Anda di halaman 1dari 21

EPISTIMOLOGI

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu Bapak Mukallam

Disusun oleh

Kamarohuda (16600003)

Monica Arsita Dewi (16600057)

Ika Nurvitasari (16600061)

Maya Kholida (16600075)

Sarngi Rizqia (16600077)

Irvan Sulistiawan (16600079)

M.Fauzan Rikhie S (16600086)

PROGRAM STUDI PENDIIDKAN MATEMATIKA

\FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA

2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt, sebab karena rahmat dan nikmat-
Nyalah kami dapat menyelesaikan sebuah tugas makalah yang diberikan olehBapak
Mukallam. selaku dosen Pembimbing mata kuliah Filsafat Ilmu.

Pembuatan makalah ini bertujuan untuk menyelesaikan tugas dari dosen yang
bersangkutan agar memenuhi tugas yang telah ditetapkan, dan juga agar setiap mahasiswa
dapat terlatih dalam pembuatan makalah. Makalah ini berjudul “Epistimologi”.

Adapun sumber-sember dalam pembuatan makalah ini, didapatkan dari beberapa


buku yang membahas tentang materi yang berkaitan dan juga melalui media internet. Kami
sebagai penyusun makalah ini, sangat berterima kasih kepada penyedia sumber walau tidak
dapat secara langsung untuk mengucapkannya.

Kami menyadari bahwa setiap manusia memiliki keterbatasan, begitu pun dengan
kami yang masihmahasiswa. Dalam pembuatan makalah ini mungkin masih banyak sekali
kekurangan-kekurang yang ditemukan, oleh karena itu kami mengucapkan mohon maaf yang
sebesar-besarnya. Kami mangharapkan ada kritik dan saran dari para pembaca sekalian dan
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya.

Yogyakarta, 02 Maret 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................................i

KATA PENGANTAR.............................................................................................................ii

DAFTAR ISI...........................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah.............................................................................................1


B. Rumusan Masalah.......................................................................................................1
C. Tujuan...........................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................2

A. Epistimologi Ilmu........................................................................................................2
1. Objek Filsafat........................................................................................................2
2. Cara Memperoleh pengetahuan..........................................................................2
3. Teori Tentang Kebenaran....................................................................................3
B. Ruang Lingkup Epistimologi.....................................................................................4
C. Epistimologi Sains.......................................................................................................4
1. Objek pengetahuan sains.....................................................................................5
2. Cara memperoleh pengetahuan sains.................................................................5
3. Mengukur benar tidaknya pengetahuan sains...................................................8
D. Epistimologi Filsafat..................................................................................................10
1. Objek fisafat.........................................................................................................10
2. Cara memperoleh pengetahuan filsafat.............................................................10
3. Ukuran kebenaran pengetahuan filsafat............................................................13
E. Epistimologi pengetahuan Mistik.............................................................................14
1. Objek pengetahuan mistik..................................................................................14
2. Cara memperoleh pengetahuan mistik..............................................................14
3. Ukuran kebenara pengetahuan mistik...............................................................15
F. Urgensi Epistimologi Islam.......................................................................................15

BAB III PENUTUP..........................................................................................................17

A. Kesimpulan.................................................................................................................17
B. Saran............................................................................................................................17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berbicara tentang filsafat ilmu, pasti akan menjumpai istilah epistimologi,
sebab manusia tidak hanya memerlukan kebutuhan pokok saja, Akan tetapi manusia
juga memerlukan informasi untuk mengetahui keadaan di lingkungan sekitar mereka.
Dalam upaya untuk memperoleh informasi, manusia seringkali melakukan
komunikasi ataupun cara-cara lain yang bisa digunakan. Salah satu informasi yang
didapat dari komunikasi adalah pengetahuan. Pengetahuan sangat diperlukan bagi
kehidupan manusia karena dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi
kehidupan. Dalam mencari pengetahuan, tak jarang manusia harus mempelajari
Epistemologi. Epistemologi disebut juga sebagai teori pengetahuan karena mengkaji
seluruh tolak ukur ilmu-ilmu manusia, termasuk ilmu logika dan ilmu-ilmu manusia
yang bersifat gamblang, merupakan dasar dan pondasi segala ilmu dan pengetahuan.
Dari sebab itu, dalam kesempatan ini kami akan membahas tentang
“Epistemologi Ilmu” secara ringkas, dengan harapan agar mudah di pahami dan
dimengerti.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Epistimologi Ilmu?
2. Apa saja ruang lingkup Epistimologi?
3. Apa itu Epistimologi Sain?
4. Apa itu Epistimologi Filsafat?
5. Apa itu Epistimologi Mistik?
6. Urgensi Epistimologi Islam?

C. Tujuan
1. Memahami arti dari Epistimologi
2. Dapat mengetahui ruang lingkup epistimologi
3. Dapat mengetahui urgensi epistimologi islam
4. Dapat mengetahui bagian-bagian dari epistimologi

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Epistimologi Ilmu

Epistimologi berasal dari bahasa Yunani, episteme (pengetahuan, ilmu


pengetahuan) dan logos (ilmu, informasi). Dalam bahasa Yunani, episteme berarti
knowloge atau science. Epistimologi biasa didefinisikan sebagai teori tentang
pengetahuan (theory of knowlege). Epistemologi juga dipahami sebagai pengetahuan
tentang pengetahuan. Epistemologi juga didefinisikan sebagai; the theory of the
nature of knowing and the means by which we know. Akan tetapi secara umum
epistemologi dimaknai sebagai cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode,
dan batasan pengetahuan manusia.

Menurut Qodry Azizy, kata know (tahu) di sini sangat berhubungan dengan
truth (kebenaran) dalam pembahasan tentang filsafat ilmu. Itu berarti setiap
pengetahuan yang diperoleh dari proses “tahu” dengan memanfaatkan akal (reason)
dan indera atau rasa (senses) dapat mengantar manusia mencapai kebenaran.

Epistemologi sebagai theory of knowledge dapat dipahami cabang filsafat


yang berususan dengan hakikat (nature) dan lingkup pengetahuan, pranggapan-
pranggapan (presuppositions) dan dasar-dasarnya serta reliabilitas umum yang dapat
digunakan untuk mengklaim bahwa sesuatu itu adalah ilmu pengetahuan. Dalam
sejarah awalnya, pengetahuan itu dikembangkan filsuf dengan memanfaatkan dua
sasaran, yakni reason dan sense. Dari dua sarana inilah pengetahuan terus
dikembangkan dan diproduksi. Di kalangan filsuf juga memahami bahwa
pengetahuan itu bermula dari sikap skeptis.

Beberapa pertanyaan Plato itulah yang selanjutnya menginspirasi pertanyaan


lanjutan dalam epistemologi, seperti:

1. Apa yang dapat saya ketahui?


2. Bagaimana manusia dapat megetahui sesuatu?
3. Dari mana pengetahuan itu dapat diperoleh?
4. Bagaimana validitas pengetahuan itu dapat dinilai?
5. Apakah perbedaan pengetahuan a priori (pengetahuan pasca pengetahuan) dan
pengetahuan a posteriori (pengetahuan pasca pengalaman)?

2
6. Apakah perbedaan kepercayaan, pengetahuan, pendapat, fakta, kenyataan,
kesalahan, bayangan, gagasan, kebenaran, kebolehjadian, dan kepastian?
Secara lebih spesifik yang dimaksud epistemologi dalam kaitan dengan filsafat
ilmu adalah metode ilmiah. Sejalan dengan pendapat Ahmad Tafsir yang mengatakan
bahwa telaah epistemologi selalu berkaitan dengan tiga persoalan, yakni objek filsafat
(yang dipikirkan), cara memperoleh pengetahuan (metode), dan teori tentang
kebenaran. Tujuan tahapan kegiatan adalah agar manusia dapat memperoleh
penegetahuan yang benar atau shahih.

1. Objek Filsafat
Persoalan pertama dari persoalan epistemology yakni objek filsafat. Objek ini
bergantung pada apa yang dipikirkan. Jika yang dipikirkan adalah ilmu
pengetahuan yang ilmiah maka berarti objeknya adalah filsafat ilmu. Jika yang
dipikirkan adalah etika maka berarti objeknya adalah filsafat etika dan begitu
seterusnya. Pembahasan tentang cabang-cabang filsafat sejatinya juga
menunjukkan bahwa disiplin itulah yang dipikirkan filsafat.
2. Cara memperoleh pengetahuan (metode)
Persoalan kedua epistemologi dengan cara memperoleh pengetahuan yang
dimaksudkan pengetahuan dalam hal ini adalah jenis pengetahuan yang bersifat
khusus dan yang dapat diandalkan. Jenis pengetahuan ini dinamakan ilmu
pengetahuan ilmiah atau disingkat dengan ilmu. Oleh karena pengetahuan yang
harus diperoleh bersifat ilmiah, maka jelas membutuhkan metode tertentu.
Pengertian metode dalam hal ini adalah prosedur yang berupa serangkaian cara
dan langkah tertentu. Dalam penegertian yang popular, serangkaian cara dan
metode tertentu itu disebut metode ilmiah (scientific method) atau metode
penyelidikan (method of inquiry).
3. Teori tentang kebenaran
Persoalan ketiga epistemologi berkaitan dengan berbagai teori tentang
kebenaran. Misalnya dipertanyakan apa yang dimaksud dengan kebenaran (truth),
apa kriterianya, dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan yang benar.
Pemikir terkemuka dari rasionalisme adalah Parminedes , Plato Descartes,
Spinoza, dan Leibniz. Sedang tokoh utama empirisme adalah Aristoteles, Francis
Bacon, Locke, Barkeley dan Hume. Sementara pengembang teori pragmatism
adalah William James, Charles S. Pierce, dan filosof Britania C. S. Schiller.

3
Pengertian lain, mengenai epistemologi menyatakan bahwa epistimologi
merupakan pembahasan mengenai bagaimana mendapatkan pengetahuan atau lebih
menitikberatkan pada sebuah proses pencarian ilmu: apakah sumber-sumber
pengetahuan? apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Sampai
tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia (William
S.Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian, 1965, dalam Jujun S.Suriasumantri, 2005).

Menurut Musa Asy’arie, epistemologi adalah cabang filsafat yang


membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha yang
sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu
obyek kajian ilmu. Sedangkan, P.Hardono Hadi menyatakan, bahwa epistemologi
adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope
pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Sedangkan D.W Hamlyn
mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat
dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengendaian-pengendaiannya serta secara umum
hal itu dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.

Selanjutnya, pengertian epistemologi yang lebih jelas diungkapkan Dagobert


D.Runes. Dia menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang
membahas sumber, struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan. Sementara
itu, Azyumardi Azra menambahkan, bahwa epistemologi sebagai “ilmu yang
membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu
pengetahuan.

B. Ruang Lingkup Epistimologi


M.Arifin merinci ruang lingkup epistemologi, meliputi hakikat, sumber dan
validitas pengetahuan. Mudlor Achmad merinci menjadi enam aspek, yaitu hakikat,
unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran pengetahuan. Bahkan, A.M Saefuddin
menyebutkan, bahwa epistemologi mencakup pertanyaan yang harus dijawab, apakah
ilmu itu, dari mana asalnya, apa sumbernya, apa hakikat-nya, bagaimana membangun
ilmu yang tepat dan benar, apa kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang
benar, apa yang dapat kita ketahui, dan sampai dimanakah batasannya. Semua
pertanyaan itu dapat diringkas menjadi dua masalah pokok; masalah sumber ilmu dan
masalah benarnya ilmu.

4
M. Amin Abdullah menilai, bahwa seringkali kajian epistemologi lebih
banyak terbatas pada dataran konsepsi asal-usul atau sumber ilmu pengetahuan secara
konseptual-filosofis. Sedangkan Paul Suparno menilai epistemologi banyak
membicarakan mengenai apa yang membentuk pengetahuan ilmiah. Sementara itu,
aspek-aspek lainnya justru diabaikan dalam pembahasan epistemologi, atau setidak-
tidaknya kurang mendapat perh.
C. Epistimologi Sain
1. Objek Pengetahuan Sain
Objek pengetahuan sain (objek-objek yang diteliti sain) ialah semua objek
yang empiris. Jujun S. Suriasuamntri (Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer,
1994: 105) menyatakan bahwa objek kajian sain hanyalah objek yang berada
dalam ruang lingkup pengalaman manusia. Yang dimaksud pengalaman di sini
adalah pengalaman indera.
Objek kajian sain haruslah objek-objek yang empiris sebab bukti-bukti yang
harus ia temukan adalah bukti-bukti yang empiris. Bukti empitis ini diperlukan
untuk menguji bukti rasional yang telah dirumuskan dalam hipotesis.
Objek-objek yang dapat diteliti oleh sain banyak sekali seperti : alam, tumbuhan,
hewan, dan manusia serta kejadian-kejadian disekitarnya. Dari penelitian itulah
muncul teori-teori sain.
2. Cara Memperoleh Pengetahuan Sain
Perkembangan sain didorong oleh paham Humanise. Humanisme ialah paham
filsafat yang mengajarkan bahwa manusia mampu mengatur dirinya dan alam.
Humanisme telah muncul pada zaman Yunani Lama (Yunani Kuno).
Sejak zaman dahulu, manusia telah menginginkan adanya aturan untuk mengatur
manusia. Tujuannya ialah agar manusia itu hidup teratur, karena hidup teratur
merupakan kebutuhan manusia. Oleh karena itu, untuk menjamin tegaknya
kehidupan yang teratur diperlukan aturan.
Manusia juga perlu aturan untuk mengatur alam. Berdasar pengalaman
manusia menunjukan bila alam tidak diatur maka alam itu akan menyulitkan
kehidupan manusia. Karena manusia tidak ingin dipersulit, bahkan sebaliknya
manusia ingin jika bisa alam dapat mempermudah kehidupannya. Sehingga, harus
ada aturan untuk mengatur alam.
Timbulah pertanyaan bagaimanakah membuata aturan untuk mengatur
manusia dan alam? Siapa yang dapat membuat aturan itu? Orang Yuanani kuno

5
sudah menemukan solusinya yaitu berdasar teori humanisme manusia lah yang
membuat aturan itu.
Pertanyaan selanjutnya bagimana membuatnya dan apa alatnya? Bila aturan
itu dibuat berdasarkan agama atau mitos, maka akan sulit sekali menghasilkan
aturan yang disepakati. Karena mitos itu tidak mencukupi untuk dijadikan sumber
membuat aturan mengatur manusia dan alam. Sedangkan jika aturan dibuat
berdasar agama masing-masing agama menyatakan dirinya benar dan yang lain
salah. Jadi, seandainya aturan itu dibuat berdasar agama maka akan banyak orang
yang menolaknya. Padahal aturan hendaknya isepakati oleh setiap orang.
Menurut mereka aturan itu harus dibuat berdasarakan dan bersumber pada
sesuatu yang ada pada manusia. Alat itu adalah akal. Mengapa akal? Karena akal
dianggap mampu dan akal pada setiap orang bekerja berdasrkan aturan yang sama.
Aturan itu ialah logika alami yang ada pada akal manusia. Akal itulah alat dan
sumber yang paling dapat disepakati. Karena ini lah Humanisme melahirkan
Rasionalisme.
Rasionalisme ialah paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari dan
pengukur pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal, temuannya diukur
dengan akal juga.
Dicari dengan akal ialah dicari dengan berpikir logis. Diukur dengan akal
artiya diuji apakah temuan itu logis atau tidak. Sehingga dengan akal itulah aturan
untuk mengatur manusia dan alam itu dibuat. Ini juga berarti kebenaran berasal
dari akal.
Namun, dalam proses pembutan aturan itu, ternyata temuan akal itu seringkali
bertentangan. Kata seseorang ini logis, namun kata orang lain itu juga logis.
Padahal ini dan itu tidak sama, bahkan kadang-kadang bertentangan. Orang-orang
shopis pada zaman Yunani Kuno dapat membuktikan bahwa bergerak sama
dengan diam, keduanya sama logisnya. Apakah anak panah yang melesat dari
busurnya bergerak ataukah diam? Menurut mereka keduanya benar. Bergerak
ialah bila sesuatu pindah tempat. Karena anak panah itu berpindah tempat dari
busur ke sasaran maka anak panah itu bergerak. Anak panah itu juga dapat
dibuktikan diam. Diam ialah bila sesuatu pada sesuatu waktu berada pada suatu
tempat. Karena anak panah itu setiap saat berada di suatu tempat, jadi anak panah
itu diam. Oleh karena itu kedua argumrn itu logis.

6
Berdasarkan uraian diatas diperoleh berpikor logis tidak menjamin
diperolehnya kebenaran yang disepakati. Padahal, aturan itu seharusnya
disepakati. Maka dari itu diperlukan alat lain. Alat itu adlah empirisme.
Empirisme ialah paham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar ialah
yang logis dan ada bukti empiris. Dalam hal ini anak panah tadi menurut
empirisme yang benar adalah bergerak, sebab secara empiris dapat dinuktikan
bahwa nak panah itu bergerak. Coba saja perut Anda menghadang anak panah itu,
perut anda akan tembus, benda yang menembus sesuatu haruslah benda yang
bergerak, sesuatu yang diam tidak akan mampu menembus. Hal ini juga logis.
Akan tetapi empirisme masih memiliki kekurangan karena ia belum terukur.
Empirisme hany sampai pada konsep-konsep yang umum saja. Menurut
empirisme air kopi yang baru diseduh ini panas, dan nyala api lebih panas, serta
besi yang endidih ini sangat panas. Hal ini menunjukan bahwa empirisme hanya
menemukan konsep yang umum, sehingga belum operasional karena belum
terukur. Jadi masih diperlukan alat lain yaitu positivisme.

Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti


empirisnya, yang terukur. Terukur inilah sumbangan penting positivisme. Jadi, hal
panas tadi oleh positivisme dikatakan air kopi ini 80 derajat celcius, air mendidih
ini 100 derajat celcius, besi mendidih ini 1000 derajat celcius, ini satu meter
panjangnya, ini satu ton beratnya, dan seterusnya. Ukuran-ukuran ini operasional,
kuantitatif, tidak memungkinkan perbedan pendapat. Sebagaimana Anda lihat,
aturan untuk mengatur manusia dan aturan untuk mengatur alam yang kita miliki
sekarang bersifat pasti dan rinci. Jadi, operasional. Bahkan dada dan pinggul
sekarang ini ada ukurannya, katanya, ini dalam kerangka ukuran kecantikan.
Dengan ukuran ini maka kontes kecantikan dapat dioperasikan Kehidupan kita
sekarang penuh oleh ukuran

Positivisme sudah dapat disetujui untuk memulai upaya membuat aturan untuk
mengatur manusia dan mengatur alam. Kata Positivisme, ajukan logikanya, ajukan
bukti empirisnya yang terukur. Tetapi bagaimana caranya? Kita masih
memerlukan alat lain. Alat lain itu ialah Metode Ilmiah. Sayangnya, Metode
Ilmiah sebenarnya tidak mengajukan sesuatu yang baru; MetodeIlmiah hanya
mengulangi ajaran Positivisme, tetapi lebih operasional. Metode Ilmiah
mengatakan, untuk memperoleh pengetahuan yang benar lakukan langkah berikut:

7
logico-hypothetico-verificartif. Maksudnya, mula-mula buktikan bahwa itu logis,
kemudian ajukan hipotesis (berdasarkan logika itu), kemudian lakukan
pembuktian hipotesis itu secara empiris. Dengan rumus Metode Ilmiah inilah kita
membuat aturan itu. Metode Ilmiah itu secara teknis dan rinci dijelaskan dalam
satu bidang ilmu yang disebut Metode

Riset. Metode Riset menghasilkan Model-model Penelitian inilah yang


menjadi instan terakhir-dan memang operasional aturan (untuk mengatur manusia
dan alam) Dengan menggunakan Model Penelitian tertentu mengadakan
penelitian. Hasil-hasil penelitian itulah yang kita warisi sekarang berupa
tumpukan pengetahuan sains dalam berbagai bidang sains. Inilah sebagian dari isi
kebudayaan manusia. Isi kebudayaan yang lengkap ialah pengetahuan sains,
filsafat dan mistik. Urutan dalam proses terwujudnya aturan seperti yang
diuraikan di atas ialah sebagai berikut:

- Humanisme
- Rasionalisme
- Empirisme
- Positivisme
- Metode lmiah
- Metode Riset
- Model-model Penelitian
3. Mengukur Benar Tidaknya Pengetaunan Sains
Ilmu berisi teori-teori. Jika Anda mengambil buku Ilmu (sain) Pendidikan,
maka Anda akan menemukan teori-teori tentang pendidikan. Ilmu Bumi
membicarakan teori-teori tentang bumi, Ilmu Hayat membahas teori-teori tentang
makhluk hidup. Demikian seterusnya. Jadi, isi ilmu ialah teori Jika kita bertanya
apa ukuran kebenaran sain, maka yang kita tanya ialah apa ukuran kebenaran
teori-teori sain.
Ada teori Sain Ekonomi: bila penawaran sedikit, permintaan banyak, maka
harga akan naik. Teori ini sangat kuat, karena kuatnya maka ia ditingkatkan
menjadi hukum, disebut hukum penawaran dan permintaan. Berdasarkan hukum
ini, maka barangkali benar dihipotesiskan: Jika hari hujan terus, mesin pemanas
gabah tidak diaktifkan, maka harga beras akan naik.

8
Untuk membuktikan apakah hipotesis itu benar atausalah, kita cukup
melakukan dua langkah. Pertama, kita uji apakah teori itu logis? Apakah logis jika
hari hujan terus harga gabah akan naik?
Jika hari hujan terus, maka orang tidak dapat menjemur padi, penawaran beras
akan menurun, jumlah orang yang memerlukan tetap, orang berebutan membeli
beras, kesempatan itu dimanfaatkan pedagang beras untuk memperoleh untung
sebesar mungkin, maka harga beras akan naik. Jadi, logislah bila hujan terus harga
beras akan naik. Hipotesis itu lolos ujian pertama, uji logika. Kedua, uji empiris.
Adakan eksperimen. Buatlah hujan buatan selama mungkin, mesin pemanas gabah
tidak diaktifkan beras dari daerah lain tidak masuk. Periksa pasar. Apakah harga
beras naik? Secara logika seharusnya naik. Dalam kenyataan mungkin saja tidak
naik, misalnya karena orang mengganti makannya dengan selain beras. Jika
eksperimen itu dikontrol dengan ketat, hipotesis tadi pasti didukung oleh
kenyataan. Jika didukung oleh kenyataan (beras naik) maka hipotesis itu menjadi
teori, dan teori itu benar, karena ia logis dan empiris.
Jika hipotesis terbukti, maka pada saatnya ia menjadi teori. Jika sesuatu teori
selalu benar, yaitu jika teori itu selalu didukung bukti empiris, maka teori itu naik
tingkat keberadaannya menjadi hukum atau aksioma. Agaknya banyak mahasiswa
menyangka bahwa hipotesis bersifat mungkin benar mungkin salah, dengan kata
lain, hipotesis itu kemungkinan benar atau salahnya sama besar, fifty-fifty.
Persangkaan itu salah.
Hipotesis (dalam sain) ialah pernyataan yang sudah benar secara logika, tetapi
belum ada bukti empirisnya. Belum atau tidak ada bukti empiris bukanlah
merupakan bukti bahwa hipotesis itu salah. Hipotesis benar, bila logis, titik. Ada
atau tidak ada bukti empirisnya adalah soal lain. Dari sini tahulah kita bahwa
kelogisan suatu hipotesis juga teori- lebih penting ketimbang bukti empirisnya.
Harap dicatat, bahwa kesimpulan ini penting.

9
D. Epistimologi Filsafat
Epistemologi filsafat membicarakan tiga hal, yaitu objek(yaitu yang
dipikirkan), cara memperoleh pengetahuan filsafat dan ukuran kebenaran
(pengetahuan)filsafat.
1. Objek Filsafat
Tujuan berfilsafat ialah menemukan kebenaran yangsebenarnya, yang
terdalam. Jika hasil pemikiran itudisusun, maka susunan itulah yang kita
sebutSistematika Filsafat. Sistematika atau Struktur Filsafatdalam garis besar
terdiri atas ontologi, epistemologi, danaksiologi.
Isi setiap cabang filsafat ditentukan oleh objek apayang diteliti (dipikirkan)-
nya. Jika ia memikirkanpendidikan maka jadilah Filsafat Pendidikan. Jika
yangdipikirkannya hukum maka hasilnya tentulah FilsafatHukum, dan seterusnya.
Seberapa luas yang mungkindapat dipikirkan? Luas sekali. Yaitu semua yang ada
danmungkin ada. Inilah objek filsafat. Jika ia memikirkanpengetahuan jadilah ia
Filsafat Ilmu, jika memikirkanetika jadilah Filsafat Etika, dst.
Objek penelitian filsafat lebih luas dari objek penelitiankan filsafat meneliti
objek yang ada dan mungkin ada.Sebenarnya masih ada objek lain yang disebut
objekforma yang menjelaskan sifat kemendalaman penelitianfilsafat. Ini
dibicarakan pada epistemologi filsafatsain. Sain hanya meneliti objek yang ada,
sedangPerlu juga ditegaskan (lagi) bahwa sain menelitiobjek-objek yang ada dan
empiris; yang ada tetapiabstrak (tidak empiris) tidak dapat diteliti oleh
sain.Sedangkan filsafat meneliti objek yang ada tetapi abstrak, adapun yang
mungkin ada, sudah jelas abstrak, itupun jika ada.
2. Cara Memperoleh Pengetahuan Filsafat
Pertama-tama filosof harus membicarakan (mempertanggungjawabkan) cara
mereka memperoleh pengetahuan filsafat. Yang menyebabkan kita hormat
kepadapara filosof antara lain ialah karena ketelitian mereka,sebelum mencari
pengetahuan mereka membicarakan lebih dahulu (dan mempertanggungjawabkan)
caramemperoleh pengetahuan tersebut. Sifat itu seringkurang dipedulikan oleh
kebanyakan orang. Pada umum-nya orang mementingkan apa yang diperoleh
ataudiketahui, bukan cara memperoleh atau mengetahuinya.Ini gegabah, para
filosof bukan orang yang gegabah.
Berfilsafat ialah berpikir. Berpikir itu tentu menggunakan akal. Menjadi
persoalan, apa sebenarnyaaJohn Locke (Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, II,

10
1973111) mempersoalkan hal ini. Ia melihat, pada zamannyaakal telah digunakan
secara terlalu bebas, telah digunakan sampai di luar batas kemampuan akal.
Hasilnyaialah kekacauan pemikiran pada masa itu.
Sejak 650 SM sampai berakhirnya filsafat Yunaniakal mendominasi. Selama
1500 tahun sesudahnya, yaituselama Abad Tengah Kristen, akal harus tunduk
padakeyakinan Kristen; akal di bawah, agama (Kristen mendominasi. Sejak
Descartes, tokoh pertama FilsaModern, akal kembali mendominasi filsafat.
Descartes (1596-1650) dengan cogito ergo suherusaha melepaskan filsafat dari
dominasi agamanyaKristen. Ia ingin akal mendominasi filsafat. Sejak inifilsafat
didominasi oleh akal. Akal menang lagi.
Voltaire telah berhasil memisahkan akal dengan iman.Francis Bacon amat
yakin pada kekuatan Sain dan Logika.Sain dan Logika dianggap mampu
menyelesaikan semuamasalah (Will Durant, The Story of Philosophy, 1959:
254).Condorcet mendukung Bacon: Sain dan Logika itulah yangpenting.
Kemudian pemikiran ini diikuti pula oleh pemikirJerman Christian Wolff dan
Lessing, Bahkan pemikir-pemikir Prancis mendramatisasi keadaan ini sehingga
akaltelah dituhankan (lihat Durant, 1959: 254). Spinozaitu meningkatkan
kemampuan akal tatkala ia menyimpulkan bahwa alam semesta ini laksana suatu
sistem matematikadan dapat dijelaskan secara a priori dengan cara mendeduksi
aksioma aksioma. Filsafat ini jelas memberikan dukungan kepada kepongahan
manusia dalam menggunakan akalnya. Karena itu tidaklah perlu kaget
tatkalaHobbes meningkatkan kemampuan akal ini menjadiAtheisme dan
Materialisme yang nonkompromis.
Sejak Spinoza sampai Diderot kepingan-kepinganiman telah tunduk di bawah
kaidah-kaidah akliahHelvetius dan Holbach menawarkan idea yang "edan" itudi
Prancis, dan La Mettrie, yang menyatakan manusia ituseperti mesin, menjajakan
pemikiran ini di JermanTatkala pada tahun 1784 Lessing mengumumkanbia
menjadi pengikut Spinoza, itu telah cukup pertanda bahwa iman telah jatuh
sampai ke titik nanya dan akal telah berjaya (lihat Durant, 1959: 255),
David Hume (1711-1776) tidak begitu senangkeadaan ini. Ia menyatakan bila
akal telah menantamanusia, maka akan datang waktunya manusia menantang akal.
Apa akal itu sebenarnya?
Locke (1632-1704) telah meneliti akal. Ia berhsiltampil dengan argumennya
tentang kerasionalan agamaKristen. Pengetahuan kita datang dari pengalaman,

11
begitukatanya. Teorinya tabula rasa menjelaskan pandangannyaitu. la
berkesimpulan bahwa yang dapat kita ketahuihanya materi, karena itu
materialisme harus diterima. Bilapenginderaan adalah asal-usul pemikiran, maka
kesimpulannya haruslah materi adalah material jiwa.
Tidak demikian kata Uskup George Berkeley (1684 -1753), analisis Locke itu
justru membuktikan materi itusebenarnya tidak ada. David Hume seorang
uskupIrlandia berpendapat lain. Katanya, kita mengetahui apajiwa itu, sama
dengan kita mengenal materi, yaitudengan persepsi, jadi secara internal.
Kesimpulannyialah bahwa jiwa itu bukan substansi, suatu organ yangmemiliki
idea-idea; jiwa sekedar suatu nama yangabstrak untuk menyebut rangkaian idea.
Hasilnya, sudah menghancurkan sebagaimana Barkeley menghancurkan materi.
Sekarang tidak ada lagi yang tersisa, dan filssfatmenemukan dirinya berada di
tengah-tengah reruntuhan hasil karyanya sendiri. Jangan kaget bila anda
mendengar kata-kata begini : No matter Never Mind. Semua inigara-gara akal.
Akal telah digunakan melebihi kapasitas hasil karyanya sendiri.
Oleh karena itu Locke menyelidiki lagi, apa sebenarnya akal itu. Di lain pihak,
memang Locke berpendapatbahwa kita belum waktunya membicarakan
masalahhakikat sebelum kita mengetahui dengan jelas apa akalitu sebenarnya.
Tetapi baiklah, kita terima saja bahwa akal itu adadan ia bekerja berdasarkan
suatu cara yang tidak begitukita kenal. Aturan kerjanya disebut Logika. Sejauh
akalitu bekerja menurut aturan Logika, agaknya kita dapatmenerima
kebenarannya.
Bagaimana manusia memperoleh pengetahuan filsafat? Dengan berpikir
secara mendalam, tentang sesuatuyang abstrak. Mungkin juga objek pemikirannya
sesuatuyang konkret, tetapi yang hendak diketahuinya ialahbagian "di belakang"
objek konkret itu. Dus abstrak juga.
Secara mendalam artinya ia hendak mengetahui bagian yang abstrak sesuatu
itu, ia ingin mengeiahuisedalam-dalamnya. Kapan pengetahuannya itu dikatakan
berhenti sampai tanda tanya. Dia tidak dapat maju lagi sesuatu itu secara
mendalam. Kapan pengetahuan itu dikatakan mendalam ? Dikatakan mendalam
tatkala ia sudah berhenti sampai tanda tanya. Dia tidak dapat maju lagi, disitulah
orang berhenti, dan ia telah mengetahui sesuatu itu secara mendalam. Jadi jelas,
mendalam bagi seseorang belum tentu mendalam bagi orang lain.

12
Seperti telah disebut di muka, Sain mengetahuisebatas fakta empiris. Ini tidak
mendalam. Filsafat inginmengetahui di belakang sesuatu yang empiris itu.
Inilahyang disebut mendalam. Tetapi itu pun mempunyairentangan. Sejauhmana
hal abstrak di bekalang faktaempiris itu dapat diketahui oleh seseorang, akan
banyaktergantung pada kemampuan berpikir seseorang. Sayamisalnya mengetahui
bahwa gula rasanya manis (inipengetahuan empirik); di belakangnya saya
mengetahuibahwa itu disebabkan oleh adanya hukum yang mengaturdemikian. Ini
pengetahuan filsafat, abstrak, tetapi barusatu langkah. Orang lain dapat
mengetahui bahwahukum itu dibuat oleh Yang Maha Pintar. Ini sudahlangkah
kedua, lebih mendalam daripada sekedar mengetahui adanya hukum. Orang lain
masih dapat melangkahke langkah ketiga, misalnya ia mengetahui bahwa
YangMaha Pintar itu adalah Tuhan, ia masih dapat maju lagimisalnya mengetahui
sebagian hakikat Tuhan. Demikianlah, pengetahuan di belakang fakta empiris itu
dapat bertingkat-tingkat, dan itu menjelaskan kemendalamanpengetahuan filsafat
seseorang. Untuk mudahnya mungkin dapat dikatakan begini: berpikir mendalam
ialahberpikir tanpa bukti empirik.
Pada uraian di atas kita mengetahui akal ita diperdebatkan oleh ahli akal dan
orang-orang yang secara intensip menggunakan akalnta. Kerja akal, yaitu
berpikirmendalam, menghasilkan filsafat. Apakah dengan demikian berarti teori-
teori filsafat itu tidak ada gunanya ataunilai kebenarannya amat rendah? Tidak
juga. Ya, itulahfilsafat, kadang-kadang filsafat diragukan oleh filsafat itusendiri.
Jika kita ingin mengetahui sesuatu yang tidakempirik, apa yang kita gunakan?
Ya, akal itu. Apapunkelemahan akal, bahkan sekalipun akal amat
diragukanhakikat keberadaannya, toh akal telah menghasilkan apayang disebut
filsafat. Kelihatannya, ada satu hal yangpenting di sini: janganlah hidup ini
digantungkan padafilsafat, janganlah hidup ini ditentukan seluruhnyafilsafat,
filsafat itu adalah produk akal dan akal itubelum diketahui secara jelas
identitasnya.
3. Ukuran Kebenaran Pengetahuan Filsafat
Pengetahuan filsafat ialah pengetahuan yang logis tidakempiris. Pernyataan ini
menjelaskan bahwa ukurankebenaran filsafat ialah logis tidaknya pengetahuan
ituBila logis benar, bila tidak logis, salah.

13
Ada hal yang patut Anda ingat. Anda tidak boletmenuntut bukti empiris untuk
membuktikan kebenarasfilsafat. Pengetahuan filsafat ialah pengetahuan yanglogis
dan hanya logis. Bila logis dan empiris, itu adalaipengetahuan sain.
Kebenaran teori filsafat ditentukan oleh logis tidaknya teori itu. Ukuran logis
tidaknya tersebut akanterlihat pada argumen yang menghasilkan kesimpulan(teori)
itu. Fungsi argumen dalam filsafat sangatlahpenting, sama dengan fungsi data
pada pengetahuan sainArgumen itu menjadi kesatuan dengan konklusi,
konklusitulah yang disebut teori filsafat. Bobot teori filsafatjustru terletak pada
kekuatan argumen, buakan padakehebatan konklusi. Karena argumen itu menjadi
kesatuan dengan konklusi, maka boleh juga diterimapendapat yang mengatakan
bahwa filsafat itu argumeaKebenaran konklusi ditentukan 100% oleh
argumennya.

E. Epistimologi Pengetahuan Mistik


Pengetahuan mistik ialah pengetahuan yang diperoleh tidak melalui indera dan
bukan melalui rasio. Pengetahuan ini diperoleh melalui rasas, melalui hati sebagai alat
merasa. Kalau indera dan rasio adalah alat mengetahui yang dimiliki manusia, maka
rasa atau hati, juga adalah alat mengetahui.
1. Objek Pengetahuan Mistik

Yang menjadi objek pengetahuan mistik ialah objek yang abstrak- supra
rasioanal, seperti alam gaib termasuk tuhan, malaikat, surga, neraka, jin, dan lain-
lain. Termasuk objek yang hanya dapat diketahui melalui pengetahuan mistik
ialah objek-objek yang tidak dapat dipahami oleh rasio yaitu objek-objek supra-
natural (supra-rasioanal), seperti kebal, debus, pelet, santet.

2. Cara Memperoleh Pengetahuan Mistik


Pengetahuan mistik diperoleh melalui rasa. Immanuel kant mengatakan itu
melalui moral, ada yang mengatakan melalui intuisi, ada juga yang mengatakan
melalui insight, al-Ghazali mengatakan melalui dhamir, atau qalbu.
Pada umumnya cara memperoleh pengetahuan mistik adalah latihan yang
disebut juga riyadhah. Dari riyadhah itu manusia memperoleh pencerahan,
memperoleh pengetahuan yang dalam tasawuf disebut ma’rifah. Dapatlah
disimpulkan bahwa epistimologi pengetahuan mistik ialah pelatihan batin.

14
3. Ukuran Kebenaran Pengetahuan Mistik
Kebenaran pengetahuan mistik diukur dengan berbagai ukuran. Bila
pengetahuan mistik itu berasal dari tuhan, maka ukurannya ilah teks tuhan yang
menyebutkan demikian. Tatkala tuhan dalam al-qur’an mengatakan bahwa surga
neraka itu ada, maka teks itulah yang menjadi bukti bahwa pernyataan itu benar.
Adakalanya ukuran kebenaran pengetahuan mistik diukur dengan bukti empiris.
dalam hal ini bukti empiris itulah ukuran kebenarannya. Kebal adalah sejenis
pengetahuan mistik. Kebenarannya dapat diukur dengan kenyataan empiris
misalnya seseorang memperlihatkan di hadapan orang banyak bahwa ia tidak
mempan ditusuk jarum.
Satu-satunya tanda pengetahuan disebut pengetahuan (bersifat) mistik ialah
kita tidak dapat menjelaskan hubungan sebab akibat yang ada di dalam sesuatu
kejadian mistik. Dalam contoh kebal, kita tidak dapat menjelaskan secara
rasioanal mengapa jarum tidak dapat menembus kulit orang kebal. Jadi, yang
bersifat mistik itu ialah “mengapa” nya. Akan lebih merepotkan kita memahami
sesuatu teori dalam pengetahuan mistik bila teori itu tidak punya bukti empirik;
sulit diterima karena rasioanal tidak terbukti dan bukti empirik pun tidak ada.

F. Urgansi Epistimologi Islam

Epistemologi, biasanya didefinisikan sebagai cabang ilmu filsafat yang


membahas ilmu penegtahuan secara menyeluruh dan mendasar. Secara ringkas,
epistemologi disebut sebagai “theory of knowledge”. (AMW Pranarka, Epistemologi
dasar: Suatu Pengantar, (Jakarta: CSIS, 1987) dikutip dari J. Sudarminta,
Epistemologi Dasar, (Yogyakarta: Kasinisius, 2002, hlm. 18)

Epistemologi berbicara tentang sumber-sumber ilmu dan bagaimana manusia


bisa meraih ilmu. Sementara itu, knowledge atau ilmu pengetahuan merupakan
sesuatu yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia. Islam, khususnya, agama
yang snagat menghargai ilmu pengetahuan. Al-Qur’an adalah Kitab yang begitu besar
perhatiannya terhadap aktivitas pemikiran dan keilmuan. Inni, misalnya tergambar
dari penyebutan kata “al-‘ilm” dan derivasinya yang mencapai 823 kali.

Bahkan, yang diajarkan pertama kali kepada Nabi Adam a.s adalah
pengetahuan tentang nama-nama benda (2:31). Wahyu pertama yang diturunkan

15
kepada Nabi Muhammad saw., berkaitan dengan perintah membaca (Iqra’) dan
menulis yang disimbolkan dengan “pena” (qalam). Wahyu ini pun sudah berbicara
tentang proses penciptaan manusia yang berasal dari “al-alaq” (sesuatu yang melekat).
Tetapi, sejak awal sudah diingatkan bahwa proses membaca dan belajar tidak boleh
dipisahkan dari dasar keimanan.

Semua harus dilakukan dengan nama Allah (Iqra’ bismi rabbikalladzii khalaq).
Karena itulah, tradisi ilmu dalam islam sejak awal sudah bersifat “tauhidiy”, tidak
sekular, tidak mendikotomikan antara unsur dunia dan akhirat; antara ilmu-ilmu dunia
dan ilmu akhirat. Semua ilmu itu bermuara pada satu tujuan, yaitu untuk mengenal
(ma’rifah) kepada Allah swt. dan mencintai ibadah kepada-Nya.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian mengenai sumber-sumber epistemologi tersebut maka
dapat disimpulkan, bahwa epistemologi adalah teori pengetahuan yang merupakan
cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan ruang lingkup pengetahuan,
pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas
pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Dengan adanya penjelasan
mengenai epistemologi, maka akan diketahui asal mulanya pengetahuan, terjadinya
pengetahuan, dan sumber-sumber pengetahuan. Sehingga kita mengetahui dengan
jelas dari mana kita mendapatkan pengetahuan dan cara memperolehnya.
Sumber-sumber pengetahuan tersebut antara lain adalah alam, akal, hati,
pengalaman indera, sejarah, intuisi, keyakinan, dan lainnya. Pengetahuan yang
diperoleh manusia melalui akal, indra, dan sumber-sumber tersebut mempunyai
metode tersendiri dalam pengetahuan tersebut. Dan tanpa sumber-sumber tersebut
maka kita tidak tahu darimana pengetahuan itu berasal.
B. Saran

Saran kami dari makalah yang telah kami buat antara lain:

1. Makalah ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber dalam mempelajari
mengenai Epistimologi
2. Penulis menyarankan kepada semua pembaca untuk mempelajari Epistimologi.
Dengan mempelajarinya diharapkan mahasiswa dan mahasiswi memiliki bekal
dan pengetahuan dalam pembeajaran Filsafat Ilmu.

17
DAFTAR PUSTAKA

Madkur,Ibrahim. 1995. Aliran dan Teori Filsafat Islam

Tafsir, Ahmad. 2009. Filsafat Ilmu : menguri ontologi, epistimologi dan aksiologi
pengetahuan

Husaini, Adian. 2013. Filsafat Ilmu: Persfektif barat dan islam

Zaprulkhan. 2014. Filsafat Islam: sebuah kajian tematik

Biyanto. 2015. Filsafat Ilmu dan Ilmu Keislaman

18

Anda mungkin juga menyukai