Anda di halaman 1dari 24

KEBENARAN ILMU

Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu Mukalam, M.Hum.

Disusun Oleh :

1. Adilla Doly Safira (16600046)


2. Ardi Rahmat Parmadi (16600052)
3. Yassina Emira Shahnaz (16600063)
4. Della Puspa Anggraeni (16600067)
5. Laela Faiqotul Himmah (16600085)
6. Laelatul Badriyah (16600087)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan makalah yang berjudul “Kebenaran Ilmu” ini tanpa suatu halangan.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu. Dalam
penyusunan makalah ini, penulis menghadapi kesulitan dan hambatan. Akan tetapi hal
tersebut dapat penulis atasi berkat bantuan dari beberapa pihak. Maka dengan tersusunnya
makalah ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
yaitu:
1. Bapak Mukallam selaku Dosen pengampu Mata Kuliah Filsafat Ilmu.
2. Kedua orang tua penulis yang tercinta atas segala doa restu.
3. Teman-teman yang telah membantu untuk menyelesaikan makalah ini.
Apabila dalam penyusunan makalah ini banyak kata yang menyimpang atau
menyinggung perasaan, penulis memohon maaf. Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan makalah ini.
Semoga penyusunan makalah yang berjudul “Kebenaran Ilmu” ini dapat berguna
dan bermanfaat untuk menambah pengetahuan bagi siapa saja yang membacanya.

Yogyakarta, 25 Maret 2019


Penulis

1
DAFTAR ISI

Table of Contents
KATA PENGANTAR .......................................................... Error! Bookmark not defined.

DAFTAR ISI .......................................................................................................................... 2

BAB I...................................................................................................................................... 3

PENDAHULUAN .................................................................................................................. 3

A. Latar Belakang............................................................................................................. 3

B. Rumusan Masalah ....................................................................................................... 4

C. Tujuan .......................................................................................................................... 5

BAB II .................................................................................................................................... 6

PEMBAHASAN..................................................................................................................... 6

A. Pengertian Kebenaran .................................................................................................. 6

B. Teori-Teori Kebenaran Menurut Filsafat .................................................................... 8

C. 4 Jenis Kebenaran Menurut Pranaka, Julianne Ford dalam Lincoln & Guba (1985) 15

D. Cara Penemuan Kebenaran ........................................................................................ 16

BAB III ................................................................................................................................. 22

PENUTUP ............................................................................................................................ 22

A. Penutup ...................................................................................................................... 22

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai
yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat
kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran. Manusia
selalu berusaha menemukan kebenaran. Banyak cara telah ditempuh untuk memperoleh
kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan melalui
pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia
membuahkan prinsip-prinsip yang terkadang melampaui penalaran rasional, kejadian-
kejadianyang berlaku di alam itu dapat dimengerti.
Struktur pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal
menangkap kebenaran. Setiap tingkat pengetahuan dalam struktur tersebut
menunjukkan tingkat kebenaran yang berbeda.Pengetahuan inderawi merupakan
struktur yang terendah. Tingkat pengetahuan yanglebih tinggi adalah pengetahuan
rasional dan intuitif. Tingkat yang lebih rendah menangkap kebenaran secara tidak
lengkap, tidak terstruktur, dan pada umumnya kabur, khususnya pada pengetahuan
inderawi dan naluri. Oleh sebab itulah pengetahuan ini harus dilengkapi dengan
pengetahuan yang lebih tinggi.Pada tingkat pengetahuan rasional-ilmiah, manusia
melakukan penataan pengetahuannya agar terstruktur dengan jelas.
Metode ilmiah yang dipakai dalam suatu ilmu tergantung dari objek ilmu yang
bersangkutan. Macam-macam objek ilmu antara lain fisiko-kimia, mahluk hidup, psikis,
sosio-politis, humanistis dan religius. Filsafat ilmu memiliki tiga cabang kajian yaitu
ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Ontologi membahas tentang apa itu realitas. Dalam hubungannya dengan ilmu
pengetahuan,filsafat ini membahas tentang apa yang bisa dikategorikan sebagai objek

3
ilmu pengetahuan. Epistemologis membahas masalah metodologi ilmu pengetahuan.
Dalam ilmu pengetahuan modern, jalan bagi diperolehnya ilmu pengetahuan adalah
metode ilmiah dengan pilar utamanya rasionalisme dan empirisme. Aksiologi
menyangkut tujuan diciptakannya ilmu pengetahuan, mempertimbangkan aspek
pragmatis-materialistis. Kerangka filsafat di atas akan memudahkan pemahaman
mengenai keterkaitan berbagai ilmu dalam mencari kebenaran.
Pendidikan pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya mengemban
tugas utama untuk menemukan, pengembangan, menjelaskan, menyampaikan nilai-nilai
kebenaran. Semua orang yang berhasrat untuk mencintai kebenaran, bertindak sesuai
dengan kebenaran. Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human.
Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau
martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.
Kebenaran sebagai ruang lingkup dan obyek pikir manusia sudah lama menjadi
penyelidikan manusia. Manusia sepanjang sejarah kebudayaannya menyelidiki secara
terus menerus apakah hakekat kebenaran itu?
Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula
untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang
kebenaran, tanpa melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan mengalami
pertentangan batin, konflik spikologis. Menurut para ahli filsafat itu bertingkat-tingkat
bahkan tingkat-tingkat tersebut bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di bawah
kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya ada kebenaran relatif, ada kebenaran mutlak
(absolut). Ada kebenaran alami dan ada pula kebenaran illahi, ada kebenaran khusus
individual, ada pula kebenaran umum universal.
B. Rumusan Masalah

1. Apa itu kebenaran?


2. Bagaimana penjelasan teori kebenaran menurut filsafat ilmu?

4
3. Bagaimana teori kebenaran yang dikemukakan oleh Julianne Ford dalam Lincoln &
Guba (1985)?
4. Bagaimana cara penemuan kebenaran?
C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian kebenaran.


2. Untuk mengetahui teori-teori kebenaran dalam segi filsafat
3. Untuk mengetahui teori filsafat menurut Julianne Ford.
4. Untuk mengetahui cara menemukan kebebaran.

5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kebenaran

Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai
yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat
kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran. Dalam
kehidupan manusia, kebenaran adalah fungsi rohaniah. Manusia di dalam kepribadian
dan kesadarannya tak mungkin tanpa kebenaran.

1. Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :
a. Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhanan dan
pertama yang dialami manusia
b. Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui
indara, diolah pula dengan rasio
c. Tingkat filosofis, rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah
kebenaran itu semakin tinggi nilainya
d. Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa
dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan.
Keempat tingkat kebenarna ini berbeda-beda wujud, sifat dan kualitasnya
bahkan juga proses dan cara terjadinya, disamping potensi subyek yang
menyadarinya. Potensi subyek yang dimaksud disini ialah aspek kepribadian yang
menangkap kebenarna itu. Misalnya pada tingkat kebenaran indera, potensi subyek
yang menangkapnya ialah panca indra.
Kebenaran itu ialah fungsi kejiwaan, fungsi rohaniah. Manusia selalu mencari
kebanran itu, membina dan menyempurnakannya sejalan dengan kematangan
kepribadiannya.

6
2. Berdasarkan Ukuran Kebenarannya :
a. Berfikir merupakan suatu aktifitas manusia untuk menemukan kebenaran
b. Apa yang disebut benar oleh seseorang belum tentu benar bagi orang lain
c. Oleh karena itu diperlukan suatu ukuran atau kriteria kebenaran
3. Berdasarkan Jenis-jenis Kebenaran :
a. Kebenaran Epistemologi (berkaitan dengan pengetahuan)
b. Kebenaran Ontologis (berkaitan dengan sesuatu yang ada/ diadakan)
c. Kebenaran Semantis (berkaitan dengan bahasa dan tutur kata)
Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami
kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya
pengetahuan dan pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran,
manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam
kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan
hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan
dalam hidupnya yang dimana selalu ditunjukkan oleh kebanaran.
Kebenaran agama yang ditangkap dengan seluruh kepribadian, terutama oleh budi
nurani merupakan puncak kesadaran manusia. Hal ini bukan saja karena sumber
kebnarna itu bersal dari Tuhan Yang Maha Esa supernatural melainkan juga karena yang
menerima kebenaran ini adalah satu subyek dengna integritas kepribadian. Nilai
kebenaran agama menduduki status tertinggi karena wujud kebenaran ini ditangkap oleh
integritas kepribadian. Seluruh tingkat pengalaman, yakni pengalaman ilmiah, dan
pengalaman filosofis terhimpun pada puncak kesadaran religius yang dimana di dalam
kebenaran ini mengandung tujuan hidup manusia dan sangat berarti untuk dijalankan
oleh manusia.

7
B. Teori-Teori Kebenaran Menurut Filsafat

Dalam studi Filsafat Ilmu, pandangan tentang suatu ‘kebenaran’ itu sangat
tergantung dari sudut pandang filosofis dan teoritis yang dijadikan pijakannya. Dalam
menguji suatu kebenaran diperlukan teori-teori ataupun metode-metode yang akan
berfungsi sebagai penunjuk jalan bagi jalannya pengujian tersebut. Berikut ini beberapa
teori tentang kebenaran dalam perspektif filsafat ilmu:
1. Teori Korespondensi (Bertand Russel 1872-1970)
Teori kebenaran korespondensi adalah teori yang berpandangan bahwa
pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi (berhubungan) terhadap
fakta yang ada. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika adakesesuaian
antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta. Suatu proposisi
(ungkapan atau keputusan) adalah benar apabila terdapat suatu faktayang sesuai dan
menyatakan apa adanya. Teori ini sering diasosiasikan denganteori-teori empiris
pengetahuan.
Ujian kebenaran yang di dasarkan atas teori korespondensi paling diterima
secara luas oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan
kepadarealita obyektif (fidelity to objective reality). Kebenaran adalah persesuaian
antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan
(judgement) dan situasi yang dijadikan pertimbangan itu, serta berusaha untuk
melukiskannya, karena kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau
pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu (Titus, 1987:237).
Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori
korespondensi suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang
dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dan sesuai dengan obyek
yang dituju oleh pernyataan tersebut (Suriasumantri, 1990:57). Misalnya jika seorang
mahasiswa mengatakan “matahari terbit dari timur” maka pernyataan itu adalah benar

8
sebab pernyataan tersebut bersifat faktual, atau sesuai dengan fakta yang ada bahwa
matahari terbit dari timur dan tenggelam di sebelah barat.
Menurut teori korespondensi, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai
hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan. Jika sesuatu pertimbangan
sesuai dengan fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak maka pertimbangan itu
salah (Jujun, 1990:237). Teori ini menganggap. Teori kebenaran korespondensi
adalah “teori kebenaran yang menyatakan bahwa suatu pernyataan itu benar kalau isi
pengetahuan yang terkandung dalam pernyataan tersebut berkorespondensi (sesuai)
dengan objek yang dirujuk oleh pernyataan tersebut.
Teori kebenaran Korespondensi. Teori kebenaran korespondensi adalah teori
kebenaran yang paling awal (tua) yang berangkat dari teori pengetahuan Aristoteles,
teori ini menganggap bawa “suatu pengetahuan mempunyai nilai benar apabila
pengetahuan itu mempunyai saling kesesuaian dengan kenyataan (realitas empirik)
yang diketahuinya”, Contoh, ilmu-ilmu pengetahuan alam.
Menurut teori ini, kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesesuaian
(correspondence) antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat
dengan objek yang dituju oleh pernyataan atau pendapat tersebut. Dengan demikian
kebenaran epistimologis adalah kemanunggalan/keselarasan antara pengetahuan yang
ada pada subjek dengan apa yang ada pada objek, atau pernyataan yang sesuai dengan
fakta, yang berselaras dengan realitas, yang sesuai dengan situasi actual.
Teori korespondensi pada umumnya dianut oleh para pengikut
realisme.diantara pelopor teori ini adalah Plato, Aristoteles, Moore, Russel, Ramsey
dan Tarski. Mengenai teori korenspondensi tentang kebenaran, dapat disimpulkan
sebagai berikut: "Kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu
dengan kenyataan itu sendiri".

9
2. Teori Koherensi atau Konsistensi
Teori kebenaran Koherensi. Tokoh teori ini adalah Spinosa, Hegel dan Bradley.
Suatu pengetahuan dianggap benar menurut teori ini adalah “bila suatu proposisi itu
mempunyai hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang terdahulu yang bernilai
benar”. Jadi, kebenaran dari pengetahuan itu dapat diuji melalui kejadian-kejadian
sejarah, atau melalui pembuktian logis atau matematis. Pada umumnya ilmu-ilmu
kemanusiaan, ilmu sosial, ilmu logika, menuntut kebenaran koherensi.
Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan
dengan fakta atau realita, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri,
dengan kata lain kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan yang baru
dengan putusan-putusan lainnya yang telah kita ketahui dan kebenarannya terlebih
dahulu.
Teori ini menganggap bahwa“ "Suatu pernyataan dapat dikatakan benar apabila
pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan
sebelumnya yang di anggap benar".
Misalnya bila kita menganggap bahwa pernyataan “semua hewan akan mati”
adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan “bahwa ayam adalah hewan,
dan ayam akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten
dengan pernyataan yang pertama. Jadi menurut teori ini, “putusan yang satu dengan
putusan yang lainnya saling berhubungan dan saling menerangkan satu sama lain.
Maka lahirlah rumusan kebenaran adalah konsistensi, kecocokan.”
Teorik ebenaran koherensi adalah teori kebenaran yang didasarkan kepada
kriteria koheren atau konsistensi. Pernyataan-pernyataan ini mengikuti atau
membawa kepada pernyataan yang lain. Berdasarkan teori ini suatu pernyataan
dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan
pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar (Jujun, 1990:55). Artinya
pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan

10
pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut
logika.
Suatu kebenaran tidak hanya terbentuk karena adanya koherensi atau
kensistensi antara pernyataan dan realitas saja, akan tetapi juga karena adanya
pernyataan yang konsisten dengan pernyataan sebelumnya. Dengan kata lain suatu
proposisi dilahirkan untuk menyikapi dan menanggapi proposisi sebelumnya secara
konsisten serta adanya interkoneksi dan tidak adanya kontradiksi antara keduanya.
Misalnya, bila kita menganggap bahwa “maksiat adalah perbuatan yang dilarang oleh
Allah” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “mencuri adalah
perbuatan maksiat, maka mencuri dilarang oleh Allah” adalah benar pula, sebab
pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel,
Bradley dan Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan
begitu makatiap-tiap pertimbangan yang benar dan tiap-tiap sistem kebenaran yang
parsial bersifat terus menerus dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari
keseluruhan tersebut (Titus,1987:239)
3. Teori Pragmatis (Charles S 1839-1914)
Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah
makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to Make Ideals Clear”.
Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan
adalah berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan
dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filsafat ini di antaranya adalah William
James(1842-1910), John Dewey (1859-1952), George Hobart Mead (1863-1931) dan
C.I.Lewis (Jujun, 1990:57).
Teori kebenaran Pragmatis. Tokohnya adalah William James dan John Dewey.
Suatu pengetahuan atau proposisi dianggap benar menurut teori ini adalah “bila
proposisi itu mempunyai konsekwensi-konsekwensi praktis (ada manfaat secara

11
praktis) seperti yang terdapat secara inheren dalam pernyataan itu sendiri”, maka
menurut teori ini, tidak ada kebenaran mutlak, universal, berdiri sendiri dan tetap.
Kebenaran selalu berubah dan tergantung serta dapat diroreksi oleh pengamalan
berikutnya.
Jika seseorang menyatakan teori X dalam pendidikan, lalu dari teori itu
dikembangkan teori Y dalam meningkatkan kemampuan belajar, maka teori X
dianggap benar karena fungsional.
Pragmatism berasal dari bahasa Yunani Pragma, artinya yang dikerjakan, yang
dilakukan, perbuatan, dan tindakan. Menurut teori ini benar tidaknya suatu ucapan,
dalil, atau teori semata-mata bergantung pada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar
jika mendatangkan manfaat dan akan dikatakan salah jika tidak mendatangkan
manfaat bagi kehidupan manusia. Teori, hipotesa atau ide adalah benar apabila ia
mambawa kepada akibat yang memuaskan, apabila ia berlaku pada praktek, apabila ia
mempunyai nilai praktis. Kebenaran terbukti oleh kegunaannya, oleh hasilnya dan
oleh akibat-akibat praktisnya. Jadi kebenaran ialah apa saja yang berlaku.
Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide
dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya
suatu dalil atau teori tergantung kepada peran fungsi dalil atau teori tersebut bagi
manusia untuk kehidupannya dalam lingkup ruang dan waktu tertentu. Teori ini juga
dikenal dengan teori problem solving, artinya teori yang dengan itu dapat
memecahkan segala aspek permasalahan. Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat
fungsional dalam kehidupan praktis.
Menurut teori ini proposisi dikatakan benar sepanjang proposisi itu berlaku atau
memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) dan yang
diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Bagi para pragmatis, batu ujian
kebenaran adalah kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability) dan akibat atau

12
pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequences). Teori ini tidak mengakui
adanya kebenaran yang tetap atau mutlak.
Francis Bacon pernah menyatakan bahwa ilmu pengetahuan harus mencari
keuntungan-keuntungan untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi. Ilmu
pengetahuan manusia hanya berarti jika nampak dalam kekuasaan manusia. Dengan
kata lain ilmu pengetahuan manusia adalah kekuasaan manusia. Hal ini membawa
jiwa bersifat eksploitatif terhadap alam karena tujuan ilmu adalah mencari manfaat
sebesar mungkin bagi manusia.
4. Teori Performatif
Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh
pemegang otoritas tertentu. Contohnya mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian
muslim di Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah,
sedangkan sebagian yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi
tertentu.Masyarakat menganggap hal yang benar adalah apa-apa yang diputuskan
oleh pemegang otoritas tertentu walaupun tak jarang keputusan tersebut bertentangan
dengan bukti-bukti empiris.
Dalam fase hidupnya, manusia kadang kala harus mengikuti kebenaran
performatif. Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin
agama, pemimpin adat, pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran
performatif dapat membawa kepada kehidupan sosial yang rukun, kehidupan
beragama yang tertib, adat yang stabil dan sebagainya.
Masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis
dan rasional. Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti
kebenaran dari pemegang otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masih
sangat patuh pada adat, kebenaran ini seakan-akan kebenaran mutlak. Mereka tidak
berani melanggar keputusan pemimpin adat dan tidak terbiasa menggunakan rasio
untuk mencari kebenaran.

13
5. Teori Konsensus
Suatu teori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau
perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung
paradigma tersebut. Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena
adanya paradigma. Sebagai komitmen kelompok, paradigma merupakan nilai-nilai
bersama yang bisa menjadi determinan penting dari perilaku kelompok meskipun
tidak semua anggota kelompok menerapkannya dengan cara yang sama.
Paradigma juga menunjukkan keanekaragaman individual dalam penerapan
nilai-nilai bersamayang bisa melayani fungsi-fungsi esensial ilmu pengetahuan.
Paradigma berfungsi sebagai keputusan yuridiktif yang diterima dalam hukum tak
tertulis. Adanya perdebatan antar paradigma bukan mengenai kemampuan relatif
suatu paradigma dalam memecahkan masalah, tetapi paradigma mana yang pada
masa mendatang dapat menjadi pedoman riset untuk memecahkan berbagai masalah
secara tuntas.
6. Teori Kebenaran Sintaksis
Teori ini berkembang diantara para filsuf analisa bahasa, seperti Friederich
Schleiermacher. Menurut teori ini, ‘suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan
itu mengikuti aturan sintaksis (gramatika) yang baku’.
7. Teori Kebenaran Semantis
Menurut teori kebenaran semantik, suatu proposisi memiliki nilai benar ditinjau
dari segi arti atau makna. Apakah proposisi itu pangkal tumpuannya pengacu
(referent) yang jelas? Jadi, memiliki arti maksudnya menunjuk pada referensi atau
kenyataan, juga memiliki arti yang bersifat definitif.
8. Teori Kebenaran Non-Deskripsi
Teori Kebenaran Non-Deskripsi. Teori ini dikembangkan oleh penganut filsafat
fungsionalisme. Jadi, menurut teori ini suatu statemen atau pernyataan itu akan

14
mempunyai nilai benar ditentukan (tergantung) peran dan fungsi pernyataan itu
(mempunyai fungsi yang amat praktis dalam kehidupan sehari-hari).
9. Teori Kebenaran Logik
Teori ini dikembangkan oleh kaum positivistik. Menurut teori ini, bahwa
problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya
merupakan suatu pemborosan, karena pada dasarnya apa— pernyataan—yang hendak
dibuktikan kebenarannya memiliki derajat logik yang sama yang masing-masing
saling melingkupinya.
10. Agama sebagai Teori Kebenaran
Manusia adalah makhluk pencari kebenaran, salah satu cara untuk menemukan
suatu kebenaran adalah melalui agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri
memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia, baik
tentang alam, manusia maupun tentang tuhan. Kalau ketiga teori kebenaran
sebelumnya lebih mengedepankan akal, budi, rasio, dan reason manusia, maka dalam
teori ini lebih mengedepankan wahyu yang bersumber dari Tuhan.
Penalaran dalam mencapai ilmu pengetahuan yang benar dengan berfikir
setelah melakukan penyelidikan dan pengalaman. Sedangkan manusia mencari dan
menentukan kebenaran sesuatu dalam agama dengan jalan mempertanyakan atau
mencari jawaban tentang masalah asasi dari atau kepada kitab suci, dengan demikian
suatu hal itu dianggap benar apabila sesuai dengan ajaran agama atau wahyu sebagai
penentu kebenaran mutlak.

C. Empat Jenis Kebenaran Menurut Pranaka, Julianne Ford dalam Lincoln & Guba

(1985)

Berbeda dengan Pranaka, Julianne Ford dalam Lincoln & Guba (1985)
mengemukakan ada 4 jenis kebenaran yang berbeda, yaitu kebenaran empiris, kebenaran

15
logis, kebenaran etis, kebenaran metafisis. Keempat kebenaran tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut :
1. Kebenaran empiris yaitu kebenaran yang sudah biasa digunakan oleh para ilmuan
yang dirumuskan dalam bentuk hipotesis untuk menerima atau menolak sesuatu
sebagai kebenaran.
2. Kebenaran logis yaitu kebenaran yang masuk akal yang dapat diterima oleh orang
banyak, dimana kebenaran tersebut merupakan pernyataan hipotesis yang secara logis
atau matematis sejalan dengan pernyataan lain yang telah diketahui sebagai sesuatu
kebenaran.
3. Kebenaran etis adalah kebenaran yang dapat diukur dengan standar nilai atau moral
tertentu. Jadi, seseorang dianggap etis jika yang menyatakan kebenaran tersebut
berbuat sesuai dengan ukuran pelaksanaan yang bersifat moral atau profesional.
4. Kebenaran metafisis yang merupakan kebenaran yang sesuai dengan kepercayaan
dasar. Kebenaran ini merupakan kepercayaan yang harus diterima sebagaimana ada.
Kebenaran ini tidak dapat dibuktikan dengan ketidakbenaran, karena kebenaran ini
menghadirkan batas akhir yang berbeda dengan segala yang teruji.
D. Cara Penemuan Kebenaran

Dalam penggunaan kata “pengetahuan” dan “ilmu” dari apa yang kita tangkap
dalam jiwa kita harus berhati-hati. Pengetahuan sudah puas dengan “menangkap tanpa
ragu” kenyataan sesuatu, sedang ilmu (science) menghendaki penjelasan lebih lanjut dari
sekedar apa yang dituntut oleh pengetahuan. Misal, si Buyung mengetahui bahwa
pelampung kailnya selalu terapung di air, ia akan membantah jika dikatakan pelampung
itu tenggelam. Kejadian inilah yang disebut dengan “pengetahuan” baginya. Manakala ia
mengetahui bahwa BJ (Berat Jenis) pelamping lebih kecil dengan BJ air dan ini
mengakibatkan pelampung itu selalu terapung, maka hal itu menjadikan “ilmu” baginya.
Seseorang tahu betul saat-saat laut pasang dan surut, sehingga ia dapat mengambil
manfaat bagi kehidupannya. Tetapi selama ia ketahui tidak pernah menebus keterangan

16
tentang sebab terjadinya laut di sebagian belahan bumi ini pasang selama itu pula ia
hanya merupakan pengtahuan baginya.

Manusia akan puas apabila ia dapat memperoleh pengetahuan mengenai apa yang
dipermasalahkan dan lebih puas lagi apabila pengetahuan yang diperoleh itu adalah
pengetahuan yang benar. Oleh karena itu manusia, selalu ingin mencari dan memperoleh
pengetahuan yang benar (Cholid Narbuko dan Abu Ahmadi, 1997). Untuk dapat
memperoleh pengetahuan yang benar pada dasarnya ada dua cara yang dapat ditempuh
oleh manusia yaitu dengan cara nonilmiah dan cara ilmiah. Menurut ahli filsafat
pengetahuan yang benar pada mulanya diperoleh melalui cara nonilmiah dibanding
dengan cara ilmiah, hal ini disebabkan oleh keterbatasan daya pikir manusia.

Pendekatan ilmiah menuntut dilakukannya cara-cara atau langkah-langkah tertentu


dengan perurutan tertentu pula agar dapat dicapai pengetahuan yang benar. Namun,
tidak semua orang suka melewati tata tertib pendekatan ilmiah itu untuk sampai pada
pengetahuan yang benar mengenai hal yang dipertanyakannya. Bahkan di kalangan
masyarakat awam untuk memperoleh pengetahuan yang benar lebih baik suka
menggunakan pendekatan nonilmiah.

a. Cara Penemuan Kebenaran Nonilmiah


Ada beberapa cara yang dapat dilakukan manusia untuk memperoleh kebenaran
melalui cara nonilmiah, diantaranya adalah :
1) Akal sehat (common sence)
2) Prasangka
3) Pendekatan kebetulan dan coba-coba
4) Pendekatan otoritas ilmiah dan pikiran kritis.

Untuk lebih jelasnya dari beberapa pendekatan nonilmiah tersebut satu persatu dapat
diuraikan sebagai berikut:

17
1) Akal Sehat
Akal sehat menurut Counaut yang dikutip Kerlinger (1973) adalah
serangkaian konsep dan bagan yang memuaskan untuk penggunaan praktis bagi
kemanusiaan. Konsep adalah pernyataan abstraksi yang digeneralisasikan dan hal-
hal yang khusus. Bagan konsep adalah seperangkat konsep yang dirangkaian
dengan dalil-dalil hipotesis dan teori walaupun akal sehat yang berupa konsep dan
bagan konsep itu dapat menunjukkan hal yang benar, namun dapat menyesatkan.
Sebagai contoh, pada abad ke-19 menurut akal sehat yang diyakini oleh banyak
pendidik. Tetapi ternyata penemuan ilmiah membantah kebenaran akal tersebut.
Pada umumnya akal sehat banyak digunakan oleh orang awam dalam
mempersoalkan sesuatu.
2) Prasangka
Penemuan pengetahuan yang dilakukan melalui akal sehat kebanyakan
diwarnai oleh kepentingan orang yang melakukannya. Hal ini menyebabkan akal
sehat mudah berubah menjadi prasangka. Orang sering tidak mampu
mengendalikan keadaan yang juga dapat terjadi pada keadaan yang lain. ia
seringkali cenderung melihat hubungan antara dua hal sebagai hubungan sebab
akibat yang langsung dan perbuatan generalisasi yang terlalu dipaksakan, sehingga
hal itu menjadi suatu prasangka.
3) Pendekatan Intuitif
Dalam pendekatan intuitif orang menentukan pendapat mengenai sesuatu hal
yang berdasarkan atas “pengetahuan” yang langsung atau didapat dengan cepat
melalui proses yang tidak disadari atau tidak dipikirkan terlebih dahulu. Dengan
intuitif orang memberi penilaian tanpa didahului kesuatu renungan. Pencapaian
pengetahuan semacam itu kebenarannya sukar dipercaya. Metode semacam itu
biasanya disebut dengan pendekatan “apriori”. Dalil-dalil yang diperoleh dengan

18
“apriori” mungkin cocok dengan penalaran, namun belum tentu cocok dengan
pengalaman atau data empiris.
4) Penemuan Kebetulan dan Coba-coba
Penemuan secara kebetulan dan coba-coba banyak, di antaranya yang sangat
berguna. Penemuan secara kebetulan diperoleh tanpa direncanakan, tidak pasti,
dan melalui langkah-langkah yang sistematik dan terkendali. Misalnya, seorang
anak terkurung dalam kamar sedangkan pintunya terkunci, ia bingung, kebetulan
ia melihat jendela kamar tidak terkunci, ia kemudian keluar kamar melalui jendela.
Penemuan kebetulan dan coba-coba (trial and error) pengetahuan yang diperoleh
tanpa kepastian akan diperoleh suatu kondisi tertentu atau pemecahan masalah.
Pemecahan masalah terjadi secara kebetulan biasanya tidak efektif dan tidak
terkontrol. Contoh: percobaan yang dilakukan Pavlov terhadap gorrila yang ada di
dalam sangkarnya, di dalam sangkar gorila diberi tongkat dan diluar sangkar
ditaruh pisang. Karena selera gorila ingin meraih pisang tersebut dan tangannya
ternata tidak dapat mengjangkau pisang tersebut, kemudian ia mencoba-coba
menggunakan tongkat yang ada di sampingnya. Dengan usaha coba-coba itu
akhirnya pisang yang berada diluar sangkar dapat diraih.
5) Pendapat otoritas ilmiah dan pikiran ilmiah
Otoritas olmiah biasanya dapat diperoleh seseorang yang telah menempuh
pendidikan formal teringgi, misalnya Doktor atau seseorang yang mempunyai
pengalaman profesional atau kerja ilmiah dalam suatu bidang cukup banyak
(seorang profesor). Pendapat mereka biasanya sering terima tanpa harus diuji,
karena dipandang benar apa yang mereka katakan. Namun pendapat otoritas
ilmiah tidak selamanya benar, bila pendapat dikemukakan tersebut tidak
didasarkan padahasil penelitian, namun hanya didasrkan pada pikiran logis semata.

19
b. Cara Penemuan Kebenaran Ilmiah
Pengetahuan yang diperoleh melalui pendekatan ilmiah berupa kegiatan
penelitian ilmiah dan dibangun di atas teori-teori tertentu. Kita semua mengetahui
bahwa teori berkembang melalui penelitain ilmiah, yaitu penelitian yang dilakukan
secara sistematis dan terkontrol berdasarkan atas data-data empiris yang ditemukan
dilapangan. Teori yang ditemukan dapat diuji keajekan dan kejituan internalnya.
Artinya, jika penelitian ulang dilakukan langkah-langkah serupa pada kondisi yang
sma akan diperoleh hasil yang sama atau hampir sama. Pendekatan ilmiah akan
menghasilkan kesimpulan serupa bagi hampir setiap orang. Karena pendekatan
tersebut tidak diwarnai oleh keyakinan pribadi maupun oleh perasaan, dan cara
penyimpulannya objektif bukan subjektif.
Dengan pendekatan ilmiah itu orang berusaha untuk memperoleh kebenaran
ilmiah, yaitu pengetahuan benar yang kebenarannya terbuka untuk diuji oleh siapa
saja yang menghendaki untuk mengujinya. Cara ilmiah ini merupakan syarat mutlak
untuk menemukan suatu ilmu, yang dapat berpikir secara ilmiah, maka ada tiga
tahapan berpikir yang harus dilalui, yaitu a) skeptik, b) analitik dan c) kritis.
a) Skeptik
Ciri berpikir ilmiah pertama ini ditandai oleh cara orang di dalam menerima
kebenaran informasi atau pengetahuan tidak langsung diterima begitu saja, namun
dia berusaha untuk menanyakan fakta-fakta atau bukti-bukti terhadap setiap
pernyataan yang diterimanya.
b) Analitik
Ciri berpikir ilmiah kedua ditandai oleh cara orang dalam melakukan setiap
kegiatan, ia selalu berusaha menimbang-nimbang setiap permasalahan yang
dihadapinya, mana yang relevan dan mana yang menjadi masalah utama dan
sebagainya. Dengan cara ini maka jawaban terhadap permasalahan yang dihadapi
akan dapat diperoleh sesuai dengan apa yang diharapkan.

20
c) Kritis
Ciri berpikir ilmiah ketiga ditandai dengan orang yang selalu berupaya
mengembangkan kemampuan menimbang setiap permasalahan yang dihadapinya
secara objektif. Hal ini dilakukan agar semua data dan pola yang diterapkan dapat
selalu logis.

21
BAB III
PENUTUP

A. Penutup

Bahwa kebanran itu sangat ditentukan oleh potensi subyek kemudian pula tingkatan
validitas. Kebanran ditentukan oleh potensi subyek yang berperanan di dalam penghayatan
atas sesuatu itu.
Bahwa kebenaran itu adalah perwujudan dari pemahaman (comprehension) subjek
tentang sesuatu terutama yang bersumber dari sesuatu yang diluar subyek itu realita,
perisitwa, nilai-nilai (norma dan hukum) yang bersifat umum.
Bahwa kebenaran itu ada yang relatif terbatas, ada pula yang umum. Bahkan ada
pula yang mutlak, abadi dan universal. Wujud kebenaran itu ada yang berupa penghayatan
lahiriah, jasmaniah, indera, ada yang berupa ide-ide yang merupkan pemahaman potensi
subjek (mental,r asio, intelektual).
Bahwa substansi kebenaran adalah di dalam antaraksi kepribadian manusia dengan
alam semesta. Tingkat wujud kebenaran ditentukan oleh potensi subjek yang
menjangkaunya. Semua teori kebanrna itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam
kehidupan nyata. Yang mana masing-masing mempunyai nilai di dalam kehidupan
manusia.

22
DAFTAR PUSTAKA

Syam, Muhammad Noor. 1988. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional
Bertens, K. 1976. Ringkasan Sejarah Filsafat. Jakarta: Yayasan Krisius
Sumantri Surya. 1994. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan
Susanto, A, 2011. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis,
dan Aksiologis. Jakarta:PT Bumi Aksara.

23

Anda mungkin juga menyukai