saya doakan setelah lulus S1 kamu menjadi
orang yang sukses, ungkapan ini bagi sebagian orang adalah doa
padahal bisa saja sebagai basa-basi ucapan belaka. Atau, saya
bersumpah, saya berjanji menjadi karyawan yang setia pada
pimpinan, seakan-akan dengan janji itu ia setia pada pimpinan.
Bisa jadi kita semua terjebak dengan pernyataan seperti itu seolah-
olah dengan dengan pernyataan-pernyatan itu tercipta realitas
seperti yang dinyatakan. Padahal apa yang dinyatakan, belum
dengan sendirinya menjadi realitas.
34
A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan
Aksiologis, Jakarta. Bumi Aksara, 2011, hlm. 87
24
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
25
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2012.
Kaelan, 1998. Filsafat Bahasa (Masalah dan Perkembangannya).Yogyakarta:
Paradigma
Kanisius.
26
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2003. Filsafat Ilmu.Yogyakarta:
Liberty.
Verhaak & Haryono Imam, 1989. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gramedia.
Wahana, Paulus, 2008. Menguak Kebenaran Ilmu Pengetahuan dan Aplikasinya
Dalam Kegiatan Perkuliahan. Jurnal Filsafat Vol. 18 No. 3 hlm. 274-294
27