Disusun oleh:
2018/2019
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Alhamdulilah penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang
telah memberikan nikmat dan hidayah-Nya. Sholawat serta salam kita haturkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang syafaatnya selalu kita tunggu di Yaumul
Qiyamah nanti.
Terima kasih Penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ibrahim Malik, M.Ag. atas
bimbingannya sehingga Penulis dapat menyelesaikan Tugas Mata Kuliah Akhlak dan
Tasawuf ini tepat pada waktunya.
Tentunya dalam penulisan makalah berjudul “Tasawuf dan Syariah Suatu
Perpaduan” ini masih banyak kekurangan, sehingga penulis sadar akan pentingnya
kritik dan saran dari pembaca untuk bisa dijadikan koreksi terhadap makalah ini dan
sekaligus juga untuk menghasilkan tulisan yang lebih baik untuk kedepannya. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya. Bila ada kesalahan dan kekurangan dalam penyampaian dan penulisan,
penulis mohon maaf sebesar-besarnya.
Wassalaamu’alaikum wr.wb.
1
DAFTAR ISI
2
BAB I
PENDAHULUAN
1
Mahmud Junus, Tarjamah Al-Qur”an al-Karim, PT. Al-Maa’arif, Bandung, 1987, Surat
al-Naml, ayat 74.
3
Dengan demikian Islam menghendaki terwujudnya integrasi/keterpaduan
aspek-aspek amaliah lahiriah yang diatur dalam syari’ah dengan penghayatan
aspek-aspek amaliah batiniah yang diatur dalam tasawuf.
B. Tujuan
1. Apakah pengertian tasawuf ?
2. Apa pengertian syari’ah ?
3. Bagaimana keterpaduan tasawuf dan syari’ah?
C. Manfaat
1. Mengetahui pengertian tasawuf.
2. Mengetahui pengertian syari’ah
3. Mengetahui keterpaduan tasawuf dan syari’ah.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tasawuf
1. Definisi Tasawuf
Tasawuf berkaitan dengan masalah rohani dan batin manusia yang tak
dapat dilihat, sehingga ia amat sulit ditetapkan definisinya untuk
menyatakan apa hakekat dari tasawuf itu sendiri. Tasawuf termasuk masalah
kejiwaan, oleh karena itu ia dapat dipahami bukan mengenai hakekatnya,
melainkan gejala-gejala yang tampak dalam ucapan, cara, dan sikap hidup para
sufi. Para ahli tasawuf membuat suatu definisi tasawuf yang berbeda-beda
sesuai dengan pengalaman empirik masing-masing ahli dalam mengamalkan
tasawuf.
Tasawuf menurut Ma’ruf Al-Kurkhi2 adalah :
Yang artinya berpegang pada apa yang hakiki dan menjauhi sifat tama’
terhadap apa yang ada di tangan manusia.
Ahmad Al-Jariri3, ketika ditanya oleh seseorang tentang apa itu tasawuf,
Beliau menjawab dengan:
Yang artinya keluar dari budi perangai yang tercela dan masuk kepada budi
perangai yang terpuji .
2
Abu al-Qasim ‘Abd al-Karim bin Hawazan al-Qusyairi al-Naisaburi, al-Risalah
alQusyairiyyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf, Dar al-Khair, hal. 280.
3
Ibid.
5
Menurut Ab𝑢̅ Tur𝑎̅b an-Nakhsyab𝑖̅ sufi adalah dia yang hatinya tidak
terkotori oleh apapun dan dengan kesuacian hati itu, segala sesuatu menjadi
jernih.
Sahl Abdullah al-Tusturi mengatakan bahwa ”Sufi ialah orang yang
membersihkan dirinya dari kerusakan budi, selalu merenunginya secara
mendalam dan menilai budi mulia itu lebih berharga dari pada tumpukan emas
dan permata”4.
4
Hamka, Tasawuf Modern, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1990, hal. 13.
5
Ahmad Rifa’i, Ri’ayat al-Himmah, 1266 H, hal. 6
6
Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi, al-Ta’arruf li Madzhab Ahl al-Tasawuf, Cet. I,
Maktabah al-Kulliyyah, 1388 H, hal. 109.
7
Abu Nashr al-Sarraj al-Thusi, al-Luma’, ditahkik oleh ‘Abd al-Halim Mahmud dan Thaha
‘Abd al-Baqi surur, Dar al-Kutub al-Haditsah, Kairo, 1960, hal. 45-46
6
Mahabbat. Sufi adalah orang yang mencintai Allah SWT sampai mengalahkan
segalanya.
Dalam mendekatkan diri kepada Allah, Rabi’ah al-’Adawiyyah ingin
cintanya dibalas oleh Allah bahkan ia memohon agar dibukakan tabir
pemisah antara diri Rabi’ah al-’Adawiyyah dan Allah, sehingga mata hatinya
bisa melihat Allah. Hal ini bisa dipahami dari ungkapan cintanya sebagai berikut:8
Artinya:
Aku mencintai Engkau (Allah) dengan dua cinta
8
Thaha ‘abd al-Baqi Surur, Rabi’ah al-‘Adawiyyah wa al-Hayah al-Ruhiyyah fi al-Islam,
Dar al-Fikr, Kairo, 1957, hal. 79.
9
‘Abd al-Rahman Badawi, Syathahat al-Shufiyyah, Wukalat al-Mathba’ah, Kuwait, t.th., hal.
110. Lihat juga Al-Thusi, al-Luma’, Op.Cit., 45
7
adanya perkembangan definisi dari Abu Yazid10 yang terkenal dengan Sythahat-
nya, yaitu idzhar al-batin bil al-‘ibarat badalan min al-isyarat (mengungkapkan
secara lisan akan kmondisi batin atau mengungkapkan pengalaman spiritual yang
sebenarnya cukup diisyaratkan).
Ajaran tasawuf al-Junaid dikembangkan lagi oleh sufi terkenal. Husain Ibnu
Mansur al-Halaj yang mati dihukum gantung oleh ulama syari’ah tahun 309
H/922 M12, karena ia mengaku dirinya telah menyatu dengan tuhan, sebagaimana
terlihat dari ucapannya: ana Allah ... ana al-haq (aku adalahj Allah aku adalah
hyang maha benar).
10
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Markaz Dirasat ‘Arabiyyah, t.t.,
t.th., hal. 28
11
Al-Qusyairi, Op. Cit., hal. 54
12
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Op. Cit., hal. 87.
8
tasawuf ini tidak lagi menekan masalah akhlak melainkan sudah membahas
masalah hubungan langsung antara sufi dan tuhan, bahkan berlanjut kepada “
kemanunggalan “ antara sufi dan tuhan.
Berdasarkan seluruh definisi tasawuf yang telah dikemukaan di atas dapat
disimpulkan bahwa tasawuf di samping sebagai sarana untuk memperbaiki akhlak
agar jiwanya menjadi suci sebagai sarana untuk mendekatkan diri sedekat-
dekanya kepada Allah SWT.
Dalam beberapa makna tasawuf yang telah muncul terdapat dua hal pokok
yang menjadi inti dari tasawuf itu sendiri, yaitu: pertama, kesucian jiwa untuk
menghadap Tuhan sebagai Zat Yang Maha Suci; dan kedua, upaya pendekatan
diri secara individual kepada-Nya.13 Pada sisi faktual, makna atau definisi
tasawuf tidak akan pernah lepas dari dua inti pokok tersebut dan juga
diterjemahkan dalam bentuk aplikasi (perilaku) atau telah menjadi bagian dari
perilaku sufistik. Oleh sebab itu, ada kalangan yang mensinyalir batasan tasawuf
sebagai suatu nilai dan norma yang teraktualisasikan dalam bentuk perilaku. Ia
membatasi tasawuf sebagai “budi-pekerti” dan secara ilustratif ia mendeskripsikan
bahwa barangsiapa yang memberikan bekal budi-pekerti atasmu, berarti ia
memberikan bekal atas dirimu dalam tasawuf. Maka hamba yang jiwanya
menerima (perintah) untuk beramal, karena sesungguhnya mereka melakukan
suluk dengan nur (cahaya) Islam. Dan ahli zuhud yang jiwanya menerima
(perintah) untuk melakukan akhlaq (terpuji), karena mereka telah melakukan
suluk. dengan nur (cahaya) imannya.14 Konsekuensinya ketika batasan tersebut
menjadi suatu ketetapan, maka tasawuf merupakan bentuk jalan menuju pada
kebenaran hakiki (Tuhan) dengan jalan mengosongkan berbagai bentuk sifat
13
Asep Usman Ismail, 305.
14
Mahyuddin, 45
9
kefanaan15 yang pada gilirannya para sufi pada saat yang sama dikenal
sebagai ‘abid (para ahli ibadah) melalui syari’at, tarekat, hakekat, dan makrifat.
2. Sumber Tasawuf
Dalam sumber ajaran Islam, Al-Qur’an dan Hadist terdapat ajaran yang
membawa ajaran tasawuf. Paham bahwa Tuhan dekat dengan manusia, yang
merupakan ajaran dasar dalam mistisisme ternyata adaa di dalam Al-Qur’an dan
Hadist.seperti dalam QS. Al-Baqoroh: 115 dan 186.
115. Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu
menghadap di situlah wajah Allah [83]. Sesunggungnya Allah maha luas
(rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui16. (QS. Al-Baqoroh,2:115).
Hadis lain yang juga mempengaruhi adanya tasawuf adalahhadis qudsi. Yang
memiliki arti sebagai berikut:” aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi,
kemudian aku ingin kenal, maka Kuciptakanlah makhluk dan mereka-pun kenal
pada-Ku melalui diri-Ku.
15
Fana secara filosofis adalah meniadakan diri supaya “ada”. Menu untuk mencrut al-Qusyairi
untuk mencapai fanaa ada tiga tingkatan, yaitu: fana’ dari dirinya, fana’ dari sifatnya
karena baqa’nya sifat-sifat al-Haqq; (2) fana’nya dari sifat-sifat al-Haqq, karena
penyaksiaannya terhadap al-Haqq itu sendiri; dan(3) fana’nya dari melihat penyaksian
fana’, melalui peleburan dirinya dalam wujud al-Haqq. Lihat dalam Syamsun Ni’am, Cinta
Ilahi Perspektif Rabi’ah al-Adawiyah dan Jalaluddin Rumi(Surabaya: Risalah Gusti, 2001),
94-95
16
Quran digital
17
Alwan Khoiri dkk.Akhlak/Tasawuf,...,hlm. 34
10
Menurut hadis ini bahwa Tuhan dapat dikenal melalui makhluk-Nya, dan
pengetahuan yang lebih tinggi ialah mengetahui Tuhan melalui diri-Nya.
3. Tujuan Tasawuf
Sebelum dikatan tujuan tasawuf, terlebih dahulu dijelaskan pengertian “fana”
dan “makrifat”. Fana dalam arti filosofis adalah meniadakan diri upaya ada
menurut ilmu tasawuf, fana adalah leburnya pribadi pada kebakaan Allah, di mana
11
perasaan kemanusiaan lenyap diliputi rasa ketuhanan. Dengan fana hilanglah
sifat-sifat buruk (maksiat lahir dan maksiat batin), dan kekalnya sifat-sifat terpuji
(taat lahir dan taat batin). Adapun pengertian makrifat adalah pengetahuan hakiki
tentang Tuhan, atau melihat Tuhan dengan hati sanubari.
Tujuan tasawuf adalah “fana” untuk mencapai “makrifat”. Dalam hal ini ahli-
ahli tasawuf berkata:
Yang artinya: “ Tasawuf itu ialah mereka fana dari dirinya dan baqa dengan
Tuhannya, karena kehadiran hati mereka bersama Allah “.
4. Pembahasan Tasawuf
Hubungan antara akhlak dan tasawuf sangatlah erat bisa dikatakan seperti dua
sisi mata uang, karena untuk mencapai akhlak yang mulia diperlukan proses-
proses yang biassanya dilakukan oleh kalangan mutasawwifin (pengamal
tasawuf). Sementara bagian yang terpenting dalam tasawuf adalah pencapaian
akhlak yang mulia disamping hal-hal yang terkait dengan kebutuhan.
Akhlak tasawuf ini menjadi penting untuk menghindari kajian akhlak yang
hanya beradapada tataran pemikiran dan wacana yang tentu akan jauh untuk dapat
memberikan bekas pada mahasiswa menjadiorang-orang yang memiliki akhlak
12
mulia. Dilain pihak aklak tasawuf juga berguna untuk membatasi kajian salah satu
dalam dunia tasawuf, yaitu tasawuf akhlaki, yang berarti mengesampingkan
tasawuf falsafi.
B. Syari’ah
1. Pengertian Syariah
Secara etimologis (lughawi) kata ‘syariah’ berasal dari kata berbahasa Arab
alsyarī’at yang berarti ‘jalan ke sumber air’ atau jalan yang harus diikuti, yakni
jalan ke arah sumber pokok bagi kehidupan. Secara harfiah kata kerja syara’a
berarti menandai atau menggambar jalan yang jelas menuju sumber air. Dalam
pemakaiannya yang bersifat religius, kata syariah mempunyai arti jalan kehidupan
yang baik, yaitu nilai-nilai agama yang diungkapkan secara fungsional dan dalam
makna yang konkrit, yang ditujukan untuk mengarahkan kehidupan manusia.18
Alquran menggunakan kata syir’at dan syarī’at (QS. al-Māidat (5): 48 dan QS. al-
Jāsiyat (45): 18) dalam arti dīn atau agama dengan pengertian jalan yang telah
ditetapkan Tuhan bagi manusia atau dalam arti jalan yang jelas yang ditunjukkan
Tuhan kepada manusia. Syariah disamakan dengan jalan air mengingat bahwa
barang siapa yang mengikuti syariah, ia akan mengalir dan bersih jiwanya. Allah
menjadikan air sebagai penyebab kehidupan tumbuh-tumbuhan dan hewan
sebagaimana menjadikan syariah sebagai penyebab kehidupan jiwa manusia.19
18
Fazlur Rahman, Islam, Alih bahasa oleh Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka,1984, hal. 140.
19
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1, Jakarta: Logos, Cet. I, 1999, hal. 1.
13
Pada mulanya istilah syariah identik dengan istilah dīn atau agama. Dalam hal
ini syariah didefinisikan sebagai semua peraturan agama yang ditetapkan oleh
Alquran maupun Sunnah Rasul. Karena itu, syariah mencakup ajaran-ajaran
pokok agama (ushūl al-dīn), yakni ajaran-ajaran yang berkaitan dengan Allah dan
sifat-sifat-Nya, akhirat, dan yang berkaitan dengan pembahasan-pembahasan ilmu
tauhid yang lain. Syariah mencakup pula etika, yaitu cara seseorang mendidik
dirinya sendiri dan keluarganya, dasar-dasar hubungan kemasyarakatan, dan cita-
cita tertinggi yang harus diusahakan untuk dicapai atau didekati serta jalan untuk
mencapai cita-cita atau tujuan hidup itu. Di samping itu, syariah juga mencakup
hukum-hukum Allah bagi tiap-tiap perbuatan manusia, yakni halal, haram,
makruh, sunnah, dan mubah. Kajian tentang yang terakhir ini sekarang disebut
fikih.20 Jadi, secara singkat bisa dimengerti, semula syariah mempunyai arti luas
yang mencakup akidah (teologi Islam), prinsip-prinsip moral (etika Islam,
akhlak), dan peraturan-peraturan hukum (fikih Islam).
Pada abad kedua hijriah (abad ke-9 Masehi), ketika formulasi teologi Islam
dikristalkan untuk pertama kali dan kata syariah mulai dipakai dalam pengertian
yang sistematis, syariah dibatasi pemakaiannya untuk menyebut hukum
(peraturan-peraturan hukum) saja, sedang teologi dikeluarkan dari cakupannya.
Jadi, syariah menjadi konsep integratif tertinggi dalam Islam bagi mutakallimīn
(para teolog Muslim) dan fuqahā’ (para ahli hukum Islam) yang kemudian.
Pengkhususan syariah pada hukum ‘amaliyyat saja atau dibedakannya dari dīn
(agama), karena agama pada dasarnya adalah satu dan berlaku secara universal,
sedang syariah berlaku untuk masing-masing umat dan berbeda dengan umat-
umat sebelumnya.21 Dengan demikian, syariah lebih khusus dari agama, atau
20
Muhammad Yūsuf Mūsā, Al-Islām wa al-Hājat al-Insāniyyat Ilaih, Alih bahasa oleh A.Malik Madani dan
Hamim Ilyas dengan judul “Islam Suatu Kajian Komprehensif”, Jakarta: Rajawali Pers,Cet. I, 1988, hal. 131.
21
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Padang: Angkasa Raya, Cet. II,1993,
hal.14.
14
dengan kata lain agama mempunyai cakupan yang lebih luas dari syariah, bahkan
bisa dikatakan bahwa syariah merupakan bagian kecil dari agama.
Dari tiga definisi syariah di atas dapat dipahami bahwa syariah lebih khusus dari
agama. Syariah adalah hukum amaliyah yang berbeda di kalangan umat manusia
menurut perbedaan Rasul yang membawanya. Syariah yang datang kemudian
22
Mahmūd Syaltūt, Al-Islām Aqīdat wa Syarī’at, Kairo: Dār al-Qalam, Cet. III, 1966, hal. 12.
23
bid., hal.13-14.
15
mengoreksi dan membatalkan syariah yang lebih terdahulu, sedangkan dasar
agama, yaitu aqidah (tauhid), tidak berbeda di antara para rasul dan umatnya.24
2. Karakteristik Syariah Islam
Syari’at Islam memiliki karakteristik yang membedakanya dari selainya.diantara
karakteristiknya yang terpenting adalah : bersumber dari sisi Allah, balasanya
diberikan di dunia dan di Akhirat, menyakup semua tempat dan waktu, dan
meliputi semua urusan kehidupan.
a. Syariat Bersal dari Sisi Allah
Sumber syariat Islam adalah Allah. Syari’at adalah wahyu Allah kepada
Rasul-Nya Muhammad SAW, dengan lafazh dan makna, yaitu Al-Quran, atau
dengan makna tanpa lafazh, yaitu Sunnah. Syari’at dengan demikian berbeda
secara mendasar dari seluruh hukum positif, karena hukum ini bersumber dari
manusia, sedangkan sumber syariat Islam adalah Tuhan semua manusia.
b. Sanksi Dunia dan Akhirat dalam Syariat
Di antara karakteristik undang-undang adalah disertakanya sanksi yang
dijatuhkan pemerintah saat diberlakukan pada orang yang melanggar hukum-
hukumnya.25 Sanksi bersifat pidana dalam bentuk siksaan fisik atau membatasi
kebebasan, atau mengurangi harta benda berupa denda. Dan terkadang sanksi
ini bersifat perdata melalui pemaksaan orang yang berhutang untuk
melaksanakan tanggung jawabmaterinya atau dengan ganti rugi harta., atau
membatalkan kesepakatan yang bertentangan dengan undang-undang dengan
segala implikasinya. Hanya saja, sanksi dengan dua bentuknya itu merupakan
sanksi duniawi yang mengenai manusia dimasa hidupnya, bukan di akhiratnya,
karena negara tidak dapat menerapkanya sanksi kecuali yang dapat
dilaksanakan di dunia.
Syariat islam sejalan dengan hukum positif dalam hal bahwa kaidah-
kaidah dan hukum-hukumnya disertai dengan sanksi yang dijatuhkan pada para
pelanggar. Namun, syariat Islam berbeda dari segi balasan akhirat.
24
Muhammad Yūsuf Mūsā, Al-Islām ..., hal. 131.
25
As-sanhuri, Ushul al-qanun, hal. 13.
16
c. Syari’at Berlaku Universal dan Abadi
Syariat Islam berlaku universal meliputi semua manusia di setiap tempat
dan disetiap waktu. Syariat ini bersifat abadi dan tidak mengalami perubahan
atau penghapusan, karena yang menghapus harus sama kuat dengan yang
dihapus, atau lebiih kuat darinya. Syariat yang merupakan ketentuan dari Allah
tidak dapat dihapus kecuali dengan ketentuan syariat yang lain yang datang
dari Allah. Di sisi lain, syariat islam adalah penutup seluruh syariat, dan
Muhammad SAW adalah penutup para nabi.
26
Ahmad amin, Dzhur al-Islam, Jilid lI, Cet. IV, al-Nahdah al-Misriyyah, Mesir, 1996, hal.61.
27
Ahmad Rifa’I, Husn al-Mithalab, Bab Tasawuf, hal. 35.
17
perwujudan kesadaran iman yang mendalam, yakni Syari’ah mencerminkan
perwujudan pengamalan iman pada aspek lahiriah sedangkan tasawuf
mencerminkan perwujudan pengamalan iman pada aspek batiniah. Dengan
demikian seseorang baru dapat dipandang sebagai Muslim sejati, jika ia telah
mampu mengamalkan tuntunan ilmu syari’ah dan ilmu tasawuf secara
serempak. Oleh karena itu, merupakan suatu kewajiban setiap Muslim
Mukallaf untuk mengamalkan tuntunan kedua ilmu tersebut, yakni ilmu
syari’ah dan ilmu tasawuf.
2. Al-Qusyairi28 menjelaskan:
28
Al-Qusyairi, Op.Cit, hal.82.
29
Ibn ‘Ujaibah, Op.Cit, hal.5.
18
Artinya: Siapa saja yang mengamalkan tasawuf tanpa mengamalkan fiqh
berarti ia telah berbuat zindik, siapa saja yang mengamalkan fiqh tanpa
mengamalkan tasawuf berarti ia telah berbuat fasik dan siapa saja yang
mengamalkan keduanya, itulah orang yang ahli haqiqah”.
5. Al-Ghazali30 mengatakan:
30
Al-ghazali, Op.Cit. hal 52. Lihat juga Muhammad Nawawi al-Jawi, Maraqi Al-Ubudiyyat,
Pustaka al-Alawiat, Semarang, hal 5.
31
Muhammad Ibn ‘ Allan , Dalil al-Falihin, Juz 1, hal 33.
32
Ahmad Rifa’I, Bayan, 1252 H, hal 31.
19
seperti buah kelapa. Syari’ah sebagai kulit kelapa secara utuh, Thariqah
sebagai isi yang terdapat di dalam kelapa, dan Haqiqah sebagai minyak atau
sarinya.
Berdasarkan pendapat-pendapat ulama tersebut di atas, maka terlihat
secara jelas bahwa syari’ah dan tasawuf merupakan dua ilmu yang saling
berhubungan sangat erat. Pengamalan kedua ilmu tersebut merupakan
perwujudan kesadaran iman yang mendalam, yakni syari’ah mencerminkan
perwujudan pengamalan iman pada aspek lahiriah sedangkan tasawuf
mencerminkan perwujudan pengamalan iman pada aspek batiniah. Dengan
demikian antara Syari’ah dan Tasawuf merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisah-pisahkan. Seseorang baru dapat dipandang sebagai Muslim sejati,
jika ia telah mampu mengintegrasikan tuntunan ilmu syari’ah dan ilmu tasawuf
dalam mengamalkan ajaran Islam.
Pada dasarnya al-Qur’an dan al-Hadits mengandung ilmu lahir dan ilmu
batin. Oleh karena itu, syari’ah pada mulanya juga mengandung ilmu lahir dan
ilmu batin. Namun dalam perkembangan selanjutnya syari’ah yang
mengandung kedua unsur, baik ilmu lahir maupun ilmu batin itu, kemudian
mengadakan semacam spesialisasi sehingga syari’ah lebih menekankan pada
ilmu lahir, sedangkan ilmu batin dikembangkan oleh ilmu tasawuf. Terjadinya
pengembangan spesialisasi kedua ilmu ini disebabkan oleh adanya perbedaan
kecend erungan antara keduanya, yakni syari’ah yang mengambil bentuk fiqh
cenderung menggunakan ratio dan logika akal dalam membahas dalil-dalil al-
Qur’an dan al-Hadits untuk membuat ketetapan hukum, sedangkan tasawuf
cenderung menggunakan rasa (dzauq) dalam mengamalkan al-Qur’an dan al-
Hadits.
Berkaitan dengan pengembangan dan spesialisasi ilmu-ilmu agama Islam ini,
al-Taftazani33 memberi komentar bahwa: ilmu kalam, ilmu fiqh, dan ilmu
tasawuf masing-masing berdiri sendiri, akibatnya ada upaya spesialisasi
33
Al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Op.cit., hal 16.
20
ilmiah yang lebih rinci sejak abad ke 3 H. Setiap disiplin ilmu kemudian
menempuh jalan masing- masing dengan prinsip dan metode sendiri-sendiri,
yang berakibat satu disiplin ilmu dengan lainnya pun menjadi berbeda objek,
metode, dan sasarannya. Yang berkaitan dengan akidah disebut dengan ilmu
kalam, yang berkaitan dengan ibadah lahiriah disebut dengan ilmu fiqh, dan
yang berkaitan dengan ibadah batiniah (kejiwaan) disebut dengan ilmu
tasawuf.
Jika dilihat dari segi pengembangan ilmu, maka spesialisasi ilmu-ilmu agama
Islam sebagaimana tersebut di atas sangat menguntungkan, akan tetapi jika
dilihat dari segi masyarakat Islam sebagai suatu umat, maka spesialisasi
tersebut sangat meresahkan dan merisaukan umat Islam, karena hal tersebut
dapat menyebabkan polarisasi umat. Sehingga sering terjadi perselisihan,
perdebatan, dan saling tuduh menuduh kafir (kafir mengkafirkan) atau saling
tuduh menuduh zindiq (zindiq mengzindiq-kan) di kalangan umat Islam.
Mereka memperselisihkan tentang mana yang benar, apakah ibadah lahiriah
atau ibadah batiniah, dan mana yang lebih utama, apakah ibadah lahiriah atau
ibadah batiniah.
Sebagian ulama tidak menghendaki adanya polarisasi umat Islam dan
tidak menghendaki terjadinya keresahan di kalangan umat Islam dalam
mewujudkan ibadahnya kepada Allah SWT dengan jalan mengintegrasikan /
memadukanpengamalan syari’ah (ilmu lahir) dengan pengamalan tasawuf
(ilmu batin) karena kedua ilmu tersebut merupakan petunjuk yang wajib diikuti
bagi setiap Muslim. Hal ini terlihat dari ajarannya, bahwa baik ilmu lahir
maupun ilmu batin keduanya samasama berfungsi sebagai petunjuk bagi umat
Islam dalam melaksanakan ibadahnya kepada Allah SWT semata.
2. Integratif – Monokhotomik
Salah satu tokoh sufi, Abu al-Ali al-Daqqaq (w. 406 H./1015 M.) dan juga
Hujjatul Islam yaitu al-Ghazali memberi penjelasan yang cukup menarik tentang
konsep integralistik ini dengan nash normatif QS. al-Fatihah ayat 4 dan 5. Al-
21
Ghazali memandang seluruh ayat dalam al-Fatihah merupakan ayat-ayat
jawahir(mutiara) yang mengandung nilai-nilai uluhiyah yang tinggi. Pada nash
normatif bahwa “Iyya ka na’budu(Hanya kepada-Mu kami menyembah)” (QS. al-
Fatihah: 4) merupakan bentuk manifestasi dari syari’ah sebagai dimensi eksoteris;
atau merupakan bentuk ubudiyah hamba dalam situasi fana’. Sedangkan untuk
mengisi dimensi esoteris sebagai perwujudan proses pembersihan jiwa dari sifat-
sifat kemanusiaan (al-nasut) disandarkan pada “Iyya ka nasta’iin(Hanya kepada-
Mu kami memohon)” (QS al-Fatihah: 5); ayat ini merupakan bentuk manifestasi
dari pengakuan (penetapan) dimensi hakikat (esoteris). Pada arus dua dimensi
(QS. al-Fatihah ayat 4 dan 5) ini, dimensi eksoteris (syari’ah) adalah dimensi
esoteris (hakikat) dari sisi mana kewajiban diperintahkan, begitu pula sebaliknya
dimensi esoteris (hakikat) pada polanya merupakan dimensi eksoteris (syari’ah)
dari sisi mana kewajiban (bentuk ritual-ritual seperti ibadah shalat) diperintahkan
bagi para sufi.34 Dengan demikian, dua ayat ini memberikan ruang untuk seorang
hamba masuk dan tenggelam dalam kesatuan penyaksian, yang jika meminjam
istilah dari Yazid al-Busthami (804-875 M.) disebut sebagai al-wahdatul al-
syuhud.
Pada tataran ini, para sufi yang terlibat dalam berbagai praktik ritual (dimensi
eksoteris/syari’ah) dimaksudkan membantu mereka untuk mewujudkan penyatuan
dengan Tuhan, seperti bentuk-bentuk yang berbeda dari doa ritual (zikir yang
secara harfiah berarti mengingat), termasuk pembacaan nama-nama Allah. Para
sufi mengembangkan praktik-praktik keagamaan yang fokus utamanya pada
pengontrolan diri secara ketat yang memungkinkan wawasan psikologis dan
mistis serta hilangnya diri, dengan tujuan akhir dari kesatuan mistik dengan
Tuhan. Disebabkan tujuan tasawuf yang demikian, maka ada sebagian kalangan
yang mengklaim bahwa tasawuf lepas dari alur tujuan syari’ah sebagai bentuk
tujuan melaksanakan perintah dan menjauhi segala bentuk larangan Tuhan.
Padahal melalui dimensi eksoteris (syari’ah), sosok seorang sufi mampu untuk
34
Imam Al Ghazali, Jawahirul Quran: Permata Ayat-ayat suci. hal 223.
22
membersihkan sifat-sifat kemanusiaan (al-nasut) yang akhirnya diisi dengan sifat-
sifat ketuhanan (al-lasut).35
Dari dasar itu pula muncul juga suatu kritik bahwa tasawuf hanya bersifat god
oriented an sich yang akhirnya meninggalkan – baca acuh tak acuh – terhadap
persoalan dunia. Namun, kritik tersebut sangat tidak mendasar jika dilihat dari sisi
historisnya banyak kalangan sufi yang aktivitasnya berorientasi pada hal-hal yang
bersifat profan, seperti yang terlihat pada Sufisme Persian pada periode Seljuk
yang aktivitas sufi banyak yang dilakukan ke ranah politik, dan sebagian kecil
bidang istishab; ar-Raniry sebagai mufti dan Hamzah Fansuri sebagai pedagang.
Bahkan ada juga sufi yang tidak menjauhi kehidupan duniawi (profan). Mereka
memberikan sumbangan yang besar dalam pengembangan berbagai bidang
kehidupan. Dalam pendidikan, para sufi seperti Khwajah Nizam al-Mulk, wazir
Dinasti Saljuk, berpartisipasi langsung membangun universitas universitas atau
madrasah-madrasah.
Berdasarkan pada praktik ibadah para sufi tersebut sangat jelas bahwa praktik
tasawuf didasarkan pada kemurnian kehidupan, ketaatan yang ketat terhadap
hukum Islam (syari’ah) dan meniru pola kehidupan para nabi dalam Islam.
Melalui penyangkalan diri, introspeksi diri (muhasabah), hati-hati dalam bertindak
dan perjuangan mental, para sufi berharap dapat memurnikan diri dari segala
keegoisan diri, sehingga ia mampu mencapai derajat keikhlasan yang tinggi, dan
kemurnian niat yang mutlak dalam tindakan. Hal yang demikian sangat sesuai
dengan esensi ajaran Mansur al-Hallaj yang menekankan pada perbaikan moral
dan pada pengalaman persatuan dengan yang dicintai, yaitu Tuhan. Dengan
demikian, seorang sufi sebenarnya memberikan motivasi konstruktif dalam setiap
ajaran tentang kehidupannya dalam aspek hubungan dengan sesama (ibadah
ghairu mahdah) maupun dengan Tuhan (ibadah mahdah). Artinya, pola kehidupan
yang demikian akan mendorong manusia untuk terus hidup dinamis.
35
Dewan Redaksi Ensklopedi Islam, Ensklopedi Islam (Jakarta: PT.Ichtiar Bayu van Houve,
2003). hal 75.
23
Dalam aspek hubungan dengan sesama manusia (ibadah ghairu mahdah) dan
hubungan dengan Tuhan (ibadah mahdah), antara syari’ah dan tasawuf tidak akan
pernah bertolak belakang (disintegratif-dikhotomik), tapi bisa berdialektika dalam
bingkai integratif-monokhotomik, yaitu saling mengisi secara kontributif dalam
satu tujuan, yaitu Tuhan. Secara sosial – hal ini bisa dilihat sebagai gejala sosial-
keagamaan – kehidupan tasawuf merupakan suatu revolusiruhani, sehingga
seseorang yang benar-benar berjalan pada kehidupan tasawuf yang benarbenar
lurus, maka profesi dan karirnya tidak akan terhambat. Umar Ibn’ Abdul Aziz (61-
101 H./682-722 M.) adalah seorang sufi yang sukses sebagai pemimpin
negara, Imam Junayd al-Baghdadi (210-297 H./ 832-919 M.) sukses sebagai
seorang pengusaha botol, Mansur al-Hallaj (244-309 H./858-922 M.) sukses
sebagai pengusaha tenun.36 Di sisi lain, seperti yang disinggung pada awal tulisan
ini, bahwa tasawuf merupakan salah satu gerakan keagamaan yang muncul dan
berkembang diakibatkan oleh kondisi sosio-politik pada masa rezim pemerintahan
kaum Umawi di Damaskus; yang secara general mereka diklaim kurang religius
dalam praktik kehidupannya. Hal ini berarti tasawuf tidak hanya berorientasi pada
sisi transendental, akan tetapi juga tidak mengabaikan sisi yang bersifat
humanistik seperti sosial, politik, ekonomi, budaya, pendidikan sampai dakwah.
Begitu pula pada aspek hubungan dengan Tuhan, antara syari’ah dan tasawuf
tetap menjadi dua entitas yang saling mengisi (dialektika) dalam satu kesatuan
menuju Tuhan. Syari’ah merupakan bentuk yang bernuansa hukum (eksoteris,
seperti pemenuhan dalam syarat dan rukun dalam setiap ibadah, sedangkan
tasawuf merupakan bentuk tinjauan esoteris yang bisa diidentikkan dengan
konsep ihsan. Dengan dua dimensi ini akan semakin memantapkan kualitas dari
keimanan sosok muslim yang nantinya menemukan kebenaran yang hakiki
(Tuhan) melalui dua dimensi, yaitu rasional (eksoteris) dan rasa (esoteris). Oleh
sebab itu, para praktisi hukum agar tidak menggunakan metode rasional melibihi
36
Said Agiel Siradj, Ahlusunnah Wal Jama’ah dalam Lintas Sejarah, Jakarta: LKPSM, 2001, hal
97.
24
kapasitas atau jangkauannya. Di lain pihak, para fuqaha juga tidak berhak
mengklaim bahwa apa yang mereka temukan melalui metode rasional ini adalah
makna yang sesungguhnya dari hukum Tuhan dan merupakan kebenaran hakiki.
Karena jika demikian, mereka telah salah mengaplikasikan atau mungkin telah
menyalahgunakan keahlian dan metodologi yang mereka miliki. Apabila
menginginkan hal itu, mereka harus menggunakan, menerima, atau menyerahkan
pada metode yang sesuai untuk itu, yaitu metode penyingkapan kebenaran (kasyf).
Rasulullah Saw. adalah figur sentral yang menjadi uswah hasanah, teladan
yang baik, bagi umat Islam dalam kehidupan sosial, intelektual, dan
penghayatan nilai-nilai spiritual.38 Beliau adalah pribadi yang mendapat
pendidikan langsung dari Allah dengan kualitas pendidikan yang terbaik.
Pada diri beliau terhimpun semua kebaikan yang disebutkan Alquran. Beliau
adalah Alquran hidup. Beliau memadukan model pengamalan agama yang
37
Ahmad Umar Hasyim, Menjadi Muslim Kaffah Berdasarkan Al-Qur`an dan Sunah Nabi
saw,diterjemahkan oleh Joko Suryanto dari buku, “Syahshiyah Muslim”, (Makkah: Maktabah
al-Tijariyyah), cet. ke-2, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2005), h. 13-64.
38
Alquran menyebutkan, "Sungguh telah ada pada diri Rasulullah
itu teladan yang baik bagi kamu (kaum Muslimin)". (Q.s. al-Ahzâb
[33]: 21)
25
memenuhi kebutuhan biologis dan sosial umat Islam secara legal formal yang
tercermin pada hukum fikih yang mencakup aspek ibadah dan muamalah,
tetapi pada waktu yang sama sangat memperhatikan pembersihan diri dari
segi kejiwaan yang meliputi penyucian jiwa, pengendalian diri, kekayaan batin,
keikhlasan lahir batin, khusyuk kepada Allah, kerendahan hati,
kedermawanan, dan pengabdian yang tulus.39
Dengan memadukan fikih dan tasawuf atau hukum dan moralitas dalam
menjalani kehidupan, maka akan melahirkan pribadi yang menjaga
keseimbangan antara kebutuhan kebendaan dan kebutuhan spiritual, antara
kehidupan individu dan kehidupan sosial, serta kehidupan yang berorientasi
duniawi dan kehidupan yang berorientasi ukhrâwî.
39
Ahmad Umar Hasyim, Menjadi Muslim Kaffah Berdasarkan Al-Qur`an dan Sunah Nabi saw,h.
203 dan 568.
26
mereka kepada publik dengan segala penampilan yang mengesankan hina,
kumuh, dan miskin, serta berusaha menyembunyikan kebaikan mereka. Dengan
tindakan ini, mereka mengharapkan agar publik mencela penampilan luar
mereka, tetapi mereka mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan kualitas
ruhani di hadapan Allah.40
40
Asep Usman Ismail, Apakah Wali itu Ada: Menguak Makan Kewalian Dalam Tasawuf
Pandangan Al-Hakim al-Tirmidzi dan Ibn Taymiyyah, cet. ke-1, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2005), h. 51. Lihat juga: Abû 'Abd al-Rahmân Ibn Husayn ibn Mûsâ al-Sulami, (ed),
Risâlâh al-Malamatiyyah,(Mesir, 1945), h. 89.
41
ayat Alquran yang menyatakan, "Tidakkah kamu memperhatikan bagai-mana Allah
telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan
cabangnya (menjulang) ke langit, (pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu
dengan seizin Tuhannya. Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka
selalu ingat."(Q.s. Ibrâhîm [14]: 24-25
27
28
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan seluruh definisi tasawuf yang telah dikemukaan di atas dapat
disimpulkan bahwa tasawuf di samping sebagai sarana untuk memperbaiki akhlak
agar jiwanya menjadi suci sebagai sarana untuk mendekatkan diri sedekat-dekanya
kepada Allah SWT. Sedangkan Syari’ah adalah hukum amaliyah yang berbeda di
kalangan umat manusia menurut perbedaan Rasul yang membawanya.
29
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Umar Hasyim. 2005. Menjadi Muslim Kaffah Berdasarkan Al-Qur`an dan
Sunah Nabi saw. Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Khoiri Alwan. 2010. Integrasi Pengamalan Syari’ah dan Tasawuf. Yogyakarta: UIN
Sunan Kalijaga
Zaidan, Abdul Karim . 2008. Pengantar Studi Syariah : memahami syari’ah Islam/lebih
dalam. Jakarta : Robbani Press.
30