Anda di halaman 1dari 31

TASAWUF DAN SYARI’AH SUATU PERPADUAN

Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Akhlak dan Tasawuf

Dosen Pengampu : Dr. Ibrahim Malik, M.Ag

Disusun oleh:

1. Rizal Junardi (16600084)


2. Laela Faiqotul Himmah (16600085)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA

2018/2019
KATA PENGANTAR

Assalaamu’alaikum wr. wb.

Puji Syukur Alhamdulilah penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang
telah memberikan nikmat dan hidayah-Nya. Sholawat serta salam kita haturkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang syafaatnya selalu kita tunggu di Yaumul
Qiyamah nanti.

Terima kasih Penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ibrahim Malik, M.Ag. atas
bimbingannya sehingga Penulis dapat menyelesaikan Tugas Mata Kuliah Akhlak dan
Tasawuf ini tepat pada waktunya.
Tentunya dalam penulisan makalah berjudul “Tasawuf dan Syariah Suatu
Perpaduan” ini masih banyak kekurangan, sehingga penulis sadar akan pentingnya
kritik dan saran dari pembaca untuk bisa dijadikan koreksi terhadap makalah ini dan
sekaligus juga untuk menghasilkan tulisan yang lebih baik untuk kedepannya. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya. Bila ada kesalahan dan kekurangan dalam penyampaian dan penulisan,
penulis mohon maaf sebesar-besarnya.

Wassalaamu’alaikum wr.wb.

Yogyakarta, Maret 2019

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... 1


DAFTAR ISI .................................................................................................................... 2
BAB I................................................................................................................................ 3
PENDAHULUAN ............................................................................................................ 3
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................................ 3
B. Tujuan .................................................................................................................... 4
C. Manfaat .................................................................................................................. 4
BAB II .............................................................................................................................. 5
PEMBAHASAN............................................................................................................... 5
A. Tasawuf ................................................................................................................. 5
1. Definisi Tasawuf ............................................................................................................ 5
2. Sumber Tasawuf .......................................................................................................... 10
3. Tujuan Tasawuf ........................................................................................................... 11
4. Pembahasan Tasawuf .................................................................................................. 12
B. Syari’ah ................................................................................................................ 13
C. Tasawuf dan Syari’ah Suatu Perpaduan .............................................................. 17
1. Hubungan antara Syari’ah dan Tasawuf ................................................................... 17
2. Integratif – Monokhotomik ......................................................................................... 21
3. Integrasi Fikih dan Tasawuf sebagai Modal Pengembangan Kepribadian
Muslim ............................................................................................................................... 25
BAB III ........................................................................................................................... 29
PENUTUP ...................................................................................................................... 29
A. Kesimpulan .......................................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 30

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Aspek-aspek ajaran Islam yaitu aqidah, ibadah, dan moral, tidak jarang
melihat kecenderungannya kepada bentuk-bentuk formalisme, terutama ajaran
yang mengambil bentuk tingkah laku/ perbuatan lahiriah sepereti terlihat dalam
syari’ah. Formalisme dalam pengamalan ajaran Islam dipandang amat merugikan,
maka Allah mengingatkan adanya bahaya formalisme ini dalam al-Qur’an1 :

‫و نإ ﻚﺑر ﻦﻜﺗ ﺎﻣ ﻢﻠﻌﯿﻟ ﻢھروﺪﺻ ﺎﻣو نﻮﻨﻠﻌﯾ‬


Artinya: “ Sungguh Tuhanmu mengetahui apa yang disimpan dalam hati
mereka dan apa yang mereka katakan/dzahirkan.”

Apabila karena formalisme, misalnya syari’at ibadah yang bersifat


normatif lebih menekankan syarat, rukun, tata tertib, sah, batal, dan sebagainya
dalam pengamalan ajaran Islam, tanpa mementingkan adanya pengahayatan di
dalamnya, maka tidak mustahil pengamalan ajaran Islam itu tidak dapat
memenuhi kebutuhan spiritual dan menumbuhkan ajaran moral. Mengutamakan
formalitas saja, dapat mengakibatkan jiwa pengamalan ajaran Islam itu tidak
dapat dirasakan, sedangkan yang terasa hanyalah kesibukan perbuatan fisik yang
kering, kurang bermakna, dan kurang dijiwai oleh pelakunya. Padahal pengamalan
ajaran Islam senantiasa menuntut perbuatan yang dilakukan secara sadar. Oleh
karena itu, ia menghendaki penghayatan spiritual yang memerlukan latihan-latihan
yang berkesinambungan. Pengamalan Ibadah Syar’i apabila dihayati dengan
Tasawuf, maka akan dirasakan oleh pelakunyabahwa ia merasa dekat benar
dengan Allah SWT dan ia merasa berada di hadiratNya.

1
Mahmud Junus, Tarjamah Al-Qur”an al-Karim, PT. Al-Maa’arif, Bandung, 1987, Surat
al-Naml, ayat 74.

3
Dengan demikian Islam menghendaki terwujudnya integrasi/keterpaduan
aspek-aspek amaliah lahiriah yang diatur dalam syari’ah dengan penghayatan
aspek-aspek amaliah batiniah yang diatur dalam tasawuf.

B. Tujuan
1. Apakah pengertian tasawuf ?
2. Apa pengertian syari’ah ?
3. Bagaimana keterpaduan tasawuf dan syari’ah?

C. Manfaat
1. Mengetahui pengertian tasawuf.
2. Mengetahui pengertian syari’ah
3. Mengetahui keterpaduan tasawuf dan syari’ah.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tasawuf

1. Definisi Tasawuf
Tasawuf berkaitan dengan masalah rohani dan batin manusia yang tak
dapat dilihat, sehingga ia amat sulit ditetapkan definisinya untuk
menyatakan apa hakekat dari tasawuf itu sendiri. Tasawuf termasuk masalah
kejiwaan, oleh karena itu ia dapat dipahami bukan mengenai hakekatnya,
melainkan gejala-gejala yang tampak dalam ucapan, cara, dan sikap hidup para
sufi. Para ahli tasawuf membuat suatu definisi tasawuf yang berbeda-beda
sesuai dengan pengalaman empirik masing-masing ahli dalam mengamalkan
tasawuf.
Tasawuf menurut Ma’ruf Al-Kurkhi2 adalah :

Yang artinya berpegang pada apa yang hakiki dan menjauhi sifat tama’
terhadap apa yang ada di tangan manusia.
Ahmad Al-Jariri3, ketika ditanya oleh seseorang tentang apa itu tasawuf,
Beliau menjawab dengan:

Yang artinya keluar dari budi perangai yang tercela dan masuk kepada budi
perangai yang terpuji .

2
Abu al-Qasim ‘Abd al-Karim bin Hawazan al-Qusyairi al-Naisaburi, al-Risalah
alQusyairiyyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf, Dar al-Khair, hal. 280.
3
Ibid.

5
Menurut Ab𝑢̅ Tur𝑎̅b an-Nakhsyab𝑖̅ sufi adalah dia yang hatinya tidak
terkotori oleh apapun dan dengan kesuacian hati itu, segala sesuatu menjadi
jernih.
Sahl Abdullah al-Tusturi mengatakan bahwa ”Sufi ialah orang yang
membersihkan dirinya dari kerusakan budi, selalu merenunginya secara
mendalam dan menilai budi mulia itu lebih berharga dari pada tumpukan emas
dan permata”4.

Tasawuf menurut Ahmad Rifa’i adalah ilmu yang membahas tentang


tingkah laku manusia baik yang berupa amalan terpuji maupun amalan tercela
agar hatinya benar dan lurus dalam menuju Allah SWT, sehingga ia dapat
berada dekat sedekat-dekatnya di hadirat Allah SWT.5

Senada dengan pendapat-pendapat di atas, Abu Ya’qub al-Susi


menjelaskan bahwa sufi ialah orang yang tidak merasa sukar dengan hal-hal
yang terjadi pada dirinya dan tidak mengikuti keinginan hawa nafsunya.6

Definisi-definisi Tasawuf tersebut di atas menunjukkan bahwa betapa


besarnya peranan akhlak dalam taswuf. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa tasawuf ini dimaksudkan sebagai usaha untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT dengan menekankan pentimgnya akhlak atau sopan santun baik
kepada Allah maupun kepada sesama makhluk.
Selanjutnya definisi tasawuf ini mengalami perkembangan, hal ini terlihat
dari definisi yang dikemukakan Rabi’ah al-‘Adawiyyah bahwa tasawuf adalah
usaha mengalahkan segalanya untuk memilih Allah, sehingga Allah pun akan
memilih seseorang sufi dan mengalahkan segala sesuatu.7 Dari definisi ini,
pembahasan tasawuf mulai memasuki wilayah cinta Ilahi yang dikenal dengan

4
Hamka, Tasawuf Modern, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1990, hal. 13.
5
Ahmad Rifa’i, Ri’ayat al-Himmah, 1266 H, hal. 6
6
Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi, al-Ta’arruf li Madzhab Ahl al-Tasawuf, Cet. I,
Maktabah al-Kulliyyah, 1388 H, hal. 109.
7
Abu Nashr al-Sarraj al-Thusi, al-Luma’, ditahkik oleh ‘Abd al-Halim Mahmud dan Thaha
‘Abd al-Baqi surur, Dar al-Kutub al-Haditsah, Kairo, 1960, hal. 45-46

6
Mahabbat. Sufi adalah orang yang mencintai Allah SWT sampai mengalahkan
segalanya.
Dalam mendekatkan diri kepada Allah, Rabi’ah al-’Adawiyyah ingin
cintanya dibalas oleh Allah bahkan ia memohon agar dibukakan tabir
pemisah antara diri Rabi’ah al-’Adawiyyah dan Allah, sehingga mata hatinya
bisa melihat Allah. Hal ini bisa dipahami dari ungkapan cintanya sebagai berikut:8

Artinya:
Aku mencintai Engkau (Allah) dengan dua cinta

Cinta karena hawa nafsuku dan cinta karena Engkau satu-satunya

yang berhak memperoleh cinta


Adapun cinta karena hawa nafsuku, aku senantiasa mengingat-Mu

dan lupa kepada selain Engkau

Sedangkan cinta karena Engkau satu-satunya yang berhak

memperoleh cinta, Engkau membuka tabir pemisah antara dir i ku

dan diri-Mu, sehingga aku dapat melihat-Mu


Kemudian definisi tasawuf berkembang lagi dengan datangnya sufi besar Abu
Yazid al-Bustami9 yang mendefinisikan tasawuf dengan sifat al-Haqqi yal bisuha
al khalaqu (sifat Allah yang dikenakan oelh hamba-Nya). Hal ini menunjukkan

8
Thaha ‘abd al-Baqi Surur, Rabi’ah al-‘Adawiyyah wa al-Hayah al-Ruhiyyah fi al-Islam,
Dar al-Fikr, Kairo, 1957, hal. 79.
9
‘Abd al-Rahman Badawi, Syathahat al-Shufiyyah, Wukalat al-Mathba’ah, Kuwait, t.th., hal.
110. Lihat juga Al-Thusi, al-Luma’, Op.Cit., 45

7
adanya perkembangan definisi dari Abu Yazid10 yang terkenal dengan Sythahat-
nya, yaitu idzhar al-batin bil al-‘ibarat badalan min al-isyarat (mengungkapkan
secara lisan akan kmondisi batin atau mengungkapkan pengalaman spiritual yang
sebenarnya cukup diisyaratkan).

Lebih jauh Imam al-Junaid11 mendefinisikan tasawuf sebagai berikut: al-


Tashawwuf antaquna ma’a Allah bila ‘alaqat (tasawuf adalah engkau bersama
Allah tanpa hubungan). Maksudnya, seorang sufi berssama Alloh bukan dengan
hubungan antara makhluk dan khaliknya, bukan hubungan antara ‘abid dan
ma’bud.menurut al-Junaid selagi masih ada hubungan berarti masih
mempertahankan eksistensi diri masih mengakui keberadaan diri makhluq.

Ajaran tasawuf al-Junaid dikembangkan lagi oleh sufi terkenal. Husain Ibnu
Mansur al-Halaj yang mati dihukum gantung oleh ulama syari’ah tahun 309
H/922 M12, karena ia mengaku dirinya telah menyatu dengan tuhan, sebagaimana
terlihat dari ucapannya: ana Allah ... ana al-haq (aku adalahj Allah aku adalah
hyang maha benar).

Disini timbul pertanyaan kenapa al-Halaj mempertahankan ucapannya yang


melanggar syari’ah sehingga ia menerima hukuman gantung, padahal al-Junaid
sebagi gurunya telah memperingatkannya. Alasan al-Halaj: “Apapun yang akan
terjadi, saya tetap mempertahankan ucapan ana Allah ... ana al-haq, karena saya
ingin segera menyatub dengan Allah. Gara-gara jasmani saya, saya menjadi tidak
bisa bersatu dengan Allah. Nampaknhya, hukum gantung bukan hanya tidak
ditakuti oleh al-Halaj, melainkan justru dirindukannya, karena jasad dirinya
dianggapm sebagai penghalang ungtuk segera menyatu dengan Allah.

Memperhatikan definisi-definisi tasawuf yang dikemukakan oleh Dzul al-Nun


al-Mishri,Abu Yazid al-Bustami, al-Junaid dan al-Halaj dapat dipahami bahwa

10
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Markaz Dirasat ‘Arabiyyah, t.t.,
t.th., hal. 28
11
Al-Qusyairi, Op. Cit., hal. 54
12
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Op. Cit., hal. 87.

8
tasawuf ini tidak lagi menekan masalah akhlak melainkan sudah membahas
masalah hubungan langsung antara sufi dan tuhan, bahkan berlanjut kepada “
kemanunggalan “ antara sufi dan tuhan.
Berdasarkan seluruh definisi tasawuf yang telah dikemukaan di atas dapat
disimpulkan bahwa tasawuf di samping sebagai sarana untuk memperbaiki akhlak
agar jiwanya menjadi suci sebagai sarana untuk mendekatkan diri sedekat-
dekanya kepada Allah SWT.

Dalam beberapa makna tasawuf yang telah muncul terdapat dua hal pokok
yang menjadi inti dari tasawuf itu sendiri, yaitu: pertama, kesucian jiwa untuk
menghadap Tuhan sebagai Zat Yang Maha Suci; dan kedua, upaya pendekatan
diri secara individual kepada-Nya.13 Pada sisi faktual, makna atau definisi
tasawuf tidak akan pernah lepas dari dua inti pokok tersebut dan juga
diterjemahkan dalam bentuk aplikasi (perilaku) atau telah menjadi bagian dari
perilaku sufistik. Oleh sebab itu, ada kalangan yang mensinyalir batasan tasawuf
sebagai suatu nilai dan norma yang teraktualisasikan dalam bentuk perilaku. Ia
membatasi tasawuf sebagai “budi-pekerti” dan secara ilustratif ia mendeskripsikan
bahwa barangsiapa yang memberikan bekal budi-pekerti atasmu, berarti ia
memberikan bekal atas dirimu dalam tasawuf. Maka hamba yang jiwanya
menerima (perintah) untuk beramal, karena sesungguhnya mereka melakukan
suluk dengan nur (cahaya) Islam. Dan ahli zuhud yang jiwanya menerima
(perintah) untuk melakukan akhlaq (terpuji), karena mereka telah melakukan
suluk. dengan nur (cahaya) imannya.14 Konsekuensinya ketika batasan tersebut
menjadi suatu ketetapan, maka tasawuf merupakan bentuk jalan menuju pada
kebenaran hakiki (Tuhan) dengan jalan mengosongkan berbagai bentuk sifat

13
Asep Usman Ismail, 305.
14
Mahyuddin, 45

9
kefanaan15 yang pada gilirannya para sufi pada saat yang sama dikenal
sebagai ‘abid (para ahli ibadah) melalui syari’at, tarekat, hakekat, dan makrifat.

2. Sumber Tasawuf
Dalam sumber ajaran Islam, Al-Qur’an dan Hadist terdapat ajaran yang
membawa ajaran tasawuf. Paham bahwa Tuhan dekat dengan manusia, yang
merupakan ajaran dasar dalam mistisisme ternyata adaa di dalam Al-Qur’an dan
Hadist.seperti dalam QS. Al-Baqoroh: 115 dan 186.

115. Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu
menghadap di situlah wajah Allah [83]. Sesunggungnya Allah maha luas
(rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui16. (QS. Al-Baqoroh,2:115).

[83] disitulah wajah Allah maksudnya adalah kekuasaan Allah meliputi


seluruh alam; sebab itu dimanapun manusia berada,Allah mengetahui
perbuatannya, karena ia selalu berhadapan dengan Allah. Bagi kaum sufi ayat ini
mengandung arti dimana saja Tuhan ada, dan dapat dijumpai. Selanjutnya dalam
hadis dinyatakan bahwa:17 “Man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa Robbuhu” yang
artinya siapa yang kenal pada dirinya, pasti ia kenal pada Tuhan.

Hadis lain yang juga mempengaruhi adanya tasawuf adalahhadis qudsi. Yang
memiliki arti sebagai berikut:” aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi,
kemudian aku ingin kenal, maka Kuciptakanlah makhluk dan mereka-pun kenal
pada-Ku melalui diri-Ku.

15
Fana secara filosofis adalah meniadakan diri supaya “ada”. Menu untuk mencrut al-Qusyairi
untuk mencapai fanaa ada tiga tingkatan, yaitu: fana’ dari dirinya, fana’ dari sifatnya
karena baqa’nya sifat-sifat al-Haqq; (2) fana’nya dari sifat-sifat al-Haqq, karena
penyaksiaannya terhadap al-Haqq itu sendiri; dan(3) fana’nya dari melihat penyaksian
fana’, melalui peleburan dirinya dalam wujud al-Haqq. Lihat dalam Syamsun Ni’am, Cinta
Ilahi Perspektif Rabi’ah al-Adawiyah dan Jalaluddin Rumi(Surabaya: Risalah Gusti, 2001),
94-95
16
Quran digital
17
Alwan Khoiri dkk.Akhlak/Tasawuf,...,hlm. 34

10
Menurut hadis ini bahwa Tuhan dapat dikenal melalui makhluk-Nya, dan
pengetahuan yang lebih tinggi ialah mengetahui Tuhan melalui diri-Nya.

Beberapa ahli telah mencoba untuk menggali sumber-sumber Islam, misalnya


Louis Massignon, sebagaimana dicatat oleh at-Taftazani, yang mengatakan bahwa
sumber tasawuf ada empat, yaitu:

1. Al-Qur’an, sebagai sumber yang terpenting.


2. Ilmu-ilmu Islam, seperti ilmu hadis, fiqh, nahw, kalam dan lain-lain.
3. Terminologi-terminologi para ahli ilmu kalam (mutakallimun) angkatan
pertama.
4. Bahsa ilmiah yang terbentuk di Timur, seperti bahasa-bahasa Yunani dan
Persia, menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan filsafat.
Menurut at-Taftazani sumber-sumber Islam yang menjadi akar bagi ajaran,
doktrin dan tradisi tasawuf itu ada tiga macam, yaitu:
1. Sumber tasawuf dari Al-Qur’an. pendapat ini menukil dari ungkapan at-Tusi
yang mengatakan bahwa tasawuf bisa dijejaki dalam kitab Allah. Untuk
mendukung pendapatnya itu, at-Tafzani menyantumkan ayat Al-Qur’an yang
dijadikan dalilpoleh para sufi, khususnya yang menerangkan tentang rangkaian
perjalanan spiritual mereka.
2. Kehidupan, moral dan sabda Muhammad (as-Sunnah). Menurut at-Tafzani al-
Qur’an dan as-Sunnah merupakan dua sumber utama tasawuf.
3. Kehidupan dan ucapan para sahabat.
Dengan demikian jelaslah bahwa tasawuf merupakan salah satu aspek agama
Islam yang bersumber langsung pada al-Qur’an dan al-Hadis sebagai sumber
pokok ajaran Islam, serta tingkah laku dan ucapan para sahabat.

3. Tujuan Tasawuf
Sebelum dikatan tujuan tasawuf, terlebih dahulu dijelaskan pengertian “fana”
dan “makrifat”. Fana dalam arti filosofis adalah meniadakan diri upaya ada
menurut ilmu tasawuf, fana adalah leburnya pribadi pada kebakaan Allah, di mana

11
perasaan kemanusiaan lenyap diliputi rasa ketuhanan. Dengan fana hilanglah
sifat-sifat buruk (maksiat lahir dan maksiat batin), dan kekalnya sifat-sifat terpuji
(taat lahir dan taat batin). Adapun pengertian makrifat adalah pengetahuan hakiki
tentang Tuhan, atau melihat Tuhan dengan hati sanubari.

Tujuan tasawuf adalah “fana” untuk mencapai “makrifat”. Dalam hal ini ahli-
ahli tasawuf berkata:

Yang artinya: “ Tasawuf itu ialah mereka fana dari dirinya dan baqa dengan
Tuhannya, karena kehadiran hati mereka bersama Allah “.

Tasawuf mengantarkan manusia untuk mendekatkan diri setingkat demi


setingkat kepada Tuhannya, sehingga ia demikian dekat berada di hadirat-Nya.
Dengan demikian, maka tujuan terakhir dari tasawuf adalah berada dekat sedekat-
dekanya dihadirat Tuhan, dengan puncaknya menemui dan melihat Tuhannya.

4. Pembahasan Tasawuf
Hubungan antara akhlak dan tasawuf sangatlah erat bisa dikatakan seperti dua
sisi mata uang, karena untuk mencapai akhlak yang mulia diperlukan proses-
proses yang biassanya dilakukan oleh kalangan mutasawwifin (pengamal
tasawuf). Sementara bagian yang terpenting dalam tasawuf adalah pencapaian
akhlak yang mulia disamping hal-hal yang terkait dengan kebutuhan.

Apa yang dilakukan oleh kalangan mutasawwifin akhirnya akan membuahkan


pada akhlak mulia. Namun demikian, tidak semua kajian dan pengamalan tasawuf
masuk ke bidang akhlak. Oleh karena itu akhlak tasawuf adalah proses-proses
pencapaian akhlakul karimah, melalui metode tasawuf yang diilhami oleh
kehidupan para salafus saleh.

Akhlak tasawuf ini menjadi penting untuk menghindari kajian akhlak yang
hanya beradapada tataran pemikiran dan wacana yang tentu akan jauh untuk dapat
memberikan bekas pada mahasiswa menjadiorang-orang yang memiliki akhlak

12
mulia. Dilain pihak aklak tasawuf juga berguna untuk membatasi kajian salah satu
dalam dunia tasawuf, yaitu tasawuf akhlaki, yang berarti mengesampingkan
tasawuf falsafi.

Secara singkat akhlak taswuf memfokuskan pada dataran Tazkiyah al-Nafis


(penyucian jiwa) yang sering diistilahkan juga dengan tathahur, tahaquq dan
takhaluq, membersihkan diri dari sifat madzmumah (tercela) dan menghiasi
dengan aklhlak mahmudah (terpuji). Hal yang perlu diperhatikan adalah faktor
darisekedar fikri (pemikiran) dan nadzari (teoritis).

B. Syari’ah
1. Pengertian Syariah
Secara etimologis (lughawi) kata ‘syariah’ berasal dari kata berbahasa Arab
alsyarī’at yang berarti ‘jalan ke sumber air’ atau jalan yang harus diikuti, yakni
jalan ke arah sumber pokok bagi kehidupan. Secara harfiah kata kerja syara’a
berarti menandai atau menggambar jalan yang jelas menuju sumber air. Dalam
pemakaiannya yang bersifat religius, kata syariah mempunyai arti jalan kehidupan
yang baik, yaitu nilai-nilai agama yang diungkapkan secara fungsional dan dalam
makna yang konkrit, yang ditujukan untuk mengarahkan kehidupan manusia.18
Alquran menggunakan kata syir’at dan syarī’at (QS. al-Māidat (5): 48 dan QS. al-
Jāsiyat (45): 18) dalam arti dīn atau agama dengan pengertian jalan yang telah
ditetapkan Tuhan bagi manusia atau dalam arti jalan yang jelas yang ditunjukkan
Tuhan kepada manusia. Syariah disamakan dengan jalan air mengingat bahwa
barang siapa yang mengikuti syariah, ia akan mengalir dan bersih jiwanya. Allah
menjadikan air sebagai penyebab kehidupan tumbuh-tumbuhan dan hewan
sebagaimana menjadikan syariah sebagai penyebab kehidupan jiwa manusia.19

18
Fazlur Rahman, Islam, Alih bahasa oleh Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka,1984, hal. 140.

19
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1, Jakarta: Logos, Cet. I, 1999, hal. 1.

13
Pada mulanya istilah syariah identik dengan istilah dīn atau agama. Dalam hal
ini syariah didefinisikan sebagai semua peraturan agama yang ditetapkan oleh
Alquran maupun Sunnah Rasul. Karena itu, syariah mencakup ajaran-ajaran
pokok agama (ushūl al-dīn), yakni ajaran-ajaran yang berkaitan dengan Allah dan
sifat-sifat-Nya, akhirat, dan yang berkaitan dengan pembahasan-pembahasan ilmu
tauhid yang lain. Syariah mencakup pula etika, yaitu cara seseorang mendidik
dirinya sendiri dan keluarganya, dasar-dasar hubungan kemasyarakatan, dan cita-
cita tertinggi yang harus diusahakan untuk dicapai atau didekati serta jalan untuk
mencapai cita-cita atau tujuan hidup itu. Di samping itu, syariah juga mencakup
hukum-hukum Allah bagi tiap-tiap perbuatan manusia, yakni halal, haram,
makruh, sunnah, dan mubah. Kajian tentang yang terakhir ini sekarang disebut
fikih.20 Jadi, secara singkat bisa dimengerti, semula syariah mempunyai arti luas
yang mencakup akidah (teologi Islam), prinsip-prinsip moral (etika Islam,
akhlak), dan peraturan-peraturan hukum (fikih Islam).

Pada abad kedua hijriah (abad ke-9 Masehi), ketika formulasi teologi Islam
dikristalkan untuk pertama kali dan kata syariah mulai dipakai dalam pengertian
yang sistematis, syariah dibatasi pemakaiannya untuk menyebut hukum
(peraturan-peraturan hukum) saja, sedang teologi dikeluarkan dari cakupannya.
Jadi, syariah menjadi konsep integratif tertinggi dalam Islam bagi mutakallimīn
(para teolog Muslim) dan fuqahā’ (para ahli hukum Islam) yang kemudian.
Pengkhususan syariah pada hukum ‘amaliyyat saja atau dibedakannya dari dīn
(agama), karena agama pada dasarnya adalah satu dan berlaku secara universal,
sedang syariah berlaku untuk masing-masing umat dan berbeda dengan umat-
umat sebelumnya.21 Dengan demikian, syariah lebih khusus dari agama, atau

20
Muhammad Yūsuf Mūsā, Al-Islām wa al-Hājat al-Insāniyyat Ilaih, Alih bahasa oleh A.Malik Madani dan
Hamim Ilyas dengan judul “Islam Suatu Kajian Komprehensif”, Jakarta: Rajawali Pers,Cet. I, 1988, hal. 131.
21
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Padang: Angkasa Raya, Cet. II,1993,
hal.14.

14
dengan kata lain agama mempunyai cakupan yang lebih luas dari syariah, bahkan
bisa dikatakan bahwa syariah merupakan bagian kecil dari agama.

Adapun secara terminologis syariah didefinisikan dengan berbagai variasi.


Mahmūd Syaltūt, guru besar hukum Islam di Universitas Al-Azhar Kairo (Mesir),
mendefinisikan syariah sebagai aturan-aturan yang ditetapkan oleh Allah agar
digunakan oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhannya, dengan
saudaranya sesama Muslim, dengan saudaranya sesama manusia, dengan alam,
dan dalam kaitannya dengan kehidupannya.22 Selanjutnya Syaltut menjelaskan
bahwa syariah merupakan cabang dari akidah yang merupakan pokoknya.
Keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisahkan.
Akidah merupakan fondasi yang dapat membentengi syariah, sementara syariah
merupakan perwujudan dari fungsi kalbu dalam berakidah.23 Sementara itu,
Muhammad Yūsuf Mūsā mengartikan syariah sebagai semua peraturan agama
yang ditetapkan oleh Allah untuk kaum Muslim baik yang ditetapkan dengan
Alquran maupun dengan Sunnah Rasul. Muhammad Yūsuf Mūsā juga
mengemukakan satu definisi syariah yang dikutip dari pendapat Muhammad Ali
al-Tahanwy. Menurut al-Tahanwy, syariah adalah hukum-hukum yang telah
ditetapkan oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya yang dibawa Nabi, baik yang
berkaitan dengan cara perbuatan yang dinamakan dengan hukum-hukum cabang
dan amaliyah yang dikodifikasikan dalam ilmu fikih, ataupun yang berkaitan
dengan kepercayaan yang dinamakan dengan hukum-hukum pokok dan
i’tiqadiyah yang dikodifikasikan dalam ilmu kalam.7

Dari tiga definisi syariah di atas dapat dipahami bahwa syariah lebih khusus dari
agama. Syariah adalah hukum amaliyah yang berbeda di kalangan umat manusia
menurut perbedaan Rasul yang membawanya. Syariah yang datang kemudian

22
Mahmūd Syaltūt, Al-Islām Aqīdat wa Syarī’at, Kairo: Dār al-Qalam, Cet. III, 1966, hal. 12.
23
bid., hal.13-14.

15
mengoreksi dan membatalkan syariah yang lebih terdahulu, sedangkan dasar
agama, yaitu aqidah (tauhid), tidak berbeda di antara para rasul dan umatnya.24
2. Karakteristik Syariah Islam
Syari’at Islam memiliki karakteristik yang membedakanya dari selainya.diantara
karakteristiknya yang terpenting adalah : bersumber dari sisi Allah, balasanya
diberikan di dunia dan di Akhirat, menyakup semua tempat dan waktu, dan
meliputi semua urusan kehidupan.
a. Syariat Bersal dari Sisi Allah
Sumber syariat Islam adalah Allah. Syari’at adalah wahyu Allah kepada
Rasul-Nya Muhammad SAW, dengan lafazh dan makna, yaitu Al-Quran, atau
dengan makna tanpa lafazh, yaitu Sunnah. Syari’at dengan demikian berbeda
secara mendasar dari seluruh hukum positif, karena hukum ini bersumber dari
manusia, sedangkan sumber syariat Islam adalah Tuhan semua manusia.
b. Sanksi Dunia dan Akhirat dalam Syariat
Di antara karakteristik undang-undang adalah disertakanya sanksi yang
dijatuhkan pemerintah saat diberlakukan pada orang yang melanggar hukum-
hukumnya.25 Sanksi bersifat pidana dalam bentuk siksaan fisik atau membatasi
kebebasan, atau mengurangi harta benda berupa denda. Dan terkadang sanksi
ini bersifat perdata melalui pemaksaan orang yang berhutang untuk
melaksanakan tanggung jawabmaterinya atau dengan ganti rugi harta., atau
membatalkan kesepakatan yang bertentangan dengan undang-undang dengan
segala implikasinya. Hanya saja, sanksi dengan dua bentuknya itu merupakan
sanksi duniawi yang mengenai manusia dimasa hidupnya, bukan di akhiratnya,
karena negara tidak dapat menerapkanya sanksi kecuali yang dapat
dilaksanakan di dunia.
Syariat islam sejalan dengan hukum positif dalam hal bahwa kaidah-
kaidah dan hukum-hukumnya disertai dengan sanksi yang dijatuhkan pada para
pelanggar. Namun, syariat Islam berbeda dari segi balasan akhirat.

24
Muhammad Yūsuf Mūsā, Al-Islām ..., hal. 131.
25
As-sanhuri, Ushul al-qanun, hal. 13.

16
c. Syari’at Berlaku Universal dan Abadi
Syariat Islam berlaku universal meliputi semua manusia di setiap tempat
dan disetiap waktu. Syariat ini bersifat abadi dan tidak mengalami perubahan
atau penghapusan, karena yang menghapus harus sama kuat dengan yang
dihapus, atau lebiih kuat darinya. Syariat yang merupakan ketentuan dari Allah
tidak dapat dihapus kecuali dengan ketentuan syariat yang lain yang datang
dari Allah. Di sisi lain, syariat islam adalah penutup seluruh syariat, dan
Muhammad SAW adalah penutup para nabi.

C. Tasawuf dan Syari’ah Suatu Perpaduan

1. Hubungan antara Syari’ah dan Tasawuf


Sebagaimana telah disebutkan pada pendahuluan, muncul pertanyaan:
Bagaimana sebenarnya hubungan antara syari’ah dan tasawuf ? dan apakah
pengamalan syari’ah dapat dipadukan atau diintegrasikan dengan pengamalan
tasawuf? karena syari’ah bersifat eksoterik (lahir), sedangkan tasawuf
bersifat esoterik (batin). Nampaknya antara keduanya terdapat perbedaan
yang tajam, sehingga diasumsikan bahwa antara syari’ah dan tasawuf
merupakan bagian ajaran Islam yang berdiri sendiri-sendiri dan tidak ada
hubungan antara keduanya, sebagaimana dikatakan oleh Ahmad Amin26
bahwa ”Fuqaha sebgai ahli syari’ah sangat mengutamakan amal-amal lahiriah,
sedangkan kaum sufi sebagai ahli haqiqah sangat mengutamakan amal-amal
batiniah”.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut akan dikemukakan beberapa


pendapat ulama sebagai berikut:

1. Ahmad Rifa’i27 berpendapat bahhwa syari’ah dan tasawuf merupakan dua


ilmu yang saling berhubungan sangat erat. Pengamalan keduanya merupakan

26
Ahmad amin, Dzhur al-Islam, Jilid lI, Cet. IV, al-Nahdah al-Misriyyah, Mesir, 1996, hal.61.
27
Ahmad Rifa’I, Husn al-Mithalab, Bab Tasawuf, hal. 35.

17
perwujudan kesadaran iman yang mendalam, yakni Syari’ah mencerminkan
perwujudan pengamalan iman pada aspek lahiriah sedangkan tasawuf
mencerminkan perwujudan pengamalan iman pada aspek batiniah. Dengan
demikian seseorang baru dapat dipandang sebagai Muslim sejati, jika ia telah
mampu mengamalkan tuntunan ilmu syari’ah dan ilmu tasawuf secara
serempak. Oleh karena itu, merupakan suatu kewajiban setiap Muslim
Mukallaf untuk mengamalkan tuntunan kedua ilmu tersebut, yakni ilmu
syari’ah dan ilmu tasawuf.
2. Al-Qusyairi28 menjelaskan:

Artinya: Setiap pengamalan Syari’ah yang tidak didukung dengan


pengamalan Haqiqah (Tasawuf), maka amal ibadahnya tidak diterima, dan
setiap pengamalan hakekat yang tidak didukung dengan pengamalan
Syari’ah, maka amal ibadahnya tidak dapat mencapai tujuan yang
dikehendaki.
3. Ibn ’Ujaibah al –Hasani mengatakan:

Artinya: Tiada tasawuf kecuali dengan fiqh, karena hukum-hukum Allah


tidak dapat diketahui kecuali dengan ilmu fiqh dan tiada fiqh kecuali dengan
tasawuf, karena tiada amal yang diterima melainkan disertai dengan tawajjuh
yang benar dan keduanya (baik tasawuf maupun fiqh) tidak sah kecuali
disertai dengan iman.
4. Imam Malik29 menegsakan bahwa:

28
Al-Qusyairi, Op.Cit, hal.82.
29
Ibn ‘Ujaibah, Op.Cit, hal.5.

18
Artinya: Siapa saja yang mengamalkan tasawuf tanpa mengamalkan fiqh
berarti ia telah berbuat zindik, siapa saja yang mengamalkan fiqh tanpa
mengamalkan tasawuf berarti ia telah berbuat fasik dan siapa saja yang
mengamalkan keduanya, itulah orang yang ahli haqiqah”.
5. Al-Ghazali30 mengatakan:

Maksudnya: Tidak akan sampai ke tingkat terakhir (menghadap Allah dengan


benar, yaitu Haqiqah) kecuali setelah menyempurnakan tingkat pertamanya
(memperkokoh awal perjalanan ibadah, yaitu Syari’ah).

Maksudnya: Tidak bisa menembus ke dalam batinnya (tujuan ibadah) kecuali


setelah menyempurnakan lahirnya (syarat dan rukun ibadah).
6. Muhammad Ibn ’Allan31 menjelaskan:

Maksudnya: Siapa saja yang menghiasi lahiriahnya dengan Syari’ah dan


mencuci kotoran batiniahnya dengan air thariqah, maka ia dapat mencapai
haqiqah.
7. Ahmad Rifa’i32 menggambarkan hubungan antara Syari’ah dengan dua
konsepsi dasar di bidang ilmu Tasawuf, yaitu Thariqah dan Haqiqah

30
Al-ghazali, Op.Cit. hal 52. Lihat juga Muhammad Nawawi al-Jawi, Maraqi Al-Ubudiyyat,
Pustaka al-Alawiat, Semarang, hal 5.
31
Muhammad Ibn ‘ Allan , Dalil al-Falihin, Juz 1, hal 33.
32
Ahmad Rifa’I, Bayan, 1252 H, hal 31.

19
seperti buah kelapa. Syari’ah sebagai kulit kelapa secara utuh, Thariqah
sebagai isi yang terdapat di dalam kelapa, dan Haqiqah sebagai minyak atau
sarinya.
Berdasarkan pendapat-pendapat ulama tersebut di atas, maka terlihat
secara jelas bahwa syari’ah dan tasawuf merupakan dua ilmu yang saling
berhubungan sangat erat. Pengamalan kedua ilmu tersebut merupakan
perwujudan kesadaran iman yang mendalam, yakni syari’ah mencerminkan
perwujudan pengamalan iman pada aspek lahiriah sedangkan tasawuf
mencerminkan perwujudan pengamalan iman pada aspek batiniah. Dengan
demikian antara Syari’ah dan Tasawuf merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisah-pisahkan. Seseorang baru dapat dipandang sebagai Muslim sejati,
jika ia telah mampu mengintegrasikan tuntunan ilmu syari’ah dan ilmu tasawuf
dalam mengamalkan ajaran Islam.
Pada dasarnya al-Qur’an dan al-Hadits mengandung ilmu lahir dan ilmu
batin. Oleh karena itu, syari’ah pada mulanya juga mengandung ilmu lahir dan
ilmu batin. Namun dalam perkembangan selanjutnya syari’ah yang
mengandung kedua unsur, baik ilmu lahir maupun ilmu batin itu, kemudian
mengadakan semacam spesialisasi sehingga syari’ah lebih menekankan pada
ilmu lahir, sedangkan ilmu batin dikembangkan oleh ilmu tasawuf. Terjadinya
pengembangan spesialisasi kedua ilmu ini disebabkan oleh adanya perbedaan
kecend erungan antara keduanya, yakni syari’ah yang mengambil bentuk fiqh
cenderung menggunakan ratio dan logika akal dalam membahas dalil-dalil al-
Qur’an dan al-Hadits untuk membuat ketetapan hukum, sedangkan tasawuf
cenderung menggunakan rasa (dzauq) dalam mengamalkan al-Qur’an dan al-
Hadits.
Berkaitan dengan pengembangan dan spesialisasi ilmu-ilmu agama Islam ini,
al-Taftazani33 memberi komentar bahwa: ilmu kalam, ilmu fiqh, dan ilmu
tasawuf masing-masing berdiri sendiri, akibatnya ada upaya spesialisasi

33
Al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Op.cit., hal 16.

20
ilmiah yang lebih rinci sejak abad ke 3 H. Setiap disiplin ilmu kemudian
menempuh jalan masing- masing dengan prinsip dan metode sendiri-sendiri,
yang berakibat satu disiplin ilmu dengan lainnya pun menjadi berbeda objek,
metode, dan sasarannya. Yang berkaitan dengan akidah disebut dengan ilmu
kalam, yang berkaitan dengan ibadah lahiriah disebut dengan ilmu fiqh, dan
yang berkaitan dengan ibadah batiniah (kejiwaan) disebut dengan ilmu
tasawuf.
Jika dilihat dari segi pengembangan ilmu, maka spesialisasi ilmu-ilmu agama
Islam sebagaimana tersebut di atas sangat menguntungkan, akan tetapi jika
dilihat dari segi masyarakat Islam sebagai suatu umat, maka spesialisasi
tersebut sangat meresahkan dan merisaukan umat Islam, karena hal tersebut
dapat menyebabkan polarisasi umat. Sehingga sering terjadi perselisihan,
perdebatan, dan saling tuduh menuduh kafir (kafir mengkafirkan) atau saling
tuduh menuduh zindiq (zindiq mengzindiq-kan) di kalangan umat Islam.
Mereka memperselisihkan tentang mana yang benar, apakah ibadah lahiriah
atau ibadah batiniah, dan mana yang lebih utama, apakah ibadah lahiriah atau
ibadah batiniah.
Sebagian ulama tidak menghendaki adanya polarisasi umat Islam dan
tidak menghendaki terjadinya keresahan di kalangan umat Islam dalam
mewujudkan ibadahnya kepada Allah SWT dengan jalan mengintegrasikan /
memadukanpengamalan syari’ah (ilmu lahir) dengan pengamalan tasawuf
(ilmu batin) karena kedua ilmu tersebut merupakan petunjuk yang wajib diikuti
bagi setiap Muslim. Hal ini terlihat dari ajarannya, bahwa baik ilmu lahir
maupun ilmu batin keduanya samasama berfungsi sebagai petunjuk bagi umat
Islam dalam melaksanakan ibadahnya kepada Allah SWT semata.

2. Integratif – Monokhotomik
Salah satu tokoh sufi, Abu al-Ali al-Daqqaq (w. 406 H./1015 M.) dan juga
Hujjatul Islam yaitu al-Ghazali memberi penjelasan yang cukup menarik tentang
konsep integralistik ini dengan nash normatif QS. al-Fatihah ayat 4 dan 5. Al-

21
Ghazali memandang seluruh ayat dalam al-Fatihah merupakan ayat-ayat
jawahir(mutiara) yang mengandung nilai-nilai uluhiyah yang tinggi. Pada nash
normatif bahwa “Iyya ka na’budu(Hanya kepada-Mu kami menyembah)” (QS. al-
Fatihah: 4) merupakan bentuk manifestasi dari syari’ah sebagai dimensi eksoteris;
atau merupakan bentuk ubudiyah hamba dalam situasi fana’. Sedangkan untuk
mengisi dimensi esoteris sebagai perwujudan proses pembersihan jiwa dari sifat-
sifat kemanusiaan (al-nasut) disandarkan pada “Iyya ka nasta’iin(Hanya kepada-
Mu kami memohon)” (QS al-Fatihah: 5); ayat ini merupakan bentuk manifestasi
dari pengakuan (penetapan) dimensi hakikat (esoteris). Pada arus dua dimensi
(QS. al-Fatihah ayat 4 dan 5) ini, dimensi eksoteris (syari’ah) adalah dimensi
esoteris (hakikat) dari sisi mana kewajiban diperintahkan, begitu pula sebaliknya
dimensi esoteris (hakikat) pada polanya merupakan dimensi eksoteris (syari’ah)
dari sisi mana kewajiban (bentuk ritual-ritual seperti ibadah shalat) diperintahkan
bagi para sufi.34 Dengan demikian, dua ayat ini memberikan ruang untuk seorang
hamba masuk dan tenggelam dalam kesatuan penyaksian, yang jika meminjam
istilah dari Yazid al-Busthami (804-875 M.) disebut sebagai al-wahdatul al-
syuhud.

Pada tataran ini, para sufi yang terlibat dalam berbagai praktik ritual (dimensi
eksoteris/syari’ah) dimaksudkan membantu mereka untuk mewujudkan penyatuan
dengan Tuhan, seperti bentuk-bentuk yang berbeda dari doa ritual (zikir yang
secara harfiah berarti mengingat), termasuk pembacaan nama-nama Allah. Para
sufi mengembangkan praktik-praktik keagamaan yang fokus utamanya pada
pengontrolan diri secara ketat yang memungkinkan wawasan psikologis dan
mistis serta hilangnya diri, dengan tujuan akhir dari kesatuan mistik dengan
Tuhan. Disebabkan tujuan tasawuf yang demikian, maka ada sebagian kalangan
yang mengklaim bahwa tasawuf lepas dari alur tujuan syari’ah sebagai bentuk
tujuan melaksanakan perintah dan menjauhi segala bentuk larangan Tuhan.
Padahal melalui dimensi eksoteris (syari’ah), sosok seorang sufi mampu untuk

34
Imam Al Ghazali, Jawahirul Quran: Permata Ayat-ayat suci. hal 223.

22
membersihkan sifat-sifat kemanusiaan (al-nasut) yang akhirnya diisi dengan sifat-
sifat ketuhanan (al-lasut).35

Dari dasar itu pula muncul juga suatu kritik bahwa tasawuf hanya bersifat god
oriented an sich yang akhirnya meninggalkan – baca acuh tak acuh – terhadap
persoalan dunia. Namun, kritik tersebut sangat tidak mendasar jika dilihat dari sisi
historisnya banyak kalangan sufi yang aktivitasnya berorientasi pada hal-hal yang
bersifat profan, seperti yang terlihat pada Sufisme Persian pada periode Seljuk
yang aktivitas sufi banyak yang dilakukan ke ranah politik, dan sebagian kecil
bidang istishab; ar-Raniry sebagai mufti dan Hamzah Fansuri sebagai pedagang.
Bahkan ada juga sufi yang tidak menjauhi kehidupan duniawi (profan). Mereka
memberikan sumbangan yang besar dalam pengembangan berbagai bidang
kehidupan. Dalam pendidikan, para sufi seperti Khwajah Nizam al-Mulk, wazir
Dinasti Saljuk, berpartisipasi langsung membangun universitas universitas atau
madrasah-madrasah.

Berdasarkan pada praktik ibadah para sufi tersebut sangat jelas bahwa praktik
tasawuf didasarkan pada kemurnian kehidupan, ketaatan yang ketat terhadap
hukum Islam (syari’ah) dan meniru pola kehidupan para nabi dalam Islam.
Melalui penyangkalan diri, introspeksi diri (muhasabah), hati-hati dalam bertindak
dan perjuangan mental, para sufi berharap dapat memurnikan diri dari segala
keegoisan diri, sehingga ia mampu mencapai derajat keikhlasan yang tinggi, dan
kemurnian niat yang mutlak dalam tindakan. Hal yang demikian sangat sesuai
dengan esensi ajaran Mansur al-Hallaj yang menekankan pada perbaikan moral
dan pada pengalaman persatuan dengan yang dicintai, yaitu Tuhan. Dengan
demikian, seorang sufi sebenarnya memberikan motivasi konstruktif dalam setiap
ajaran tentang kehidupannya dalam aspek hubungan dengan sesama (ibadah
ghairu mahdah) maupun dengan Tuhan (ibadah mahdah). Artinya, pola kehidupan
yang demikian akan mendorong manusia untuk terus hidup dinamis.

35
Dewan Redaksi Ensklopedi Islam, Ensklopedi Islam (Jakarta: PT.Ichtiar Bayu van Houve,
2003). hal 75.

23
Dalam aspek hubungan dengan sesama manusia (ibadah ghairu mahdah) dan
hubungan dengan Tuhan (ibadah mahdah), antara syari’ah dan tasawuf tidak akan
pernah bertolak belakang (disintegratif-dikhotomik), tapi bisa berdialektika dalam
bingkai integratif-monokhotomik, yaitu saling mengisi secara kontributif dalam
satu tujuan, yaitu Tuhan. Secara sosial – hal ini bisa dilihat sebagai gejala sosial-
keagamaan – kehidupan tasawuf merupakan suatu revolusiruhani, sehingga
seseorang yang benar-benar berjalan pada kehidupan tasawuf yang benarbenar
lurus, maka profesi dan karirnya tidak akan terhambat. Umar Ibn’ Abdul Aziz (61-
101 H./682-722 M.) adalah seorang sufi yang sukses sebagai pemimpin
negara, Imam Junayd al-Baghdadi (210-297 H./ 832-919 M.) sukses sebagai
seorang pengusaha botol, Mansur al-Hallaj (244-309 H./858-922 M.) sukses
sebagai pengusaha tenun.36 Di sisi lain, seperti yang disinggung pada awal tulisan
ini, bahwa tasawuf merupakan salah satu gerakan keagamaan yang muncul dan
berkembang diakibatkan oleh kondisi sosio-politik pada masa rezim pemerintahan
kaum Umawi di Damaskus; yang secara general mereka diklaim kurang religius
dalam praktik kehidupannya. Hal ini berarti tasawuf tidak hanya berorientasi pada
sisi transendental, akan tetapi juga tidak mengabaikan sisi yang bersifat
humanistik seperti sosial, politik, ekonomi, budaya, pendidikan sampai dakwah.

Begitu pula pada aspek hubungan dengan Tuhan, antara syari’ah dan tasawuf
tetap menjadi dua entitas yang saling mengisi (dialektika) dalam satu kesatuan
menuju Tuhan. Syari’ah merupakan bentuk yang bernuansa hukum (eksoteris,
seperti pemenuhan dalam syarat dan rukun dalam setiap ibadah, sedangkan
tasawuf merupakan bentuk tinjauan esoteris yang bisa diidentikkan dengan
konsep ihsan. Dengan dua dimensi ini akan semakin memantapkan kualitas dari
keimanan sosok muslim yang nantinya menemukan kebenaran yang hakiki
(Tuhan) melalui dua dimensi, yaitu rasional (eksoteris) dan rasa (esoteris). Oleh
sebab itu, para praktisi hukum agar tidak menggunakan metode rasional melibihi

36
Said Agiel Siradj, Ahlusunnah Wal Jama’ah dalam Lintas Sejarah, Jakarta: LKPSM, 2001, hal
97.

24
kapasitas atau jangkauannya. Di lain pihak, para fuqaha juga tidak berhak
mengklaim bahwa apa yang mereka temukan melalui metode rasional ini adalah
makna yang sesungguhnya dari hukum Tuhan dan merupakan kebenaran hakiki.
Karena jika demikian, mereka telah salah mengaplikasikan atau mungkin telah
menyalahgunakan keahlian dan metodologi yang mereka miliki. Apabila
menginginkan hal itu, mereka harus menggunakan, menerima, atau menyerahkan
pada metode yang sesuai untuk itu, yaitu metode penyingkapan kebenaran (kasyf).

3. Integrasi Fikih dan Tasawuf sebagai Modal Pengembangan Kepribadian


Muslim
Ada lima komponen yang menjadi dasar pengembangan kepribadian
Muslim. Dasar pertama adalah akidah yang benar, yang berdiri di atas keimanan
yang benar, yang mendorong pada tindakan yang lurus. Dasar kedua ada model
ideal yang menjadi uswah hasanah, teladan yang baik. Dasar ketiga adalah
kapasitas diri untuk menjadi manusia pembelajar yang mencintai ilmu dan
menerapkan ilmu dalam kehidupannya. Dasar keempat adalah ketekunan
beribadah yang menjadikan dirinya senantiasa membutuhkan Allah. Dasar kelima
adalah semangat berjihad yang mendorong seseorang untuk mewujudkan apa
yang menjadi cita-cita ideal dalam hidupnya.37

Rasulullah Saw. adalah figur sentral yang menjadi uswah hasanah, teladan
yang baik, bagi umat Islam dalam kehidupan sosial, intelektual, dan
penghayatan nilai-nilai spiritual.38 Beliau adalah pribadi yang mendapat
pendidikan langsung dari Allah dengan kualitas pendidikan yang terbaik.
Pada diri beliau terhimpun semua kebaikan yang disebutkan Alquran. Beliau
adalah Alquran hidup. Beliau memadukan model pengamalan agama yang

37
Ahmad Umar Hasyim, Menjadi Muslim Kaffah Berdasarkan Al-Qur`an dan Sunah Nabi
saw,diterjemahkan oleh Joko Suryanto dari buku, “Syahshiyah Muslim”, (Makkah: Maktabah
al-Tijariyyah), cet. ke-2, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2005), h. 13-64.
38
Alquran menyebutkan, "Sungguh telah ada pada diri Rasulullah
itu teladan yang baik bagi kamu (kaum Muslimin)". (Q.s. al-Ahzâb
[33]: 21)

25
memenuhi kebutuhan biologis dan sosial umat Islam secara legal formal yang
tercermin pada hukum fikih yang mencakup aspek ibadah dan muamalah,
tetapi pada waktu yang sama sangat memperhatikan pembersihan diri dari
segi kejiwaan yang meliputi penyucian jiwa, pengendalian diri, kekayaan batin,
keikhlasan lahir batin, khusyuk kepada Allah, kerendahan hati,
kedermawanan, dan pengabdian yang tulus.39

Dengan memadukan fikih dan tasawuf atau hukum dan moralitas dalam
menjalani kehidupan, maka akan melahirkan pribadi yang menjaga
keseimbangan antara kebutuhan kebendaan dan kebutuhan spiritual, antara
kehidupan individu dan kehidupan sosial, serta kehidupan yang berorientasi
duniawi dan kehidupan yang berorientasi ukhrâwî.

Seorang yang memadukan pengamalan syariah dengan tasawuf secara baik


dan benar akan menghindari paham spiritualisme yang tercermin dalam gaya
hidup berikut ini: (1) lebih mengutamakan dimensi batin dari-pada dimensi
lahir; (2) lebih memilih pola hidup asketis (zuhd) dengan khalwah, ‘uzlah, dan
tirakatan sebagaimana tergambar pada corak kehidupan para pertapa; (3) lebih
mengutamakan kepuasaan spiritual yang bersifat individual daripada tanggung
jawab sosial yang bersifat kolektif; dan (4) memandang segala bentuk kebendaan
(materi) sebagai sesuatu yang rendah, hina, dan sebagai faktor penghalang
pengembangan kualitas ruhani; serta (5) memandang aktivitas muamalah seperti
bekerja, berdagang, bertani dengan mempunyai isteri dan anak sebagai
tindak mencintai dunia yang hina. Dalam sejarah Islam, paham spiritualisme
tercermin antara lain pada gaya hidup asketis (zuhud) aliran Malamatiyyah.
Aliran ini adalah perkumpulan para sufi yang setiap saat dekat dengan Allah,
siang dengan berpuasa, malam dengan qiyâm al-layldengan banyak salat, zikir,
doa, serta dengan memperhatikan aspek batiniah mereka. Mereka suka
mencela diri mereka sendiri dengan perkataan dan perbuatan, menampilkan diri

39
Ahmad Umar Hasyim, Menjadi Muslim Kaffah Berdasarkan Al-Qur`an dan Sunah Nabi saw,h.
203 dan 568.

26
mereka kepada publik dengan segala penampilan yang mengesankan hina,
kumuh, dan miskin, serta berusaha menyembunyikan kebaikan mereka. Dengan
tindakan ini, mereka mengharapkan agar publik mencela penampilan luar
mereka, tetapi mereka mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan kualitas
ruhani di hadapan Allah.40

Pada waktu yang sama, seorang yang memadukan pengamalan fikih


dengan tasawuf akan menjauhi pola hidup hedonis. Menurut paham ini,
suatu perbuatan dinyatakan baik apabila perbuatan tersebut mendatangkan
kelezatan, kenikmatan, dan kepuasan secara biologis. Demikian sebaliknya,
suatu perbuatan dinyatakan buruk, apabila perbuatan itu tidak mendatangkan
kelezatan, kenikmatan dan kepuasan secara biologis. Jadi, kelezatan,
kenikmatan dan kepuasan biologis menjadi ukuran dalam menilai baik dan
buruknya suatu perbuatan. Aliran Hedonisme merupakan pemikiran filsafat
Epicurus (341–270 SM) yang ketika pertama dicetuskan menyebutkan bahwa
kelezatan, kenikmatan, dan kepuasan yang menjadi ukuran baik dan
buruknya suatu perbuatan itu tidak hanya secara biologis, tetapi juga secara
rohani dan intelektual. Namun, pada perkembangan selanjutnya hedonisme
hanya menilai baik dan buruknya suatu perbuatan dari segi kelezatan,
kenikmatan, dan kepuasan biologis saja. Menurut aliran ini, minuman keras,
berjudi, pornoaksi, pornografi, berbuat mesum, dan berzina adalah perbuatan baik,
apabila tindakan itu mendatangkan kelezatan, kenikmatan, dan kepuasan
biologis.41

40
Asep Usman Ismail, Apakah Wali itu Ada: Menguak Makan Kewalian Dalam Tasawuf
Pandangan Al-Hakim al-Tirmidzi dan Ibn Taymiyyah, cet. ke-1, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2005), h. 51. Lihat juga: Abû 'Abd al-Rahmân Ibn Husayn ibn Mûsâ al-Sulami, (ed),
Risâlâh al-Malamatiyyah,(Mesir, 1945), h. 89.
41
ayat Alquran yang menyatakan, "Tidakkah kamu memperhatikan bagai-mana Allah
telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan
cabangnya (menjulang) ke langit, (pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu
dengan seizin Tuhannya. Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka
selalu ingat."(Q.s. Ibrâhîm [14]: 24-25

27
28
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan seluruh definisi tasawuf yang telah dikemukaan di atas dapat
disimpulkan bahwa tasawuf di samping sebagai sarana untuk memperbaiki akhlak
agar jiwanya menjadi suci sebagai sarana untuk mendekatkan diri sedekat-dekanya
kepada Allah SWT. Sedangkan Syari’ah adalah hukum amaliyah yang berbeda di
kalangan umat manusia menurut perbedaan Rasul yang membawanya.

Integrasi keduanya bisa merenggang, namun akan terus diperjuangkan oleh


ulama hingga mendekat dan menyatu kembali secara simponi. Sunah Nabi
menegaskan, hanya dengan memadukan keduanya, kebaikan dunia dan akhirat akan
terwujud, karena keduanya memenuhi kebutuhan individu, sosial, dan spiritual
manusia secara terpadu.

29
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Umar Hasyim. 2005. Menjadi Muslim Kaffah Berdasarkan Al-Qur`an dan
Sunah Nabi saw. Yogyakarta: Mitra Pustaka.

Amir Syarifuddin.1993. Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam. Padang:


Angkasa Raya.

Hajjaj, Muhammad Fauqi.2011. Tasawuf Islam dan Akhlak.Jakarta : Amzah.

Hidayat, Nur. 2013. Akhlak Tasawuf . Yogyakarta : Penerbit Ombak.

Ismail, Asep Usman.Integrasi Syari’ah dengan Tasaewuf.Jakarta:Universitas


Paramedina Jakarta.

Khoiri Alwan. 2010. Integrasi Pengamalan Syari’ah dan Tasawuf. Yogyakarta: UIN
Sunan Kalijaga

Marzuki. Tinjauan Umum tentang Hukum Islam

Nur, Syaifan. 2017. Studi Tasawuf. Yogyakarta : FA Press.

Rijal Syamsul.2017.Syari’ah dan Tasawuf:Pergulatan Integratif Kebenaran dalam


Mencapai Tuhan. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.

Zaidan, Abdul Karim . 2008. Pengantar Studi Syariah : memahami syari’ah Islam/lebih
dalam. Jakarta : Robbani Press.

30

Anda mungkin juga menyukai